Begitu Lin Pingzhi memasuki gubuk, Linghu Chong langsung mencium bau harum yang sangat menusuk hidung. Ternyata bau harum tersebut berasal dari pakaian yang dikenakan pemuda itu. Penampilannya sangat rapih dan rajin. Kopiah yang ia pakai juga dihiasi sebutir batu zamrud, sementara jarinya memakai cincin bermata mirah delima, serta sepatunya juga berhiaskan mutiara. Penampilan seperti ini jelas bukan lagi dandanan kaum persilatan, tapi lebih mirip seorang majikan muda dari keluarga hartawan kaya raya.
Menyaksikan itu Linghu Chong termenung, "Keluarganya adalah pemilik Biro Pengawalan Fuwei, sudah tentu sejak kecil ia dibesarkan dalam lingkungan kaya raya. Sekian lamanya ia hidup menderita di dunia persilatan, dan kini setelah mendapatkan kepandaian, sungguh pantas kalau ia kembali menikmati kekayaan seperti dulu lagi."
Kemudian tampak Lin Pingzhi mengeluarkan selembar saputangan dari kain sutra berwarna putih bersih. Dengan gaya anggun dan lembut ia mengusap wajahnya pelan-pelan, serta mengibaskan lengan bajunya. Tingkah lakunya bagaikan seorang pemain sandiwara yang memerankan tokoh perempuan muda yang cantik.
Setelah mengambil tempat duduk, dengan acuh tak acuh Lin Pingzhi menyapa, "Saudara Linghu, bagaimana keadaanmu?"
"Baik-baik saja," sahut Linghu Chong sambil mengangguk.
Lin Pingzhi lantas berpaling ke arah musuh-musuhnya. Dilihatnya seorang murid Perguruan Qingcheng sedang menuangkan teh hangat ke dalam cawan Yu Canghai. Tiba-tiba ia menegur dengan suara keras, "Hai, kau ini bernama Yu Renhao, bukan? Dulu sewaktu terjadi pembantaian di rumahku, kau ikut terlibat di sana. Huh, meskipun tubuhmu hancur menjadi abu juga aku tetap mengenalmu."
Yu Renhao memang terlibat pembantaian para pegawai Biro Pengawalan Fuwei di kantor pusat Kota Fuzhou. Ia juga yang telah menangkap ayah-ibu Lin Pingzhi bersama Fang Renzhi dan Jia Renda. Kedua rekannya itu telah tewas tadi malam. Begitu mendengar teguran Lin Pingzhi, ia langsung meletakkan poci teh di atas meja dengan keras, kemudian berbalik dan mundur dua langkah sambil memegangi gagang pedang yang tergantung di pinggangnya. "Aku memang Yu Renhao, kau mau apa?" Walaupun jawabannya kasar, namun suaranya terdengar agak gemetar dan mukanya pucat pula.
Lin Pingzhi tersenyum dan berkata, "Ying Xiong Hao Jie, empat kesatria muda Perguruan Qingcheng. Kau ini yang nomor tiga, tapi sama sekali tidak memancarkan pesona kesatria. Hehe, sungguh menggelikan."
Ying Xiong Hao Jie adalah singkatan dari nama keempat murid terhebat Perguruan Qingcheng. Mereka adalah Hou Renying, Hong Renxiong, Yu Renhao, dan Luo Renjie. Di antara mereka, satu orang telah tewas dibunuh Linghu Chong saat di Kota Hengshan dahulu, yaitu Luo Renjie, sementara tiga yang lainnya saat ini berada di samping Yu Canghai.
Kembali Lin Pingzhi mengejek, "Saudara Linghu itu pernah menyebut kalian sebagai empat binatang bodoh dari Qingcheng. Padahal kalau menurut penilaianku, hehe, kalian bahkan lebih buruk daripada binatang."
Yu Renhao bertambah gusar. Wajahnya merah membara sementara tangannya semakin erat memegang gagang pedang, namun tidak juga melolos keluar senjatanya itu.
Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara derap kaki kuda berlari. Tampak dua ekor kuda datang dengan sangat cepat. Sesampainya di depan gubuk, seorang penunggang yang berada di depan lantas menghentikan kudanya. Begitu semua orang berpaling, segera saja ada yang bersuara kaget. Ternyata penunggang kuda yang berada di depan itu seorang bungkuk bertubuh gemuk pendek. Ia tidak lain adalah Mu Gaofeng, si Bungkuk dari Utara. Sungguh tidak disangka-sangka, penunggang kuda yang satunya ternyata Yue Lingshan.
Melihat Yue Lingshan datang, seketika dada Linghu Chong terasa hangat dan hatinya senang. Namun dilihatnya kedua tangan adik kecilnya itu tampak ditelikung ke belakang, dan tali kendali kudanya juga dipegang oleh Mu Gaofeng. Jelas ia telah tertangkap dan ditawan oleh pendekar bungkuk itu. Segera Linghu Chong bermaksud turun tangan, namun lantas terpikir olehnya, "Suaminya berada di sini, untuk apa orang luar seperti aku harus bertindak? Jika suaminya sudah tidak peduli barulah nanti aku mencari akal guna menolongnya."
Namun sebaliknya, Lin Pingzhi ternyata senang bukan kepalang melihat kedatangan Mu Gaofeng. Ia berkata dalam hati, "Orang bungkuk ini ikut bertanggung jawab atas kematian ayah-ibuku. Sungguh tidak kusangka hari ini dia datang sendiri mengantar nyawa ke sini. Langit memang mahaadil."
Sementara itu Mu Gaofeng ternyata tidak mengenali Lin Pingzhi. Dahulu mereka memang pernah bertemu di Kota Hengshan, tapi waktu itu Lin Pingzhi menyamar sebagai seor ang bungkuk dengan wajah buruk rupa. Selanjutnya Mu Gaofeng menemukan kalau bungkuk tersebut adalah palsu, namun tetap saja ia tidak mengetahui wajah asli Lin Pingzhi.
Mu Gaofeng lantas berpaling kepada Yue Lingshan dan berkata, "Mengingat ada teman sebanyak ini berkumpul di sini, seharusnya kita berhenti juga untuk minum teh. Tapi kakekmu ini sedang ada urusan penting. Untuk itu, marilah kita berangkat saja." Diam-diam ia merasa gentar melihat orang-orang Perguruan Henshan dan Qingcheng. Daripada mereka turun tangan menolong Yue Lingshan, tentu lebih baik ia segera menyingkir pergi. Maka ia pun membentak hendak melarikan kudanya kembali.
Rupanya kemarin sewaktu Yue Lingshan terluka dan ingin kembali ke Gunung Songshan untuk bergabung dengan ayah-ibunya, di tengah jalan ia bertemu Mu Gaofeng. Si bungkuk ini menyimpan dendam kepada Yue Buqun yang telah mengalahkannya saat adu tenaga dalam di Kota Hengshan dulu. Kemudian didengarnya pula bahwa putra Lin Zhennan telah bergabung dengan Perguruan Huashan, serta menjadi menantu Yue Buqun. Oleh karena itu, ia pun menyimpulkan Kitab Pedang Penakluk Iblis pasti jatuh ke tangan Yue Buqun.
Dalam acara penggabungan Serikat Pedang Lima Gunung ia tidak mendapat undangan dari Zuo Lengchan karena sifatnya yang buruk membuat dirinya tidak disukai oleh orang-orang kelima perguruan tersebut. Hal ini membuat Mu Gaofeng sangat gusar dan merasa direndahkan. Diam-diam ia datang dan bersembunyi di sekitar Gunung Songshan untuk mengganggu orang-orang kelima perguruan yang turun gunung. Apabila yang lewat seorang guru atau murid angkatan tua, ia memilih bersembunyi. Sebaliknya jika yang melintas adalah murid-murid muda, ia bermaksud menghajar mereka sebagai pelampiasan kebencian. Akan tetapi setelah acara berakhir, orang-orang kelima perguruan turun gunung dalam kelompok-kelompok berjumlah puluhan atau ratusan, sehingga si bungkuk ini tidak bisa berbuat apa-apa.
Maka sungguh tepat ketika ia melihat Yue Lingshan berkuda sendirian menuju ke atas Gunung Songshan. Meskipun ilmu silat nyonya muda ini maju pesat, namun ia tetap bukan tandingan Mu Gaofeng. Apalagi ia sendiri baru saja terluka dan langsung disergap secara tiba-tiba oleh si bungkuk itu.
Yue Lingshan pun menggertaknya dengan mengatakan bahwa dirinya adalah putri Yue Buqun. Di luar dugaan, Mu Gaofeng justru bertambah senang. Otaknya langsung melahirkan rencana hendak menyembunyikan dan menyandera Yue Lingshan untuk ditukar dengan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Tak disangka di tengah jalan ia malah bertemu orang-orang Perguruan Qingcheng dan Henshan.
Yue Lingshan sendiri berpikir kalau sampai dirinya dibawa lari, maka tipis sudah harapannya untuk selamat. Maka tanpa menghiraukan lukanya, ia pun sengaja menjatuhkan diri ke bawah kuda.
"Apa yang terjadi?" teriak Mu Gaofeng sambil melompat turun dari kudanya dan mencengkeram punggung nyonya muda itu.
Linghu Chong mengira tentu Lin Pingzhi takkan tinggal diam menyaksikan istrinya diganggu orang. Namun di luar dugaan ternyata Lin Pingzhi tampak tenang-tenang saja, bahkan ia mengeluarkan kipas kertas dengan gagang berwarna keemasan dari balik bajunya. Dengan gaya anggun ia mengipasi diri sendiri perlahan-lahan. Padahal saat itu baru masuk musim semi, bahkan salju di daerah utara belum mencair, jelas udara masih terasa dingin. Rupanya Lin Pingzhi sengaja memperlihatkan ketidakpeduliannya terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.
Sementara itu Yue Lingshan sudah dicengkeram bangun oleh Mu Gaofeng dan dinaikkan kembali ke atas kuda. "Hati-hati jangan sampai jatuh lagi!" ujarnya. Rupanya ia tidak tahu kalau tawanannya itu sengaja menjatuhkan diri. Ia sendiri lantas melompat ke atas punggung kuda dan hinggap tepat di atas pelana, siap untuk melaju kembali.
"Orang bermarga Mu," tiba-tiba Lin Pingzhi menyapa, "di sini ada yang mengatakan bahwa ilmu silatmu sangat rendah tak bernilai. Apakah memang demikian adanya?"
Mu Gaofeng tercengang. Ia melihat Lin Pingzhi duduk sendiri, tampaknya bukan orang Perguruan Qingcheng, juga bukan orang Perguruan Henshan. Seketika ia menjadi ragu-ragu dan kemudian bertanya, "Kau ini siapa?"
Lin Pingzhi tersenyum menjawab, "Untuk apa kau tanya diriku? Yang mengtatakan ilmu silatmu rendah jelas-jelas bukan aku."
"Siapa yang bilang?" tanya Mu Gaofeng.
Lin Pingzhi melipat kembali kipasnya dan menunjuk ke arah Yu Canghai. "Yang bilang adalah Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng ini. Baru-baru ini dia telah menyaksikan suatu jurus ilmu pedang yang mahahebat di dunia. Kalau tidak salah namanya Jurus Pedang Penakluk Iblis."
Begitu mendengar nama "Jurus Pedang Penakluk Iblis", seketika semangat Mu Gaofeng langsung menyala. Diliriknya Yu Canghai, tampak ketua Perguruan Qingcheng itu sedang termenung-menung sambil memegangi sebuah cawan teh. Terhadap apa yang diucapkan Lin Pingzhi tadi ia seperti tidak mendengar.
Seketika Mu Gaofeng menjadi ragu-ragu dan bertanya, "Hai, Yu Pendek, selamat untukmu yang beruntung dapat menyaksikan permainan Jurus Pedang Penakluk Iblis. Apa yang kau lihat bukan jurus palsu?"
"Bukan palsu," jawab Yu Canghai. "Aku memang telah menyaksikannya sejurus demi sejurus dari awal sampai akhir."
Mu Gaofeng terkejut bercampur senang. Dengan cepat ia melompat turun dari kudanya dan duduk di samping meja Yu Canghai lalu bertanya, "Kabarnya kitab pedang itu telah jatuh ke tangan Yue Buqun dari Perguruan Huashan. Lantas bagaimana kau bisa melihat ilmu pedang itu?"
"Yang kulihat bukan kitab pedang, tapi orang yang benar-benar mahir memainkan jurus tersebut," sahut Yu Canghai.
"O, ternyata demikian," ujar Mu Gaofeng. "Tapi Jurus Pedang Penakluk Iblis ada yang asli dan ada yang palsu. Misalnya keluarga Lin dari Biro Pengawalan Fuwei di Fuzhou juga pernah mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, tapi siapa yang melihatnya pasti akan rontok gigi karena terlalu banyak tertawa. Ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata sangat menggelikan. Sekarang ilmu pedang yang kau lihat itu tentu yang asli."
"Aku sendiri juga tidak tahu apakah asli atau palsu. Yang jelas orang yang mahir ilmu pedang ini adalah keturunan Biro Pengawalan Fuwei dari Fuzhou juga," jawab Yu Canghai.
Mu Gaofeng bergelak tawa menjawab, "Hahaha. Percuma kau menjadi guru besar suatu aliran persilatan, sampai-sampai suatu ilmu pedang asli atau palsu kau tidak bisa membedakan. Bukankah Lin Zhennan dari Biro Pengawalan Fuwei itu sudah tewas di tanganmu?"
"Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dimainkannya itu asli atau palsu memang aku tidak bisa membedakannya," jawab Yu Canghai. "Pendekar Mu lebih pandai dan berpengalaman, tentu dapat membedakannya."
Mu Gaofeng sadar pendeta pendek di depannya ini terhitung tokoh papan atas di dunia persilatan, baik itu soal kepandaian ataupun wawasannya. Kini ia berkata demikian jelas mengandung maksud yang dalam. Maka itu Mu Gaofeng hanya menyeringai sambil memandang ke sekeliling. Dilihatnya semua orang sedang memandang ke arahnya dengan sikap yang aneh seakan-akan dirinya telah salah bicara. Maka dengan ragu-ragu terpaksa ia berkata, "Kalau aku dapat melihatnya sendiri, tentu dapat kubedakan yang asli dan yang palsu."
"Kalau Pendekar Mu ingin melihat, aku rasa tidak susah. Orang yang mahir memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis itu justru berada di sini," kata Yu Canghai.
Seketika Mu Gaofeng terkesiap. Sorot matanya kembali menatap orang-orang di sekelilingnya. Dilihatnya Lin Pingzhi bersikap paling tak acuh. Segera ia pun bertanya, "Apakah pemuda ini yang kau maksud?"
"Hebat, sungguh hebat! Aku sangat kagum dengan pandangan Pendekar Mu yang tajam. Sekali pandang saja langsung tahu," kata Yu Canghai.
