Bagian 78 - Isi Hati Sang Biksuni Muda

Beruang Putih menjawab, “Sudah bagus kalau aku bisa tahu. Aku tadi sedang berjalan-jalan di sini. Entah bagaimana, tahu-tahu punggungku sudah ditotok orang. Keparat, kalau benar laki-laki sejati seharusnya berkelahi dari depan. Silakan pakai senjata macam apa juga akan kulayani. Tapi ini malah main sergap, huh, kesatria macam apa? Dasar bangsat!”
“Boleh juga kalau kalian berdua tidak mau berterus terang,” ujar Zu Qianqiu. “Entah ada rahasia apa, tapi yang jelas urusan ini sudah ada yang tahu. Jika muslihat ini dilanjutkan, kukira tidak akan ada hasilnya. Pesanku pada kalian semua supaya lebih berhati-hati.”
“Saudara Zu,” sahut seseorang, “mereka tidak mau berterus terang. Kita tinggalkan saja mereka di sini selama tiga hari tiga malam.”
“Benar,” sahut yang lain menanggapi. “Jika kita membebaskan mereka, jangan-jangan orang sakti itu akan marah kepada kita dan bisa-bisa malah kita sendiri yang akan digantung di atas pohon. Kalau begitu bisa runyam jadinya.”
“Yang kalian katakan tidak salah,” kata Ji Wushi. Ia kemudian berkata kepada Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lain, “Maaf, Saudara-saudara. Bukannya aku tidak mau menolong kalian, tapi masalahnya aku sendiri juga merasa takut.”
Beruang Hitam dan Beruang Putih saling pandang, lalu sama-sama memaki dengan kata-kata kotor. Hanya saja mereka tidak berani terang-terangan memaki Ji Wushi dan yang lain secara langsung. Selama totokan mereka belum terbuka sungguh berbahaya jika sampai membuat orang-orang itu marah.
Ji Wushi hanya tertawa dan berkata, “Semuanya, mari kita pergi dari sini!”
Mengikuti ajakan si Kucing Malam, orang-orang yang berkerumun itu pun lantas membubarkan diri. Linghu Chong juga ikut melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat tersebut. Ketika ia keluar meninggalkan pekarangan bangunan itu, tiba-tiba kembali terdengar suara ribut-ribut dari dalam.
Begitu menengok ke arah datangnya suara, Linghu Chong melihat orang-orang sedang memandang ke atas sambil bergelak tawa . Ia pun ikut mengangkat kepalanya dan melihat di atas pohon gongsun kembali terdapat dua orang sedang tergantung-gantung dengan kedua kaki di atas. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata kedua orang itu adalah Tian Boguang dan Biksu Bujie.
Kontan saja Linghu Chong terheran-heran. Ia berpikir, “Biksu Bujie dan Tian Boguang masing-masing adalah ayah dan murid Adik Yilin. Bagaimanapun juga mereka tidak mungkin punya niat buruk terhadap Perguruan Henshan. Justru sebaliknya, kalau Perguruan Henshan mengalami kesulitan tentu mereka berdua tampil membantu. Tapi, mengapa mereka pun digantung di atas pohon? Siapa sebenarnya yang melakukan ini semua?”
Linghu Chong benar-benar tak habis pikir. Tadinya ia menduga ada orang sakti telah meringkus kelompok Nyonya Zhang bertujuh, Yu Siok, dan Sepasang Beruang Gurun Utara karena kemungkinan besar mereka hendak mengacau di Gunung Henshan. Namun dugaan itu langsung buyar begitu melihat Biksu Bujie dan Tian Boguang juga mengalami nasib yang sama. Sekilas terbayang suatu pikiran dalam benaknya, “Biksu Bujie bersifat polos dan lugu seperti anak kecil. Biasanya ia jarang memiliki musuh. Tapi mengapa ia pun digantung orang di atas pohon? Ah, tentu ada orang yang sengaja bercanda dengannya. Untuk menangkap Biksu Bujie rasanya tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. Kemungkinan besar pelakunya adalah Enam Dewa Lembah Persik.”
Akan tetapi lantas terpikir pula olehnya tentang perkataan Zu Qianqiu tadi, bahwa Enam Dewa Lembah Persik tidak mungkin mampu menulis kalimat-kalimat sebagus itu. Maka dengan penuh tanda tanya Linghu Chong melangkah ke dalam pekarangan. Di tengah suara riuh gelak tawa orang banyak, ia melihat pada leher Biksu Bujie dan Tian Boguang masing-masing terpasang seutas pita kertas berwarna kuning yang mengandung tulisan. Pita yang berada pada tubuh Bujie bertuliskan: “Manusia tidak berperasaan nomor satu di dunia, paling doyan perempuan.” Sementara itu pita keras pada leher Tian Boguang bertuliskan: “Manusia tidak berguna nomor satu di dunia, sangat tidak becus bekerja.”
Begitu membaca kedua tulisan tersebut seketika timbul suatu pikiran dalam benak Linghu Chong, “Kedua pita kertas ini sepertinya salah pasang. Bagaimana mungkin Biksu Bujie dikatakan ‘manusia yang paling doyan perempuan’? Manusia yang paling doyan perempuan bukankah seharusnya dialamatkan kepada Tian Boguang? Sebaliknya, sebutan ‘manusia tidak berguna’ seharusnya diberikan kepada Biksu Bujie. Dia ini hidup tanpa aturan, tidak punya pantangan sama sekali. Tidak pantang membunuh, tidak pantang makan dan minum, segalanya ia lahap. Sesudah menjadi biksu pun ia berani menikahi biksuni. Hanya saja sebutan ‘tidak becus bekerja’ entah apa maksudnya?”
Akan tetapi kedua pita kertas itu masing-masing terpasang dengan rapi di leher mereka berdua. Sepertinya orang sakti yang telah menggantung Bujie dan Tian Boguang tidak dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga tidak mungkin salah memasang.
Sementara itu para jagoan lainnya menjadi gempar melihat pemandangan itu. Mereka tertawa sambil menunjuk-nunjuk kedua pita kertas tersebut dan berkata, “Manusia tidak berperasaan nomor satu di dunia seharusnya Tian Boguang. Tapi, kenapa biksu besar ini disebut paling doyan perempuan?”
Ji Wushi dan Zu Qianqiu berunding sejenak dengan suara perlahan. Mereka pun merasa kejadian ini agak mengundang tanda tanya. Mereka juga sadar bahwa Biksu Bujie berteman baik dengan Linghu Chong. Maka itu, ia dan Tian Boguang harus segera ditolong turun lebih dahulu.
Segera Ji Wushi melompat ke atas pohon. Dengan cekatan ia memotong tali pengikat kedua orang itu. Berbeda dengan kelompok Nyonya Zhang dan Sepasang Beruang Gurun Utara yang langsung mencaci maki begitu bebas dari totokan, Biksu Bujie dan Tian Boguang ternyata tetap diam saja dengan wajah murung.
Perlahan Ji Wushi bertanya, “Biksu besar, kenapa kau juga ikut tergantung di atas?”
Bujie hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Perlahan ia melepas pita yang terpasang di lehernya kemudian membaca tulisan tersebut. Setelah termangu-mangu cukup lama sambil memandangi pita tersebut, tiba-tiba ia menangis keras sambil membanting-banting kaki.
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan. Seketika suara gelak tawa orang banyak itu menjadi lenyap dan masing-masing memandangi Bujie dengan terheran-heran. Bujie masih terus saja menangis sambil memukul-mukul dada sendiri. Semakin menangis ia terlihat semakin berduka.
“Kakek Guru, janganlah kau bersedih,” ujar Tian Boguang membujuk. “Kebetulan saja kita disergap lawan. Kita harus menemukan keparat itu dan mencincang tubuhnya….” Belum selesai ia berkata tiba-tiba tangan Bujie menampar wajahnya. Seketika Tian Boguang pun terpental sampai beberapa meter jauhnya dan hampir saja roboh terjungkal. Sebelah pipinya langsung berwarna merah membekas tangan.
