Bagian 56 - Terkurung di Biara Shaolin

“Ketua Linghu, kita harus membalas sakit hati kedua biksuni,” kata Lao Touzi. “Keledai-keledai gundul dari Shaolin ini telah lari semua. Mari kita bakar saja biara ini supaya rata dengan tanah!”
Terdorong rasa gusar, tanpa pikir panjang Linghu Chong menjawab, “Benar! Bakar saja biara ini menjadi puing!”
“Jangan! Jangan!” sahut Ji Wushi segera mencegah. “Kita belum menemukan Putri Suci. Jika Beliau masih terkurung di dalam biara ini bisa-bisa akan ikut terbakar.”
Seketika Linghu Chong sadar atas kekeliruannya. Keringat dingin mengalir di tubuhmya, dan ia pun berkata, “Ya, aku memang bodoh dan kasar. Aku bingung. Jika tidak diperingatkan Saudara Ji, tentu urusan ini bisa runyam. Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Lingkungan biara Shaolin ini terdiri dari beratus-ratus ruangan,” jawab Ji Wushi. “Kalau cuma kita berlima saja tentu sukar menyelidikinya secara merata. Maka itu, mohon Ketua memberi perintah untuk memanggil dua ratus kawan kita untuk masuk ke sini ikut menggeledah.”
Linghu Chong berkata, “Baiklah, Saudara Ji tolong sampaikan perintahku ini!”
Ji Wushi mengiakan kemudian melangkah keluar. Zu Qianqiu sempat berseru kepadanya, “Jangan sekali-kali membiarkan Enam Dewa Lembah Persik ikut masuk ke sini!”
Sementara itu Linghu Chong telah mengangkat jenazah kedua biksuni dan menempatkannya di atas dipan samadi. Ia menghormat beberapa kali sambil berdoa dalam hati, “Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membalas sakit hati kedua Biksuni dan menjaga dengan baik Perguruan Henshan. Beristirahatlah dengan tenang di alam dewata, bersama arwah leluhur Henshan lainnya.”
Ia lalu bangkit dan memeriksa jenazah kedua biksuni itu, namun tidak menemukan suatu luka pun di atas tubuh mereka. Noda darah juga tidak terdapat sama sekali. Untuk membuka pakaian kedua biksuni ia merasa tidak mungkin. Maka, ia pun menyimpulkan bahwa mereka pasti terkena pukulan dahsyat dari seorang sesepuh biara Shaolin dan meninggal karena luka dalam yang sangat parah.
Sementara itu terdengar suara ramai dua ratus orang yang telah dibawa Ji Wushi masuk ke dalam biara untuk mencari keberadaan Ren Yingying ke segala pelosok. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru di luar, “Linghu Chong melarang kita masuk, tapi kita justru akan masuk. Huh, coba dia bisa berbuat apa?” Suara tersebut tidak lain berasal dari Dewa Ranting Persik. Linghu Chong hanya mengerutkan dahi, pura-pura tidak mendengar.
Terdengar kemudian Dewa Dahan Persik berkata, “Kita datang ke biara Shaolin yang termasyhur di seluruh dunia ini, bukan sekadar untuk jalan-jalan. Bagaimana dia bisa memperlakukan kita sedemikian tidak adil?”
Dewa Daun Persik menyahut, “Dan kalau sudah masuk tapi tidak bertemu biksu-biksu Shaolin, tentu sangat tidak adil.”
Dewa Ranting Persik ikut berkata, “Dan kalau sudah bertemu biksu-biksu Shaolin, tapi tidak mengadu ilmu silat dengan mereka, tentu jauh lebih tidak adil lagi.”
Dewa Bunga Persik menyahut, “Tapi kita tidak bertemu seorang biksu sama sekali di biara ini. Sungguh aneh.”
Dewa Buah Persik menjawab, “Tidak ada biksu seorang pun di sini, bagiku tidak terlalu aneh. Coba lihat, di sini ada dua orang biksuni! Ini jauh lebih aneh.”
Dewa Akar Persik ikut bicara, “Ada dua orang biksuni di dalam biara ini rasanya tidak terlalu aneh. Yang jauh lebih aneh, kedua biksuni itu ternyata sudah menjadi mayat.”
Begitulah, keenam orang dungu itu terus saja mengoceh tidak jelas, sambil bergegas menuju ke ruang belakang.
Linghu Chong bersama Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan Huang Boliu berjalan keluar dari kamar tersebut. Tidak lupa pintu kamar pun mereka rapatkan. Terlihat para pendekar berkeliaran menggeledah segenap sudut biara. Tidak lama kemudian susul-menyusul orang-orang itu datang melapor bahwa tidak ditemukan seorang biksu pun, bahkan tukang kebun, tukang kayu, dan sebagainya juga tidak ditemukan. Lalu ada pula yang memberi laporan bahwa segala isi dalam biara, baik kitab-kitab maupun perabotan juga sudah disingkirkan semua. Bahkan, mangkuk dan piring juga tidak tersisa sebuah pun.
Menyusul laporan kembali datang, bahwa di dalam biara tidak tertinggal sebutir beras, garam, atau setetes minyak pun. Semuanya kosong melompong, sampai-sampai sayuran di kebun juga sudah habis dibabat.
Setiap kali mendapat laporan, perasaan Linghu Chong semakin bertambah cemas. Ia merenung, “Sedemikian rapi biarawan-biarawan Shaolin mengatur tempat ini, sampai-sampai sayuran juga tidak mereka tinggalkan setangkai pun. Jelas mereka telah lama mengetahui akan kedatangan kami. Tentunya Yingying juga telah dipindahkan ke tempat lain. Dunia seluas ini, ke mana lagi aku harus mencarinya?”
Hampir dua jam kemudian, kedua ratus orang itu telah memeriksa semua penjuru biara, bahkan satu lubang pun tidak luput dari pemeriksaan mereka. Namun tetap saja tidak ditemukan suatu benda apa pun. Di antara mereka ada juga yang merasa senang dan berkata, “Perguruan Shaolin nomor satu di dunia persilatan. Tapi begitu mendengar kedatangan kita mereka lantas lari terbirit-birit dan menghilang tak tentu arah. Ini benar-benar peristiwa yang belum pernah terjadi selama ratusan tahun sejarah mereka.”
“Kekuatan kita begini hebat, sampai-sampai Perguruan Shaolin ketakutan. Sejak hari ini orang-orang persilatan mana pun tidak berani lagi memandang rendah kepada kita,” ujar yang lain.
Namun akhirnya ada juga yang berkata, “Kita memang hebat bisa membuat para biksu Shaolin lari ketakutan. Akan tetapi bagaimana dengan nasib Putri Suci? Di mana Beliau sekarang? Kedatangan kita ini bukankah untuk menyambut pulangnya Putri Suci, dan bukan untuk mengusir para biksu?”
Mendengar ucapan ini, semuanya menjadi lesu. Beramai-ramai mereka memandang Linghu Chong untuk menantikan petunjuknya.
“Hal ini benar-benar di luar dugaan kita,” kata Linghu Chong, “siapa pun tidak akan menduga kalau biarawan-biarawan Shaolin di sini ternyata rela meninggalkan biara. Sesungguhnya aku pun merasa bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Pikiran satu orang terbatas, pikiran dua orang lebih panjang. Maka itu, aku mengharapkan usulan dan pendapat dari kalian semua.”
Huang Boliu berkata, “Menurut pendapat saya, menemukan Putri Suci lebih sulit daripada mencari biarawan-biarawan Shaolin. Jumlah lebih dari seribu. Orang sebanyak ini tentu tidak dapat bersembunyi selamanya tanpa muncul di depan umum. Asalkan kita dapat menemukan biksu-biksu itu tentu dapat memaksa mereka mengatakan di mana Putri Suci berada.”
Zu Qianqiu menyahut, “Pendapat Ketua Huang benar. Lebih baik kita duduki saja biara Shaolin ini. Mereka tidak mungkin rela biara ini jatuh ke tangan kita. Apabila biksu-biksu itu kembali ke sini untuk merebut biara dari kita, maka kita bisa menyergap mereka dan mencari tahu di mana keberadaan Putri Suci.
“Mencari tahu di mana keberadaan Putri Suci kepada mereka?” ujar seseorang. “Mana mungkin mereka mau mengatakannya kepada kita?”
