Bagian 19 - Menjalani Hukuman Kurung

Maka, begitu tiba di hadapan Ning Zhongze, Lin Pingzhi langsung membungkukkan badan dan berkata dengan penuh sopan santun, “Lin Pingzhi menyampaikan salam hormat kepada Ibu Guru.”
“Sudahlah, tidak usah terlalu banyak adat,” jawab Ning Zhongze. Ia kemudian berpaling kepada sang suami dan berkata, “Kakak, setiap kali turun gunung kau biasa kembali dengan membawa beberapa murid baru. Tapi, kali ini kenapa hanya satu orang saja?”
“Bukankah kau sering berkata lebih baik seorang tapi baik, daripada sepuluh orang tapi tidak bermutu?” sahut Yue Buqun sambil tertawa. “Kalau menurutmu yang ini bagaimana?”
“Rasanya dia ini terlalu tampan, tidak pantas menjadi orang persilatan,” kata Ning Zhongze ikut tertawa. “Mungkin lebih baik dia belajar kitab sastra klasik saja kepadamu. Siapa tahu kelak dia bisa lulus ujian Xiucai dan menjadi seorang Zhuangyuan.”
“Bagus sekali gagasanmu,” ujar Yue Buqun. “Jika Perguruan Huashan bisa menghasilkan seorang Zhuangyuan, tentu akan menjadi legenda bagi angkatan selanjutnya.’
Wajah Lin Pingzhi bersemu merah. Dalam hati ia berkata, “Ibu Guru memandang rendah terhadapku karena badanku yang lemah dan sikapku yang lembut ini. Aku berjanji kepada diriku sendiri, aku harus giat belajar supaya bisa mengejar ketertinggalan dari saudara-saudara lainnya.”
Ning Zhongze kemudian melirik ke arah Linghu Chong dan menegur, “Hei, kau habis berkelahi dengan orang lagi, bukan? Kenapa wajahmu begitu pucat? Apa kau terluka?”
Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Kesehatan saya sebenarnya sudah pulih. Mungkin karena kehilangan banyak darah sehingga wajah saya terlihat pucat. Kali ini hampir saja saya tidak bisa bertemu dengan Ibu Guru lagi untuk selamanya.”
“Ya, memang harus begitu,” ujar Ning Zhongze sambil melotot. Meskipun terlihat galak namun sebenarnya ia sangat menyayangi Linghu Chong seperti anak kandung sendiri. “Dengan bertarung seperti itu, tentu kau menjadi sadar bahwa di atas langit masih ada langit. Kau juga akan bertambah kuat dibanding sebelumnya. Apakah dirimu kalah dalam pertarungan secara kesatria?”
Linghu Chong menjawab, “Ilmu golok Tian Boguang sangat cepat dan ganas, saya merasa kesulitan untuk menangkisnya. Untuk itu saya ingin meminta petunjuk kepada Ibu Guru.”
Begitu mendengar bahwa yang telah melukai murid suaminya itu ternyata Tian Boguang si penjahat cabul, wajah Ning Zhongze langsung berubah ramah. Ia pun berkata, “Oh, ternyata kau terluka karena bertempur melawan seorang bajingan bernama Tian Boguang. Bagus sekali, bagus sekali! Tadinya aku kira kau mencari gara-gara dan membuat onar lagi. Coba katakan kepadaku, seperti apa ilmu goloknya itu. Mungkin kita bisa memecahkan rahasianya sehingga kelak bisa melabrak penjahat itu sekali lagi.”
Selama perjalanan pulang, Linghu Chong banyak meminta petunjuk kepada gurunya mengenai bagaimana cara untuk menghadapi kecepatan golok Tian Boguang. Namun, Yue Buqun tidak mau menjawab dan menyuruhnya untuk bertanya kepada sang ibu guru sesampainya nanti di Gunung Huashan. Sebaliknya, Ning Zhongze sendiri sangat tertarik begitu mendengar pengalaman Linghu Chong tersebut. Ia ingin lekas-lekas melihat seperti apa ilmu golok penjahat itu untuk menentukan bagaimana cara menandinginya.
Yue Buqun dan para murid lantas masuk ke dalam gedung utama perguruan. Dalam waktu singkat para murid langsung terbagi menjadi dua kelompok. Murid-murid perempuan mengerumuni Yue Lingshan untuk mendengarkan bagaimana penyamarannya sebagai gadis burik di Kota Fuzhou, sementara murid-murid laki-laki yang tidak ikut ke Hengshan mengerumuni Lu Dayou untuk mendengarkan kehebatan sang kakak pertama dalam mengahdapi Tian Boguang, serta bagaimana Luo Renjie dari Perguruan Qingcheng terbunuh. Tentu saja cerita tersebut ditambahi dengan bumbu di sana-sini supaya terdengar lebih menarik.
Setelah meminum secawan teh sambil duduk di sudut ruangan, Ning Zhongze meminta Linghu Chong memperagakan ilmu golok Tian Boguang serta bagaimana dia telah menandingi jurus tersebut.
Linghu Chong menjawab sambil tersenyum, “Ilmu golok Tian Boguang sangat bagus dan cepat. Saya hanya bisa terbelalak menyaksikan kehebatannya, serta kesulitan dalam menangkis serangannya. Jadi, mana bisa saya dikatakan telah menandinginya?”
“Kalau kau tidak mampu menangkis serangannya, tentu kau menggunakan tipu muslihat dalam menghadapinya,” ujar Ning Zhongze menyimpulkan. Bagaimanapun juga ia telah merawat Linghu Chong sejak kecil sehingga mengetahui sifat dan kebiasaan pemuda itu.
Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Saya pertama kali bertarung dengannya di dalam gua. Setelah Adik Yilin dari Perguruan Henshan berhasil melarikan diri, saya pun mengerahkan segenap kemampuan untuk mengalahkan Tian Boguang. Tapi penjahat itu lantas mengerahkan ilmu goloknya yang cepat. Baru menangkis dua kali saya langsung merasa seperti daging cincang. Maka, saya pun tertawa untuk mengalihkan perhatiannya.
Tian Boguang lantas menarik goloknya dan bertanya: ‘Apanya yang lucu? Kau pikir dirimu bisa menangkis Tiga Belas Jurus Golok Topan Badai milikku?’
Saya menjawab: ‘Aha, aku tahu sekarang. Ternyata Tian Boguang yang terkenal adalah bekas murid Huashan; atau lebih tepatnya, seorang murid buangan. Sungguh tak kusangka, sungguh tak kuduga. Mungkin karena tingkah lakumu yang buruk itu, maka kau dikeluarkan dari Perguruan Huashan.’