“Bajingan!” seru Bujie memaki. “Kita digantung di sini adalah sebagai buah perbuatan atas dosa-dosa kita. Beraninya kau... beraninya kau... beraninya kau hendak membunuh orang.”
Tian Boguang kebingungan mendengarnya. Seseorang yang telah menangkap dan menggantung dirinya serta sang kakek guru tentu sangat luar biasa. Jika tidak, mengapa Biksu Bujie begitu segan kepada orang itu? Karena tidak tahu seluk-beluk masalah ini, Tian Boguang terpaksa hanya menunduk dan menjawab, “Baik, baik.”
Sejenak Bujie hanya termenung di tempatnya. Tiba-tiba ia kembali menangis sambil memukul-mukul dada sendiri. Kemudian tangannya menghantam lagi ke belakang dengan sangat cepat. Untungnya Tian Boguang bergerak lebih cepat, sehingga sempat menghindari pukulan itu sambil berteriak, “Kakek Guru!”
Sekali pukulannya meleset, Bujie tidak mengulanginya lagi. Namun tangannya lantas berputar balik dan menghantam sebuah meja batu di tengah halaman itu dengan sangat keras. Seketika kerikil-kerikil kecil pun melesat berhamburan. Kedua telapak tangan Bujie terus saja menghantam secara bergantian disertai jerit tangis keluar dari mulutnya. Makin menghantam pukulannya makin keras. Ia tidak peduli meski kedua tangannya berlumuran darah terkena potongan meja tersebut. Akhirnya, sejenak kemudian meja batu tersebut hancur menjadi empat potongan kecil.
Semua orang terkejut menyaksikan kekuatan pukulan Bujie. Kini tidak seorang pun berani membuka suara apalagi bergelak tawa. Masing-masing khawatir jangan-jangan Bujie lantas mengamuk kepadanya. Sekali kepala mereka terkena pukulan biksu besar tersebut tentu akan hancur luluh seketika. Mereka merasa tidak mungkin kepala masing-masing lebih keras daripada meja batu tersebut.
Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan Ji Wushi hanya saling pandang dengan perasaan bingung. Masing-masing bertanya-tanya apa sebenarnya yang telah menimpa pada diri Biksu Bujie.
Sementara itu Tian Boguang yang menyadari adanya gelagat kurang baik segera berkata, “Tolong kalian jaga Kakek Guru. Aku akan pergi memberi tahu Guru.”
Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Meski aku sudah menyamar tapi Adik Yilin berpandangan cermat. Jangan-jangan penyamaranku ini bisa diketahui olehnya. Aku pernah menyamar sebagai perwira tentara, pernah menyamar sebagai petani, tapi semuanya adalah kaum laki-laki. Sekarang aku menyamar sebagai babu bisu, seorang perempuan. Rasanya sangat rikuh dan canggung. Gawat kalau sampai Adik Yilin mencurigaiku.”
Segera ia pun bersembunyi di dalam rumah penyimpanan kayu bakar di belakang pekarangan dan berpikir, “Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lain masih mematung di sana. Tentu Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan Ji Wushi berniat pergi untuk mendengarkan percakapan mereka nanti malam. Sebaiknya aku tidur dulu dan bangun nanti malam untuk ikut mendengarkan pembicaraan mereka pula.”
Linghu Chong memang sudah sangat mengantuk karena ia hanya tidur sebentar sore kemarin di dalam gua. Akhirnya ia pun terlelap sambil sayup-sayup mendengar suara tangisan Biksu Bujie yang aneh dan lucu itu.
Sewaktu terbangun ternyata hari sudah gelap. Ia pun melangkah ke dapur mencari nasi atau makanan lain di sana. Tidak seorang pun yang menaruh perhatian kepadanya. Beberapa lama kemudian, ketika suasana sudah sunyi, ia lantas berjalan memutar ke belakang gunung dan perlahan-lahan mendekati tempat Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lain dilumpuhkan. Sesudah agak dekat, ia pun berjongkok di seberang sebuah sungai kecil, dan di situlah ia memasang telinga untuk mendengarkan.
Tidak lama kemudian terdengar suara pernapasan banyak orang di depan tempatnya bersembunyi. Paling tidak ada belasan orang yang tersebar di sekitar situ. Diam-diam Linghu Chong merasa geli dan berpikir, “Mereka pasti hendak mencuri dengar sama seperti aku. Di antara orang-orang itu, Ji Wushi memang yang paling cerdik. Ia sengaja membuka totokan pada titik bisu Sepasang Beruang Gurun Utara, namun tidak membuka titik bisu korban lainnya. Kedua bersaudara itu agak ceroboh dan suka berbicara senbarangan. Jika totokan yang lain ikut dibuka, tentu salah seorang yang cerdik di antara mereka akan segera melarang keduanya banyak bicara.”
Benar juga, sesaat kemudian terdengar Beruang Putih sedang marah-marah dan memaki, “Bangsat, nyamuknya banyak sekali. Bisa-bisa darahku akan terhisap habis. Nyamuk busuk, nyamuk bangsat, terkutuklah delapan belas keturunan nenek moyangmu!”
“Aneh,” sahut Beruang Hitam menanggapi dengan tertawa. “Nyamuk-nyamuk ini kenapa hanya menggigitmu saja dan tidak menggigit diriku?”
“Itu karena darahmu berbau. Nyamuk tidak doyan makan darahmu,” sahut Beruang Putih jengkel.
“Justru lebih baik aku memiliki darah yang berbau daripada digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus,” ujar Beruang Hitam.
Kembali Beruang Putih mencaci maki dengan kata-kata kotor. Diam-diam Linghu Chong membayangkan bagaimana rasanya digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus, tapi badan tidak bisa bergerak sama sekali. Sungguh rasanya memang sangat menjengkelkan.
Beruang Putih kembali berkata, “Bila totokan ini sudah terbuka, maka orang pertama yang akan kucari untuk membuat perhitungan adalah Ji Wushi si kucing bangsat itu. Akan kutotok urat nadinya, lalu kumakan daging pahanya sedikit demi sedikit.”
“Kalau aku lebih suka makan daging para biksuni muda itu,” sahut Beruang Hitam sambil tertawa. “Kulit mereka halus, dagingnya putih, tentu jauh lebih lezat dan gurih.”
Beruang Putih menukas, “Tapi Tuan Yue memrintahkan kita untuk menangkap para biksuni dan membawanya ke Huashan, bukan untuk memakan mereka.”
“Jumlah biksuni cilik itu ada beratus-ratus orang,” jawab Beruang Hitam, “kalau kita makan dua atau tiga mana mungkin Tuan Yue bisa tahu?”
Linghu Chong terperanjat mendengarnya. Ia merenung, “Hah, Guru telah menyuruh mereka? Kenapa Guru memerintahkan mereka menangkap murid-murid Henshan untuk dibawa ke Huashan? Apakah yang dimaksud dengan ‘muslihat licik’ adalah ini semua? Lantas, bagaimana mereka bisa menerima perintah dari Guru?”
Tiba-tiba kembali terdengar Beruang Putih memaki dengan suara keras, “Bangsat! Bajingan!”
Beruang Hitam berkata gusar, “Terserah kalau kau tidak mau memakan daging biksuni. Tapi kenapa pula harus mencaci-maki seperti itu?”
“Aku tidak memaki dirimu. Aku memaki nyamuk,” sahut Beruang Putih.
Bermacam-macam pikiran memenuhi benak Linghu Chong. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki berjalan mendekat ke arahnya. Orang itu berhenti tepat di belakangnya dan kemudian ikut berjongkok sambil menarik lengan bajunya secara perlahan.
Linghu Chong sangat terkejut tak terkatakan. Ia berpikir, “Siapakah yang datang ini? Jangan-jangan penyamaranku telah diketahuinya?” Perlahan ia menoleh. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang dilihatnya seraut wajah bulat cantik. Ternyata yang datang itu tidak lain adalah Yilin.
