Bagian 62 - Legenda Kitab Bunga Mentari

Begitu teriakan itu lenyap, muncul lima orang melesat ke atas, sementara di belakang mereka menyusul rombongan berisi puluhan orang. Kelima orang itu masing-masing membawa sebuah panji sulaman, yang tidak lain adalah Panji Pancawarna lambang kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung. Kira-kira beberapa meter di depan Linghu Chong, kelima orang itu lantas berdiri berjajar. Yang berdiri di tengah seorang berkepala gundul licin, berusia lima puluhan tahun. Linghu Chong mengenali orang itu adalah Ding Mian, salah seorang tokoh terkemuka Perguruan Songshan. Ia adalah adik seperguruan Zuo Lengchan yang dulu ikut serta membantai keluarga Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan.
“O, ternyata Saudara Ding yang datang,” ujar Linghu Chong menyapa.Ding Mian mengibaskan panji yang dipegangnya, lalu berkata, “Perguruan Henshan adalah anggota Serikat Pedang Lima Gunung, maka harus tunduk kepada perintah Ketua Zuo.”
Linghu Chong tersenyum menjawab, “Setelah aku menjabat sebagai ketua Perguruan Henshan, apakah untuk selanjutnya kami masih menjadi anggota Serikat Pedang Lima Gunung atau tidak, harus kupikirkan dulu.”
Sementara itu, rombongan beberapa puluh orang yang berjalan di belakang tadi juga sudah tiba pula. Ternyata mereka adalah murid-murid dari Perguruan Songshan, Hengshan, Huashan, dan Taishan. Yang berasal dari Huashan adalah adik-adik seperguruan Linghu Chong. Puluhan orang itu berbaris menjadi empat kelompok sesuai perguruan masing-masing dalam keadaan siap siaga tanpa bersuara sedikit pun.
Ding Mian lantas berkata, “Selama ini Perguruan Henshan dipimpin seorang biksuni. Sebagai laki-laki mana boleh Linghu Chong melanggar peraturan Perguruan Henshan yang sudah turun-temurun selama ratusan tahun?”
“Peraturan dibuat oleh manusia dan sudah tentu dapat diubah pula oleh manusia. Ini adalah urusan dalam Perguruan Henshan kami, orang luar tidak perlu ikut campur,” sahut Linghu Chong.
Serentak terdengar caci maki Lao Touzi dan kawan-kawannya, “Huh, ini urusan Perguruan Henshan. apa hubungannya dengan Perguruan Songshan kalian?” Ada juga yang berteriak, “Huh, ketua serikat apa pula? Ketua serikat kentut anjing!”
Mendengar itu Ding Mian berkata kepada Linghu Chong, “Apa yang dikerjakan orang-orang bermulut kotor ini di sini?”
“Mereka adalah kawan-kawanku yang hadir menyaksikan upacara,” sahut Linghu Chong.
“Itu dia,” kata Ding Mian. “Coba katakan padaku, apa peraturan nomor lima Perguruan Henshan kalian?”
Merasa terus menerus didesak, Linghu Chong terpaksa melayani Ding Mian berdebat. “Peraturan kelima adalah dilarang bergaul dengan golongan hitam. Maka itu, Linghu Chong tidak sudi bergaul dengan manusia semacam Saudara Ding ini.”
Maka terdengarlah suara gemuruh tawa banyak orang. Di antara mereka ada yang berteriak-teriak, “Nah, lekas enyah dari sini, manusia jahat!”
Ding Mian saling pandang dengan keempat rekannya. Para hadirin yang mendukung Linghu Chong terlalu banyak. Jika sampai terjadi pertempuran tentu pihaknya dalam keadaan bahaya. Ia berpikir, “Kakak Zuo mengirim kami untuk menekan Perguruan Henshan yang beranggotakan para perempuan. Meskipun ilmu silat Linghu Chong sangat tinggi, namun ia tidak mungkin menang melawan kami semua. Tapi tak disangka, ternyata tamu yang datang mendukungnya berjumlah sebanyak ini. Sungguh berbahaya.”
Maka, ia pun berpaling kepada Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu lalu berkata, “Ketua berdua adalah tokoh-tokoh yang diagungkan di dunia persilatan. Kami mohon diberi penilaian yang adil. Dengan mendatangkan setan iblis sebanyak ini, bukankah Linghu Chong sudah melanggar peraturan kelima Perguruan Henshan yaitu larangan bergaul dengan kaum penjahat. Tampaknya Perguruan Henshan yang punya nama baik selama beratus-ratus tahun ini akan runtuh begitu saja. Apakah Ketua berdua hanya berpeluk tangan?”
Biksu Fangzheng menjawab, “Tentang hal ini… ini….” Ia merasa ucapan Ding Mian memang beralasan. Sebagian besar orang yang hadir ini memang dari golongan hitam, mana mungkin meminta Linghu Chong mengusir orang-orang sebanyak itu?
Tiba-tiba dari arah jalanan berkumandang suara seorang perempuan, “Nona Ren dari Partai Mentari dan Bulan tiba!”
Terkejut dan senang Linghu Chong mendengarnya. Tanpa terasa mulutnya berkata, “Hei, Yingying juga datang!” Segera ia menyongsong ke ujung jalan itu. Dilihatnya dua lelaki kekar menggotong sebuah tandu sedang mendaki ke atas. Langkah mereka cepat bagaikan terbang. Di belakang tandu itu tampak empat orang dayang berbaju hijau melangkah tidak kalah cepat pula.
Begitu mendengar kedatangan Ren Yingying, sebagian besar jago-jago yang hadir itu ikut menyongsong ke jalan sambil bersorak ramai. Tampak sebuah tandu kecil telah sampai di tengah pelataran dan diturunkan ke tanah. Saat tirai dibuka, keluar seorang gadis jelita berbaju hijau muda. Ternyata yang datang benar-benar Ren Yingying.
“Putri Suci! Putri Suci!” serentak para hadirin bersorak sambil membungkukkan tubuh. Jelas mereka sangat hormat dan segan kepada gadis itu. Suatu rasa hormat yang tulus dari hati, bukan dibuat-buat.
“Kau datang juga, Yingying?” sahut Linghu Chong menyapa sambil mendekati dengan tersenyum.
“Hari ini adalah hari bahagiamu, mana boleh aku tidak datang?” jawab Ren Yingying dengan senyuman manis. Pandangannya menyapu ke sekeliling melintasi muka setiap hadirin. Ia lalu sedikit membungkuk kepada Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu sambil berseru, “Biksu Ketua, Pendeta Ketua, terimalah salamku!”
Fangzheng dan Chongxu membalas hormat sambil berpikir, “Bagaimanapun akrabnya engkau dengan Linghu Chong, seharusnya jangan datang kemari. Sekarang Linghu Chong benar-benar dalam keadaan serbasusah.”
Tiba-tiba Ding Mian berseru, “Nona ini adalah tokoh penting dari Bukit Kayu Hitam. Betul tidak, Linghu Chong?”
“Kau benar, lantas mau apa?” sahut Linghu Chong.
“Peraturan kelima Perguruan Henshan adalah dilarang bergaul dengan kaum jahat. Bila tidak kau putuskan hubunganmu dengan manusia-manusia sesat ini, maka kau tidak boleh menjadi ketua Perguruan Henshan,” kata Ding Mian.
“Tidak menjadi ketua juga boleh. Apa pentingnya hal itu?” jawab Linghu Chong.
Ren Yingying tersentuh mendengar ucapan itu. Demi dirinya Linghu Chong tidak peduli apa pun. Ia lantas bertanya, “Ketua Linghu, dari manakah kawan ini berasal? Mengapa dia ke sini mencampuri urusan Perguruan Henshan kalian?”
