Bagian 82 - Pembantaian dalam Gelap

Sebenarnya Linghu Chong sangat hafal suara Ren Yingying. Namun karena suasana di dalam gua sedemikian kacaunya, hiruk-pikuk, serta riuh bergemuruh, sementara jeritan perempuan tadi juga sangat perlahan, sehingga membuat Linghu Chong sulit untuk membedakannya. Karena perasaannya juga sangat cemas ia menjadi agak linglung dan merasa suara itu seperti suara Ren Yingying.
Kembali ia memanggil beberapa kali dan tetap tidak mendapatkan jawaban. Ia lantas berjongkok untuk meraba tanah. Tak disangka, entah dari mana datangnya, tiba-tiba pantatnya ditendang orang. Seketika Linghu Chong pun terpental ke depan. Selagi tubuhnya terapung di udara, paha kirinya terasa sakit pula. Rupanya terkena pukulan ruyung seseorang.
Sesaat kemudian tahu-tahu kepala Linghu Chong membentur dinding batu. Untung sebelumnya ia sempat melindungi dengan tangan kiri. Jika tidak, mungkin kepalanya itu sudah pecah. Meskipun demikian, baik kepala maupun tangan, paha serta pantat, semua terasa kesakitan. Tulangnya terasa retak pula.
Setelah menenangkan diri, kembali ia berseru memanggil, “Yingying! Yingying!”
Namun tetap tak terdengar suatu jawaban. Sebaliknya, ia mendengar suaranya sendiri terasa serak seperti suara orang merintih dan menangis tanpa air mata. Tak terlukiskan betapa cemas dan sedih rasa hatinya. Dalam keadaan bingung tiba-tiba ia berteriak, “Aku telah membunuh Yingying! Aku telah membunuh Yingying!” Dengan kalap ia memutar pedang dan menerjang maju. Kontan beberapa orang jatuh terguling menjadi korban.
Di tengah suara yang ribut itu, tiba-tiba terdengar suara petikan kecapi sebanyak dua kali. Meskipun suara kecapi ini sangat lirih tenggelam dalam riuh gemuruhnya teriakan banyak orang, namun dalam pendengaran Linghu Chong benar-benar membuat hatinya tergetar bagaikan mendengar halilintar menggelegar.
“Yingying! Yingying!” ia berteriak dengan sangat gembira. Karena dorongan perasaan, seketika ia bermaksud menerjang ke arah suara kecapi tersebut. Namun segera ia sadar bahwa tempat suara kecapi itu jaraknya tidak dekat. Untuk mendekati tempat yang berjarak belasan meter itu rasanya jauh lebih berbahaya daripada berkelana ribuan kilo di dunia persilatan.
Suara kecapi itu jelas dipetik oleh Ren Yingying. Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Yingying masih selamat. Aku tidak boleh menempuh bahaya dan mati konyol. Bila harus mati biarlah kami berdua mati bersama bergandeng tangan. Dengan demikian tentu tidak akan menyesal sampai di alam sana nanti.”
Segera Linghu Chong mundur dua langkah sehingga punggungnya merapat pada dinding gua. “Begini lebih aman,” pikirnya. Tiba-tiba terasa ada angin tajam menyambar. Rupanya seseorang sedang memutar senjata menerjang di depannya. Tanpa pikir Linghu Chong langsung menusuk ke depan. Namun baru saja pedangnya bergerak, ia merasa tindakannya ini tidak benar.
Intisari Sembilan Jurus Pedang Dugu adalah bagaimana mengincar titik kelemahan ilmu silat lawan. Namun kini dalam keadaan gelap gulita, jangankan gerak serangannya, wajah musuh saja tidak dapat ia lihat. Karena sulit melihat gerakan lawan maka titik kelemahannya pun sulit pula untuk diketahui. Dengan demikian, dalam keadaan seperti ini Sembilan Jurus Pedang Dugu menjadi tidak berguna sama sekali.
Untungnya Linghu Chong dengan cepat dapat menguasai keadaan. Begitu pedangnya bergerak segera ia mengelak pula ke samping. Benar juga, segera ia mendengar suara tusukan yang keras, disusul suara benturan dan jeritan ngeri. Dapat diduga senjata si penyerang itu lebih dulu menusuk dinding, kemudian patah dan menancap di tubuhnya sendiri.
Sejenak Linghu Chong tertegun. Ia menduga orang itu tentu sudah mati karena tidak mengeluarkan suara lagi. Ia berpikir, “Dalam keadaan gelap gulita seperti ini, setinggi apapun ilmu silatku juga tidak berbeda dengan para jago silat kelas kambing. Terpaksa aku harus bersabar menunggu kesempatan untuk bergabung dengan Yingying.”
Sementara itu suara sambaran senjata dan teriakan-teriakan sudah mulai banyak berkurang. Tentunya dalam waktu singkat itu telah jatuh sejumlah korban yang tidak sedikit. Ia kembali memutar pedang di depan untuk menjaga diri kalau-kalau mendadak diserang orang secara serabutan. Suara kecapi kembali terdengar kemudian lenyap pula tanpa irama. Kembali Linghu Chong merasa khawatir. “Jangan-jangan Yingying terluka atau mungkin pemetik kecapi itu bukan dia? Tapi kalau bukan dia, memangnya siapa lagi yang datang ke tempat ini dengan membawa kecapi?”
Selang agak lama kemudian suara teriakan dan bentakan mulai mereda. Namun di atas tanah tidak sedikit orang yang merintih-rintih dan mencaci maki. Terkadang masih juga ada suara benturan senjata dan suara bentakan yang timbul dari tempat dekat dinding. Sepertinya banyak pula yang berdiri merapat dinding sehingga dapat menyelamatkan diri. Tentu orang-orang ini termasuk tokoh terkemuka yang berpikiran cerdas.
“Yingying, di mana kau?” seru Linghu Chong.
Kembali terdengar suara kecapi berbunyi di depan sana seolah memberi jawaban. Tanpa pikir lagi Linghu Chong lantas melompat ke arah itu. Ketika kaki kirinya menyentuh tanah terasa menginjak sesuatu yang lunak. Ternyata tubuh seseorang telah diinjaknya. Seketika angin tajam pun menyambar. Rupanya senjata seseorang telah menyerang ke arahnya.
Untungnya tenaga dalam Linghu Chong sangat tinggi sehingga menambah kepekaannya. Meski serangan lawan tidak dapat dilihat, namun ia dapat merasakan tepat pada waktunya sehingga sempat melompat kembali ke tempat semula. Ia berpikir, “Di atas tanah penuh bergeletakan banyak orang. Ada yang sudah mati dan ada pula yang hanya terluka. Sungguh sukar untuk dilewati begitu saja.”
Terdengar pula suara angin menyambar kian-kemari. Rupanya orang-orang yang berdiri merapat dinding sedang memutar senjata masing-masing untuk menjaga diri. Dalam sekejap itu kembali beberapa orang roboh di tanah, entah mati atau hanya terluka.
Tiba-tiba terdengar suara seorang tua berseru, “Wahai kawan-kawan, dengarkan dulu kata-kataku! Kita sama-sama terjebak oleh tipu muslihat Yue Buqun. Menghadapi bahaya seperti ini kita harus bersatu padu untuk mencari selamat. Tidak boleh memutar senjata dan saling bunuh sendiri!”
Serentak beberapa orang menanggapi, “Benar! Benar!”
