Bagian 86 - Berakhir dengan Damai

Chongxu melanjutkan, “Kawan-kawan dari Perguruan Kunlun, Emei, dan Kongtong bisa bersembunyi di dalam gua, tidak perlu memperlihatkan diri. Begitu pasukan aliran sesat datang menyerbu, orang-orang Henshan, Shaolin, dan Wudang akan melawannya dengan sekuat tenaga. Cara bertempur kita juga harus sungguh-sungguh, serta melibatkan jago-jago papan atas dari perguruan masing-masing. Semakin banyak kita membunuh musuh akan semakin baik, sementara dalam pihak kita sedapat mungkin jangan sampai jatuh korban.”
Fangzheng menghela napas dan berkata, “Jago-jago di pihak Partai Mentari dan Bulan tidak terhitung banyaknya. Kedatangan mereka kali ini tentu telah direncanakan dengan sangat matang. Dalam pertempuran ini tentu tidak bisa dihindari akan banyak jatuh korban di kedua pihak.”
Chongxu menjelaskan, “Kita bisa mencari jurang yang terjal dan memasang tali panjang di sana. Apabila dalam pertempuran nanti pihak kita mulai terdesak, maka satu per satu dari kita segera turun ke bawah menggunakan tali tersebut sehingga musuh tidak dapat mengejar. Setelah mendapat kemenangan besar tentu Ren Woxing akan bergembira dan lupa daratan. Begitu melihat kursi kebesaran ini, dia akan langsung duduk di atasnya dan beberapa saat kemudian pesawat rahasia bekerja menyulut sumbu bahan peledak. Sekalipun iblis bermarga Ren itu memiliki kepandaian setinggi langit, tidak mungkin ia dapat meloloskan diri dari ledakan tersebut. Menyusul kemudian kita ledakkan pula tiga puluh dua titik pada delapan jalur yang menuju ke puncak Henshan ini sehingga orang-orang aliran sesat itu terkurung semua di atas.”
“Semua jalan menuju ke atas sini juga diledakkan?” sahut Linghu Chong menegas.
“Benar,” jawab Chongxu. “Mulai besok pagi Keponakan Chenggao akan menanam sejumlah bahan peledak pada ketiga puluh dua titik tersebut. Begitu semua meledak, seketika jalan-jalan menuju puncak akan terputus. Berapa pun banyaknya anggota aliran sesat yang menyerbu kemari tentu semua akan mati kelaparan di sini. Yang kita tiru adalah siasat Zuo Lengchan dahulu. Hanya saja kali ini musuh pasti tidak berkesempatan meloloskan diri melalui lorong bawah tanah.”
“Waktu itu saya sangat beruntung karena secara kebetulan menemukan lorong rahasia sehingga bisa lolos dari Biara Shaolin,” ujar Linghu Chong. “Akan tetapi….” tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Apakah Adik Linghu merasa siasat yang kita atur ini masih kurang sempurna?” tanya Chongxu.
Linghu Chong menjawab, “Saya berpikir jika nanti Ketua Ren datang kemari dan melihat kursi kebesaran ini, tentu ia akan merasa senang. Namun di sisi lain ia juga akan terheran-heran mengapa Perguruan Henshan sengaja membuat kursi yang penuh dengan sanjung puji seperti itu? Bila hal ini tidak dijelaskan, rasanya Ketua Ren juga tidak mau tertipu dan duduk di sini.”
“Persoalan ini memang sudah kupikirkan pula,” jawab Chongxu. “Sebenarnya iblis tua itu mau duduk di atas kursi ini atau tidak juga bukan masalah penting bagi kita. Sebab, kita sudah mempersiapkan rencana kedua yaitu memasang sumbu lainnya di tempat rahasia. Begitu ia merayakan kemenangan sambil menikmati sanjung puji dari anak buahnya, maka saat itulah kita ledakkan gunung ini melalui sumbu rahasia tersebut. Tentu keesokan harinya hal ini akan menjadi berita hangat yang dibicarakan semua penghuni dunia persilatan.”
“Paman Guru,” tiba-tiba Chenggao menyela. “Saya memiliki suatu usulan, entah dapat dijalankan atau tidak?”
“Coba katakan, biar kita bisa meminta pertimbangan Biksu Ketua dan Ketua Linghu,” sahut Chongxu sambil tersenyum.
“Saya mendengar Ketua Linghu mempunyai ikatan perjodohan dengan putri tunggal Ketua Ren. Berhubung golongan putih dan golongan hitam tidak bisa bersatu, maka lantas timbul suatu halangan,” kata Chenggao. “Apabila sekarang Ketua Linghu mengutus dua murid Henshan untuk menemui Ketua Ren dan menyampaikan berita bahwa mengingat diri Nona Ren, maka Ketua Linghu sengaja mengundang seorang ahli untuk membuatkan sebuah kursi kebesaran. Kursi ini khusus dipersembahkan kepada Ketua Ren dengan harapan kedua pihak dapat terhindar dari pertempuran menuju perdamaian. Dengan demikian, apakah Ketua Ren mau menerima persembahan Ketua Linghu ini atau tidak bukan masalah lagi. Yang pasti, begitu datang kemari dan melihat kursi ini tentu ia tidak akan curiga lagi.”
“Sungguh akal yang bagus,” seru Chongxu bertepuk tangan. “Dengan demikian….”
“Tidak bisa!” sahut Linghu Chong menukas sambil menggeleng kepala.
Chongxu tercengang kemudian bertanya, “Apakah Adik Linghu ada pendapat yang lebih baik?”
Linghu Chong menjawab, “Bahwasanya Ketua Ren ingin membunuh segenap anggota Perguruan Henshan, maka saya akan menghadapinya dengan sepenuh tenaga, entah menggunakan siasat ataupun kekuatan. Kalau dia benar-benar datang hendak membunuh kita semua, maka kita pun harus meledakkan dia. Akan tetapi sama sekali saya tidak mau membohonginya.”
“Bagus sekali!” ujar Chongxu memuji. “Adik Linghu benar-benar seorang laki-laki sejati. Selalu mengutamakan kejujuran, sungguh mengagumkan. Biarlah kita tetap melaksanakan rencana semula. Terserah apakah iblis bermarga Ren itu akan curiga atau tidak, yang pasti bila dia datang kemari untuk mencelakai kita, maka dia pun akan kita buat menderita.”
Begitulah, mereka lantas berunding membahas tentang bagaimana harus menghadapi musuh, bagaimana harus melakukan perlawanan, bagaimana melindungi anak-buah masing-masing supaya tidak jatuh banyak korban, termasuk bagaimana cara mengundurkan diri ke belakang gunung nanti, serta bagaimana cara menyulut sumbu bahan peledak.
Chongxu benar-benar seorang yang sangat cermat. Ia khawatir siasatnya yang rapi itu justru membuat mereka lengah dan memandang remeh pihak lawan. Maka itu ia pun mengirim pasukan cadangan untuk menyalakan sumbu peledak karena jangan-jangan para petugas yang ditunjuk terbunuh oleh musuh.
Keesokan paginya Linghu Chong mengajak mereka semua untuk melihat keadaan lembah pegunungan guna menjalankan siasat. Qingxu dan Chenggao segera memilih tempat-tempat penting untuk menanam bahan peledak serta memasang sumbunya pula. Para penjaga bahan peledak itu pun ditempatkan secara tersembunyi. Chongxu dan Linghu Chong juga memilih empat jurang yang curam sebagai jalan meloloskan diri jika musuh sudah menyerbu secara besar-besaran. Keempat jurang itu masing-masing akan dijaga langsung oleh Fangzheng, Chongxu, Fangsheng, dan Linghu Chong sendiri. Bagaimanapun juga mereka harus menahan musuh supaya tidak dapat mendekati jurang itu, sampai semua orang di pihak mereka sudah turun ke bawah. Setelah semuanya habis, barulah mereka berempat turun ke bawah dan memotong tali panjang tersebut supaya musuh tidak dapat mengejar lebih lanjut.