Baru sekarang Mu Gaofeng mengamat-amati Lin Pingzhi dari ujung kaki sampai kepala. Dilihatnya penampilan Lin Pingzhi sangat mewah, seperti dandanan seorang putra keluarga hartawan. Ia berpikir, "Ucapan Yu Pendek itu tentu mengandung suatu tipu muslihat. Untuk apa aku terlibat dalam perselisihan mereka? Paling baik aku lekas-lekas berangkat saja. Asalkan Nona Yue ini tetap berada di bawah cengkeramanku, mustahil Yue Buqun takkan menebusnya dengan kitab pedang yang kuinginkan itu."
Maka dengan tertawa ia pun berkata, "Hahaha, Yu Pendek, rupanya kau memang suka bercanda denganku. Tapi hari ini Si Bungkuk sedang ada urusan lain, terpaksa aku mohon diri dahulu. Tentang Jurus Pedang Penakluk Iblis itu apakah benar asli atau palsu tidak penting bagi Si Bungkuk. Nah, sampai berjumpa lagi." Usai berkata, sekali loncat tahu-tahu ia sudah berada kembali di atas punggung kudanya. Meski bungkuk dan gemuk pula, tapi gerakannya itu sangat gesit dan cepat.
Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang serasa kabur. Sepertinya mereka melihat Lin Pingzhi melesat dan menghadang di depan kuda Mu Gaofeng, namun segera mereka melihat pemuda itu sedang berkipas-kipas dan duduk tenang di bangkunya seperti tidak pernah ke mana-mana. Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Mu Gaofeng menggertak agar kudanya cepat berlari.
Namun bagi tokoh-tokoh papan atas seperti Linghu Chong, Ren Yingying, dan Yu Canghai dengan jelas mereka dapat melihat Lin Pingzhi telah menjulurkan tangannya mencolok dua kali ke arah kuda Mu Gaofeng. Tentu ia telah melukukan sesuatu terhadap hewan kendaraan si bungkuk itu.
Benar juga, baru saja Mu Gaofeng melarikan kudanya beberapa langkah, tiba-tiba hewan itu menubruk tiang gubuk. Karena tumbukan yang keras itu, setengah gubuk pun menjadi ambruk. Dengan cepat Yu Canghai melompat keluar, sementara kepala Linghu Chong, Lin Pingzhi, dan beberapa orang lainnya penuh teruruk oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Zheng E membersihkan kepala Linghu Chong, sementara Lin Pingzhi hanya memandang tajam ke arah Mu Gaofeng tanpa berkata sedikit pun. Sejenak orang bungkuk itu ragu-ragu lalu melompat turun dari kudanya sambil melepaskan tali kendali. Kudanya lantas berlari lagi ke depan, tapi segera menumbuk batang pohon. Terdengar kuda itu meringkik panjang dan kemudian roboh terkapar dengan kepala berlumuran darah. Begitu aneh kelakuan kuda itu, ternyata kedua matanya sudah buta karena dikerjai Lin Pingzhi dengan kecepatan luar biasa tadi.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi melipat kipasnya dan membersihkan rumput kering yang berserakan di atas pundaknya, lalu berkata, "Orang buta menunggang kuda picak, sungguh berbahaya."
Mu Gaofeng bergelak tawa dan berkata, "Sombong benar kau bocah! Ternyata kepandaianmu boleh juga. Yu Pendek bilang kau mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis, coba kau tunjukkan kepadaku." Kudanya dibuat buta, tetapi ia tidak gusar, sebaliknya malah tertawa. Sungguh harus diakui kesabaran orang bungkuk ini memang hebat.
"Ya, aku memang hendak memperlihatkannya kepadamu," sahut Lin Pingzhi. "Dahulu demi untuk mendapatkan ilmu pedang keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa kejahatanmu rasanya tidak lebih rendah daripada Yu Canghai itu."
Mu Gaofeng termangu-mangu. Sungguh tidak diduga olehnya bahwa pemuda berpenampilan mewah ini ternyata putra Lin Zhennan. Diam-diam ia pun menimbang, "Bocah ini berani terang-terangan menantang diriku, tentu ada sesuatu yang ia andalkan. Serikat Pedang Lima Gunung sekarang telah digabung menjadi satu. Kawanan biksuni dari Perguruan Henshan ini sudah pasti menjadi bala bantuannya. Hm, Nona Yue adalah istri bocah ini. Selama perempuan ini ada di tanganku, dia bisa apa?"
Mendadak tangannya pun berbalik untuk mencengkeram ke arah Yue Lingshan. Tak disangka cengkeramannya tidak mengenai sasaran, sebaliknya ia merasa ada angin menderu menyambar dari belakang. Sepertinya ada pedang seseorang telah menebas ke arahnya. Segera Mu Gaofeng mengelak ke samping. Ternyata si penyerang itu tidak lain Yue Lingshan sendiri.
Rupanya Ren Yingying telah memotong tali pengikat Yue Lingshan dan membuka totokan pada tubuhnya. Karena masih kesemutan berhubung tertotok cukup lama, juga lukanya masih terasa sakit, maka setelah tebasannya itu, Yue Lingshan tidak melancarkan serangan kedua meskipun dalam hati merasa sangat gemas.
Terdengar Lin Pingzhi mendengus, "Huh, sebagai tokoh persilatan yang ternama, perbuatanmu sungguh tidak tahu malu. Sekarang jika kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak dan menyembah tiga kali padaku sambil memanggil ‘kakek’ tiga kali pula. Dengan demikian akan kuberi kau kesempatan hidup setahun lagi. Setahun kemudian aku akan mencarimu lagi untuk menagih nyawamu, bagaimana?"
Kembali Mu Gaofeng tertawa, "Hahaha. Dasar bocah kurang ajar! Dahulu di rumah Liu Zhengfeng di Kota Hengshan kau menyamar sebagai pemuda bungkuk dan menyembah tiga kali kepadaku, serta memanggilku ‘kakek’. Kau juga memohon untuk menjadi muridku. Namun karena aku tidak berminat, maka kau mengabdi pada si tua Yue dan menjadi menantunya pula, bukan begitu?"
Lin Pingzhi diam tidak menjawab. Matanya berkilat-kilat penuh amarah, namun bibirnya tersenyum gembira. Ia kemudian melipat kembali kipasnya dan kemudian melangkah ke arah Mu Gaofeng. Sambil berjalan tangan kanannya mengebas membersihkan rumput kering yang mengotori bajunya. Begitu bergerak seketika bau harum pun semakin menyengat tajam.
Tiba-tiba terdengar dua jeritan ngeri. Dua orang murid Qingcheng tampak pucat pasi. Mereka tidak lain adalah Yu Renhao dan Ji Rentong. Sekejap kemudian keduanya roboh dengan dada bersimbah darah. Keadaan begitu tegang. Orang-orang yang lain tanpa sadar ikut menjerit karena terkejut. Jelas-jelas mereka melihat Lin Pingzhi berjalan tenang ke arah Mu Gaofeng. Namun entah bagaimana ia bisa mencabut pedang dan membunuh dua lawan sekaligus, kemudian menyarungkan kembali pedangnya dalam beberapa detik saja.
Boleh dikata hanya Linghu Chong, Yu Canghai, dan Ren Yingying saja yang bisa melihat berkelebatnya pedang Lin Pingzhi, sementara yang lain hanya melihat seberkas cahaya saja. Jangankan melihatnya menyerang, bahkan melihat bagaimana ia mencabut pedang saja mereka tidak mampu. Kontan orang-orang itu semakin kagum sekaligus ngeri pula.
Menyaksikan itu Linghu Chong termenung, "Dahulu untuk menghadapi Tian Boguang saja aku sudah merasa kesulitan. Namun setelah mempelajari Sembilan Jurus Pedang Dugu kecepatan golok Tian Boguang dapat kuimbangi dengan kecepatan mataku. Namun menghadapi kecepatan Lin Pingzhi ini, mungkin Tian Boguang hanya sanggup bertahan tiga jurus saja. Lantas, bagaimana denganku? Berapa jurus aku sanggup bertahan menghadapi kecepatan pedang Lin Pingzhi?" Berpikir demikian membuat keringat dingin membasahi tangannya.
Tampak Mu Gaofeng mencabut pedangnya yang berbentuk melengkung. Seorang bungkuk bersenjata pedang bengkok. Menghadapi Lin Pingzhi yang semakin mendekat itu, Mu Gaofeng pun menunduk rendah. Dasar tubuhnya bulat dan bungkuk, kini mukanya sampai-sampai hampir menyentuh tanah. Tiba-tiba ia meraung seperti serigala, lantas menyeruduk ke depan. Pedangnya yang bengkok itu kemudian menyambar ke pinggang Lin Pingzhi.
Cepat sekali Lin Pingzhi melolos pedangnya dan kemudian menusuk ke arah dada musuh. Serangannya lebih belakangan, tapi tiba lebih dulu pada sasaran. Kembali Mu Gaofeng meraung, tubuhnya lantas melompat ke arah lain. Ternyata bajunya sudah berlubang di bagian dada sehingga terlihat bulu dadanya yang lebat.
Serangan Lin Pingzhi itu kalau agak maju dua-tiga senti lagi, dada Mu Gaofeng pasti sudah berlubang. Semua orang sampai berseru kaget dan tercengang melihatnya.
Meskipun baru saja lolos dari maut, Mu Gaofeng tetap saja ganas dan sedikit pun tidak gentar. Berulang-ulang ia meraung dan kembali menubruk maju. Kembali Lin Pingzhi melancarkan tiga serangan kilat, disusul terdengar suara senjata beradu cukup nyaring. Rupanya serangan-serangan ini dapat ditangkis oleh si bungkuk.
Lin Pingzhi tertawa dingin. Pedangnya semakin cepat bergerak. Berkali-kali Mu Gaofeng terpaksa melompat ke atas dan mendekam ke bawah. Pedangnya yang bengkok itu diputar sedemikian cepatnya sehingga berwujud seperti jaringan sinar perak.
Setiap kali pedang Lin Pingzhi menusuk masuk ke dalam jaringan sinar pedang itu, dan terkadang membentur pedang lawan, seketika tangannya terasa kesemutan. Jelas tenaga dalam si bungkuk jauh lebih kuat daripada dirinya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi pedangnya akan tergetar lepas. Karena itu Lin Pingzhi tidak berani gegabah lagi. Ia berusaha mengincar lubang kelemahan musuh untuk kemudian melancarkan serangan maut.Mu Gaofeng sendiri tidak peduli dengan serangan-serangan musuhnya. Ia hanya memusatkan perhatian untuk memutar pedang bengkok sekencang-kencangnya. Semua anggota tubuhnya terlindungi oleh jaringan sinar pedang tersebut dan sedikit pun tidak memperlihatkan lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Lin Pingzhi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan demikian sebenarnya justru menempatkan Lin Pingzhi pada posisi yang menguntungkan. Sekalipun ia belum dapat menjatuhkan lawan, namun Mu Gaofeng sendiri jelas tidak mampu melakukan serangan.
Linghu Chong dan yang lain dapat menilai, asalkan sedikit saja Mu Gaofeng bermaksud menyerang, tentu jaringan sinar pedangnya akan terbuka dan itu berarti peluang bagi Lin Pingzhi untuk melakukan serangan kilat. Jika hal itu terjadi, maka sukar bagi Mu Gaofeng untuk menangkis.
Pertahanan rapat Mu Gaofeng dengan cara memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya sangat membuang banyak tenaga dalam. Karena hanya dengan kekuatan penuh jaringan sinar pedang dapat digunakan sebagai perlindungan tubuh bagai air terjun yang mengucur deras tanpa henti. Namun sekuat apapun tenaga dalam seorang pesilat, pasti akan habis juga jika terus-menerus dikerahkan seperti itu.
Di tengah jaringan sinar pedangnya yang rapat itu Mu Gaofeng masih juga meraung-raung tanpa berhenti, membuat ia terlihat semakin ganas. Pedangnya menebas berputar di atas dan di bawah tubuh. Beberapa kali Lin Pingzhi bermaksud membobol jaringan sinar pedang itu, tapi selalu saja tertangkis oleh pedang lawan yang bengkok tersebut.
Sekian lamanya Yu Canghai mengikuti pertarungan ini sampai akhirnya ia bisa melihat jaringan sinar pedang si bungkuk mulai menipis, pertanda Mu Gaofeng sudah mulai kehabisan tenaga dalam. Tanpa pikir lagi, ia pun bersuit nyaring lantas menerjang maju. Tiga kali ia melancarkan serangan dengan cepat ke arah titik-titik mematikan di punggung Lin Pingzhi. Segera Lin Pingzhi memutar pedangnya untuk menangkis ke belakang. Pada saat itulah Mu Gaofeng mengayunkan pedangnya untuk menebas kaki lawan.
Kalau menurut tatakrama dunia persilatan, dua tokoh berpengalaman seperti Yu Canghai dan Mu Gaofeng mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau, sungguh ini suatu perbuatan yang memalukan. Namun orang-orang Perguruan Henshan telah menyaksikan sendiri betapa sakti ilmu silat Lin Pingzhi dalam membunuh murid-murid Perguruan Qingcheng, sehingga melihat pertempuran dua lawan satu itu mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar. Justru kalau kedua tokoh itu tidak bergabung, bagaimana mungkin ilmu pedang Lin Pingzhi yang sangat hebat itu bisa dilayani?
Setelah Yu Canghai turun tangan, Mu Gaofeng pun mengubah gerak pedangnya untuk bertahan dan menyerang sekaligus. Melihat itu Lin Pingzhi justru menjadi senang. Setelah berlalu sekitar dua puluh jurus, tiba-tiba kipas di tangan kirinya ikut bergerak. Gagang kipas yang berwarna keemasan itu berbalik lantas menusuk ke depan dengan kecepatan luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas tersebut menonjol keluar sebatang jarum tajam dan kemudian tepat menusuk titik Huantiao di paha kanan Mu Gaofeng.
Mu Gaofeng terkejut. Segera pedangnya menebas, namun tetap kalah cepat dibanding gerakan Lin Pingzhi. Akibat tusukan itu kini kakinya terasa kesemutan. Ia tidak berani lagi sembarangan bergerak, hanya pedangnya yang masih saja berputar kencang melindungi tubuh. Lambat laun kedua kaki si bungkuk terasa lemas. Tak kuasa lagi menahan diri, ia pun jatuh bertekuk lutut.
"Hahaha. Akhirnya baru sekarang kau mau menyembah padaku…." sahut Lin Pingzhi bergelak tawa sambil menangkis serangan Yu Canghai, kemudian menyambung, "Namun sudah terlambat!" Sambil berkata demikian ia kembali menangkis serangan musuh dan seketika balas menyerang satu kali.
Meski kedua kaki Mu Gaofeng tidak bisa digerakkan lagi, namun pedang bengkoknya masih tetap digunakan untuk menyerang tanpa henti. Rupanya ia sadar bahwa kekalahannya sudah dapat dipastikan. Maka setiap jurus serangannya kini dilancarkan secara nekad. Jika tadi ia hanya bertahan tanpa menyerang sedikit pun, sekarang ganti menyerang tanpa bertahan sedikit pun. Ia sudah tidak memikirkan keselamatan jiwanya lagi. Jika memungkinkan ia siap gugur bersama musuh.