Dari suara-suara itu Linghu Chong dapat mendengar bahwa semua orang sedang berdiri merapat di dinding. Jumlah yang masih hidup paling tidak sekitar enam atau tujuh puluh orang. Rupanya mereka sudah bisa berpikir dengan tenang sehingga tidak menyerang secara serabutan lagi.
Orang tua tadi lantas berkata, “Aku adalah Yuzhongzi dari Perguruan Taishan. Nah, sekarang tolong kawan-kawan sekalian kembali menyimpan senjata masing-masing. Kita sama-sama berada dalam kegelapan. Apabila di antara kita bertabrakan, tolong jangan sampai saling menyerang. Apakah kawan-kawan dapat memenuhi permintaanku ini?”
Serentak banyak orang menjawab, “Tentu saja bisa! Memang demikian seharusnya!”
Setelah itu tak terdengar lagi suara bergeraknya senjata. Menyusul kemudian terdengar suara puluhan senjata kembali disarungkan. Kini keadaan menjadi sunyi senyap.
“Sekarang hendaknya kawan-kawan bersumpah bahwa kita tidak akan saling mencelakai di dalam gua ini. Barangsiapa yang melanggar sumpah tentu akan terkubur di sini,” seru Yuzhongzi memecah keheningan. “Sebagai pelopor, maka aku, Yuzhongzi dari Perguruan Taishan mendahului bersumpah demikian.”
Segera orang-orang yang lain pun ikut bersumpah pula. Mereka berpikir, “Pendeta Yuzhongzi ini sungguh pintar. Kalau kita bersatu padu mungkin masih ada harapan untuk keluar dengan selamat. Kalau tidak, tentu semuanya akan mati konyol di sini.”
“Bagus sekali. Terima kasih, kawan-kawan semua. Sekarang silakan memberitahukan nama kalian masing-masing,” kata Yuzhongzi kemudian.
Seketika terdengar suara teriakan menanggapi, “Aku dari Perguruan Hengshan, namaku...”
“Aku dari Perguruan Songshan, namaku...”
“Aku dari Perguruan Taishan, namaku...”
Begitulah, masing-masing lantas saling menyebut nama dan asal perguruan. Ternyata orang-orang yang tersisa ini memang benar-benar para tokoh terkemuka dari ketiga perguruan besar tersebut. Namun demikian, Linghu Chong tidak mendengar suara Tuan Besar Mo memperkenalkan diri.
Setelah semua orang memperkenalkan diri, akhirnya Linghu Chong pun berseru pula, “Aku dari Perguruan Henshan, namaku Linghu Chong.”
“Hah, ternyata ketua Perguruan Henshan, Pendekar Linghu, juga berada di sini. Bagus sekali, bagus sekali!” seru para kesatria itu dengan nada gembira.
Dalam kegelapan Linghu Chong hanya menyeringai. Ia berpikir, “Apanya yang bagus? Aku sendiri juga ikut konyol di sini.” Namun ia segera paham bahwa para kesatria itu sangat kagum terhadap ilmu pedangnya yang teramat tinggi. Dengan keberadaannya di dalam gua ini seolah menambah harapan untuk bisa lolos dengan selamat.
Tiba-tiba Yuzhongzi bertanya, “Izinkan aku bertanya kepada Ketua Linghu, mengapa dari Perguruan Henshan hanya engkau seorang yang datang kemari?” Pendeta tua ini memang sangat berpengalaman. Ia merasa sangsi jangan-jangan Linghu Chong menyembunyikan sesuatu dan bermaksud merugikan mereka semua, mengingat pemuda itu adalah murid nomor satu Yue Buqun. Mau tidak mau hal ini memang menimbulkan kecurigaan karena dari dua ratus orang yang terkurung di dalam gua tersebut tidak seorang pun yang berasal dari Perguruan Huashan dan Henshan. Sementara itu Linghu Chong jelas memiliki hubungan dengan kedua perguruan tersebut.
Maka Linghu Chong pun menjawab, “Aku sedang mencari seorang teman, dia adalah Ying…” sampai di sini ia segera teringat bahwa Ren Yingying adalah putri tunggal Ren Woxing, ketua aliran sesat yang selama ini dimusuhi oleh golongan yang menamakan dirinya aliran lurus bersih, terutama Serikat Pedang Lima Gunung. Maka itu ia merasa lebih baik jangan menimbulkan masalah lebih rumit lagi.
Sementara itu Yuzhongzi mengalihkan pembicaraan, “Apakah kawan-kawan ada yang masih memegang obor dan pemantik api? Tolong segera dinyalakan!”
“Betul juga, betul juga!” sorak banyak orang dengan gembira.
“Hei, mengapa kita menjadi pikun dan tidak memikirkan hal ini sejak tadi?”
“Ayo, lekas kita nyalakan obor!”
Dalam keadaan kacau seperti tadi yang terpikir oleh mereka hanyalah bagaimana bisa segera menyelamatkan diri. Tidak seorang pun yang berkesempatan menyalakan obor, karena begitu lengah sedikit saja tentu akan segera terbunuh oleh orang di dekatnya.
Sejenak kemudian terdengar suara pemantik api beberapa kali, dan setelah itu beberapa titik cahaya kembali bermunculan. Rupanya orang-orang itu telah menyalakan beberapa obor. Sorak gembira pun terdengar seketika.
Sekilas pandang Linghu Chong melihat pada dinding gua itu penuh berdiri banyak orang. Semuanya dalam keadaan berlumur darah. Sebagian tampak masih menghunus senjata. Rupanya orang-orang ini lebih suka berhati-hati daripada mengambil risiko dibunuh orang. Meskipun mereka semua telah bersumpah, tapi tiada salahnya menjaga diri terhadap segala kemungkinan.
Linghu Chong melangkah ke dinding di depannya dengan maksud untuk mencari Ren Yingying.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seseorang membentak, “Sekarang saatnya!”
Sekejap kemudian dari dalam lorong sempit muncul beberapa orang bersenjata dan langsung membunuh beberapa orang di depan mereka. Rupanya orang-orang inilah yang telah memenggal kepala laki-laki bertubuh kekar yang menerobos ke dalam lorong tadi.
“Hei, siapa kalian?” teriak para kesatria sambil melolos senjata untuk melawan. Hanya beberapa jurus saja keadaan kembali gelap gulita. Obor yang menyala tadi telah padam lagi. Entah disebabkan oleh sambaran angin para penyerang itu atau bagaimana.
Secepat kilat Linghu Chong melompat dan melayang ke dinding di depannya. Terasa dari sebelah kanan ada senjata yang menyerang tiba. Dalam kegelapan itu ia sukar untuk menangkis, sehingga terpaksa harus mendekam ke bawah. Sesaat kemudian terdengar suara pedang membentur dinding.
Linghu Chong berpikir orang itu belum tentu hendak menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Mungkin karena dirinya tiba-tiba melompat maka orang itu pun mengayunkan senjata untuk berjaga-jaga. Maka untuk beberapa saat ia pun mendekam ke bawah tanpa bergerak. Setelah mengayunkan senjata beberapa kali dan tidak mengenai sasaran, orang itu akhirnya berhenti.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak memberi aba-aba, “Bunuh semua kawanan anjing ini! Seorang pun jangan dibiarkan hidup!”
“Baik!” jawab belasan orang menanggapi.
Menyusul kemudian terdengar beberapa orang berteriak, “Hei, itu suara Zuo Lengchan! Benar, itu suara Zuo Lengchan!”
Lalu beberapa orang lainnya berteriak, “Guru, Guru! Muridmu ada di sini!”