Sore harinya sebanyak sepuluh orang Perguruan Wudang naik ke atas gunung dengan menyamar sebagai petani dan pengusung kayu bakar. Di bawah pimpinan Qingxu dan Chenggao, mereka pun menanam bahan peledak di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Murid-murid Henshan telah menjaga semua jalur masuk menuju puncak. Siapapun orangnya yang tidak berkepentingan dilarang lewat di jalanan pegunungan. Satu sama lain juga tidak boleh sembarangan bicara untuk menjaga diri dari mata-mata Partai Mentari dan Bulan yang ingin mengetahui rahasia siasat mereka.
Setelah tiga hari berturut-turut kesibukan mereka pun berakhir. Segala persiapan telah diatur dengan rapi, tinggal menunggu datangnya serbuan Partai Mentari dan Bulan saja. Sementara itu pertemuan dengan Ren Woxing di Gunung Huashan juga telah berlalu hampir sebulan yang silam. Ini berarti kedatangan pihak Partai Mentari dan Bulan akan terjadi dalam waktu dekat saja.
Dalam beberapa hari itu Chongxu dan kawan-kawannya semakin sibuk, semenatara Linghu Chong justru lebih banyak menganggur. Setiap hari ia menggunakan kesempatan untuk menghafal rumusan ilmu tenaga dalam yang diajarkan Biksu Fangzheng, serta melatihnya dengan tekun. Apabila terdapat bagian-bagian yang tidak dipahaminya segera ia meminta petunjuk kepada Fangzheng.
Sore harinya, Linghu Chong mengawasi Yihe, Yiqing, Yilin, Zheng E, Qin Juan, dan yang lainnya berlatih ilmu pedang. Meskipun berusia paling muda, namun daya tangkap Qin Juan terhadap intisari ilmu pedang yang diajarkan Linghu Chong ternyata paling bagus dan cepat tangkap pula.
“Adik Qin sungguh pintar,” ujar Linghu Chong memuji. “Kau sudah mendapat banyak kemajuan dalam jurus ini. Untuk selanjutnya….” Sampai di sini ia langsung berhenti. Tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. Seketika langit terasa runtuh dan bumi berputar cepat. Tanpa ampun ia pun jatuh terduduk di atas tanah.
Yihe dan yang lain sangat terkejut. Beramai-ramai mereka memburu maju dan membangunkan sang ketua. Serentak mereka bertanya, “Ada apa sebenarnya?”
Linghu Chong sadar penyakitnya sedang kambuh kembali. Bermacam-macam hawa murni di dalam tubuhnya kembali bergolak. Mulut terasa sukar dibuka, sehingga sulit pula menjawab pertanyaan tersebut.
Selagi murid-murid Henshan itu gelisah, tiba-tiba terasa hembusan angin menerpa mereka. Rupanya dua ekor merpati pos telah masuk ke dalam ruang latihan melalui jendela.
“Ah!” seru Yihe dan yang lain bersamaan.
Perguruan Henshan memang memelihara banyak merpati pos. Dulu sewaktu Biksuni Dingjing berada di Fujian, sementara Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi terkurung di Lembah Tempa Pedang, mereka saling berhubungan menggunakan merpati-merpati tersebut.
Kedua merpati yang baru datang ini telah dikirim oleh murid-murid Henshan yang berjaga di kaki gunung. Punggung merpati-merpati itu sengaja dicat warna merah, sebagai pertanda bahwa pihak musuh telah datang menyerbu.
Sejak kedatangan orang-orang Shaolin dan Wudang, para murid Henshan masing-masing merasa lega karena mendapatkan bala bantuan yang kuat. Tak disangka pada saat genting seperti ini penyakit sang ketua mendadak kambuh.
Segera Yiqing mengambil tindakan. Ia berseru, “Adik Yiwen, Adik Yizhi, serta yang lainnya segeralah melapor kepada Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu.”
Yiwen dan yang lain pun berangkat dengan cepat. Yiqing lantas berkata lagi, “Kakak Yihe, tolong kau bunyikan genta.”
Yihe mengangguk beberapa kali dan langsung berlari keluar menuju ke menara genta. Tidak lama kemudian terdengarlah suara genta bertalu-talu menggema di angkasa. Menyusul kemudian genta-genta besar di berbagai tempat yang terpisah-pisah, antara lain Lembah Tong Yuan, Kuil Gantung, Celah Naga Hitam, dan Celah Tungku Porselen berbunyi pula.
Rupanya Biksu Fangzheng telah berpesan bahwa bunyi genta yang bertalu-talu ditetapkan sebagai tanda bahaya datangnya musuh. Perintah yang sebenarnya ialah membunyikan genta secara panjang tiga kali, dan pendek dua kali secara berturut-tutut dan perlahan-lahan. Akan tetapi karena sedang ketakutan Yihe malah membunyikannya secara kasar dan tidak berirama. Meskipun kata “he” bermakna “damai”, namun Yihe bersifat sangat berangasan dan mudah marah.
Orang-orang Henshan, Shaolin, dan Wudang dengan cepat bergerak sesuai rencana yang ditetapkan. Masing-masing meninggalkan pos-pos penjagaan untuk menuju ke atas puncak. Memang untuk mengurangi jatuhnya korban, maka jalan-jalan penting mulai kaki gunung sampai Puncak Xianxing sengaja dikosongkan, sama sekali tidak diberi penjagaan. Dengan demikian pasukan Partai Mentari dan Bulan sengaja diberi kelonggaran agar dapat menyerbu ke atas dengan lancar. Begitu pihak musuh tiba di puncak barulah mereka muncul untuk melabrak.
Setelah bunyi genta berhenti, suasana Gunung Henshan serentak berubah sunyi senyap. Bahkan burung-burung ikut berhenti berkicau, sehingga menambah tegangnya suasana.
Para jago silat yang dikirim Perguruan Kunlun, Emei, dan Kongtong juga sudah bersiaga di tempat persembunyian masing-masing. Dengan hati berdebar-debar mereka menunggu orang-orang Partai Mentari dan Bulan menyerbu ke atas. Begitu mendapatkan perintah, serentak mereka pun menyerbu keluar untuk memotong jalan sehingga pihak musuh tidak dapat bergerak mundur. Demi keberhasilan rencana, Chongxu sengaja tidak memberitahu orang-orang ketiga perguruan itu tentang sejumlah bahan peledak yang telah ditanam oleh pihak Wudang. Rupanya ia memperkirakan kemungkinan di antara murid-murid Kunlun dan yang lain terdapat mata-mata aliran sesat.
Begitu mendengar bunyi genta yang bertalu-talu tadi, Linghu Chong pun sadar bahwa pasukan Partai Mentari dan Bulan telah datang menyerbu. Namun perutnya terasa sangat sakit seperti disayat-sayat oleh ribuan pisau tajam. Karena terlalu sakit sampai-sampai ia mendekap perutnya itu dan berguling-guling di atas tanah.
Yilin dan Qin Juan khawatir sehingga muka mereka menjadi pucat. Keduanya kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Yiqing lantas berkata, “Sebaiknya kita bawa Kakak Ketua ke dalam Biara Wuse, kemudian kita meminta nasihat Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu bagaimana harus bertindak.”