Tian Boguang menjadi marah dan berkata: ‘Murid buangan Perguruan Huashan kepalamu! Omong kosong apa pula ini? Ilmu silatku ini punya ciri khas tersendiri. Mana mungkin ada sangkut-pautnya dengan perguruanmu?’
Saya pun tertawa dan balik bertanya: ‘Kenapa kau masih tidak mengaku juga? Bukankah ilmu golokmu ada tiga belas jurus? Apa kau memberinya nama Jurus Golok Topan Badai hanya sekadar asal-asalan? Aku sendiri pernah menyaksikan permainan golok seperti itu dimainkan ibu-guruku jauh sebelum ini. Beliau mendapat inspirasi untuk menciptakan ilmu golok tersebut ketika sedang menyulam. Tentunya kau tahu kalau di Gunung Huashan terdapat sebuah puncak bernama Puncak Gadis Cantik, bukan?’
Tian Boguang menjawab: ‘Tentu saja setiap orang tahu. Memangnya apa yang aneh dengan puncak itu?’
Saya menjawab: ‘Ilmu golok yang diciptakan Ibu Guru bernama Tiga Belas Jurus Jarum Gadis Cantik. Salah satu jurusnya ada yang diberi nama Gadis Cantik Memasang Benang, Menyulam Jubah Kahyangan, atau ada pula yang diberi nama Semalam Menyulam Gambar Burung.’
Saya lantas menghitung-hitung dengan jari dan melanjutkan: ‘Ah, tidak salah lagi! Jurus-jurus yang baru saja kau gunakan untuk menyerangku adalah ciptaan Ibu Guru pula. Namanya Jurus gadis Cantik Melempar Benang. Sungguh mengherankan, kenapa seorang gagah dan kasar seperti dirimu bisa meniru jurus ibu-guruku yang lembut dan gemulai? Gerakanmu benar-benar mirip seorang perempuan yang sedang menyulam, dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Bukankah ini sangat-sangat mengherankan....”
Mendengar sampai di sini Yue Lingshan dan murid-murid perempuan lainnya tertawa geli. Yue Buqun bahkan ikut tertawa sambil berseru, “Kau benar-benar lancang!”
“Huh!” bentak Ning Zhongze kepada Linghu Chong, “Kenapa kau melibatkan ibu-gurumu ini sebagai bahan ocehanmu?”
“Ibu Guru harap maklum,” jawab Linghu Chong. “Tian Boguang sangat sombong. Bila dia mendengar bahwa ilmu goloknya adalah hasil ciptaan seorang wanita, tentu dia akan menjadi sangat tersinggung. Maka, untuk membersihkan tuduhan itu, ia tidak mungkin langsung membunuh saya. Bahkan, ia justru memperagakan ketiga belas jurus goloknya yang luar biasa, dan bertanya di setiap jurus: ‘Apakah ini ilmu golok ciptaan ibu-gurumu?’
Waktu itu saya diam saja agar hatinya semakin gusar, sambil menggunakan kesempatan itu untuk menghafal gerakan goloknya. Setelah ketiga belas jurus selesai diperagakan olehnya, barulah saya menjawab: ‘Saudara Tian, sepertinya ada beberapa bagian dari ilmu golokmu yang tidak sama dengan ilmu pedang ibu-guruku. Namun secara umum, dapat kukatakan ilmu silat kalian berdua memiliki banyak kemiripan. Entah bagaimana kau bisa menjelaskan ini semua? Apakah benar kau tidak mencuri ilmu silat Perguruan Huashan kami?’
Ternyata Tian Boguang sungguh cerdik dan mengetahui maksud dan tujuan saya. Ia pun berkata gusar: ‘Huh, karena kau tidak mampu melawan ilmu golokku, lantas kau mengoceh sembarangan untuk mengulur-ulur waktu. Memangnya kau kira aku ini bodoh dan tidak paham maksud serta tujuanmu? Linghu Chong, karena kau sudah mengatakan Perguruan Huashan juga memiliki ilmu golok yang mirip denganku, maka aku harus meminta sedikit pelajaran darimu, supaya diriku ini bertambah pengalaman.”
Saya pun menjawab: ‘Perguruan Huashan kami hanya menggunakan pedang, tidak memakai golok. Selain itu, ilmu golok ciptaan ibu-guruku hanya diajarkan kepada murid-murid perempuan saja. Jadi, mana mungkin kita sebagai kaum laki-laki ikut-ikutan berlatih jurus pedang yang berlenggak-lenggok seperti itu? Tentunya sangat lucu, bukan?’
Tian Boguang semakin gusar dan berkata: ‘Lucu atau tidak, yang jelas kau harus mengakui kalau di dalam Perguruan Huashan tidak ada ilmu golok seperti milikku ini. Saudara Linghu, sebenarnya si marga Tian ini sangat kagum pada keberanianmu. Untuk itu seharusnya... seharusnya kau tidak sepantasnya sembarangan mengoceh mempermainkan aku!’”
Yue Lingshan menyahut, “Huh, siapa juga yang sudi dikagumi manusia rendah seperti dia? Menurutku, sudah sepantasnya Kakak Pertama mempermainkan dia. Biar tahu rasa.”
“Yah, waktu itu mau tidak mau aku harus memainkan beberapa jurus yang kukatakan sebelumnya tadi,” ujar Linghu Chong. “Jika tidak, mungkin aku akan langsung ditebas mati olehnya.”
“Maksudmu, kau berlenggak-lenggok menirukan gaya kaum wanita, begitu?” tanya Yue Lingshan sambil tertawa.
“Aku sudah sering melihatmu berlatih,” jawab Linghu Chong. “Jadi, tidak sulit bagiku untuk menirukan jurus pedang berlenggak-lenggok seperti kaum wanita.”
“Apa? Jadi kau anggap aku suka berlenggak-lenggok, hah? Awas, aku tidak mau bicara denganmu lagi!” seru Yue Lingshan dengan nada manja.
Ning Zhongze yang sejak tadi hanya terdiam akhirnya membuka suara, “Shan’er, coba kau berikan pedangmu kepadanya.”
Yue Lingshan mengangguk, lantas memberikan pedangnya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Nah, Ibu ingin melihat caramu memainkan pedang dengan gaya berlenggak-lenggok.”
“Hus!” bentak Ning Zhongze. “Jangan dengarkan dia, Chong’er. Nah, sekarang coba kau perlihatkan gerakanmu sewaktu menghadapi penjahat itu!”