Lao Touzi menyela, “Mencari tahu kepada mereka itu hanya istilah halus saja. Yang tegas adalah kita paksa mereka mengaku. Sebab itu, bila kita bertemu biarawan Shaolin, kita harus menangkapnya hidup-hidup dan jangan sampai membunuhnya. Jika kita dapat menawan sekitar sepuluh orang biksu, apakah mereka masih berani untuk tidak mengaku?”
“Tapi kalau biksu-biksu itu benar-benar kepala batu dan tidak mau mengaku, bagaimana?” tanya seorang lagi.
“Mudah sekali,” sahut Lao Touzi. “Kita bisa minta tolong Ketua Lan untuk melepaskan beberapa ekor naga sakti dan makhluk hebat lainnya di atas tubuh mereka. Coba saja, mereka bisa tahan atau tidak?”
Semua orang mengangguk setuju. Mereka paham istilah “naga sakti dan makhluk hebat lainnya” adalah ular berbisa dan serangga-serangga beracun piaraan Lan Fenghuang, ketua perempuan Partai Lima Racun yang terkenal. Begitu makhluk-makhluk berbisa itu menggerogoti daging lawan, rasanya jauh lebih menyakitkan daripada disiksa dengan alat apa pun juga.
Mendengar itu Lan Fenghuang hanya tersenyum, dan berkata, “Biksu-biksu Perguruan Shaolin sudah menjalani banyak latihan berat. Sangat mungkin mereka sukar ditaklukkan dengan naga sakti piaraanku.”
Dalam hati Linghu Chong menganggap tidak perlu menyiksa secara keji begitu. Asalkan dapat menawan biarawan-biarawan Shaolin sebanyak seratus orang, rasanya bisa ditukar dengan kebebasan Ren Yingying.
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang yang sangat nyaring, “Wah, sudah hampir seharian tidak makan dan minum, aku jadi lapar setengah mati. Celakanya, di dalam biara ini tidak ada biksu seekor pun. Kalau saja ada, hm, daging biksu panggang yang gemuk dan putih tentu enak rasanya.” Suara tersebut berasal dari seorang laki-laki berbadan tinggi besar, yaitu si Beruang Putih, salah satu dari Sepasang Beruang Gurun Utara.
Setiap orang mengetahui pasangan tersebut gemar makan daging manusia. Meskipun ucapan tadi terdengar menyeramkan, tapi mereka memaklumi karena masing-masing juga merasa lapar akibat tidak bertemu makanan atau minuman selama seharian itu.
Huang Boliu berkata, “Rupanya pihak Shaolin menggunakan siasat ‘memperkuat segalanya, membersihkan semuanya’. Mereka sengaja membuat kita tidak betah tinggal lama-lama di sini.”
Zu Qianqiu meralat ucapannya, “Memperkuat pertahanan, membersihkan semuanya.”
“Betul,” kata Huang Boliu. “Mereka sengaja membuat kita kelaparan sehingga turun gunung dan meninggalkan biara ini dengan sukarela. Huh, mereka pikir di dunia ini ada persoalan semudah itu?”
Linghu Chong bertanya, “Apakah Ketua Huang memiliki suatu rencana?”
Huang Boliu menjawab, “Kita bisa mengirim saudara-saudara kita ke bawah untuk mencari berita ke mana menghilangnya biksu-biksu Shaolin ini. Lalu kita dapat mengirim orang pula untuk berbelanja bahan makanan. Kawan-kawan yang lain berjaga di sini untuk menunggu… menunggu kelinci masuk perangkap yang dilemparkan kawanan biksu itu.” Tokoh yang satu ini memang suka menggunakan peribahasa namun sering salah bicara.
“Usulan yang bagus,” ujar Linghu Chong. “Sekarang juga silakan Ketua Huang menyampaikan perintah untuk mengirim lima ratus saudara kita yang cerdik dan berpengalaman. Sebarkan di seluruh rimba persilatan untuk mencari jejak biarawan-biarawan Shaolin itu. Mengenai persediaan bahan makanan dan lainnya juga kuserahkan kepada Ketua Huang untuk mengatur itu.”
Huang Boliu mengiakan dan segera melangkah ke luar.
“Semoga Ketua Huang bisa menangani itu semua. Kalau tidak, si Beruang Putih dan Beruang Hitam akan semakin lapar dan memakan apa pun yang mereka lihat,” kata Lan Fenghuang dengan tertawa.
“Jangan khawatir,” sahut Huang Boliu sambil tertawa pula. “Meskipun perut Sepasang Beruang Gurun Utara sudah keroncongan juga tidak mungkin berani mengganggu seujung jari Ketua Lan.”
Zu Qianqiu berkata, “Biara ini sudah tidak berpenghuni. Mohon Saudara-saudara sudi membuang sedikit tenaga lagi, tolong periksa ke segala sudut. Coba lihat kalau-kalau ada tanda yang aneh, mungkin bisa menjadi petunjuk yang menarik.”
Kedua ratus orang itu serentak mengiakan dan beramai-ramai pergi memeriksa lagi. Kali ini yang mereka cari bukan manusia, tapi suatu benda atau tempat yang mengandung tanda-tanda mencurigakan. Maka mereka pun ada yang menggali tanah, mencungkil ubin, bahkan hampir saja ada yang membongkar dinding. Hanya patung-patung Buddha saja yang tidak mereka sentuh.
Linghu Chong duduk bersimpuh di atas sebuah bantal samadi di tengah Ruang Agung Pahlawan Besar yang megah itu. Dilihatnya patung Buddha Rulai yang berwajah agung tapi menampilkan perasaan penuh welas asih dengan seksama. Ia berpikir, “Biksu Fangzheng benar-benar seorang biarawan saleh. Ia mengetahui kedatangan kami secara besar-besaran, tapi lebih suka mengorbankan nama baik Perguruan Shaolin dan tidak mau menyambut kami dengan pertempuran. Dengan begini, bencana pertumpahan darah besar-besaran dapat dihindari. Akan tetapi, mengapa mereka membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi? Sepertinya yang membunuh kedua biksuni itu adalah biarawan murtad dari Shaolin, tanpa sepengetahuan Biksu Fangzheng. Benar, aku harus tetap menghormati maksud baik Biksu Fangzheng dan tidak mengerahkan orang banyak untuk pergi menangkap biksu-biksu Shaolin dan mempersulit mereka. Tapi aku harus tetap berusaha – melaui cara lain – untuk bisa menyelamatkan Yingying.”
Tiba-tiba angin kencang bertiup masuk melalui pintu sehingga debu dupa ikut bertebaran. Linghu Chong melangkah ke depan menuju pintu masuk ruangan. Dilihatnya awan tebal memenuhi udara, angin utara pun bertiup kencang. Ia merasa sebentar lagi tentu akan turun hujan salju lebat. Benar juga, dari langit sudah mulai tampak bunga salju turun mengambang. Ia berpikir, “Hawa begini dingin. Entah Yingying memakai baju hangat atau tidak? Perguruan Shaolin mempunyai banyak orang dengan kekuatan besar. Pengaturan mereka juga sangat rapi. Sebaliknya, rombonganku hanyalah kumpulan dari orang-orang campuran yang gagah melulu. Untuk bisa menolong Yingying keluar rasanya teramat sukar.”
Dengan kedua tangan di belakang ia berjalan mondar-madir di serambi depan. Butiran salju yang bertebaran di atas kepala, muka, dan tangannya dengan cepat langsung mencair. Ia kembali merenung, “Sebelum menghembuskan napas terakhir, meski lukanya sangat parah, tapi Biksuni Dingxian masih berpikir jernih. Sedikit pun tidak terlihat kurang sadar. Tapi, mengapa ia mengharuskan aku menjabat sebagai ketua Perguruan Henshan? Padahal murid-murid perguruan ini sejak dahulu kala terdiri dari kaum wanita seluruhnya tanpa seorang laki-laki pun. Setiap pejabat ketuanya juga kaum biksuni. Seorang laki-laki seperti aku mana boleh menjadi ketua Perguruan Henshan? Kalau hal ini sampai tersiar, bisa-bisa aku akan ditertawai orang-orang persilatan. Tapi, ah, aku sudah menyanggupinya, mana boleh ingkar janji? Ya, asalkan aku berbuat menurut aturan yang lurus, peduli apa dengan tawa orang lain?” Berpikir sampai di sini, seketika semangat kepahlawanannya pun bergolak.