Perasaan Linghu Chong terkejut bercampur senang. “Rupanya Adik Yilin telah mengetahui penyamaranku. Ah, aku sendiri memang kurang percaya diri dengan samaranku ini,” pikirnya.
Yilin tampak menggerakkan dagunya ke samping, serta sedikit memoncongkan mulutnya yang mungil itu seolah mengajak Linghu Chong pergi ke suatu tempat. Ia lalu berdiri dan tangannya terus saja menarik-narik lengan baju pemuda itu seperti ingin mengajak bicara di tempat yang agak jauh. Linghu Chong pun menurut dan mengikuti biksuni muda itu melangkah ke arah barat.
Keduanya berjalan tanpa berbicara sepatah kata pun. Mereka menyusuri jalan sempit meninggalkan Lembah Tong Yuan. Setelah agak jauh berjalan tiba-tiba Yilin berkata, “Kau tidak dapat mendengar pembicaraan mereka, untuk apa pula berada di sana? Kenapa kau datang lagi ke tempat berbahaya itu?” Ucapan ini agaknya tidak ditujukan kepada Linghu Chong, melainkan hanya bergumam sendiri saja.
Linghu Chong tercengang mendengarnya. Ia hanya berpikir, “Apa maksud perkataannya ini? Kenapa ia berkata aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka? Sebenarnya ia hanya memancing atau benar-benar tidak mengenali penyamaranku?” Namun mengingat Yilin biasanya tidak pernah bergurau, kemungkinan besar gadis itu memang belum mengetahui penyamarannya.
Yilin kemudian membelok ke utara, menuju ke arah Celah Tungku Keramik. Setelah melintasi suatu tanjakan, akhirnya mereka pun sampai di tepi sebuah sungai kecil. Dengan suara perlahan Yilin berkata, “Biasanya kita suka berbicara di sini. Apakah kau sudah bosan dengan kata-kataku?” Sejenak kemudian ia lantas tertawa dan menyambung, “Kau tidak bisa mendengar semua ucapanku. Nenek Bisu, justru jika kau bisa mendengar semua ucapanku, tentu aku takkan bicara lagi denganmu.”
Melihat nada Yilin yang sungguh-sungguh, Linghu Chong yakin bahwa gadis itu mengira dirinya benar-benar si babu bisu penunggu Kuil Gantung. Tiba-tiba timbul pikiran nakal dalam benaknya, “Rupanya ia belum tahu penyamaranku. Aku jadi penasaran ingin tahu apa yang hendak dibicarakannya.”
Setibanya di bawah pohon, Yilin lantas mengajaknya duduk di atas sepotong batu panjang. Linghu Chong sengaja duduk miring dan membelakangi sinar rembulan agar wajahnya tidak tampak dengan jelas.
Yilin termangu-mangu memandangi bulan sabit di langit sambil menghela napas. Hampir saja Linghu Chong berkata, “Kau ini masih begitu muda, tapi mengapa menanggung beban begitu berat? Sebenarnya ada masalah apa?” Untung saja ia segera ingat pada penyamarannya dan mampu menahan diri.
Terdengar Yilin berkata lirih, “Nenek bisu, kau sangat baik padaku. Aku sering mengajakmu ke sini dan mengutarakan isi hatiku kepadamu. Selamanya kau tidak pernah merasa jemu. Dengan sabar kau menunggu semua kisahku. Sebenarnya aku tidak sepantasnya membuatmu repot. Tapi kau memang sangat baik, bagaikan ibu kandungku sendiri. Aku tidak punya ibu. Jika punya, apakah mungkin aku berani berbicara kepadanya seperti apa yang telah kubicarakan kepadamu?”
Mendengar biksuni muda itu hendak membeberkan isi hatinya, Linghu Chong berpikir, “Sungguh tidak pantas kalau aku mendengarkan rahasia orang lain dan membuatnya tertipu seperti ini. Sebaiknya aku pergi saja.” Perlahan-lahan ia pun mencoba bangkit dari duduk.
Namun Yilin lantas menarik lengan bajunya dan berkata, “Nenek bisu, apakah kau hendak pergi?” Suaranya terdengar penuh dengan rasa kecewa.
Linghu Chong memandang sekejap padanya. Wajahnya tampak sayu, dengan sinar mata penuh permohonan agar Linghu Chong tetap tinggal di situ. Perasaan pemuda itu pun langsung luluh. Ia berpikir, “Raut mukanya tampak kurus. Jika isi hatinya tidak disampaikan, jangan-jangan ia malah jatuh sakit. Biarlah kudengarkan semua apa yang akan diceritakannya. Asalkan dia tetap tidak mengenali samaranku tentu dia tidak akan malu.” Berpikir demikian, perlahan-lahan Linghu Chong pun duduk kembali.
“Nenek bisu, kau baik sekali sudi mendengarkan isi hatiku,” ujar Yilin perlahan sambil merangkul pundak Linghu Chong. “Harap kau mau menemani aku duduk sebentar di sini. Andai saja kau tahu betapa kesal rasa hatiku.”
Diam-diam Linghu Chong merasa geli. Ia merenung, “Dalam hidupku ini nasibku memang tidak jauh dari nenek-nenek. Dulu ketika pertama kali bertemu Yingying, aku mengira ia seorang nenek tua. Kini ganti Yilin yang mengira diriku seorang nenek pula. Entak berapa ratus kali aku memanggil nenek kepada Yingying. Kini aku harus bersiap-siap jika Yilin memanggil nenek pula kepadaku. Ini namanya hukum karma, barangsiapa menanam, ia akan menuai hasil perbuatannya.”
Yilin terus saja berbicara, “Pagi tadi ayahku hampir saja mati gantung diri, apakah kau tahu? Dia dikerek tinggi-tinggi di atas pohon entah oleh siapa, pada tubuhnya ditempeli pula semacam pita kertas yang menyebutkan bahwa Ayah adalah manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia yang paling doyan perempuan. Padahal seumur hidup, ayahku hanya memikirkan ibuku seorang. Entah atas dasar apa tuduhan itu dialamatkan kepada Ayah. Pasti orang yang memasang pita itu telah salah tempel. Pita yang seharusnya dipasang pada tubuh Tian Boguang justru ditempel di tubuh Ayah. Padahal sebenarnya ini bukan masalah besar. Cukup robek dan buang saja pita itu sudah habis perkara. Tapi, kenapa pula Ayah harus gantung diri segala?”
Linghu Chong terkejut sekaligus merasa geli. Ia berpikir, “Kenapa Biksu Bujie mencoba bunuh diri? Yilin mengatakan ayahnya hampir saja mati gantung diri, itu berarti Biksu Bujie belum mati. Mungkin saja ada rahasia lain yang tersembunyi di balik masalah ini. Rupanya Adik Yilin terlalu polos dan tidak mengetahui gelagat pada diri ayahnya.”
Yilin menyambung, “Kemudian Tian Boguang berlari-lari ke Puncak Xianxing untuk mencari diriku, tapi ia bertemu Kakak Yihe. Tian Boguang pun dianggap telah melanggar peraturan berani sembarangan datang ke Puncak Xianxing. Tanpa banyak bicara Kakak Yihe lantas melolos pedang dan menyerangnya. Hampir saja jiwa Tian Boguang melayang, sungguh sangat berbahaya.”
Seketika Linghu Chong pun teringat pada hari pelantikannya sebagai ketua Perguruan Henshan. Ia berpikir, “Waktu itu aku menempatkan para anggota baru yang kebanyakan laki-laki di Lembah Tong Yuan. Aku menetapkan peraturan bahwa tidak seorang pun di antara mereka boleh naik ke Puncak Xianxing tanpa izin dariku. Apalagi seorang Tian Boguang sudah terlanjur memiliki nama busuk sebagai mantan penjahat cabul. Sebaliknya, Yihe terkenal berwatak keras, maka tidak heran begitu bertemu langsung main senjata. Namun ilmu silat Tian Boguang jauh lebih tinggi daripada murid-murid Henshan pada umumnya. Yihe tidak mungkin mampu membunuhnya.”