Yu Canghai sendiri juga menyadari keadaan gawat tersebut. Jika ia tidak bisa segera mengalahkan Lin Pingzhi, maka sekali Mu Gaofeng roboh, tentu dirinya akan tertinggal sendiri dan menjadi sasaran empuk kehebatan pedang pemuda itu. Maka, pendeta pendek tersebut semakin gencar dalam melancarkan serangan. Namun tiba-tiba terdengar Lin Pingzhi tertawa panjang. Sekejap kemudian Yu Canghai merasa pandangannya menjadi gelap, matanya tidak bisa melihat apa-apa lagi. Menyusul kemudian kedua bahunya juga terasa dingin. Ternyata kedua lengannya telah terpotong dan berpisah dengan tubuhnya.
Terdengar Lin Pingzhi tertawa menyeramkan, "Hahahaha. Aku takkan membunuhmu. Biar kau kubuat buta dan buntung saja. Biar kau mengembara di dunia sebatang kara. Murid-muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh semua sehingga di dunia ini hanya tinggal musuh-musuhmu saja yang tersisa."
Yu Canghai merasakan kedua lengannya yang buntung itu sungguh sakit luar biasa. Baginya, perlakuan Lin Pingzhi ini jauh lebih kejam daripada sekali tusuk membuatnya mati. Dalam keadaan cacad seperti ini tiada artinya lagi hidup di dunia, dan hanya menjadi bahan olok-olok kaum persilatan lainnya. Karena berpikir demikian, ia menjadi kalap. Dengan memerhatikan arah suara Lin Pingzhi, ia pun menyeruduk musuhnya itu.
Lin Pingzhi terbahak-bahak sambil menghindar ke samping. Tak disangka, karena terlalu senang ia menjadi lengah. Tanpa sadar gerakannya itu justru mendekati tempat Mu Gaofeng bertekuk lutut. Tentu saja Mu Gaofeng tidak membuang-buang kesempatan emas tersebut. Ia pun mengayunkan pedang sekuat tenaga, namun Lin Pingzhi masih dapat menangkis dan membuat pedang bengkoknya itu terlempar. Akan tetapi, Mu Gaofeng semakin nekad. Karena jaraknya yang cukup dekat, ia pun berhasil memeluk kedua kaki Lin Pingzhi sekencang-kencangnya.
Lin Pingzhi sangat terkejut dibuatnya. Tampak murid-murid Perguruan Qingcheng serentak memburu maju pula. Ia pun meronta sekuat tenaga untuk membebaskan diri dari pelukan Mu Gaofeng. Namun kedua lengan si bungkuk terasa sangat kuat bagaikan baja. Tanpa pikir panjang, Lin Pingzhi pun menusuk tepat di punggung Mu Gaofeng.
Tiba-tiba muncul air hitam menyembur dari punggung si bungkuk. Baunya sungguh bacin memuakkan. Lin Pingzhi yang sangat terkejut menjejakkan kedua kakinya hendak melompat pergi guna menghindari semprotan air tersebut. Namun ia lupa bahwa kedua kakinya masih dipeluk sekuat tenaga oleh Mu Gaofeng. Maka, tanpa ampun lagi mukanya pun basah tersiram oleh air hitam itu. Sungguh perih rasanya tidak terbayangkan, sampai-sampai pemuda itu menjerit kesakitan.
Rupanya air hitam berbau bacin itu mengandung racun yang sangat menyakitkan. Sungguh tidak disangka Mu Gaofeng ternyata menyimpan kantong berisi air beracun di atas punggungnya yang bungkuk sebagai senjata rahasia. Lin Pingzhi mengusap wajahnya yang kesakitan itu dengan tangan kiri. Kedua matanya pun sukar dibuka lagi. Hanya tangan kanannya yang berulang-ulang menusuk tubuh Mu Gaofeng. Tusukan-tusukan Lin Pingzhi ini sangat cepat luar biasa. Mu Gaofeng sama sekali tidak sempat untuk menghindar, dan pada dasarnya ia memang bertekad mati bersama musuh. Maka itu, ia pun semakin kencang memeluk kedua kaki Lin Pingzhi.
Pada saat itulah, Yu Canghai dapat menemukan di mana lawan berada, yaitu dengan merasakan arah suara Lin Pingzhi yang menjerit kesakitan. Tanpa ampun ia pun menubruk maju. Karena kedua lengannya sudah buntung, ia pun menggunakan mulut untuk menggigit, dan tepat pipi kanan Lin Pingzhi menjadi sasarannya. Ketiga orang itu bergumul dalam keadaan kalap. Lambat laun ketiganya mulai kehilangan kesadaran. Serentak murid-murid Perguruan Qingcheng memburu maju untuk ikut menyerang Lin Pingzhi.
Pertempuran sengit ini dapat diikuti Linghu Chong dengan jelas dari dalam kereta. Ia merasa prihatin menyaksikan keadaan mereka bertiga yang mengenaskan itu. Namun begitu melihat murid-murid Perguruan Qingcheng telah memburu maju, tanpa pikir panjang ia pun berseru, "Yingying, tolong kau bantu Adik Lin!"
Tanpa menjawab Ren Yingying langsung menerjang secepat kilat. Dengan pedang pendek di tangan ia berhasil memukul mundur murid-murid Perguruan Qingcheng itu
Terdengar suara raungan Mu Gaofeng sudah mulai reda, sementara pedang Lin Pingzhi masih terus menikam ke punggung si bungkuk lagi dan lagi. Sekujur badan Yu Canghai sendiri penuh berlumuran darah namun ia tetap menggigit pipi Lin Pingzhi dan tidak mau melepaskannya.
Tidak lama kemudian, Lin Pingzhi pun mengerahkan segenap tenaga di tangan kiri untuk mendorong tubuh Yu Canghai hingga terbanting jauh di tanah. Namun bersama itu pula, Lin Pingzhi juga menjerit kesakitan. Rupanya pipi kanannya telah berlubang dengan darah bercucuran. Jelas sepotong daging pipinya telah tergigit mentah-mentah oleh Yu Canghai.
Mu Gaofeng sudah mati sejak tadi, namun ia tetap memeluk kencang kedua kaki Lin Pingzhi. Sambil meraba-raba Lin Pingzhi mengayunkan pedangnya untuk memotong kedua lengan si bungkuk. Dengan cara itu barulah ia berhasil melepaskan diri.
Melihat keadaan Lin Pingzhi yang menyeramkan itu, tanpa sadar Ren Yingying melangkah mundur. Sementara itu murid-murid Perguruan Qingcheng beramai-ramai mendekati Yu Canghai untuk memberi pertolongan tanpa menghiraukan musuh lagi. Namun kemudian terdengar suara mereka menangis sambil berteriak-teriak, "Guru, Guru, jangan tinggalkan kami!"
"Guru meninggal! Guru sudah meninggal!"Lin Pingzhi tertawa terbahak-bahak dan berteriak menyeramkan, "Hahaha. Sakit hatiku telah terbalas!"
Murid-murid Perguruan Henshan ngeri melihat keadaan pemuda itu. Wajah mereka pucat pasi dengan mulut terdiam tanpa suara sedikit pun. Sementara itu perlahan-lahan Yue Lingshan mendekati suaminya dan berkata, "Adik Ping, aku mengucapkan selamat atas terbalasnya sakit hatimu."
Namun Lin Pingzhi masih saja berteriak-teriak seperti orang gila, "Sakit hatiku sudah terbalas, sakit hatiku sudah terbalas!"
Melihat sepasang mata suaminya masih terpejam, dengan suara lembut Yue Lingshan bertanya, "Bagaimana dengan kedua matamu? Air beracun ini harus dicuci."
Lin Pingzhi terdiam sejenak. Tubuhnya terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh. Segera Yue Lingshan memapah dan membawanya ke warung gubuk. Di sana ia mengambil satu panci air jernih untuk kemudian diguyurkannya ke muka Lin Pingzhi. Merasa sakit dan perih luar biasa, Lin Pingzhi pun menjerit, sampai-sampai murid-murid Perguruan Qingcheng terkejut mendengar jeritan seram itu.
"Adik Kecil," kata Linghu Chong. "Ambil obat ini untuk Adik Lin, dan bawa dia ke dalam kereta kami untuk beristirahat."
"Terima... terima kasih banyak," jawab Yue Lingshan.
"Tidak perlu, tidak perlu!" sahut Lin Pingzhi tiba-tiba. "Orang bermarga Lin mau mati atau hidup ada sangkut paut apa dengan dia?"
Linghu Chong tercengang. Ia berpikir, "Apa salahku padamu? Mengapa kau begitu benci padaku?"
Dengan suara lembut Yue Lingshan berusaha membujuk sang suami, "Obat luka Perguruan Henshan terkenal sangat mujarab. Kalau…"
"Kalau apa?" bentak Lin Pingzhi gusar.
Yue Lingshan menghela napas. Kembali ia mengguyur perlahan muka Lin Pingzhi. Kali ini Lin Pingzhi hanya menyeringai untuk menahan sakit. Ia tidak menjerit lagi, tapi segera berkata, "Huh, kau selalu menyebut-nyebut kebaikannya. Dia memang sangat memerhatikan dirimu. Lantas, kenapa kau tidak ikut saja dengannya? Untuk apa kau masih mengurusi aku?"
Kata-kata Lin Pingzhi ini benar-benar mengejutkan murid-murid Perguruan Henshan sehingga mereka saling pandang dengan mulut ternganga. Yihe yang paling berangasan segera memaki dengan suara keras, "Kau... kau benar-benar tidak tahu malu!"
Lekas-lekas Yiqing menarik lengan baju Yihe, "Kakak, jangan melayaninya. Dia hanya sedang kesakitan. Perasaannya sedang terganggu."
"Cih!" seru Yihe. "Aku tidak terima..."
Sementara itu Yue Lingshan mengeluarkan saputangan untuk mengusap luka di pipi Lin Pingzhi. Di luar dugaan, tangan kanan Lin Pingzhi malah mendorong dengan kuat sehingga Yue Lingshan yang tidak berjaga-jaga itu pun jatuh terbanting.
Linghu Chong menjadi gusar dan membentak, "Kenapa kau…." tapi segera teringat olehnya bahwa Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sudah menikah. Tidak pantas orang luar ikut campur pertengkaran dua orang suami-istri, apalagi kata-kata Lin Pingzhi tadi jelas terkesan cemburu kepadanya. Bahwa dirinya menaruh cinta kepada sang adik kecil tentu diketahui dengan jelas oleh Lin Pingzhi. Maka itu ia pun terdiam tanpa suara sementara tubuhnya gemetar menahan amarah.
Lin Pingzhi kemudian tertawa dan menanggapi perkataan Yihe tadi, "Hm, kau bilang aku tidak tahu malu? Sesungguhnya siapa yang tidak tahu malu?" Kemudian ia menunjuk keluar dan melanjutkan, "Si pendek Yu dan si bungkuk Mu itu yang tidak tahu malu. Lantaran ingin menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami, dengan segala cara mereka berusaha mendesak dan mencelakai ayah-ibuku. Meski cara mereka cukup keji namun mereka masih terhitung bersikap jantan. Tidak seperti... tidak seperti..." ia kemudian menunjuk ke arah Yue Lingshan, dan melanjutkan, "Tidak seperti ayahmu yang bernama Yue Buqun alias si Pedang Budiman. Dia telah menggunakan caranya yang rendah dan licik untuk merebut kitab pusaka keluarga Lin kami."
Saat itu Yue Lingshan sedang merangkak bangun. Begitu mendengar ucapan Lin Pingzhi itu, badannya langsung gemetar dan kembali jatuh terduduk. Dengan terputus-putus ia menjawab, "Mana… mana mungkin begitu?"
"Huh, dasar perempuan hina!" ejek Lin Pingzhi. "Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing diriku. Nona Yue putri ketua Perguruan Huashan sudi menikah dengan anak sebatang kara yang tidak punya tempat tinggal lagi. Untuk apa tujuannya kalau bukan demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami? Dan sekarang setelah kitab pusaka itu didapatkan, lalu untuk apalagi kau mengurusi aku?"
Yue Lingshan menangis keras dengan perasaan pilu. Ia meratap, "Kau… kau jangan memfitnah orang yang tak bersalah. Jika benar seperti itu tujuanku sebagaimana yang kau tuduhkan, biarlah aku di… dikutuk dan mati tak terkubur."
"Huh, dengan licik kalian memasang perangkap. Semula aku masih tidak menyadarinya," lanjut Lin Pingzhi. "Tapi sekarang setelah kedua mataku buta, tiba-tiba hatiku dapat melihat dengan jelas. Coba katakan, kalau kalian ayah dan anak tidak punya maksud dan tujuan tertentu, kenapa… kenapa..."
Yue Lingshan bangkit dan berjalan perlahan-lahan sambil berkata, "Sudahlah, jangan menuruti pikiran liarmu. Sedikit pun perasaanku kepadamu tidak berubah dari dahulu hingga sekarang."
"Huh," sahut Lin Pingzhi hanya mendengus.
Yue Lingshan kembali berkata, "Marilah kita pulang ke Huashan untuk merawat lukamu. Entah matamu akan sembuh atau tidak, sikapku tak akan pernah berubah. Bila aku, Yue Lingshan, menyimpan maksud buruk, biarlah kematianku lebih mengenaskan daripada Yu Canghai ini."
Lin Pingzhi menjawab, "Aku tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan atas diriku. Kau tidak perlu bicara manis lagi di depanku."
Yue Lingshan tidak menjawab. Ia lantas berkata kepada Ren Yingying, "Kakak, bolehkah aku meminjam salah satu kereta kalian?"
"Tentu saja boleh," sahut Ren Yingying. "Apakah perlu satu-dua kakak dari Perguruan Henshan untuk mengawal perjalanan kalian?"
"Tidak… tidak usah," jawab Yue Lingshan dengan tersedu-sedu. "Terima kasih banyak."
Ren Yingying lantas menarik sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Yue Lingshan.
"Mari kita naik ke atas kereta ini!" ujar Yue Lingshan sambil perlahan-lahan memapah bahu Lin Pingzhi.
Lin Pingzhi terlihat malas. Namun kedua matanya tidak bisa melihat lagi, setiap langkah perjalanannya pun akan menjadi susah. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia pun naik juga ke atas kereta itu.
Segera Yue Lingshan melompat ke tempat duduk kusir. Setelah mengangguk kepada Ren Yingying, ia pun melecutkan cambuk dan menjalankan kereta itu ke arah barat. Sedikit pun ia tidak melirik ke arah Linghu Chong.
Linghu Chong sendiri terus memandang tanpa berkedip mengikuti kepergian kereta itu yang semakin lama semakin jauh. Ia termangu-mangu dengan perasaan pilu, air mata pun berlinang-linang di kelopak matanya. Dalam hati ia berpikir, "Kedua mata Adik Lin sudah buta, Adik Kecil pun terluka. Dalam keadaan begitu apakah mereka takkan mengalami gangguan di tengah jalan? Jika sampai mereka dikejar oleh murid-murid Perguruan Qingcheng, apakah mereka mampu melawan?"