Yu Sao dan seorang biksuni setengah baya segera membantu Linghu Chong berdiri. Dengan setengah memapah dan setengah menyeret mereka membawa sang ketua ke dalam Biara Wuse, biara induk di Gunung Henshan. Baru saja sampai di pintu biara, mereka mendengar suara petasan disusul dengan bunyi trompet dan tambur. Jelas secara terang-terangan pihak Partai Mentari dan Bulan sudah menyerbu ke atas gunung.
Fangzheng dan Chongxu telah menerima laporan tentang kambuhnya penyakit Linghu Chong. Mereka pun secepatnya berlari keluar dari biara itu.
“Adik Linghu, jangan khawatir,” kata Chongxu. “Adik Qingxu telah kusuruh mewakili diriku untuk memimpin orang-orang Wudang, sementara aku mewakili dirimu memimpin pihak Henshan.”
Linghu Chong hanya bisa mengangguk terima kasih sambil menyeringai menahan sakit.
Fangzheng berkata, “Ketua Linghu, segeralah meloloskan diri lebih dulu.”
“Tidak… tidak, sama... sekali tidak boleh!” sahut Linghu Chong terputus-putus. “Ambilkan… ambilkan pedangku!”
Chongxu juga menasihatinya agar mengikuti saran Fangzheng, namun Linghu Chong tetap menolak. Sementara itu suara trompet dan tambur tiba-tiba berhenti, kemudian terdengar sorak-sorai orang-orang Partai Mentari dan Bulan, “Hidup Ketua Agung! Semoga panjang umur, merajai dunia persilatan selamanya!” Dari gemuruh suara itu dapat diperkirakan paling tidak ada empat atau lima ribu orang jumlah mereka.
Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong saling pandang dengan tersenyum. Mereka yakin rencana dan perangkap yang mereka atur sebentar lagi pasti akan berhasil menghancurkan musuh.
Qin Juan telah menyodorkan pedang yang diminta Linghu Chong. Begitu Linghu Chong hendak menerima pedang itu, ternyata tangannya gemetar hebat dan sulit memegang dengan erat. Maka itu, Qin Juan pun menggantungkan pedang tersebut di pinggang Linghu Chong.
Tiba-tiba terdengar kembali suara tetabuhan bergema. Kali ini lagu yang dimainkan terasa sangat menarik, dan sama sekali bukan lagu perang. Tidak lama kemudian beberapa orang berseru serentak, “Ketua Agung Partai Mentari dan Bulan hendak naik ke Puncak Xianxing guna bertemu dengan Ketua Linghu dari Perguruan Henshan!”
Mendengar ini Fangzheng berkata, “Rupanya Partai Mentari dan Bulan memakai cara halus sebelum menggunakan kekerasan. Kita sendiri jangan sampai dipandang rendah. Ketua Linghu, bagaimana kalau kita biarkan mereka naik ke sini?”
Linghu Chong mengangguk setuju. Pada saat itu perutnya kembali terasa sakit seperti disayat-sayat. Melihat wajah pemuda itu pucat pasi dan mengucurkan keringat dingin, Fangzheng berkata, “Ketua Linghu, penyakitmu kambuh lagi. Segeralah menerapkan ilmu tenaga dalam ajaran Sesepuh Feng. Kau bisa melihat bagaimana hasilnya.”
Rumusan ilmu tenaga dalam ajaran Feng Qingyang kemarin adalah mengantar hawa murni di dalam tubuh agar masuk ke perut. Padahal waktu itu di dalam perutnya sedang bergolak bermacam-macam hawa murni yang saling desak dan saling terjang tak beraturan. Maka dengan mengerahkan tenaga dalam sendiri untuk manyalurkan hawa murninya itu, maka ini sama artinya dengan bunuh diri. Sudah pasti rasa sakitnya makin bertambah parah.
Namun pada dasarnya Linghu Chong sudah nekad. Ia merasa sakitnya sudah mencapai titik puncak. Jika ditambah lagi paling-paling ia akan mati kesakitan saja. Maka tanpa pikir lagi ia pun mengerahkan tenaga dalam yang baru dipelajarinya itu secara teratur agar tersalurkan di jalan yang tepat.
Ternyata dugaannya benar. Pergolakan dan pertarungan bermacam-macam hawa murni di dalam perutnya bertambah hebat dan menyakitkan. Namun setelah berputar-putar lagi, berbagai hawa murni itu kemudian dapat diantar ke jalan yang benar, samar-samar seperti memasuki jalurnya sendiri dan mulai berputar dengan lancar. Meski rasanya masih tetap sakit, namun sudah tidak saling terjang lagi.
Sementara itu Biksu Fangzheng tampak sedang menjawab seruan orang-orang aliran sesat tadi, “Ketua Perguruan Henshan, Linghu Chong, ketua Perguruan Wudang, Pendeta Chongxu, dan ketua Perguruan Shaolin, Fangzheng, bersama-sama menantikan kunjungan Ketua Ren yang terhormat dari Partai Mentari dan Bulan!”
Meskipun Fangzheng berkata dengan perlahan, namun suaranya berkumandang jauh hingga mencapai kaki gunung. Padahal belasan gembong aliran sesat tadi berteriak sekeras-kerasnya untuk dapat mengumandangkan suara mereka ke puncak gunung. Dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam biksu tua bertubuh kecil ini.
Linghu Chong sendiri sedang duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya dengan lebih tekun. Matanya memandang hidung, napasnya seirama dengan detak jantung, tangan kiri memegang dada, dan tangan kanan menekan perut, sesuai petunjuk Biksu Fangzheng sebelumnya.
Ilmu tenaga dalam ajaran Feng Qingyang itu baru dilatihnya beberapa hari saja. Meskipun setiap hari Biksu Fangzheng mendampingi dan memberi petunjuk secara jelas, namun latihannya masih juga belum sempurna. Untunglah kini berbagai hawa murni yang bergolak di dalam tubuhnya itu lambat-laun dapat diredam dan disalurkan ke jalur yang benar.
Linghu Chong tidak berani gegabah. Ia menjalankan tenaga dalamnya dengan lebih tekun dan teratur. Semula telinganya masih mendengar suara tetabuhan, namun pada akhirnya tidak mendengar apa-apa lagi. Rupanya ia telah memusatkan segenap pancaindranya ke dalam latihan tersebut.
Melihat ketekunan Linghu Chong ini, Biksu Fangzheng tersenyum senang. Ia mendengar suara tetabuhan semakin bertambah ramai. Orang-orang Partai Mentari dan Bulan kembali berteriak, “Ketua Partai Mentari dan Bulan, kesatria gagah berani, pelindung rakyat jelata, Yang Mulia Ketua Agung naik ke puncak Henshan!”
Teriakan itu diikuti dengan suara tetabuhan yang semakin terdengar keras, pertanda mereka sedang berjalan menuju ke atas. Jalan menuju Puncak Xianxing memang cukup panjang. Meskipun suara para anggota Partai Mentari dan Bulan itu terdengar keras, namun sampai cukup lama mereka belum juga mencapai puncak. Diam-diam para jagoan dari Kunlun dan perguruan lainnya menggerutu di tempat persembunyian mereka. “Ketua aliran sesat tengik, mengapa tidak mati sekarang saja? Sorak-sorai anak buahnya berlebihan, masih ditambah tetabuhan musik segala. Memangnya mau main sandiwara?” demikian pikir mereka.