Linghu Chong memahami maksud perkataan sang ibu-guru. Ia pun memberi hormat terlebih dulu dan berkata, “Baiklah, izinkan saya memperagakan ilmu golok Tian Boguang yang saya hadapi waktu itu.”
Yue Buqun dan Ning Zhongze mengangguk. Melihat itu Lu Dayou segera berbisik kepada Lin Pingzhi, “Adik Lin, ini adalah peraturan dalam perguruan kita. Barangsiapa hendak memperagakan ilmu silat, harus lebih dulu meminta izin kepada yang lebih tua.”
“Terima kasih atas pemberitahuan Kakak Keenam,” jawab Lin Pingzhi.
Linghu Chong mulai mengacungkan pedangnya dengan gerakan lamban tak bertenaga. Tiba-tiba tanpa memberi tanda terlebih dulu, pedangnya sudah menebas secara berturut-turut sebanyak tiga kali dengan kecepatan tinggi, hingga mengeluarkan suara mendengung-dengung.
Murid-murid Huashan terkejut melihatnya. Bahkan, murid-murid wanita sampai menjerit ngeri. Linghu Chong sendiri memainkan pedangnya sebagai golok dengan cepat seperti tak teratur. Namun dalam pandangan pasangan gurunya, serangan-serangan tersebut benar-benar ganas dan mematikan. Sebentar kemudian ia pun mengakhiri permainan dan membungkuk hormat kepada guru dan ibu-gurunya.
Yue Lingshan terlihat kecewa dan bertanya, “Hanya begitu saja sudah selesai?”
“Semakin cepat semakin bagus,” ujar Ning Zhongze. “Ilmu golok penjahat itu terdiri dari tiga belas jurus, namun setiap jurusnya mengandung tiga sampai empat gerakan variasi. Jadi, dalam sekejap saja dapat bermain lebih dari empat puluh macam gerakan. Ini benar-benar ilmu golok yang jarang ada bandingannya di dunia persilatan.”
Linghu Chong menambahkan, “Apabila si keparat Tian Boguang yang memainkannya, bisa jauh lebih cepat daripada saya.”
Yue Buqun saling pandang dengan Ning Zhongze. Kedua suami-istri itu sama-sama merasa kesal sekaligus kagum di dalam hati.
Tiba-tiba Ning Zhongze bangkit dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang salah seorang murid perempuannya. Ia kemudian melompat dan berseru, “Chong’er, gunakan jurus golok kilat penjahat itu!”
“Baik,” jawab Linghu Chong sambil kemudian mengayunkan pedangnya ke arah sang ibu-guru. Serangan tersebut seolah-olah meleset melewati tubuh Ning Zhongze, namun tiba-tiba ujung pedang Linghu Chong melengkung berbalik menuju pinggang wanita itu.
Seketika Yue Lingshan menjerit, “Ibu, hati-hati!”
Ning Zhongze sendiri sudah melompat maju tanpa memedulikan tusukan dari belakang tersebut, kemudian ia membalas menusuk ke arah dada Linghu Chong.
Kembali Yue Lingshan berteriak, namun dengan sasaran berbeda, “Hati-hati, Kakak Pertama!”
Linghu Chong ternyata tidak menangkis pula. Sebaliknya, ia menebas satu kali sambil berseru, “Tian Boguang jauh lebih cepat dari ini, Ibu Guru!”
Ning Zhongze menghadapinya dengan tiga kali tusukan. Sebaliknya, Linghu Chong juga melancarkan tiga kali sabetan. Makin lama gerakan kedua orang itu semakin cepat. Serangan-serangan mereka juga sama-sama berbahaya. Tidak seorang pun di antara keduanya yang asal menangkis. Mereka hanya berusaha mengelak dan membalas serangan. Tidak terasa lebih dari dua puluh jurus terlewati hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Melihat pemandangan itu Lin Pingzhi sangat terkesima. Diam-diam ia berpikir, “Kakak Pertama suka bicara sembarangan dan bertingkah seenaknya. Tak disangka ilmu silatnya sedemikian hebat. Aku harus lebih giat belajar, supaya tidak dipandang rendah lagi oleh orang lain.”
Pada saat itu tiba-tiba pedang Ning Zhongze meluncur ke depan dan kali ini tepat mengancam tenggorokan Linghu Chong. Pemuda itu tidak sempat mengelak, hanya berkata, “Percuma, dia dapat menangkisnya.”
“Baiklah kalau begitu,” sahut Ning Zhongze sambil menarik mundur pedangnya dan melancarkan serangan-serangan lainnya. Sekejap kemudian pedang wanita itu sudah mengancam di depan jantung Linghu Chong. Namun pemuda itu tetap berkata, “Dia masih dapat menangkisnya.”
Maksud ucapan Linghu Chong ialah, serangan Ning Zhongze itu memang tidak bisa dipatahkannya, namun tetap bisa ditangkis oleh Tian Boguang.
Ning Zhongze kembali membangun serangan yang lebih cepat dan ganas. Sampai-sampai Linghu Chong tidak sempat lagi mengatakan, “dia masih bisa menangkis,” ketika pedang ibu-gurunya itu kembali mengancam bagian tubuhnya. Namun demikian, ia tetap menggelengkan kepala seolah memberi tahu bahwa Tian Boguang masih bisa lebih cepat.
Ning Zhongze semakin bersemangat. Tiba-tiba ia membentak nyaring. Pedangnya gemerlap menyilaukan, membuat sekeliling tubuh Linghu Chong bagaikan terbungkus sinar perak. Tiba-tiba pedang istri Yue Buqun itu menusuk ke depan dan secepat kilat sudah mengancam ulu hati Linghu Chong. Kali ini Linghu Chong berteriak ngeri, “Ibu Guru!”
Tidak berhenti sampai di sini, pedang tersebut terus maju dan terlihat sudah menusuk tubuh Linghu Chong, bahkan gagangnya sampai menempel di dada pemuda itu.
Melihat pemandangan tersebut Yue Lingshan menjerit ketakutan, “Ibu!”
Sesaat kemudian, terdengar suara logam berjatuhan di lantai. Ternyata pedang Ning Zhongze tidak benar-benar menusuk dada Linghu Chong, melainkan hancur berkeping-keping menjadi beberapa potongan kecil dan jatuh berserakan di kaki pemuda itu. Yang tersisa di tangan Ning Zhongze hanya tinggal gagangnya saja, dan menempel di dada Linghu Chong.
Yue Buqun tertawa memuji istrinya, “Adik, tenaga dalammu sungguh luar biasa. Sampai-sampai aku tidak mengetahuinya.”
