Lin Zhennan lantas berkata, “Beri tahu Kasir Dong untuk mengurus pemakaman. Juga kirimkan seratus tael perak kepada Keluarga Bai.”
Kematian seorang pengiring rendahan sudah pasti tidak terlalu menyita pikiran Lin Zhennan. Setelah memberi perintah seperlunya ia pun kembali ke ruang tengah. Kepada Lin Pingzhi ia berkata, “Bukankah Pengiring Bai tadi ikut pergi berburu bersamamu?”
“Benar,” jawab Lin Pingzhi. “Sewaktu pulang tadi ia masih segar bugar, siapa sangka mendadak langsung terserang penyakit dan meninggal.”
“Di dunia ini sudah biasa terjadi hal-hal yang mendadak,” ujar Lin Zhennan. “Kebaikan atau keburukan sering terjadi tiba-tiba dan sukar diperkirakan sebelumnya. Sudah lama Ayah ingin membuka jalan ke daerah Szechwan tetapi selalu gagal. Selama sepuluh tahun terakhir, Ayah memeras otak memikirkan hal ini. Siapa sangka Pendeta Yu tiba-tiba terbuka pikirannya dan mau menerima hadiah dari kita; bahkan, mengirimkan empat orang muridnya pula untuk balas berkunjung kemari.”
Lin Pingzhi berkata, “Ayah, meskipun Perguruan Qingcheng adalah perguruan terkemuka di dunia persilatan, tetapi nama Biro Pengawalan Fuwei kita juga tidak rendah di mata kaum pendekar. Kita sudah mengirimkan hadiah kepada Pendeta Yu setiap tahun. Kalau sekarang ia mengirim orangnya kemari, bukankah ini hanya sekadar penghormatan timbal balik saja?”
“Kau tahu apa?” sahut Lin Zhennan sambil tertawa. “Perguruan Qingcheng dan Emei sudah berdiri selama ratusan tahun, serta memiliki tidak sedikit bibit unggul di antara murid-muridnya. Kedua perguruan ini memang tidak sebesar Shaolin atau Wudang, namun hanya selisih sedikit di bawah Serikat Pedang Lima Gunung, yang terdiri atas Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, Huashan, dan Henshan. Kakek buyutmu – yaitu Kakek Yuantu – memang telah menciptakan tujuh puluh dua Jurus Pedang Penakluk Iblis yang pernah mengguncangkan dunia persilatan. Bisa dikatakan pada zaman itu tidak seorang pun yang mampu menandingi kakek buyutmu dalam hal ilmu pedang. Namun, setelah Kakek Yuantu meninggal dan ilmu pedang mahasakti itu diwarisi kakekmu, ternyata banyak mengalami kemunduran. Lebih-lebih ketika diwariskan kepada Ayah, malah semakin mundur lagi. Keluarga Lin dalam tiga generasi terakhir ini masing-masing hanya memiliki seorang putra tunggal saja, dan tidak menerima murid dari luar. Dengan hanya mengandalkan kekuatan kita berdua, sudah pasti kita tidak sebanding dengan perguruan-perguruan silat tersebut.”
Lin Pingzhi masih penasaran. Ia berkata, “Tapi bukankah kita bisa mengumpulkan semua kekuatan perusahaan kita yang tersebar di sepuluh provinsi. Bersama-sama pasti kita mampu menghadapi kekuatan Perguruan Shaolin, Wudang, Emei, Qingcheng, serta Serikat Pedang Lima Gunung?”
Lin Zhennan merasa geli dan menjawab, “Nak, tidak apa-apa kalau kau bicara seperti itu di depan Ayah. Namun kalau kau bicara di luar sana dan didengar orang lain, tentu akan mendatangkan banyak masalah. Sebanyak delapan puluh empat orang pengawal kita yang tersebar di sepuluh kantor cabang memang memiliki kepandaian sendiri-sendiri. Kalau mereka digabung menjadi satu tentu tidak akan kalah menghadapi golongan mana pun. Akan tetapi, apa manfaatnya andaikata biro kita dapat mengalahkan perguruan-perguruan itu? Sebagai perusahaan pengawalan kita seharusnya mencari banyak sahabat, bukannya mencari musuh. Kita tidak akan menderita kerugian apa-apa dengan bersikap rendah hati.”
Tiba-tiba kembali terdengar suara ribut-ribut di luar, “Celaka! Pengawal Zheng juga meninggal!”
Lin Zhennan dan Lin Pingzhi sama-sama terperanjat. Bahkan, Lin Pingzhi sampai melonjak dari kursi dan berkata dengan suara gemetar, “Mereka pasti da… datang untuk membalas…” Belum selesai perkataannya, dengan cepat ia menahan mulut. Lin Zhennan sendiri sudah bergegas keluar sehingga tidak mendengar apa yang telah dikatakan putranya tadi.
Pengiring Chen datang dengan tergesa-gesa. “Ce… celaka, Ketua! Ini gawat! Pe… Pengawal Zheng juga telah di… ambil nyawanya oleh… oleh hantu jahat dari Szechwan!” serunya dengan nada gugup.
“Hantu jahat dari Szechwan apa lagi ini? Omong kosong!” bentak Lin Zhennan sambil memalingkan muka.
“Saya bicara be... benar, Ketua,” sahut Pengiring Chen gugup. “Hantu itu... orang dari Szechwan itu sangat ganas semasa hidupnya. Tentu dia semakin ganas setelah mati...,” Begitu menoleh ke arah Lin Pingzhi dan melihat raut muka sang tuan muda terlihat gusar, ia tidak berani bicara lagi.
Lin Zhennan lalu bertanya, “Kau bilang Pengawal Zheng telah meninggal? Di mana jasadnya kini dan bagaimana dia bisa mati?”
Saat itu beberapa pegawai yang lain juga sudah berlarian datang. Seorang pengawal menjawab, “Pengawal Zheng meninggal di dalam kandang. Kematiannya sama persis dengan Pengiring Bai. Tubuhnya tidak terluka sedikit pun, juga tidak mengeluarkan darah setetes pun. Wajahnya juga tidak terlihat bengkak atau membiru. Sepertinya... sepertinya mereka berdua terkena gangguan setan jahat sewaktu berburu bersama Tuan Muda tadi.”
Lin Zhennan mendengus dan berkata, “Huh, seumur hidup aku belum pernah melihat hantu atau setan semacamnya. Mari kita pergi melihatnya.” Usai bicara ia langsung bergegas keluar menuju ke tempat yang dimaksud.
Sesampainya di sana, jasad Pengawal Zheng tampak tergeletak di tanah, dengan kedua tangan masih memegang pelana kuda. Sepertinya ia sedang melepas pelana dari punggung kuda ketika tiba-tiba roboh binasa. Sama sekali tidak ditemukan pula tanda-tanda bertarung melawan orang lain.
Hari sudah mulai gelap. Lin Zhennan menyuruh seorang anak buahnya mengambil lampu. Perlahan-lahan ia membuka pakaian Pengawal Zheng. Diperiksanya dengan teliti sekujur mayat pegawainya itu, ternyata memang tidak terdapat luka sedikit pun. Selain itu juga tidak terdapat patah tulang sama sekali, termasuk tulang jari sekalipun.
Lin Zhennan tidak percaya takhayul. Kematian Pengiring Bai tadi dianggapnya sebagai suatu kebetulan saja. Namun sekarang Pengawal Zheng juga mati dalam keadaan serupa. Apabila keduanya mati karena diserang penyakit, mengapa tidak terdapat bintik-bintik merah atau hitam pada tubuh mereka? Mungkinkah kematian mereka berhubungan dengan suatu hal dalam kegiatan berburu putranya tadi?
Berpikir demikian, Lin Zhennan lantas mengajukan pertanyaan kepada Lin Pingzhi. “Selain Pengawal Zheng dan Pengiring Bai, yang ikut pergi berburu bersamamu adalah Pengawal Shi dan dia, bukan?” ujarnya sambil menunjuk wajah Pengiring Chen.
Lin Pingzhi hanya mengangguk tanpa bersuara.
“Kalau begitu, kalian berdua ikut aku!” kata Lin Zhennan. Ia kemudian berkata kepada seorang pengiring lainnya, “Coba kau panggil Pengawal Shi agar datang ke ruang timur. Aku ingin bicara dengannya.”
Sesampainya di ruang timur, Lin Zhennan mengambil tempat duduk dan bertanya, “Apa yang sebenarnya telah terjadi?”
Sadar bahwa dirinya tidak dapat menutupi peristiwa itu lagi, Lin Pingzhi terpaksa menceritakan semua pengalamannya sewaktu pulang dari berburu siang tadi. Ia bercerita mula-mula rombongannya singgah untuk minum di sebuah kedai arak. Kemudian datang dua orang Szechwan yang bersikap kurang ajar terhadap gadis penjual arak di kedai itu. Lin Pingzhi lantas turun tangan dan bertarung melawan salah seorang pemuda dari Szechwan tersebut. Akhirnya, orang itu berhasil mencengkeram tengkuknya dan menekannya sampai menyentuh tanah. Pada saat itulah Lin Pingzhi mencabut sebilah pisau belati dari balik sepatu dan digunakannya untuk membunuh lawan. Pengawal Shi lantas mengubur mayat orang Szechwan itu di dalam kebun sayur, dan memberikan beberapa tael perak kepada pemilik kedai sebagai penutup mulut.
Semakin mendengarkan cerita itu, Lin Zhennan semakin penasaran. Namun demikian, sebagai seorang yang sudah lama berkecimpung di dunia persilatan, ia merasa wajar jika anaknya berkelahi dan membunuh orang. Dengan tenang tanpa bersuara ia mengikuti cerita Lin Pingzhi sampai selesai.
Setelah merenung sejenak, Lin Zhennan lantas bertanya, “Apakah kedua orang itu tidak mengatakan dari aliran atau golongan mana mereka berasal?”
“Tidak,” sahut Lin Pingzhi.
“Apakah dari ucapan dan tingkah laku mereka, kau menemukan suatu hal yang luar biasa?” tanya Lin Zhennan lebih lanjut.
“Tidak ada yang aneh dengan mereka. Hanya saja, orang bermarga Yu itu mengatakan…”
“Apa? Jadi, orang yang telah kau bunuh itu bermarga Yu?” sahut Lin Zhennan menukas.
“Ya. Aku mendengar rekannya memanggil dia dengan sebutan ‘Adik Yu’. Tapi aku sendiri juga kurang begitu yakin. Mereka berasal dari daerah lain, sudah tentu logat bahasa mereka berbeda dengan kita,” jawab Lin Pingzhi.
Mendengar itu, Lin Zhennan menggelengkan kepala dan menggumam, “Tidak mungkin! Tidak mungkin bisa kebetulan seperti ini. Pendeta Yu berkata hendak mengirim orang-orangnya kemari. Namun, mengapa mereka bisa sampai di Fuzhou secepat ini? Memangnya mereka punya sayap?”
Lin Pingzhi terperanjat dan segera bertanya, “Apakah Ayah khawatir kedua orang itu berasal dari Perguruan Qingcheng?”
Lin Zhennan tidak menjawab. Selang sejenak, ia berkata sambil menggerakkan tangan, “Sewaktu kau menyerang dengan jurus Tapak Semesta, bagaimana cara dia menangkis pukulanmu?”
“Dia tidak dapat menangkis sehingga terkena tamparanku,” sahut Lin Pingzhi.
“Bagus sekali! Bagus sekali!” seru Lin Zhennan sambil tersenyum.
Sejak tadi suasana di ruangan itu sangat tegang, namun kini agak mencair oleh pujian Lin Zhennan tersebut. Lin Pingzhi sendiri ikut tersenyum. Perasaannya yang tertekan menjadi agak longgar.
“Sewaktu kau menyerang lagi dengan gerakan ini, bagaimana ia menyerang balik?” tanya Lin Zhennan sambil memperagakan suatu contoh serangan.
Lin Pingzhi menjawab, “Waktu itu aku sedang marah sehingga tidak melihat dengan jelas bagaimana sikapnya. Yang pasti, aku berhasil memukul dadanya.”
Mendengar itu, raut muka Lin Zhennan tampak lebih tenang. Ia berkata, “Bagus sekali, bagus sekali! Serangan kita memang harus demikian. Karena dia tidak mampu menangkis sama sekali, rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki hubungan dengan Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng.”