Sejak tadi mereka sudah bersiaga untuk menghadapi musuh dengan jantung berdebar-debar. Menurut perkiraan, begitu pihak aliran sesat menyerbu ke atas gunung, serentak mereka akan melompat keluar dari tempat persembunyian untuk menghadapi. Apabila jumlah musuh semakin membanjir dan sukar ditahan, maka segera mereka mengundurkan diri dengan cara turun ke bawah jurang di belakang gunung menggunakan tali panjang. Tidak disangka, kedatangan Ren Woxing itu ternyata berlagak seperti kaisar maharaja, dengan mengagungkan segala kebesarannya pula. Hal ini membuat orang-orang yang bersiaga itu malah semakin bertambah tegang.
Setelah memakan waktu cukup lama, Linghu Chong merasa hawa murni di dalam tubuhnya lambat laun dapat diatasi. Rasa sakitnya kini mulai berkurang. Tiba-tiba ia teringat bahwa musuh sudah semakin dekat. Maka dengan seketika pemuda itu pun melonjak bangun.
“Sudah lebih baik?” tanya Fangzheng dengan tersenyum.
“Apakah pertempuran sudah dimulai?” Linghu Chong balik bertanya.
“Belum,” sahut Fangzheng.
“Bagus kalau begitu!” seru Linghu Chong sambil melolos pedangnya.
Namun kemudian ia melihat Fangzheng, Chongxu dan yang lain ternyata tidak memegang senjata. Sementara itu Yihe, Yiqing dan murid-murid Henshan lainnya tampak sedang berbaris di depan Biara Wuse dalam kelompok-kelompok formasi tujuh orang, namun senjata mereka juga belum dicabut keluar. Linghu Chong sadar bahwa musuh belum datang. Menyadari dirinya terlalu gugup, ia menjadi geli sendiri dan buru-buru menyarungkan pedangnya kembali sambil bergelak tawa.
Sementara itu suara tetabuhan tadi mendadak berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara seruling dan kecapi berkumandang dengan merdu. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Ketua Ren terlalu banyak tingkah. Setelah suara tetabuhan yang menderu-deru, kini berganti suara musik halus merdu. Tentu sebentar lagi dia akan muncul.”
Benar juga, di tengah alunan suara seruling dan kecapi yang merdu itu, tampak dua barisan anggota Partai Mentari dan Bulan muncul di Puncak Xianxing. Pandangan semua orang seketika terbelalak, karena setiap anggota partai ternyata memakai jubah sulaman berwarna hijau gelap yang masih baru, serta ikat pinggang berwarna putih. Empat puluh orang dari barisan itu tampak membawa nampan dengan berlapiskan kain sutra. Entah barang apa yang berada di atas nampan mereka itu.
Keempat puluh orang ini ternyata tidak membawa senjata. Bahkan setelah naik ke puncak, masing-masing lantas berdiri tegak di kejauhan. Menyusul kemudian muncul pula di belakang mereka suatu barisan yang terdiri dari dua ratus orang peniup seruling dan pemetik kecapi. Semuanya juga berseragam jubah sulaman. Sambil berjalan mereka terus memainkan alat musik masing-masing.
Setelah itu muncul pula para penabuh tambur, peniup terompet, penabuh simbal, dan alat-alat musik lainnya. Linghu Chong menjadi tertarik melihat bermacam-macam alat musik ini. Ia berpikir, “Nanti kalau pertempuran dimulai, mereka bertugas mengiringi dengan memainkan alat musik masing-masing. Bukankah ini mirip dengan pertempuran di atas panggung sandiwara?”
Di tengah suara alunan musik itu, tampak kemudian barisan-barisan anggota Partai Mentari dan Bulan semakin berdatangan. Barisan-barisan itu sepertinya diatur menurut warna seragam mereka. Ada sekelompok yang berseragam hijau, ada pula yang berseragam kuning, biru, hitam, putih, dan semuanya serbabaru. Apapun warna seragam yang mereka pakai, semuanya tampak mengenakan ikat pinggang berwarna putih. Jumlah yang naik ke Puncak Xianxing kali ini paling tidak mencapai tiga sampai empat ribu orang.
Dalam hati Pendeta Chongxu berpikir, “Mereka baru saja mencapai puncak dan belum teratur dengan baik. Kalau sekarang juga aku memberi perintah untuk menyerang dengan serentak, tentu pihak aliran sesat ini akan kocar-kacir. Rupanya mereka menggunakan siasat memancing kelengahan kami. Mula-mula bersikap halus untuk kemudian menyerang dengan kekerasan. Tapi kalau kami yang menyerang lebih dulu pada saat musuh belum bersiaga, maka ini namanya bukan perbuatan kesatria.”
Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong yang tampak tersenyum geli menertawakan tingkah laku pihak aliran sesat itu. Fangzheng sendiri terlihat tenang-tenang saja seolah menganggap perbuatan pihak musuh itu sebagai hal yang biasa. Dalam hati Chongxu kembali berpikir, “Aku terlalu khawatir. Kalau hatiku masih saja ketakutan seperti ini, pertanda ilmu kebatinanku memang belum matang.”
Para anggota Partai Mentari dan Bulan itu telah berbaris secara teratur sesuai kelompok masing-masing. Menyusul kemudian muncul sepuluh pemuka utama partai. Mereka lantas membagi diri ke dalam dua kelompok yang berdiri di kanan dan kiri, masing-masing berisikan lima orang. Begitu bunyi tetabuhan mendadak berhenti, serentak kesepuluh pemuka itu berteriak bersama-sama, “Pemimpin Partai Mentari dan Bulan yang mahabijaksana, pelindung rakyat jelata, juruselamat umat manusia, Ketua Ren yang agung telah tiba!”
Sejenak kemudian muncul sebuah tandu besar yang dilapisi kain beludru berwarna biru dengan digotong oleh enam belas orang. Keenam belas orang pemikul tandu tersebut melangkah dengan cepat dan ringan, pertanda bahwa mereka adalah para jago pilihan semuanya.
Sewaktu Linghu Chong mengamati dengan seksama, ternyata di antara keenam belas pemikul tandu itu terdapat Zu Qianqiu, Huang Boliu, dan Ji Wushi. Andai saja badan Lao Touzi tidak terlalu pendek, tentu ia akan menjadi tukang pikul tandu pula. Melihat ini Linghu Chong berpikir dengan perasaan kesal, “Bagaimanapun juga Zu Qianqiu dan kawan-kawan adalah kaum kesatria semuanya, namun Ketua Ren memperlakukan mereka dengan sangat hina. Apakah hanya karena bersulang denganku, lantas mereka diperbudak seperti ini?”
Di kedua sisi tandu besar itu masing-masing tampak berjalan seseorang mengiringi. Yang mendampingi di sebelah kiri adalah Xiang Wentian, sementara di sebelah kanan adalah seorang tua yang tampaknya tidak asing lagi. Sejenak Linghu Chong tercengang. Tiba-tiba ia teringat bahwa orang tua itu adalah Kakek Bambu Hijau yang dulu tinggal di luar Kota Luoyang. Orang tua inilah yang pertama kali mengajarkan dasar-dasar memainkan alat musik kecapi kepada Linghu Chong. Ia adalah cucu murid dari saudara Ren Woxing, sehingga memanggil Ren Yingying dengan sebutan “bibi”. Hal inilah yang menyebabkan Linghu Chong salah paham dan mengira gadis itu sebagai seorang nenek tua. Setelah berpisah di dermaga Luoyang waktu itu Linghu Chong tidak pernah bertemu Kakek Bambu Hijau sama sekali. Kini tahu-tahu orang tua itu sudah bergabung dengan Ren Woxing menyerbu Gunung Henhsan.
Sesaat kemudian jantung Linghu Chong terasa berdebar-debar. Ia berpikir, “Mengapa Yingying tidak kelihatan?”