Linghu Chong sendiri juga mengenali suara orang yang memberi perintah pembantaian tadi memang suara Zuo Lengchan, ketua Perguruan Songshan yang sudah buta kedua matanya. Ia pun berpikir, “Mengapa Zuo Lengchan ada disini? Apakah perangkap ini dipersiapkan olehnya? Ah, ternyata ini semua bukan perbuatan Guru!”
Meskipun beberapa kali Yue Buqun bermaksud jahat, namun kedudukannya sebagai guru sekaligus orang tua angkat begitu mendalam di hati Linghu Chong. Sedikit pun pemuda itu tidak pernah melupakan hubungan baik ini. Maka begitu terpikir olehnya bahwa tipu muslihat ini bukan diatur oleh Yue Buqun, tanpa terasa Linghu Chong pun merasa senang dan terhibur. Ia merasa ratusan kali lebih menyenangkan jika mati di tangan Zuo Lengchan daripada di tangan guru sendiri.
Terdengar Zuo Lengchan menjawab dengan suara dingin, “Hm, kalian masih punya muka untuk memanggil ‘guru’ kepadaku? Tanpa permisi kalian datang ke Huashan ini. Perbuatan kalian yang durhaka dan lancang ini mana mungkin dapat kuampuni? Dalam Perguruan Songshan mana boleh ada murid murtad macam kalian?”
Salah seorang menjawab dengan suara lantang, “Guru, di tengah jalan kami mendengar kabar bahwa di gua Huashan ini terdapat ukiran jurus-jurus ilmu silat peninggalan leluhur kita. Kami khawatir apabila pulang dulu ke Songshan untuk melapor kepada Guru tentu memakan waktu terlalu lama, dan mungkin ukiran di dinding telanjur sudah dihapus orang. Karena itulah kami cepat-cepat memburu kemari. Kami bermaksud bila sudah melihat semua ilmu pedang Perguruan Songshan yang terukir di sini, maka kami akan segera pulang untuk melapor kepada Guru.”
“Hm, kalian tahu aku sudah buta, dan kalian mengambil keuntungan dari cacadku ini,” sahut Zuo Lengchan bengis. “ Aku tahu kalian mengira diriku ini sudah tidak berguna lagi. Nanti apabila sudah berhasil mempelajari ilmu pedang bagus tersebut, memangnya kalian masih mau menganggapku sebagai guru? Aku juga tahu kalian harus bersumpah setia lebih dulu kepada Yue Buqun, baru kemudian dia mengizinkan kalian melihat ukiran ilmu silat di sini. Bukan begitu?”
“Be… benar. Kami memang pantas mati,” sahut si murid Songshan. “Namun kami terpaksa melakukannya. Bagaimanapun juga kelima perguruan telah dilebur, dan Yue Buqun telah dilantik sebagai ketua. Mau tidak mau kami harus tunduk kepada perintahnya. Tapi sungguh kami tidak menyangka bangsat itu malah menjebak kami secara keji.”
“Guru,” sambung seorang lainnya, “mohon bebaskanlah kami dari sini. Pimpinlah kami untuk mencari keparat Yue Buqun dan membalas sakit hati kepadanya.”
“Hm, enak sekali cara berpikirmu itu,” sahut Zuo Lengchan mencibir. Setelah diam sejenak, tiba-tiba ia berkata, “Linghu Chong, ternyata kau juga datang. Memangnya apa yang kau kerjakan di sini?”
Linghu Chong menjawab, “Aku pernah tinggal di sini. Mau datang ke sini atau tidak adalah urusanku, peduli apa denganmu? Kau sendiri sedang apa di sini?”
“Huh, kematian sudah di depan mata, tapi kau masih berlagak di depan kaum tua,” ujar Zuo Lengchan sambil tertawa dingin.
“Kau memakai tipu muslihat keji dan mencelakai para kesatria di dunia persilatan,” balas Linghu Chong. “Dosamu terlalu banyak. Setiap orang berhak membinasakanmu. Tapi kau masih berani mengaku sebagai kaum tua segala, hah?”
“Pingzhi,” kata Zuo Lengchan tiba-tiba. “Cepat bunuh dia!”
“Baik,” jawab seseorang dalam kegelapan. Suara ini jelas suara Lin Pingzhi.
Linghu Chong terkejut dan berpikir, “Ternyata Lin Pingzhi juga berada di sini. Zuo Lengchan dan ia sudah sama-sama buta. Selama beberapa waktu ini tentu mereka sudah terbiasa berlatih memainkan pedang tanpa melihat, menggunakan telinga sebagai pengganti mata. Ketajaman telinga mereka pasti sudah sangat hebat. Dalam kegelapan seperti sekarang ini keadaan menjadi terbalik, aku bagaikan orang buta, sebaliknya mereka malah diuntungkan. Entah bagaimana caraku dapat menandingi mereka?” Seketika ia pun berkeringat dingin dan tidak berani bersuara lagi. Hatinya berharap semoga mereka tidak tahu di mana dirinya kini berdiri.
Terdengar Lin Pingzhi berseru, “Linghu Chong, selama ini kau merajalela di dunia persilatan. Nama besarmu terkenal di mana-mana. Tapi hari ini akhirnya kau akan mati di tanganku, haha, hahaha!”
Sungguh seram dan mengerikan suara gelak tawa pemuda itu. Selangkah demi selangkah ia semakin mendekati tempat Linghu Chong berada.
Rupanya ketika Linghu Chong bertanya jawab dengan Zuo Lengchan tadi, diam-diam Lin Pingzhi memperhatikan di mana letak keberadaan musuhnya itu. Kini Lin Pingzhi tinggal berjalan ke arah sasarannya dengan pedang di tangan. Seketika suasana di dalam gua menjadi sunyi senyap. Yang terdengar hanya suara langkah kaki Lin Pingzhi yang mendirikan bulu roma. Setiap pemuda itu maju satu langkah, membuat Linghu Chong merasa jiwanya semakin dekat dengan pintu akhirat.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak. “Keparat Linghu Chong itu telah membutakan kedua mataku sehingga aku tidak bisa melihat dunia untuk selamanya. Biarlah aku… aku yang membunuh bangsat ini.”
“Benar, benar!” sahut belasan orang lainnya beramai-ramai. Sejenak kemudian terdengar pula mereka melangkah maju ke arah Linghu Chong.
Seketika jantung Linghu Chong terasa berdebar kencang. Ia sadar dirinya pernah membutakan lima belas pasang mata saat bertempur di halaman kelenteng bobrok pada suatu malam. Pertempuran itu terjadi karena mereka mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis. Pertemuan kedua terjadi ketika Linghu Chong datang ke Gunung Songshan menghadiri peresmian Perguruan Lima Gunung tempo hari. Saat itu kelima belas orang tersebut bermaksud membalas dendam, namun mereka dapat dibereskan oleh Biksu Bujie.
Dalam hal ini Linghu Chong berpikir, “Belasan orang ini sudah lama buta. Ketajaman telinga mereka tentu jauh lebih hebat lagi. Menghadapi seorang Lin Pingzhi saja sudah sukar, apalagi ditambah dengan belasan orang ini? Benar-benar sulit untuk dilawan.”
Terdengar suara langkah mereka semakin detik semakin dekat. Dengan menahan napas diam-diam Linghu Chong menggeser tubuhnya beberapa langkah ke samping. Seketika terdengar suara benturan senjata beberapa kali. Rupanya pedang orang-orang itu telah menusuk dinding tempat Linghu Chong berdiri tadi. Untungnya belasan orang itu menyerang bersama, sehingga suara mereka bercampur aduk sehingga suara langkah Linghu Chong luput dari perhatian mereka. Kini tidak seorang pun yang tahu ke mana pemuda itu berpindah tempat.