Rupanya ucapan “bagus sekali” yang diucapkannya beberapa kali tadi bukan dimaksudkan untuk memuji kemenangan Lin Pingzhi, tetapi disebabkan oleh rasa lega karena orang yang mati itu ternyata bukan anggota Perguruan Qingcheng. Lin Zhennan berpikir orang Szechwan banyak yang bermarga Yu dan mahir ilmu silat. Karena orang itu bisa dibunuh putranya, sudah pasti ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, serta tidak mungkin pula berasal dari Perguruan Qingcheng.
Sambil jari tengah tangannya mengetuk meja beberapa kali, ia kembali bertanya lebih lanjut, “Lalu, bagaimana cara dia mencengkeram tengkukmu?”
Lin Pingzhi langsung menggerakan tangan untuk memperagakan bagaimana dirinya dibekuk oleh si marga Yu sampai tidak bisa berkutik.
Pengiring Chen yang sudah mulai berkurang rasa takutnya ikut berkata, “Kemudian Pengiring Bai mencoba menikam punggung orang itu dengan tombak, tapi tahu-tahu dia sudah ditendang ke belakang dan tombak pun terlempar. Bahkan, Bai sendiri sampai terguling-guling tidak bisa bangun.”
Perasaan Lin Zhennan tergetar mendengarnya. Segera ia bertanya sambil bangkit dari kursi, “Orang itu mendepak ke belakang sehingga Pengiring Bai terjungkal? Bagaimana... bagaimana cara dia melakukannya?”
“Kalau tidak salah seperti ini,” jawab Pengiring Chen sambil memperagakan gerakan itu. Tangannya memegang sandaran kursi, lalu kedua kakinya susul menyusul mendepak ke belakang.
Dasar ilmu silat Pengiring Chen memang rendah sehingga gerakannya terlihat kaku dan menggelikan. Dengan menahan tawa, Lin Pingzhi berkata, “Ayah, coba lihat itu…” Namun begitu melihat wajah Lin Zhennan menampilkan rasa tegang, seketika ia langsung berhenti berbicara.
“Kedua depakan ke belakang itu mirip jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang menjadi kebanggaan Perguruan Qingcheng,” kata Lin Zhennan. “Nak, sebenarnya bagaimana cara dia melontarkan kedua depakan itu?”
Lin Pingzhi menjawab, “Waktu itu kepalaku ditekan ke bawah sehingga tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana dia menendang ke belakang,”
“Benar juga, hanya Pengawal Shi saja yang bisa memberi keterangan,” ujar Lin Zhennan. Segera ia keluar ruangan dan berteriak, “Hei, di mana Pengawal Shi? Sudah sekian lama mengapa belum datang juga?”
Dua orang pengiring segera mendekat dan menjawab, “Kami sudah mencari kemana-mana, tapi Pengawal Shi tidak dapat ditemukan.”
Perasaan Lin Zhennan semakin gelisah. Ia berpikir, “Kalau kedua tendangan itu benar-benar jurus Tendangan Tanpa Bayangan, sudah pasti orang bermarga Yu itu anggota Perguruan Qingcheng. Jika memang demikian, siapa sebenarnya dia?”
Berpikir demikian, ia memutuskan untuk memeriksa secara langsung. Segera ia kembali memberi perintah kepada dua pengiring tadi, “Coba kalian panggil Pengawal Cui dan Pengawal Ji kemari!”
Kedua pengawal tersebut adalah orang kepercayaan Lin Zhennan. Selain berpengalaman luas, cara bekerja mereka pun rajin dan teliti. Sejak mengetahui Pengawal Zheng tewas dan Pengawal Shi menghilang, mereka langsung bersiap-siap di luar ruangan. Maka begitu mendengar nama mereka disebut oleh Lin Zhennan, keduanya segera masuk ke dalam.
Lin Zhennan berkata, “Kita harus memeriksa ke sana. Pengawal Cui, Pengawal Ji, Ping-er, dan Chen, kalian semua ikut aku!”
Kelima orang itu lantas memacu kuda dengan kencang ke luar kota melalui gerbang utara. Lin Pingzhi berkuda paling depan sebagai penunjuk jalan. Tidak lama kemudian, rombongan itu telah sampai di depan kedai arak kecil yang menjadi tujuan mereka.
Pintu kedai tampak tertutup rapat. Lin Pingzhi segera mengetuk dan berseru, “Kakek Sa! Kakek Sa! Lekas bukakan pintu!” Meskipun sudah diketuk berkali-kali, tidak juga terdengar suara jawaban dari dalam.
Pengawal Cui memandang ke arah Lin Zhennan seolah meminta izin untuk mendobrak. Setelah Lin Zhennan mengangguk, kedua tangan Pengawal Cui langsung menghantam ke depan sehingga palang pintu kedai patah seketika. Daun pintu itu terdorong ke dalam lalu kembali ke depan beberapa kali. Engsel yang telah berkarat mengeluarkan suara keriat-keriut menambah seram suasana.
Begitu pintu terbuka, Pengawal Cui segera menarik badan Lin Pingzhi ke samping. Setelah yakin tidak ada bahaya mengancam dari dalam, barulah mereka melangkah masuk. Sebuah pelita yang berada di atas meja langsung dinyalakan sebagai penerang selain lampu kerudung yang mereka bawa. Kelima orang itu memeriksa bagian dalam dan luar kedai dengan seksama, namun tidak seorang pun tampak terlihat. Semua perabotan di dalam kedai ternyata masih lengkap, tidak satu pun yang dibawa pergi.
“Sepertinya kakek itu khawatir tersangkut masalah ini. Apalagi mayat tersebut dikubur di dalam kebun sayurnya. Rasanya tidak aneh kalau dia menyingkir pergi,” kata Lin Zhennan sambil mengangguk. Ia kemudian berjalan menuju kebun sayur dan berkata, “Chen, gali kebun ini dan keluarkan mayatnya!”
Sejak awal Pengiring Chen sangat yakin bahwa dua kematian misterius di dalam Biro Fuwei terjadi akibat ulah hantu penasaran orang Szechwan tersebut. Dengan sangat terpaksa ia mengangkat cangkul dan mulai menggali kebun tempat mayat orang itu dikubur. Akan tetapi, belum seberapa lama ia mencangkul, kaki dan tangannya sudah gemetar, dan akhirnya terkulai lemas tak bertenaga.“Dasar tidak berguna! Kau masih berani menyebut dirimu pengiring kereta, hah?” bentak Pengawal Ji. Segera ia merebut cangkul dan menyodorkan lampu kerudung di tangannya kepada Pengiring Chen. Sebentar saja ia mencangkul, baju jenazah samar-samar mulai terlihat. Tidak lama kemudian, setelah mengayunkan beberapa cangkulan lagi, mayat tersebut akhirnya terlihat seluruhnya. Dengan menggunakan gagang cangkul, Pengawal Ji mengangkat mayat itu ke atas.
Pengiring Chen buru-buru memalingkan mukanya ke arah lain karena takut memandang mayat tersebut. Tiba-tiba ia mendengar suara keempat orang lainnya berteriak kaget. Karena semakin ketakutan, ia pun menjatuhkan lampu kerudung di tangannya sehingga suasana di kebun sayur itu menjadi gelap gulita.
Terdengar suara Lin Pingzhi berkata dengan suara terputus-putus, “Yang dikubur di sini tadi jelas-jelas orang dari Szechwan itu. Mengapa… mengapa…”
“Nyalakan kembali lampunya!” seru Lin Zhennan.
Pengawal Cui memungut lampu kerudung di atas tanah tadi dan menyalakannya kembali. Lin Zhennan lantas berjongkok memeriksa mayat tersebut dengan teliti. Sejenak kemudian ia berkata, “Tidak terdapat luka sedikit pun. Kematiannya sama persis dengan yang lain.”
Pengiring Chen memberanikan diri memandang ke arah mayat. Seketika ia langsung menjerit kaget, “Pengawal Shi! Ini Pengawal Shi!”
Ternyata, mayat yang baru diangkat dari kuburan tersebut adalah Pengawal Shi, sementara mayat orang Szechwan bermarga Yu sudah menghilang entah ke mana.
“Ada yang tidak beres dengan kakek bermarga Sa itu,” ujar Lin Zhennan. Segera ia menyambar lampu kerudung dan kemudian berlari ke dalam kedai untuk memeriksa kembali. Dari guci arak di dapur sampai panci, mangkuk, piring, meja, dan kursi, semuanya tanpa kecuali dijungkirbalikkan untuk diperiksa dengan lebih cermat. Namun demikian, tetap saja tidak terdapat suatu petunjuk yang mencurigakan.
Lin Pingzhi dan yang lain ikut masuk ke dalam kedai dan memeriksa pula. Tiba-tiba pemuda itu berteriak, “Ayah, coba ke sini dan lihat ini!”
Lin Zhennan bergegas menuju ke arah putranya bersuara. Ternyata Lin Pingzhi menemukan sesuatu di dalam kamar tidur Wan-er, cucu Kakek Sa. Pemuda itu tampak memegang sehelai saputangan berwarna hijau. “Ayah, seorang gadis dari keluarga miskin mana mungkin bisa memiliki saputangan seperti ini?” ujarnya.
Lin Zhennan mengambil saputangan itu. Samar-samar tercium olehnya bau harum yang menarik perhatian. Saputangan ini sangat halus dan terasa agak mantap, jelas terbuat dari bahan sutra pilihan. Ketika diperiksa lebih lanjut, tampak di tepi benda itu terdapat lingkaran berupa tiga garis benang berwarna hijau. Salah satu ujungnya bersulamkan setangkai bunga mawar berwarna merah, sepertinya dikerjakan dengan sangat teliti dan indah sekali.
“Dari mana kau peroleh saputangan ini?” tanya Lin Zhennan.
“Kutemukan di sudut kolong ranjang,” sahut Lin Pingzhi. “Mungkin mereka pergi dengan tergesa-gesa sehingga tidak sempat melihat saputangan ini jatuh sewaktu berbenah.”
Dengan menggunakan lampu kerudung, Lin Zhennan berjongkok memeriksa kolong ranjang namun tidak menemukan apa-apa lagi. Setelah merenung sejenak ia lalu berkata, “Kau bilang nona penjual arak itu mukanya sangat jelek. Aku berpikir pakaiannya pasti tidak terlalu bagus. Namun, apakah penampilannya sangat bersih dan teliti?”
“Waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan dia, tapi rasanya memang tidak terlalu buruk dan dekil,” jawab Lin Pingzhi. “Kalau pakaiannya kotor, tentu aku dapat merasakannya sewaktu dia membawakan arak untukku.”
“Bagaimana pendapatmu, Adik Cui?” sahut Lin Zhennan sambil berpaling kepada Pengawal Cui.
“Saya rasa kematian Pengawal Shi dan Pengawal Zheng tentu ada sangkut-pautnya dengan kakek dan cucu ini. Bahkan kemungkinan besar, mereka adalah para penjahat yang sedang menyamar,” sahut Pengawal Cui.
“Kedua orang Szechwan itu bisa jadi adalah komplotan mereka,” ujar Pengawal Ji menambahkan. “Kalau tidak, untuk apa mereka menukar mayat di kebun sayur?”
“Tapi orang bermarga Yu jelas-jelas berbuat kasar dan menggoda nona itu. Kalau tidak, mana mungkin aku berkelahi dengannya?” sahut Lin Pingzhi. “Rasanya tidak mungkin mereka ini satu komplotan.”
“Dalam hal ini Tuan Muda masih kurang berpengalaman,” ujar Pengawal Cui. “Kita ini hidup di dunia persilatan dan sudah biasa menemui orang-orang yang bersikap palsu dan jahat. Mereka sering memasang perangkap untuk menjerat lawannya. Misalnya, dua orang pura-pura berkelahi supaya muncul pihak ketiga melerai mereka. Begitu ini terjadi, mendadak dua orang yang berkelahi tadi berbalik mengeroyok orang ketiga tersebut.”
Pengawal Ji bertanya dengan suara lirih, “Bagaimana pendapat Ketua tentang masalah ini?”