Tiba-tiba terlintas suatu pikiran di dalam benaknya. Tampak jelas setiap anggota Partai Mentari dan Bulan memakai ikat pinggang berwarna putih seperti orang yang sedang berkabung. “Apakah Yingying telah bunuh diri karena tidak berhasil mencegah kehendak ayahnya yang ingin menyerbu dan membasmi Perguruan Henshan?” demikian pikirnya.
Seketika Linghu Chong merasa darahnya mendidih. Jantungnya pun berdebar semakin kencang. Hampir saja ia melangkah maju untuk bertanya kepada Xiang Wentian mengenai keadaan Ren Yingying. Namun begitu teringat Ren Woxing sedang duduk di dalam tandu ia batal melangkah.
Meskipun ada ribuan orang berkumpul di Puncak Xianxing, namun suasana ternyata sunyi senyap, bahkan tidak terdengar suara kicauan burung sama sekali. Ketika tandu besar itu berhenti dan ditaruh di atas tanah, seketika semua mata memandang ke arahnya dan menantikan Ren Woxing keluar dengan jantung berdebar-debar.
Pada saat itulah tiba-tiba dari dalam Biara Wuse terdengar suara gelak tawa beberapa orang. Salah satu dari mereka berseru dengan suara keras, “Lekas menyingkir, lekas menyingkir! Sekarang giliranku yang harus duduk di situ!”
“Sabar dulu, sabar dulu!” sahut seorang lagi menanggapi. “Kita harus bergiliran satu per satu, jangan berebut! Setiap orang pasti akan mencicipi betapa nyaman duduk di atas kursi sembilan naga ini!”
Seketika raut muka Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong berubah pucat. Dengan jelas mereka mendengar suara Enam Dewa Lembah Persik sedang berebut duduk di atas kursi kebesaran yang disediakan sebagai perangkap untuk Ren Woxing tersebut. Entah sejak kapan keenam orang sinting ini berhasil menyusup masuk ke dalam Biara Wuse dan menemukan kursi berhias indah yang sangat memesona itu. Kalau mereka duduk terlalu lama, maka pesawat rahasia akan segera bekerja menyulut sumbu bahan peledak. Jika ini sampai terjadi, tentu urusan akan menjadi unyam.
Maka dengan cepat Pendeta Chongxu berlari masuk ke dalam biara dan membentak, “Hei, lekas bangun, lekas bangun! Kursi pusaka ini khusus disediakan untuk Ketua Ren dari Partai Mentari dan Bulan! Kalian tidak boleh duduk di situ!”
“Mengapa tidak boleh duduk? Kami ingin duduk di sini!” sahut Enam Dewa Lembah Persik beramai-ramai.
Kembali mereka ribut sendiri tanpa memedulikan Chongxu. “Hei, kau sudah merasakannya, sekarang giliranku!”
“Wah, kursi ini sangat empuk dan mentul-mentul. Rasanya seperti duduk di atas perut seorang gendut!”
“Hah, apakah kau pernah duduk di atas perut orang gendut?”
Linghu Chong khawatir kursi yang diperebutkan Enam Dewa Lembah Persik itu benar-benar meledak sebelum waktunya. Jika ini sampai terjadi maka semua anggota Partai Mentari dan Bulan, serta orang-orang Henshan, Shaolin, dan Wudang akan ikut terbunuh. Gunung Henshan sendiri akan hancur lebur pula.
Semula Linghu Chong bermaksud masuk ke dalam biara untuk mengatasi keributan tersebut. Namun entah mengapa, dalam lubuk hatinya ia berbalik seakan-akan mengharapkan bahan peledak itu benar-benar meledak secepatnya. Ia merasa Ren Yingying sudah mati, maka untuk apa dirinya hidup lebih lama lagi.
Sekilas ia menoleh dan melihat sepasang mata indah milik Yilin sedang menatap ke arahnya. Begitu mereka berdua beradu pandang, lekas-lekas Yilin pun berpaling ke arah lain.
Dalam hati Linghu Chong merenung, “Adik Yilin masih berusia sangat muda, tapi dia harus ikut hancur pula oleh ledakan dahsyat nanti, bukankah ini sangat kasihan? Akan tetapi setiap manusia di dunia ini akhirnya pasti mati juga. Seandainya hari ini tidak terjadi pertempuran dan tercipta perdamaian, tetap saja semua orang yang ada di sini setelah seratus tahun juga tinggal tulang belulang saja.”
Kembali ia mendengar suara ribut Enam Dewa Lembah Persik masih belum mereda. Bahkan kini bertambah ramai. Seseorang berseru, “Hei, kau sudah duduk dua kali, sementara aku belum duduk sama sekali!”
“Yang pertama tadi aku belum duduk dengan baik sudah ditarik turun. Maka itu tidak boleh dihitung dan sekarang aku harus diberi kesempatan lagi…. Hei, apa-apaan ini?”
Rupanya sebelum duduk dengan baik ia kembali diseret turun dari atas kursi oleh saudara-saudaranya.
“Hei, aku ada akal. Begini saja, kita berenam saudara bisa sekaligus duduk berjejal di atas kursi ini. Coba lihat, bisa muat atau tidak?”
“Bagus sekali! Akal yang sangat bagus! Marilah kita duduk bersama-sama, hahaha!”
“Kau duduk duluan, lalu aku duduk bagian atas saja!”
“Tidak, tidak! Kau saja yang duduk di bawah dan aku di atas!”
“Yang paling tua duduk di atas, yang paling muda duduk di bawah.”
“Tidak bisa, tidak bisa! Yang paling tua duduk duluan, yang paling muda duduk terakhir di atas.”
Biksu Fangzheng merasa detik-detik berbahaya bisa terjadi setiap saat oleh perbuatan Enam Dewa Lembah Persik yang gila-gilaan itu. Sebaliknya, ia tidak mungkin berseru mencegah karena khawatir rahasia dalam kursi akan diketahui musuh. Terpaksa ia pun berlari ke dalam biara dan membentak, “Di luar ada tamu agung, kalian jangan bertengkar dan jangan ribut!”
Kata-kata “jangan ribut” sengaja diucapkan dengan disertai ilmu Auman Singa, salah satu ilmu tenaga dalam Perguruan Shaolin yang dahsyat. Enam Dewa Lembah Persik tidak tahan, lantas berjatuhan tak sadarkan diri. Bahkan Pendeta Chongxu yang berada di situ juga ikut pusing dan hampir roboh.
Dengan gembira Chongxu segera menyingkirkan keenam orang itu dari kursi pusaka tersebut dan kemudian menotok semua titik gerak dan titik bisu mereka. Keenamnya lalu didorong masuk ke bawah kolong meja persembahan Dewi Guanyin yang cukup besar di dalam biara tersebut. Setelah itu Chongxu memasang telinga di tepi kursi, dan ternyata tidak terdengar suara apa-apa. Ini berarti sumbu bahan peledak belum menyala. Seketika Chongxu merasa lega dan bersyukur, meskipun kepalanya masih pusing dan tubuhnya masih lemas. Andai saja Fangzheng tidak segera datang, tentu sumbu akan menyala dan hancurlah segalanya.
Fangzheng dan Chongxu lantas berjalan berdampingan keluar dari Biara Wuse. Sesampainya di tempat semula mereka pun berseru, “Silakan Ketua Ren masuk ke dalam menikmati hidangan teh!”
Akan tetapi tirai tandu itu tetap tertutup dan tidak terbuka sedikit pun. Ren Woxing juga tidak memberikan jawaban sama sekali.
Chongxu menjadi gusar. Ia berpikir, “Iblis tua ini sungguh tinggi hati. Padahal aku dan Biksu Fangzheng, serta Adik Linghu masih terhitung sebagai tiga tokoh terkemuka di dunia persilatan zaman ini. Kami berdiri menyambut padamu, tapi kau tidak menggubris sama sekali.”