“Dia mengaku diutus oleh Ketua Zuo dari Perguruan Songshan. Panji yang ia pegang itu adalah panji kebesaran Ketua Zuo,” kata Linghu Chong. “Hm, jangankan cuma sebuah panji kecil begitu, sekalipun Ketua Zuo sendiri yang datang juga tidak berhak mencampuri urusan Perguruan Henshan kami.”
“Tepat,” kata Yingying sambil mengangguk. Ia merasa gemas saat teringat kelicikan Zuo Lengchan ketika bertanding melawan ayahnya di Biara Shaolin tempo hari. Tenaga dalam mahadingin yang dilancarkan Zuo Lengchan membuat ayahnya terluka dan hampir kehilangan nyawa. Ia lantas berkata, “Siapa bilang itu panji kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung? Dia penipu….” belum habis ucapannya, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan, tahu-tahu sebelah tangannya sudah memegang sebilah pedang pendek dan digunakannya untuk menikam ke arah dada Ding Mian.
Ding Mian sama sekali tidak menduga bahwa gadis jelita itu sedemikian cekatan, menerjangnya dengan cara licik. Untuk menangkis jelas tidak sempat lagi, terpaksa ia mengelak ke samping. Ternyata serangan Ren Yingying itu hanya pancingan belaka. Begitu menggeser ke samping, pegangan Ding Mian menjadi kendur. Panji Pancawarna yang ada di tangan kanannya pun dapat dirampas oleh si nona.
Ren Yingying tidak lantas berhenti sampai di situ. Berturut-turut pedang pendeknya menikam empat kali dan sekaligus pula empat buah panji lainnya sudah berpindah tangan. Keempat pemegang panji tersebut adalah saudara-saudara seperguruan Zuo Lengchan dan Ding Mian yang rata-rata berilmu tinggi. Padahal kelima serangan yang digunakan Ren Yingying semua sama, namun kecepatannya luar biasa sehingga sebelum lawan sempat berpikir apa yang terjadi, tahu-tahu panji di tangan mereka sudah hilang. Gadis itu lalu memutar ke belakang Linghu Chong dan berkata, “Ketua Linghu, panji-panji ini semuanya palsu. Mana bisa dikatakan panji Serikat Pedang Lima Gunung? Ini semua Panji Pancabisa milik Partai Lima Dewi.”
Waktu ia membentang kelima panji tersebut, tampak dengan jelas panji-panji itu masing-masing tersulam gambar ular, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan katak berbisa, sama sekali bukan Panji Pancawarna milik Serikat Pedang Lima Gunung.
Ding Mian dan kawan-kawannya ternganga, tidak tahu harus bicara apa. Sebaliknya, Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan para hadirin lainnya lantas bersorak memuji. Mereka tahu, begitu merampas Panji Pancawarna itu Ren Yingying segera menukarnya dengan Panji Pancabisa dengan sangat cepat sehingga tak seorang pun sempat melihat perbuatannya itu.
“Ketua Lan!” seru Ren Yingying.
Seorang wanita cantik berpakaian suku Miao tampil ke depan dan menjawab, “Saya di sini. Silakan Putri Suci memberi perintah!” Perempuan itu tidak lain Lan Fenghuang, ketua Partai Lima Dewi yang terkenal.
“Panji Pancabisa milik aliranmu ini mengapa bisa jatuh ke tangan orang-orang Perguruan Songshan?” tanya Ren Yingying.
“Murid-murid Perguruan Songshan ini adalah teman-teman akrab anak buah perempuanku. Mungkin mereka telah memakai kata-kata manis sehingga Panji Pancabisa milik aliran kami bisa jatuh ke tangan mereka,” jawab Lan Fenghuang sambil tertawa.
“O, begitu. Ini kukembalikan panji-panjimu,” kata Ren Yingying sambil melemparkan kelima buah panji kecil itu.
“Terima kasih, Putri Suci,” sahut Lan Fenghuang sambil menyambut panji-panji partainya.
“Perempuan siluman, di depanku kau berani main gila seperti itu. Lekas kembalikan panji-panji serikat kami!” seru Ding Mian mendamprat.
“Kalau kau menginginkan Panji Pancabisa, kenapa tidak minta kepada Ketua Lan saja?” ujar Yingying tertawa.
Dengan kesal Ding Mian terpaksa berpaling kepada Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. “Biksu Ketua dan Pendeta Chongxu, hendaklah kalian berdua sudi memberi keadilan.”
“Tentang peraturan Perguruan Henshan memang… memang ada satu pasal yang melarang bergaul dengan orang jahat,” kata Biksu Fangzheng. “Hanya saja… hanya saja hari ini banyak kawan persilatan yang hadir menyaksikan upacara ini sehingga Ketua Linghu terpaksa tidak bisa menutup pintu dan membuat malu tamu-tamunya….”
Tiba-tiba Ding Mian menunjuk seseorang di antara para hadirin sambil berseru, “Hei, hei, aku mengenal pemerkosa biadab ini. Dia Tian Boguang yang sedang menyamar sebagai biksu. Apakah manusia macam ini juga kawan Linghu Chong?” Ia diam sejenak lalu berteriak dengan nada bengis, “Hei, Tian Boguang, kau mau apa datang ke Gunung Henshan ini?”
“Saya datang ke sini untuk berguru,” jawab Tian Boguang.
“Berguru?” sahut Ding Mian menegas.
“Betul,” jawab Tian Boguang sambil kemudian berjalan mendekati Yilin. Di hadapan biksuni muda itu ia berlutut dan menyembah, “Guru, terimalah hormat muridmu. Nama kebuddhaanku adalah Bubujie.”
Wajah Yilin merona merah menahan malu. “Kau… kau….” dengan tergagap-gagap ia bergeser ke samping menghindari penghormatan itu.
Ren Yingying tersenyum dan berkata, “Tuan Tian telah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Ini sangat bagus. Ia bahkan menjadi biksu dengan gelar Bubujie, artinya tidak tanpa pantangan. Biksu Fangzheng, barangsiapa yang mau menyadari kesalahannya akan mendapat jalan pencerahan dari Sang Buddha, betul tidak?”
“Benar,” sahut Biksu Fangzheng. “Biksu Bubujie telah mengabdikan diri ke dalam Perguruan Henshan dan tunduk kepada peraturan yang berlaku. Ini benar-benar suatu berkah bagi dunia persilatan.”
Ren Yingying lantas berseru, “Nah, dengarkan, kawan-kawan! Kedatangan kita hari ini adalah untuk bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Apabila Ketua Linghu sudi menerima, maka kita lantas terhitung sebagai anggota Perguruan Henshan. Nah, kalau sudah menjadi anak buah Perguruan Henshan apakah masih boleh disebut sebagai kaum jahat?”
Baru sekarang Linghu Chong paham. Rupanya kedatangan Ren Yingying dan orang banyak itu memang berencana untuk membelanya. Ia merasa sangat kebetulan dengan bertambahnya anggota laki-laki sebanyak itu. Tentu setelah ini tidak ada lagi orang yang mengolok-olok dirinya sebagai ketua kaum biksuni. Dengan suara lantang ia pun bertanya, “Kakak Yihe, apakah dalam peraturan perguruan kita adalah larangan menerima anggota laki-laki?”
Yihe menjawab, “Larangan menerima anggota laki-laki memang tidak ada, hanya saja… hanya saja….” Yihe bingung dibuatnya. Pikirannya tidak bisa bekerja. Dalam hati ia merasa tidak enak juga karena Perguruan Henshan mendadak harus bertambah sekian banyak murid laki-laki.