Ning Zhongze tersenyum dan menjawab, “Kakak terlalu memuji. Kepandaian yang hanya sedikit ini tidak berarti apa-apa. Untuk apa harus dipermasalahkan?”
Pasangan suami-istri ini sebelumnya adalah saudara seperguruan. Itulah sebabnya meskipun sudah menikah mereka masih tetap saling memanggil “kakak” dan “adik”.
Linghu Chong masih termangu-mangu tidak percaya atas apa yang baru saja dialaminya. Baru sekarang ia menyadari kalau ibu-gurunya telah menusukkan pedang dengan kecepatan tinggi ke arah dadanya. Namun begitu pedang tersebut menyentuh kain bajunya, Ning Zhongze dengan segenap kekuatan memutar pedang tersebut agar tidak sampai benar-benar menusuk sasaran. Tenaga dalam Ning Zhongze yang sangat hebat itu akhirnya mematahkan pedang di tangannya hingga hancur berkeping-keping. Maka, pemuda itu pun memuji, “Dengan kepandaian Ibu Guru ini, bagaimanapun cepatnya gerakan Tian Boguang, tetap saja ia tidak bisa menghindar.”
Lin Pingzhi juga terkesima menyaksikan baju Linghu Chong yang penuh lubang akibat putaran pedang sang ibu-guru tadi. Dalam hati ia berpikir, “Dibandingkan dengan Jurus Pedang Penakluk Iblis yang menjadi rebutan Yu Canghai dan Mu Gaofeng, ilmu pedang Ibu Guru sepertinya jauh lebih unggul. Oh, aku baru tahu ternyata di dunia ada ilmu pedang sehebat ini. Kalau aku tekun belajar dan berlatih, aku pasti bisa membalas kematian Ayah dan Ibu.”
Ning Zhongze tersenyum puas dan berkata, “Chong’er, kau bilang seranganku yang terakhir tadi mampu membinasakan Tian Boguang; maka itu, kau harus giat berlatih supaya ilmu tadi bisa kuturunkan kepadamu.”
“Terima kasih banyak, Ibu Guru,” sahut Linghu Chong gembira.
“Ibu, aku juga ingin mempelajarinya,” seru Yue Lingshan.
Nyonya Yue menjawab sambil menggelengkan kepala, “Tenaga dalammu belum cukup. Jurus serangan tadi tidak bisa kau pelajari dengan sempurna.”
“Tapi... tapi tenaga dalam Kakak Pertama hanya selisih sedikit di atasku. Kalau dia boleh kenapa aku tidak?” ujar gadis itu penasaran.
Ibunya hanya tersenyum tidak menjawab. Dengan manja Yue Lingshan lantas menarik tangan sang ayah dan berkata, “Ayah, tolong ajari aku satu jurus ilmu pedang yang bisa mematahkan serangan tadi. Biar kelak aku tidak diejek Kakak Pertama.”
Yue Buqun menggeleng sambil tertawa, lalu menjawab, “Ilmu yang dimainkan ibumu tadi bernama ‘Jurus Pedang Ning Tanpa Tanding’. Mana mungkin aku bisa menciptakan cara untuk mengatasinya?”
“Kau bicara apa?” sahut Ning Zhongze dengan tersenyum. “Bila ucapanmu tersiar, bisa-bisa aku ditertawakan dunia persilatan.”
Ilmu pedang Ning Zhongze tadi memang diciptakan secara spontan sesuai keadaan. Di dalamnya terkandung intisari tenaga dalam dan ilmu pedang Huashan yang paling murni. Ditambah dengan kecerdasan Ning Zhongze yang teramat tinggi, membuat jurus tersebut sangat ganas dan mematikan.
Yue Buqun sendiri mengenal watak istrinya yang tidak suka bersandar pada nama besar sang suami. Istrinya itu lebih suka dipanggil dengan sebutan “Pendekar Ning” daripada “Nyonya Yue”. Maka itu, jurus baru yang digunakan untuk menyerang Linghu Chong tadi langsung ia sebut dengan nama “Jurus Pedang Ning Tanpa Tanding” untuk membesarkan hati sang istri. Meskipun Ning Zhongze menanggapi pemberian nama itu dengan nada dingin, namun dalam hati ia merasa bangga dan berterima kasih kepada sang suami.
Sementara itu Yue Lingshan kembali mengusik, “Ayah, kapan-kapan kau juga bisa menciptakan jurus pedang Yue yang tiada tandingannya di muka bumi. Kemudian, ajarkan kepadaku agar aku bisa mengalahkan Kakak Pertama.”
“Tidak bisa begitu,” jawab Yue Buqun sambil tertawa. “Kecerdasan ayahmu ini masih kalah jauh dibandingkan ibumu. Mana mungkin Ayah bisa menciptakan ilmu pedang?”
Tapi Yue Lingshan mendekat dan berbisik lirih di telinga sang ayah, “Sebenarnya Ayah bukannya kalah cerdas, tapi takut pada istri. Maka itu, tidak berani menciptakan ilmu tandingan.”
“Omong kosong!” seru Yue Buqun sambil tertawa dan mencubit pipi putrinya yang nakal.
“Shan’er, kau jangan suka usil lagi,” sahut Ning Zhongze. Ia kemudian berpaling kepada Lao Denuo dan berkata, “Denuo, coba kau siapkan meja agar Adik Lin-mu bisa segera melakukan upacara sembahyang kepada para leluhur perguruan kita.”
“Baik!” jawab Lao Denuo, yang kemudian berangkat melaksanakan perintah sang ibu-guru. Tidak lama kemudian segala piranti upacara telah dipersiapkan dengan baik. Yue Buqun disertai istri dan semua muridnya segera memasuki ruangan persembahyangan.
Begitu memasuki ruangan tersebut, Lin Pingzhi merasakan suasana yang angker dan mendebarkan. Tampak sebilah papan tergantung di tengah ruangan dengan bertuliskan kalimat: “Tenaga dalam mengendalikan pedang”. Pada kedua sisi dinding masing-masing tergantung sebatang pedang kuna, lengkap dengan sarungnya yang berwarna hitam. Lin Pingzhi yakin kalau pedang-pedang itu adalah peninggalan leluhur Perguruan Huashan di masa lampau. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Perguruan Huashan memiliki nama besar di dunia persilatan sebagai anggota golongan putih. Entah sudah berapa banyak nyawa penjahat yang melayang di ujung pedang-pedang tersebut?”