Andai saja tidak teringat pada perangkap yang telah diaturnya di dalam kursi kebesaran itu, mungkin Chongxu sudah menerjang maju dengan pedangnya untuk melabrak Ren Woxing. Maka dengan menahan perasaan, pendeta tua itu kembali menyampaikan undangannya. Namun dari dalam tandu tetap saja tidak terdengar suatu jawaban.
Sejenak kemudian Xiang Wentian menempelkan telinganya ke dinding tandu. Kemudian ia tampak mengangguk beberapa kali, pertanda sedang menerima perintah dari sang ketua. Setelah cukup, ia kembali berdiri tegak dan berseru, “Ketua Ren menyatakan terima kasih atas penyambutan Biksu Fangzheng dari Perguruan Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Ketua kami sangat menghormati Beliau berdua. Kelak Ketua Ren tentu akan berkunjung secara langsung ke Gunung Shaoshi dan Gunung Wudang untuk meminta maaf.”
Fangzheng dan Chongxu sama-sama berpikir bahwa “datang secara langsung” adalah istilah kiasan untuk menyerbu perguruan mereka masing-masing.
Xiang Wentian kembali berkata, “Ketua Ren menyampaikan bahwa kedatangan Beliau ke Gunung Henshan kali ini adalah untuk mengadakan pertemuan dengan Ketua Linghu secara khusus. Maka itu, Ketua Linghu diharap menemui Beliau sendirian di dalam biara.”
Usai berkata demikian, Xiang Wentian langsung memberi isyarat. Keenam belas tukang pikul lantas menggotong tandu besar itu ke dalam Biara Wuse dan meletakkannya di dekat meja persembahan Dewi Guanyin. Xiang Wentian dan Kakek Bambu Hijau juga ikut masuk mendampingi. Sejenak kemudian mereka lantas keluar kembali bersama keenam belas tukang pikul tersebut. Kini di dalam biara hanya tinggal tandu besar itu saja.
Diam-diam Chongxu merasa sangsi, jangan-jangan tandu besar itu juga berisi perangkap pula. Maka itu ia pun berpaling dan memandang Fangzheng serta Linghu Chong. Pada dasarnya Fangzheng seorang jujur dan polos. Ia tidak biasa menghadapi bermacam-macam sifat licik manusia, sehingga dengan wajah bingung ia tidak tahu harus berbuat apa.
Sementara itu Linghu Chong tampak menjawab, “Kalau Ketua Ren hanya ingin bicara berdua saja denganku, tolong kedua Sesepuh menunggu sebentar di sini.”
“Kau harus tetap waspada,” pesan Chongxu dengan suara lirih.
Linghu Chong mengangguk, lalu masuk ke dalam biara dengan langkah lebar.
Meskipun menjadi biara utama, namun ukuran Biara Biara Wuse sebenarnya tidak terlalu besar. Kalau di dalam ruang sembahyang itu ada yang berbicara keras pasti akan langsung terdengar dari luar dengan jelas. Maka itu, Fangzheng dan yang lain pun mendengar Linghu Chong sedang berkata, “Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Ketua Ren.”
Akan tetapi tidak juga terdengar suara jawaban dari Ren Woxing. Justru sebaliknya, sejenak kemudian terdengar Linghu Chong berseru kaget.
Chongxu dan Fangzheng terkejut dan mengkhawatirkan keselamatan Linghu Chong. Hampir saja Chongxu menerjang ke dalam biara untuk membantu, namun lantas terpikir olehnya, “Ilmu pedang Adik Linghu boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini, rasanya tidak mungkin ia ditundukkan iblis tua aliran sesat itu hanya dalam sekali gebrak. Andaikan betul Adik Linghu mengalami nasib malang, maka aku akan segera berlari masuk ke sana untuk menolongnya dan ini juga belum terlambat. Semoga iblis tua bermarga Ren tidak mencelakai Adik Linghu, lalu dia melihat kursi mewah itu dan duduk di atasnya dengan gembira. Kalau aku menerjang ke dalam jangan-jangan malah membuat urusan menjadi runyam.”
Tapi perasaannya kemudian menjadi tidak tenteram. Ia kembali berpikir, “Kalau Ren Woxing benar-benar telah duduk di atas kursi itu, sebentar kemudian sumbu bahan peledak tentu akan mulai bekerja dan Puncak Xianxing ini pasti akan hancur lebur. Semua orang yang berada di sini sudah pasti akan menjadi korban. Kalau aku melarikan diri sekarang juga tentu akan terlihat seperti pengecut, serta menimbulkan kecurigaan Xiang Wentian. Kemudian ia pasti memberi peringatan kepada begundalnya untuk mengundurkan diri, sehingga semua rencana yang telah kuatur menjadi gagal total. Sebaliknya, kalau gunung ini sampai meledak, sehebat apapun ilmuku juga tidak bisa lolos dari maut. Apa yang harus kulakukan?”
Sebenarnya Chongxu sudah merencanakan segala sesuatunya dengan matang. Dalam perhitungannya mula-mula pasukan Partai Mentari dan Bulan akan menyerbu ke puncak gunung habis-habisan. Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, pihaknya pun meloloskan diri melalui tali panjang yang sudah dipasang di tepi jurang. Setelah mendapat kemenangan, tentu Ren Woxing akan duduk di atas kursi kebesaran dan ledakan dahsyat pun terjadi. Tak disangka, kedatangan pihak aliran sesat itu ternyata tidak langsung menyerang dengan kekerasan, tetapi diawali dengan cara sopan. Bahkan Ren Woxing juga meminta bertemu muka secara khusus dengan Linghu Chong di dalam biara. Semua yang terjadi kali ini benar-benar di luar perhitungan Chongxu. Meskipun sangat cerdas, namun dalam keadaan seperti ini ia merasa kehilangan akal dan tidak tahu harus berbuat apa.
Biksu Fangzheng juga menyadari keadaan sangat gawat, dan ia pun mengkhawatirkan keselamatan Linghu Chong. Namun karena ilmu kebatinannya sangat dalam, perasaanya pun lebih sabar. Baginya, hidup atau mati, kalah atau menang, semua bukan hal yang luar biasa. Bagaimanapun manusia berusaha, tetap saja takdir yang menentukan hasilnya. Jika takdir sudah berbicara, siapa pun tidak bisa memaksakan kehendaknya. Oleh karena itu meskipun dalam hati Fangzheng juga merasa khawatir, namun sikapnya tetap terlihat tenang. Apabila perangkap tersebut benar-benar meledak sehingga tubuhnya ikut hancur lebur, maka ini adalah jalan baginya untuk menuju kesempurnaan, kenapa harus ditakuti?
Adanya perangkap bahan peledak pada kursi sembilan naga memang sangat dirahasiakan. Selain Chongxu, Fangzheng, dan Linghu Chong, beberapa orang lainnya yang mengetahui siasat ini, seperti Qingxu dan Chenggao serta pembantu-pembantu mereka sedang menunggu di pinggang gunung. Begitu terdengar adanya ledakan di puncak, segera mereka pun menyulut sumbu bahan peledak yang sudah ditanam di semua jalur turun gunung.
Kini tidak seorang pun mengetahui apa yang akan terjadi. Orang-orang Shaolin, Wudang, dan Henshan masing-masing sedang menunggu hasil pembicaraan antara Linghu Chong dan Ren Woxing. Apabila tidak terjadi kesepakatan dalam pembicaraan itu, serentak mereka lantas mengangkat senjata menghadapi orang-orang Partai Mentari dan Bulan.