“Sasaran yang dituju si kakek dan gadis penjual arak ini sudah pasti diri kita,” jawab Lin Zhennan. “Hanya saja, aku belum yakin apakah mereka berdua benar-benar komplotan orang-orang Szechwan itu atau bukan.”
Menyadari sesuatu, tiba-tiba Lin Pingzhi menyahut, “Ayah berkata bahwa Pendeta Yu dari Kuil Cemara Angin telah mengirim empat muridnya berkunjung kemari. Bukankah jumlah mereka… jumlah mereka sudah lengkap empat orang?”
Kata-kata ini menghantam perasaan Lin Zhennan bagaikan palu godam. Beberapa saat ia terkesima dan merenung, kemudian berkata lirih, “Selamanya Biro Pengawalan Fuwei selalu menghormati Perguruan Qingcheng dan belum pernah berbuat sesuatu yang tidak baik terhadap mereka. Lalu, untuk apa Pendeta Yu mengirim orang-orangnya ke sini mengganggu kita? Untuk apa?”
Kelima orang itu hanya saling pandang dengan perasaan bingung tanpa bersuara sedikit pun. Setelah agak lama, barulah Lin Zhennan kembali berkata, “Marilah kita pindahkan dulu jenazah Pengawal Shi ke dalam rumah. Tentang peristiwa ini hendaknya jangan sampai tersiar supaya tidak diketahui oleh pihak yang berwajib. Aku tidak ingin menimbulkan masalah yang lainnya lagi.” Setelah diam sejenak ia melanjutkan, “Keluarga Lin selalu menghormati orang lain. Namun, kami juga bukan pengecut yang menerima begitu saja jika dihina.”
Pengawal Ji berkata dengan nada tegas, “Ketua, pepatah mengatakan: ‘para prajurit diberi makan selama setahun untuk menghadapi satu pertempuran.’ Sudah cukup banyak kami menerima budi baik Ketua. Kami semua siap mengangkat senjata demi membela nama baik Biro Fuwei.”
“Terima kasih banyak atas kesetiaan kalian,” sahut Lin Zhennan sambil menganggukkan kepala. Ia lantas mengajak rombongannya itu kembali ke dalam kota.
Sesampainya di kantor pusat, tampak para pegawai berkumpul di depan pintu utama. Puluhan obor yang mereka pegang membuat suasana malam itu terang benderang bagaikan siang. Lin Zhennan sendiri berdebar-debar menyaksikan mereka
“Ketua sudah pulang! Ketua sudah pulang!” seru orang-orang itu bersama-sama.
Istri Lin Zhennan menyambut dengan wajah kesal. “Suamiku, coba kau lihat itu! Sungguh berani mereka menghina kita!”
Meskipun sudah menikah dengan Lin Zhennan, namun perempuan ini lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Nyonya Wang”, sesuai marga aslinya. Begitu melihat sang suami datang, Nyonya Wang langsung bercerita sambil menunjuk potongan dua buah tiang bendera yang saling melintang di atas tanah. Keduanya tidak lain adalah tiang panji-panji Biro Pengawalan Fuwei yang selama ini berdiri gagah di depan pintu utama gedung kantor pusat. Ditinjau dari bekas patahannya yang halus, jelas tiang-tiang tersebut dipotong menggunakan golok yang sangat tajam.
Nyonya Wang yang saat itu sedang tidak memegang senjata segera melolos pedang sang suami untuk memotong tali bendera dari tiangnya. Kemudian ia melipat panji-panji perusahaan Keluarga Lin tersebut dan membawanya masuk ke dalam gedung.
Lin Zhennan lantas berkata, “Adik Cui, lekas kau potong sisa tiang bendera yang masih tertinggal di altar batu itu. Huh, mereka pikir mudah menjatuhkan nama besar Biro Pengawalan Fuwei?”
“Baik, Ketua,” sahut Pengawal Cui kemudian bergegas menjalankan perintah.
Terdengar Pengawal Ji memaki, “Bangsat keparat! Mereka adalah kaum pengecut rendah yang beraninya menyerang diam-diam saat Ketua sedang meninggalkan markas!”
Lin Zhennan mengajak Lin Pingzhi masuk ke dalam rumah, meninggalkan Pengawal Ji yang masih memaki-maki di luar. Mereka melihat Nyonya Wang telah membentangkan kedua bendera tadi di atas dua buah meja. Ayah dan anak itu semakin kesal menyaksikan keadaan panji-panji tersebut. Tampak sulaman gambar singa jantan pada bendera yang satu telah kehilangan matanya, sementara bendera yang satunya – yang bertuliskan Biro Pengawalan Fuwei – telah kehilangan huruf “wei”.
Lin Zhennan seorang yang sangat sabar dan jarang sekali marah. Namun begitu melihat panji-panji kebesaran keluarganya dirusak orang, rasa gusarnya sulit terbendung lagi. Tangannya lantas menggebrak meja dengan keras, sampai-sampai salah satu kaki meja itu patah dibuatnya.
Lin Pingzhi ketakutan dan berkata dengan gemetar, “Ayah, ini semua... ini semua adalah kesalahanku. Akulah penyebab semua kekacauan ini.”
Lin Zhennan menjawab lantang, “Kita dari keluarga Lin membunuh orang secara kesatria! Kalau aku bertemu bajingan rendah seperti dia, sudah pasti aku juga akan membunuhnya!”
Nyonya Wang menyela, “Memangnya seperti apa orang yang kau bunuh?”
Lin Pingzhi pun menjawab pertanyaan ibunya dengan menceritakan semuanya, mulai dari kematian orang Szechwan bermarga Yu sampai dengan tewasnya Pengawal Shi. Nyonya Wang telah mengetahui kematian Pengawal Zheng dan Pengiring Bai. Kematian Pengawal Shi bukannya membuat wanita ini takut, melainkan semakin gusar.
Sambil menggebrak meja, ia bangkit dan berkata, “Suamiku, mana mungkin kita biarkan Biro Pengawalan Fuwei direndahkan orang seperti ini? Mari kita kumpulkan orang-orang dan bersama-sama kita berangkat ke Szechwan menuntut keadilan kepada Perguruan Qingcheng. Jika perlu, aku akan mengajak ayah dan kedua saudaraku sekalian.”
Sifat Nyonya Wang sejak kecil memang pemarah. Sewaktu masih gadis ia sudah terbiasa mencabut golok hanya karena masalah sepele. Ia sendiri berasal dari Keluarga Golok Emas Wang, yaitu sebuah keluarga terhormat dan sangat disegani di Kota Luoyang. Itulah sebabnya sampai sekarang ia lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Nyonya Wang” daripada “Nyonya Lin”.
Meskipun ilmu silat Nyonya Wang tidak terlalu tinggi, namun orang-orang yang berselisih dengannya lebih memilih untuk mengalah, mengingat nama besar sang ayah, yaitu Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding. Sampai sekarang meskipun ia sudah bersuami dan putranya juga sudah tumbuh besar, namun sifat pemarah Nyonya Wang masih tetap tidak berubah.
Mendengar saran sang istri, Lin Zhennan menjawab, “Masalahnya kita belum tahu dengan pasti siapa yang menjadi musuh kita. Belum tentu pelakunya benar-benar dari Perguruan Qingcheng. Namun siapapun mereka, aku rasa mereka tidak akan berhenti sampai di sini hanya dengan membunuh dua pengawal dan merusak tiang bendera kita....”
“Memangnya mereka mau apa lagi?” sahut Nyonya Wang menukas.
Lin Zhennan diam tidak menjawab, melainkan hanya melirik ke arah Lin Pingzhi. Anehnya, Nyonya Wang langsung paham maksud suaminya. Mendadak wajahnya berubah pucat dan jantung pun berdebar-debar.
Lin Pingzhi yang tidak menyadari gelagat di antara kedua orang tuanya memberanikan diri untuk bicara. “Masalah ini disebabkan oleh kecerobohanku. Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Sedikit pun... sedikit pun aku tidak gentar.” Meskipun mengaku tidak gentar, tetap saja suaranya terdengar gemetar.
“Hm, kalau mereka berani menyentuh seujung rambutmu, maka mereka harus melangkahi mayat ibumu ini lebih dulu,” sahut Nyonya Wang. “Panji kebesaran perusahaan kita sudah berkibar selama tiga generasi. Belum pernah sekali pun kita tunduk dan menyerah kepada orang lain. Jika sakit hati ini tidak dibalas, rasanya tidak pantas lagi kita disebut sebagai manusia. Aku tidak sanggup lagi berdiri di depan cermin,” lanjut wanita itu sambil berpaling ke arah suaminya.
Lin Zhennan mengangguk dan menjawab, “Akan kukirim orang untuk menyelidiki apakah di dalam kota ditemukan wajah-wajah asing yang tidak dikenal. Juga akan kutambah jumlah penjaga di sekitar gedung kantor ini. Kalian berdua tunggu saja di dalam! Lebih-lebih, Ping-er tidak boleh sampai keluar sedikit pun.”
“Ya, aku mengerti!” jawab Nyonya Wang.
Kedua suami-istri ini yakin bahwa cepat atau lambat putra mereka pasti menjadi sasaran musuh. Mereka berada di tempat terang, sementara musuh berada di dalam gelap. Sedikit saja Lin Pingzhi melangkah keluar gedung, tentu bahaya akan langsung mengancamnya.
Lin Zhennan berjalan ke depan sampai di aula gedung, di mana para pegawai telah berkumpul menunggu perintahnya. Segera ia memerintahkan mereka untuk menyebar menyelidiki kemungkinan adanya wajah-wajah asing mencurigakan yang berkeliaran di dalam kota, serta menambah jumlah para penjaga untuk meronda di sekitar gedung. Rupanya para pegawai ini merasa dipermalukan, karena kedua tiang bendera telah dirobohkan musuh sementara mereka tidak mengetahui sama sekali. Dengan perasaan gusar, mereka telah berseragam lengkap dan mempersiapkan senjata masing-masing. Perintah yang telah disampaikan sang ketua segera dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Lin Zhennan terharu menyaksikan semangat persatuan para pegawainya yang merasa ikut memiliki Biro Pengawalan Fuwei itu. Setelah mendengar sumpah mereka yang siap bekerja dan berkorban demi kehormatan perusahaan, ia lantas masuk kembali menemui istri dan putranya di ruang tengah.
“Ping-er, kesehatan ibumu selama beberapa hari ini agak menurun,” ujarnya kepada Lin Pingzhi. “Setiap saat musuh bisa datang menyerang. Bagaimana kalau kau tidur di depan pintu kamar sekaligus menjaga ibumu?”
Mendengar ini Nyonya Wang langsung menyela, “Aku tidak perlu...” Namun ia langsung paham akan maksud sesungguhnya dari ucapan sang suami. Sebenarnya Lin Zhennan bukan meminta agar Lin Pingzhi melindungi ibunya, melainkan supaya putranya itu dekat dengan sang ibu dan ini akan membuatnya lebih aman. Mereka sadar Lin Pingzhi bersifat angkuh dan sudah pasti merasa direndahkan jika secara terang-terangan ia disuruh berlindung kepada sang ibu demi keselamatan dirinya. Tentu putranya itu akan tersinggung dan memilih keluar rumah menantang musuh. Jelas ini sangat berbahaya. Menyadari maksud sang suami, Nyonya Wang pun menahan kata-katanya.
“Benar, Ping-er. Ibu sedang tidak enak badan. Ayahmu biar memimpin para pegawai, sementara kau menjaga di luar kamar Ibu. Bagaimana kalau musuh sampai datang dan menyusup kemari? Tentu Ibu sangat membutuhkan bantuanmu,” ujar wanita itu kemudian.
“Sudah pasti aku akan menemani Ibu di sini,” jawab Lin Pingzhi tanpa ragu.
Malam itu Lin Pingzhi pun tidur di atas ranjang yang telah diletakkan di luar kamar orang tuanya. Pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka agar Nyonya Wang bisa melihat keadaan putranya itu setiap saat. Lin Zhennan sendiri berjaga di luar bersama para pegawai. Sampai cukup lama mereka tidak menemukan tanda-tanda musuh kembali menyerang. Merasa keadaan sudah lebih aman, ia pun masuk ke dalam kamar dan tidur di samping sang istri. Meskipun demikian, pedangnya tetap dipersiapkan di samping bantal.