Hampir saja Linghu Chong hendak mengangguk sebagai tanda setuju atas ucapan Yilin tadi, namun ia segera sadar bahwa dirinya sedang menyamar sebagai perempuan bisu tuli. “Tak peduli apapun yang ia katakan, apakah benar atau salah, sama sekali aku tidak boleh menggeleng atau mengangguk. Si nenek bisu yang asli pasti tak bisa mendengar apa pun yang ia ucapkan,” pikirnya.
Yilin kembali melanjutkan, “Ketika Tian Boguang menjelaskan maksud kedatangannya, Kakak Yihe sudah melancarkan belasan jurus. Untung Kakak Yihe segera menarik pedangnya sehingga Tian Boguang tidak sampai terluka. Begitu mendengar berita itu aku segera berlari ke Lembah Tong Yuan, tapi Ayah sudah tidak terlihat lagi. Aku pun bertanya kepada orang-orang. Mereka berkata Ayah tadi hanya menangis meraung-raung di dalam pekarangan. Tidak seorang pun yang berani mendekatinya. Setelah itu Ayah menghilang entah ke mana. Aku lantas mencarinya di sekitar Lembah Tong Yuan, dan akhirnya kutemukan ia di belakang gunung sana dalam keadaan tergantung di atas pohon. Aku sangat khawatir. Segera aku pun melompat ke atas pohon itu. Kulihat seutas tali menjerat di lehernya. Sepertinya napas Ayah sudah hampir putus. Syukur berkat Sang Buddha aku bisa datang pada saat yang tepat. Kuturunkan Ayah dan ia pun sadar. Kami lantas saling berpelukan dan menangis.”
Yilin terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Kulihat di leher Ayah masih tetap tertempel sehelai pita kertas yang bertuliskan: ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia dan sebagainya’. Kukatakan kepada Ayah: ‘Orang itu sungguh jahat. Berkali-kali ia mencoba menggantungmu. Salah tempel pita kertas juga tidak dibetulkan.’
Sambil menangis Ayah menjawab: ‘Kali ini aku bukan digantung orang lain, tapi aku sendiri yang hendak gantung diri. Aku… aku tidak ingin hidup lagi,’
Aku lantas menghiburnya: ‘Ayah, tentunya kau diserang mendadak oleh orang itu, dan karena kurang waspada kau pun dipecundangi. Ayah tidak perlu sedih. Biarlah kita mencarinya untuk bertanya. Kalau tidak bisa memberi alasan yang tepat, ganti kita yang menangkap dan menggantungnya, dan pita ini kita tempel pula di lehernya.’
Tapi Ayah menjawab: ‘Pita ini ditujukan kepadaku, mana boleh digantung pada orang lain? Aku, Biksu Bujie memang manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia paling doyan perempuan. Mana ada orang lain yang melebihi aku? Dasar anak kecil, jangan sembarang bicara kalau tidak tahu seluk-beluknya.’
Wahai Nenek bisu, ucapan ayahku ini sungguh aneh, bukan? Maka itu aku pun bertanya: ‘Ayah, kau bilang pita kertas ini tidak salah pasang?’
Ayah menjawab: ‘Sudah tentu tidak salah. Aku… aku telah berdosa kepada ibumu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, karena aku tidak ingin hidup lagi.’”
Linghu Chong teringat Biksu Bujie pernah bercerita konon ia sangat mencintai ibu Yilin seorang. Namun karena perempuan itu seorang biksuni, maka Bujie pun meninggalkan rumah dan menjadi biksu pula. Menurut jalan pikiran Bujie yang polos, hanya seorang biksu yang pantas menikahi biksuni. Peristiwa ini benar-benar aneh dan jarang terjadi. Bujie mengaku berdosa kepada ibu Yilin, mungkin karena di kemudian hari ia jatuh hati kepada wanita lain. Pantas saja kalau ia mengaku sebagai “manusia tak berperasaan, manusia paling doyan perempuan”. Berpikir sampai di sini, Linghu Chong merasa agak jelas terhadap seluk-beluk permasalahan ini.
Terdengar Yilin melanjutkan, “Karena Ayah menangis dengan sangat sedih, maka aku pun ikut menangis. Sebaliknya, Ayah malah kemudian menghiburku dan berkata: ‘Anak manis, jangan menangis, jangan menangis! Kalau Ayah nanti mati, tentu kau akan sebatang kara di dunia ini dan siapa lagi yang akan menjaga dirimu?’ – Kata-katanya itu justru membuat tangisku semakin keras.”
Diam-diam Linghu Chong melirik dan melihat air mata bercucuran di pipi Yilin.
Dengan terisak-isak biksuni muda itu melanjutkan, “Kemudian Ayah berkata pula: ‘Baiklah, aku tidak jadi mati saja. Hanya saja, aku merasa tidak enak terhadap mendiang ibumu.’
Aku pun bertanya: ‘Sebenarnya apa dosa Ayah terhadap Ibu?’
Ayah menghela napas lalu menjawab dengan sedih: ‘Sebagaimana yang sudah kau ketahui, semula ibumu seorang biksuni. Sekali melihat ibumu aku langsung tergila-gila. Bagaimanapun juga aku bertekad harus menikahi dia. Tapi ibumu menyatakan keberatan karena dia sudah menjadi biksuni, takut terhadap Sang Buddha. Lalu kukatakan bahwa aku yang akan menanggung akibatnya. Kalau Sang Buddha marah biarlah Dia marah kepadaku dan aku yang dikutuk. Ibumu menjawab bahwa masyarakat umum seperti diriku memang sepantasnya menikah dan punya anak, sedangkan ibumu sudah menyucikan diri dan mempersembahkan jiwa raga untuk agama. Bila sampai punya pikiran menyimpang, ibumu takut mendapat murka dari Sang Buddha. Kupikir ucapannya cukup masuk akal. Namun aku sudah bertekad akan menikahi ibumu. Untuk menghindarkan ibumu dari derita bila kelak harus masuk neraka, maka aku pun menjadi biksu. Kalau Sang Buddha marah biarlah marah kepadaku. Andaikan harus masuk neraka biarlah kami suami-istri masuk bersama-sama.”
Mendengar itu Linghu Chong merenung, “Biksu Bujie sungguh berhasrat besar. Ia menjadi biksu justru untuk memikul beban dosa calon istrinya. Jika sedemikian dalam perasaannya lantas mengapa ia kemudian berpindah ke lain hati?”
Yilin melanjutkan, “Aku lantas bertanya: ‘Apakah setelah itu Ayah bisa menikahi Ibu?’
Ayah menjawab: ‘Sudah tentu kami menikah. Kalau tidak, lantas dari mana kau dilahirkan? Hanya saja, ini semua memang salahku. Pada waktu kau berumur tiga bulan, aku menggendongmu berjemur sinar matahari di depan pintu…’
Aku menukas: ‘Berjemur sinar matahari apa salahnya?’
Ayah menjawab: ‘Bukan itu masalahnya. Kebetulan waktu itu ada seorang wanita muda yang cantik jelita lewat dengan menunggang kuda. Ketika melihat seorang biksu berbadan besar menggendong bayi mungil, ia pun memandang heran sambil memuji, ‘Cantik sekali bayi ini!’ Aku merasa senang dan menjawab: ‘Anda sendiri juga sangat cantik.’ – Wanita itu tertegun dan bertanya: ‘Dari mana kau dapatkan bayi ini?’ – Aku pun tersinggung dan berkata: ‘Apa maksud ucapanmu? Bayi ini adalah anakku sendiri.’ – Wanita muda itu kelihatan marah dan memaki: ‘Aku bertanya baik-baik, kenapa kau malah menggoda aku? Apakah kau sudah bosan hidup?’ –Aku menjawab: ‘Menggoda bagaimana? Memangnya biksu bukan manusia, sehingga tidak boleh punya anak? Kalau kau tidak percaya, baiklah, akan kubuktikan padamu.’ – Tak disangka wanita itu bertambah marah. Ia lantas melolos pedang dan melompat turun dari kuda untuk kemudian menyerang diriku. Bukankah perbuatannya itu sungguh keterlaluan?”