Tiba-tiba dari arah lereng gunung sayup-sayup terdengar suara orang menjerit-jerit. Tidak lama kemudian terdengar pula suara ribut-ribut di luar biara. Linghu Chong khawatir dan segera berlari keluar. Dilihatnya Huang Boliu sedang berlari kembali menuju biara dengan badan berlumuran darah. Di pundaknya tampak menancap sebatang anak panah. Ia berteriak, “Ketua… Ketua, musuh telah menutup jalan turun ke bawah gunung. Kali ini kita… kita benar-benar masuk perangkap sendiri.”
“Apakah mereka biarawan-biarawan Shaolin?” tanya Linghu Chong gelisah.
“Bukan biksu. Mereka dari golongan pendekar biasa,” sahut Huang Boliu. “Neneknya! Belum ada tiga li kami turun sudah disambut dengan hujan anak panah. Sekitar sepuluh orang saudara kita tewas, dan yang terluka mencapai lebih dari tujuh puluh. Mereka akan membasmi kita semua.”
Linghu Chong kemudian melihat beberapa ratus orang yang dikirim turun gunung bersama Huang Boliu tadi telah kembali dalam keadaan kocar-kacir. Yang terkena anak panah memang tidak sedikit. Seketika itu pula keadaan di luar biara menjadi kacau. Para pendekar yang gusar itu bermaksud menyerbu ke bawah gunung.
Linghu Chong bertanya, “Dari golongan mana pihak musuh yang menyerang tadi? Apakah Ketua Huang dapat membedakannya?”
“Kami tidak sempat berada di dekat mereka. Mereka langsung menghujani kami dengan anak panah secara terus menerus. Sungguh, kami tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang telah menyerang kami itu,” jawab Huang Boliu.
Zu Qianqiu berkata, “Sepertinya Perguruan Shaolin sengaja meninggalkan biara ini dengan tujuan memasang perangkap untuk menjebak kita. Mereka menggunakan siasat ‘menangkap kura-kura di dalam guci’.”
“Menangkap kura-kura di dalam guci apanya? Bagaimana kau bisa membesarkan kehebatan musuh dan menilai rendah kekuatan sendiri?” bantah si cebol tua Lao Touzi. “Kalau mau dikata, siasat musuh itu paling-paling hanya dapat disebut ‘memancing harimau masuk ke sarang sendiri’.”
“Baiklah, anggap saja benar siasat ‘memancing harimau masuk sarang’,” ujar Zu Qianqiu, “dan sekarang harimau-harimau kita ini pun sudah masuk sarangnya. Lalu, apa mau dikata? Barangkali kawanan kepala gundul itu hendak membuat kita mati kelaparan di atas Gunung Shaoshi sini.”
Si Beruang Putih menyahut, “Apa kita terima begitu saja, mati kelaparan di sini? Hayo, siapa yang berani ikut aku menerjang ke bawah, membantai bajingan-bajingan itu?”
Serentak terdengar suara ribuan orang bergemuruh mendukungnya.
“Nanti dulu!” sahut Linghu Chong mencegah. “Musuh mempersiapkan hujan panah untuk kita. Kita harus mencari jalan yang baik untuk menghadapi mereka agar tidak jatuh korban sia-sia.”
“Saya ada usul,” sela Ji Wushi. “Di dalam biara ini memang tidak ditemukan makanan, tapi ada banyak bantal alas samadi yang tidak mereka bawa. Jumlahnya mencapai ribuan.”
Kata-kata ini membuat orang-orang itu tersadar. Serentak mereka pun berseru, “Benar, kita dapat gunakan bantal-bantal itu sebagai perisai.”
Seketika beberapa ratus orang menerobos ke dalam biara dan mengusung keluar bantal-bantal tersebut.
Linghu Chong pun berseru, “Gunakan bantal ini sebagai tameng! Semuanya, mari kita menerjang ke bawah!”
“Ketua!” sahut Ji Wushi, “sesudah itu di mana lagi kita harus berkumpul dan bagaimana tindakan kita selanjutnya? Bagaimana cara kita menolong Putri Suci, juga harus diatur lebih dulu.”
“Benar,” jawab Linghu Chong. “Aku memang bodoh, segala urusan tidak bisa mengatur. Mana pantas aku tetap menjadi ketua? Aku rasa sesudah menerjang ke luar kepungan musuh, untuk sementara kita berpencar saja ke tempat masing-masing dan berusaha sendiri-sendiri mencari tahu di mana keberadan Putri Suci. Kemudian kita bisa saling memberi kabar. Setelah itu kita dapat mengatur tindakan selanjutnya.”
“Baiklah, terpaksa harus demikian,” kata Ji Wushi. Ia segera meneruskan keputusan Linghu Chong itu kepada yang lainnya.
Si Beruang Hitam menggerutu, “Keledai-keledai gundul itu sangat menyebalkan. Semuanya, mari kita bakar saja biara setan ini!” Ucapannya ini terdengar cukup aneh, karena ia sendiri seorang biksu.
Para pendekar lainnya bersorak mendukung Beruang Hitam. Namun Linghu Chong segera mencegah, “Putri Suci masih ada di tangan mereka. Setiap orang tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa merugikan keselamatan Putri Suci!”
Orang-orang itu pun mengangguk-angguk dan berseru, “Benar juga! Benar juga!”
Linghu Chong kemudian berkata pada si Kucing Malam, “Saudara Ji, bagaimana cara kita menyerbu ke bawah? Tolong diatur sekalian!”
Ji Wushi melihat Linghu Chong benar-benar tidak mempunyai bakat pemimpin, terutama pada saat menghadapi keadaan gawat demikian. Maka ia pun tidak segan-segan lagi mengambil alih perintah, “Dengarkan, kawan-kawan! Ketua memerintahkan agar kita membagi diri ke dalam delapan jurusan dan menerjang ke bawah serentak. Masing-masing kelompok menerjang turun gunung melalui jurusan utara, barat laut, barat, barat daya, selatan, tenggara, timur, dan timur laut. Yang kita harapkan hanya bisa menerjang ke luar kepungan tapi tidak perlu banyak membunuh.”
Begitulah, pembagian para pendekar itu ke dalam delapan jurusan segera dilakukan. Masing-masing kelompok jurusan terdiri hampir delapan ratus orang. Ji Wushi kembali berkata, “Jurusan selatan adalah jalan yang paling besar, tentu paling banyak pula dijaga musuh. Marilah kita mendahului menerjang melewati jalan utama ini untuk menarik perhatian musuh, sehingga kawan-kawan yang lain akan lebih leluasa menyerbu melalui jurusan lain!”
Linghu Chong mengiakan dan segera menghunus pedang tanpa membawa bantal samadi seperti para jago lainnya. Ia lantas bergerak ke bawah gunung melalui jalur selatan dengan langkah lebar. Di belakangnya tampak mengikuti Ji Wushi, Lan Fenghuang, dan lain-lain. Melihat sang ketua telah bergerak, semua orang menjadi bersemangat. Mereka berteriak-teriak dan beramai-ramai menerjang ke bawah dari delapan jurusan. Sudah tentu dalam pegunungan itu tidak terdapat delapan jalur jalan yang sebenarnya. Mula-mula mereka memang maju dalam delapan barisan. Tapi setelah bergerak turun, seluruhnya jadi tidak teratur lagi.
Linghu Chong berlari beberapa li ke bawah dan segera disambut musuh dengan serangan. Mula-mula terdengar suara gembreng berbunyi, lalu dari hutan depan berhamburan anak panah bagaikan hujan. Namun ia sudah bersiap siaga, dan segera memainkan Jurus Mematahkan Senjata Rahasia, salah satu dari Sembilan Jurus Pedang Dugu yang luar biasa itu. Pedangnya berputar cepat, semua anak panah yang menyambar dapat ditangkis jatuh. Kakinya tidak pernah berhenti, terus melangkah ke depan.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita di belakangnya. Rupanya kaki kiri dan pundak kiri Lan Fenghuang terkena panah bersamaan. Linghu Chong memutar balik dan memapah ketua Partai Lima Racun itu bangun. Ia berkata, “Kulindungi kau ke bawah!”
“Jangan khawatirkan aku! Kau sen… diri menerjanglah ke bawah, itu lebih… lebih utama!” sahut Lan Fenghuang. Sementara itu hujan panah masih terus berlangsung, tapi semuanya dapat ditangkis oleh pedang Linghu Chong. Sebaliknya, para pengikutnya satu per satu berjatuhan terkena senjata musuh tersebut.