Begitu matahari terbit tiba-tiba terdengar suara seorang pegawai memanggil-manggil dari luar jendela dengan suara lirih, “Tuan Muda! Tuan Muda!”
Lin Pingzhi yang semalaman tidak bisa tidur, pagi itu masih pulas karena baru bisa memejamkan mata saat fajar menyingsing. Bukannya ia yang terbangun oleh panggilan itu melainkan Lin Zhennan yang segera bangkit dan bertanya, “Ada masalah apa?”
“Kuda putih milik Tuan Muda... kuda itu sudah... sudah mati,” jawab pegawai itu dari luar. Kalau yang mati kuda lainnya tentu tidak menjadi persoalan. Namun karena yang mati adalah kuda putih kesayangan Lin Pingzhi, buru-buru ia melapor kepada sang majikan muda.
Mendengar suara ribut-ribut, Lin Pingzhi terbangun pula dari tidurnya dan berkata, “Akan kulihat ke sana.”
Lin Zhennan berpikir kematian kuda putih ini tentu ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Ia pun bergegas menuju ke kandang bersama Lin Pingzhi. Sesampainya di sana mereka menyaksikan si kuda putih telah tergeletak tanpa nyawa. Sebagaimana kasus kematian yang terjadi sebelumnya, kali ini juga tidak ditemukan bekas luka apa pun pada tubuh hewan tersebut.
“Apakah semalam terdengar suara ringkikan kuda atau keributan lain yang mencurigakan?” tanya Lin Zhennan.
“Tidak, Tuan! Tidak ada sama sekali,” jawab si tukang kuda.
Lin Zhennan memegangi tangan Lin Pingzhi yang meraba-raba bangkai kuda kesayangannya itu, dan ia berkata, “Sudahlah, Nak! Ayah akan membelikan kuda baru yang lebih bagus untukmu.”
Lin Pingzhi hanya diam termangu sambil meneteskan air mata.
Tiba-tiba seorang pegawai yang tidak lain adalah Pengiring Chen datang dengan napas terengah-engah. Ia berkata dengan suara gemetar, “Ketua, ini celaka! Sungguh celaka! Para pengawal kita telah... telah terbunuh semua! Mereka mati dibunuh hantu gentayangan itu..!”
“Apa katamu? Mati semua?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi bersamaan.
“Benar, mati semua!” jawab Pengiring Chen tegang.
“Siapa saja yang mati?” sahut Lin Pingzhi gusar. Tanpa sadar tangannya mencengkeram kerah baju Pengiring Chen dan menariknya ke depan.
“Tuan Muda... Tuan Muda... mati,” jawab Pengiring Chen ketakutan.
Lin Zhennan gusar mendengar jawaban ini. Dalam dunia persilatan, seseorang yang masih hidup dikatakan mati adalah suatu pantangan besar karena dianggap dapat memendekkan umur orang itu. Namun karena Pengiring Chen mengucapkannya tanpa sengaja, ia pun menahan amarahnya dan berusaha menenangkan pikiran.
Sejenak kemudian, kembali terdengar suara ribut-ribut di luar. “Di mana Ketua? Kami harus segera melapor,” seru seorang pegawai dari luar kandang. “Hantu gentayangan ini sangat ganas. Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku di sini!” jawab Lin Zhennan berteriak. “Ada apa lagi ini?”
Seorang pengawal dan tiga orang pengiring segera masuk ke dalam kandang. Pengawal itu berkata, “Ketua, para pengawal yang tadi malam meronda tidak ada yang kembali dengan selamat.”
Lin Zhennan terperanjat. Semula ia berpikir ada seorang pegawai lagi yang mati, namun ternyata yang menjadi korban adalah semua pegawainya yang berangkat meronda tadi malam. Padahal, ia ingat semalam telah mengirim dua puluh tiga orang pengawal untuk meronda di sekeliling kota.
“Apa kau yakin mereka mati semua?” sahutnya kemudian. “Mungkin saja mereka masih meronda dan belum kembali sampai siang ini.”
Pengawal itu menggeleng dan menjawab, “Tapi kami telah... telah menemukan tujuh belas sosok mayat....”
“Tujuh belas mayat?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi kembali bersama-sama. Perasaan ngeri tergambar jelas di raut wajah mereka.
“Benar, Ketua! Jumlahnya ada tujuh belas mayat. Di antaranya terdapat Pengawal Fu, Pengawal Qian, dan Pengawal Wu. Mayat-mayat tersebut telah kami tempatkan di ruang depan,” jawab si pengawal mempertegas laporannya.Tanpa banyak bertanya lagi Lin Zhennan bergegas menuju ke ruang depan gedung perusahaannya. Tampak di ruangan itu terbaring tujuh belas sosok mayat pegawai biro dalam keadaan membujur kaku, sementara meja dan kursi telah disisihkan ke tepi mendekati dinding.
Meskipun sudah kenyang pengalaman dan sering mengalami kesulitan dalam hidup, namun tetap saja perasaan Lin Zhennan tergetar dibuatnya. Tanpa disadari tangannya gemetar dan lututnya terasa lemas menyaksikan pemandangan tersebut.
“Kenapa... kenapa... kenapa?” ujarnya bertanya-tanya. Suaranya kering dan nyaris tak terdengar oleh yang lainnya.
Tiba-tiba terdengar lagi suara ribut di luar, “Ya ampun! Pengawal Gao yang baik juga menjadi korban.”
Kali ini yang masuk adalah lima orang tetangga dengan menggotong sebuah daun pintu di mana jasad Pengawal Gao terbaring di atasnya.
“Sewaktu membuka pintu tadi pagi, saya terkejut karena melihat mayat Tuan Gao sudah tergeletak di jalanan. Mungkin ia terkena penyakit menular atau diganggu makhluk halus. Saya pun meminta bantuan para tetangga yang lain untuk membawa jenazahnya kemari,” ujar salah seorang tetangga memberi penjelasan kepada Lin Zhennan.
“Terima kasih banyak!” jawab Lin Zhennan sambil memberi hormat. Kepada seorang pegawai ia memberi perintah, “Sampaikan kepada kasir untuk memberikan tiga tael perak, masing-masing kepada para tetangga yang baik ini, sebagai rasa terima kasih dariku.”
Namun para tetangga tidak tega menerima hadiah tersebut. Dengan wajah ngeri, mereka lekas-lekas mohon diri setelah menyaksikan belasan mayat memenuhi ruangan. Tidak lama kemudian datang lagi empat jenazah, sehingga hanya tinggal seorang saja yang belum ditemukan. Pegawai yang seorang lagi itu adalah Pengawal Zhu, dan mereka yakin tidak lama lagi mayatnya akan segera ditemukan.
Lin Zhennan masuk ke kamar dan meneguk secangkir teh hangat untuk menenangkan perasaan. Meskipun demikian, jantungnya masih juga berdebar-debar. Dengan perasaan gelisah ia berjalan ke halaman depan dan memandang ke sekeliling. Hatinya terguncang menyaksikan panji-panji kebesaran Biro Pengawalan Fuwei yang selama ini berkibar dengan gagah, sekarang sudah tiada lagi. Musuh telah membunuh lebih dari dua puluh orang pegawainya namun tidak pernah menampakkan diri sama sekali. Mereka juga tidak pernah mengumumkan latar belakang dan tujuan pembantaian ini.
Perlahan Lin Zhennan berpaling ke arah papan nama bertuliskan huruf emas yang terpasang di atas pintu gedung. Sambil menghela napas ia berpikir, “Puluhan tahun lamanya nama besar Biro Pengawalan Fuwei berjaya di mana-mana. Apakah hari ini akan hancur di tanganku?”
Tiba-tiba terlihat seekor kuda muncul dari ujung jalan menuju ke arah gedung biro. Kuda itu berjalan pelan-pelan dengan mengangkut sesosok mayat yang tersampir di atas pelana. Lin Zhennan bergegas menghampirinya dan ternyata kuda itu mengangkut jasad Pengawal Zhu. Rupanya musuh telah membunuh pegawainya itu dan meletakkan mayatnya di atas punggung kuda. Kuda ini hafal jalan pulang sehingga akhirnya sampai di hadapan sang majikan.
Lin Zhennan menghela napas panjang dan meneteskan air mata membasahi mayat Pengawal Zhu. Seorang diri ia menggendong mayat pegawainya itu ke dalam gedung sambil berkata, “Adik Zhu, jika aku tidak bisa membalaskan kematianmu, biarlah aku mati penasaran. Namun sayangnya, kau kembali ke sini tanpa bisa menyebutkan siapa orangnya yang telah membunuhmu.”
Sebenarnya Pengawal Zhu hanyalah seorang pegawai biasa, dan juga tidak terlalu akrab dengan Lin Zhennan. Adapun sumpah dan air mata yang dikeluarkan itu jelas dikarenakan perasaan gusar dan putus asa yang sudah memenuhi rongga dadanya.
Lin Zhennan kemudian melihat istrinya berdiri di depan ruang aula sambil memegang sebilah golok emas di tangan kiri. “Dasar penjahat busuk, kau hanya berani menyerang dengan sembunyi-sembunyi! Jika kau memang laki-laki, lekas keluar! Tunjukkan batang hidungmu! Apa kau lebih suka disebut sebagai pengecut, hah?” bentaknya sambil menunjuk-nunjuk dengan tangan kanan.
Lin Zhennan bertanya, “Istriku, apa kau melihat sesuatu?”
Nyonya Wang menjawab, “Tidak. Kawanan bangsat itu tidak berani menampakkan diri karena takut terhadap Jurus Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kita.” Sambil mengacungkan goloknya, wanita itu melanjutkan, “Dia juga takut terhadap golok emas di tanganku ini!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari salah satu sudut atap rumah. Disusul kemudian sebuah senjata rahasia melesat menyambar ke arah Nyonya Wang dan mengenai golok yang dipegangnya. Tanpa ampun, golok emas pun terlepas dari pegangan sementara Nyonya Wang merasa tangannya tergetar kesakitan. Golok emas tersebut terus melayang sampai jatuh di tengah halaman.
Tanpa pikir lagi, Lin Zhennan menerjang ke atas dan menusukkan pedangnya. Yang dimainkannya adalah jurus Menyapu Bersih Kaum Iblis, di mana ujung pedangnya terlihat bagaikan sari bunga bertebaran di udara. Sudah beberapa hari Lin Zhennan menyimpan dendam terhadap musuh yang tidak terlihat itu. Kini begitu ada kesempatan, amarahnya langsung meledak dan ia pun menyerang dengan sekuat tenaga. Namun pedang di tangannya ternyata hanya mengenai tempat kosong, sementara musuh yang ia cari telah menghilang entah ke mana.
Nyonya Wang dan Lin Pingzhi ikut naik ke atap untuk membantu, namun mereka bertiga tidak menemukan apa-apa.
“Jahanam! Anak anjing! Kalau kau memang laki-laki lekas keluar dan bertarung denganku! Pengecut macam apa pula kau ini?” bentak Nyonya Wang. “ Ke mana bajingan itu pergi? Siapa dia sebenarnya?” ujarnya kemudian, bertanya kepada sang suami.
Lin Zhennan menggeleng dan menjawab, “Simpan tenagamu.”
Ketiganya terus mencari di segenap penjuru atap gedung namun tidak menemukan siapa-siapa. Mereka lalu melompat turun dan mendarat di halaman depan.
Lin Zhennan lantas bertanya kepada sang istri, “Senjata rahasia macam apa yang telah menjatuhkan golokmu tadi?”
“Entahlah, aku tidak tahu. Benar-benar keparat!” jawab Nyonya Wang setengah memaki.
Mereka segera memeriksa di sekitar pelataran namun tidak menemukan suatu senjata rahasia apapun juga. Hanya saja di bawah salah satu pohon ditemukan pecahan batu bata yang sebagian telah lembut seperti pasir. Sepertinya si penyerang gelap memang menggunakan batu bata itu untuk menjatuhkan golok emas di tangan Nyonya Wang. Lin Zhennan merasa kagum sekaligus ngeri membayangkan tenaga dalam si penyerang yang mampu menjatuhkan senjata istrinya hanya dengan sepotong batu bata kecil saja. Nyonya Wang sendiri yang sejak semula sibuk mencaci maki kini terdiam tanpa suara. Perasaan gusar di hatinya telah berubah menjadi takut menyaksikan remukan batu bata tersebut. Tanpa bicara sedikit pun, wanita itu lantas masuk kembali ke dalam ruangan.(Bersambung)
Bagian 1 ; Halaman muka ; Bagian 3
“Benar,” jawab Lin Pingzhi. “Sewaktu pulang tadi ia masih segar bugar, siapa sangka mendadak langsung terserang penyakit dan meninggal.”