Dilihatnya murid-murid Qingcheng telah membenahi jenazah Yu Canghai dan mengangkutnya di atas punggung kuda. Mereka lantas berangkat menuju arah selatan. Meskipun arahnya berlainan dengan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, namun tak ada jaminan mereka tidak akan berputar haluan di tengah jalan untuk kemudian mengejar pasangan itu.
Linghu Chong mencoba menyelami pertengkaran Lin Pingzhi dan Yue Lingshan tadi. Ia merasa dalam hubungan suami-istri itu tentu terdapat berbagai rahasia yang sulit diketahui orang luar. Yang jelas, hubungan mereka tidak mesra seperti dulu lagi. Sang adik kecil masih muda belia dan disayang oleh kedua orang tuanya laksana mutiara, juga para saudara seperguruan sangat hormat dan menghargainya. Namun kini ia harus mendapat siksaan lahir batin dari suami sendiri. Membayangkan itu semua tanpa terasa Linghu Chong menjadi sedih dan mencucurkan air mata
Rombongan Perguruan Henshan pun melanjutkan perjalanan. Setelah mencapai belasan li mereka bermalam di sebuah kuil tua. Linghu Chong baru bisa tertidur setelah lewat tengah malam. Akan tetapi beberapa kali ia terbangun akibat mimpi buruk. Dalam keadaan setengah sadar tiba-tiba telinganya mendengar suara lembut berbisik kepadanya, "Kakak Chong! Kakak Chong!"
Linghu Chong pun terbangun. Ternyata itu adalah suara Ren Yingying yang memanggilnya, "Mari keluar, ada yang ingin kubicarakan." Yang digunakan Ren Yingying adalah ilmu menyalurkan suara. Meskipun ia berada jauh di sana, namun suaranya terdengar jelas di telinga lawan bicaranya.
Segera Linghu Chong bangkit dan keluar kuil. Dilihatnya Ren Yingying sedang duduk di undak-undakan batu sambil bertopang dagu termenung-menung. Linghu Chong mendekati dan duduk di sebelahnya. Suasana malam itu begitu sunyi. Di sekitar mereka tiada terdengar suara sedikit pun.
Selang agak lama barulah Ren Yingying membuka suara, "Engkau mengkhawatirkan adik kecilmu, bukan?"
"Ya," sahut Linghu Chong. "Banyak persoalan yang membuatku sukar mengerti."
"Kau mengkhawatirkan dia akan diperlakukan kurang baik oleh suaminya?" sambung Ren Yingying.
Linghu Chong menghela napas, lalu menjawab, "Ini urusan suami-istri, orang lain mana boleh ikut campur?"
"Bukankah kau khawatir kalau murid-murid Perguruan Qingcheng mengejar dan mencari perkara dengan mereka?" tanya Ren Yingying.
"Orang-orang Qingcheng tentu sakit hati atas kematian guru mereka. Lagipula melihat suami-istri itu dalam keadaan terluka, kalau mereka menyusul untuk menuntut balas, rasanya bukan sesuatu yang aneh," jawab Linghu Chong lirih.
"Mengapa kau tidak mencari akal untuk menolong mereka?" desak Ren Yingying.
Kembali Linghu Chong menghela napas dan berkata, "Dari nada Adik Lin tadi, sepertinya ia agak cemburu kepadaku. Meski aku hendak menolong mereka dengan maksud baik, jangan-jangan malah membuat retak hubungan rumah tangga mereka."
"Ini hanya salah satu alasanmu," ujar Ren Yingying. "Tapi sebenarnya kau khawatir akan membuatku merasa kurang senang, betul tidak?"
Linghu Chong mengangguk, kemudian memegang tangan kiri Ren Yingying dengan erat. Telapak tangan si nona terasa sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, "Yingying, di dunia ini hanya engkau seorang satu-satunya yang kumiliki. Jika di antara kita masih timbul rasa curiga, lalu apa artinya semua ini?"
Perlahan-lahan Ren Yingying meletakkan kepalanya di atas bahu Linghu Chong, kemudian berkata, "Jika demikian perasaanmu, sungguh tidak baik kalau kita masih saling curiga? Jangan sampai terlambat. Kita harus menyusul ke sana secepatnya. Jangan sampai menimbulkan rasa penyesalan seumur hidupmu hanya karena ingin menghindari rasa curiga di antara kita."
Mendengar perkataan "menyesal seumur hidup", seketika Linghu Chong terkesiap dan seakan-akan terbayang di benaknya Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sedang dikepung oleh murid-murid Perguruan Qingcheng dengan senjata terhunus. Tanpa terasa badannya pun gemetar memikirkan hal ini.
Terdengar Ren Yingying berkata, "Akan kubangunkan Kakak Yihe dan Kakak Yiqing, dan perintahkan mereka untuk memimpin rombongan supaya pulang ke Henshan lebih dulu. Kita berdua akan mengawal perjalanan adik kecilmu secara diam-diam, baru kemudian menyusul ke Biara Awan Putih."
Setelah bangun, Yihe dan Yiqing agak khawatir juga melihat keadaan Linghu Chong yang belum benar-benar sembuh. Namun karena sang ketua sudah bertekad bulat menolong orang terpaksa mereka tidak berani banyak membantah. Keduanya pun menyediakan obat-obat luka dalam bungkusan besar dan menaruhnya di dalam kereta. Ren Yingying hanya diam mematung ketika Linghu Chong berpamitan kepada dua murid tertua itu. Ia membayangkan Yihe dan Yiqing pasti menertawakan kepergiannya bersama Linghu Chong malam-malam dalam satu kereta. Setelah cukup jauh meninggalkan kuil tua itu, barulah Ren Yingying menghembuskan napas panjang dengan wajah bersemu merah.
Ren Yingying ternyata mampu membedakan arah dengan baik. Begitu menemukan sebuah jalan raya menuju ke arah barat laut, ia langsung memacu kereta sekencang-kencangnya menyusuri jalur itu. Ia paham kalau jalan raya tersebut adalah satu-satunya jalur menuju ke Gunung Huashan dan tidak mungkin salah arah. Kereta yang mereka tumpangi ditarik oleh empat ekor keledai yang kuat, sehingga ada kemungkinan besar bisa menyusul kereta Lin Pingzhi dan Yue Lingshan. Di tengah malam yang sunyi itu hanya terdengar suara derap kaki keledai dan keriat-keriut roda kereta.
Linghu Chong termangu-mangu menyaksikan Ren Yingying mengemudikan kereta. Ia merenung, "Demi diriku, segalanya ia mau melakukan. Jelas-jelas ia mengetahui kalau aku mengkhawatirkan Adik Kecil, namun ia tidak tersinggung, malah mengajakku berangkat menyusul. Ia dapat memahami perasaanku dengan baik. Entah dalam kehidupan sebelumnya ada hubungan apa di antara kami berdua? Wahai Linghu Chong, betapa beruntung dan bahagianya dirimu mendapatkan istri cantik dan berbudi seperti ini."
Ren Yingying melarikan kereta keledai itu dengan sangat cepat. Berapa li kemudian tiba-tiba ia memperlambat laju kereta, dan berkata, "Kita berusaha melindungi adik kecilmu secara diam-diam. Menurutku yang paling baik adalah kita menyamar saja."
"Benar, kau bisa menyamar sebagai si gemuk berewok lagi," sahut Linghu Chong.
"Tidak, penyamaranku yang itu tentu sudah diketahui oleh adik kecilmu ketika di Panggung Pemujaan tempo hari," jawab Ren Yingying.
"Lantas, bagaimana kita harus menyamar?" tanya Linghu Chong.
"Kau tunggu sebentar di sini," ujar Ren Yingying. Kemudian cambuknya menunjuk sebuah rumah petani di depan sana dan ia berkata, "Aku akan mencuri pakaian di rumah itu, dan kita akan menyamar sebagai pasangan... pasangan... pasangan petani kakak beradik." Sebenarnya ia hendak mengatakan "pasangan petani suami-istri" namun hatinya merasa kurang pantas sehingga segera mencari kata-kata yang lain.
Linghu Chong yang cerdik tentu saja mengetahui hal itu. Sebenarnya ia hendak bercanda untuk meledek si nona namun membayangkan gadis itu pasti sedang malu maka ia hanya tersenyum saja. Meski demikian, kebetulan Ren Yingying sedang menoleh dan melihat senyuman itu sehingga wajahnya pun bersemu merah.
"Apanya yang lucu?" sahutnya kemudian.
"Tidak... tidak..." jawab Linghu Chong, "aku hanya berpikir seandainya di rumah itu tidak ada anak perempuan, dan yang menghuni di sana ternyata seorang pemuda dan neneknya, tentu aku harus memanggilmu ‘nenek’ lagi."
Ren Yingying hanya tertawa kecil membayangkan masa-masa awal pertemuan mereka dulu. Dadanya terasa hangat tiap kali teringat saat Linghu Chong mengira dirinya seorang nenek tua. Tanpa bicara ia pun melompat turun dari kereta dan berlari menuju rumah yang menjadi sasarannya. Dengan mudah ia melompati pagar rumah itu, menyusul kemudian terdengar suara anjing menggonggong. Namun hanya sekali saja lantas sepi kembali, sepertinya binatang itu telah dilumpuhkan oleh si nona.
Tidak lama kemudian Ren Yingying telah kembali dengan membawa satu bungkus pakaian. Ia melompat ke dalam kereta dan tertawa setelah menaruh bungkusan itu di sampingnya. Linghu Chong penasaran dan memeriksa isi bungkusan itu, yang ternyata berupa pakaian petani suami-istri. Di bawah sinar rembulan dapat terlihat kalau keduanya adalah pakaian petani tua yang sudah ketinggalan zaman. Apalagi pakaian si wanita tampak sangat longgar dan bermotif bunga-bunga. Selain mencuri pakaian, Ren Yingying juga mengambil topi petani dan ikat kepala perempuan, serta sebatang pipa cangklong.
Ren Yingying masih saja tertawa keras, "Hahaha. Kau benar-benar manusia setengah dewa. Tebakanmu memang benar. Di sana tidak ada pakaian anak gadis, yang ada hanya pakaian nenek tua. Tapi... tapi di sana juga tidak ada pakaian pemuda..." Entah mengapa ia tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Linghu Chong tersenyum menanggapi, "Jadi, penghuni rumah itu benar-benar pasangan petani tua kakak beradik. Yang laki-laki tidak mau menikah, begitu pula dengan yang wanita. Keduanya tetap melajang sampai usia tujuh puluhan, dan tetap hidup bersama."
Ren Yingying tersenyum simpul menjawab, "Tidak seperti itu."
"Jadi mereka bukan kakak beradik? Aneh sekali," ujar Linghu Chong pura-pura bingung.
Ren Yingying masih saja tertawa dan segera mengambil pakaian perempuan dan mengenakannya di belakang kereta. Kemudian dengan kedua tangan ia mengusapkan debu pada mukanya sendiri. Setelah itu barulah ia kembali ke dalam kereta untuk membantu Linghu Chong menyamar.
Jarak mereka berdua hanya beberapa senti saja. Napas Ren Yingying terasa berhembus perlahan, membuat hati Linghu Chong berdebar-debar dan mabuk kepayang. Sungguh, ia ingin sekali memeluk gadis itu dan menciumnya. Namun begitu teringat sifat Ren Yingying yang pemalu dan sangat keras, sedikit pun ia tidak berani memenuhi hasratnya. Kalau sampai membuat si nona marah, tentu akibatnya sangat sukar dibayangkan. Karena itu ia pun berusaha menahan diri sebisanya.
Ternyata kilatan sinar mata Linghu Chong yang aneh itu dapat diketahui oleh Ren Yingying. Dengan tersenyum ia mengusap muka pemuda itu dengan kotoran tanah sambil berkata, "Anak baik, kalau seperti ini barulah Nenek sayang padamu!"
Linghu Chong memejamkan mata menikmati usapan tangan Ren Yingying yang halus itu. Dadanya terasa hangat dan perasannya begitu nyaman. Sungguh ia berharap si nona akan terus mengusap-usap wajahnya tanpa berhenti.
Sejenak kemudian Ren Yingying pun berkata, "Selesai sudah. Adik kecilmu tak akan mengenalmu lagi di tengah malam seperti ini, asalkan kau tidak membuka suara."
"Usapkan debu di leherku juga," ujar Linghu Chong kemudian.
"Untuk apa? Memangnya siapa yang akan mengenali lehermu?" jawab Ren Yingying. Karena memahami maksud nakal Linghu Chong, ia pun mengetuk perlahan dahi pemuda itu dan kembali duduk di tempat kusir. Dengan bersiul ia menjalankan keretanya kembali. Sepanjang jalan gadis itu tiada henti-hentinya tertawa terpingkal-pingkal, membuat Linghu Chong merasa penasaran.
"Memangnya ada kejadian lucu di rumah petani itu?" tanya Linghu Chong kemudian.
"Aku tidak melihat sesuatu yang lucu," jawab Ren Yingying. "Hanya saja kedua petani yang tinggal di sana itu adalah suami istri yang sudah tua."
"O, jadi mereka bukan kakak beradik?" sahut Linghu Chong tersenyum.
"Kau menggodaku. Aku tidak mau bicara lagi," ujar Ren Yingying.
"Baiklah, baiklah, mereka bukan suami-istri, tapi kakak beradik," sahut Linghu Chong.
"Berhentilah menggoda," kata Ren Yingying. "Tadi setelah aku melompati pagar, segera seekor anjing menerjangku. Terpaksa aku memukul binatang itu sampai pingsan. Namun suara gonggongan anjing itu telah membuat petani kakek-nenek itu terbangun. Terdengar si nenek berkata, ‘Bapaknya Amao, coba kau lihat, jangan-jangan ada pencuri ayam.’ Lalu si kakek menjawab, ‘Ah, Si Hitam sudah diam, mana mungkin ada pencuri!’ Tiba-tiba si nenek tertawa dan berkata, ‘Mungkin pencuri itu meniru caramu dulu. Saat tengah malam kau mengendap-endap ke rumahku sambil membawa sepotong daging untuk menyuap anjingku.’"
"Huh, nenek itu memang brengsek. Dia berani menyebutmu sebagai pencuri ayam," ujar Linghu Chong dengan tertawa. Karena sifat Ren Yingying sangat pemalu, maka ia sengaja berpura-pura tidak tahu bahwa kedua suami-istri petani itu sedang mengisahkan urusan asmara mereka di masa lalu. Dengan demikian Ren Yingying akan terus bercerita. Kalau sedikit saja Linghu Chong menyinggung perasaannya, tentu gadis itu tidak mau berbicara lagi.
Ternyata Ren Yingying justru menjelaskan sambil tertawa, "Maksud nenek itu adalah kejadian sebelum mereka menikah…." sampai di sini tiba-tiba ia menegakkan tubuhnya dan mencambuk keledai agar kereta berjalan lebih cepat.
"Kejadian sebelum mereka menikah?" sahut Linghu Chong menegas. "Pasti kelakuan mereka berdua sangat baik. Sekalipun mereka berduaan dalam kereta di tengah malam gelap, tentu mereka juga tidak berani saling peluk dan berciuman."
"Huh!" sahut Ren Yingying mendengus, kemudian tidak berbicara lagi.
Linghu Chong tersenyum dan berkata, "Wahai adik manis, adik sayang, apa lagi yang mereka katakan? Tolong kau kembali bercerita!"