Linghu Chong segera merangkul pinggang kiri Lan Fenghuang dan membawanya lari turun gunung. Dengan pedang di tangan kanan ia menangkis semua panah yang berhamburan ke arahnya. Lama-lama ia merasa ngeri juga melihat hujan panah memenuhi udara. Musuh-musuh yang melepaskan panah-panah tersebut memiliki ilmu silat dan tenaga dalam yang lihai. Meskipun para pengikutnya masing-masing membawa bantal samadi, namun itu tidak cukup kuat untuk menahan gempuran anak panah tersebut. Linghu Chong semakin bingung menentukan tetap melanjutkan perjalanan turun gunung, ataukah kembali ke biara.
Ji Wushi berteriak, “Ketua, panah-panah musuh ada di mana-mana. Perjalanan ke bawah tidak mungkin bisa kita lanjutkan. Saudara-saudara kita banyak yang terluka dan mati. Lebih baik kita kembali ke biara untuk menyusun rencana baru.”
Linghu Chong menyadari bahwa pihaknya saat ini telah mengalami kekalahan. Jika diteruskan tentu keadan semakin bertambah parah. Ia akhirnya berteriak keras, “Semuanya, kembalilah ke biara Shaolin! Semuanya, kembalilah ke dalam biara!” Meskipun keadaan begitu ramai oleh jeritan dan teriakan, namun suara Linghu Chong tetap saja bisa terdengar karena disertai tenaga dalam yang luar biasa. Ditambah lagi Ji Wushi, Zu Qianqiu, dan puluhan lainnya ikut berteriak-teriak melanjutkan perintahnya, “Perintah dari Ketua! Perintah dari Ketua! Semua orang segeralah kembali ke biara Shaolin! Segera kembali ke biara Shaolin!”
Maka, orang-orang itu pun kembali berjalan naik menuju ke arah biara. Sesampainya di depan bangunan mereka mencaci maki, mengutuk, dan ada pula yang merintih dan berteriak-teriak. Jalanan gunung dari sisi barat sampai timur terlihat berwarna merah oleh ceceran darah. Ji Wushi memerintahkan delapan ratus orang yang tidak terluka supaya berpencar menjadi delapan kelompok untuk menjaga delapan jalur menuju biara.
Ribuan orang yang memenuhi biara Shaolin itu terdiri dari berbagai macam golongan. Setengah di antaranya berasal dari perguruan dan perkumpulan, sehingga cukup mudah dikendalikan. Sementara itu sisanya berasal dari kaum liar, seperti para penjahat dan perampok. Begitu menderita kekalahan mereka langsung kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Linghu Chong berkata, “Semuanya, segeralah merawat saudara-saudara kita yang terluka! Beri mereka obat-obatan!” Ia terdiam sejenak kemudian bergumam sendiri, “Andai saja murid-murid Henshan ada di sini, apakah mereka akan menolong kami, ataukah berada di pihak musuh? Ah, kedua biksuni telah gugur di tangan musuh, tentu murid-murid Henshan memilih bergabung dengan kami.”
Menghadapi kegaduhan banyak orang yang terluka itu, mau tidak mau pikiran Linghu Chong ikut bingung. Kalau saja ia sendirian tentu sejak tadi sudah menerjang ke bawah. Apakah dalam penyerbuannya nanti ia akan mati atau tetap hidup bukan masalah lagi baginya. Namun sekarang ia telah diangkat menjadi pemimpin orang-orang persilatan tersebut. Jiwa ribuan jago ini tergantung kepada setiap keputusannya. Hal inilah yang membuatnya serbasusah.
Sementara itu matahari telah terbenam. Tiba-tiba dari arah bawah terdengar suara tambur bergemuruh disertai teriakan-teriakan gegap gempita. Segera Linghu Chong melolos pedang dan memburu ke ujung jalan. Para pengikutnya juga siap dengan senjata masing-masing untuk bertempur mati-matian melawan musuh. Suara tambur itu semakin lama semakin keras, tapi musuh tidak juga terlihat datang.
Selang sejenak, suara tambur mendadak berhenti serentak. Maka muncullah bermacam-macam pendapat. Ada yang mengatakan, “Suara tambur sudah berhenti, tentu mereka mulai menyerbu!” Yang lain menanggapi, “Kebetulan jika mereka berani menyerbu ke sini. Kita akan tumpahkan darah mereka hingga habis sama sekali.” Ada juga yang berkata, “Kurang ajar! Rupanya kawanan bajingan itu hendak membuat kita mati kehausan dan kelaparan di sini. Jika mereka tidak menyerbu ke sini, sekarang juga kita akan menerjang ke bawah!” Yang lain berseru, “Kalau begitu, kenapa kau masih saja berdiri di sini?”
Ji Wushi berkata lirih kepada Linghu Chong, “Kalau malam ini kita tidak bisa lolos, dan kelaparan lagi sehari semalam, tentu kita tidak akan kuat bertempur.”
“Benar,” sahut Linghu Chong. “Marilah kita pilih dua sampai tiga ratus teman yang berkepandaian tinggi sebagai pembuka jalan. Dalam kegelapan seperti ini serangan panah musuh tentu kurang jitu. Kita serbu saja ke bawah untuk mengacaukan penjagaan mereka, selanjutnya kawan-kawan yang lain ikut menerjang ke bawah.”
“Ya, terpaksa harus demikian,” ujar Ji Wushi.
Pada saat itu juga suara tambur di bawah gunung tiba-tiba kembali berbunyi. Menyusul kemudian sekitar seratus orang berpakaian serba putih menyerbu ke atas. Para pendekar menyambut serbuan itu sambil membentak-bentak. Tapi serbuan itu ternyata tidak sungguh-sungguh, hanya beberapa kali gebrak saja mereka lantas saling memberi isyarat dan mengundurkan diri ke bawah.
Baru saja para pendekar menaruh senjata, belum ada lima menit beristirahat, tiba-tiba suara tambur bergemuruh lagi. Kembali satu rombongan musuh memakai ikat kepala menyerbu ke atas. Setelah bertempur sebentar mereka pun mundur begitu saja.
Mengetahui hal ini Ji Wushi berkata, “Ketua, rupanya musuh sengaja menggunakan siasat melelahkan lawan. Mereka akan terus mengganggu istirahat kita.”
“Benar,” sahut Linghu Chong. “Silakan Saudara Ji mengatur siasat perlawanan!”
Ji Wushi segera memberikan perintah, yaitu apabila musuh menyerbu lagi ke atas, cukup dilayani para pendekar yang bertugas menjaga saja. Untuk yang lain boleh tetap beristirahat, tidak perlu menghiraukan pertempuran.
Zu Qianqiu mengajukan usul, “Saya punya akal begini, apabila musuh datang lagi dan mengundurkan diri, maka sebanyak tiga ratus orang yang sebelumnya sudah kita persiapkan supaya mengikuti mereka. Di tengah gelapnya malam, kita serang mereka secara mendadak. Musuh tidak mungkin sempat menghujani kita dengan anak panah. Nah, di tengah kekacauan itu kita semua bisa meloloskan diri.”
“Rencana bagus,” ujar Linghu Chong. “Silakan Saudara Zu memilih kawan-kawan yang dapat diandalkan! Sampaikan juga kepada yang lain, bila nanti pertahanan musuh sudah kacau supaya ikut segera menyerbu!”
Satu jam kemudian Zu Qianqiu telah selesai memilih tiga ratus pendekar terbaik di antara rombongan yang tersisa. Meskipun ribuan musuh berusaha menghadang mereka, dijamin ketiga ratus orang itu tetap bisa menerobos dan membuat kekacauan. Mereka sungguh bagaikan tiga ratus harimau lapar yang tidak takut mati. Linghu Chong kemudian berjalan didampingi Zu Qianqiu memeriksa kesiapan tiga ratus orang pilihan itu. Mereka tampak bersiaga di tebing gunung sisi barat. Ia pun berkata kepada mereka, “Saudara semua silakan beristirahat dulu! Tunggu sampai keadaan benar-benar gelap untuk menyerbu ke bawah, mengadu nyawa!” Ucapannya itu disambut sorak penuh semangat ketiga ratus jago pilihan.