Dalam hati Linghu Chong merasa geli. “Biksu Bujie benar-benar polos. Ia tidak merasa pantang berbicara apa saja. Ia mengatakan segala yang ingin ia ucapkan. Namun bagi orang lain kata-katanya itu bisa jadi terasa kurang sopan. Seorang biksu menggendong anak bayi memang sudah janggal, apalagi itu anak kandungnya sendiri. Kalau demikian kenapa tidak piara rambut saja?”
Terdengar Yilin masih saja terus bercerita, “Kukatakan kepada Ayah: ‘Benar, wanita muda itu memang agak galak. Sudah jelas aku adalah anakmu dan ini tidak bohong, tapi kenapa dia melolos senjata menyerang dirimu?’
Ayah menjawab: ‘Benar. Waktu itu aku dapat menghindari serangannya sambil berkata: ‘Hei, kenapa kau menyerang orang tanpa alasan? Anak ini kalau bukan anakku, memangnya anakmu?’ Ternyata ucapanku ini membuat wanita itu bertambah marah. Sebanyak tiga kali dia menusuk padaku. Karena semua serangannya tidak bisa mengenai diriku, maka dia pun menyerang dengan lebih gencar. Sebenarnya aku tidak gentar padanya. Namun waktu itu aku sedang menggendongmu dan takut kalau sampai kau terkena tusukan pedangnya. Maka begitu ada peluang, ketika dia menusuk untuk kedelapan kalinya, segera kutendang perutnya hingga ia jatuh terguling. Wanita itu lantas merangkak bangun sambil terus memaki: ‘Dasar biksu jahat tidak tahu malu, kotor dan rendah, suka menggoda perempuan!’ – Pada saat itulah ibumu pulang dari mencuci pakaian di tepi sungai dan mendengar caci maki wanita itu. Setelah memaki, perempuan tersebut lantas pergi dengan kudanya. Ketika aku mengajak ibumu bicara, ibumu ternyata tidak menjawab sama sekali, melainkan langsung menangis. Aku bertanya mengapa dia menangis, namun dia tidak menjawabnya. – Esok paginya ibumu lantas menghilang. Di atas meja kutemukan secarik kertas bertuliskan: ‘Manusia tak berperasaan, suka main perempuan’. Aku sangat sedih dan membawamu pergi mencari ibumu ke segenap penjuru, tapi tak bisa menemukannya lagi.’
Aku pun berkata: ‘Mungkin Ibu mendengar caci maki perempuan itu terhadap Ayah dan menyangka Ayah benar-benar telah menggoda perempuan itu.’
Ayah menjawab: ‘Benar, tuduhan itu memang tidak beralasan. Tapi kemudian setelah kupikir-pikir lagi ternyata tuduhan itu pun tidak salah. Sewaktu aku melihat perempuan itu, seketika timbul dalam pikiranku bahwa wanita itu memang cantik. Aku tidak hanya berpikiran demikian bahkan juga sempat memujinya memakai mulutku ini. Padahal waktu itu aku sudah menikah dengan ibumu tapi tetap saja memuji kecantikan wanita lain, baik itu dalam hati maupun dengan ucapan. Aku memang manusia tidak berperasaan dan paling doyan bermain perempuan.’”
Linghu Chong termangu-mangu menanggapi dalam hati, “Ternyata ibu Adik Yilin sangat pencemburu. Ini benar-benar kesalahpahaman besar. Seharusnya ia sudi mendengar penjelasan Biksu Bujie sehingga permasalahan ini menjadi jelas.”
Yilin melanjutkan: “Aku lantas bertanya kepada Ayah: ‘Apakah Ayah bisa menemukan Ibu atau tidak?’
Ayah menjawab: ‘Aku telah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak dapat menemukan ibumu. Ibumu seorang biksuni, kupikir tentu ia kembali masuk ke dalam biara. Oleh karena itu, aku pun mendatangi setiap biara namun tetap tidak dapat menemukannya. Sampai akhirnya aku datang ke Gunung Henshan dan bertemu Biksuni Dingyi di Biara Awan Putih. Beliau sangat menyukaimu yang lucu dan mungil. Apalagi waktu itu kau sedang sakit sehingga Beliau pun menyarankan agar aku menitipkanmu kepada Beliau. Dengan demikian kau tidak perlu kubawa ke mana-mana dan keselamatanmu bisa terjaga.’”
Menyinggung tentang Biksuni Dingyi membuat Yilin kembali menangis sedih. Ia berkata, “Sejak kecil aku tidak mempunyai ibu. Aku bisa seperti ini adalah berkat Guru yang telah membesarkanku. Akan tetapi sekarang Guru telah meninggal dibunuh orang, dan orang yang telah mencelakainya adalah guru Kakak Linghu sendiri. Masalah ini benar-benar membuatku serbasalah. Sama seperti aku, sejak kecil Kakak Linghu juga tidak memiliki ibu, dan ia pun dibesarkan oleh gurunya. Bahkan dia lebih menderita lagi karena selain tidak punya ibu, juga tidak memiliki ayah. Sudah tentu ia sangat menghormati gurunya bagai orang tua kandung sendiri. Kalau aku membalas dendam Guru dengan membunuh guru Kakak Linghu, entah betapa sedih perasaan Kakak Linghu.”
Yilin terdiam sejenak kemudian melanjutkan, “Menurut cerita Ayah, setelah diriku dititipkan di dalam Biara Awan Putih, ia kembali mencari Ibu ke dalam setiap biara di dunia ini. Bahkan Ayah sampai mengunjungi daerah Mongolia, Tibet, negeri barat, dan berbagai tempat terpencil demi untuk mencari ibuku. Namun sedikit pun ia tidak mendengar berita tentang Ibu. Berpikir demikian, Ayah menduga Ibu pasti sangat kecewa dan takut terhadap murka Sang Buddha dan memutuskan untuk bunuh diri. Wahai, Nenek bisu. Ibuku telah menyerahkan jiwa raga kepada Sang Buddha. Ia memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang biarawati dan menahan diri dari semua godaan nafsu. Meskipun demikian, pada akhirnya Ibu menerima cinta Ayah dan menikah dengannya. Namun baru saja melahirkanku, Ibu melihat Ayah menggoda perempuan lain dan dicaci maki sebagai manusia rendah dan tidak tahu malu, sudah tentu Ibu sangat marah dan putus asa. Ibu berwatak sangat keras dan merasa hidupnya telah penuh dengan dosa. Maka sangat masuk akal kalau Ibu kemudian mengambil keputusan bunuh diri.”
Yilin menghela napas dan melanjutkan, “Setelah Ayah menceritakan ini semua, barulah aku mengerti kenapa Ayah begitu sedih melihat pita bertuliskan: ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia paling doyan perempuan’. Aku pun bertanya kepadanya, ‘Apakah tulisan yang ditinggalkan Ibu di atas meja itu lantas kau perlihatkan kepada orang lain?’
Ayah menjawab: ‘Sama sekali tidak. Aku tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang masalah ini. Sudah tentu aku pun merasa tidak pantas menceritakan hal ini kepada orang lain. Tapi aku merasa ini benar-benar aneh. Sepertinya hantu ibumu datang mencariku. Ia bermaksud membalas sakit hati dan membersihkan nama baiknya. Kalimat yang tertulis pada pita yang menempel di tubuhku mirip sekali dengan pesan terakhirnya sebelum pergi dulu. Sepertinya ibumu memang menghendaki nyawaku. Baiklah, aku pun rela ikut dengannya.’