Perlahan-lahan Linghu Chong berjongkok dan meraba tanah. Begitu tangannya menemukan sebatang pedang, segera ia melemparkannya ke depan. Terdengar pedang itu membentur dinding gua. Serentak belasan orang buta pun menerjang maju ke arah suara. Sesaat kemudian terdengar suara benturan senjata yang ramai. Rupanya mereka langsung terlibat pertempuran melawan para kesatria tiga perguruan yang masih hidup. Berkali-kali terdengar bentakan dan jeritan ngeri. Dalam sekejap saja sudah ada beberapa orang yang roboh binasa.
Sebenarnya kepandaian para kesatria ini tidaklah lemah. Namun di dalam kegelapan mereka jelas bukan tandingan kawanan orang buta itu.
Di tengah suasana ribut tersebut Linghu Chong lantas bergeser lagi beberapa langkah ke kiri dan meraba-raba dinding gua di sekitar situ. Setelah yakin tiada orang lain maka ia lantas berjongkok dan merenung, “Zuo Lengchan membawa Lin Pingzhi dan kawanan orang buta itu kemari. Jelas dia sengaja memasang perangkap untuk mengurung semua orang di dalam gua ini. Kemudian dalam keadaan gelap gulita, ia mengerahkan kawanan orang buta itu untuk membinasakan semuanya. Hanya saja dari mana dia dapat mengetahui letak gua rahasia ini?”
Sejenak kemudian ia pun menemukan jawaban, “Ah, benar sekali. Tempo hari di Gunung Songshan Adik Kecil memainkan jurus-jurus yang terukir di dinding gua ini untuk mengalahkan para tokoh terkemuka dari Perguruan Taishan dan Hengshan. Kalau Adik Kecil pernah datang kemari, tentu Lin Pingzhi juga pernah kemari.”
Tiba-tiba terdengar suara Lin Pingzhi berteriak mengolok-olok, “Linghu Chong, kenapa kau tidak berani memperlihatkan diri? Huh, dasar pengecut! Orang gagah macam apa dirimu ini?”
Seketika Linghu Chong merasa gusar. Segera ia bermaksud melabrak pemuda itu, namun dengan cepat dapat menahan diri. Ia berpikir, “Sebelum aku dapat menemukan Yingying, untuk apa aku harus mengadu nyawa dengan dia? Apalagi aku sudah berjanji kepada Adik Kecil untuk menjaga baik-baik orang bermarga Lin ini. Bila aku bertempur dengannya dan mati terbunuh tentu rasanya konyol. Sebaliknya kalau dia sampai mati juga aku yang merasa bersalah.”
“Semua orang di sini adalah bangsat pengecut. Bunuh semua pengkhianat di sini,” seru Zuo Lengchan memberi perintah. “Bahkan si bocah Linghu Chong juga tidak mungkin bisa menyembunyikan diri.”
Dalam sekejap saja suara benturan senjata dan bentakan di sana-sini terdengar semakin ramai. Linghu Chong tetap berjongkok sehingga tidak seorang pun yang dapat menyerangnya. Ia memasang telinga dengan seksama kalau-kalau terdengar suara Ren Yingying. Ia berpikir gadis itu sangat cerdik. Dalam keadaan terancam bahaya seperti ini tentu tidak akan membunyikan kecapi.
Linghu Chong semakin cermat dalam mendengarkan keadaan di dalam gua maut tersebut. Ternyata pertempuran antara para kesatria melawan kawanan orang buta ini terjadi sedemikian hebatnya. Sambil bertempur riuh ramai pula terdengar suara bentakan dan caci maki. Berkali-kali ia mendengar orang memaki dengan kata-kata: “persetan nenekmu”.
Linghu Chong merasa heran. Kata-kata “persetan nenekmu” itu terdengar lain daripada yang lain. Pada umumnya kata-kata makian yang sering diucapkan orang adalah “persetan ibumu” atau cukup “nenekmu” saja. Namun istilah “persetan nenekmu” benar-benar baru didengarnya kali ini. Ia berpikir apakah mungkin orang yang memaki itu berasal dari suatu daerah tertentu, yang biasa menggunakan istilah demikian?
Namun setelah diperhatikan lagi, akhirnya Linghu Chong menemukan sesuatu yang aneh. Apabila ucapan “persetan nenekmu” itu dilontarkan oleh dua orang secara bersamaan, maka untuk selanjutnya senjata kedua orang itu lantas berhenti. Sebaliknya kalau yang memaki “persetan nenekmu” hanya satu orang, maka pertarungan pun pun terus saja berlangsung. Setelah dipikir lagi, Linghu Chong akhirnya paham. “Rupanya makian ini adalah semacam kata sandi di antara orang-orang buta itu untuk membedakan mana kawan mana lawan,” pikirnya kemudian.
Dalam kegelapan tersebut semua orang bertempur secara serabutan. Tentu saja sangat sulit membedakan kawan atau lawan. Namun orang-orang buta itu telah menggunakan kata sandi sebelum mereka menyerang. Apabila dua orang bertemu dan sama-sama mengucapkan “persetan nenekmu”, maka itu berarti mereka saling bertemu kawan sendiri. Namun apabila ucapan “persetan nenekmu” tidak dibalas dengan istilah yang sama, maka tanpa ragu si orang buta pun melancarkan serangannya, dan tak lama setelah itu korban kembali berjatuhan.
Setelah mengetahui rahasia serangan kawanan orang buta itu, perlahan-lahan Linghu Chong berdiri sambil menyilangkan pedangnya di depan dada. Didengarnya suara makian “persetan nenekmu” itu semakin lama semakin ramai. Sebaliknya, suara benturan senjata dan suara bentakan dengan istilah lain semakin mereda. Jelas orang-orang Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan semakin banyak yang terbunuh. Namun selama ini ia tetap tidak mendengar sedikit pun suara Ren Yingying. Ia menjadi khawatir jangan-jangan Ren Yingying benar-benar telah terbunuh olehnya dirinya sendiri. Namun di sisi lain ia juga bersyukur gadis itu tidak menjadi korban keganasan kawanan orang buta tersebut.
Linghu Chong lantas merenung, “Murid-murid Songshan telah mendengar tentang gambar-gambar jurus pedang leluhur perguruan mereka terukir di dinding gua ini. Mereka pun berbondong-bondong ke sini untuk melihat. Hanya karena tidak meminta izin lantas Zuo Lengchan menghukum mati mereka semua tanpa ampun. Pasti ia juga bermaksud membunuhku, namun tidak tahu aku berada di mana. Hm, sungguh kasihan murid-murid Songshan ini, juga yang lainnya. Mereka harus mati di tangan manusia gila semacam Zuo Lengchan.”
Tidak lama kemudian suara pertempuran akhirnya berhenti sudah. Terdengar Zuo Lengchan berseru, “Semuanya, sisir seluruh gua ini! Kalau ada yang masih hidup, segera dibunuh saja!”
“Baik,” sahut kawanan orang buta itu. Mereka lantas berpencar sambil menebas dan mengayunkan senjata ke segala arah. Suara sambaran angin tajam terdengar menderu-deru di sana-sini. Sebanyak dua kali pedang orang-orang buta itu hampair mengenai tubuh Linghu Chong, namun dapat ditangkisnya sambil ikut memaki, “Persetan nenekmu!”