“Di dunia ini sudah biasa terjadi hal-hal yang mendadak,” ujar Lin Zhennan. “Kebaikan atau keburukan sering terjadi tiba-tiba dan sukar diperkirakan sebelumnya. Sudah lama Ayah ingin membuka jalan ke daerah Szechwan tetapi selalu gagal. Selama sepuluh tahun terakhir, Ayah memeras otak memikirkan hal ini. Siapa sangka Pendeta Yu tiba-tiba terbuka pikirannya dan mau menerima hadiah dari kita; bahkan, mengirimkan empat orang muridnya pula untuk balas berkunjung kemari.”
Lin Pingzhi berkata, “Ayah, meskipun Perguruan Qingcheng adalah perguruan terkemuka di dunia persilatan, tetapi nama Biro Pengawalan Fuwei kita juga tidak rendah di mata kaum pendekar. Kita sudah mengirimkan hadiah kepada Pendeta Yu setiap tahun. Kalau sekarang ia mengirim orangnya kemari, bukankah ini hanya sekadar penghormatan timbal balik saja?”
“Kau tahu apa?” sahut Lin Zhennan sambil tertawa. “Perguruan Qingcheng dan Emei sudah berdiri selama ratusan tahun, serta memiliki tidak sedikit bibit unggul di antara murid-muridnya. Kedua perguruan ini memang tidak sebesar Shaolin atau Wudang, namun hanya selisih sedikit di bawah Serikat Pedang Lima Gunung, yang terdiri atas Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, Huashan, dan Henshan. Kakek buyutmu – yaitu Kakek Yuantu – memang telah menciptakan tujuh puluh dua Jurus Pedang Penakluk Iblis yang pernah mengguncangkan dunia persilatan. Bisa dikatakan pada zaman itu tidak seorang pun yang mampu menandingi kakek buyutmu dalam hal ilmu pedang. Namun, setelah Kakek Yuantu meninggal dan ilmu pedang mahasakti itu diwarisi kakekmu, ternyata banyak mengalami kemunduran. Lebih-lebih ketika diwariskan kepada Ayah, malah semakin mundur lagi. Keluarga Lin dalam tiga generasi terakhir ini masing-masing hanya memiliki seorang putra tunggal saja, dan tidak menerima murid dari luar. Dengan hanya mengandalkan kekuatan kita berdua, sudah pasti kita tidak sebanding dengan perguruan-perguruan silat tersebut.”
Lin Pingzhi masih penasaran. Ia berkata, “Tapi bukankah kita bisa mengumpulkan semua kekuatan perusahaan kita yang tersebar di sepuluh provinsi. Bersama-sama pasti kita mampu menghadapi kekuatan Perguruan Shaolin, Wudang, Emei, Qingcheng, serta Serikat Pedang Lima Gunung?”
Lin Zhennan merasa geli dan menjawab, “Nak, tidak apa-apa kalau kau bicara seperti itu di depan Ayah. Namun kalau kau bicara di luar sana dan didengar orang lain, tentu akan mendatangkan banyak masalah. Sebanyak delapan puluh empat orang pengawal kita yang tersebar di sepuluh kantor cabang memang memiliki kepandaian sendiri-sendiri. Kalau mereka digabung menjadi satu tentu tidak akan kalah menghadapi golongan mana pun. Akan tetapi, apa manfaatnya andaikata biro kita dapat mengalahkan perguruan-perguruan itu? Sebagai perusahaan pengawalan kita seharusnya mencari banyak sahabat, bukannya mencari musuh. Kita tidak akan menderita kerugian apa-apa dengan bersikap rendah hati.”
Tiba-tiba kembali terdengar suara ribut-ribut di luar, “Celaka! Pengawal Zheng juga meninggal!”
Lin Zhennan dan Lin Pingzhi sama-sama terperanjat. Bahkan, Lin Pingzhi sampai melonjak dari kursi dan berkata dengan suara gemetar, “Mereka pasti da… datang untuk membalas…” Belum selesai perkataannya, dengan cepat ia menahan mulut. Lin Zhennan sendiri sudah bergegas keluar sehingga tidak mendengar apa yang telah dikatakan putranya tadi.
Pengiring Chen datang dengan tergesa-gesa. “Ce… celaka, Ketua! Ini gawat! Pe… Pengawal Zheng juga telah di… ambil nyawanya oleh… oleh hantu jahat dari Szechwan!” serunya dengan nada gugup.
“Hantu jahat dari Szechwan apa lagi ini? Omong kosong!” bentak Lin Zhennan sambil memalingkan muka.
“Saya bicara be... benar, Ketua,” sahut Pengiring Chen gugup. “Hantu itu... orang dari Szechwan itu sangat ganas semasa hidupnya. Tentu dia semakin ganas setelah mati...,” Begitu menoleh ke arah Lin Pingzhi dan melihat raut muka sang tuan muda terlihat gusar, ia tidak berani bicara lagi.
Lin Zhennan lalu bertanya, “Kau bilang Pengawal Zheng telah meninggal? Di mana jasadnya kini dan bagaimana dia bisa mati?”
Saat itu beberapa pegawai yang lain juga sudah berlarian datang. Seorang pengawal menjawab, “Pengawal Zheng meninggal di dalam kandang. Kematiannya sama persis dengan Pengiring Bai. Tubuhnya tidak terluka sedikit pun, juga tidak mengeluarkan darah setetes pun. Wajahnya juga tidak terlihat bengkak atau membiru. Sepertinya... sepertinya mereka berdua terkena gangguan setan jahat sewaktu berburu bersama Tuan Muda tadi.”
Lin Zhennan mendengus dan berkata, “Huh, seumur hidup aku belum pernah melihat hantu atau setan semacamnya. Mari kita pergi melihatnya.” Usai bicara ia langsung bergegas keluar menuju ke tempat yang dimaksud.
Sesampainya di sana, jasad Pengawal Zheng tampak tergeletak di tanah, dengan kedua tangan masih memegang pelana kuda. Sepertinya ia sedang melepas pelana dari punggung kuda ketika tiba-tiba roboh binasa. Sama sekali tidak ditemukan pula tanda-tanda bertarung melawan orang lain.
Hari sudah mulai gelap. Lin Zhennan menyuruh seorang anak buahnya mengambil lampu. Perlahan-lahan ia membuka pakaian Pengawal Zheng. Diperiksanya dengan teliti sekujur mayat pegawainya itu, ternyata memang tidak terdapat luka sedikit pun. Selain itu juga tidak terdapat patah tulang sama sekali, termasuk tulang jari sekalipun.
Lin Zhennan tidak percaya takhayul. Kematian Pengiring Bai tadi dianggapnya sebagai suatu kebetulan saja. Namun sekarang Pengawal Zheng juga mati dalam keadaan serupa. Apabila keduanya mati karena diserang penyakit, mengapa tidak terdapat bintik-bintik merah atau hitam pada tubuh mereka? Mungkinkah kematian mereka berhubungan dengan suatu hal dalam kegiatan berburu putranya tadi?
Berpikir demikian, Lin Zhennan lantas mengajukan pertanyaan kepada Lin Pingzhi. “Selain Pengawal Zheng dan Pengiring Bai, yang ikut pergi berburu bersamamu adalah Pengawal Shi dan dia, bukan?” ujarnya sambil menunjuk wajah Pengiring Chen.
Lin Pingzhi hanya mengangguk tanpa bersuara.
“Kalau begitu, kalian berdua ikut aku!” kata Lin Zhennan. Ia kemudian berkata kepada seorang pengiring lainnya, “Coba kau panggil Pengawal Shi agar datang ke ruang timur. Aku ingin bicara dengannya.”
Sesampainya di ruang timur, Lin Zhennan mengambil tempat duduk dan bertanya, “Apa yang sebenarnya telah terjadi?”
Sadar bahwa dirinya tidak dapat menutupi peristiwa itu lagi, Lin Pingzhi terpaksa menceritakan semua pengalamannya sewaktu pulang dari berburu siang tadi. Ia bercerita mula-mula rombongannya singgah untuk minum di sebuah kedai arak. Kemudian datang dua orang Szechwan yang bersikap kurang ajar terhadap gadis penjual arak di kedai itu. Lin Pingzhi lantas turun tangan dan bertarung melawan salah seorang pemuda dari Szechwan tersebut. Akhirnya, orang itu berhasil mencengkeram tengkuknya dan menekannya sampai menyentuh tanah. Pada saat itulah Lin Pingzhi mencabut sebilah pisau belati dari balik sepatu dan digunakannya untuk membunuh lawan. Pengawal Shi lantas mengubur mayat orang Szechwan itu di dalam kebun sayur, dan memberikan beberapa tael perak kepada pemilik kedai sebagai penutup mulut.
Semakin mendengarkan cerita itu, Lin Zhennan semakin penasaran. Namun demikian, sebagai seorang yang sudah lama berkecimpung di dunia persilatan, ia merasa wajar jika anaknya berkelahi dan membunuh orang. Dengan tenang tanpa bersuara ia mengikuti cerita Lin Pingzhi sampai selesai.
Setelah merenung sejenak, Lin Zhennan lantas bertanya, “Apakah kedua orang itu tidak mengatakan dari aliran atau golongan mana mereka berasal?”
“Tidak,” sahut Lin Pingzhi.
“Apakah dari ucapan dan tingkah laku mereka, kau menemukan suatu hal yang luar biasa?” tanya Lin Zhennan lebih lanjut.
“Tidak ada yang aneh dengan mereka. Hanya saja, orang bermarga Yu itu mengatakan…”
“Apa? Jadi, orang yang telah kau bunuh itu bermarga Yu?” sahut Lin Zhennan menukas.
“Ya. Aku mendengar rekannya memanggil dia dengan sebutan ‘Adik Yu’. Tapi aku sendiri juga kurang begitu yakin. Mereka berasal dari daerah lain, sudah tentu logat bahasa mereka berbeda dengan kita,” jawab Lin Pingzhi.
Mendengar itu, Lin Zhennan menggelengkan kepala dan menggumam, “Tidak mungkin! Tidak mungkin bisa kebetulan seperti ini. Pendeta Yu berkata hendak mengirim orang-orangnya kemari. Namun, mengapa mereka bisa sampai di Fuzhou secepat ini? Memangnya mereka punya sayap?”
Lin Pingzhi terperanjat dan segera bertanya, “Apakah Ayah khawatir kedua orang itu berasal dari Perguruan Qingcheng?”
Lin Zhennan tidak menjawab. Selang sejenak, ia berkata sambil menggerakkan tangan, “Sewaktu kau menyerang dengan jurus Tapak Semesta, bagaimana cara dia menangkis pukulanmu?”
“Dia tidak dapat menangkis sehingga terkena tamparanku,” sahut Lin Pingzhi.
“Bagus sekali! Bagus sekali!” seru Lin Zhennan sambil tersenyum.
Sejak tadi suasana di ruangan itu sangat tegang, namun kini agak mencair oleh pujian Lin Zhennan tersebut. Lin Pingzhi sendiri ikut tersenyum. Perasaannya yang tertekan menjadi agak longgar.
“Sewaktu kau menyerang lagi dengan gerakan ini, bagaimana ia menyerang balik?” tanya Lin Zhennan sambil memperagakan suatu contoh serangan.
Lin Pingzhi menjawab, “Waktu itu aku sedang marah sehingga tidak melihat dengan jelas bagaimana sikapnya. Yang pasti, aku berhasil memukul dadanya.”
Mendengar itu, raut muka Lin Zhennan tampak lebih tenang. Ia berkata, “Bagus sekali, bagus sekali! Serangan kita memang harus demikian. Karena dia tidak mampu menangkis sama sekali, rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki hubungan dengan Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng.”