Ayah kemudian berkata: ‘Aku sendiri sudah lama putus asa karena tidak bisa menemukan ibumu. Ingin rasanya aku mengakhiri hidup agar bisa bersama ibumu di alam sana. Akan tetapi umurku memang masih panjang. Sering aku mencoba bunuh diri namun selalu saja gagal. Setiap kali aku menggantung diri selalu saja talinya putus. Mungkin karena badanku terlalu berat. Cara kedua aku bermaksud menggorok leherku ini namun golok yang tergantung di pinggangku mendadak hilang entah ke mana. Aih, benar-benar runyam. Ingin mati ternyata tidak mudah.’
Aku lantas berkata, ‘Ayah keliru. Justru Sang Buddha memberkatimu agar tidak bunuh diri, sehingga tali gantunganmu pun putus dan golokmu mendadak hilang. Kalau tidak, saat ini tentu aku sudah tidak punya ayah lagi.’
Ayah menjawab: ‘Ucapanmu mungkin ada benarnya juga. Kemungkinan besar Sang Buddha ingin menghukumku agar lebih lama menderita di dunia ini, agar aku tidak lekas-lekas bertemu ibumu di alam sana.’
Aku lalu berkata: ‘Semula aku mengira pita kertas yang terpasang di leher Tian Boguang itu tertukar denganmu, sehingga aku sangat marah.’
Ayah menjawab: ‘Mana mungkin keliru? Dahulu si Bujubujie pernah berlaku kurang ajar kepadamu, bukankah pantas kalau ia disebut ‘manusia tidak berguna’? Aku juga menyuruhnya menjadi perantara agar bocah Linghu Chong itu menikahimu, tapi dia selalu bermalas-malasan dan tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Bukankah pantas kalau dia disebut ‘tidak becus bekerja’ seperti yang tertera pada pita kertas itu? Semua yang tertulis pada pita kertas itu memang sangat cocok dan tepat baginya.’
Aku pun berkata: ‘Ayah, kalau kau kembali menyuruh Tian Boguang untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas seperti itu, maka aku benar-benar sangat marah. Sejak awal Kakak Linghu menyukai adik seperguruannya, dan kini dia menyukai Nona Ren dari aliran sesat. Meskipun dia juga sangat baik kepadaku, tapi selamanya tidak pernah menempatkan diriku dalam hatinya.’”
Ucapan terakhir ini benar-benar membuat Linghu Chong merasa bersalah. Sejak awal ia telah berbuat sangat baik kepada Yilin sehingga biksuni muda itu jatuh hati. Memang pada mulanya ia tidak merasakan cinta Yilin kepadanya, dan kemudian lambat laun ia pun mengetahui akan hal itu. Akan tetapi perasaan hatinya memang sama persis sebagaimana yang dikatakan Yilin tersebut. Pada awalnya ia memang mencintai Yue Lingshan, dan kemudian beralih kepada Ren Yingying dengan sepenuh hati. Selama ia berkelana di dunia persilatan, jarang sekali pikirannya teringat kepada Yilin.
Terdengar Yilin berkata, “Mendengar ucapanku itu, Ayah menjadi gusar. Dia mencaci maki Kakak Linghu: ‘Bocah Linghu Chong itu memang buta. Dia punya dua bola mata tapi tidak bisa melihat. Sungguh jauh lebih tolol daripada Tian Boguang. Bagaimanapun juga Tian Boguang masih bisa melihat kecantikan putriku, tapi Linghu Chong benar-benar manusia paling tolol di muka bumi.’
Sebenarnya masih banyak kata-kata kotor yang dilontarkan Ayah kepada Kakak Linghu, sulit bagiku untuk menirukannya. Ayah berkata pula, ‘Kau kira siapa orang paling buta di dunia ini? Bukan Zuo Lengchan, tetapi Linghu Chong! Walaupun mata Zuo Lengchan sudah buta, tapi Linghu Chong jauh lebih buta daripada dia.’
Nenek bisu, bukankah tidak sepantasnya Ayah mencaci maki Kakak Linghu seperti itu? Aku pun berkata: ‘Ayah, Nona Yue dan Nona Ren seratus kali lebih cantik daripada anakmu ini. Bagaimana mungkin mereka bisa dibandingkan denganku? Lagipula aku sudah menyerahkan jiwa raga kepada Sang Buddha. Aku sudah cukup bersyukur atas budi pertolongannya waktu itu serta kebaikannya terhadap Guru. Maka itu, aku senantiasa terkenang kepadanya. Ibu memang benar. Setelah menjadi biarawati pikiran kita harus bersih dari hasrat dan nafsu. Jika tidak, maka Sang Buddha akan murka dan menghukum kita.’
Ayah berkata: ‘Sekali kau sudah masuk agama apa lantas tidak boleh menikah! Jika semua perempuan memeluk agama dan tidak menikah serta punya anak, bukankah di dunia ini takkan ada manusia lagi? Ibumu seorang biksuni, tapi bukankah dia menikah dengan biksu semacam aku serta melahirkanmu ke dunia?’
Aku menjawab: ‘Ayah, jangan lagi kita bicarakan urusan ini. Bagiku lebih… lebih baik ibu tidak usah melahirkanku saja.’”
Berkata sampai di sini suara Yilin menjadi terputus-putus. Setelah diam sejenak ia pun menyambung kembali, “Ayah berkata bahwa ia akan mencari Kakak Linghu dan membawanya kepadaku agar kami bisa menikah. Aku sangat khawatir dan menyatakan jika sampai Ayah melakukan hal ini maka aku tidak akan mau bicara lagi dengannya. Jika Ayah datang ke Puncak Xianxing maka aku akan menghidar dan tidak mau bertemu lagi dengannya. Apabila Tian Boguang yang ditugasi menyampaikan hal ini kepada Kakak Linghu, maka aku akan segera meminta agar Kakak Yihe dan Kakak Yiqing mengusirnya. Selamanya Tian Boguang tidak boleh lagi menginjakkan kaki di Gunung Henshan. Ayah mengenal sifatku yang teguh. Melihat tekadku sudah bulat seperti itu Ayah hanya menghela napas kemudian melangkah pergi.
Wahai, Nenek bisu, kepergian Ayah kali ini entah sampai kapan aku bisa melihatnya lagi. Aku juga tidak tahu apakah Ayah akan bunuh diri lagi atau tidak. Sungguh aku sangat khawatir. Untung kemudian aku bertemu Tian Boguang dan menyuruhnya mencari dan menjaga Ayah. Setelah itu aku melihat beberapa orang menuju ke Lembah Tong Yuan secara mencurigakan. Mereka lantas bersembunyi di tengah semak-semak, entah apa yang mereka lakukan. Diam-diam aku pun membuntuti mereka, tapi malah bertemu denganmu. Nenek bisu, kau ini tidak mahir ilmu silat, juga tidak dapat mendengar pembicaraan orang. Bila sampai orang lain melihatmu bukankah sangat berbahaya? Untuk selanjutnya jangan lagi bersembunyi di semak-semak seperti tadi. Memangnya kau kira sedang bermain petak umpet seperti anak kecil?”
Mendengar sampai di sini, hampir saja Linghu Chong tertawa geli. Ia berpikir, “Adik Yilin benar-benar polos dan kekanak-kanakan sehingga menganggap orang lain juga berpikiran seperti dirinya.”