Yue Buqun berlutut di hadapan altar leluhur, kemudian menyembah sebanyak tiga kali dan berkata, “Hari ini murid bernama Yue Buqun telah menerima seorang murid baru bernama Lin Pingzhi dari Kota Fuzhou. Semoga arwah para leluhur berkenan memberi berkah, supaya Lin Pingzhi giat belajar, menjaga kehormatan, patuh terhadap tata tertib perguruan, dan tidak menjatuhkan nama baik Perguruan Huashan kita.”
Lin Pingzhi segera ikut berlutut dan menyembah sebanyak tiga kali dengan khidmat. Yue Buqun kemudian bangkit dan berkata, “Lin Pingzhi, hari ini kau telah resmi diterima sebagai murid Perguruan Huashan. Kau harus patuh terhadap semua aturan perguruan. Jika sampai melanggar tentu akan mendapat hukuman yang setimpal. Apabila kau melakukan pelanggaran berat, maka hukuman yang kau terima juga tanpa pengampunan. Perguruan kita sudah berjaya selama ratusan tahun. Maka, setiap murid wajib menjaga nama baik perguruan. Semua itu hendaklah kau ingat-ingat dengan baik.”
“Tentu saya akan selalu ingat dan taat kepada ajaran Guru,” sahut Lin Pingzhi.
“Linghu Chong!” seru Yue Buqun kepada murid pertamanya. “Coba kau uraikan apa saja tata tertib perguruan kita agar diketahui oleh Lin Pingzhi.”
“Baik, Guru!” jawab Linghu Chong sambil mengangguk. Ia kemudian berseru, “Adik Lin, dengarkan baik-baik tata tertib Perguruan Huashan kita. Pertama, tidak boleh menentang guru dan mengkhianati perguruan; kedua, dilarang menindas kaum lemah; ketiga, dilarang main perempuan dan melecehkan wanita baik-baik; keempat, dilarang memiliki rasa iri dan dengki kepada sesama saudara; kelima, dilarang mencuri dan serakah terhadap harta benda; keenam, dilarang bersikap sombong dan mendahului berbuat salah terhadap sesama kaum persilatan; ketujuh, dilarang bergaul dengan kaum penjahat dan bersekongkol dengan golongan iblis. Nah, itulah ketujuh larangan dalam Perguruan Huashan yang harus ditaati bersama oleh segenap murid perguruan kita.”
“Baik, saya berjanji akan selalu patuh dan taat untuk tidak melanggar ketujuh larangan tersebut,” jawab Lin Pingzhi.
“Bagus, kau harus menepati janjimu itu,” ujar Yue Buqun tersenyum. “Setiap saat kau harus senantiasa mengutamakan budi pekerti yang luhur, jadilah seorang kesatria sejati. Dengan demikian, guru dan ibu-gurumu akan ikut merasa bangga.”
“Baik, Guru!” jawab Lin Pingzhi. Ia lantas memberi hormat kepada Yue Buqun dan Ning Zhongze, serta kepada semua kakak seperguruannya.
Yue Buqun kemudian berkata, “Pingzhi, sekarang kau bisa mengurus pemakaman jenazah kedua orang tuamu. Setelah itu barulah kau bisa mulai belajar dasar-dasar ilmu silat perguruan kita.”
Lin Pingzhi lagi-lagi terharu dan meneteskan air mata. “Terima kasih, Guru!” ujarnya sambil kembali berlutut.
Yue Buqun buru-buru membangunkan murid barunya itu dan berkata ramah, “Setiap orang dalam perguruan kita adalah keluarga. Urusan satu orang menjadi urusan kita bersama. Kau tidak perlu terlalu segan.”
Usai berkata demikian, ia lantas menoleh ke arah si murid pertama dan berkata, “Chong’er, selama kepergianmu kali ini, kau sudah melanggar berapa banyak dari ketujuh larangan perguruan kita?”
Linghu Chong terkesiap. Meskipun gurunya itu memperlakukan semua murid seperti anak sendiri, tapi bila ada yang melanggar peraturan tetap mendapat hukuman tanpa pandang bulu. Mendengar pertanyaan itu ia langsung berlutut dan menjawab, “Saya sadar telah melakukan kesalahan besar. Saya tidak patuh terhadap ajaran Guru dan Ibu Guru. Di Rumah Arak Huiyan saya telah melanggar peraturan nomor enam, yaitu membunuh seorang murid Perguruan Qingcheng bernama Luo Renjie.”
Yue Buqun henya mendengus dengan wajah marah.
Melihat itu Yue Lingshan buru-buru menyahut, “Ayah, itu semua salah Luo Renjie sendiri. Dia hendak menganiaya Kakak Pertama yang sedang terluka parah setelah bertarung melawan Tian Boguang. Jadi, waktu itu Kakak Pertama hanya membela diri.”
“Kau tidak perlu ikut campur!” bentak Yue Buqun. “Luo Renjie mengganggu Chong’er, karena kakak pertamamu itu lebih dulu mencari gara-gara dengan murid Qingcheng lainnya. Wajar kalau Luo Renjie ingin membalas sakit hati kedua saudaranya yang pernah ditendang jatuh oleh kakak pertamamu.”
“Tapi, Ayah,” Yue Lingshan menyela, “mengenai peristiwa itu bukankah Kakak Pertama sudah kau hukum dengan pukulan tongkat? Lagipula Ayah juga sudah mengirim surat permohonan maaf kepada Pendeta Yu melalui Kakak Kedua.”
Yue Buqun melotot kepada putri tunggalnya itu. Dengan keras ia membentak, “Aku tidak peduli dengan alasanmu. Yang ingin kutegakkan adalah tata tertib perguruan kita. Kau juga murid Perguruan Huashan. Kau dilarang sembarangan ikut bicara.”
Yue Lingshan jarang sekali dibentak oleh ayahnya. Tentu saja apa yang baru ia alami itu membuat matanya berkaca-kaca hampir menangis.
Yue Buqun yang biasanya ramah dan lembut kali ini menunjukkan sikap tegas sebagai seorang pemimpin perguruan. Tidak seorang pun berani lagi membantah, termasuk istrinya sendiri.
“Linghu Chong,” katanya dengan keras. “Perbuatanmu membunuh Luo Renjie karena membela diri dapat kumaklumi. Dalam keadaan payah kau masih berusaha pantang menyerah, itu perbuatan laki-laki sejati. Tapi kenapa kau melecehkan Perguruan Henshan dengan berkata: ‘Biksuni adalah kaum pembawa sial. Setiap kali melihat biksuni kau selalu kalah judi. Kenapa, hah?”
Mendengar itu Yue Lingshan tertawa geli dan berkata, “Ayah!” Namun, begitu sang ayah menoleh dan melotot kepadanya, ia langsung terdiam.