Namun Ren Yingying tetap saja diam. Di tengah malam yang sunyi itu hanya terdengar suara derap kaki keledai yang berlari kencang.(Bersambung)
Bagian 72 ; Bagian 73 ; Bagian 74
Menyaksikan itu Linghu Chong termenung, "Keluarganya adalah pemilik Biro Pengawalan Fuwei, sudah tentu sejak kecil ia dibesarkan dalam lingkungan kaya raya. Sekian lamanya ia hidup menderita di dunia persilatan, dan kini setelah mendapatkan kepandaian, sungguh pantas kalau ia kembali menikmati kekayaan seperti dulu lagi."
Kemudian tampak Lin Pingzhi mengeluarkan selembar saputangan dari kain sutra berwarna putih bersih. Dengan gaya anggun dan lembut ia mengusap wajahnya pelan-pelan, serta mengibaskan lengan bajunya. Tingkah lakunya bagaikan seorang pemain sandiwara yang memerankan tokoh perempuan muda yang cantik.
Setelah mengambil tempat duduk, dengan acuh tak acuh Lin Pingzhi menyapa, "Saudara Linghu, bagaimana keadaanmu?"
"Baik-baik saja," sahut Linghu Chong sambil mengangguk.
Lin Pingzhi lantas berpaling ke arah musuh-musuhnya. Dilihatnya seorang murid Perguruan Qingcheng sedang menuangkan teh hangat ke dalam cawan Yu Canghai. Tiba-tiba ia menegur dengan suara keras, "Hai, kau ini bernama Yu Renhao, bukan? Dulu sewaktu terjadi pembantaian di rumahku, kau ikut terlibat di sana. Huh, meskipun tubuhmu hancur menjadi abu juga aku tetap mengenalmu."
Yu Renhao memang terlibat pembantaian para pegawai Biro Pengawalan Fuwei di kantor pusat Kota Fuzhou. Ia juga yang telah menangkap ayah-ibu Lin Pingzhi bersama Fang Renzhi dan Jia Renda. Kedua rekannya itu telah tewas tadi malam. Begitu mendengar teguran Lin Pingzhi, ia langsung meletakkan poci teh di atas meja dengan keras, kemudian berbalik dan mundur dua langkah sambil memegangi gagang pedang yang tergantung di pinggangnya. "Aku memang Yu Renhao, kau mau apa?" Walaupun jawabannya kasar, namun suaranya terdengar agak gemetar dan mukanya pucat pula.
Lin Pingzhi tersenyum dan berkata, "Ying Xiong Hao Jie, empat kesatria muda Perguruan Qingcheng. Kau ini yang nomor tiga, tapi sama sekali tidak memancarkan pesona kesatria. Hehe, sungguh menggelikan."
Ying Xiong Hao Jie adalah singkatan dari nama keempat murid terhebat Perguruan Qingcheng. Mereka adalah Hou Renying, Hong Renxiong, Yu Renhao, dan Luo Renjie. Di antara mereka, satu orang telah tewas dibunuh Linghu Chong saat di Kota Hengshan dahulu, yaitu Luo Renjie, sementara tiga yang lainnya saat ini berada di samping Yu Canghai.
Kembali Lin Pingzhi mengejek, "Saudara Linghu itu pernah menyebut kalian sebagai empat binatang bodoh dari Qingcheng. Padahal kalau menurut penilaianku, hehe, kalian bahkan lebih buruk daripada binatang."
Yu Renhao bertambah gusar. Wajahnya merah membara sementara tangannya semakin erat memegang gagang pedang, namun tidak juga melolos keluar senjatanya itu.
Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara derap kaki kuda berlari. Tampak dua ekor kuda datang dengan sangat cepat. Sesampainya di depan gubuk, seorang penunggang yang berada di depan lantas menghentikan kudanya. Begitu semua orang berpaling, segera saja ada yang bersuara kaget. Ternyata penunggang kuda yang berada di depan itu seorang bungkuk bertubuh gemuk pendek. Ia tidak lain adalah Mu Gaofeng, si Bungkuk dari Utara. Sungguh tidak disangka-sangka, penunggang kuda yang satunya ternyata Yue Lingshan.
Melihat Yue Lingshan datang, seketika dada Linghu Chong terasa hangat dan hatinya senang. Namun dilihatnya kedua tangan adik kecilnya itu tampak ditelikung ke belakang, dan tali kendali kudanya juga dipegang oleh Mu Gaofeng. Jelas ia telah tertangkap dan ditawan oleh pendekar bungkuk itu. Segera Linghu Chong bermaksud turun tangan, namun lantas terpikir olehnya, "Suaminya berada di sini, untuk apa orang luar seperti aku harus bertindak? Jika suaminya sudah tidak peduli barulah nanti aku mencari akal guna menolongnya."
Namun sebaliknya, Lin Pingzhi ternyata senang bukan kepalang melihat kedatangan Mu Gaofeng. Ia berkata dalam hati, "Orang bungkuk ini ikut bertanggung jawab atas kematian ayah-ibuku. Sungguh tidak kusangka hari ini dia datang sendiri mengantar nyawa ke sini. Langit memang mahaadil."
Sementara itu Mu Gaofeng ternyata tidak mengenali Lin Pingzhi. Dahulu mereka memang pernah bertemu di Kota Hengshan, tapi waktu itu Lin Pingzhi menyamar sebagai seor ang bungkuk dengan wajah buruk rupa. Selanjutnya Mu Gaofeng menemukan kalau bungkuk tersebut adalah palsu, namun tetap saja ia tidak mengetahui wajah asli Lin Pingzhi.
Mu Gaofeng lantas berpaling kepada Yue Lingshan dan berkata, "Mengingat ada teman sebanyak ini berkumpul di sini, seharusnya kita berhenti juga untuk minum teh. Tapi kakekmu ini sedang ada urusan penting. Untuk itu, marilah kita berangkat saja." Diam-diam ia merasa gentar melihat orang-orang Perguruan Henshan dan Qingcheng. Daripada mereka turun tangan menolong Yue Lingshan, tentu lebih baik ia segera menyingkir pergi. Maka ia pun membentak hendak melarikan kudanya kembali.
Rupanya kemarin sewaktu Yue Lingshan terluka dan ingin kembali ke Gunung Songshan untuk bergabung dengan ayah-ibunya, di tengah jalan ia bertemu Mu Gaofeng. Si bungkuk ini menyimpan dendam kepada Yue Buqun yang telah mengalahkannya saat adu tenaga dalam di Kota Hengshan dulu. Kemudian didengarnya pula bahwa putra Lin Zhennan telah bergabung dengan Perguruan Huashan, serta menjadi menantu Yue Buqun. Oleh karena itu, ia pun menyimpulkan Kitab Pedang Penakluk Iblis pasti jatuh ke tangan Yue Buqun.
Dalam acara penggabungan Serikat Pedang Lima Gunung ia tidak mendapat undangan dari Zuo Lengchan karena sifatnya yang buruk membuat dirinya tidak disukai oleh orang-orang kelima perguruan tersebut. Hal ini membuat Mu Gaofeng sangat gusar dan merasa direndahkan. Diam-diam ia datang dan bersembunyi di sekitar Gunung Songshan untuk mengganggu orang-orang kelima perguruan yang turun gunung. Apabila yang lewat seorang guru atau murid angkatan tua, ia memilih bersembunyi. Sebaliknya jika yang melintas adalah murid-murid muda, ia bermaksud menghajar mereka sebagai pelampiasan kebencian. Akan tetapi setelah acara berakhir, orang-orang kelima perguruan turun gunung dalam kelompok-kelompok berjumlah puluhan atau ratusan, sehingga si bungkuk ini tidak bisa berbuat apa-apa.
Maka sungguh tepat ketika ia melihat Yue Lingshan berkuda sendirian menuju ke atas Gunung Songshan. Meskipun ilmu silat nyonya muda ini maju pesat, namun ia tetap bukan tandingan Mu Gaofeng. Apalagi ia sendiri baru saja terluka dan langsung disergap secara tiba-tiba oleh si bungkuk itu.
Yue Lingshan pun menggertaknya dengan mengatakan bahwa dirinya adalah putri Yue Buqun. Di luar dugaan, Mu Gaofeng justru bertambah senang. Otaknya langsung melahirkan rencana hendak menyembunyikan dan menyandera Yue Lingshan untuk ditukar dengan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Tak disangka di tengah jalan ia malah bertemu orang-orang Perguruan Qingcheng dan Henshan.
Yue Lingshan sendiri berpikir kalau sampai dirinya dibawa lari, maka tipis sudah harapannya untuk selamat. Maka tanpa menghiraukan lukanya, ia pun sengaja menjatuhkan diri ke bawah kuda.
"Apa yang terjadi?" teriak Mu Gaofeng sambil melompat turun dari kudanya dan mencengkeram punggung nyonya muda itu.
Linghu Chong mengira tentu Lin Pingzhi takkan tinggal diam menyaksikan istrinya diganggu orang. Namun di luar dugaan ternyata Lin Pingzhi tampak tenang-tenang saja, bahkan ia mengeluarkan kipas kertas dengan gagang berwarna keemasan dari balik bajunya. Dengan gaya anggun ia mengipasi diri sendiri perlahan-lahan. Padahal saat itu baru masuk musim semi, bahkan salju di daerah utara belum mencair, jelas udara masih terasa dingin. Rupanya Lin Pingzhi sengaja memperlihatkan ketidakpeduliannya terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.
Sementara itu Yue Lingshan sudah dicengkeram bangun oleh Mu Gaofeng dan dinaikkan kembali ke atas kuda. "Hati-hati jangan sampai jatuh lagi!" ujarnya. Rupanya ia tidak tahu kalau tawanannya itu sengaja menjatuhkan diri. Ia sendiri lantas melompat ke atas punggung kuda dan hinggap tepat di atas pelana, siap untuk melaju kembali.
"Orang bermarga Mu," tiba-tiba Lin Pingzhi menyapa, "di sini ada yang mengatakan bahwa ilmu silatmu sangat rendah tak bernilai. Apakah memang demikian adanya?"
Mu Gaofeng tercengang. Ia melihat Lin Pingzhi duduk sendiri, tampaknya bukan orang Perguruan Qingcheng, juga bukan orang Perguruan Henshan. Seketika ia menjadi ragu-ragu dan kemudian bertanya, "Kau ini siapa?"
Lin Pingzhi tersenyum menjawab, "Untuk apa kau tanya diriku? Yang mengtatakan ilmu silatmu rendah jelas-jelas bukan aku."
"Siapa yang bilang?" tanya Mu Gaofeng.
Lin Pingzhi melipat kembali kipasnya dan menunjuk ke arah Yu Canghai. "Yang bilang adalah Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng ini. Baru-baru ini dia telah menyaksikan suatu jurus ilmu pedang yang mahahebat di dunia. Kalau tidak salah namanya Jurus Pedang Penakluk Iblis."
Begitu mendengar nama "Jurus Pedang Penakluk Iblis", seketika semangat Mu Gaofeng langsung menyala. Diliriknya Yu Canghai, tampak ketua Perguruan Qingcheng itu sedang termenung-menung sambil memegangi sebuah cawan teh. Terhadap apa yang diucapkan Lin Pingzhi tadi ia seperti tidak mendengar.
Seketika Mu Gaofeng menjadi ragu-ragu dan bertanya, "Hai, Yu Pendek, selamat untukmu yang beruntung dapat menyaksikan permainan Jurus Pedang Penakluk Iblis. Apa yang kau lihat bukan jurus palsu?"
"Bukan palsu," jawab Yu Canghai. "Aku memang telah menyaksikannya sejurus demi sejurus dari awal sampai akhir."
Mu Gaofeng terkejut bercampur senang. Dengan cepat ia melompat turun dari kudanya dan duduk di samping meja Yu Canghai lalu bertanya, "Kabarnya kitab pedang itu telah jatuh ke tangan Yue Buqun dari Perguruan Huashan. Lantas bagaimana kau bisa melihat ilmu pedang itu?"
"Yang kulihat bukan kitab pedang, tapi orang yang benar-benar mahir memainkan jurus tersebut," sahut Yu Canghai.
"O, ternyata demikian," ujar Mu Gaofeng. "Tapi Jurus Pedang Penakluk Iblis ada yang asli dan ada yang palsu. Misalnya keluarga Lin dari Biro Pengawalan Fuwei di Fuzhou juga pernah mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, tapi siapa yang melihatnya pasti akan rontok gigi karena terlalu banyak tertawa. Ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata sangat menggelikan. Sekarang ilmu pedang yang kau lihat itu tentu yang asli."
"Aku sendiri juga tidak tahu apakah asli atau palsu. Yang jelas orang yang mahir ilmu pedang ini adalah keturunan Biro Pengawalan Fuwei dari Fuzhou juga," jawab Yu Canghai.
Mu Gaofeng bergelak tawa menjawab, "Hahaha. Percuma kau menjadi guru besar suatu aliran persilatan, sampai-sampai suatu ilmu pedang asli atau palsu kau tidak bisa membedakan. Bukankah Lin Zhennan dari Biro Pengawalan Fuwei itu sudah tewas di tanganmu?"
"Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dimainkannya itu asli atau palsu memang aku tidak bisa membedakannya," jawab Yu Canghai. "Pendekar Mu lebih pandai dan berpengalaman, tentu dapat membedakannya."
Mu Gaofeng sadar pendeta pendek di depannya ini terhitung tokoh papan atas di dunia persilatan, baik itu soal kepandaian ataupun wawasannya. Kini ia berkata demikian jelas mengandung maksud yang dalam. Maka itu Mu Gaofeng hanya menyeringai sambil memandang ke sekeliling. Dilihatnya semua orang sedang memandang ke arahnya dengan sikap yang aneh seakan-akan dirinya telah salah bicara. Maka dengan ragu-ragu terpaksa ia berkata, "Kalau aku dapat melihatnya sendiri, tentu dapat kubedakan yang asli dan yang palsu."
"Kalau Pendekar Mu ingin melihat, aku rasa tidak susah. Orang yang mahir memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis itu justru berada di sini," kata Yu Canghai.
Seketika Mu Gaofeng terkesiap. Sorot matanya kembali menatap orang-orang di sekelilingnya. Dilihatnya Lin Pingzhi bersikap paling tak acuh. Segera ia pun bertanya, "Apakah pemuda ini yang kau maksud?"
"Hebat, sungguh hebat! Aku sangat kagum dengan pandangan Pendekar Mu yang tajam. Sekali pandang saja langsung tahu," kata Yu Canghai.
Baru sekarang Mu Gaofeng mengamat-amati Lin Pingzhi dari ujung kaki sampai kepala. Dilihatnya penampilan Lin Pingzhi sangat mewah, seperti dandanan seorang putra keluarga hartawan. Ia berpikir, "Ucapan Yu Pendek itu tentu mengandung suatu tipu muslihat. Untuk apa aku terlibat dalam perselisihan mereka? Paling baik aku lekas-lekas berangkat saja. Asalkan Nona Yue ini tetap berada di bawah cengkeramanku, mustahil Yue Buqun takkan menebusnya dengan kitab pedang yang kuinginkan itu."