Rupanya ucapan “bagus sekali” yang diucapkannya beberapa kali tadi bukan dimaksudkan untuk memuji kemenangan Lin Pingzhi, tetapi disebabkan oleh rasa lega karena orang yang mati itu ternyata bukan anggota Perguruan Qingcheng. Lin Zhennan berpikir orang Szechwan banyak yang bermarga Yu dan mahir ilmu silat. Karena orang itu bisa dibunuh putranya, sudah pasti ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, serta tidak mungkin pula berasal dari Perguruan Qingcheng.
Sambil jari tengah tangannya mengetuk meja beberapa kali, ia kembali bertanya lebih lanjut, “Lalu, bagaimana cara dia mencengkeram tengkukmu?”
Lin Pingzhi langsung menggerakan tangan untuk memperagakan bagaimana dirinya dibekuk oleh si marga Yu sampai tidak bisa berkutik.
Pengiring Chen yang sudah mulai berkurang rasa takutnya ikut berkata, “Kemudian Pengiring Bai mencoba menikam punggung orang itu dengan tombak, tapi tahu-tahu dia sudah ditendang ke belakang dan tombak pun terlempar. Bahkan, Bai sendiri sampai terguling-guling tidak bisa bangun.”
Perasaan Lin Zhennan tergetar mendengarnya. Segera ia bertanya sambil bangkit dari kursi, “Orang itu mendepak ke belakang sehingga Pengiring Bai terjungkal? Bagaimana... bagaimana cara dia melakukannya?”
“Kalau tidak salah seperti ini,” jawab Pengiring Chen sambil memperagakan gerakan itu. Tangannya memegang sandaran kursi, lalu kedua kakinya susul menyusul mendepak ke belakang.
Dasar ilmu silat Pengiring Chen memang rendah sehingga gerakannya terlihat kaku dan menggelikan. Dengan menahan tawa, Lin Pingzhi berkata, “Ayah, coba lihat itu…” Namun begitu melihat wajah Lin Zhennan menampilkan rasa tegang, seketika ia langsung berhenti berbicara.
“Kedua depakan ke belakang itu mirip jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang menjadi kebanggaan Perguruan Qingcheng,” kata Lin Zhennan. “Nak, sebenarnya bagaimana cara dia melontarkan kedua depakan itu?”
Lin Pingzhi menjawab, “Waktu itu kepalaku ditekan ke bawah sehingga tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana dia menendang ke belakang,”
“Benar juga, hanya Pengawal Shi saja yang bisa memberi keterangan,” ujar Lin Zhennan. Segera ia keluar ruangan dan berteriak, “Hei, di mana Pengawal Shi? Sudah sekian lama mengapa belum datang juga?”
Dua orang pengiring segera mendekat dan menjawab, “Kami sudah mencari kemana-mana, tapi Pengawal Shi tidak dapat ditemukan.”
Perasaan Lin Zhennan semakin gelisah. Ia berpikir, “Kalau kedua tendangan itu benar-benar jurus Tendangan Tanpa Bayangan, sudah pasti orang bermarga Yu itu anggota Perguruan Qingcheng. Jika memang demikian, siapa sebenarnya dia?”
Berpikir demikian, ia memutuskan untuk memeriksa secara langsung. Segera ia kembali memberi perintah kepada dua pengiring tadi, “Coba kalian panggil Pengawal Cui dan Pengawal Ji kemari!”
Kedua pengawal tersebut adalah orang kepercayaan Lin Zhennan. Selain berpengalaman luas, cara bekerja mereka pun rajin dan teliti. Sejak mengetahui Pengawal Zheng tewas dan Pengawal Shi menghilang, mereka langsung bersiap-siap di luar ruangan. Maka begitu mendengar nama mereka disebut oleh Lin Zhennan, keduanya segera masuk ke dalam.
Lin Zhennan berkata, “Kita harus memeriksa ke sana. Pengawal Cui, Pengawal Ji, Ping-er, dan Chen, kalian semua ikut aku!”
Kelima orang itu lantas memacu kuda dengan kencang ke luar kota melalui gerbang utara. Lin Pingzhi berkuda paling depan sebagai penunjuk jalan. Tidak lama kemudian, rombongan itu telah sampai di depan kedai arak kecil yang menjadi tujuan mereka.
Pintu kedai tampak tertutup rapat. Lin Pingzhi segera mengetuk dan berseru, “Kakek Sa! Kakek Sa! Lekas bukakan pintu!” Meskipun sudah diketuk berkali-kali, tidak juga terdengar suara jawaban dari dalam.
Pengawal Cui memandang ke arah Lin Zhennan seolah meminta izin untuk mendobrak. Setelah Lin Zhennan mengangguk, kedua tangan Pengawal Cui langsung menghantam ke depan sehingga palang pintu kedai patah seketika. Daun pintu itu terdorong ke dalam lalu kembali ke depan beberapa kali. Engsel yang telah berkarat mengeluarkan suara keriat-keriut menambah seram suasana.
Begitu pintu terbuka, Pengawal Cui segera menarik badan Lin Pingzhi ke samping. Setelah yakin tidak ada bahaya mengancam dari dalam, barulah mereka melangkah masuk. Sebuah pelita yang berada di atas meja langsung dinyalakan sebagai penerang selain lampu kerudung yang mereka bawa. Kelima orang itu memeriksa bagian dalam dan luar kedai dengan seksama, namun tidak seorang pun tampak terlihat. Semua perabotan di dalam kedai ternyata masih lengkap, tidak satu pun yang dibawa pergi.
“Sepertinya kakek itu khawatir tersangkut masalah ini. Apalagi mayat tersebut dikubur di dalam kebun sayurnya. Rasanya tidak aneh kalau dia menyingkir pergi,” kata Lin Zhennan sambil mengangguk. Ia kemudian berjalan menuju kebun sayur dan berkata, “Chen, gali kebun ini dan keluarkan mayatnya!”
Sejak awal Pengiring Chen sangat yakin bahwa dua kematian misterius di dalam Biro Fuwei terjadi akibat ulah hantu penasaran orang Szechwan tersebut. Dengan sangat terpaksa ia mengangkat cangkul dan mulai menggali kebun tempat mayat orang itu dikubur. Akan tetapi, belum seberapa lama ia mencangkul, kaki dan tangannya sudah gemetar, dan akhirnya terkulai lemas tak bertenaga.“Dasar tidak berguna! Kau masih berani menyebut dirimu pengiring kereta, hah?” bentak Pengawal Ji. Segera ia merebut cangkul dan menyodorkan lampu kerudung di tangannya kepada Pengiring Chen. Sebentar saja ia mencangkul, baju jenazah samar-samar mulai terlihat. Tidak lama kemudian, setelah mengayunkan beberapa cangkulan lagi, mayat tersebut akhirnya terlihat seluruhnya. Dengan menggunakan gagang cangkul, Pengawal Ji mengangkat mayat itu ke atas.
Pengiring Chen buru-buru memalingkan mukanya ke arah lain karena takut memandang mayat tersebut. Tiba-tiba ia mendengar suara keempat orang lainnya berteriak kaget. Karena semakin ketakutan, ia pun menjatuhkan lampu kerudung di tangannya sehingga suasana di kebun sayur itu menjadi gelap gulita.
Terdengar suara Lin Pingzhi berkata dengan suara terputus-putus, “Yang dikubur di sini tadi jelas-jelas orang dari Szechwan itu. Mengapa… mengapa…”
“Nyalakan kembali lampunya!” seru Lin Zhennan.
Pengawal Cui memungut lampu kerudung di atas tanah tadi dan menyalakannya kembali. Lin Zhennan lantas berjongkok memeriksa mayat tersebut dengan teliti. Sejenak kemudian ia berkata, “Tidak terdapat luka sedikit pun. Kematiannya sama persis dengan yang lain.”
Pengiring Chen memberanikan diri memandang ke arah mayat. Seketika ia langsung menjerit kaget, “Pengawal Shi! Ini Pengawal Shi!”
Ternyata, mayat yang baru diangkat dari kuburan tersebut adalah Pengawal Shi, sementara mayat orang Szechwan bermarga Yu sudah menghilang entah ke mana.
“Ada yang tidak beres dengan kakek bermarga Sa itu,” ujar Lin Zhennan. Segera ia menyambar lampu kerudung dan kemudian berlari ke dalam kedai untuk memeriksa kembali. Dari guci arak di dapur sampai panci, mangkuk, piring, meja, dan kursi, semuanya tanpa kecuali dijungkirbalikkan untuk diperiksa dengan lebih cermat. Namun demikian, tetap saja tidak terdapat suatu petunjuk yang mencurigakan.
Lin Pingzhi dan yang lain ikut masuk ke dalam kedai dan memeriksa pula. Tiba-tiba pemuda itu berteriak, “Ayah, coba ke sini dan lihat ini!”
Lin Zhennan bergegas menuju ke arah putranya bersuara. Ternyata Lin Pingzhi menemukan sesuatu di dalam kamar tidur Wan-er, cucu Kakek Sa. Pemuda itu tampak memegang sehelai saputangan berwarna hijau. “Ayah, seorang gadis dari keluarga miskin mana mungkin bisa memiliki saputangan seperti ini?” ujarnya.
Lin Zhennan mengambil saputangan itu. Samar-samar tercium olehnya bau harum yang menarik perhatian. Saputangan ini sangat halus dan terasa agak mantap, jelas terbuat dari bahan sutra pilihan. Ketika diperiksa lebih lanjut, tampak di tepi benda itu terdapat lingkaran berupa tiga garis benang berwarna hijau. Salah satu ujungnya bersulamkan setangkai bunga mawar berwarna merah, sepertinya dikerjakan dengan sangat teliti dan indah sekali.
“Dari mana kau peroleh saputangan ini?” tanya Lin Zhennan.
“Kutemukan di sudut kolong ranjang,” sahut Lin Pingzhi. “Mungkin mereka pergi dengan tergesa-gesa sehingga tidak sempat melihat saputangan ini jatuh sewaktu berbenah.”
Dengan menggunakan lampu kerudung, Lin Zhennan berjongkok memeriksa kolong ranjang namun tidak menemukan apa-apa lagi. Setelah merenung sejenak ia lalu berkata, “Kau bilang nona penjual arak itu mukanya sangat jelek. Aku berpikir pakaiannya pasti tidak terlalu bagus. Namun, apakah penampilannya sangat bersih dan teliti?”
“Waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan dia, tapi rasanya memang tidak terlalu buruk dan dekil,” jawab Lin Pingzhi. “Kalau pakaiannya kotor, tentu aku dapat merasakannya sewaktu dia membawakan arak untukku.”
“Bagaimana pendapatmu, Adik Cui?” sahut Lin Zhennan sambil berpaling kepada Pengawal Cui.
“Saya rasa kematian Pengawal Shi dan Pengawal Zheng tentu ada sangkut-pautnya dengan kakek dan cucu ini. Bahkan kemungkinan besar, mereka adalah para penjahat yang sedang menyamar,” sahut Pengawal Cui.
“Kedua orang Szechwan itu bisa jadi adalah komplotan mereka,” ujar Pengawal Ji menambahkan. “Kalau tidak, untuk apa mereka menukar mayat di kebun sayur?”
“Tapi orang bermarga Yu jelas-jelas berbuat kasar dan menggoda nona itu. Kalau tidak, mana mungkin aku berkelahi dengannya?” sahut Lin Pingzhi. “Rasanya tidak mungkin mereka ini satu komplotan.”
“Dalam hal ini Tuan Muda masih kurang berpengalaman,” ujar Pengawal Cui. “Kita ini hidup di dunia persilatan dan sudah biasa menemui orang-orang yang bersikap palsu dan jahat. Mereka sering memasang perangkap untuk menjerat lawannya. Misalnya, dua orang pura-pura berkelahi supaya muncul pihak ketiga melerai mereka. Begitu ini terjadi, mendadak dua orang yang berkelahi tadi berbalik mengeroyok orang ketiga tersebut.”
Pengawal Ji bertanya dengan suara lirih, “Bagaimana pendapat Ketua tentang masalah ini?”
“Sasaran yang dituju si kakek dan gadis penjual arak ini sudah pasti diri kita,” jawab Lin Zhennan. “Hanya saja, aku belum yakin apakah mereka berdua benar-benar komplotan orang-orang Szechwan itu atau bukan.”