Namun setelah ditunggu sekian lama ternyata tidak terdengar suara apapun dari dalam biara tersebut. Hanya pada awal-awal saja terdengar suara Linghu Chong menyapa dengan lantang, namun kemudian tidak terdengar suara lagi. Chongxu merasa khawatir. Ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk mendengarkan dengan cermat. Sayup-sayup terdengar olehnya suara Linghu Chong yang sangat lirih seperti sedang berbicara sesuatu. Seketika hati Chongxu merasa lega karena Linghu Chong ternyata tidak menderita apa-apa di dalam biara tersebut.
Karena pemusatan pikirannya sedikit terpencar, suara yang lirih itu sukar ditangkap lagi. Hal ini membuat Chongxu menjadi ragu-ragu apakah suara tadi benar-benar suara Linghu Chong atau bukan. Jangan-jangan ia salah dengar atau mungkin hanya khayalannya sendiri saja.
Untungnya tidak lama kemudian terdengar Linghu Chong berseru lantang dari dalam biara, “Kakak Xiang, silakan masuk untuk mengiringi Ketua Ren keluar dari biara!”
“Baik!” sahut Xiang Wentian. Bersama Kakek Bambu Hijau, mereka pun memimpin keenam belas tukang pikul tandu tadi bergegas masuk ke dalam biara. Sejenak kemudian tandu besar itu kembali digotong keluar. Serentak semua anggota Partai Mentari dan Bulan yang berada di luar biara membungkuk dan menyampaikan salam hormat, “Kami menyambut kembalinya Ketua Agung yang mahabijaksana.”
Sesampainya di tempat semula, para tukang pikul itu lantas berhenti melangkah dan menaruh tandu besar itu ke bawah.
Tiba-tiba Xiang Wentian berseru, “Bawa kemari hadiah untuk Biksu Fangzheng, ketua Biara Shaolin!”
Segera terlihat dua orang anggota partai masing-masing membawa sebuah nampan berjalan ke hadapan Fangzheng dengan sikap sangat sopan. Keduanya lantas membungkuk dan mempersembahkan nampan masing-masing kepada biksu tua tersebut.
Fangzheng melihat di atas salah satu nampan terdapat seuntai tasbih berusia tua, sedangkan pada nampan yang lain terdapat sebuah kitab kuna. Pada sampul kitab itu tertulis huruf Sansekerta yang berbunyi: “Kitab Jingang”.
Sungguh tidak terlukiskan betapa gembira perasaan hati Biksu Fangzheng. Selama hidup ia banyak mempelajari kitab agama Buddha, dan salah satunya adalah Kitab Jingang. Akan tetapi yang biasa ia baca adalah kitab terjemahan dalam bahasa Cina peninggalan Kerajaan Jin Timur. Pernah suatu ketika ia menemukan beberapa bagian dari kitab itu yang tidak jelas dan sulit untuk dipecahkan. Tentu saja sudah lama ia berusaha mencari Kitab Jingang dalam bahasa asli sebagai perbandingan namun belum juga menemukannya. Kini begitu melihat kitab yang menjadi idamannya itu berada di depan mata, sudah pasti ia merasa sangat bahagia.
Segera Fangzheng memberi hormat dan berkata, “Amitabha. Saya sungguh bersyukur dapat menemukan kitab suci ini. Keberuntungan saya sungguh besar dan tidak terlukiskan.”
Setelah menjulurkan kedua tangan untuk mengambil kitab suci serta tasbih kuna tersebut, ia kembali berkata dengan hormat, “Terima kasih banyak atas hadiah besar dari Ketua Ren ini. Entah bagaimana saya harus membalasnya?”
Xiang Wentian menjawab, “Ketua kami mengatakan bahwa Partai Mentari dan Bulan telah banyak berbuat kasar terhadap para kesatria. Dalam hal ini kami sungguh merasa malu. Asalkan Biksu Ketua tidak marah atau menegur, maka Partai Mentari dan Bulan merasa sangat bersyukur dan berterima kasih.”
Usai berkata demikian ia kembali berseru, “Bawa kemari hadiah untuk Pendeta Chongxu, ketua Perguruan Wudang!”
Kembali dua anggota partai maju ke muka sambil mengangkat nampan masing-masing dan menghadapkannya kepada Pendeta Chongxu dengan sikap hormat.
Dari jauh Chongxu sudah melihat di atas salah satu nampan itu terdapat sebatang pedang. Sesudah kedua orang itu mendekat, dilihatnya sarung pedang itu terbuat dari tembaga berwarna hijau loreng, dan bertuliskan nama “Zhenwu”.
Tanpa sadar Chongxu berseru kaget melihat pedang pusaka tersebut. Konon cikal bakal pendiri Perguruan Wudang, yaitu Pendeta Zhang Sanfeng, memiliki sebatang pedang pusaka yang diberi nama Pedang Zhenwu, yang selalu dipandang sebagai pusaka perguruan. Sekitar delapan puluh tahun yang lalu, pada suatu malam Gunung Wudang pernah didatangi beberapa pemuka Partai Mentari dan Bulan yang berkepandaian tinggi. Mereka berhasil mencuri Pedang Zhenwu serta sejilid kitab pusaka berjudul Kitab Taiji, tulisan tangan Zhang Sanfeng sendiri.
Pencurian tersebut memang dapat diketahui dan segera terjadi pertarungan sengit saat itu juga. Dalam pihak Wudang telah tewas tiga orang tokoh papan atas, sementara pihak Partai Mentari dan Bulan terbunuh empat orang menjadi korban. Meskipun demikian, pedang dan kitab pusaka Perguruan Wudang itu tidak berhasil direbut kembali. Peristiwa ini benar-benar merupakan aib yang memalukan bagi Wudang. Sejak kejadian itu, para ketua dari setiap angkatan selalu meninggalkan pesan agar pedang dan kitab pusaka tersebut dapat dicari dan ditemukan kembali.
Akan tetapi Tebing Kayu Hitam selalu dijaga ketat dan sulit untuk ditembus. Beberapa kali pihak Wudang berusaha secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi untuk merebut kembali kedua benda pusaka tersebut, tapi selalu gagal dengan meninggalkan korban di atas Tebing Kayu Hitam. Sungguh tidak disangka, pedang pusaka itu kini tiba-tiba muncul di Puncak Xianxing.
Ternyata tidak hanya Pedang Zhenwu yang muncul kembali. Sewaktu Chongxu melirik nampan yang satunya, tampak sejilid kitab kuna yang warnanya sudah agak luntur tertaruh di atasnya. Pada sampul kitab itu tertulis nama “Kitab Taiji”. Selain kitab ini Zhang Sanfeng masih meninggalkan beberapa kitab hasil tulisan tangannya sendiri. Maka begitu melihat kitab di atas nampan tersebut, Chongxu segera dapat mengenali bahwa kitab ini memang benar-benar Kitab Taiji yang asli.
Dengan kedua tangan gemetar Chongxu memegang pedang pusaka itu. Begitu sebagian dilolos keluar secara perlahan-lahan, seketika terasa hawa dingin yang menusuk. Ia paham Zhang Sanfeng sewaktu lanjut usia telah mencapai tingkatan ilmu pedang yang sangat tinggi, sehingga jarang sekali memakai senjata. Andaikan terpaksa harus menggunakan pedang, maka yang ia gunakan tentu hanyalah pedang biasa atau pedang kayu saja. Pedang Zhenwu ini adalah senjata yang dipakai Zhang Sanfeng semasa muda untuk menumpas kejahatan di muka bumi. Pedang pusaka ini sangat tajam luar biasa dan pernah menggetarkan dunia persilatan.