Maka dengan tertawa ia pun berkata, "Hahaha, Yu Pendek, rupanya kau memang suka bercanda denganku. Tapi hari ini Si Bungkuk sedang ada urusan lain, terpaksa aku mohon diri dahulu. Tentang Jurus Pedang Penakluk Iblis itu apakah benar asli atau palsu tidak penting bagi Si Bungkuk. Nah, sampai berjumpa lagi." Usai berkata, sekali loncat tahu-tahu ia sudah berada kembali di atas punggung kudanya. Meski bungkuk dan gemuk pula, tapi gerakannya itu sangat gesit dan cepat.
Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang serasa kabur. Sepertinya mereka melihat Lin Pingzhi melesat dan menghadang di depan kuda Mu Gaofeng, namun segera mereka melihat pemuda itu sedang berkipas-kipas dan duduk tenang di bangkunya seperti tidak pernah ke mana-mana. Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Mu Gaofeng menggertak agar kudanya cepat berlari.
Namun bagi tokoh-tokoh papan atas seperti Linghu Chong, Ren Yingying, dan Yu Canghai dengan jelas mereka dapat melihat Lin Pingzhi telah menjulurkan tangannya mencolok dua kali ke arah kuda Mu Gaofeng. Tentu ia telah melukukan sesuatu terhadap hewan kendaraan si bungkuk itu.
Benar juga, baru saja Mu Gaofeng melarikan kudanya beberapa langkah, tiba-tiba hewan itu menubruk tiang gubuk. Karena tumbukan yang keras itu, setengah gubuk pun menjadi ambruk. Dengan cepat Yu Canghai melompat keluar, sementara kepala Linghu Chong, Lin Pingzhi, dan beberapa orang lainnya penuh teruruk oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Zheng E membersihkan kepala Linghu Chong, sementara Lin Pingzhi hanya memandang tajam ke arah Mu Gaofeng tanpa berkata sedikit pun. Sejenak orang bungkuk itu ragu-ragu lalu melompat turun dari kudanya sambil melepaskan tali kendali. Kudanya lantas berlari lagi ke depan, tapi segera menumbuk batang pohon. Terdengar kuda itu meringkik panjang dan kemudian roboh terkapar dengan kepala berlumuran darah. Begitu aneh kelakuan kuda itu, ternyata kedua matanya sudah buta karena dikerjai Lin Pingzhi dengan kecepatan luar biasa tadi.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi melipat kipasnya dan membersihkan rumput kering yang berserakan di atas pundaknya, lalu berkata, "Orang buta menunggang kuda picak, sungguh berbahaya."
Mu Gaofeng bergelak tawa dan berkata, "Sombong benar kau bocah! Ternyata kepandaianmu boleh juga. Yu Pendek bilang kau mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis, coba kau tunjukkan kepadaku." Kudanya dibuat buta, tetapi ia tidak gusar, sebaliknya malah tertawa. Sungguh harus diakui kesabaran orang bungkuk ini memang hebat.
"Ya, aku memang hendak memperlihatkannya kepadamu," sahut Lin Pingzhi. "Dahulu demi untuk mendapatkan ilmu pedang keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa kejahatanmu rasanya tidak lebih rendah daripada Yu Canghai itu."
Mu Gaofeng termangu-mangu. Sungguh tidak diduga olehnya bahwa pemuda berpenampilan mewah ini ternyata putra Lin Zhennan. Diam-diam ia pun menimbang, "Bocah ini berani terang-terangan menantang diriku, tentu ada sesuatu yang ia andalkan. Serikat Pedang Lima Gunung sekarang telah digabung menjadi satu. Kawanan biksuni dari Perguruan Henshan ini sudah pasti menjadi bala bantuannya. Hm, Nona Yue adalah istri bocah ini. Selama perempuan ini ada di tanganku, dia bisa apa?"
Mendadak tangannya pun berbalik untuk mencengkeram ke arah Yue Lingshan. Tak disangka cengkeramannya tidak mengenai sasaran, sebaliknya ia merasa ada angin menderu menyambar dari belakang. Sepertinya ada pedang seseorang telah menebas ke arahnya. Segera Mu Gaofeng mengelak ke samping. Ternyata si penyerang itu tidak lain Yue Lingshan sendiri.
Rupanya Ren Yingying telah memotong tali pengikat Yue Lingshan dan membuka totokan pada tubuhnya. Karena masih kesemutan berhubung tertotok cukup lama, juga lukanya masih terasa sakit, maka setelah tebasannya itu, Yue Lingshan tidak melancarkan serangan kedua meskipun dalam hati merasa sangat gemas.
Terdengar Lin Pingzhi mendengus, "Huh, sebagai tokoh persilatan yang ternama, perbuatanmu sungguh tidak tahu malu. Sekarang jika kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak dan menyembah tiga kali padaku sambil memanggil ‘kakek’ tiga kali pula. Dengan demikian akan kuberi kau kesempatan hidup setahun lagi. Setahun kemudian aku akan mencarimu lagi untuk menagih nyawamu, bagaimana?"
Kembali Mu Gaofeng tertawa, "Hahaha. Dasar bocah kurang ajar! Dahulu di rumah Liu Zhengfeng di Kota Hengshan kau menyamar sebagai pemuda bungkuk dan menyembah tiga kali kepadaku, serta memanggilku ‘kakek’. Kau juga memohon untuk menjadi muridku. Namun karena aku tidak berminat, maka kau mengabdi pada si tua Yue dan menjadi menantunya pula, bukan begitu?"
Lin Pingzhi diam tidak menjawab. Matanya berkilat-kilat penuh amarah, namun bibirnya tersenyum gembira. Ia kemudian melipat kembali kipasnya dan kemudian melangkah ke arah Mu Gaofeng. Sambil berjalan tangan kanannya mengebas membersihkan rumput kering yang mengotori bajunya. Begitu bergerak seketika bau harum pun semakin menyengat tajam.
Tiba-tiba terdengar dua jeritan ngeri. Dua orang murid Qingcheng tampak pucat pasi. Mereka tidak lain adalah Yu Renhao dan Ji Rentong. Sekejap kemudian keduanya roboh dengan dada bersimbah darah. Keadaan begitu tegang. Orang-orang yang lain tanpa sadar ikut menjerit karena terkejut. Jelas-jelas mereka melihat Lin Pingzhi berjalan tenang ke arah Mu Gaofeng. Namun entah bagaimana ia bisa mencabut pedang dan membunuh dua lawan sekaligus, kemudian menyarungkan kembali pedangnya dalam beberapa detik saja.
Boleh dikata hanya Linghu Chong, Yu Canghai, dan Ren Yingying saja yang bisa melihat berkelebatnya pedang Lin Pingzhi, sementara yang lain hanya melihat seberkas cahaya saja. Jangankan melihatnya menyerang, bahkan melihat bagaimana ia mencabut pedang saja mereka tidak mampu. Kontan orang-orang itu semakin kagum sekaligus ngeri pula.
Menyaksikan itu Linghu Chong termenung, "Dahulu untuk menghadapi Tian Boguang saja aku sudah merasa kesulitan. Namun setelah mempelajari Sembilan Jurus Pedang Dugu kecepatan golok Tian Boguang dapat kuimbangi dengan kecepatan mataku. Namun menghadapi kecepatan Lin Pingzhi ini, mungkin Tian Boguang hanya sanggup bertahan tiga jurus saja. Lantas, bagaimana denganku? Berapa jurus aku sanggup bertahan menghadapi kecepatan pedang Lin Pingzhi?" Berpikir demikian membuat keringat dingin membasahi tangannya.
Tampak Mu Gaofeng mencabut pedangnya yang berbentuk melengkung. Seorang bungkuk bersenjata pedang bengkok. Menghadapi Lin Pingzhi yang semakin mendekat itu, Mu Gaofeng pun menunduk rendah. Dasar tubuhnya bulat dan bungkuk, kini mukanya sampai-sampai hampir menyentuh tanah. Tiba-tiba ia meraung seperti serigala, lantas menyeruduk ke depan. Pedangnya yang bengkok itu kemudian menyambar ke pinggang Lin Pingzhi.
Cepat sekali Lin Pingzhi melolos pedangnya dan kemudian menusuk ke arah dada musuh. Serangannya lebih belakangan, tapi tiba lebih dulu pada sasaran. Kembali Mu Gaofeng meraung, tubuhnya lantas melompat ke arah lain. Ternyata bajunya sudah berlubang di bagian dada sehingga terlihat bulu dadanya yang lebat.
Serangan Lin Pingzhi itu kalau agak maju dua-tiga senti lagi, dada Mu Gaofeng pasti sudah berlubang. Semua orang sampai berseru kaget dan tercengang melihatnya.
Meskipun baru saja lolos dari maut, Mu Gaofeng tetap saja ganas dan sedikit pun tidak gentar. Berulang-ulang ia meraung dan kembali menubruk maju. Kembali Lin Pingzhi melancarkan tiga serangan kilat, disusul terdengar suara senjata beradu cukup nyaring. Rupanya serangan-serangan ini dapat ditangkis oleh si bungkuk.
Lin Pingzhi tertawa dingin. Pedangnya semakin cepat bergerak. Berkali-kali Mu Gaofeng terpaksa melompat ke atas dan mendekam ke bawah. Pedangnya yang bengkok itu diputar sedemikian cepatnya sehingga berwujud seperti jaringan sinar perak.
Setiap kali pedang Lin Pingzhi menusuk masuk ke dalam jaringan sinar pedang itu, dan terkadang membentur pedang lawan, seketika tangannya terasa kesemutan. Jelas tenaga dalam si bungkuk jauh lebih kuat daripada dirinya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi pedangnya akan tergetar lepas. Karena itu Lin Pingzhi tidak berani gegabah lagi. Ia berusaha mengincar lubang kelemahan musuh untuk kemudian melancarkan serangan maut.Mu Gaofeng sendiri tidak peduli dengan serangan-serangan musuhnya. Ia hanya memusatkan perhatian untuk memutar pedang bengkok sekencang-kencangnya. Semua anggota tubuhnya terlindungi oleh jaringan sinar pedang tersebut dan sedikit pun tidak memperlihatkan lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Lin Pingzhi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan demikian sebenarnya justru menempatkan Lin Pingzhi pada posisi yang menguntungkan. Sekalipun ia belum dapat menjatuhkan lawan, namun Mu Gaofeng sendiri jelas tidak mampu melakukan serangan.
Linghu Chong dan yang lain dapat menilai, asalkan sedikit saja Mu Gaofeng bermaksud menyerang, tentu jaringan sinar pedangnya akan terbuka dan itu berarti peluang bagi Lin Pingzhi untuk melakukan serangan kilat. Jika hal itu terjadi, maka sukar bagi Mu Gaofeng untuk menangkis.
Pertahanan rapat Mu Gaofeng dengan cara memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya sangat membuang banyak tenaga dalam. Karena hanya dengan kekuatan penuh jaringan sinar pedang dapat digunakan sebagai perlindungan tubuh bagai air terjun yang mengucur deras tanpa henti. Namun sekuat apapun tenaga dalam seorang pesilat, pasti akan habis juga jika terus-menerus dikerahkan seperti itu.
Di tengah jaringan sinar pedangnya yang rapat itu Mu Gaofeng masih juga meraung-raung tanpa berhenti, membuat ia terlihat semakin ganas. Pedangnya menebas berputar di atas dan di bawah tubuh. Beberapa kali Lin Pingzhi bermaksud membobol jaringan sinar pedang itu, tapi selalu saja tertangkis oleh pedang lawan yang bengkok tersebut.
Sekian lamanya Yu Canghai mengikuti pertarungan ini sampai akhirnya ia bisa melihat jaringan sinar pedang si bungkuk mulai menipis, pertanda Mu Gaofeng sudah mulai kehabisan tenaga dalam. Tanpa pikir lagi, ia pun bersuit nyaring lantas menerjang maju. Tiga kali ia melancarkan serangan dengan cepat ke arah titik-titik mematikan di punggung Lin Pingzhi. Segera Lin Pingzhi memutar pedangnya untuk menangkis ke belakang. Pada saat itulah Mu Gaofeng mengayunkan pedangnya untuk menebas kaki lawan.
Kalau menurut tatakrama dunia persilatan, dua tokoh berpengalaman seperti Yu Canghai dan Mu Gaofeng mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau, sungguh ini suatu perbuatan yang memalukan. Namun orang-orang Perguruan Henshan telah menyaksikan sendiri betapa sakti ilmu silat Lin Pingzhi dalam membunuh murid-murid Perguruan Qingcheng, sehingga melihat pertempuran dua lawan satu itu mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar. Justru kalau kedua tokoh itu tidak bergabung, bagaimana mungkin ilmu pedang Lin Pingzhi yang sangat hebat itu bisa dilayani?
Setelah Yu Canghai turun tangan, Mu Gaofeng pun mengubah gerak pedangnya untuk bertahan dan menyerang sekaligus. Melihat itu Lin Pingzhi justru menjadi senang. Setelah berlalu sekitar dua puluh jurus, tiba-tiba kipas di tangan kirinya ikut bergerak. Gagang kipas yang berwarna keemasan itu berbalik lantas menusuk ke depan dengan kecepatan luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas tersebut menonjol keluar sebatang jarum tajam dan kemudian tepat menusuk titik Huantiao di paha kanan Mu Gaofeng.
Mu Gaofeng terkejut. Segera pedangnya menebas, namun tetap kalah cepat dibanding gerakan Lin Pingzhi. Akibat tusukan itu kini kakinya terasa kesemutan. Ia tidak berani lagi sembarangan bergerak, hanya pedangnya yang masih saja berputar kencang melindungi tubuh. Lambat laun kedua kaki si bungkuk terasa lemas. Tak kuasa lagi menahan diri, ia pun jatuh bertekuk lutut.
"Hahaha. Akhirnya baru sekarang kau mau menyembah padaku…." sahut Lin Pingzhi bergelak tawa sambil menangkis serangan Yu Canghai, kemudian menyambung, "Namun sudah terlambat!" Sambil berkata demikian ia kembali menangkis serangan musuh dan seketika balas menyerang satu kali.
Meski kedua kaki Mu Gaofeng tidak bisa digerakkan lagi, namun pedang bengkoknya masih tetap digunakan untuk menyerang tanpa henti. Rupanya ia sadar bahwa kekalahannya sudah dapat dipastikan. Maka setiap jurus serangannya kini dilancarkan secara nekad. Jika tadi ia hanya bertahan tanpa menyerang sedikit pun, sekarang ganti menyerang tanpa bertahan sedikit pun. Ia sudah tidak memikirkan keselamatan jiwanya lagi. Jika memungkinkan ia siap gugur bersama musuh.
Yu Canghai sendiri juga menyadari keadaan gawat tersebut. Jika ia tidak bisa segera mengalahkan Lin Pingzhi, maka sekali Mu Gaofeng roboh, tentu dirinya akan tertinggal sendiri dan menjadi sasaran empuk kehebatan pedang pemuda itu. Maka, pendeta pendek tersebut semakin gencar dalam melancarkan serangan. Namun tiba-tiba terdengar Lin Pingzhi tertawa panjang. Sekejap kemudian Yu Canghai merasa pandangannya menjadi gelap, matanya tidak bisa melihat apa-apa lagi. Menyusul kemudian kedua bahunya juga terasa dingin. Ternyata kedua lengannya telah terpotong dan berpisah dengan tubuhnya.