Sementara itu hujan salju telah turun dengan lebatnya. Bunga salju bertebaran laksana kapas, dan membentuk lapisan tipis menutupi tanah. Kepala dan pakaian orang-orang itu juga sudah penuh berhiaskan bunga salju. Karena seharian tidak minum satu tetes pun, orang-orang itu pun menghirup salju tersebut sebagai penawar dahaga.
Cuaca semakin bertambah gelap, dan semakin pekat. Sampai-sampai, dua orang yang berhadapan saja tidak bisa saling melihat wajah. Di tengah kegelapan itu terdengar Zu Qianqiu berkata, “Untung malam ini hujan salju. Jika tidak, tentu suasana akan terang benderang oleh cahaya bulan purnama.”
Tiba-tiba keadaan menjadi sunyi senyap. Di atas gunung, di luar, maupun di dalam biara Shaolin berkumpul ribuan orang, sementara di pinggang gunung berkumpul pula golongan lurus bersih yang sedikitnya berjumlah lebih dari lima ribu orang. Namun, kedua pihak sama-sama tidak mengeluarkan suara. Hanya kadang-kadang terdengar suara-suara lirih yang aneh, mungkin suara daun atau semak rumput yang tertimpa bunga salju.
“Saat ini, entah apa yang sedang dilakukan Adik Kecil?” ujar Linghu Chong teringat kepada Yue Lingshan.
Tiba-tiba dari pinggang gunung berkumandang suara tiupan terompet, menyusul kemudian dari segenap penjuru bergemuruh suara teriakan menyerbu. Kali ini rupanya musuh sungguh-sungguh hendak menyerbu di tengah malam gelap gulita.
Linghu Chong mengacungkan pedangnya sambil berteriak, “Kita hadapi mereka!” Segera ia mendahului lari ke bawah melalui jalur paling terjal di sebelah utara, diikuti Ji Wushi, Zu Qianqiu, Tian Boguang, Sepasang Beruang Gurun Utara, serta tiga ratus jago pilihan yang telah bersiap dari tadi itu.
Setelah melewati satu li, Zu Qianqiu menyulut kembang api yang kemudian melesat dan meletus di angkasa. Semburan cahaya kembang api itu merupakan isyarat kepada para pendekar yang masih menunggu di atas supaya segera ikut menerjang ke bawah.
Tiba-tiba Linghu Chong merasa telapak kakinya kesakitan, seperti menginjak benda tajam sebangsa paku. Dengan cepat ia pun meloncat ke atas dan hinggap di atas pohon. Pada saat yang sama terdengar Zu Qianqiu dan yang lain juga berteriak kesakitan. Telapak kaki mereka juga menginjak paku lancip, bahkan ada yang sampai tertembus. Tentu sakitnya bukan kepalang. Sementara itu beberapa puluh di antara mereka nekad menerjang ke bawah tanpa menghiraukan perangkap paku yang dipasang musuh tersebut. Tapi mendadak mereka pun menjerit, karena terjerumus ke dalam lubang jebakan. Sekejap kemudian dari semak-semak pohon menjulur keluar belasan tombak menusuk ke dalam lubang itu. Seketika bergemalah suara jeritan ngeri memenuhi pegunungan tersebut.
“Lekas Ketua memberi perintah agar semuanya mundur kembali ke atas!” seru Ji Wushi.
Linghu Chong menyadari betapa rapi jebakan yang dipersiapkan musuh. Jika ia nekad meneruskan rencana, tentu korban akan semakin bertambah banyak. Maka, ia pun berseru lantang, “Semua orang mundur kembali ke biara Shaolin! Mundur semua!”
Bersamaan itu ia lantas melompat dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mendekati lubang perangkap. Dari atas ia menubruk ke bawah sambil memutar pedangnya. Kontan tiga musuh bertombak ia robohkan. Kemudian ia menjejakkan kaki di tempat bekas berdiri lawan, karena yakin di situ pasti tidak terdapat paku-paku jebakan. Menyusul pedangnya bekerja lagi. Dalam sekejap sekitar tujuh orang musuh kembali roboh. Kontan yang lainnya menjadi sangat ketakutan. Sambil berteriak-teriak mereka kabur melarikan diri.
Puluhan kawannya yang terjerumus ke dalam liang itu satu per satu lantas melompat keluar, namun belasan lainnya sudah tewas. Dalam keadaan gelap gulita tidak seorang pun yang mengetahui kalau ada lubang perangkap lagi yang dipersiapkan musuh. Maka, mereka terpaksa kembali ke atas gunung dengan kaki terpincang-pincang. Untung musuh tidak ada yang mengejar.
Sesampainya kembali di biara Shaolin, di bawah cahaya lampu mereka memeriksa luka masing-masing. Ternyata sebagian besar telapak kaki mereka berdarah, bahkan ada yang sampat tembus tercocok paku-paku tajam tersebut. Banyak yang marah-marah dan mencaci maki. Rupanya suara gemuruh tambur yang dibunyikan tadi hanya sebagai pancingan belaka agar mereka merasakan paku dan liang jebakan. Paku-paku itu panjangnya belasan senti, dua pertiga bagian ditanam di tanah, dan sepertiga sisanya menonjol di permukaan. Tajamnya bukan main. Kalau seluruh permukaan gunung dipasangi paku demikian, tentu sukar untuk meloloskan diri. Sepertinya pihak musuh telah mempersiapkan ratusan ribu paku jebakan. Linghu Chong tertegun menyadari pihak musuh ternyata sudah mempersiapkan diri menghadapi serbuan pihaknya ke biara Shaolin dengan sangat matang.
Ji Wushi menarik Linghu Chong ke samping dan berkata lirih, “Ketua, bagaimanapun juga kita sukar untuk menerjang keluar kepungan musuh. Cita-cita yang kita harapkan siang dan malam, yaitu menyelamatkan Putri Suci, tugas yang mahabesar ini terpaksa harus Ketua sendiri yang memikulnya kelak.”
“Apa… apa maksud… maksudmu ini?” sahut Linghu Chong menegas.
“Kami tahu Ketua berbudi luhur dan memiliki jiwa setia kawan sejati. Bagaimanapun juga engkau tidak sudi menyelamatkan diri sendiri dengan meninggalkan kawan-kawan di sini,” kata Ji Wushi. “Tapi kalau semuanya gugur di sini, lalu siapa yang kelak akan menuntut balas bagi kami? Siapa pula yang bertugas menyelamatkan Putri Suci dari kurungan musuh?”
“Hehe, ternyata Saudara Ji menyuruh aku melarikan diri sendiri,” Linghu Chong tertawa masam. “Sudahlah, masalah ini jangan kau sebut-sebut lagi! Kalau mau mati biarlah kita mati bersama saja. Manusia mana yang tidak akan mati? Sekarang kita mati semua, nanti Putri Suci juga akan mati di penjara musuh. Kaum lurus bersih boleh menang sekarang. Tapi kelak, entah setahun entah sepuluh tahun lagi satu per satu dari mereka juga akan mati. Soal kalah atau menang paling-paling hanya soal mati sekarang atau mati kelak saja.”
Melihat sukar membujuk sang ketua, Ji Wushi merasa tidak ada gunanya banyak bicara lagi. Tapi kalau malam gelap ini tidak berusaha lari, besok pagi bila musuh mulai menyerang secara besar-besaran tentu tidak sempat lolos lagi. Berpikir demikian, ia menghela napas panjang.
Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa beberapa orang, makin lama makin gembira suara tawa mereka itu. Padahal setelah mengalami kekalahan dan terkurung di dalam biara Shaolin, setiap orang boleh dikata sedang membayangkan bagaimana mereka akan bertemu ajal. Tapi ternyata ada juga yang sempat tertawa sedemikian gembira. Dari suara mereka itu Linghu Chong dan Ji Wushi langsung mengenali bahwa yang sedang bergembira tersebut tidak lain adalah Enam Dewa Lembah Persik. Keduanya pun berpikir, “Hanya makhluk-makhluk dungu semacam mereka inilah yang masih bisa tertawa meski kematian sudah di depan mata.”
Terdengar Dewa Ranting Persik berkata, “Hahaha, di dunia ini ternyata ada juga orang bodoh seperti kalian ini! Kaki sendiri diinjakkan pada paku. Hahahaha, sungguh menggelikan!”
“Huhuuh! Mungkin kalian kaum tolol ini sengaja ingin tahu telapak kaki kalian lebih keras daripada paku atau tidak. Hahaha! Enak ya, rasanya kaki ditembus paku?” ujar Dewa Daun Persik menambahkan.