Linghu Chong melanjutkan, “Sungguh bagus jika kalian mau menjadi anggota Perguruan Henshan. Namun di sini kalian tidak perlu mengangkat guru segala, cukup menjadi anggota saja. Untuk selanjutnya, dalam Perguruan Henshan akan dibentuk suatu… eh suatu… suatu ’dewan istimewa’ yang beranggotakan kalian semua. Kurasa Lembah Tong Yuan di sebelah sana cocok untuk tempat tinggal kalian.”
Lembah Tong Yuan terletak tidak jauh di sebelah Puncak Xianxing, yaitu puncak tertinggi Gunung Henshan di mana biara induk berada. Berdasarkan legenda dari zaman Dinasti Tang, di lembah itu dulu Zhang Guolao bertapa untuk menjadi dewa. Juga terdapat sebuah batu besar yang mengandung banyak jejak kaki keledai. Jika ini bukan perbuatan kaum dewa, bagaimana mungkin bisa terjadi demikian? Saat itu Kaisar Tang Xuanzong lantas memberi gelar Tuan Tong Yuan kepada Zhang Guoluo.
Lembah Tong Yuan memang tidak jauh, namun kalau hendak menuju Puncak Xianxing harus melalui jalanan yang terjal dan berbahaya. Dengan menempatkan orang-orang kasar itu di lembah terpencil tersebut Linghu Chong bermaksud memisahkan mereka dari para biksuni dan murid perempuan.
Biksu Fangzheng manggut-manggut dan berkata, “Baik sekali cara mengatur ini. Dengan masuknya para kawan persilatan ini ke dalam Perguruan Henshan dan terikat pula oleh tata tertib yang berlaku, hal ini benar-benar suatu berkah pula bagi dunia persilatan.”
Karena yang berkata demikian seorang tokoh agung, terpaksa Ding Mian tidak berani merintangi lagi. Maka, ia pun menyampaikan perintah kedua dari Zuo Lengchan, “Ketua Serikat Pedang Lima Gunung memberi perintah agar pada pagi hari tanggal lima belas bulan tiga nanti setiap anggota perserikatan kita berkumpul di Gunung Songshan untuk memilih ketua Partai Lima Gunung. Hendaknya perintah ini dipatuhi dan semua orang datang tepat pada waktunya.”
“Partai Lima Gunung? Jadi peleburan Serikat Pedang Lima Gunung sudah ditetapkan? Lantas siapakah yang mengambil prakarsa peleburan ini?” tanya Linghu Chong.
“Yang jelas Perguruan Songshan, Hengshan, Taishan, dan Huashan sudah setuju,” sahut Ding Mian. “Jika Perguruan Henshan punya pendirian berbeda, maka itu berarti kalian bermusuhan dengan keempat perguruan yang lain dan berarti pula kau mencari penyakit sendiri.” Ia lantas menoleh dan bertanya kepada orang-orang yang ikut datang bersamanya, “Betul, tidak?”
“Betul!” serentak puluhan orang yang berdiri di belakangnya itu menjawab.
Ding Mian mendengus dan tidak berbicara lagi. Ia memutar tubuh untuk kemudian melangkah pergi. Setelah beberapa langkah ia menoleh ke arah Ren Yingying karena teringat Panji Pancawarna yang direbut gadis itu.
Tiba-tiba Lan Fenghuang berseru sambil tertawa, “Eh, Tuan Ding, kau kehilangan Panji Pancawarna, bagaimana nanti kau akan menjawab bila ditanya oleh Ketua Zuo? Ini, kukembalikan panjimu!” Bersama itu sebuah panji bersulam pun dilemparkannya ke arah Ding Mian.
Begitu melihat panji kecil itu melayang ke arahnya, Ding Mian hanya terdiam saja. Ia merasa panji itu adalah milik Partai Lima Dewi, jadi untuk apa harus mengulurkan tangan menyambut. Namun saat itu panji kecil tersebut sudah menyambar ke mukanya, mau tidak mau ia pun menangkap benda tersebut. Tapi mendadak ia menjerit sambil melemparkan panji kecil itu ke lantai. Telapak tangannya terasa panas seperti terbakar. Begitu diperiksa, ternyata tangannya telah berwarna kebiru-biruan. Jelas panji itu berbisa.
Di depan umum ia telah dipermainkan Partai Lima Dewi. Wajahnya pun merah menahan marah, “Bedebah! Perempuan hina….”
Dengan tertawa Lan Fenghuang menyela, “Lekas kau panggil ‘Ketua Linghu’ dan meminta belas kasihan padanya. Nah, habis itu segera kuberi obat penawarnya atau kalau tidak, kau akan kehilangan sebelah tanganmu yang akan membusuk dalam waktu singkat.”
Ding Mian cukup kenal betapa hebat orang-orang Partai Lima Dewi dalam menggunakan racun. Dalam keraguannya sejenak itu saja telapak tangannya sudah terasa kaku dan mulai mati rasa. Segenap kepandaiannya terletak pada kedua tangan. Bila sebelah tangannya harus hilang ini sungguh lebih mengerikan daripada kematian. Karena cemasnya itu, ia terpaksa berseru, “Ketua Linghu, kau… kau….”
“Apakah begitu caranya memohon ampun?” ejek Lan Fenghuang sambil tertawa.
“Ketua Linghu, saya telah berlaku kasar padamu, harap dimaafkan dan mohon… mohon engkau sudi memberikan obat… obat penawarnya,” pinta Ding Mian dengan terputus-putus.
Linghu Chong tersenyum, kemudian berkata, “Nona Lan, Saudara Ding hanya menjalankan perintah Ketua Zuo. Tolong berikan obat penawar kepadanya!”
Lan Fenghuang tertawa dan kemudian memberi isyarat kepada seorang gadis Miao di sampingnya. Gadis Miao itu mengeluarkan bungkusan kecil dan melemparkannya kepada Ding Mian. Dengan tersipu-sipu Ding Mian menangkap bungkusan kecil itu, lalu berlari pergi di bawah gelak tawa ejekan banyak orang.
Linghu Chong lantas berseru lantang, “Kawan-kawan, kalau kalian sudi tinggal di Lembah Tong Yuan, maka kalian harus taat kepada peraturan perguruan kita. Sekarang kalian adalah anggota Perguruan Henshan, sudah tentu kalian bukan lagi orang-orang golongan hitam. Untuk selanjutnya kalian harus berhati-hati dalam pergaulan dengan orang luar.”
Serentak rombongan Lao Touzi itu mengiakan dengan suara bergemuruh.
Linghu Chong melanjutkan, “Bila kalian ingin minum arak dan makan daging boleh-boleh saja. Hanya saja, orang-orang yang tidak berpantang makan daging untuk selanjutnya dilarang naik ke Puncak Xianxing ini, termasuk aku sendiri. Semua peraturan harus dipatuhi.”
“Shanzhai, shanzhai! Tempat suci Sang Buddha ini memang tidak sepantasnya dikotori,” ujar Biksu Fangzheng.
“Baiklah, sekarang aku telah diangkat menjadi ketua,” kata Linghu Chong dengan tertawa. “Tentunya semua orang sudah merasa lapar. Hari ini kita semua makan sayur-sayuran saja. Esok barulah kita makan daging dan minum arak di Lembah Tong Yuan.”
Semua orang pun makan bersama. Linghu Chong duduk semeja dengan para ketua perguruan yang hadir di situ. Usai makan, Biksu Fangzheng berkata, “Saya dan Saudara Chongxu ingin berunding sedikit dengan Ketua Linghu.”