Ternyata suaranya yang dibuat-buat dan kata-katanya yang meniru itu telah membuat jiwa Linghu Chong lolos dari maut. Suara sambaran pedang dan caci maki kawanan orang buta itu terus saja berlangsung sampai sekian lamanya. Linghu Chong benar-benar sangat cemas dan hampir saja ia menangis memikirkan keselamatan Ren Yingying. Sungguh ingin sekali ia berteriak memanggil, “Yingying, Yingying, di mana kau?”
“Berhenti semua!” teriak Zuo Lengchan memberi aba-aba. Kawanan orang buta itu serentak berhenti di tempat masing-masing. Dengan terbahak-bahak Zuo Lengchan lantas berkata, “Para murid pengkhianat ini sudah tertumpas semua. Mereka sungguh tidak tahu malu. Hanya karena ingin belajar ilmu pedang, mereka rela bersumpah setia kepada si keparat Yue Buqun. Hahaha! Hahaha! Bangsat cilik Linghu Chong tentu sudah mampus pula di bawah pedang kalian. Hahahaha! Linghu Chong, di mana kau? Apa kau sudah mampus, hah?”
Linghu Chong terdiam tanpa menjawab sedikit pun sambil menahan napas.
Zuo Lengchan melanjutkan, “Pingzhi, hari ini orang yang paling kau benci sudah mampus. Tentu kau merasa puas.”
“Semua ini berkat rencana matang dari Saudara Zuo,” jawab Lin Pingzhi. “Benar-benar perangkap yang sempurna.”
Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Jadi Zuo Lengchan dan Lin Pingzhi sudah mengangkat saudara. Rupanya demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis, Zuo Lengchan bersikap sedemikian baik kepada bocah ini.”
Terdengar Zuo Lengchan berkata, “Tapi kalau lorong rahasia menuju gua ini tidak kau ceritakan padaku, maka sulit bagiku untuk menyusun rencana dan membalas dendam.”
“Sayang sekali,” ujar Lin Pingzhi, “dalam kekacauan tadi aku tidak dapat membunuh si bangsat Linghu Chong dengan tanganku sendiri.”
Linghu Chong merasa heran mengapa Lin Pingzhi begitu membencinya. Terdengar Zuo Lengchan menjawab dengan suara tertahan, “Tidak penting siapa yang telah membunuhnya, semua sama saja.” Sejenak kemudian ia kembali memberi aba-aba. “Sekarang marilah kita keluar dari sini. Mungkin si keparat Yue Buqun sedang berada di luar gua. Selagi matahari belum terbit marilah kita beramai-ramai mengerubutnya. Dalam kegelapan malam tentu kita bisa menang.”
“Baik,” jawab Lin Pingzhi setuju. Sejenak kemudian terdengar kawanan orang buta itu melangkah pergi. Rupanya mereka kembali masuk ke dalam lorong sempit di belakang gua. Semakin lama suara mereka terasa semakin menjauh, dan akhirnya tak terdengar apa-apa lagi.
“Yingying, di mana kau?” seru Linghu Chong dengan suara tertahan.
Tiba-tiba di atas kepalanya terdengar suara seseorang mendesis, “Sssst, jangan keras-keras! Aku ada di sini.”
Karena senangnya seketika kedua kaki Linghu Chong terasa lemas dan ia pun jatuh terduduk di tanah.
Ketika kawanan orang buta tadi mengamuk secara ganas, maka yang paling aman adalah bersembunyi di tempat ketinggian sehingga tidak terjangkau oleh pedang musuh. Hal ini sebenarnya sangat mudah diketahui. Namun dalam keadaan sedemikian gawat semacam tadi, pikiran semua orang menjadi bingung sehingga sama sekali tidak memikirkan hal seperti itu.
Ren Yingying lantas melompat turun. Segera Linghu Chong membuang pedangnya dan langsung memeluk erat-erat tubuh gadis itu. Keduanya sama-sama bahagia dan saling mencucurkan air mata. Perlahan-lahan Linghu Chong mencium pipi si nona dan berbisik, “Kau benar-benar membuatku khawatir setengah mati.”
Dalam kegelapan Ren Yingying tidak menghindari ciuman tersebut. Dengan perlahan ia menjawab, “Ketika kau memaki dengan kata-kata ‘persetan nenekmu’, seketika aku lantas mengenali suaramu.”
Linghu Chong tertawa geli dan kemudian bertanya, “Kau sendiri tidak terluka, bukan?”
“Tidak,” jawab Ren Yingying.
“Semula aku tidak merasa khawatir ketika mendengar suara kecapi. Tapi setelah suara kecapi berhenti, aku menusuk roboh seorang perempuan pula. Aku jadi kelabakan dan sangat khawatir perempuan itu adalah dirimu. Perempuan itu sepertinya langsung mati dan aku benar-benar kebingungan dibuatnya,” ujar Linghu Chong.
“Kau sama sekali tidak dapat membedakan suaraku dengan suara perempuan lain. Sudah seperti itu kau masih berani bilang senantiasa memikirkan diriku?” jawab Ren Yingying sambil tersenyum. “Sebenarnya sejak tadi aku sudah melompat ke tempat tinggi itu. Khawatir diketahui orang, aku tidak berani bersuara memanggil dirimu. Maka itu aku hanya bisa melemparkan uang logam ke arah kecapi yang tertinggal di bawah, dengan harapan kau akan mengetahui keberadaanku.”
“Oh, ternyata demikian. Aku tidak pernah menduganya. Aku sungguh bodoh, pantas dipukul,” ujar Linghu Chong sambil menampar pelan pipinya sendiri. “Aih, Nona Ren sungguh bernasib sial mendapatkan calon suami yang polos dan bodoh ini. Waktu itu aku hanya merasa heran, mengapa kecapi yang kau bunyikan itu tanpa irama? Kenapa pula tidak membawakan Lagu Penenang Jiwa, atau Menertawakan Dunia Persilatan?”
Ren Yingying masih membiarkan tubuhnya dipeluk Linghu Chong. Ia pun menjawab, “Memangnya aku seorang dewi kahyangan, bisa memainkan lagu hanya dengan melemparkan uang logam dalam kegelapan?’
“Kau memang seorang dewi kahyangan,” sahut Linghu Chong sambil tertawa.
Begitu mendengar pujian ini Ren Yingying berusaha meronta namun Linghu Chong memeluknya lebih erat. Pemuda itu lantas bertanya, “Mengapa lemparanmu tadi hanya terdengar beberapa kali saja? Mengapa kau tidak membunyikan kecapi lagi?”
“Aku terlalu miskin,” jawab Ren Yingying dengan tertawa. “Hanya itu saja uangku yang tersisa di saku. Setelah kulemparkan ke bawah, habis sudah.”
Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Sayang sekali di gua ini tidak ada ladang uang, juga tidak ada pasar. Andaikan ada, tentu Nona Ren bisa meminjam beberapa keping.”
Ren Yingying kembali tertawa dan berkata, “Setelah persediaan uangku habis, aku lantas melemparkan jepit rambut dan anting-antingku pula. Namun ketika orang-orang buta itu mulai mengganas, aku tidak berani melempar lagi. Pendengaran mereka sudah pasti jauh lebih tajam.”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang tertawa dingin di mulut lorong sempit belakang gua. Seketika Linghu Chong dan Ren Yingying berteriak kaget. Dengan tangan kiri ia merangkul si nona sedangkan tangan kanannya memungut kembali pedangnya di tanah. Setelah itu Linghu Chong lantas membentak, “Siapa di situ?”