Menyadari sesuatu, tiba-tiba Lin Pingzhi menyahut, “Ayah berkata bahwa Pendeta Yu dari Kuil Cemara Angin telah mengirim empat muridnya berkunjung kemari. Bukankah jumlah mereka… jumlah mereka sudah lengkap empat orang?”
Kata-kata ini menghantam perasaan Lin Zhennan bagaikan palu godam. Beberapa saat ia terkesima dan merenung, kemudian berkata lirih, “Selamanya Biro Pengawalan Fuwei selalu menghormati Perguruan Qingcheng dan belum pernah berbuat sesuatu yang tidak baik terhadap mereka. Lalu, untuk apa Pendeta Yu mengirim orang-orangnya ke sini mengganggu kita? Untuk apa?”
Kelima orang itu hanya saling pandang dengan perasaan bingung tanpa bersuara sedikit pun. Setelah agak lama, barulah Lin Zhennan kembali berkata, “Marilah kita pindahkan dulu jenazah Pengawal Shi ke dalam rumah. Tentang peristiwa ini hendaknya jangan sampai tersiar supaya tidak diketahui oleh pihak yang berwajib. Aku tidak ingin menimbulkan masalah yang lainnya lagi.” Setelah diam sejenak ia melanjutkan, “Keluarga Lin selalu menghormati orang lain. Namun, kami juga bukan pengecut yang menerima begitu saja jika dihina.”
Pengawal Ji berkata dengan nada tegas, “Ketua, pepatah mengatakan: ‘para prajurit diberi makan selama setahun untuk menghadapi satu pertempuran.’ Sudah cukup banyak kami menerima budi baik Ketua. Kami semua siap mengangkat senjata demi membela nama baik Biro Fuwei.”
“Terima kasih banyak atas kesetiaan kalian,” sahut Lin Zhennan sambil menganggukkan kepala. Ia lantas mengajak rombongannya itu kembali ke dalam kota.
Sesampainya di kantor pusat, tampak para pegawai berkumpul di depan pintu utama. Puluhan obor yang mereka pegang membuat suasana malam itu terang benderang bagaikan siang. Lin Zhennan sendiri berdebar-debar menyaksikan mereka
“Ketua sudah pulang! Ketua sudah pulang!” seru orang-orang itu bersama-sama.
Istri Lin Zhennan menyambut dengan wajah kesal. “Suamiku, coba kau lihat itu! Sungguh berani mereka menghina kita!”
Meskipun sudah menikah dengan Lin Zhennan, namun perempuan ini lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Nyonya Wang”, sesuai marga aslinya. Begitu melihat sang suami datang, Nyonya Wang langsung bercerita sambil menunjuk potongan dua buah tiang bendera yang saling melintang di atas tanah. Keduanya tidak lain adalah tiang panji-panji Biro Pengawalan Fuwei yang selama ini berdiri gagah di depan pintu utama gedung kantor pusat. Ditinjau dari bekas patahannya yang halus, jelas tiang-tiang tersebut dipotong menggunakan golok yang sangat tajam.
Nyonya Wang yang saat itu sedang tidak memegang senjata segera melolos pedang sang suami untuk memotong tali bendera dari tiangnya. Kemudian ia melipat panji-panji perusahaan Keluarga Lin tersebut dan membawanya masuk ke dalam gedung.
Lin Zhennan lantas berkata, “Adik Cui, lekas kau potong sisa tiang bendera yang masih tertinggal di altar batu itu. Huh, mereka pikir mudah menjatuhkan nama besar Biro Pengawalan Fuwei?”
“Baik, Ketua,” sahut Pengawal Cui kemudian bergegas menjalankan perintah.
Terdengar Pengawal Ji memaki, “Bangsat keparat! Mereka adalah kaum pengecut rendah yang beraninya menyerang diam-diam saat Ketua sedang meninggalkan markas!”
Lin Zhennan mengajak Lin Pingzhi masuk ke dalam rumah, meninggalkan Pengawal Ji yang masih memaki-maki di luar. Mereka melihat Nyonya Wang telah membentangkan kedua bendera tadi di atas dua buah meja. Ayah dan anak itu semakin kesal menyaksikan keadaan panji-panji tersebut. Tampak sulaman gambar singa jantan pada bendera yang satu telah kehilangan matanya, sementara bendera yang satunya – yang bertuliskan Biro Pengawalan Fuwei – telah kehilangan huruf “wei”.
Lin Zhennan seorang yang sangat sabar dan jarang sekali marah. Namun begitu melihat panji-panji kebesaran keluarganya dirusak orang, rasa gusarnya sulit terbendung lagi. Tangannya lantas menggebrak meja dengan keras, sampai-sampai salah satu kaki meja itu patah dibuatnya.
Lin Pingzhi ketakutan dan berkata dengan gemetar, “Ayah, ini semua... ini semua adalah kesalahanku. Akulah penyebab semua kekacauan ini.”
Lin Zhennan menjawab lantang, “Kita dari keluarga Lin membunuh orang secara kesatria! Kalau aku bertemu bajingan rendah seperti dia, sudah pasti aku juga akan membunuhnya!”
Nyonya Wang menyela, “Memangnya seperti apa orang yang kau bunuh?”
Lin Pingzhi pun menjawab pertanyaan ibunya dengan menceritakan semuanya, mulai dari kematian orang Szechwan bermarga Yu sampai dengan tewasnya Pengawal Shi. Nyonya Wang telah mengetahui kematian Pengawal Zheng dan Pengiring Bai. Kematian Pengawal Shi bukannya membuat wanita ini takut, melainkan semakin gusar.
Sambil menggebrak meja, ia bangkit dan berkata, “Suamiku, mana mungkin kita biarkan Biro Pengawalan Fuwei direndahkan orang seperti ini? Mari kita kumpulkan orang-orang dan bersama-sama kita berangkat ke Szechwan menuntut keadilan kepada Perguruan Qingcheng. Jika perlu, aku akan mengajak ayah dan kedua saudaraku sekalian.”
Sifat Nyonya Wang sejak kecil memang pemarah. Sewaktu masih gadis ia sudah terbiasa mencabut golok hanya karena masalah sepele. Ia sendiri berasal dari Keluarga Golok Emas Wang, yaitu sebuah keluarga terhormat dan sangat disegani di Kota Luoyang. Itulah sebabnya sampai sekarang ia lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Nyonya Wang” daripada “Nyonya Lin”.
Meskipun ilmu silat Nyonya Wang tidak terlalu tinggi, namun orang-orang yang berselisih dengannya lebih memilih untuk mengalah, mengingat nama besar sang ayah, yaitu Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding. Sampai sekarang meskipun ia sudah bersuami dan putranya juga sudah tumbuh besar, namun sifat pemarah Nyonya Wang masih tetap tidak berubah.
Mendengar saran sang istri, Lin Zhennan menjawab, “Masalahnya kita belum tahu dengan pasti siapa yang menjadi musuh kita. Belum tentu pelakunya benar-benar dari Perguruan Qingcheng. Namun siapapun mereka, aku rasa mereka tidak akan berhenti sampai di sini hanya dengan membunuh dua pengawal dan merusak tiang bendera kita....”
“Memangnya mereka mau apa lagi?” sahut Nyonya Wang menukas.
Lin Zhennan diam tidak menjawab, melainkan hanya melirik ke arah Lin Pingzhi. Anehnya, Nyonya Wang langsung paham maksud suaminya. Mendadak wajahnya berubah pucat dan jantung pun berdebar-debar.
Lin Pingzhi yang tidak menyadari gelagat di antara kedua orang tuanya memberanikan diri untuk bicara. “Masalah ini disebabkan oleh kecerobohanku. Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Sedikit pun... sedikit pun aku tidak gentar.” Meskipun mengaku tidak gentar, tetap saja suaranya terdengar gemetar.
“Hm, kalau mereka berani menyentuh seujung rambutmu, maka mereka harus melangkahi mayat ibumu ini lebih dulu,” sahut Nyonya Wang. “Panji kebesaran perusahaan kita sudah berkibar selama tiga generasi. Belum pernah sekali pun kita tunduk dan menyerah kepada orang lain. Jika sakit hati ini tidak dibalas, rasanya tidak pantas lagi kita disebut sebagai manusia. Aku tidak sanggup lagi berdiri di depan cermin,” lanjut wanita itu sambil berpaling ke arah suaminya.
Lin Zhennan mengangguk dan menjawab, “Akan kukirim orang untuk menyelidiki apakah di dalam kota ditemukan wajah-wajah asing yang tidak dikenal. Juga akan kutambah jumlah penjaga di sekitar gedung kantor ini. Kalian berdua tunggu saja di dalam! Lebih-lebih, Ping-er tidak boleh sampai keluar sedikit pun.”
“Ya, aku mengerti!” jawab Nyonya Wang.
Kedua suami-istri ini yakin bahwa cepat atau lambat putra mereka pasti menjadi sasaran musuh. Mereka berada di tempat terang, sementara musuh berada di dalam gelap. Sedikit saja Lin Pingzhi melangkah keluar gedung, tentu bahaya akan langsung mengancamnya.
Lin Zhennan berjalan ke depan sampai di aula gedung, di mana para pegawai telah berkumpul menunggu perintahnya. Segera ia memerintahkan mereka untuk menyebar menyelidiki kemungkinan adanya wajah-wajah asing mencurigakan yang berkeliaran di dalam kota, serta menambah jumlah para penjaga untuk meronda di sekitar gedung. Rupanya para pegawai ini merasa dipermalukan, karena kedua tiang bendera telah dirobohkan musuh sementara mereka tidak mengetahui sama sekali. Dengan perasaan gusar, mereka telah berseragam lengkap dan mempersiapkan senjata masing-masing. Perintah yang telah disampaikan sang ketua segera dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Lin Zhennan terharu menyaksikan semangat persatuan para pegawainya yang merasa ikut memiliki Biro Pengawalan Fuwei itu. Setelah mendengar sumpah mereka yang siap bekerja dan berkorban demi kehormatan perusahaan, ia lantas masuk kembali menemui istri dan putranya di ruang tengah.
“Ping-er, kesehatan ibumu selama beberapa hari ini agak menurun,” ujarnya kepada Lin Pingzhi. “Setiap saat musuh bisa datang menyerang. Bagaimana kalau kau tidur di depan pintu kamar sekaligus menjaga ibumu?”
Mendengar ini Nyonya Wang langsung menyela, “Aku tidak perlu...” Namun ia langsung paham akan maksud sesungguhnya dari ucapan sang suami. Sebenarnya Lin Zhennan bukan meminta agar Lin Pingzhi melindungi ibunya, melainkan supaya putranya itu dekat dengan sang ibu dan ini akan membuatnya lebih aman. Mereka sadar Lin Pingzhi bersifat angkuh dan sudah pasti merasa direndahkan jika secara terang-terangan ia disuruh berlindung kepada sang ibu demi keselamatan dirinya. Tentu putranya itu akan tersinggung dan memilih keluar rumah menantang musuh. Jelas ini sangat berbahaya. Menyadari maksud sang suami, Nyonya Wang pun menahan kata-katanya.
“Benar, Ping-er. Ibu sedang tidak enak badan. Ayahmu biar memimpin para pegawai, sementara kau menjaga di luar kamar Ibu. Bagaimana kalau musuh sampai datang dan menyusup kemari? Tentu Ibu sangat membutuhkan bantuanmu,” ujar wanita itu kemudian.
“Sudah pasti aku akan menemani Ibu di sini,” jawab Lin Pingzhi tanpa ragu.
Malam itu Lin Pingzhi pun tidur di atas ranjang yang telah diletakkan di luar kamar orang tuanya. Pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka agar Nyonya Wang bisa melihat keadaan putranya itu setiap saat. Lin Zhennan sendiri berjaga di luar bersama para pegawai. Sampai cukup lama mereka tidak menemukan tanda-tanda musuh kembali menyerang. Merasa keadaan sudah lebih aman, ia pun masuk ke dalam kamar dan tidur di samping sang istri. Meskipun demikian, pedangnya tetap dipersiapkan di samping bantal.
Begitu matahari terbit tiba-tiba terdengar suara seorang pegawai memanggil-manggil dari luar jendela dengan suara lirih, “Tuan Muda! Tuan Muda!”