“Baik,” jawab Linghu Chong. Sejak awal ia menduga, kedua pemimpin aliran terbesar di dunia persilatan itu datang ke Gunung Henshan tentu bukan sekadar untuk memberinya selamat, namun dipastikan ada maksud lain. Apa yang akan dibicarakan kedua tokoh itu tentu suatu urusan penting. Padahal di puncak Puncak Xianxing ini terlalu banyak hadirin dan juga bukan tempat bicara yang baik. Maka, ia segera memerintahkan Yihe dan yang lain untuk melayani tamu, lalu berkata kepada Fangzheng dan Chongxu, “Di sebelah puncak ini ada sebuah gunung bernama Gunung Cuiping. Tebing pegunungan itu sangat terjal dan licin, di atas puncaknya terdapat pula sebuah kuil gantung. Tempat ini merupakan salah satu tempat yang indah di wilayah Henshan. Apabila Ketua berdua berminat, saya dengan senang hati siap menemani ke sana.”
Pendeta Chongxu menjawab, “Sudah lama aku mendengar tentang Kuil Gantung di Gunung Cuiping. Kalau tidak salah kuil itu dibangun pada zaman Kerajaan Song Utara. Pohon cemara tidak tumbuh di sana, bahkan monyet-monyet tidak sanggup memanjat ke sana. Tentu dibutuhkan suatu kekuatan luar biasa untuk membangun kuil tersebut. Ini benar-benar keajaiban dunia. Sudah lama aku mengagumi Kuil Gantung itu. Sungguh senang kalau hari ini bisa berkunjung ke sana.”
Linghu Chong lantas membawa kedua tamu agungnya itu menuruni Puncak Xianxing melalui Celah Tungku Porselen. Sampai di bawah Gunung Cuiping, mereka menegadah ke atas dan melihat di puncak gunung terdapat dua buah bangungan mencuat di angkasa seakan-akan terapung di udara. Tidak salah kalau bangunan tersebut diberi nama Kuil Gantung Gunung Cuiping. Kuil tersebut bagaikan dibangun oleh para dewa.
Biksu Fangzheng menghela napas dan memuji, “Orang yang merancang kuil itu sungguh luar biasa. Untuk seorang yang luar biasa, di dunia ini tidak ada hal yang sulit.”
Dengan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi ketiga orang itu lantas mendaki ke atas dan tiba di Kuil Gantung tersebut. Kuil Gantung itu terdiri dari dua buah bangunan, masing-masing bertingkat tiga. Jarak kedua bangunan itu sekitar belasan meter dan dihubungkan dengan sebuah jembatan gantung.
Di dalam kuil tersebut terdapat seorang perempuan tua sedang menyapu. Melihat kedatangan Linghu Chong, Fangzheng, dan Chongxu, ia tidak menyapa juga tidak memberi hormat. Belasan hari yang lalu Linghu Chong sudah pernah berkunjung ke tempat ini bersama Yihe, Yiqing, Yilin, dan murid-murid lainnya, sehingga ia mengetahui kalau perempuan tua penjaga kuil ini bisu dan tuli.
Linghu Chong mengajak Fangzheng dan Chongxu mengelilingi bangunan indah tersebut, kemudian menuju jembatan gantung. Jembatan ini hanya selebar satu meteran saja. Kalau orang biasa yang berdiri di tengah jembatan itu tentu merasa seakan-akan berdiri di udara. Mungkin seketika kaki terasa lemas dan tidak berani bergerak. Tapi ketiga orang ini adalah jago silat kelas satu. Berada di atas jembatan gantung yang sempit itu mereka malah merasa bebas, pikiran pun terasa lapang menggembirakan.
Dari atas jembatan itu Fangzheng dan Chongxu dapat menikmati indahnya pemandangan alam, mulai dari kumpulan awan yang menyelimuti puncak gunung, sampai dinding kota di kaki gunung juga terlihat oleh mereka. Selain itu juga terihat air terjun di antara Celah Tungku Porselen. Pemandangan di situ tampak begitu menakjubkan.
“Cerita yang berkembang di masyarakat berbunyi, konon pada zaman dahulu satu orang saja berhasil mengatur sepuluh ribu orang lain di celah ini. Apa yang mereka ceritakan itu sesuai dengan keadaan tempat ini.”
“Pada zaman Kerajaan Song Utara, Kaisar Yang Lao memerintahkan Gong E untuk menjaga tiga celah dan ia membangun benteng pertahanan di sini. Tempat ini sangat strategis dan cocok untuk pertahanan perang,” ujar Chongxu. “Kini aku melihat secara langsung Kuil Gantung ini. Kuil ini begitu megah dan aku mengagumi ketekunan orang-orang zaman dulu. Namun, Kuil Gantung ini menjadi tak berharga jika dibandingkan dengan jalan di pegunungan ini yang panjangnya lima ratus li dan juga hasil buatan manusia.”
Linghu Chong terkejut mendengarnya, “Pendeta, kau bilang jalan pegunungan sepanjang lima ratus li itu juga buatan manusia?”
Chongxu menjawab, “Kitab sejarah menyebutkan, Kaisar Wei Daowu menempatkan pasukannya mulai dari Gunung Zhong sampai Pingzheng di Pegunungan Henshan ini sejak tahun pertama pemerintahannya. Ia juga memerintahkan mereka untuk menggali bebatuan gunung menjadi jalan setapak sepanjang lima ratus li. Celah Tungku Porselen itu merupakan titik akhir jalan tersebut.”
Fangzheng berkata, “Meskipun jalan tersebut dinamakan Jalur Lima Ratus Li, namun sebagian besar sudah dibentuk oleh alam. Kaisar Wei dari Kerajaan Song Utara mengirim puluhan ribu untuk membuka celah melewati pegunungan. Tentu saja, perintah ini merupakan hal besar dan mengejutkan banyak orang.”
“Tidak mengherankan kalau banyak orang yang ingin menjadi kaisar. Sekali ia membuka mulut dan mengatakan beberapa kata, maka puluhan ribu pasukannya segera menggali jalan setapak untuknya,” kata Linghu Chong.
“Pada zaman itu, banyak terdapat pendekar hebat dan terkemuka. Kau dapat membayangkan betapa susahnya mewujudkan jalur ini. Ambisi dan kekuasaan mereka mendapat banyak gangguan. Namun, kita tidak perlu menyebutkan siapa saja kaisar-kaisar yang pernah mendapat gangguan dari dunia persilatan. Bahkan meskipun mereka tidak punya ambisi dan kekuasaan, pertentangan pun tetap terjadi.”
Linghu Chong tergetar mendengarnya. Ia merasa kedua tokoh ini telah sampai pada masalah yang akan mereka bicarakan. Maka, ia pun berkata, “Saya tidak paham, mohon petunjuk Ketua berdua.”
Fangzheng menyahut, “Ketua Linghu, hari ini Perguruan Songshan mengirimkan Ding Mian memimpin banyak orang ke sini. Kau tahu apa tujuannya?”
Linghu Chong menjawab, “Untuk menyampaikan perintah Ketua Zuo, bahwa saya dilarang menjabat sebagai ketua Perguruan Henshan.”
“Apa sebabnya Ketua Zuo melarangmu menjadi ketua Perguruan Henshan?” tanya Fangzheng.
“Mungkin karena saya pernah bersikap kasar kepadanya ketika di Biara Shaolin tempo hari,” kata Linghu Chong. “Selain itu saya pernah merintangi rencananya dalam usaha melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu partai yang besar.”
“Mengapa kau merintangi rencananya itu?” tanya Fangzheng pula.
Linghu Chong tercengang, seketika ia merasa sukar untuk memberi jawaban. Akhirnya ia hanya bisa mengulangi, “Mengapa aku merintangi rencananya? Mengapa?”
Fangzheng bertanya lagi, “Apakah kau merasa usahanya melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu adalah rencana yang tidak baik?”