Linghu Chong menjawab, “Waktu itu yang ada dalam pikiran saya hanya bagaimana cara untuk menyelamatkan adik dari Henshan itu. Karena saya sadar ilmu saya lebih rendah dari musuh, terpaksa saya sembarangan bicara supaya biksuni itu pergi sejauh-jauhnya. Sama sekali saya tidak bermaksud menyinggung perasaan para bibi dari Perguruan Henshan.”
“Kau bermaksud menyelamatkan kehormatan Keponakan Yilin; maksudmu memang baik tapi caramu keliru,” sahut Yue Buqun. “Sekarang ini urusan sudah diketahui oleh semua anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Mereka tentu mengatakan kalau aku ini bukan guru yang baik, yang tidak bisa mengajar muridnya dengan benar.”
“Saya memang bersalah, Guru,” jawab Linghu Chong sambil membungkukkan badan.
Yue Buqun kembali melanjutkan, “Kemudian kau mendekam di rumah pelacuran untuk merawat lukamu, hal itu masih bisa kumaafkan. Tapi di sana kau menyembunyikan Yilin dan siluman kecil dari aliran sesat itu dalam selimut. Kemudian kau mengatakan kepada Pendeta Yu bahwa mereka adalah pelacur. Apa kau sadar hal ini sangat berbahaya jika sampai akal licikmu itu terbongkar? Bukan hanya nama baik Perguruan Huashan yang tercemar, nama baik Perguruan Henshan yang sudah terjaga ratusan tahun juga akan ikut hancur di tanganmu.”
Linghu Chong berkeringat dingin mendengar kemarahan gurunya. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Guru, kejadian itu sangat mendebarkan jika saya mengingatnya kembali. Ternyata Guru sendiri sudah mengetahuinya.”
Yue Buqun menyahut, “Waktu itu aku hanya mendengar kalau yang menyembunyikan dirimu di dalam rumah pelacuran adalah gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Tapi ketika kau menyuruh kedua gadis itu bersembunyi di dalam selimut, sesungguhnya aku sudah berada di luar jendela.”
“Syukurlah, Guru mengetahui kalau saya bukan manusia yang suka berbuat tidak senonoh,” ujar Linghu Chong.
“Huh, jika kau benar-benar main gila di rumah pelacuran itu, tentu kepalamu sudah kupenggal sejak kemarin-kemarin,” ujar Yue Buqun. “Mana mungkin kau masih bisa tetap hidup sampai hari ini?”
Linghu Chong mengangguk dengan perasaan serba salah.
Yue Buqun terlihat semakin serius. Setelah diam sejenak ia kemudian melanjutkan, “Kau sudah mengetahui kalau anak kecil bermarga Qu itu berasal dari aliran sesat. Tapi, kenapa kau tidak langsung membunuhnya? Pertolongan kakeknya kepadamu hanyalah tipu muslihat licik yang biasa digunakan aliran sesat untuk memecah belah kelompok kita. Kau ini bukan orang bodoh, kenapa tidak juga menyadarinya? Hm, bahkan Liu Zhengfeng yang pandai saja bisa jatuh ke dalam perangkap aliran sesat sehingga keluarganya hancur berantakan. Tipu muslihat aliran sesat sangat kejam, tapi sejak dari Hunan hingga tiba di Gunung Huashan sini, belum pernah sekalipun aku mendengar mulutmu mencela perbuatan aliran sesat. Chong’er, rupanya setelah jiwamu diselamatkan mereka, kau jadi tidak bisa lagi membedakan mana yang baik mana yang buruk; mana yang jujur, mana yang pura-pura. Persoalan ini menyangkut masa depanmu sendiri. Hendaknya kau memiliki pendirian yang tegas.”
Samar-samar Linghu Chong kembali terkenang paduan suara kecapi dan seruling yang dimainkan Qu Yang dan Liu Zhengfeng pada malam sebelum mereka meninggal. Hati nuraninya tidak percaya kalau orang bernama Qu Yang itu memiliki tipu muslihat kejam dan sengaja mencelakakan keluarga Liu Zhengfeng.
Melihat murid pertamanya termangu-mangu, Yue Buqun kembali berkata, “Chong’er, urusan ini tidak hanya menyangkut masa depanmu saja, tapi juga nama baik Perguruan Huashan. Sekarang aku bertanya, jika kelak kau bertemu orang aliran sesat, apakah kau akan diam saja dan memandangnya sebagai musuh, atau membunuhnya tanpa ampun?”
Linghu Chong terperanjat kebingungan. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati ia berkata, “Apabila kelak aku bertemu orang aliran sesat, apakah aku harus membunuhnya begitu saja tanpa bertanya terlebih dahulu?”
Yue Buqun memandang tajam ke arah murid pertamanya itu yang tidak menjawab apa pun dalam waktu yang cukup lama. Akhirnya ia pun menghela napas panjang dan berkata, “Rasanya percuma saja aku memaksamu menjawab pertanyaan tadi. Kepergianmu kali ini telah banyak mencemarkan nama baik Perguruan Huashan. Maka itu, aku menghukum dirimu untuk merenung menghadap dinding selama setahun penuh.”
Linghu Chong segera membungkukkan badan dan menjawab, “Baik, saya siap menjalani hukuman dari Guru.”
“Apa? Menghadap dinding?” sahut Yue Lingshan ikut bicara. “Kalau begitu selama setahun ini Kakak Pertama harus memandangi dinding? Lantas, berapa jam dia harus merenung dalam setiap hari?”
“Berapa jam apanya?” ujar Yue Buqun. “Dia harus duduk menghadap dinding setiap hari mulai pagi sampai malam, kecuali pada saat makan dan minum.”
Yue Lingshan kembali menyahut, “Wah, ini namanya keterlaluan! Apa Kakak Pertama tidak bosan setiap hari hanya memandangi dinding melulu? Bagaimana kalau dia ingin buang air?”
“Jaga ucapanmu, gadis kecil,” ujar Ning Zhongze menukas.
“Bosan bagaimana?” sahut Yue Buqun. “Dahulu kakek-gurumu pernah bersalah dan dihukum menghadap dinding di Puncak Gadis Cantik selama tiga setengah tahun, tidak boleh melangkah turun sedikit pun. Mana bisa dibandingkan dengan kakak pertamamu?”
“Oh, kalau begitu hukuman Kakak Pertama masih terlalu ringan?” ujar Yue Lingshan sambil menjulurkan lidah. “Padahal Kakak Pertama sewaktu mengatakan ‘asalkan bertemu biksuni selalu kalah judi’ timbul dari maksud baiknya untuk menyelamatkan biksuni itu, jadi bukan bertujuan untuk melecehkan Perguruan Henshan.”
