Bagian 15 - Gagalnya Upacara Cuci Tangan

Keadaan di lembah pegunungan yang sunyi senyap tempat Linghu Chong memulihkan diri sungguh berbeda jauh dengan kediaman Liu Zhengfeng yang semakin ramai didatangi tamu. Kali ini Liu Zhengfeng menerima laporan dari para muridnya bahwa Yue Buqun ketua Perguruan Huashan telah datang pula. Buru-buru ia keluar ke halaman untuk menyambut kedatangan Si Pedang Budiman yang sangat terkenal itu. Sama sekali Liu Zhengfeng tidak menyangka kalau Yue Buqun akan datang secara langsung menyaksikan upacara pengunduran dirinya.
Yue Buqun sendiri menerima sambutan sang tuan rumah dengan tutur kata sopan santun dan penuh penghormatan. Berdampingan dengan Liu Zhengfeng, ia pun berjalan menuju pintu utama, di mana Pendeta Tianmen, Biksuni Dingyi, Yu Canghai, Tuan Wen, dan He Sanqi sudah menunggu di sana. Satu per satu mereka menyambut Yue Buqun dengan ramah tamah; dan sebaliknya, Yue Buqun pun membalas sambutan mereka dengan penuh tata krama.
Di antara para tokoh persilatan papan atas itu, hanya Yu Canghai seorang yang menyembunyikan kecurigaan. Diam-diam ia berpikir, “Liu Zhengfeng hanya seorang tokoh nomor dua di Perguruan Hengshan. Sudah pasti Yue Buqun datang kemari bukan untuk memberikan penghormatan kepadanya, melainkan untuk membuat perhitungan denganku. Huh, Serikat Pedang Lima Gunung bersatu padu melawan diriku. Tapi, Perguruan Qingcheng pantang untuk direndahkan. Jika dia mulai mendesakku, maka aku akan lebih dulu mengungkit perihal Linghu Chong yang telah tidur dengan pelacur. Dengan demikian, si tua Yue akan kehilangan muka di depan umum. Tapi, kalau dia nekad menyerangku, mau tidak mau aku harus menghadapinya dengan sekuat tenaga.”
Akan tetapi, begitu tiba giliran Yue Buqun menyapa Yu Canghai, ketua Huashan itu tetap menampilkan wajah ramah dengan sedikit membungkukkan badan. Ia berkata, “Pendeta Yu, sudah lama kita tidak bertemu. Kau terlihat jauh lebih hebat.”
Yu Canghai segera balas membungkuk dan menjawab, “Sepertinya kau juga semakin matang, Tuan Yue.”
Liu Zhengfeng lalu mendampingi tamu kehormatannya itu beserta para tokoh papan atas lainnya masuk ke dalam ruangan utama. Terlihat para tamu bercakap-cakap satu sama lain, dan sebagian dari mereka berbondong-bondong menyambut kedatangan Yue Buqun. Hari itu adalah hari pelaksanaan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Dengan menjalani upacara tersebut, Liu Zhengfeng resmi mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekitar satu jam menjelang tengah hari, Liu Zhengfeng masuk ke dalam untuk mempersiapkan diri, sementara urusan melayani tamu diserahkan kepada murid-muridnya yang dipimpin Xiang Danian dan Mi Weiyi.
Siang itu para tamu yang hadir bertambah lima ratus orang lagi. Di antara mereka terlihat Zhang Jin’ao, wakil ketua Partai Pengemis; Pendeta Xia dari Sanggar Zhengzhou, beserta ketiga menantunya; Nenek Tie dari Puncak Perawan Suci di daerah Szechwan; Pang Gong, pemimpin Partai Pasir Laut dari lautan timur; serta Bai Ke si Golok Sakti dan Lu Xisi si Pena Sakti, dua sekawan dari Sungai Qu. Para tamu yang memenuhi rumah Liu Zhengfeng itu ternyata hanya sedikit yang saling mengenal dan kebanyakan dari mereka hanya pernah mendengar nama saja. Maka itu, suasana pun semakin ramai karena orang-orang itu saling bercakap-cakap sambil bergelak tawa.
Pendeta Tianmen dan Biksuni Dingyi merasa risih melihat kedatangan para pendekar yang tidak jelas tersebut. Keduanya memilih berdiam diri di kursi masing-masing. Dalam hati mereka berpikir, “Tamu yang hadir di sini memang sangat banyak. Akan tetapi, tidak semuanya di antara mereka yang memiliki nama baik di dunia persilatan. Sebagian lagi adalah orang-orang yang tidak jelas. Liu Zhengfeng seorang tokoh terkemuka di Perguruan Hengshan, tapi mengapa dia suka bergaul melebihi batas? Bukankah ini bisa merendahkan Serikat Pedang Lima Gunung?”