Linghu Chong menjawab, “Saat itu saya tidak pernah memikirkan apakah usahanya itu baik atau tidak. Hanya saja untuk mencapai tujuannya itu Perguruan Songshan telah mengancam Perguruan Henshan agar menurutinya, bahkan menyamar sebagai anggota aliran sesat untuk menculik murid-murid Henshan. Biksuni Dingjing dikerubut pula secara keji. Secara kebetulan saya memergoki perbuatan mereka itu. Saya merasa penasaran dan memberi bantuan kepada pihak Henshan. Kupikir kalau peleburan Serikat Pedang Lima Gunung adalah suatu usaha yang baik, mengapa Perguruan Songshan tidak berunding secara terang-terangan dengan para pemimpin empat perguruan yang lain, tapi memakai cara-cara licik dan keji?”
“Pendapatmu memang betul,” ujar Pendeta Chongxu sambil manggut-manggut. “Zuo Lengchan memang memiliki ambisi besar dan ingin menjadi tokoh persilatan nomor satu. Tapi ia sadar secara pribadi sukar mengatasi orang banyak, sehingga terpaksa menggunakan tipu muslihat licik.”
Fangzheng menghela napas, lalu menyambung, “Ketua Zuo seorang yang sangat pandai dan terkemuka di dunia persilatan. Namun ambisinya terlalu besar. Ia juga bernafsu ingin menjatuhkan nama besar Perguruan Shaolin dan Wudang. Untuk maksud dan tujuannya ini ia terpaksa menggunakan bermacam-macam cara.”
“Bahwasanya Perguruan Shaolin adalah pemimpin dunia persilatan, hal ini telah diakui secara umum selama beratus-ratus tahun,” kata Chongxu. “Di samping Perguruan Shaolin, dapat diperhitungkan Perguruan Wudang pula. Untuk selanjutnya ada Perguruan Kunlun, Emei, serta Kongtong. Adik Linghu, berdiri dan berkembangnya suatu aliran dan golongan adalah hasil usaha jerih payah tokoh kesatria masing-masing dalam aliran itu. Ilmu silat yang diciptakan adalah kumpulan dan gemblengan selama bertahun-tahun, sedikit demi sedikit. Tentang bangkitnya Serikat Pedang Lima Gunung adalah kejadian sekitar enam puluh tahun terakhir ini. Walaupun cepat perkembangannya, namun pada dasarnya tetap di bawah Perguruan Kunlun dan Emei, lebih-lebih tidak dapat dibandingkan dengan Perguruan Shaolin yang termasyhur.”
Linghu Chong mengangguk setuju.
Chongxu meneruskan, “Di antara berbagai aliran dan golongan itu terkadang memang muncul juga satu-dua orang cerdik pandai dan menjadi jago pada zamannya. Tapi melulu tenaga satu dua orang saja tetap sukar mengatasi kesatria-kesatria dari berbagai golongan dan aliran. Ketika Zuo Lengchan mula-mula menjabat sebagai ketua Serikat Pedang Lima Gunung, waktu itu Biksu Fangzheng juga sudah meramalkan dalam dunia persilatan selanjutnya tentu akan terdapat banyak masalah. Dari tingkah laku Zuo Lengchan beberapa tahun terakhir ini, ternyata ramalan Biksu Fangzheng memang tidak meleset.”
“Amitabha!” ujar Fangzheng sambil merangkap kedua tangannya.
Chongxu melanjutkan, “Menjadi ketua Serikat Pedang Lima Gunung adalah langkah pertama dalam usaha Zuo Lengchan. Langkah kedua adalah melebur kelima perguruan menjadi satu partai yang tetap diketuai olehnya. Sesudah itu, dengan sendirinya kekuatannya bertambah besar dan secara tidak resmi sudah sejajar dengan Perguruan Shaolin dan Wudang. Kemudian ia tentu akan maju selangkah lagi dengan mencaplok Perguruan Kunlun, Emei, Kongtong, dan Qingcheng. Lebih jauh ia tentu akan mencari perkara dengan Partai Mentari dan Bulan. Perguruan Shaolin dan Wudang tentu diajaknya ikut serta memusuhi Bukit Kayu Hitam. Ia tentu bermaksud menumpas partai tersebut.”
Linghu Chong ngeri mendengarnya. Ia kemudian berkata, “Ambisi seperti itu sukar diwujudkan. Kemampuan Zuo Lengchan terbatas. Lalu, untuk apa ia bersusah payah mewujudkan itu semua?”
“Hati manusia sukar diukur. Segala di dunia ini, betapa sukarnya ada juga orang yang ingin mencobanya,” ujar Chongxu. “Masalahnya, apabila Zuo Lengchan dapat menumpas Partai Mentari dan Bulan, maka saat itu boleh dikata ia akan dipuja oleh orang-orang persilatan sebagai pemimpin besar. Selanjutnya tentu tidak sukar baginya untuk mencaplok Perguruan Shaolin dan Wudang pula.”
“O, ternyata Zuo Lengchan ingin dipuja sebagai pemimpin dunia persilatan,” kata Linghu Chong.
“Benar sekali!” sahut Chongxu dengan tertawa. “Jika memungkinkan, ia ingin menjadi kaisar pula dan sesudah menjadi kaisar mungkin ingin hidup abadi tak pernah tua. Itulah sifat manusia yang serakah, sifat yang tidak kenal puas. Sejak dahulu kala memang demikianlah manusia banyak yang terjebak oleh ambisi dan kekuasaan dan banyak pula yang hancur karenanya.”
Linghu Chong terdiam sejenak, kemudian berkata, “Orang hidup paling-paling hanya beberapa puluh tahun saja, untuk apa harus bersusah payah begitu? Zuo Lengchan ingin menumpas Partai Mentari dan Bulan dan ingin mencaplok Shaolin serta Wudang. Bukankah untuk ini akan banyak korban berjatuhan?”
“Benar, sebab itulah tugas kita bertiga cukup berat. Kita harus mencegah agar maksud Zuo Lengchan itu tidak terlaksana demi mencegah terjadinya banjir darah di dunia persilatan,” seru Chongxu.
“Wah, mana bisa saya disejajarkan dengan Ketua berdua? Pengetahuan dan pengalaman saya teramat dangkal. Saya menurut saja di bawah petunjuk Ketua berdua,” kata Linghu Chong.
“Tempo hari kau memimpin para kesatria ke Biara Shaolin untuk menjemput Nona Ren. Ternyata tidak ada satu benda pun yang kalian ganggu di Biara Shaolin. Untuk itu Biksu Ketua merasa berhutang budi kepadamu,” kata Chongxu pula.
Muka Linghu Chong menjadi merah, “Tempo hari saya memang ceroboh, mohon dimaafkan.”
“Sesudah rombongan kalian pergi, Zuo Lengchan dan yang lain juga mohon diri, tapi aku masih tinggal beberapa hari di Biara Shaolin dan mengadakan pembicaraan panjang lebar dengan Biksu Ketua. Kami sama-sama mengkhawatirkan ambisi Zuo Lengchan yang tidak kenal batas itu,” kata Chongxu. “Kau tentu ingat pertandingan di biara waktu itu. Ren Woxing menang secara licik terhadap Biksu Ketua, dan kemudian Zuo Lengchan menang secara licik pula terhadap Ren Woxing. Orang-orang yang tidak tahu permasalahannya tentu menganggap Biksu Fangzheng bukan tandingan Ren Woxing, dan Ren Woxing bukan tandingan Zuo Lengchan….”
“Itu tidak benar, itu tidak benar,” sahut Linghu Chong kesal.