“Kalau mau merasakan enaknya paku, bukankah lebih baik kalian memukul pakunya dengan palu dari atas tapak kaki saja? Hehehe, benar-benar lucu, hahahahah!” Dewa Bunga Persik ikut menggoda.
Begitulah, keenam bersaudara itu terus tertawa geli dengan bermacam-macam ocehan yang mencemoohkan, seakan-akan tidak ada sesuatu pun yang lebih menggelikan daripada apa yang mereka saksikan saat ini.
Padahal orang-orang yang terluka itu sedang merintih kesakitan, sebaliknya Enam Dewa Lembah Persik malah mencemooh mereka. Kontan saja mereka menjadi gusar dan mencaci maki, bahkan ada beberapa orang lantas melolos senjata hendak melabrak keenam orang tua aneh itu.
Linghu Chong khawatir urusan menjadi runyam. Maka ia pun berteriak, “Hei, hei, apa itu? Hahaha, sungguh lucu! Sungguh aneh!”
Mendengar teriakan itu, Enam Dewa Lembah Persik penasaran. Beramai-ramai mereka lari mendekat dan bertanya, “Apa yang lucu? Apa yang aneh?”
“Itu dia! Aku melihat enam ekor tikus menyeret seekor kucing dan lari ke sana!” sahut Linghu Chong.
Enam Dewa Lembah Persik menjadi senang. Mereka berseru, “Aha, tikus makan kucing! Ini sungguh luar biasa! Ke mana larinya?”
“Ke sana!” kata Linghu Chong sambil menunjuk sekenanya.
“Ayo, kita harus melihatnya ke sana!” seru Dewa Akar Persik sambil menarik tangan Linghu Chong.
Semua orang tahu bahwa apa yang dikatakan Linghu Chong itu secara tidak langsung ditujukan kepada Enam Dewa Lembah Persik. Tapi dasar orang dungu, sedikit pun mereka tidak sadar, bahkan percaya sepenuhnya. Kontan semua orang terbahak-bahak geli.
Sebaliknya Enam Dewa Lembah Persik tetap menyeret Linghu Chong berlari ke arah yang ditunjuk tadi untuk melihat “enam tikus makan kucing”.
Setibanya di ruang belakang, Linghu Chong berseru dengan tertawa, “Nah, nah! Itu dia!”
“Di mana, di mana? Kenapa aku tidak melihatnya?” Dewa Buah Persik berkaok penasaran.
Linghu Chong sengaja hendak memancing Enam Dewa Lembah Persik berpisah sejauh mungkin dari yang lain agar tidak menimbulkan masalah. Maka ia sengaja menunjuk ke sana-sini, sehingga semakin jauhlah mereka ke belakang.
Dewa Dahan Persik kemudian mendorong sebuah pintu ruang samping. Di dalamnya ternyata gelap gulita. Segera Linghu Chong berseru tertawa, “Hahahaha. Itu dia! Kucing itu telah diseret tikus-tikus itu ke dalam liang!”
“Mana ada liang? Kau jangan berbohong!” ujar Dewa Akar Persik. Ia lantas menyalakan geretan api, ternyata kamar itu kosong melompong, hanya sebuah patung Boddhisatwa tampak bersila menghadap dinding.
Dewa Akar Persik menyulut pelita minyak yang menempel di dinding, kemudian berkata, “Mana ada liang? Mari kita giring tikusnya biar keluar!” Dengan lampu itu ia memeriksa ke sekeliling kamar, tapi tidak ada sebuah liang pun yang ditemukan.
“Mungkin di belakang patung itu?” ujar Dewa Ranting Persik.
“Di belakang patung ini ada kita bertujuh. Memangnya kita ini tikus?” kata Dewa Dahan Persik.
“Patung ini menghadap dinding. Belakang patung ini adalah depannya sana,” sahut Dewa Akar Persik tidak mau menyerah.
“Sudah salah omong masih saja ngotot! Memangnya belakang sama dengan depan?” bantah Dewa Dahan Persik.
“Peduli depan atau belakang, yang penting kita singkirkan patung ini dan memeriksa sebelah sana,” kata Dewa Bunga Persik.
“Benar!” seru Dewa Daun Persik dan Dewa Buah Persik bersamaan. Mereka bertiga segera memegang patung itu lantas ditarik dan bergeser.
“Hei, jangan! Itu patung Boddhidharma!” seru Linghu Chong.
Boddhidharma adalah cikal bakal pendiri biara Shaolin, juga cikal bakal ilmu silat aliran yang termasyhur itu. Ia dahulu pernah bersamadi menghadap dinding selama sembilan tahun dan mencapai kesempurnaan. Maka itu, patung yang dipuja di dalam biara agung itu pun menghadap dinding pula.
Namun sekali Dewa Bunga Persik bertiga sudah bertindak sukar untuk dikendalikan lagi. Seruan Linghu Chong tidak mereka hiraukan, bahkan mereka masih terus menarik sekuatnya. Maka terdengarlah suara keriut yang mengilukan. Patung itu telah ditarik berputar. Tiba-tiba mereka berteriak kaget. Ternyata sepotong papan besi di depan mereka perlahan-lahan bergeser ke atas dan terdapat sebuah liang lebar di belakangnya.
“Haha, ternyata benar ada liang di sini!” seru Dewa Ranting Persik senang.
“Akan kutangkap tikus-tikus itu!” kata Dewa Akar Persik. Segera ia mendahului menerobos ke dalam lubang itu. Tentu saja Dewa Dahan Persik berlima juga tidak mau ketinggalan. Berturut-turut mereka pun ikut menyusup ke dalam.
Ternyata liang tersebut sangat luas di dalamnya. Begitu masuk keenam orang itu sekejap saja langsung lenyap, hanya terdengar suara langkah mereka terus menuju ke depan. Tapi mendadak mereka berkaok-kaok dan berlari keluar lagi.
“Di dalam teramat gelap. Entah sampai di mana ujungnya?” kata Dewa Ranting Persik.
“Kau bilang gelap. Dari mana kau tahu dalamnya sukar dijajaki?” bantah Dewa Daun Persik. “Bisa jadi beberapa langkah lagi kita akan mencapai ujungnya.”
“Jika kau tahu hampir mencapai ujungnya, kenapa kau tidak terus melangkah tadi?” sahut Dewa Ranting Persik.
“Aku hanya bilang ‘bisa jadi’ dan tidak mengatakan ‘pasti’. Bisa jadi dan pasti banyak bedanya,” jawab Dewa Daun Persik.
“Jika cuma main tebakan, buat apa banyak bicara lagi?” omel Dewa Ranting Persik.
“Sudahlah, tak perlu ribut! Lekas nyalakan obor dan coba periksa lagi ke dalam!” kata Dewa Akar Persik.
Meskipun mereka suka usil, tapi cara kerjanya cepat juga. Beramai-ramai mereka lantas mematahkan empat kaki meja dan dinyalakan sebagai obor. Seperti anak kecil saja mereka berebut obor yang cuma empat itu, lalu menyusup lagi ke dalam liang tadi.
Linghu Chong berpikir lubang itu tentu sebuah lorong rahasia di dalam biara Shaolin, sebagaimana yang ia temui di Perkampungan Buah Plum dahulu. Bisa jadi di dalam lorong itulah Ren Yingying disekap. Berpikir demikian hatinya lantas berdebar-debar dan segera ia pun ikut menyusup ke dalam.
Ternyata lorong tersebut sangat luas dan tidak lembap, hanya berbau pengap, menyesakkan napas serta memuakkan. Dengan langkah lebar sekejap saja ia sudah dapat menyusul Enam Dewa Lembah Persik. Terdengar Dewa Buah Persik sedang berkata, “Kenapa tikus-tikus itu tidak tampak? Mungkin tidak masuk ke lubang ini.”
“Jika begitu marilah kita keluar saja dan mencari ke lain tempat,” tukas Dewa Ranting Persik.
“Kita kembali nanti saja bila sudah mencapai ujung lorong ini,” ujar Dewa Dahan Persik.
Mereka melanjutkan penyusuran ke depan. Tiba-tiba sebuah tongkat samadi jatuh menimpa mereka dari atas. Dewa Bunga Persik yang berjalan paling depan, sempat melompat mundur sehingga pukulan tongkat itu meleset. Namun begitu, ia jatuh menumbuk Dewa Buah Persik yang berjalan di belakangnya. Dilihatnya seorang biksu memegang tongkat bergerak merapat ke dinding sisi kanan.