Terdengar Lin Pingzhi tertawa menyeramkan, "Hahahaha. Aku takkan membunuhmu. Biar kau kubuat buta dan buntung saja. Biar kau mengembara di dunia sebatang kara. Murid-muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh semua sehingga di dunia ini hanya tinggal musuh-musuhmu saja yang tersisa."
Yu Canghai merasakan kedua lengannya yang buntung itu sungguh sakit luar biasa. Baginya, perlakuan Lin Pingzhi ini jauh lebih kejam daripada sekali tusuk membuatnya mati. Dalam keadaan cacad seperti ini tiada artinya lagi hidup di dunia, dan hanya menjadi bahan olok-olok kaum persilatan lainnya. Karena berpikir demikian, ia menjadi kalap. Dengan memerhatikan arah suara Lin Pingzhi, ia pun menyeruduk musuhnya itu.
Lin Pingzhi terbahak-bahak sambil menghindar ke samping. Tak disangka, karena terlalu senang ia menjadi lengah. Tanpa sadar gerakannya itu justru mendekati tempat Mu Gaofeng bertekuk lutut. Tentu saja Mu Gaofeng tidak membuang-buang kesempatan emas tersebut. Ia pun mengayunkan pedang sekuat tenaga, namun Lin Pingzhi masih dapat menangkis dan membuat pedang bengkoknya itu terlempar. Akan tetapi, Mu Gaofeng semakin nekad. Karena jaraknya yang cukup dekat, ia pun berhasil memeluk kedua kaki Lin Pingzhi sekencang-kencangnya.
Lin Pingzhi sangat terkejut dibuatnya. Tampak murid-murid Perguruan Qingcheng serentak memburu maju pula. Ia pun meronta sekuat tenaga untuk membebaskan diri dari pelukan Mu Gaofeng. Namun kedua lengan si bungkuk terasa sangat kuat bagaikan baja. Tanpa pikir panjang, Lin Pingzhi pun menusuk tepat di punggung Mu Gaofeng.
Tiba-tiba muncul air hitam menyembur dari punggung si bungkuk. Baunya sungguh bacin memuakkan. Lin Pingzhi yang sangat terkejut menjejakkan kedua kakinya hendak melompat pergi guna menghindari semprotan air tersebut. Namun ia lupa bahwa kedua kakinya masih dipeluk sekuat tenaga oleh Mu Gaofeng. Maka, tanpa ampun lagi mukanya pun basah tersiram oleh air hitam itu. Sungguh perih rasanya tidak terbayangkan, sampai-sampai pemuda itu menjerit kesakitan.
Rupanya air hitam berbau bacin itu mengandung racun yang sangat menyakitkan. Sungguh tidak disangka Mu Gaofeng ternyata menyimpan kantong berisi air beracun di atas punggungnya yang bungkuk sebagai senjata rahasia. Lin Pingzhi mengusap wajahnya yang kesakitan itu dengan tangan kiri. Kedua matanya pun sukar dibuka lagi. Hanya tangan kanannya yang berulang-ulang menusuk tubuh Mu Gaofeng. Tusukan-tusukan Lin Pingzhi ini sangat cepat luar biasa. Mu Gaofeng sama sekali tidak sempat untuk menghindar, dan pada dasarnya ia memang bertekad mati bersama musuh. Maka itu, ia pun semakin kencang memeluk kedua kaki Lin Pingzhi.
Pada saat itulah, Yu Canghai dapat menemukan di mana lawan berada, yaitu dengan merasakan arah suara Lin Pingzhi yang menjerit kesakitan. Tanpa ampun ia pun menubruk maju. Karena kedua lengannya sudah buntung, ia pun menggunakan mulut untuk menggigit, dan tepat pipi kanan Lin Pingzhi menjadi sasarannya. Ketiga orang itu bergumul dalam keadaan kalap. Lambat laun ketiganya mulai kehilangan kesadaran. Serentak murid-murid Perguruan Qingcheng memburu maju untuk ikut menyerang Lin Pingzhi.
Pertempuran sengit ini dapat diikuti Linghu Chong dengan jelas dari dalam kereta. Ia merasa prihatin menyaksikan keadaan mereka bertiga yang mengenaskan itu. Namun begitu melihat murid-murid Perguruan Qingcheng telah memburu maju, tanpa pikir panjang ia pun berseru, "Yingying, tolong kau bantu Adik Lin!"
Tanpa menjawab Ren Yingying langsung menerjang secepat kilat. Dengan pedang pendek di tangan ia berhasil memukul mundur murid-murid Perguruan Qingcheng itu
Terdengar suara raungan Mu Gaofeng sudah mulai reda, sementara pedang Lin Pingzhi masih terus menikam ke punggung si bungkuk lagi dan lagi. Sekujur badan Yu Canghai sendiri penuh berlumuran darah namun ia tetap menggigit pipi Lin Pingzhi dan tidak mau melepaskannya.
Tidak lama kemudian, Lin Pingzhi pun mengerahkan segenap tenaga di tangan kiri untuk mendorong tubuh Yu Canghai hingga terbanting jauh di tanah. Namun bersama itu pula, Lin Pingzhi juga menjerit kesakitan. Rupanya pipi kanannya telah berlubang dengan darah bercucuran. Jelas sepotong daging pipinya telah tergigit mentah-mentah oleh Yu Canghai.
Mu Gaofeng sudah mati sejak tadi, namun ia tetap memeluk kencang kedua kaki Lin Pingzhi. Sambil meraba-raba Lin Pingzhi mengayunkan pedangnya untuk memotong kedua lengan si bungkuk. Dengan cara itu barulah ia berhasil melepaskan diri.
Melihat keadaan Lin Pingzhi yang menyeramkan itu, tanpa sadar Ren Yingying melangkah mundur. Sementara itu murid-murid Perguruan Qingcheng beramai-ramai mendekati Yu Canghai untuk memberi pertolongan tanpa menghiraukan musuh lagi. Namun kemudian terdengar suara mereka menangis sambil berteriak-teriak, "Guru, Guru, jangan tinggalkan kami!"
"Guru meninggal! Guru sudah meninggal!"Lin Pingzhi tertawa terbahak-bahak dan berteriak menyeramkan, "Hahaha. Sakit hatiku telah terbalas!"
Murid-murid Perguruan Henshan ngeri melihat keadaan pemuda itu. Wajah mereka pucat pasi dengan mulut terdiam tanpa suara sedikit pun. Sementara itu perlahan-lahan Yue Lingshan mendekati suaminya dan berkata, "Adik Ping, aku mengucapkan selamat atas terbalasnya sakit hatimu."
Namun Lin Pingzhi masih saja berteriak-teriak seperti orang gila, "Sakit hatiku sudah terbalas, sakit hatiku sudah terbalas!"
Melihat sepasang mata suaminya masih terpejam, dengan suara lembut Yue Lingshan bertanya, "Bagaimana dengan kedua matamu? Air beracun ini harus dicuci."
Lin Pingzhi terdiam sejenak. Tubuhnya terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh. Segera Yue Lingshan memapah dan membawanya ke warung gubuk. Di sana ia mengambil satu panci air jernih untuk kemudian diguyurkannya ke muka Lin Pingzhi. Merasa sakit dan perih luar biasa, Lin Pingzhi pun menjerit, sampai-sampai murid-murid Perguruan Qingcheng terkejut mendengar jeritan seram itu.
"Adik Kecil," kata Linghu Chong. "Ambil obat ini untuk Adik Lin, dan bawa dia ke dalam kereta kami untuk beristirahat."
"Terima... terima kasih banyak," jawab Yue Lingshan.
"Tidak perlu, tidak perlu!" sahut Lin Pingzhi tiba-tiba. "Orang bermarga Lin mau mati atau hidup ada sangkut paut apa dengan dia?"
Linghu Chong tercengang. Ia berpikir, "Apa salahku padamu? Mengapa kau begitu benci padaku?"
Dengan suara lembut Yue Lingshan berusaha membujuk sang suami, "Obat luka Perguruan Henshan terkenal sangat mujarab. Kalau…"
"Kalau apa?" bentak Lin Pingzhi gusar.
Yue Lingshan menghela napas. Kembali ia mengguyur perlahan muka Lin Pingzhi. Kali ini Lin Pingzhi hanya menyeringai untuk menahan sakit. Ia tidak menjerit lagi, tapi segera berkata, "Huh, kau selalu menyebut-nyebut kebaikannya. Dia memang sangat memerhatikan dirimu. Lantas, kenapa kau tidak ikut saja dengannya? Untuk apa kau masih mengurusi aku?"
Kata-kata Lin Pingzhi ini benar-benar mengejutkan murid-murid Perguruan Henshan sehingga mereka saling pandang dengan mulut ternganga. Yihe yang paling berangasan segera memaki dengan suara keras, "Kau... kau benar-benar tidak tahu malu!"
Lekas-lekas Yiqing menarik lengan baju Yihe, "Kakak, jangan melayaninya. Dia hanya sedang kesakitan. Perasaannya sedang terganggu."
"Cih!" seru Yihe. "Aku tidak terima..."
Sementara itu Yue Lingshan mengeluarkan saputangan untuk mengusap luka di pipi Lin Pingzhi. Di luar dugaan, tangan kanan Lin Pingzhi malah mendorong dengan kuat sehingga Yue Lingshan yang tidak berjaga-jaga itu pun jatuh terbanting.
Linghu Chong menjadi gusar dan membentak, "Kenapa kau…." tapi segera teringat olehnya bahwa Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sudah menikah. Tidak pantas orang luar ikut campur pertengkaran dua orang suami-istri, apalagi kata-kata Lin Pingzhi tadi jelas terkesan cemburu kepadanya. Bahwa dirinya menaruh cinta kepada sang adik kecil tentu diketahui dengan jelas oleh Lin Pingzhi. Maka itu ia pun terdiam tanpa suara sementara tubuhnya gemetar menahan amarah.
Lin Pingzhi kemudian tertawa dan menanggapi perkataan Yihe tadi, "Hm, kau bilang aku tidak tahu malu? Sesungguhnya siapa yang tidak tahu malu?" Kemudian ia menunjuk keluar dan melanjutkan, "Si pendek Yu dan si bungkuk Mu itu yang tidak tahu malu. Lantaran ingin menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami, dengan segala cara mereka berusaha mendesak dan mencelakai ayah-ibuku. Meski cara mereka cukup keji namun mereka masih terhitung bersikap jantan. Tidak seperti... tidak seperti..." ia kemudian menunjuk ke arah Yue Lingshan, dan melanjutkan, "Tidak seperti ayahmu yang bernama Yue Buqun alias si Pedang Budiman. Dia telah menggunakan caranya yang rendah dan licik untuk merebut kitab pusaka keluarga Lin kami."
Saat itu Yue Lingshan sedang merangkak bangun. Begitu mendengar ucapan Lin Pingzhi itu, badannya langsung gemetar dan kembali jatuh terduduk. Dengan terputus-putus ia menjawab, "Mana… mana mungkin begitu?"
"Huh, dasar perempuan hina!" ejek Lin Pingzhi. "Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing diriku. Nona Yue putri ketua Perguruan Huashan sudi menikah dengan anak sebatang kara yang tidak punya tempat tinggal lagi. Untuk apa tujuannya kalau bukan demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami? Dan sekarang setelah kitab pusaka itu didapatkan, lalu untuk apalagi kau mengurusi aku?"
Yue Lingshan menangis keras dengan perasaan pilu. Ia meratap, "Kau… kau jangan memfitnah orang yang tak bersalah. Jika benar seperti itu tujuanku sebagaimana yang kau tuduhkan, biarlah aku di… dikutuk dan mati tak terkubur."
"Huh, dengan licik kalian memasang perangkap. Semula aku masih tidak menyadarinya," lanjut Lin Pingzhi. "Tapi sekarang setelah kedua mataku buta, tiba-tiba hatiku dapat melihat dengan jelas. Coba katakan, kalau kalian ayah dan anak tidak punya maksud dan tujuan tertentu, kenapa… kenapa..."
Yue Lingshan bangkit dan berjalan perlahan-lahan sambil berkata, "Sudahlah, jangan menuruti pikiran liarmu. Sedikit pun perasaanku kepadamu tidak berubah dari dahulu hingga sekarang."
"Huh," sahut Lin Pingzhi hanya mendengus.
Yue Lingshan kembali berkata, "Marilah kita pulang ke Huashan untuk merawat lukamu. Entah matamu akan sembuh atau tidak, sikapku tak akan pernah berubah. Bila aku, Yue Lingshan, menyimpan maksud buruk, biarlah kematianku lebih mengenaskan daripada Yu Canghai ini."
Lin Pingzhi menjawab, "Aku tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan atas diriku. Kau tidak perlu bicara manis lagi di depanku."
Yue Lingshan tidak menjawab. Ia lantas berkata kepada Ren Yingying, "Kakak, bolehkah aku meminjam salah satu kereta kalian?"
"Tentu saja boleh," sahut Ren Yingying. "Apakah perlu satu-dua kakak dari Perguruan Henshan untuk mengawal perjalanan kalian?"
"Tidak… tidak usah," jawab Yue Lingshan dengan tersedu-sedu. "Terima kasih banyak."
Ren Yingying lantas menarik sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Yue Lingshan.
"Mari kita naik ke atas kereta ini!" ujar Yue Lingshan sambil perlahan-lahan memapah bahu Lin Pingzhi.
Lin Pingzhi terlihat malas. Namun kedua matanya tidak bisa melihat lagi, setiap langkah perjalanannya pun akan menjadi susah. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia pun naik juga ke atas kereta itu.
Segera Yue Lingshan melompat ke tempat duduk kusir. Setelah mengangguk kepada Ren Yingying, ia pun melecutkan cambuk dan menjalankan kereta itu ke arah barat. Sedikit pun ia tidak melirik ke arah Linghu Chong.
Linghu Chong sendiri terus memandang tanpa berkedip mengikuti kepergian kereta itu yang semakin lama semakin jauh. Ia termangu-mangu dengan perasaan pilu, air mata pun berlinang-linang di kelopak matanya. Dalam hati ia berpikir, "Kedua mata Adik Lin sudah buta, Adik Kecil pun terluka. Dalam keadaan begitu apakah mereka takkan mengalami gangguan di tengah jalan? Jika sampai mereka dikejar oleh murid-murid Perguruan Qingcheng, apakah mereka mampu melawan?"
Dilihatnya murid-murid Qingcheng telah membenahi jenazah Yu Canghai dan mengangkutnya di atas punggung kuda. Mereka lantas berangkat menuju arah selatan. Meskipun arahnya berlainan dengan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, namun tak ada jaminan mereka tidak akan berputar haluan di tengah jalan untuk kemudian mengejar pasangan itu.