Yue Buqun menjawab, “Justru karena bermaksud baik itulah, maka hukumannya cuma satu tahun. Coba kalau maksudnya jahat, tentu sudah kucabut semua giginya, dan kupotong lidahnya.”
Melihat perdebatan itu Ning Zhongze segera melerai, “Shan’er, kau jangan berdebat lagi dengan ayahmu. Kakak pertamamu dihukum di Puncak Gadis Cantik supaya bisa merenungi kesalahannya. Jadi, kau jangan lagi pergi mengganggunya supaya niat baik ayahmu bisa terlaksana.”
“Tapi... tapi, Ibu,” ujar Yue Lingshan. “Kakak Pertama pasti akan sangat kesepian kalau tidak mengobrol denganku. Juga, selama setahun ini siapa lagi yang bisa menemani aku berlatih silat?”
“Jika kau mengajaknya mengobrol, bagaimana dia bisa merenungi kesalahannya?” kata Ning Zhongze. “Kalau cuma berlatih, kau bisa meminta kakak-kakakmu yang lain untuk menemani.”
Yue Lingshan terlihat kesal dan cemberut. Dengan nada gusar ia bertanya, “Lalu bagaimana cara Kakak Pertama makan? Bukankah dia tidak boleh turun dari puncak selama setahun penuh? Bukankah ini sama saja dengan membunuhnya pelan-pelan?”
“Kau jangan khawatir,” jawab Ning Zhongze sambil tersenyum. “Setiap hari akan ada yang ke atas untuk mengirimkan makanan.”
Sore harinya, setelah berpamitan kepada guru dan ibu-guru serta segenap saudara seperguruannya, Linghu Chong berangkat menuju puncak tertinggi Gunung Huashan yang bernama Puncak Gadis Cantik untuk menjalani hukumannya. Hanya dengan berbekal sebilah pedang yang tergantung di pinggang, ia berjalan menyusuri jalan mendaki menuju puncak yang curam dan terjal. Sesampainya di tempat tujuan, tampak sebuah gua sudah menunggu. Gua tersebut biasa digunakan para ketua Perguruan Huashan untuk mengurung murid-murid mereka yang melakukan pelanggaran.
Keadaan di atas puncak tersebut gundul tanpa ditumbuhi pepohonan. Yang ada di sana hanyalah semak dan lumut belaka. Selain gua, Linghu Chong tidak menemukan apa-apa lagi. Memang Gunung Huashan memiliki banyak pemandangan indah dan pepohonan lebat. Akan tetapi, keadaan di Puncak Gadis Cantik benar-benar perkecualian. Alasan utama mengapa sejak dulu puncak tersebut dipilih sebagai tempat mengurung murid-murid yang melanggar peraturan adalah karena suasananya yang sangat sunyi. Boleh dikata tidak ada seekor hewan pun yang betah hidup di sana. Dengan demikian, diharapkan para murid yang menjalani hukuman bisa lebih fokus dalam merenungi kesalahannya.
Begitu masuk ke dalam gua, Linghu Chong segera melihat sepotong batu besar di dalamnya. Batu yang halus dan licin tersebut merupakan tempat duduk bagi mereka yang sedang menjalani hukuman. Dalam hati ia merenung, “Perguruan Huashan sudah berusia ratusan tahun. Entah sudah berapa banyak muridnya yang merasakan duduk sendiri di gua ini. Pantas saja, batu ini terlihat halus dan licin. Hahahaha. Linghu Chong adalah murid Huashan yang paling ugal-ugalan. Rasanya sangat pantas jika aku diberi kesempatan mencicipi sepinya tempat ini. Hm, Guru sangat sabar. Beliau bisa menunggu sampai hari ini untuk mengirimku kemari.”
Kemudian ia menepuk-nepuk batu besar itu sambil berkata, “Wahai batu, entah sudah berapa tahun lamanya kau tinggal sendirian di sini. Mulai hari ini Linghu Chong yang akan menjadi temanmu.”
Begitu duduk di atas batu tersebut, mata Linghu Chong langsung menangkap beberapa huruf yang terukir di dinding. Ukiran itu berbunyi “Feng Qingyang” dan terdapat di dinding gua sebelah kiri. Ukiran tersebut sangat rapi, dengan kedalaman satu senti, seperti dibuat menggunakan ujung pedang yang sangat tajam.
Diam-diam Linghu Chong bertanya, “Siapa itu Feng Qingyang? Mungkin dia seorang murid pada generasi terdahulu yang pernah dihukum di sini. Ah, aku tahu! Dia memiliki nama tengah ‘Qing’, berarti satu tingkat di atas Guru. Dilihat dari ukirannya ini, tentu Beliau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Tapi aku heran, mengapa Guru dan Ibu Guru tidak pernah bercerita tentang Beliau? Ah, mungkin Beliau sudah lama meninggal dunia.”
Usai berpikir demikian, Linghu Chong lantas memejamkan mata dan memulai latihan pernapasan sampai satu jam lamanya. Setelah itu ia membuka mata dan berdiri untuk meregangkan otot. Kemudian ia kembali duduk dan berpikir, “Kelak jika aku bertemu orang aliran sesat, apakah aku harus mencabut pedangku tanpa bertanya lebih dulu dan membunuhnya saat itu juga? Apakah dalam aliran sesat semua orangnya jahat? Apakah dalam aliran sesat tidak ada orang yang baik? Tapi kalau dia seorang baik-baik kenapa bergabung dengan aliran sesat? Andaikan dia tersesat, mengapa tidak keluar begitu saja? Bukankah hal itu bisa terjadi? Dan, apabila tidak mau keluar, berarti rela berteman dengan kaum penjahat serta membuat celaka umat manusia pada umumnya.”
Seketika muncul dalam ingatan Linghu Chong kisah-kisah yang pernah diceritakan guru dan ibu-gurunya tentang kekejaman aliran sesat. Misalnya, peristiwa pembantaian Keluarga Yu di daerah Jiangxi. Jumlah korban yang tewas sebanyak 23 orang, semua dipaku di pepohonan. Bahkan, seorang anak kecil berusia tiga tahun tidak diberi ampun. Dua orang putra Tuan Yu merintih selama dua hari dua malam sampai akhirnya mati secara mengenaskan.