“Pendekar Linghu, ini aku!” sahut orang itu dengan suara dingin. Suara ini jelas suara Lin Pingzhi. Menyusul kemudian terdengar pula suara langkah kaki banyak orang muncul dari lorong itu. Rupanya kawanan orang buta tadi telah kembali lagi ke dalam gua utama.
Diam-diam Linghu Chong memaki dirinya sendiri yang terlalu ceroboh. Seharusnya terpikir olehnya bahwa Zuo Lengchan adalah bajingan tua yang sangat licik. Setelah membantai para kesatria di dalam gua mana mungkin dia pergi begitu saja? Tentu tadi dia pura-pura berangkat bersama begundalnya, namun diam-diam bersembunyi di ujung lorong untuk mendengarkan gerak-gerik di dalam gua. Lantaran dapat berkumpul kembali dengan Ren Yingying setelah melewati saat-saat berbahaya tadi, karena senangnya ia menjadi lupa daratan dan tidak ingat bahwa musuh tangguh setiap saat mungkin akan muncul kembali.
Tiba-tiba Ren Yingying berbisik sambil menarik lengan pemuda itu, “Naik ke atas!” Bersama-sama mereka berdua pun meloncat ke atas.
Sejak tadi Ren Yingying bersembunyi di atas batu karang yang mencuat pada dinding gua. Maka itu meski dalam kegelapan ia masih ingat di mana letak batu karang tersebut dan dapat hinggap di atasnya dengan tepat. Sebaliknya, Linghu Chong yang tidak tahu menahu hanya meloncat mengikuti si nona. Tanpa sadar kakinya telah menginjak tempat kosong, dan tubuhnya pun jatuh kembali ke bawah. Untungnya Ren Yingying sempat menarik sebelah tangannya dan membawanya naik ke atas.
Batu karang yang menonjol pada dinding gua itu luasnya kurang dari satu meter. Linghu Chong dan Ren Yingying berkumpul di situ bisa dikatakan kurang leluasa. Diam-diam Linghu Chong merasa bersyukur si nona dapat bertindak dengan cepat. Dengan berdiri di atas tentu tidak mudah dikepung dan dikerubut oleh kawanan orang buta itu.
“Kedua setan cilik itu meloncat ke atas,” terdengar Zuo Lengchan berkata.
“Ya, di depan sana!” sahut Lin Pingzhi.
“Linghu Chong, apakah kau akan terus bersembunyi di sana seumur hidup?” seru Zuo Lengchan membentak.
Namun Linghu Chong diam saja tanpa menjawab. Ia sadar sedikit saja bersuara tentu tempat persembunyiannya bersama Ren Yingying akan segera diketahui musuh. Tangan kanannya tetap menghunus pedang dan tangan kiri merangkul pinggang Ren Yingying yang ramping. Sebaliknya, Ren Yingying sendiri juga memegang pedang pendek di tangan kiri, dan merangkul pinggang Linghu Chong menggunakan tangan kanan. Kedua orang itu merasa sangat puas dan terhibur, karena mereka dapat berkumpul bersama. Sekalipun hari ini harus mati juga takkan menyesal.
Kembali terdengar Zuo Lengchan berseru, “Bola mata kalian dibutakan oleh siapa, apa kalian sudah lupa?”
Serentak belasan orang buta itu menjadi murka. Mereka berteriak-teriak dan kemudian melompat ke atas sambil mengayunkan pedang serta menusuk secara serabutan.
Linghu Chong dan Ren Yingying diam saja. Serangan orang-orang buta itu sia-sia dan tidak mengenai sasaran. Ketika orang-orang buta itu melompat lagi untuk yang kedua kalinya, salah seorang di antaranya hanya berjarak satu meter di depan batu karang menonjol tersebut. Dari hembusan angin yang dibawa orang buta itu, segera Linghu Chong dapat merasakannya lantas menusukkan pedangnya pula. Seketika seorang buta menjerit ngeri karena dadanya sudah tertusuk pedang pemuda itu dan ia pun terbanting ke bawah.
Dengan demikian tempat persembunyian Linghu Chong dan Ren Yingying pun dapat mereka ketahui. Serentak beberapa orang buta melompat ke atas untuk menyerang bersamaan.
Batu karang yang menonjol itu tingginya tiga-empat meter dari permukaan tanah. Kawanan orang buta yang melompat ke atas tentu membawa hembusan angin menyambar tajam. Meskipun dalam suasana gelap gulita, Linghu Chong dan Ren Yingying dapat dengan jelas merasakan hembusan angin tersebut. Maka keduanya pun menyongsong serangan musuh-musuh itu dengan senjata masing-masing, sehingga dua orang buta kembali tertusuk dan menjadi korban.
Untuk sementara orang-orang buta itu menjadi gentar. Mereka sama-sama menengadah ke atas sambil mencaci maki, namun sedikit pun tidak berani menyerang lagi.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba angin kencang menyambar tiba. Terdengar ada dua orang melompat dari kanan dan kiri. Segera Linghu Chong dan Ren Yingying menusukkan pedang masing-masing. Maka terdengarlah suara empat pedang beradu dengan keras. Linghu Chong merasa lengannya pegal-pegal, bahkan pedangnya hampir saja terlepas dari genggaman. Jelas kali ini yang menyerang dirinya adalah Zuo Lengchan sendiri.
Sementara itu Ren Yingying bahkan menjerit kesakitan karena pundaknya terluka oleh pedang musuh. Hampir saja ia terpeleset jatuh ke bawah. Untungnya Linghu Chong sempat merangkul pinggang si nona lebih kencang. Zuo Lengchan dan rekannya itu kembali meloncat dan melancarkan serangan. Segera pedang Linghu Chong menusuk orang yang menyerang Ren Yingying. Ketika kedua pedang berbenturan, mendadak orang itu mengubah gerakan pedangnya dengan cepat, yaitu memotong ke bawah menggesek pedang Linghu Chong. Jelas orang yang dihadapi Linghu Chong kali ini adalah Lin Pingzhi.
Segera ia pun menarik tubuh untuk mengelak. Terasa angin tajam menyambar melalui pedang Lin Pingzhi itu dan menghembus ke arah Ren Yingying. Dalam keadaan tubuh terapung, ternyata Lin Pingzhi sanggup melancarkan tiga kali serangan secara berturut-turut. Diam-diam Linghu Chong mengakui kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis yang menjadi rebutan dunia persilatan itu.
Khawatir Ren Yingying akan terluka lagi, tanpa pikir panjang Linghu Chong pun melompat turun bersama gadis itu. Sambil punggung merapat di dinding ia memutar pedang dengan kencang agar musuh tidak berani mendekat.
Tiba-tiba terdengar Zuo Lengchan tertawa panjang sambil menusukkan pedangnya. Begitu kedua pedang beradu, tubuh Linghu Chong langsung tergetar. Terasa suatu arus tenaga dalam mahadingin masuk ke dalam tubuhnya melalui pedang. Seketika teringat olehnya pertandingan antara Ren Woxing melawan Zuo Lengchan di Biara Shaolin dulu. Waktu itu Ren Woxing menggunakan Jurus Penyedot Bintang untuk menghisap tenaga dalam Zuo Lengchan. Tak disangka tenaga dalam Zuo Lengchan tersebut justru membuat Ren Woxing nyaris mati kedinginan dan membeku.