Linghu Chong mencoba menyelami pertengkaran Lin Pingzhi dan Yue Lingshan tadi. Ia merasa dalam hubungan suami-istri itu tentu terdapat berbagai rahasia yang sulit diketahui orang luar. Yang jelas, hubungan mereka tidak mesra seperti dulu lagi. Sang adik kecil masih muda belia dan disayang oleh kedua orang tuanya laksana mutiara, juga para saudara seperguruan sangat hormat dan menghargainya. Namun kini ia harus mendapat siksaan lahir batin dari suami sendiri. Membayangkan itu semua tanpa terasa Linghu Chong menjadi sedih dan mencucurkan air mata
Rombongan Perguruan Henshan pun melanjutkan perjalanan. Setelah mencapai belasan li mereka bermalam di sebuah kuil tua. Linghu Chong baru bisa tertidur setelah lewat tengah malam. Akan tetapi beberapa kali ia terbangun akibat mimpi buruk. Dalam keadaan setengah sadar tiba-tiba telinganya mendengar suara lembut berbisik kepadanya, "Kakak Chong! Kakak Chong!"
Linghu Chong pun terbangun. Ternyata itu adalah suara Ren Yingying yang memanggilnya, "Mari keluar, ada yang ingin kubicarakan." Yang digunakan Ren Yingying adalah ilmu menyalurkan suara. Meskipun ia berada jauh di sana, namun suaranya terdengar jelas di telinga lawan bicaranya.
Segera Linghu Chong bangkit dan keluar kuil. Dilihatnya Ren Yingying sedang duduk di undak-undakan batu sambil bertopang dagu termenung-menung. Linghu Chong mendekati dan duduk di sebelahnya. Suasana malam itu begitu sunyi. Di sekitar mereka tiada terdengar suara sedikit pun.
Selang agak lama barulah Ren Yingying membuka suara, "Engkau mengkhawatirkan adik kecilmu, bukan?"
"Ya," sahut Linghu Chong. "Banyak persoalan yang membuatku sukar mengerti."
"Kau mengkhawatirkan dia akan diperlakukan kurang baik oleh suaminya?" sambung Ren Yingying.
Linghu Chong menghela napas, lalu menjawab, "Ini urusan suami-istri, orang lain mana boleh ikut campur?"
"Bukankah kau khawatir kalau murid-murid Perguruan Qingcheng mengejar dan mencari perkara dengan mereka?" tanya Ren Yingying.
"Orang-orang Qingcheng tentu sakit hati atas kematian guru mereka. Lagipula melihat suami-istri itu dalam keadaan terluka, kalau mereka menyusul untuk menuntut balas, rasanya bukan sesuatu yang aneh," jawab Linghu Chong lirih.
"Mengapa kau tidak mencari akal untuk menolong mereka?" desak Ren Yingying.
Kembali Linghu Chong menghela napas dan berkata, "Dari nada Adik Lin tadi, sepertinya ia agak cemburu kepadaku. Meski aku hendak menolong mereka dengan maksud baik, jangan-jangan malah membuat retak hubungan rumah tangga mereka."
"Ini hanya salah satu alasanmu," ujar Ren Yingying. "Tapi sebenarnya kau khawatir akan membuatku merasa kurang senang, betul tidak?"
Linghu Chong mengangguk, kemudian memegang tangan kiri Ren Yingying dengan erat. Telapak tangan si nona terasa sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, "Yingying, di dunia ini hanya engkau seorang satu-satunya yang kumiliki. Jika di antara kita masih timbul rasa curiga, lalu apa artinya semua ini?"
Perlahan-lahan Ren Yingying meletakkan kepalanya di atas bahu Linghu Chong, kemudian berkata, "Jika demikian perasaanmu, sungguh tidak baik kalau kita masih saling curiga? Jangan sampai terlambat. Kita harus menyusul ke sana secepatnya. Jangan sampai menimbulkan rasa penyesalan seumur hidupmu hanya karena ingin menghindari rasa curiga di antara kita."
Mendengar perkataan "menyesal seumur hidup", seketika Linghu Chong terkesiap dan seakan-akan terbayang di benaknya Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sedang dikepung oleh murid-murid Perguruan Qingcheng dengan senjata terhunus. Tanpa terasa badannya pun gemetar memikirkan hal ini.
Terdengar Ren Yingying berkata, "Akan kubangunkan Kakak Yihe dan Kakak Yiqing, dan perintahkan mereka untuk memimpin rombongan supaya pulang ke Henshan lebih dulu. Kita berdua akan mengawal perjalanan adik kecilmu secara diam-diam, baru kemudian menyusul ke Biara Awan Putih."
Setelah bangun, Yihe dan Yiqing agak khawatir juga melihat keadaan Linghu Chong yang belum benar-benar sembuh. Namun karena sang ketua sudah bertekad bulat menolong orang terpaksa mereka tidak berani banyak membantah. Keduanya pun menyediakan obat-obat luka dalam bungkusan besar dan menaruhnya di dalam kereta. Ren Yingying hanya diam mematung ketika Linghu Chong berpamitan kepada dua murid tertua itu. Ia membayangkan Yihe dan Yiqing pasti menertawakan kepergiannya bersama Linghu Chong malam-malam dalam satu kereta. Setelah cukup jauh meninggalkan kuil tua itu, barulah Ren Yingying menghembuskan napas panjang dengan wajah bersemu merah.
Ren Yingying ternyata mampu membedakan arah dengan baik. Begitu menemukan sebuah jalan raya menuju ke arah barat laut, ia langsung memacu kereta sekencang-kencangnya menyusuri jalur itu. Ia paham kalau jalan raya tersebut adalah satu-satunya jalur menuju ke Gunung Huashan dan tidak mungkin salah arah. Kereta yang mereka tumpangi ditarik oleh empat ekor keledai yang kuat, sehingga ada kemungkinan besar bisa menyusul kereta Lin Pingzhi dan Yue Lingshan. Di tengah malam yang sunyi itu hanya terdengar suara derap kaki keledai dan keriat-keriut roda kereta.
Linghu Chong termangu-mangu menyaksikan Ren Yingying mengemudikan kereta. Ia merenung, "Demi diriku, segalanya ia mau melakukan. Jelas-jelas ia mengetahui kalau aku mengkhawatirkan Adik Kecil, namun ia tidak tersinggung, malah mengajakku berangkat menyusul. Ia dapat memahami perasaanku dengan baik. Entah dalam kehidupan sebelumnya ada hubungan apa di antara kami berdua? Wahai Linghu Chong, betapa beruntung dan bahagianya dirimu mendapatkan istri cantik dan berbudi seperti ini."
Ren Yingying melarikan kereta keledai itu dengan sangat cepat. Berapa li kemudian tiba-tiba ia memperlambat laju kereta, dan berkata, "Kita berusaha melindungi adik kecilmu secara diam-diam. Menurutku yang paling baik adalah kita menyamar saja."
"Benar, kau bisa menyamar sebagai si gemuk berewok lagi," sahut Linghu Chong.
"Tidak, penyamaranku yang itu tentu sudah diketahui oleh adik kecilmu ketika di Panggung Pemujaan tempo hari," jawab Ren Yingying.
"Lantas, bagaimana kita harus menyamar?" tanya Linghu Chong.
"Kau tunggu sebentar di sini," ujar Ren Yingying. Kemudian cambuknya menunjuk sebuah rumah petani di depan sana dan ia berkata, "Aku akan mencuri pakaian di rumah itu, dan kita akan menyamar sebagai pasangan... pasangan... pasangan petani kakak beradik." Sebenarnya ia hendak mengatakan "pasangan petani suami-istri" namun hatinya merasa kurang pantas sehingga segera mencari kata-kata yang lain.
Linghu Chong yang cerdik tentu saja mengetahui hal itu. Sebenarnya ia hendak bercanda untuk meledek si nona namun membayangkan gadis itu pasti sedang malu maka ia hanya tersenyum saja. Meski demikian, kebetulan Ren Yingying sedang menoleh dan melihat senyuman itu sehingga wajahnya pun bersemu merah.
"Apanya yang lucu?" sahutnya kemudian.
"Tidak... tidak..." jawab Linghu Chong, "aku hanya berpikir seandainya di rumah itu tidak ada anak perempuan, dan yang menghuni di sana ternyata seorang pemuda dan neneknya, tentu aku harus memanggilmu ‘nenek’ lagi."
Ren Yingying hanya tertawa kecil membayangkan masa-masa awal pertemuan mereka dulu. Dadanya terasa hangat tiap kali teringat saat Linghu Chong mengira dirinya seorang nenek tua. Tanpa bicara ia pun melompat turun dari kereta dan berlari menuju rumah yang menjadi sasarannya. Dengan mudah ia melompati pagar rumah itu, menyusul kemudian terdengar suara anjing menggonggong. Namun hanya sekali saja lantas sepi kembali, sepertinya binatang itu telah dilumpuhkan oleh si nona.
Tidak lama kemudian Ren Yingying telah kembali dengan membawa satu bungkus pakaian. Ia melompat ke dalam kereta dan tertawa setelah menaruh bungkusan itu di sampingnya. Linghu Chong penasaran dan memeriksa isi bungkusan itu, yang ternyata berupa pakaian petani suami-istri. Di bawah sinar rembulan dapat terlihat kalau keduanya adalah pakaian petani tua yang sudah ketinggalan zaman. Apalagi pakaian si wanita tampak sangat longgar dan bermotif bunga-bunga. Selain mencuri pakaian, Ren Yingying juga mengambil topi petani dan ikat kepala perempuan, serta sebatang pipa cangklong.
Ren Yingying masih saja tertawa keras, "Hahaha. Kau benar-benar manusia setengah dewa. Tebakanmu memang benar. Di sana tidak ada pakaian anak gadis, yang ada hanya pakaian nenek tua. Tapi... tapi di sana juga tidak ada pakaian pemuda..." Entah mengapa ia tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Linghu Chong tersenyum menanggapi, "Jadi, penghuni rumah itu benar-benar pasangan petani tua kakak beradik. Yang laki-laki tidak mau menikah, begitu pula dengan yang wanita. Keduanya tetap melajang sampai usia tujuh puluhan, dan tetap hidup bersama."
Ren Yingying tersenyum simpul menjawab, "Tidak seperti itu."
"Jadi mereka bukan kakak beradik? Aneh sekali," ujar Linghu Chong pura-pura bingung.
Ren Yingying masih saja tertawa dan segera mengambil pakaian perempuan dan mengenakannya di belakang kereta. Kemudian dengan kedua tangan ia mengusapkan debu pada mukanya sendiri. Setelah itu barulah ia kembali ke dalam kereta untuk membantu Linghu Chong menyamar.
Jarak mereka berdua hanya beberapa senti saja. Napas Ren Yingying terasa berhembus perlahan, membuat hati Linghu Chong berdebar-debar dan mabuk kepayang. Sungguh, ia ingin sekali memeluk gadis itu dan menciumnya. Namun begitu teringat sifat Ren Yingying yang pemalu dan sangat keras, sedikit pun ia tidak berani memenuhi hasratnya. Kalau sampai membuat si nona marah, tentu akibatnya sangat sukar dibayangkan. Karena itu ia pun berusaha menahan diri sebisanya.
Ternyata kilatan sinar mata Linghu Chong yang aneh itu dapat diketahui oleh Ren Yingying. Dengan tersenyum ia mengusap muka pemuda itu dengan kotoran tanah sambil berkata, "Anak baik, kalau seperti ini barulah Nenek sayang padamu!"
Linghu Chong memejamkan mata menikmati usapan tangan Ren Yingying yang halus itu. Dadanya terasa hangat dan perasannya begitu nyaman. Sungguh ia berharap si nona akan terus mengusap-usap wajahnya tanpa berhenti.
Sejenak kemudian Ren Yingying pun berkata, "Selesai sudah. Adik kecilmu tak akan mengenalmu lagi di tengah malam seperti ini, asalkan kau tidak membuka suara."
"Usapkan debu di leherku juga," ujar Linghu Chong kemudian.
"Untuk apa? Memangnya siapa yang akan mengenali lehermu?" jawab Ren Yingying. Karena memahami maksud nakal Linghu Chong, ia pun mengetuk perlahan dahi pemuda itu dan kembali duduk di tempat kusir. Dengan bersiul ia menjalankan keretanya kembali. Sepanjang jalan gadis itu tiada henti-hentinya tertawa terpingkal-pingkal, membuat Linghu Chong merasa penasaran.
"Memangnya ada kejadian lucu di rumah petani itu?" tanya Linghu Chong kemudian.
"Aku tidak melihat sesuatu yang lucu," jawab Ren Yingying. "Hanya saja kedua petani yang tinggal di sana itu adalah suami istri yang sudah tua."
"O, jadi mereka bukan kakak beradik?" sahut Linghu Chong tersenyum.
"Kau menggodaku. Aku tidak mau bicara lagi," ujar Ren Yingying.
"Baiklah, baiklah, mereka bukan suami-istri, tapi kakak beradik," sahut Linghu Chong.
"Berhentilah menggoda," kata Ren Yingying. "Tadi setelah aku melompati pagar, segera seekor anjing menerjangku. Terpaksa aku memukul binatang itu sampai pingsan. Namun suara gonggongan anjing itu telah membuat petani kakek-nenek itu terbangun. Terdengar si nenek berkata, ‘Bapaknya Amao, coba kau lihat, jangan-jangan ada pencuri ayam.’ Lalu si kakek menjawab, ‘Ah, Si Hitam sudah diam, mana mungkin ada pencuri!’ Tiba-tiba si nenek tertawa dan berkata, ‘Mungkin pencuri itu meniru caramu dulu. Saat tengah malam kau mengendap-endap ke rumahku sambil membawa sepotong daging untuk menyuap anjingku.’"
"Huh, nenek itu memang brengsek. Dia berani menyebutmu sebagai pencuri ayam," ujar Linghu Chong dengan tertawa. Karena sifat Ren Yingying sangat pemalu, maka ia sengaja berpura-pura tidak tahu bahwa kedua suami-istri petani itu sedang mengisahkan urusan asmara mereka di masa lalu. Dengan demikian Ren Yingying akan terus bercerita. Kalau sedikit saja Linghu Chong menyinggung perasaannya, tentu gadis itu tidak mau berbicara lagi.
Ternyata Ren Yingying justru menjelaskan sambil tertawa, "Maksud nenek itu adalah kejadian sebelum mereka menikah…." sampai di sini tiba-tiba ia menegakkan tubuhnya dan mencambuk keledai agar kereta berjalan lebih cepat.
"Kejadian sebelum mereka menikah?" sahut Linghu Chong menegas. "Pasti kelakuan mereka berdua sangat baik. Sekalipun mereka berduaan dalam kereta di tengah malam gelap, tentu mereka juga tidak berani saling peluk dan berciuman."
"Huh!" sahut Ren Yingying mendengus, kemudian tidak berbicara lagi.
Linghu Chong tersenyum dan berkata, "Wahai adik manis, adik sayang, apa lagi yang mereka katakan? Tolong kau kembali bercerita!"
Namun Ren Yingying tetap saja diam. Di tengah malam yang sunyi itu hanya terdengar suara derap kaki keledai yang berlari kencang.(Bersambung)
Bagian 72 ; Bagian 73 ; Bagian 74