Dengan gusar ia memaki, “Keledai gundul, kau berani sembunyi di sini dan menyergap tuanmu, hah?” Bersamaan itu ia terus menubruk maju dan mencengkeram ke dinding.
Tapi mendadak dari dinding sebelah kiri kembali sebuah tongkat memukul lagi. Serangan ini telah menutup rapat jalan mundur Dewa Bunga Persik. Karena tidak bisa menghindar, terpaksa ia melompat maju. Tapi baru saja sebelah kakinya menginjak tanah, lagi-lagi sebuah tongkat menyambar dari sisi kanan.
Linghu Chong dapat melihat dengan jelas bahwa biksu yang memainkan tongkat tersebut bukan manusia asli, tapi sepasang patung besi yang bisa bergerak. Sungguh hebat kepandaian pihak Shaolin. Entah bagaimana cara menyusunnya, asalkan ada yang menginjak suatu pesawat di lantai, segera saja patung itu bergerak memukulkan tongkatnya. Bahkan, kedua patung itu bisa bergiliran maju dan mundur secara rapi.
Dewa Bunga Persik terpaksa mencabut pentungan besi di pinggangnya untuk menangkis. Tapi pentungan itu langsung bengkok dan terlepas dari tangan begitu tongkat si patung besi menyambarnya. Dewa Bunga Persik menjerit dan menjatuhkan diri ke lantai untuk kemudian menggelinding minggir. Tapi sebuah tongkat lain kembali menghantam ke arah kepalanya pula.
Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik segera melolos pentungan masing-masing dan melompat maju untuk menolong saudara mereka itu. Bersama mereka menangkis pukulan tongkat si patung besi sehingga Dewa Bunga Persik bisa menyelamatkan diri.
Tapi begitu satu pukulan selesai, kembali patung yang lain menggerakkan tongkatnya. Dewa Dahan Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Buah Persik maju bersama untuk membantu. Dengan lima pentungan mereka menandingi serangan-serangan tongkat tersebut dari dekat dinding.
Meskipun patung-patung biksu besi itu hanyalah benda mati, tapi penciptanya sungguh sangat pandai. Seandainya si pencipta bukan seorang ahli silat aliran Shaolin, bisa jadi ada biksu agung Shaolin yang memberi petunjuk-petunjuk sewaktu patung-patung besi itu dipasang. Itulah sebabnya, setiap gerakan tongkat yang terayun mencerminkan jurus-jurus yang sangat ampuh. Masih ada lagi yang luar biasa, yaitu lengan dan tongkat yang digunakan patung besi itu semuanya terbuat dari baja murni. Benda seberat beberapa ratus kati tersebut digerakkan dengan pesawat rumit, sehingga daya pukulannya pun jauh lebih kuat daripada manusia biasa.
Walaupun ilmu silat Enam Dewa Lembah Persik cukup tinggi, tapi pentungan mereka sama sekali tidak berdaya bila berbenturan dengan tongkat baja, bahkan langsung bengkok. Mereka mengeluh dan gelisah, hendak mundur saja, namun di belakang mereka ternyata sudah ada pukulan-pukulan tongkat yang terus menghantam silih berganti. Sebaliknya, setiap melangkah maju akan membuat beberapa patung biksu besi yang tadinya diam ikut bergerak.
Melihat keadaan yang gawat itu, Linghu Chong cepat bertindak. Dari serangan patung-patung besi itu ia sudah melihat adanya titik-titik kelemahan pada setiap jurus mereka. Segera pedangnya bekerjamenusuk pergelangan kedua patung besi itu. Terdengar kemudian suara nyaring dua kali. Pergelangan patung-patung itu sampai memercikkan bunga api, tapi pedangnya sendiri justru terpental balik.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan Dewa Buah Persik akibat terkena pukulan tongkat. Linghu Chong sendiri sudah cukup gelisah, kini bertambah cemas. Pedangnya bergerak lagi, kembali dua patung tertusuk, tapi tetap kokoh berdiri. Sebaliknya, sebuah tongkat tahu-tahu menyambar dari atas. Dengan perasaan cemas, Linghu Chong menghindar sambil melangkah maju. Namun, kembali sebuah tongkat memukul pula.
Linghu Chong kembali menusuk dua titik penting pada tubuh patung biksu besi itu. Namun demikian, tusukan yang sangat kuat itu hanya menggores saja. Selanjutnya, ia merasakan angin menderu di atas kepalanya. Rupanya tongkat si patung besi menyambar ke arahnya. Ia pun menghindar namun sebatang tongkat besi yang lain kembali datang menyambarnya.
Tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita. Ternyata obor-obor Enam Dewa Lembah Persik yang telah jatuh ke lantai akibat pertempuran tadi, kini telah padam semua. Padahal keistimewaan ilmu pedang Linghu Chong adalah mematahkan setiap serangan lawan melalui titik kelemahan yang dilihatnya. Kini keadaan justru gelap gulita, tentu membuatnya mati kutu dan kelabakan. Menyusul kemudian bahu kirinya terasa sakit, dan tubuhnya pun jatuh terjerembap ke depan. Bersamaan itu terdengar pula suara jeritan dan keluhan berulang-ulang. Sepertinya Enam Dewa Lembah Persik juga telah dihantam roboh satu per satu.
Sambil mendekam di lantai Linghu Chong mendengar suara angin menderu-deru menyambar lewat di atasnya. Seketika ia merasa dirinya seperti sedang mimpi buruk. Tubuh tidak bisa berkutik, hatinya merasa ngeri, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sambaran tongkat yang membawa deruan angin kencang itu lambat laun mulai mereda, lalu terdengar suara keriut-keriut ramai. Agaknya patung-patung biksu besi itu telah kembali ke tempat semula dan tidak bergerak lagi.
Tiba-tiba pandangannya menjadi terang, dan terdengar suara orang berteriak, “Tuan Muda Linghu, apakah engkau di sini?”
Linghu Chong sangat senang, dan menyahut, “Aku… aku di sini….” ia merasa suaranya sangat lemah, hampir-hampir tidak percaya pada telinga sendiri. Kemudian terdengar suara langkah beberapa orang memasuki lorong itu. Salah satunya adalah Ji Wushi yang berseru tadi.
“Jang… jangan maju! Ada pesawat rahasia di… di lantai. Patung besi… patung besinya… sangat lihai,” seru Linghu Chong.
Rupanya Ji Wushi dan yang lain tidak sabar terlalu lama menunggu Linghu Chong dan Enam Dewa Lembah Persik. Mereka kemudian menyusul dan di ruang patung Boddhidharma menemukan lorong di bawah tanah. Segera mereka mencari ke dalam dan menemukan Linghu Chong serta Enam Dewa Lembah Persik menggeletak di lantai dengan berlumuran darah.
“Tuan Muda Linghu, apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Zu Qianqiu si sastrawan dekil.
“Tidak apa-apa. Diam saja di situ, jangan maju! Nanti bisa menggerakkan patung-patung besi ini lagi,” seru Linghu Chong.
“Baiklah,” sahut Zu Qianqiu. “Bagaimana kalau aku menyeret keluar dirimu menggunakan cambuk panjang.”
“Ya, boleh,” kata Linghu Chong.
Segera Zu Qianqiu melecutkan cambuk. Lebih dulu Dewa Bunga Persik yang berada paling luar dibelitnya dengan ujung cambuk pada bagian kaki kiri, dan kemudian diseretnya perlahan. Sesudah itu barulah Zu Qianqiu menyeret keluar Linghu Chong dengan cara yang sama. Berturut-turut kelima Dewa Lembah Persik lainnya dapat pula ditarik keluar.
Dengan cepat Linghu Chong bangkit dan memeriksa keadaan Enam Dewa Lembah Persik. Ternyata pundak, kepala, dan punggung keenam orang itu sama-sama terluka oleh hantaman tongkat baja. Untung kulit mereka tebal dan tenaga dalam pun kuat, sehingga jiwanya selamat meski lukanya tidak ringan. Tidak lama kemudian satu per satu pun kembali siuman.
Begitu membuka mata dan tidak tampak biksu besi lagi, segera saja Dewa Akar Persik membual, “Sungguh lihai biksu besi tadi, tapi semuanya dapat dihancurkan oleh Enam Dewa Lembah Persik.”