Kini Zuo Lengchan kembali melakukan hal yang sama, yaitu membiarkan tenaga dalamnya dihisap oleh lawan. Sudah tentu Linghu Chong tidak mau masuk perangkap. Segera ia mengerahkan tenaga untuk menolak hawa dingin itu keluar. Karena terlalu keras ia mendesak tenaga dalam tersebut, tanpa kuasa jari tangannya pun menjadi kendur, dan pedang pun terlepas dari genggaman.
Segenap kepandaian Linghu Chong jelas terletak pada ilmu pedangnya yang lihai. Maka itu dengan cepat ia pun berjongkok dan meraba-raba di tanah. Di dalam gua itu tergeletak sekitar dua ratus mayat. Sudah pasti di atas tanah juga banyak berserakan senjata mereka. Asalkan dapat memungut suatu senjata, entah golok ataupun pedang tentu dapat dipakai menahan serangan musuh meski hanya sementara.
Tak disangka yang teraba oleh tangan Linghu Chong adalah wajah seseorang yang sudah kaku dan dingin. Tangannya terasa berlumuran darah mayat tersebut. Segera ia merangkul Ren Yingying dan bergeser dua langkah ke dekat dinding gua. Sambil melangkah Ren Yingying memainkan pedang pendeknya untuk menangkis dua serangan musuh. Namun pada serangan ketiga yang lebih keras, pedang pendek itu akhirnya jatuh pula dan terlempar entah ke mana.
Perasaan Linghu Chong bertambah khawatir. Kembali ia berjongkok dan meraba-raba lantai gua. Kini tangannya merasa menemukan sesuatu, semacam tongkat pendek. Dalam keadaan gawat seperti itu ia tidak sempat lagi memeriksa benda tersebut. Ketika terasa angin tajam datang menyambar, segera ia pun mengangkat tongkat pendek itu untuk menangkis. Tanpa ampun tongkat tersebut langsung patah terkena pedang lawan.
Pada waktu mengangkat kepala untuk berkelit, tiba-tiba Linghu Chong melihat di depan matanya tampak meletik beberapa titik sinar. Beberapa titik cahaya itu sangat lemah namun di dalam gua yang gelap gulita itu bagaikan sebuah bintang kejora yang bersinar di atas langit. Samar-samar bentuk tubuh dan kelebat pedang musuh pun dapat dibedakannya.
Tanpa terasa Linghu Chong dan Ren Yingying bersorak gembira. Pada saat itu pedang Zuo Lengchan tampak kembali menusuk. Segera Linghu Chong mengangkat tongkat pendeknya itu untuk menusuk leher lawan. Tempat yang diarah memang merupakan titik kelemahan serangan musuh. Seketika Zuo Lengchan pun menarik serangannya dan menghindari tusukan itu. Meskipun kedua matanya sudah buta namun perasaannya sangat peka sehingga mampu berkelit dengan cukup gesit. Sambil melompat mundur ia pun mencaci maki dengan rasa penasaran.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Ren Yingying untuk berjongkok dan memungut sebatang pedang. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Linghu Chong dan memindahkan tongkat pendek itu ke tangannya. Gadis itu lantas memutar tongkat pendek tersebut dengan kencang sehingga titik-titik cahaya putih kehijauan bertaburan di udara tanpa terputus.
Serentak semangat Linghu Chong pun menyala bangkit. Dalam keadaan gawat yang menentukan antara hidup atau mati itu, ia tidak mau lagi mengasihani lawan. Segera pedangnya bekerja dengan cepat. Sambil mulut memaki, “Persetan nenekmu!” kontan seorang buta tewas tertusuk pedangnya.
Ternyata gerak tangannya lebih cepat daripada mulutnya. Baru enam kali ia memaki “persetan nenekmu”, ternyata sudah sebelas orang buta yang lainnya sudah mati berjatuhan semuanya . Kawanan orang buta itu rupanya terlalu polos. Ketika mendengar Linghu Chong memaki “persetan nenekmu”, masing-masing mengira sedang berhadapan dengan kawan sendiri. Maka tanpa perlawanan dan sebelum sempat bisa berpikir lebih banyak lagi tahu-tahu pedang Linghu Chong sudah menusuk leher mereka. Seketika jiwa mereka pun melayang menemui sang nenek di alam sana.
Menyadari hal ini Zuo Lengchan dan Lin Pingzhi menjadi kebingungan. Mereka pun bertanya-tanya dengan gelisah, “Ada apa? Apakah ada api?”
“Benar!” bentak Linghu Chong sambil menyerang Zuo Lengchan tiga kali.
Rupanya Zuo Lengchan sudah sangat terlatih dalam menghadapi serangan musuh menggunakan telinga. Berturut-turut ia dapat menangkis ketiga serangan Linghu Chong tersebut. Sebaliknya, Linghu Chong merasa lengannya pegal-pegal. Kembali terasa suatu arus hawa dingin menyalur masuk melalui pedangnya yang beradu dengan senjata musuh.
Tiba-tiba terlintas suatu pikiran dalam benak Linghu Chong. Segera ia pun berdiri tegak dan menahan senjata. Sedikit pun tidak bergerak lagi. Karena tidak mendengar gerak-gerik lawan, Zuo Lengchan menjadi kelabakan. Dengan gelisah ia memutar pedangnya untuk melindungi segenap titik penting pada tubuhnya.
Sementara itu Ren Yingying masih terus memutar tongkat pendek di tangannya. Berkat percikan titik cahaya yang bertebaran keluar dari tongkat tersebut, Linghu Chong dapat membedakan musuh dengan cukup jelas. Perlahan-lahan ia lantas menjulurkan pedangnya ke arah lengan kanan Lin Pingzhi, sedikit demi sedikit mendekati sasaran.
Lin Pingzhi memiringkan kepala untuk mendengarkan serangan lawan. Akan tetapi pedang Linghu Chong itu bergerak dengan sangat perlahan, sedikit pun tidak menimbulkan suara. Begitu ujung pedang tersebut sudah tinggal beberapa senti saja di depan sasaran, mendadak Linghu Chong pun mendorongnya dengan sangat cepat. Seketika urat syaraf pada lengan kanan Lin Pingzhi putus semua.
Lin Pingzhi menjerit keras. Pedangnya pun terlepas dari genggaman dan jatuh ke tanah. Dengan kalap ia menubruk maju. Namun pedang Linghu Chong kembali bekerja. Kini kedua kaki Lin Pingzhi pun tertusuk pula. Tanpa ampun pemuda itu roboh terguling sambil mencaci maki penuh kebencian.
Sewaktu Linghu Chong berpaling ke arah Zuo Lengchan, di bawah titik-titik cahaya yang remang-remang ia melihat gembong Perguruan Songshan yang sudah buta itu sedang mengertakkan gigi. Wajahnya terlihat beringas menakutkan. Tangannya terus saja mengayun-ayunkan pedang dengan sangat gencar. Namun sehebat apapun ilmu pedangnya tetap bukan tandingan Sembilan Jurus Pedang Dugu.
Sesaat Linghu Chong merenung, “Manusia ini adalah biang keladi kekacauan di dunia persilatan. Dosanya tidak dapat diampuni lagi!”
Usai berpikir demikian tiba-tiba ia berteriak nyaring dan pedangnya pun bekerja dengan sangat cepat. Dalam sekaligus Zuo Lengchan langsung terkena tiga tusukan. Satu di dahi, satu di leher, dan satu lagi tepat di dadanya. Setelah melukai lawan, Linghu Chong segera melompat mundur sambil menggandeng tangan Ren Yingying. Tampak Zuo Lengchan berdiri mematung. Sejenak kemudian orang itu pun roboh ke depan. Pedangnya bahkan berputar balik dan menusuk perut sendiri hingga tembus.