Yilin melanjutkan, “Akhir-akhir ini Kakak Yihe dan Kakak Yiqing selalu menyuruhku giat berlatih pedang. Aku mendengar dari Adik Qin Juan konon Kakak Yihe dan Kakak Yiqing pernah berunding dengan beberapa kakak yang lain, bahwa Kakak Linghu tentu tidak mau menjadi ketua Perguruan Henshan untuk selamanya. Sementara itu Yue Buqun adalah orang yang telah membunuh guru dan bibi ketua, dengan sendirinya Perguruan Henshan tidak sudi dilebur ke dalam Perguruan Lima Gunung dan menerimanya sebagai ketua. Oleh karena itu, para kakak bermaksud memintaku untuk menjadi ketua Perguruan Henshan. Nenek bisu, waktu itu sedikit pun aku tidak percaya pada cerita Adik Qin, tapi Adik Qin berani bersumpah bahwa apa yang diceritakannya tidak bohong. Katanya, menurut pertimbangan para kakak yang berunding itu, di antara para biksuni yang bernama ‘Yi’, diriku paling baik dengan Kakak Linghu. Apabila aku yang menjadi ketua, tentu cocok dengan kehendak Kakak Linghu. Mereka mendukung diriku, semuanya adalah demi Kakak Linghu. Mereka berharap aku berlatih pedang dengan baik dan bisa membunuh Yue Buqun, sehingga tidak seorang pun yang keberatan bila aku diangkat sebagai ketua Perguruan Henshan. Dengan penjelasan ini, barulah aku percaya. Hanya saja, jabatan ketua itu rasanya terlalu berat bagiku. Ilmu pedangku biarpun dilatih sepuluh tahun lagi juga tidak bisa melebihi Kakak Yihe dan Kakak Yiqing, apalagi untuk membunuh Yue Buqun lebih-lebih sangat tidak mungkin. Pikiranku sendiri sedang kusut. Urusan ini membuat hatiku bertambah bingung. Nenek bisu, apa yang harus kulakukan sekarang?”
Baru sekarang Linghu Chong paham duduk permasalahannya. Pantas saja Yihe, Yiqing, dan yang lain begitu giat dalam mengawasi Yilin berlatih pedang. Rupanya mereka berharap Yilin kelak dapat mewarisi jabatan ketua Perguruan Henshan. “Sungguh jerih payah mereka itu patut dipuji dan juga sebagai tanda penghormatan yang besar terhadap diriku,” pikirnya.
Dengan perasaan hambar Yilin lalu berkata, “Nenek bisu, sering kukatakan padamu bahwa aku senantiasa terkenang kepada Kakak Linghu, siang terkenang, malam terkenang, selalu terbawa mimpi pula. Teringat olehku betapa ia mati-matian tanpa menghiraukan bahaya dan keselamatan jiwanya sendiri demi untuk menolongku. Sesudah ia terluka, kugendong tubuhya untuk melarikan diri. Teringat olehku ia meminta agar aku mendongeng untuknya. Lebih-lebih yang sering teringat olehku adalah ketika aku dan dia ti… tidur bersama dalam satu ranjang di rumah apa itu di Kota Hengshan. Satu selimut kami pakai bersama. Nenek bisu, aku tahu kau tidak bisa mendengar, maka itu aku tidak malu mengatakan hal ini kepadamu. Jika tidak kukatakan, rasanya aku bisa gila. Akan kupanggil nama Kakak Linghu, supaya dalam beberapa hari ini hatiku merasa tenteram.”
Sejenak Yilin terdiam, kemudian dengan perlahan ia memanggil, “Kakak Linghu! Kakak Linghu!”
Suara panggilan ini terdengar sedemikian halus, lembut, dan mesra. Sungguh penuh dengan rasa rindu yang mendalam. Tanpa terasa tubuh Linghu Chong bergetar. Ia mengetahui kalau biksuni muda tersebut menyimpan rasa cinta kepadanya, namun ia tidak mengira kalau perasaan Yilin begitu dalam kepadanya. Ia pun merenung, “Sedemikian dalam perasaannya kepadaku, selama hidupku ini entah bagaimana Linghu Chong bisa membalasnya?”
Terdengar Yilin menghela napas, lalu berkata, “Nenek bisu, Ayah tidak memahami perasaanku. Kakak Yihe, Kakak Yiqing, dan para kakak yang lain juga tidak memahami diriku. Aku merindukan Kakak Linghu hanya karena aku tidak bisa melupakan dia. Aku pun sadar bahwa pikiranku ini tidak sepantasnya. Sebagai biksuni mana boleh aku memikirkan seorang laki-laki, apalagi dia adalah ketua perguruanku sendiri? Setiap hari aku selalu berdoa kepada Dewi Guanyin, serta memohon agar Sang Buddha memberkati diriku, membantuku agar bisa melupakan Kakak Linghu. Setiap hari aku membaca kitab yang mengajarkan agar memandang segala yang ada di dunia fana ini sebagai ilusi belaka. Biarpun cantik jelita, gagah serta cakap, pada akhirnya juga tinggal tulang belulang saja. Apakah artinya kemewahan dan kesenangan? Manusia hidup tidak ubahnya seperti impian belaka. Ajaran dalam kitab suci sudah pasti benar, akan tetapi… akan tetapi… apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat berdoa dan memohon semoga Buddha Yang Maha Pengasih memberkati Kakak Linghu selalu selamat dan supaya dia terikat jodoh dengan Nona Ren, hidup bahagia sampai tua, selamanya riang gembira. Aku tahu Kakak Linghu suka hidup bebas tanpa keterikatan, tapi aku yakin Nona Ren bisa membuat hidupnya teratur dan bahagia. Jika selamanya Kakak Linghu selalu gembira, maka aku pun ikut bahagia.” Ia diam sejenak kemudian melanjutkan lirih, “Kami percaya bahwa Sang Buddha dan Dewi Guanyin yang welas asih selalu memberkati semua orang di penjuru dunia.”
Ucapannya ini terdengar sungguh-sungguh dan sangat tulus. Ia kemudian memandang rembulan di langit dan berkata, “Hari sudah larut malam, aku harus pulang. Hendaknya kau pun pulang juga.” Bersama itu ia mengeluarkan dua potong kue dan menggenggamkannya ke dalam tangan Linghu Chong sambil melanjutkan, “Nenek bisu, mengapa hari ini kau tidak memandang diriku sama sekali? Apakah badanmu kurang sehat?”
Setelah menunggu sejenak dan tidak mendapatkan jawaban, Yilin lantas bergumam sendiri, “Sungguh bodoh. Sudah jelas kau tidak bisa mendengar, tapi aku malah bertanya padamu.”
Perlahan-lahan Yilin pun bangkit dan melangkah pergi.
Linghu Chong masih saja duduk di atas batu dan menyaksikan bayangan Yilin menghilang dalam kegelapan malam. Ia mencoba mengingat kembali apa yang diucapkan gadis itu tadi. Kata-kata biksuni muda tersebut sungguh sangat menggetarkan hatinya. Tanpa terasa ia pun termangu-mangu seorang diri.
Beberapa lama kemudian, ketika ia berpaling dan memandang sungai seketika hatinya menjadi terkejut karena tampak pada permukaan air terdapat dua bayangan yang sama persis sedang duduk berjajar di atas batu. Ia mengira pandangannya sedang kabur. Setelah mengusap-usap kedua mata dan kembali memandang, tetap saja ia melihat dua bayangan yang sama persis. Seketika ia pun berkeringat dingin dan tidak berani menoleh.
Kedua bayangan di permukaan air itu sangat mirip satu sama lain. Yang satu jelas dirinya, sementara yang satunya lagi berada tepat di belakangnya. Ia yakin, sekali tangan orang itu bergerak seketika dirinya pasti akan dibereskan. Dalam keadaan demikian ia benar-benar tercengang dan sama sekali tidak berpikir harus melompat ke depan.
Entah bagaimana, orang itu tahu-tahu berada di belakangnya tanpa suara sedikit pun. Linghu Chong sama sekali tidak menyadari kedatangannya sehingga dapat dibayangkan betapa tinggi kepandaian orang ini. Seketika muncul suatu pikiran dalam benaknya, “Hantu! Dia pasti hantu.” Berpikir tentang hantu, perasaannya semakin bertambah takut. Untuk sekian lamanya ia tertegun, kemudian baru memandang lagi ke arah sungai.