Rupanya Dewa Bunga Persik lebih tahu diri, dan berkata, “Tuan Muda Linghu juga berjasa, cuma jasa kami enam bersaudara lebih besar.”
Dengan menahan rasa sakit di bahunya Linghu Chong berkata sambil tertawa, “Tentu saja. Siapa yang mampu menandingi Enam Dewa Lembah Persik?”
“Sebenarnya apa yang terjadi, Tuan Muda Linghu?” tanya Zu Qianqiu.
Dengan ringkas Linghu Chong menuturkan pengalamannya tadi, kemudian berpendapat, “Kemungkinan besar Putri Suci terkurung di dalam situ. Kita harus mencari akal untuk memusnahkan kawanan biksu besi penjaga lorong ini.”
Zu Qianqiu melirik sekejap ke arah Enam Dewa Lembah Persik, dan berkata, “Ternyata biksu-biksu besi itu belum dihancurkan.”
“Apa sulitnya untuk menghancurkan biksu-biksu mati itu? Hanya saja, sementara ini kami sedang tidak mau,” sahut Dewa Dahan Persik.
“Benar, kemana pun kami berenam pergi, maka musuh sehebat apa pun bisa kami kalahkan,” sahut Dewa Buah Persik mendukung saudaranya.
“Entah bagaimana cara bekerja biksu-biksu besi itu, harap Enam Dewa Lembah Persik maju lagi untuk memancing serangannya, biar kita bisa menyaksikan,” kata Ji Wushi.
Tapi Enam Dewa Lembah Persik rupanya sudah jera, tentu tidak mau disuruh merasakan pukulan tongkat baja lagi. Dewa Dahan Persik lantas berkata kepada Ji Wushi dan yang lain, “Hei, kucing makan tikus adalah biasa. Tapi tikus makan kucing apa ada yang pernah lihat?”
“Baru saja kami bertujuh menyaksikan tikus makan kucing, sungguh luar biasa!” sambung Dewa Daun Persik.
Ternyata Enam Dewa Lembah Persik masih mempunyai suatu kepandaian simpanan, yaitu bila terdesak dan tidak bisa menjawab, mereka lantas membelokkan pokok pembicaraan ke hal-hal lain.
Linghu Chong berkata, “Siapakah yang bersedia mengambilkan beberapa potong batu besar?”
Segera tiga orang berlari keluar dan membawakan tiga potong batu besar, masing-masing sedikitnya seberat seratus kati.
Linghu Chong lantas mengangkat sepotong batu besar itu untuk kemudian digelindingkannya ke sana. Terdengarlah suara gemuruh. Batu besar itu telah menyentuh pesawat rahasia di lantai, sehingga biksu-biksu besi yang bersembunyi di lekukan dinding tadi lantas bergerak kembali. Tongkat baja bersambaran dengan kencang. Agak lama kemudian barulah biksu-biksu besi itu menyelinap kembali ke dalam dinding.
Semua orang tercengang menyaksikan peristiwa ajaib itu.
“Tuan Muda Linghu,” kata Ji Wushi, “biksu-biksu besi itu digerakkan oleh semacam alat rahasia. Menurut pendapatku, tenaga pesawat itu suatu saat akan habis. Untuk bisa bergerak lagi harus memutar kencang pegasnya. Maka bila kita pancing dengan beberapa potong batu berulang-ulang, kalau tenaga pegas sudah habis, tentu biksu-biksu besi itu takkan bergerak lagi.”
Tapi Linghu Chong ingin segera menolong Ren Yingying. Ia berkata, “Kulihat gerak tongkat patung-patung itu sedikit pun tidak menjadi kendur. Kalau harus menunggu mungkin bisa sampai besok pagi. Adakah di antara Saudara-saudara yang membawa senjata pusaka? Coba aku dipinjami sebentar.”
Seseorang tampil ke muka dan menyodorkan goloknya, “Ketua, senjata saya ini cukup tajam.”
Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Terima kasih banyak. Akan kupakai golok pusaka ini untuk menggores patung-patung besi itu. Tolong jangan salahkan aku kalau sampai golok ini rusak.”
Si pemilik golok menjawab, “Demi Putri Suci aku tidak keberatan jika harus berkorban nyawa. Golok ini hanya benda biasa. Tidak terlalu berharga.”
Linghu Chong mengangguk dan melangkah masuk kembali. Enam Dewa Lembah Persik serentak berseru, “Hati-hati!”
Ketika Linghu Chong melangkah lagi, mendadak sebuah tongkat menghantam dari atas. Jurus serangan ini sudah beberapa kali dilihatnya sejak tadi, sehingga tanpa pikir panjang ia pun mengayunkan golok. Kontan pergelangan tangan robot itu tertebas kutung bersama tongkatnya jatuh ke lantai.
“Golok bagus!” puji Linghu Chong. Semula ia khawatir golok pinjaman itu kurang tajam. Namun sekarang hasilnya ternyata luar biasa. Benar-benar sebuah golok pusaka. Seketika semangatnya bangkit kembali. Dengan dua kali mengayunkan golok, kembali ia mengutungi pergelangan tangan dua biksu besi yang menyerang.
Ia menggunakan golok sebagai pedang, dan memainkan Sembilan Jurus Pedang Dugu. Dari kedua sisi dinding biksu-biksu besi itu berturut-turut menyerang lagi. Tapi karena pergelangan tangan putus, tongkat pun jatuh. Dengan sendirinya kedua tangannya yang bergerak naik-turun itu tidak lagi membahayakan.
Linghu Chong terus maju ke depan, dilihatnya jurus serangan biksu-biksu besi itu bertambah lihai. Dalam hati ia sangat kagum, namun satu per satu harus dapat dipatahkan semua.
Semua orang mengikuti Linghu Chong dengan membawa obor. Setelah ratusan tangan biksu besi terpotong, pada dinding-dinding batu itu tidak lagi muncul patung yang lain. Ada yang coba menghitungnya, ternyata biksu-biksu besi itu seluruhnya berjumlah 108 buah. Maka bersorakgembiralah para jago di lorong itu.
Karena ingin lekas-lekas menemukan Ren Yingying, Linghu Chong pun meminta sebuah obor dan mendahului berjalan di depan. Jalanan itu terus menurun ke bawah dan makin lama makin rendah, namun tidak terdapat perangkap-perangkap lagi. Panjang lorong bawah tanah itu ada beberapa li dan menembus beberapa gua alam. Tiba-tiba di depan tampak cahaya remang-remang. Linghu Chong mempercepat langkahnya. Ketika sebelah kakinya menginjak tanah yang lunak, ia baru sadar ternyata sudah berada di atas lapisan salju. Bersamaan itu hawa dingin terasa merasuk. Ternyata dirinya sudah berada di tempat yang terbuka.
Ia memandang ke sekeliling. Suasana sunyi di tengah malam gelap, bunga salju masih berhamburan, terdengar pula suara gemercik air. Ternyata tempat itu terletak di tepi sebuah sungai. Sejenak Linghu Chong merasa sangat kecewa karena lorong bawah tanah tersebut tidak menembus ke tempat Ren Yingying ditahan.
Tiba-tiba terdengar Ji Wushi berkata di belakangnya, “Teruskan pesan ini kepada kawan-kawan agar jangan bersuara! Kemungkinan besar kita sudah berada di kaki gunung.”
“Apakah mungkin kita sudah lolos dari kepungan musuh?” tanya Linghu Chong.
Ji Wushi menjawab, “Tuan Muda, pada musim dingin di atas gunung tidak mungkin terdapat aliran air. Tampaknya melalui lorong bawah tanah tadi kita sekarang sudah berada di kaki gunung.”
“Benar,” tukas Zu Qianqiu. “Secara tidak sengaja kita telah menemukan lorong rahasia biaraShaolin yang menembus ke sini.”
Linghu Chong terkejut bercampur gembira. Setelah mengembalikan golok kepada pemiliknya, ia berkata, “Jika demikian, lekas suruh semua kawan keluar melalui lorong rahasia ini,” kata Linghu Chong.
Ji Wushi meneruskan perintah itu. Ia mengirim beberapa orang untuk menyelidiki lagi jalan di sekitar, dan beberapa puluh orang diperintahkan menjaga ujung lorong rahasia agar tidak diserang musuh sehingga jalan keluar tersumbat.
(Bersambung)
Bagian 55 ; Bagian 56 ; Bagian 57