Kejadian lain menimpa Zhao Dengkui, ketua Partai Golok Naga Angin di daerah Jinan yang sedang menggelar pernikahan putranya. Tiba-tiba kaum aliran sesat datang menyerbu. Kedua mempelai terbunuh dan kepala mereka dipenggal untuk diletakkan di atas meja sebagai kado. Kemudian ketika Pendekar Hao di Hanyang merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh puluh, ia mengundang banyak kawan dari dunia persilatan. Tak disangka, kaum aliran sesat menanam bahan peledak di bawah lantai ruang perayaan. Maka, ketika meledak, tak terhitung jumlahnya para hadirin yang terluka dan binasa. Termasuk di antaranya adalah Pendeta Ji dari Perguruan Taishan yang kehilangan salah satu lengannya akibat ledakan tersebut.
“Paman Ji yang menceritakannya, sudah tentu kisah itu pasti benar,” pikir Linghu Chong. “Dua tahun yang lalu ada juga kejadian mengerikan menimpa Paman Sun dari Perguruan Songshan. Aku melihat sendiri bagaimana Paman Sun telah kehilangan kedua lengannya dan kedua kakinya, serta kedua bola matanya dicongkel pula oleh pihak aliran sesat. Ia hanya bisa berteriak-teriak: “Aliran sesat jahanam telah membuatku binasa. Kalian harus menuntut balas! Menuntut balas!’ Waktu itu orang-orang Songshan datang menolong, tapi Paman Sun sudah terlanjur meninggal akibat luka-lukanya.”
Linghu Chong merinding ngeri saat teringat darah mengucur deras pada lubang mata si Paman Sun tersebut. Teringat itu semua, ia kembali berpikir, “Perbuatan aliran sesat sungguh biadab dan di luar batas kemanusiaan. Qu Yang dan cucunya memang telah menolong nyawaku, namun mereka pasti menyembunyikan rencana jahat di balik itu semua. Guru telah bertanya bagaimana sikapku jika bertemu orang aliran sesat. Kali ini aku tidak akan ragu-ragu lagi. Tentu saja aku akan mencabut pedang dan langsung membunuhnya.”
Karena permasalahannya sudah jelas, seketika pikiran Linghu Chong menjadi lapang. Ia pun bersuit panjang kemudian melompat mundur keluar gua sambil memejamkan mata menikmati udara segar. Ketika sedang melayang di udara ia bersalto sebanyak satu kali dan setelah itu barulah mendaratkan kedua kakinya di atas tanah. Begitu membuka mata dan menoleh ke belakang, betapa terkejut hati Linghu Chong karena ternyata kakinya telah menginjak batuan terjal di tepi jurang yang sangat dalam. Andai saja ketika melompat mundur tadi ia menambah sedikit tenaga, tentu dirinya akan terlempar lebih jauh sehingga jatuh ke dasar jurang dengan tubuh hancur lebur.
“Aku masih kurang berani. Seharusnya aku melompat lebih dekat lagi ke tepi jurang,” demikian ia berpikir. Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara tawa seorang perempuan disertai tepukan tangan.
“Hebat! Kakak Pertama memang hebat!” demikian suara perempuan itu bersorak memuji.
Linghu Chong menoleh dan langsung gembira melihat Yue Lingshan datang mengunjunginya sambil menjinjing sebuah keranjang.
“Kakak Pertama, aku mengantarkan nasi untukmu,” ujar gadis itu sambil tertawa.
Segera keduanya masuk ke dalam gua dan duduk di atas batu licin. Setelah meletakkan keranjang berisi makanan itu di atas tanah. Yue Lingshan membuka suara, “Lompatanmu tadi sungguh hebat. Tanpa melihat kau bisa melompat mundur dan berdiri tepat di tepi jurang. Aku jadi ingin mencoba.”
Tentu saja lompatan Linghu Chong tadi dilakukannya tanpa sengaja dan secara beruntung ia nyaris saja jatuh ke jurang. Apalagi ilmu silat Yue Lingshan lebih rendah darinya. Jika kurang tepat menguasai badan, bisa-bisa malah mendapat celaka. Akan tetapi, watak adik seperguruannya itu sulit dicegah jika memiliki keinginan. Maka, daripada menghalangi lebih baik Linghu Chong mengizinkannya dengan berjaga-jaga di dekat jurang untuk mencegah bahaya yang mungkin bisa terjadi.
Watak Yue Lingshan sendiri tidak suka mengalah pada orang lain. Diam-diam gadis itu mengumpulkan segenap tenaga untuk bisa melompat lebih indah dibanding Linghu Chong. Maka, tanpa pikir lagi ia pun melompat mundur dengan mata tertutup. Tampak gadis itu melayang indah di udara dan kemudian terus meluncur ke arah jurang.
Sejak awal Yue Lingshan memang ingin melompat lebih jauh daripada Linghu Chong. Maka, ia pun mengerahkan tenaga cukup besar sewaktu melemparkan diri ke belakang. Namun ketika menyadari tubuhnya mulai meluncur turun, ia pun membuka mata dan menjerit ketakutan.
Untungnya Linghu Chong sudah bersiaga di tepi jurang dan segera menangkap lengan putri gurunya itu dengan cepat. Telapak kaki Yue Lingshan sendiri sudah menginjak tepat di tepi jurang tersebut. Andai saja Linghu Chong tidak cekatan, tentu gadis cantik itu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke bawah.
Setelah napasnya agak tenang, Yue Lingshan berkata dengan gembira, “Kakak Pertama, lihat lompatanku tadi ternyata lebih jauh darimu, bukan?”
Linghu Chong menepuk bahu putri gurunya itu sambil menjawab, “Permainan berbahaya tadi jangan kau ulangi lagi. Kalau sampai ketahuan Guru dan Ibu Guru, tentu kau akan dimarahi. Bisa-bisa kau juga akan dihukum di sini.”
Yue Lingshan menjawab, “Kalau dihukum di sini, berarti kau akan ada temannya. Kita bisa bebas bermain sesukanya. Benar, tidak?”
Linghu Chong tergetar mendengar ucapan gadis itu. Dalam hati ia berkata, “Kalau saja aku bisa bersama Adik Kecil dihukum setahun di sini, tentu rasanya bahagia laksana tinggal di kahyangan. Tapi… ah, mana boleh seperti itu?”
Segera ia pun menjawab, “Tapi kalau kau dikurung di rumah, bagaimana? Selangkah saja tidak boleh keluar. Jika demikian, tentu selama setahun kita tidak akan bisa bertemu.”
“Itu namanya tidak adil,” sahut Yue Lingshan. “Kau boleh dikurung di sini dan bebas bergerak, tapi mengapa aku harus dikurung di rumah?”
(Bersambung)
Bagian 18 ; Halaman muka ; Bagian 20