Chongxu masih khawatir tertipu oleh Ren Woxing, maka ia pun membalik-balik lembaran Kitab Taiji itu. Dilihatnya tulisan-tulisan pada halaman kitab tersebut memang benar-benar tulisan tangan Zhang Sanfeng. Ia lantas mengembalikan kitab tersebut ke atas nampan untuk kemudian berlutut dan menyembah kepada kedua pusaka itu. Setelah berdiri kembali ia berkata, “Terima kasih banyak atas kemurahan hati Ketua Ren sehingga benda pusaka peninggalan leluhur kami dapat kembali. Sekalipun tubuhku hancur lebur juga sukar membalas budi baik Ketua Ren.”
Usai berkata demikian barulah ia dapat menerima pedang dan kitab pusaka itu dengan perasaan tenang. Begitu terharu perasaannya sampai-sampai kedua tangannya masih saja gemetar tanpa henti.
Xiang Wentian menjawab, “Ketua kami berkata, sejak dulu Partai Mentari dan Bulan kami telah banyak mengganggu Perguruan Wudang, sungguh kami merasa malu. Maka itu, benda-benda pusaka ini biarlah kembali ke asalnya. Harap Perguruan Wudang sudi memberi maaf.”
“Ketua Ren terlalu merendah,” sahut Chongxu.
Xiang Wentian kembali berseru, “Sekarang, bawa kemari hadiah untuk Ketua Linghu dari Perguruan Henshan!”
Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu sama-sama berpikir entah hadiah macam apa yang akan dihadiahkan Ren Woxing kepada Linghu Chong, mengingat hadiah untuk mereka saja adalah benda-benda pusaka yang tak ternilai harganya.
Sejenak kemudian tampak dua puluh orang laki-laki muncul sambil membawa nampan menuju ke arah Linghu Chong. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, namun benda yang mereka bawa ternyata bukan sesuatu yang istimewa. Dengan jelas dapat terlihat isi nampan itu tidak lebih hanya berupa pakaian, kopiah, sepatu, poci teh, cawan teh, serta alat-alat kebutuhan sehari-hari lainnya. Walaupun benda-benda itu serbabaru dan juga sangat indah, namun terkesan biasa saja jika dibandingkan dengan benda pusaka yang diterima Fangzheng dan Chongxu. Hanya saja ada dua buah nampan yang sedikit aneh. Yang satu berisi sebuah seruling dan yang satunya lagi berisi sebuah kecapi kuna. Kedua benda ini tampaknya jauh lebih berharga daripada yang lain.
Linghu Chong lantas memberi hormat dan berkata, “Terima kasih banyak.” Ia kemudian memerintahkan Yu Sao dan yang lain menerima hadiah-hadiah itu.
Xiang Wentian kembali berbicara, “Ketua kami berkata, kedatangan kami ke Henshan kali ini telah banyak menimbulkan gangguan. Maka itu, partai kami membawakan hadiah untuk para murid Henshan dari kalangan biksuni berupa jubah dan kopiah baru, serta sebilah pedang. Sementara untuk para murid Henshan dari kalangan umum, kami bawakan hadiah berupa perhiasan dan sebilah pedang pula. Hadiah ini semoga dapat diterima. Selain itu Partai Mentari dan Bulan juga telah membeli sawah seluas lima hektare di kaki gunung ini untuk diberikan kepada Biara Wuse. Baiklah, sekarang juga kami mohon diri.”
Usai berkata demikian ia lantas memberi hormat kepada Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong, lalu berbalik dan melangkah pergi.
“Tuan Xiang!” sahut Chongxu memanggil.
Xiang Wentian berpaling kembali, dan bertanya dengan tersenyum, “Apakah Pendeta ada pesan untukku?”
Chongxu menjawab, “Tanpa berjasa apa-apa, tiba-tiba kami menerima hadiah besar dari Ketua Ren. Sungguh kami merasa tidak enak hati. Entah… entah….” sampai di sini ia tidak dapat meneruskan kembali. Sebenarnya ia ingin bertanya, “entah ada maksud apa di balik pemberian ini?”, namun ternyata tidak sanggup mengucapkannya.
Xiang Wentian hanya tertawa dan kembali memberi hormat sambil berkata, “Benda pusaka telah kembali ke asalnya. Hal ini sudah semestinya, kenapa Pendeta merasa tidak enak hati?”
Ia lantas memutar tubuh kembali dan berseru, “Ketua memerintahkan berangkat!”
Serentak suara tetabuhan kembali berbunyi. Kesepuluh pemuka berjalan di depan sebagai pembuka jalan, sedangkan keenam belas tukang pikul lantas mengangkat tandu besar dan melangkah turun ke bawah gunung. Para penabuh tambur dan peniup terompet mengikuti di belakang. Barisan paling akhir adalah para anggota partai yang berjalan secara rapi dan teratur sesuai warna seragam masing-masing.
Sepeninggal orang-orang Partai Mentari dan Bulan tersebut, Fangzheng dan Chongxu sama-sama menatap Linghu Chong tanpa berkata apapun. Dalam hati mereka timbul pertanyaan yang sama, “Mengapa Ketua Ren tidak jadi menghancurkan Perguruan Henshan? Seluk-beluk masalah ini hanya kau saja yang tahu.”
Namun dari raut muka Linghu Chong sedikit pun tidak tampak suatu perubahan yang dapat memberikan jawaban bagi pertanyaan mereka ini. Yang terlihat adalah wajah Linghu Chong itu sesekali senang dan sesekali agak berduka.
Orang-orang Partai Mentari dan Bulan sepertinya sudah pergi jauh. Suara tetabuhan yang bergemuruh tadi sudah tidak terdengar lagi. Teriakan semboyan-semboyan mereka pun lenyap pula. Mereka datang dengan lagak gagah penuh wibawa, tapi kini pergi begitu saja tanpa terjadi apa-apa. Keadaan di Gunung Henshan telah sunyi kembali.
Chongxu tidak tahan lagi. Segera ia bertanya, “Adik Linghu, tiba-tiba saja Ketua Ren sedemikian murah hati, tentu karena dia menghargai dirimu. Entah tadi… tadi….” Sebenarnya ia ingin bertanya “entah tadi apa yang kalian bicarakan”. Namun teringat olehnya bahwa pembicaraan itu kalau memang boleh diceritakan tentu sudah diceritakan oleh Linghu Chong. Sebaliknya kalau memang sesuatu yang rahasia, maka pertanyaannya justru terkesan tidak pantas. Oleh karena itu, ia pun mengurungkan niat melanjutkan pertanyaan tersebut.
Tentu saja Linghu Chong dapat memahami pikiran Chongxu, sehingga ia berkata, “Harap kedua Sesepuh sudi memaafkan. Masalahnya saya telah berjanji kepada Ketua Ren, sehingga seluk-beluk permasalahan ini untuk sementara tidak dapat kukatakan. Namun dalam masalah ini sesungguhnya juga tidak ada suatu rahasia penting. Tidak lama lagi tentu kedua Sesepuh juga akan mengetahuinya.”
Fangzheng bergelak tawa lalu berkata, “Suatu bencana besar dalam sekejap telah lenyap. Ini benar-benar keuntungan untuk segenap dunia persilatan. Melihat gerak-gerik Ketua Ren tadi, tampaknya memang tidak ada tanda-tanda permusuhan dengan golongan kita. Maka itu kita benar-benar harus bersyukur dan berbahagia karena malapetaka yang hampir menimbulkan banjir darah ini tidak sampai terjadi.”
(Bersambung)
Bagian 85 ; Bagian 86 ; Bagian 87