“Kita tahu hal itu tidak benar. Tapi nama besar Zuo Lengchan semakin harum sejak pertandingan itu. Tentu hal itu akan semakin memicu ambisi dan keserakahannya. Selanjutnya, kami menerima berita tentang pelantikan dirimu sebagai ketua Perguruan Henshan. Maka, kami memutuskan untuk datang kemari, pertama untuk memberi selamat kepadamu, kedua untuk berunding soal ini.”
“Ketua berdua terlalu meninggikan saya, sungguh saya sangat berterima kasih,” ujar Linghu Chong.
“Ding Mian datang untuk menyampaikan perintah Zuo Lengchan,” lanjut Chongxu, “katanya tanggal lima belas bulan tiga nanti segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung harus berkumpul di puncak Songshan untuk memilih ketua Partai Lima Gunung. Sebenarnya hal ini sudah dalam diperkirakan oleh Biksu Ketua. Hanya saja, kami tidak menduga hal itu akan dilakukan oleh Zuo Lengchan sedemikian cepatnya. Dia menyatakan hendak memilih ketua Partai Lima Gunung, seakan-akan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu sudah dapat dipastikan. Sebenarnya kami mengira, dengan watak Tuan Besar Mo yang aneh, Perguruan Hengshan pasti tidak sudi mengekor kepada Zuo Lengchan. Watak Pendeta Tianmen dari Perguruan Taishan juga sangat keras, tentu dia tidak sudi pula menjadi bawahan Zuo Lengchan. Gurumu, Tuan Yue, selama ini juga sangat mementingkan sejarah perkembangan Perguruan Huashan, sehingga ia tidak mungkin merelakan nama Huashan terhapus begitu saja. Sementara itu Perguruan Henshan berturut-turut telah kehilangan tiga biksuni sepuh. Murid-muridnya tentu tidak mampu melawan Zuo Lengchan, sehingga bisa jadi Henshan akan dapat ditundukkan begitu saja. Tak disangka Biksuni Dingxian sebelum meninggal memiliki pendirian tegas, yaitu menyerahkan jabatan ketua kepada Adik Linghu. Sekarang ini, apabila Perguruan Huashan, Hengshan, Taishan, dan Henshan bersatu padu tidak mau dilebur menjadi Partai Lima Gunung, maka rencana Zuo Lengchan tentu akan gagal total.”
Linghu Chong berkata, “Tapi kalau melihat sikap Ding Mian saat menyampaikan perintah Zuo Lengchan tadi, agaknya Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah berada di bawah pengaruh Zuo Lengchan.”
“Benar,” kata Chongxu sambil mengangguk. “Kami sendiri sempat bingung melihat sikap Tuan Yue, gurumu. Kabarnya ada seorang pemuda bermarga Lin dari Fuzhou yang menjadi murid gurumu, betul tidak?”
“Benar, adik seperguruanku itu bernama Lin Pingzhi,” tutur Linghu Chong.
Chongxu berkata, “Konon leluhurnya menurunkan sebuah kitab bernama Kitab Pedang Penakluk Iblis yang telah lama tersiar di dunia persilatan. Kami dengar dalam kitab pusaka itu terdapat sebuah ilmu pedang yang sangat sangat hebat. Tentunya Adik Linghu sendiri juga pernah mendengar hal ini?”
“Benar,” ujar Linghu Chong. Ia kemudian bercerita tentang pengalamannya waktu itu, saat ia berhasil memergoki dua orang tokoh Songshan dari angkatan tua merebut sebuah jubah dari tangan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan di kediaman lama keluarga Lin di Fuzhou. Dalam pertarungan itu ia jatuh pingsan setelah membunuh kedua tokoh Songshan tersebut.
Pendeta Chongxu termenung sejenak, kemudian berkata, “Sepertinya masuk akal jika gurumu kemudian mengambil jubah itu dan mengembalikannya kepada Lin Pingzhi.”
“Benar,” jawab Linghu Chong. “Akan tetapi, beberapa hari kemudian Adik Kecil, putri guruku, ternyata meminta Kitab Pedang Penakluk Iblis itu kepadaku. Ternyata Guru tidak tahu menahu soal jubah biksu tersebut. Aku telah dituduh menggelapkan jubah itu dan diusir dari perguruan. Mungkin Ketua berdua bisa memberi petunjuk kepada saya tentang seluk-beluk masalah ini.”
Chongxu memandang sekejap ke arah Biksu Fangzheng, lalu berkata, “Seluk-beluk persoalan ini silakan Biksu Ketua menjelaskannya kepada Adik Linghu.”
Fangzheng mengangguk dan berkata, “Ketua Linghu, apakah kau pernah mendengar tentang Kitab Bunga Mentari?”
“Saya pernah mendengarnya dari Guru. Konon Kitab Bunga Mentari adalah kitab pusaka paling berharga dalam dunia persilatan,” jawab Linghu Chong. “Namun sayang, kitab itu sudah lama lenyap dan kini entah berada di mana. Kemudian saya mendengar dari Ketua Ren, bahwa Beliau menyerahkan Kitab Bunga Mentari itu kepada Dongfang Bubai. Jika benar demikian, maka kitab pusaka itu tentu saat ini berada di tangan Partai Mentari dan Bulan.”
“Benar, tapi itu cuma setengah bagian saja dan tidak lengkap,” kata Fangzheng.
Linghu Chong mengangguk penasaran. Ia berpikir sebentar lagi Biksu Fangzheng pasti akan menceritakan sebuah peristiwa besar di dunia persilatan.
Sang biksu ketua tampak memandang jauh ke depan, lalu berkata, “Perguruan Huashan pernah terbagi menjadi Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Apakah kau mengetahuinya?”
“Ya, saya mendengarnya dari Guru,” jawab Linghu Chong.
Fangzheng manggut-manggut dan melanjutkan, “Tokoh-tokoh angkatan tua Perguruan Huashan pernah saling bunuh karena terpecahnya Huashan menjadi Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Apakah kau mengetahui sebab musabab perpecahan ini?”
“Saya tidak tahu, Guru tidak pernah menceritakannya dengan jelas,” sahut Linghu Chong.
“Pertarungan di antara saudara seperguruan bukan suatu peristiwa yang baik, itulah sebabnya mengapa Tuan Yue tidak suka banyak bercerita,” ujar Fangzheng. “Tentang pecahnya Perguruan Huashan menjadi dua kelompok, konon juga disebabkan oleh Kitab Bunga Mentari.”
Biksu tua ini berhenti sejenak kemudian melanjutkan, “Menurut cerita yang tersiar, Kitab Bunga Mentari itu dikarang oleh seorang pejabat pemerintahan dari dinasti sebelumnya.”
“Hah? Pejabat pemerintahan?” seru Linghu Chong penasaran.
Fangzheng melanjutkan, “Pejabat pemerintahan yang menulis kitab itu konon seorang kasim. Siapa namanya sudah tidak diketahui dengan pasti. Juga tidak diketahui dengan jelas mengapa seorang tokoh sakti seperti dia menjadi kasim di istana. Yang kita ketahui hanya satu hal. Ilmu silat dalam kitab yang ditulisnya itu sangat dalam dan luar biasa hebat. Selama tiga ratus tahun lebih, kitab tersebut menjadi bahan rebutan namun tidak seorang pun yang berhasil memiliki dan mempelajari isinya. Sampai akhirnya, sekitar seratus tahun yang lalu, kitab pusaka tersebut jatuh ke tangan Biara Shaolin di Putian. Pemimpin biara tersebut bernama Biksu Hongxie, yang merupakan tokoh paling cerdas dan paling pintar pada zamannya. Berdasarkan kepandaiannya itu, seharusnya tidak susah baginya untuk memahami isi kitab tersebut. Tapi menurut cerita murid beliau, konon Biksu Hongxie belum berhasil memahami dan mempelajari seluruh isi kitab tersebut.”