Setelah perasaannya agak tenang, Linghu Chong mencoba memandangi tongkat pendek di tangan Ren Yingying yang memercikkan titik-titik sinar putih kehijauan tersebut. Cahaya ini sangat lemah sehingga tidak jelas benda apakah sebenarnya tongkat tersebut.
Khawatir kalau-kalau Lin Pingzhi kembali melakukan serangan kalap, segera Linghu Chong mengayunkan pedang memutus semua urat syaraf di lengan kiri pemuda itu. Kemudian ia pun menggeledah beberapa mayat untuk mencari pemantik api. Berturut-turut dua orang telah digerayanginya, namun tidak terdapat apapun di saku baju mereka. Tiba-tiba terlintas suatu pikiran di benaknya, dan ia pun memaki, “Persetan nenekmu! Manusia buta sudah tentu tidak membawa pemantik api segala.”
Pada mayat kelima barulah Linghu Chong menemukan pemantik api. Segera ia membakar sehelai kain sebagai pengganti obor. Begitu keadaan menjadi lebih terang, kedua orang itu langsung menjerit bersamaan. Ternyata tongkat pendek yang dipegang Ren Yingying itu adalah sepotong tulang paha yang sudah sangat tua. Segera Ren Yingying pun melemparkan tulang itu sambil memaki, “Persetan ne...” namun sampai di sini ia lantas berhenti dengan perasaan malu.
Melihat tulang tua itu Linghu Chong langsung paham dan berkata, “Yingying, jiwa kita telah tertolong oleh sesepuh dari partaimu.”
“Sesepuh dari partaiku?” tanya Ren Yingying tidak mengerti.
Linghu Chong pun bercerita, “Lebih dari seratus tahun yang lalu sepuluh orang pemuka Partai Mentari dan Bulan pernah menyerbu ke Gunung Huashan sini. Namun mereka justru terjebak dan terkurung di dalam gua ini untuk selamanya dan akhirnya mati penasaran. Yang tertinggal dari mereka saat ini hanyalah senjata dan tulang belulang saja. Tulang yang kau pegang tadi adalah tulang paha, entah tulang sesepuh yang mana.”
Setelah diam sejenak ia lantas melanjutkan, “Tanpa sengaja tulang ini kuambil di atas tanah dan kugunakan untuk menangkis serangan pedang Zuo Lengchan. Begitu terpotong langsung saja tulang ini memercikkan sinar putih kehijauan. Tulang ini sudah berusia ratusan tahun dan mengandung banyak fosfor di dalamnya. Rupanya percikan cahaya fosfor inilah yang telah menyelamatkan jiwa kita. Orang-orang biasa menyebut cahaya fosfor sebagai api setan, namun berkat api setan inilah, kita bisa melihat di mana musuh berada.”
Ren Yingying menghela napas lega. Ia lantas memberi hormat ke arah potongan tulang tadi dan berkata, “Mohon maaf atas ketidaktahuanku. Ternyata aku berhadapan dengan sesepuh agama sendiri.”
Linghu Chong lantas menemukan dua buah obor dan segera menyalakannya. Setelah keadaan semakin terang, ia pun berpikir dengan perasaan gelisah, “Entah bagaimana nasib Paman Mo? Apakah Beliau dapat selamat dari kekacauan ini?”
“Paman Mo! Paman Mo!” seru Linghu Chong memanggil-manggil. Namun sama sekali tidak tedengar jawaban dari ketua Perguruan Hengshan tersebut. Mengingat keadaan tadi sedemikian kacaunya, Linghu Chong merasa tiada harapan lagi bagi Tuan Besar Mo untuk bisa tetap selamat. Dengan perasaan pilu ia pun memandangi mayat para kesatria yang tergeletak di dalam gua tersebut, namun sangat sulit untuk mengetahui yang mana jasad Tuan Besar Mo.
Dengan perasaan sedih Linghu Chong merenung, “Kami baru saja lolos dari kematian. Namun keadaan di dalam gua ini masih cukup berbahaya. Aku harus segera mengajak Yingying pergi. Kelak bila keadaan sudah aman, aku akan kembali ke sini untuk mencari jasad Paman Mo dan menguburkannya secara layak.”
Usai berpikir demikian Linghu Chong lantas menggendong tubuh Lin Pingzhi dan melangkah memasuki lorong sempit menuju ke luar gua. Sambil membawa kecapinya yang sudah rusak, Ren Yingying berjalan di belakang tanpa banyak bertanya. Rupanya ia paham kalau Linghu Chong pernah bersumpah untuk memenuhi wasiat terakhir Yue Lingshan, yaitu selalu menjaga Lin Pingzhi dari bahaya yang mengancam.
Perlahan-lahan mereka menyusuri lorong sempit yang dulu digali oleh pemuka aliran sesat tersebut. Dengan penuh kewaspadaan Linghu Chong menyiapkan pedang di depan dada. Ia berpikir Zuo Lengchan yang licik itu tentu menyuruh orang lain berjaga di lorong tersebut. Tak disangka, sampai di ujung lorong tetap tiada seorang pun yang terlihat. Perlahan Linghu Chong mendorong penutup lorong tersebut. Seketika matanya terbelalak silau. Rupanya matahari telah terbit sejak tadi. Tak disangka ternyata pertempuran di dalam gua maut itu cukup banyak memakan waktu.
Tidak hanya di dalam, bahkan di luar lorong pun tidak terdapat seorang pun begundal Zuo Lengchan. Segera Linghu Chong melompat keluar dan menarik tubuh Lin Pingzhi dari lorong sempit itu. Disusul kemudian Ren Yingying melompat pula. Betapa nyaman perasaan mereka setelah menghirup udara segar. Mereka merasa saat ini benar-benar sudah berada di tempat yang aman.
“Ketika dihukum oleh gurumu, apakah di gua ini kau tinggal?” tanya Ren Yingying.
“Benar,” sahut Linghu Chong. “Bagaimana menurutmu?”
Ren Yingying tersenyum menjawab, “Menurutku kau tidak mungkin bermeditasi, tapi menghabiskan waktu bersama...” Sebenarnya ia hendak menyebut “adik kecilmu”, namun segera berhenti karena takut membuat Linghu Chong kembali bersedih.
Linghu Chong lantas berkata, “Di sini pula aku mendapatkan pelajaran ilmu pedang dari Kakek Guru Feng. Entah Beliau masih tinggal di sekitar sini atau tidak? Semoga kesehatan Beliau baik-baik saja. Beliau pernah bersumpah tidak akan menemui orang Huashan lagi. Tapi, bukankah aku sudah dipecat dari Perguruan Huashan?”
Ren Yingying menyahut, “Ayahku sangat mengagumi kehebatan ilmu pedang Beliau. Kalau begitu, mari kita bersama mencari Beliau.”
Linghu Chong segera menyarungkan pedangnya dan meletakkan tubuh Lin Pingzhi di dekat mulut gua. Kemudian ia pun melangkah sambil menggandeng tangan Ren Yingying.
Akan tetapi baru saja keluar dari gua tersebut, tiba-tiba suatu benda berkelebat di atas kepala mereka, sepertinya menimpa turun ke bawah. Dengan cepat mereka berdua pun melompat untuk menghindar. Namun sayang sekali sudah terlambat. Benda yang meluncur ke bawah tersebut ternyata sebuah jala yang sangat besar dan langsung membungkus rapat tubuh mereka berdua.
(Bersambung)
Bagian 81 ; Bagian 82 ; Bagian 83