Lin Pingzhi yang semalaman tidak bisa tidur, pagi itu masih pulas karena baru bisa memejamkan mata saat fajar menyingsing. Bukannya ia yang terbangun oleh panggilan itu melainkan Lin Zhennan yang segera bangkit dan bertanya, “Ada masalah apa?”
“Kuda putih milik Tuan Muda... kuda itu sudah... sudah mati,” jawab pegawai itu dari luar. Kalau yang mati kuda lainnya tentu tidak menjadi persoalan. Namun karena yang mati adalah kuda putih kesayangan Lin Pingzhi, buru-buru ia melapor kepada sang majikan muda.
Mendengar suara ribut-ribut, Lin Pingzhi terbangun pula dari tidurnya dan berkata, “Akan kulihat ke sana.”
Lin Zhennan berpikir kematian kuda putih ini tentu ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Ia pun bergegas menuju ke kandang bersama Lin Pingzhi. Sesampainya di sana mereka menyaksikan si kuda putih telah tergeletak tanpa nyawa. Sebagaimana kasus kematian yang terjadi sebelumnya, kali ini juga tidak ditemukan bekas luka apa pun pada tubuh hewan tersebut.
“Apakah semalam terdengar suara ringkikan kuda atau keributan lain yang mencurigakan?” tanya Lin Zhennan.
“Tidak, Tuan! Tidak ada sama sekali,” jawab si tukang kuda.
Lin Zhennan memegangi tangan Lin Pingzhi yang meraba-raba bangkai kuda kesayangannya itu, dan ia berkata, “Sudahlah, Nak! Ayah akan membelikan kuda baru yang lebih bagus untukmu.”
Lin Pingzhi hanya diam termangu sambil meneteskan air mata.
Tiba-tiba seorang pegawai yang tidak lain adalah Pengiring Chen datang dengan napas terengah-engah. Ia berkata dengan suara gemetar, “Ketua, ini celaka! Sungguh celaka! Para pengawal kita telah... telah terbunuh semua! Mereka mati dibunuh hantu gentayangan itu..!”
“Apa katamu? Mati semua?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi bersamaan.
“Benar, mati semua!” jawab Pengiring Chen tegang.
“Siapa saja yang mati?” sahut Lin Pingzhi gusar. Tanpa sadar tangannya mencengkeram kerah baju Pengiring Chen dan menariknya ke depan.
“Tuan Muda... Tuan Muda... mati,” jawab Pengiring Chen ketakutan.
Lin Zhennan gusar mendengar jawaban ini. Dalam dunia persilatan, seseorang yang masih hidup dikatakan mati adalah suatu pantangan besar karena dianggap dapat memendekkan umur orang itu. Namun karena Pengiring Chen mengucapkannya tanpa sengaja, ia pun menahan amarahnya dan berusaha menenangkan pikiran.
Sejenak kemudian, kembali terdengar suara ribut-ribut di luar. “Di mana Ketua? Kami harus segera melapor,” seru seorang pegawai dari luar kandang. “Hantu gentayangan ini sangat ganas. Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku di sini!” jawab Lin Zhennan berteriak. “Ada apa lagi ini?”
Seorang pengawal dan tiga orang pengiring segera masuk ke dalam kandang. Pengawal itu berkata, “Ketua, para pengawal yang tadi malam meronda tidak ada yang kembali dengan selamat.”
Lin Zhennan terperanjat. Semula ia berpikir ada seorang pegawai lagi yang mati, namun ternyata yang menjadi korban adalah semua pegawainya yang berangkat meronda tadi malam. Padahal, ia ingat semalam telah mengirim dua puluh tiga orang pengawal untuk meronda di sekeliling kota.
“Apa kau yakin mereka mati semua?” sahutnya kemudian. “Mungkin saja mereka masih meronda dan belum kembali sampai siang ini.”
Pengawal itu menggeleng dan menjawab, “Tapi kami telah... telah menemukan tujuh belas sosok mayat....”
“Tujuh belas mayat?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi kembali bersama-sama. Perasaan ngeri tergambar jelas di raut wajah mereka.
“Benar, Ketua! Jumlahnya ada tujuh belas mayat. Di antaranya terdapat Pengawal Fu, Pengawal Qian, dan Pengawal Wu. Mayat-mayat tersebut telah kami tempatkan di ruang depan,” jawab si pengawal mempertegas laporannya.Tanpa banyak bertanya lagi Lin Zhennan bergegas menuju ke ruang depan gedung perusahaannya. Tampak di ruangan itu terbaring tujuh belas sosok mayat pegawai biro dalam keadaan membujur kaku, sementara meja dan kursi telah disisihkan ke tepi mendekati dinding.
Meskipun sudah kenyang pengalaman dan sering mengalami kesulitan dalam hidup, namun tetap saja perasaan Lin Zhennan tergetar dibuatnya. Tanpa disadari tangannya gemetar dan lututnya terasa lemas menyaksikan pemandangan tersebut.
“Kenapa... kenapa... kenapa?” ujarnya bertanya-tanya. Suaranya kering dan nyaris tak terdengar oleh yang lainnya.
Tiba-tiba terdengar lagi suara ribut di luar, “Ya ampun! Pengawal Gao yang baik juga menjadi korban.”
Kali ini yang masuk adalah lima orang tetangga dengan menggotong sebuah daun pintu di mana jasad Pengawal Gao terbaring di atasnya.
“Sewaktu membuka pintu tadi pagi, saya terkejut karena melihat mayat Tuan Gao sudah tergeletak di jalanan. Mungkin ia terkena penyakit menular atau diganggu makhluk halus. Saya pun meminta bantuan para tetangga yang lain untuk membawa jenazahnya kemari,” ujar salah seorang tetangga memberi penjelasan kepada Lin Zhennan.
“Terima kasih banyak!” jawab Lin Zhennan sambil memberi hormat. Kepada seorang pegawai ia memberi perintah, “Sampaikan kepada kasir untuk memberikan tiga tael perak, masing-masing kepada para tetangga yang baik ini, sebagai rasa terima kasih dariku.”
Namun para tetangga tidak tega menerima hadiah tersebut. Dengan wajah ngeri, mereka lekas-lekas mohon diri setelah menyaksikan belasan mayat memenuhi ruangan. Tidak lama kemudian datang lagi empat jenazah, sehingga hanya tinggal seorang saja yang belum ditemukan. Pegawai yang seorang lagi itu adalah Pengawal Zhu, dan mereka yakin tidak lama lagi mayatnya akan segera ditemukan.
Lin Zhennan masuk ke kamar dan meneguk secangkir teh hangat untuk menenangkan perasaan. Meskipun demikian, jantungnya masih juga berdebar-debar. Dengan perasaan gelisah ia berjalan ke halaman depan dan memandang ke sekeliling. Hatinya terguncang menyaksikan panji-panji kebesaran Biro Pengawalan Fuwei yang selama ini berkibar dengan gagah, sekarang sudah tiada lagi. Musuh telah membunuh lebih dari dua puluh orang pegawainya namun tidak pernah menampakkan diri sama sekali. Mereka juga tidak pernah mengumumkan latar belakang dan tujuan pembantaian ini.
Perlahan Lin Zhennan berpaling ke arah papan nama bertuliskan huruf emas yang terpasang di atas pintu gedung. Sambil menghela napas ia berpikir, “Puluhan tahun lamanya nama besar Biro Pengawalan Fuwei berjaya di mana-mana. Apakah hari ini akan hancur di tanganku?”
Tiba-tiba terlihat seekor kuda muncul dari ujung jalan menuju ke arah gedung biro. Kuda itu berjalan pelan-pelan dengan mengangkut sesosok mayat yang tersampir di atas pelana. Lin Zhennan bergegas menghampirinya dan ternyata kuda itu mengangkut jasad Pengawal Zhu. Rupanya musuh telah membunuh pegawainya itu dan meletakkan mayatnya di atas punggung kuda. Kuda ini hafal jalan pulang sehingga akhirnya sampai di hadapan sang majikan.
Lin Zhennan menghela napas panjang dan meneteskan air mata membasahi mayat Pengawal Zhu. Seorang diri ia menggendong mayat pegawainya itu ke dalam gedung sambil berkata, “Adik Zhu, jika aku tidak bisa membalaskan kematianmu, biarlah aku mati penasaran. Namun sayangnya, kau kembali ke sini tanpa bisa menyebutkan siapa orangnya yang telah membunuhmu.”
Sebenarnya Pengawal Zhu hanyalah seorang pegawai biasa, dan juga tidak terlalu akrab dengan Lin Zhennan. Adapun sumpah dan air mata yang dikeluarkan itu jelas dikarenakan perasaan gusar dan putus asa yang sudah memenuhi rongga dadanya.
Lin Zhennan kemudian melihat istrinya berdiri di depan ruang aula sambil memegang sebilah golok emas di tangan kiri. “Dasar penjahat busuk, kau hanya berani menyerang dengan sembunyi-sembunyi! Jika kau memang laki-laki, lekas keluar! Tunjukkan batang hidungmu! Apa kau lebih suka disebut sebagai pengecut, hah?” bentaknya sambil menunjuk-nunjuk dengan tangan kanan.
Lin Zhennan bertanya, “Istriku, apa kau melihat sesuatu?”
Nyonya Wang menjawab, “Tidak. Kawanan bangsat itu tidak berani menampakkan diri karena takut terhadap Jurus Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kita.” Sambil mengacungkan goloknya, wanita itu melanjutkan, “Dia juga takut terhadap golok emas di tanganku ini!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari salah satu sudut atap rumah. Disusul kemudian sebuah senjata rahasia melesat menyambar ke arah Nyonya Wang dan mengenai golok yang dipegangnya. Tanpa ampun, golok emas pun terlepas dari pegangan sementara Nyonya Wang merasa tangannya tergetar kesakitan. Golok emas tersebut terus melayang sampai jatuh di tengah halaman.
Tanpa pikir lagi, Lin Zhennan menerjang ke atas dan menusukkan pedangnya. Yang dimainkannya adalah jurus Menyapu Bersih Kaum Iblis, di mana ujung pedangnya terlihat bagaikan sari bunga bertebaran di udara. Sudah beberapa hari Lin Zhennan menyimpan dendam terhadap musuh yang tidak terlihat itu. Kini begitu ada kesempatan, amarahnya langsung meledak dan ia pun menyerang dengan sekuat tenaga. Namun pedang di tangannya ternyata hanya mengenai tempat kosong, sementara musuh yang ia cari telah menghilang entah ke mana.
Nyonya Wang dan Lin Pingzhi ikut naik ke atap untuk membantu, namun mereka bertiga tidak menemukan apa-apa.
“Jahanam! Anak anjing! Kalau kau memang laki-laki lekas keluar dan bertarung denganku! Pengecut macam apa pula kau ini?” bentak Nyonya Wang. “ Ke mana bajingan itu pergi? Siapa dia sebenarnya?” ujarnya kemudian, bertanya kepada sang suami.
Lin Zhennan menggeleng dan menjawab, “Simpan tenagamu.”
Ketiganya terus mencari di segenap penjuru atap gedung namun tidak menemukan siapa-siapa. Mereka lalu melompat turun dan mendarat di halaman depan.
Lin Zhennan lantas bertanya kepada sang istri, “Senjata rahasia macam apa yang telah menjatuhkan golokmu tadi?”
“Entahlah, aku tidak tahu. Benar-benar keparat!” jawab Nyonya Wang setengah memaki.
Mereka segera memeriksa di sekitar pelataran namun tidak menemukan suatu senjata rahasia apapun juga. Hanya saja di bawah salah satu pohon ditemukan pecahan batu bata yang sebagian telah lembut seperti pasir. Sepertinya si penyerang gelap memang menggunakan batu bata itu untuk menjatuhkan golok emas di tangan Nyonya Wang. Lin Zhennan merasa kagum sekaligus ngeri membayangkan tenaga dalam si penyerang yang mampu menjatuhkan senjata istrinya hanya dengan sepotong batu bata kecil saja. Nyonya Wang sendiri yang sejak semula sibuk mencaci maki kini terdiam tanpa suara. Perasaan gusar di hatinya telah berubah menjadi takut menyaksikan remukan batu bata tersebut. Tanpa bicara sedikit pun, wanita itu lantas masuk kembali ke dalam ruangan.(Bersambung)
Bagian 1 ; Halaman muka ; Bagian 3