“Agaknya isi kitab itu sangat dalam sehingga tokoh mahacerdas seperti Biksu Hongxie juga tidak mampu memahaminya,” kata Linghu Chong.
“Ya, bisa jadi seperti itu,” Fangzheng mengangguk. “Saya dan Saudara Chongxu tidak punya cukup peruntungan sehingga tidak pernah melihat kitab pusaka itu. Alangkah bagusnya andai kami dapat melihat atau sekadar membaca isinya, meskipun tidak mampu memahami ajarannya.”
Chongxu melirik dan tersenyum, “Wah, sepertiya Biksu Ketua tergoda urusan duniawi lagi. Orang yang pernah belajar silat seperti kita bila melihat kitab pusaka seperti itu pasti akan lupa makan dan lupa tidur. Yang ingin dilakukan hanya mempelajari dan menyelaminya sampai tuntas. Akibatnya bukan saja mengganggu ketenangan hidup kita, tapi juga akan mendatangkan kesukaran-kesukaran di kemudian hari. Maka, lebih baik kita tidak sempat membaca kitab pusaka itu.”
Fangzheng terbahak dan berkata, “Ucapan Saudara Pendeta memang benar. Sungguh memalukan.” Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong dan melanjutkan, “Konon pada suatu hari ada dua orang tokoh Perguruan Huashan berkunjung ke Biara Shaolin di Putian. Entah bagaimana caranya, mereka dapat membaca isi Kitab Bunga Mentari tersebut.”
Dalam hati Linghu Chong berpikir mana mungkin kitab pusaka seperti itu diperlihatkan kepada tamu oleh pihak Shaolin? Tentu kedua tokoh Huashan tersebut mencuri baca. Hanya saja Biksu Fangzheng sengaja menggunakan istilah yang lebih halus.
Terdengar Fangzheng melanjutkan, “Karena keadan sangat mendesak, maka kedua tokoh Huashan itu tidak mungkin membaca dan mendalami seluruh isi kitab sekaligus. Maka, mereka pun membagi tugas, masing-masing membaca setengah bagian. Kemudian setelah pulang ke Huashan, mereka saling menguraikan hasil hafalan masing-masing dan menuliskannya kembali. Tidak disangka, apa yang mereka kemukakan ternyata tidak cocok ketika dipadukan. Semakin dipaparkan semakin jauh pula perbedaannya. Sebaliknya, kedua orang itu sama-sama yakin akan hasil hafalan masing-masing, sementara pihak lain dianggap salah baca atau sengaja tidak mau mengemukakannya terus terang. Akhirnya kedua orang itu pun berlatih sendiri-sendiri. Inilah asal-usulnya, kenapa Perguruan Huashan terpecah menjadi dua bagian, yaitu Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Kedua bersaudara yang tadinya sangat akrab itu akhirnya malah berubah menjadi musuh.”
Linghu Chong menyahut, “Kedua sesepuh kami itu, apakah bernama Yue Su dan Cai Zifeng?” Kedua nama yang disebut Linghu Chong itu merupakan tokoh-tokoh leluhur Perguruan Huashan dari angkatan-angkatan terdahulu. Yue Su adalah pendiri Kelompok Tenaga Dalam, dan Cai Zifeng adalah pendiri Kelompok Pedang. Peristiwa perpecahan ini terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.
Fangzheng menjawab, “Benar. Kemudian Biksu Hongxie mengetahui akan bocornya Kitab Bunga Mentari tersebut. Beliau sadar isi kitab pusaka itu terlalu luas dan dalam, sungguh sukar dijajaki. Beliau sendiri tidak berhasil memecahkan rahasia ilmu itu meski sudah berpuluh tahun menyelaminya. Tapi sekarang Yue Su dan Cai Zifeng hanya membacanya secara kilat, dan pemahamannya samar-samar saja, tentu akan sangat berbahaya. Karena itu ia lantas mengutus murid kesayangannya yang bernama Biksu Duyuan ke Huashan untuk menasihati Yue Su dan Cai Zifeng agar jangan mempelajari ilmu silat dari kitab yang mereka baca itu.”
“Ilmu silat ini sangat sulit dipelajari. Jika belajar langsung dari kitab tanpa ada orang lain yang memberi petunjuk, tentu hal ini sangat berbahaya,” ujar Linghu Chong. “Tapi, bisa jadi kedua sesepuh dari Huashan itu tidak mau menurut, bukan begitu?”
“Dalam hal ini kita juga tidak bisa menyalahkan mereka berdua,” ujar Fangzheng. “Coba pikir, orang persilatan seperti kita sekali mengetahui rahasia suatu ilmu silat yang hebat tentu ingin sekali mempelajarinya. Meskipun aku telah memperdalam agama Buddha selama puluhan tahun, tetap saja akan tergoda untuk membaca bila tiba-tiba kitab tersebut jatuh ke tangan kita.Tak disangka, kepergian Biksu Duyuan ke Huashan itu telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang panjang.”
Linghu Chong bertanya, “Apakah kedua sesepuh itu berlaku tidak baik kepada Biksu Duyuan?”
“Bukan begitu, malah sebaliknya, keduanya sangat hormat akan kedatangan Biksu Duyuan,” kata Fangzheng. “Mereka mengaku terus terang telah mencuri baca Kitab Bunga Mentari dan meminta maaf. Tapi di samping itu mereka pun minta petunjuk kepada Biksu Duyuan tentang ilmu silat yang terbaca dari kitab pusaka tersebut. Mereka tidak tahu bahwa Biksu Duyuan sendiri sama sekali tidak tahu ilmu silat yang tertulis dalam kitab itu meski dirinya adalah murid kesayangan Biksu Hongxie. Namun Biksu Duyuan juga tidak mengatakan hal itu. Ia mendengarkan uraian dari keduanya berdasarkan kitab yang mereka baca di Biara Shaolin waktu itu. Sebisa-bisanya ia memberi penjelasan, tapi diam-diam ia mengingat di luar kepala dari apa yang diuraikan kedua tokoh Huashan tersebut.”
Linghu Chong berkata, “Jadi, Biksu Duyuan justru memperoleh isi kitab pusaka itu dari kedua sesepuh kami?”
“Benar,” jawab Fangzheng sambil mengangguk. “Namun apa yang dihafalkan oleh kedua bersaudara itu tidak banyak, kini harus menguraikannya pula, tentu saja mengalami potongan-potongan lagi. Konon Biksu Duyuan tinggal delapan hari di Huashan setelah itu baru mohon diri. Tapi sejak itu ia pun tidak pulang ke Biara Shaolin lagi.”
Linghu Chong menjadi heran, “Tidak pulang ke Biara Shaolin, lalu pergi ke mana?”
“Saat itu tidak ada orang yang tahu,” jawab Fangzheng. “Tidak lama kemudian Biksu Hongxie lantas menerima sepucuk surat dari Biksu Duyuan yang memberitahukan bahwa muridnya itu tidak akan pulang ke Biara Shaolin lagi karena timbul hasratnya untuk hidup kembali dalam masyarakat ramai.”
Linghu Chong sungguh heran tak terkatakan. Ia menganggap kejadian demikian sungguh di luar dugaan siapa pun juga.
Fangzheng melanjutkan, “Setelah peristiwa itu, terjadilah perselisihan antara Biara Shaolin dengan Perguruan Huashan. Perbuatan dua murid Huashan yang mencuri baca Kitab Bunga Mentari itu juga lantas tersiar di dunia persilatan. Selang beberapa puluh tahun kemudian sepuluh orang gembong aliran sesat datang menyerbu ke Huashan.”