Air sungai yang mengalir tenang perlahan itu membuat bayangan remang-remang tersebut tidak jelas terlihat. Namun kedua bayangan itu sama-sama memakai baju wanita yang berlengan longgar. Tusuk kundai di atas kepala masing-masing juga sama persis. Semakin dirasakan Linghu Chong semakin ketakutan. Jantungnya berdebar kencang seakan-akan hendak melompat keluar dari rongga dadanya. Tiba-tiba entah dari mana datangnya keberanian, ia pun menoleh sehingga tepat muka bertemu muka dengan hantu tersebut.
Setelah melihat dengan jelas, tanpa terasa ia pun menarik napas panjang. Wanita di hadapannya ini samar-samar dapat dikenalinya sebagai si babu bisu-tuli yang menjaga Kuil Gantung di Gunung Cuiping. Namun bagaimana perempuan ini tiba-tiba hadir di belakangnya, sungguh sangat mengherankan.
Rasa takut Linghu Chong segera lenyap seketika, tapi rasa heran sedikit pun tidak berkurang. Segera ia berkata, “O, Nenek bisu, ternyata... kau yang datang. Sungguh... sungguh membuatku sangat... terkejut.” Suaranya ini agak gemetar. Sekalipun dikatakan tidak takut, tapi agaknya ia masih diliputi perasaan gentar.
Nenek bisu itu mengenakan pakaian dan tusuk kundai yang sama persis dengan dirinya. Bajunya juga berwarna abu-abu pucat seperti yang dikenakan Linghu Chong. Setelah agak tenang pemuda itu pun berkata, “Maaf, Nenek bisu. Daya ingat Nona Ren sungguh hebat. Dia masih ingat dandananmu dan mendandaniku sama persis denganmu. Sekarang kita bagaikan saudara kembar.”
Dilihatnya raut muka si nenek bisu dingin dan kaku, sedikit pun tidak menunjukkan rasa gusar ataupun senang. Entah apa yang sedang terpikir dalam benak perempuan tua ini? Diam-diam Linghu Chong merenung. “Orang ini sungguh aneh. Aku telah menyamar sebagai dirinya dan ketahuan pula olehnya, maka itu aku tidak boleh tinggal terlalu lama di sini.” Segera ia pun bangkit dan memberi hormat kepada nenek itu sambil berkata, “Sudah larut malam, aku mohon diri dulu.”
Usai berkata Linghu Chong lantas memutar tubuh dan melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba di depannya sudah berdiri seseorang menghalangi jalannya, siapa lagi kalau bukan si nenek bisu tersebut. Entah bagaimana caranya tahu-tahu wanita itu sudah berada di hadapannya. Saat bertarung melawan Dongfang Bubai yang mahagesit sekalipun ia masih bisa melihat sekelebat bayangannya. Namun kecepatan orang ini bahkan tidak menimbulkan suara sama sekali, seolah-olah kakinya melayang tidak menginjak tanah.
Sungguh heran bercampur kaget rasa hati Linghu Chong bukan kepalang. Ia sadar malam ini benar-benar bertemu seorang sakti. Yang lebih celaka ialah dirinya justru sedang menyamar sebagai orang itu. Jelas hal ini sangat mengundang kemarahannya.
Maka Linghu Chong pun kembali memberi hormat dan berkata, “Maafkan aku, Nenek. Aku mengaku salah. Baiklah, aku akan segera berganti pakaian dan setelah itu aku akan datang ke Kuil Gantung untuk meminta maaf kepadamu.”
Nenek bisu itu tetap kaku tidak menunjukkan perasaan apapun di wajahnya.
“Ah, aku lupa. Tentunya kau tidak dapat mendengar ucapanku,” ujar Linghu Chong. Kemudian ia berjongkok dan menulis di atas tanah menggunakan jari: “Maaf, lain kali aku tidak berani lagi.” Sewaktu tegak kembali, dilihatnya si nenek tetap berdiri mematung, sedikit pun tidak memandang kepada apa ia tuliskan.
Sambil menunjuk tulisan di atas tanah itu, dengan suara keras Linghu Chong berseru, “Maaf, lain kali tidak berani lagi!”
Namun nenek itu tetap tidak bergerak, sungguh mirip patung belaka.
Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Celaka, jangan-jangan dia buta huruf!”
Berkali-kali ia lantas membungkuk-bungkukkan badan, sambil tangannya melepas pakaian perempuan dan rambut palsu yang ia kenakan. Kemudian ia memberi hormat sebagai tanda meminta maaf. Namun nenek itu tetap saja diam, sedikit pun tidak bergerak.
Linghu Chong benar-benar kehabisan akal. Tanpa sadar tangannya menggaruk-garuk kepala meski tidak gatal. Sambil memiringkan tubuh segera ia bermaksud menyelinap lewat di samping si nenek.
Baru saja kakinya bergerak, mendadak nenek itu pun menggeliat dan tahu-tahu sudah menghadang lagi di depannya. Linghu Chong terkesiap dan berkata, “Maaf!” Kakinya lantas melangkah ke kanan, tapi menyusul ia meloncat lewat ke sebelah kiri. Namun baru saja kakinya menapak di tanah, tahu-tahu si nenek sudah berdiri lagi di depannya dan kembali menghadang langkahnya.
Tentu saja Linghu Chong sangat penasaran. Berkali-kali ia melompat, makin lama makin cepat. Namun selangkah pun si nenek tidak mau ketinggalan, selalu dapat menghadang jalan yang hendak dilewatinya. Linghu Chong menjadi gusar. Melihat si nenek bisu masih merintangi, segera tangan kirinya mendorong pundak wanita itu. Namun baru saja jarinya hampir mengenai sasaran, tahu-tahu tangan si nenek yang kurus kering itu memotong ke bawah, menebas pergelangan tangannya.
Linghu Chong lekas menarik tangannya. Walaupun begitu cepat ia menarik serangan tetap saja punggung tangannya tergores kuku jari kelingking si nenek. Betapa sakit rasanya seperti disayat pisau. Lantaran merasa bersalah, Linghu Chong tidak berani bertempur melawan si nenek bisu. Yang ia harapkan hanya secepatnya bisa pergi menghindarinya. Segera ia pun menunduk dan bermaksud menyelinap di sisi orang itu. Namun baru saja tubuhnya bergerak tiba-tiba angin pukulan sudah menyambar. Rupanya nenek bisu telah menghantamkan telapak tangan ke arah batok kepalanya.
Lekas-lekas Linghu Chong berkelit, namun serangan itu teramat cepat. Pukulan itu sempat mengenai bahunya. Sebaliknya nenek itu pun agak menggeliat. Ternyata pada saat pukulan si nenek mengenai sasaran, bersamaan pula Jurus Penyedot Bintang dalam tubuh Linghu Chong bekerja sehingga menghisap tenaga pukulan lawan tersebut.
Tiba-tiba si nenek menjulurkan tangan yang satunya. Kali ini jarinya yang lentik kurus bagaikan cakar ayam menusuk kedua mata Linghu Chong. Dengan perasaan terkejut Linghu Chong lekas-lekas menunduk ke bawah untuk menghindar, sehingga punggungnya menjadi terbuka. Untungnya si nenek bisu sudah jera terhadap Jurus Penyedot Bintang, sehingga tidak berani melanjutkan serangan meski kesempatan terbuka lebar. Sebaliknya, tangan kanannya lantas mencukil balik ke atas untuk tetap menyerang kedua mata Linghu Chong. Jelas si nenek sudah memutuskan akan terus menyerang bola mata pemuda itu. Bagaimanapun hebatnya Jurus Penyedot Bintang tentu tidak bisa dikerahkan melalui bola mata. Sedikit saja kedua mata terkena tusukan jari nenek itu maka Linghu Chong pasti akan buta.

(Bersambung)
Bagian 77 ; Bagian 78 ; Bagian 79