“Hah?” seru Linghu Chong terkejut. Ia teringat kerangka tulang belulang yang ia temukan di dalam gua di Puncak Huashan setahun yang lalu. Konon tulang-tulang tersebut adalah kerangka sepuluh orang aliran sesat yang terkurung di dalam gua tersebut.
“Ada apa?” Fangzheng bertanya.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Linghu Chong. “Maaf telah mengganggu, mohon Biksu Ketua melanjutkan cerita.”
Fangzheng berkata, “Kalau dihitung, saat kejadian itu gurumu sendiri bahkan belum lahir. Sepuluh gembong aliran sesat menyerbu Huashan, tujuannya adalah untuk merebut Kitab Bunga Mentari. Saat itu kekuatan Huashan lemah dan tidak mampu melawan gembong-gembong aliran sesat tersebut. Terpaksa pihak Huashan berserikat dengan Perguruan Taishan, Hengshan, Songshan, dan Henshan sehingga lahirlah Serikat Pedang Lima Gunung. Dalam pertempuran sengit di kaki Gunung Huashan, gembong-gembong aliran sesat mengalami luka parah, namun mereka berhasil menewaskan Yue Su dan Cai Zifeng. Selain itu Kitab Bunga Mentari juga jatuh ke tangan mereka sehingga tidak jelas pihak mana yang dinyatakan menang dalam pertempuran tersebut.”
Fangzheng diam sejenak lalu melanjutkan, “Lima tahun kemudian, kesepuluh gembong aliran sesat itu berhasil menguasai inti ilmu silat Serikat Pedang Lima Gunung dan kembali menyerbu Huashan. Kali ini persiapan mereka benar-benar matang karena mereka mengetahui cara mematahkan jurus-jurus kelima perguruan lawan. Saya dan Pendeta Chongxu yakin isi Kitab Bunga Mentari telah membuat para gembong aliran sesat itu bertambah wawasan. Pihak aliran lurus bersih mengalami kekalahan besar. Pertempuran dahsyat itu banyak menewaskan tokoh-tokoh penting Serikat Pedang Lima Gunung, serta banyak pula jurus-jurus rumit dan dahsyat yang terpatahkan begitu saja. Akan tetapi, kesepuluh gembong aliran sesat itu juga tidak bisa kembali hidup-hidup. Saya membayangkan, peristiwa tersebut tentu sangat ganas dan berdarah-darah.”
Linghu Chong berkata, “Saya pernah menemukan sepuluh kerangka manusia di dalam gua di Puncak Huashan, serta beberapa tulisan terukir di dinding.”
“Benarkah demikian? Tulisan itu bagaimana bunyinya?” Chongxu bertanya.
“Tulisan itu berbunyi: ‘Serikat Pedang lima Gunung, kalian tidak tahu malu! Sungguh kumpulan orang-orang tercela! Kalian tidak bisa memenangkan pertempuran, lantas menggunakan cara-cara licik mengurung kami.’” Jawab Linghu Chong. “Di samping tulisan tersebut, masih terdapat tulisan yang lebih kecil yang kesemuanya mengutuk serta menyumpahi Serikat Pedang Lima Gunung.” “Bagaimana bisa Perguruan Huashan membiarkan tulisan-tulisan seperti itu tanpa menghapusnya?” ujar Fangzheng.
“Gua itu kutemukan secara tidak sengaja. Orang lain juga tak ada yang tahu,” tutur Linghu Chong. Ia kemudian menceritakan pengalamannya itu. Gua tersebut merupakan hasil penggalian seseorang menggunakan sebilah kapak sampai sepanjang beberapa ratus meter. Orang itu akhirnya mati kehabisan tenaga meski tinggal beberapa meter lagi gua itu sudah bisa ditembus keluar.
“Menggunakan kapak? Mungkinkah dia Fan Song, gembong Aliran sesat yang berjuluk Si Iblis Sakti Bertenaga Raksasa,” kata Fangzheng.
“Benar, benar!” kata Linghu Chong. “Memang di antara tulisan-tulisan yang terukir di dinding itu disebut-sebut juga nama Fan Song dan Zhao He. Konon katanya mereka yang mematahkan jurus pedang Perguruan Henshan di situ.”
“Zhao He? Dia dijuluki sebagai Si Iblis Sakti Juru Terbang,” seru Fangzheng lagi. “Apakah dia memakai senjata palu godam?”
“Hal ini kurang jelas,” jawab Linghu Chong. “Di lantai gua itu memang ada sebuah palu godam. Aku masih ingat tulisan yang terukir di dinding gua itu, katanya yang mematahkan jurus pedang Perguruan Huashan adalah dua orang bernama Zhang Chengfeng dan Zhang Chengyun.”
“Memang benar,” kata Fangzheng. “Zhang Chengfeng dan Zhang Chengyun adalah dua bersaudara. Masing-masing berjuluk Si Iblis Sakti Kera Emas dan Si Iblis Sakti Monyet Putih. Konon senjata mereka adalah toya tembaga.”
“Benar,” kata Linghu Chong. “Menurut ukiran di dinding gua, di situ dilukiskan jurus pedang Perguruan Huashan dikalahkan oleh toya mereka. Sungguh cara mereka sangat mengagumkan dan tidak terduga.”
Fangzheng berkata, “Tempat yang kau lihat itu rupanya dipersiapkan oleh Serikat Pedang Lima Gunung untuk menjebak kesepuluh gembong aliran sesat itu. Sekali mereka terpancing masuk ke dalam gua itu, mereka langsung terkunci dan tidak bisa lolos.”
“Saya juga berpikir demikian,” jawab Linghu Chong. “Itulah sebabnya mengapa kesepuluh gembong aliran sesat itu merasa penasaran, lalu mengukir tulisan untuk mencaci maki Serikat Pedang Lima Gunung serta melukiskan jurus-jurus ilmu silat mereka yang telah mengalahkan ilmu pedang lawan agar diketahui angkatan selanjutnya. Tujuannya supaya angkatan selanjutnya mengetahui kalau kematian mereka bukan karena kalah tanding, tapi terjebak oleh tipu muslihat musuh. Juga terdapat ukiran jurus-jurus pedang Perguruan Huashan yang mereka patahkan dengan cara yang menakjubkan, bahkan Guru dan Ibu Guru tidak mengetahui akan hal ini. Tadinya saya tidak tahu menahu soal ini tapi setelah mendengarkan cerita Biksu Ketua, tentu banyak ilmu-ilmu pedang Huashan yang musnah setelah kematian tokoh-tokoh sepuh tersebut. Nasib yang sama juga menimpa Perguruan Henshan, Taishan, Songshan, dan Hengshan.”
“Benar sekali,” sahut Chongxu.
“Selain itu juga terdapat beberapa pedang yang jelas-jelas milik Serikat Pedang Lima Gunung berserakan di dekat sepuluh kerangka gembong aliran sesat itu,” lanjut linghu Chong.
Fangzheng merenung sejenak, kemudian berkata, “Itulah yang sulit diketahui seluk-beluknya. Bisa jadi gembong-gembong aliran sesat itu merampasnya dari orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung. Apakah yang kau temukan di gua itu sampai kini belum pernah kau ceritakan kepada orang lain?”
“Tidak pernah,” jawab Linghu Chong. “Setelah menemukan gua rahasia itu, saya dihadapkan pada berbagai masalah sehingga tidak sempat menceritakannya bahkan kepada Guru dan Ibu Guru. Namun Kakek Guru Feng sudah mengetahuinya lebih dulu.”
(Bersambung)
Bagian 61 ; Bagian 62 ; Bagian 63