Di lain pihak, Yue Buqun terlihat sangat ramah kepada para tamu tersebut. Tanpa pandang bulu, ketua Perguruan Huashan tersebut bercakap-cakap dengan siapa saja yang datang untuk menyapanya. Sama sekali ia tidak menunjukkan sikap angkuh sebagai seorang pemimpin perguruan ternama.
Sementara itu, murid-murid Liu Zhengfeng sudah mempersiapkan lebih dari dua ratus meja perjamuan, baik di dalam maupun di luar ruangan utama. Mereka terlihat sibuk mempersilakan para tamu untuk duduk di tempat yang sudah disediakan.
Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kursi kehormatan. Menurut peraturan, yang seharusnya duduk di situ adalah Pendeta Tianmen yang merupakan ketua sebuah perguruan ternama dan berusia paling tua. Namun, ia merasa segan kepada Yue Buqun dan Biksuni Dingyi yang juga memiliki kedudukan penting dalam Serikat Pedang Lima Gunung. Akibatnya, ketiga tokoh tersebut saling mengalah dan saling mempersilakan untuk menduduki kursi kehormatan tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Selain terdengar suara genderang dan simbal ditabuh, juga terdengar suara teriakan-teriakan meminta para hadirin agar memberi jalan. Jelas ini merupakan pertanda bahwa ada seorang pembesar kerajaan yang datang.
Liu Zhengfeng buru-buru keluar dari ruangan dalam dengan mengenakan jubah barunya. Para hadirin serentak berdiri untuk mengucapkan selamat, namun Liu Zhengfeng hanya tersenyum dan merangkap tangan sambil terus melangkah keluar. Sejenak kemudian ia masuk kembali dengan berjalan berdampingan bersama seorang pria yang berdandan seperti seorang pejabat pemerintahan. Melihat wajahnya yang pucat dan cara jalannya yang lemah, jelas pembesar tersebut tidak menguasai ilmu silat.
Diam-diam para hadirin berpikir, “Liu Zhengfeng seorang kaya raya dan sangat terpandang di Kota Hengshan. Sudah tentu ia banyak mengenal para pejabat pemerintahan. Maka itu, tidak mengherankan kalau dalam upacaranya kali ini ada seorang pejabat yang hadir untuk memberikan selamat kepadanya.”
Pembesar kerajaan itu berjalan dengan angkuh dan kemudian berhenti tepat di tengah-tengah ruangan. Seorang pengawal lantas berlutut di hadapannya menyerahkan sebuah nampan berlapiskan sutra kuning. Segulung kertas tampak tertaruh di atas nampan tersebut. Sang pembesar segera meraih gulungan kertas itu dan berteriak dengan suara keras, “Titah Yang Mulia Kaisar, hendaklah Liu Zhengfeng menyambut dengan segera!”
Para hadirin terperanjat mendengarnya. Menurut mereka, upacara Cuci Tangan Baskom Emas hanya berkaitan dengan pengunduran diri Liu Zhengfeng dari dunia persilatan. Lantas, kenapa kini pihak pemerintah datang untuk menyampaikan titah kaisar? Mungkinkah niat Liu Zhengfeng mengundurkan diri adalah untuk mempersiapkan pemberontakan? Mungkinkah rencana itu telah terbongkar sehingga pihak pemerintah pun mengirim utusan untuk menumpas Liu Zhengfeng?
Para hadirin yang rata-rata berpikiran sama segera meraba senjata masing-masing. Mereka yakin begitu surat kaisar dibacakan, serentak para prajurit kerajaan akan mengepung kediaman Keluarga Liu. Oleh sebab itu, mereka pun bersiap-siap menghadapi pihak tersebut daripada harus mati konyol. Asalkan Liu Zhengfeng memberi aba-aba, tentu mereka segera bergerak menghabisi nyawa sang pembesar beserta para prajurit pengawalnya.
Ternyata Liu Zhengfeng terlihat tenang-tenang saja menghadapi utusan kaisar tersebut. Bahkan, ia kemudian berlutut di hadapan sang pejabat sambil berseru, “Hamba, Liu Zhengfeng, siap menerima titah Yang Mulia Kaisar!”
Para hadirin terperanjat melihat pemandangan ini.
Sang pejabat pun membuka gulungan surat di tangannya kemudian membaca dengan suara lantang, “Titah Kaisar: Berdasarkan laporan gubernur Hunan, bahwa penduduk Kota Hengshan bernama Liu Zhengfeng banyak berjasa bagi kesejahteraan rakyat, serta mahir dalam ilmu silat. Maka dengan ini, ia dianugerahi pangkat sebagai sersan. Mulai sekarang, Liu Zhengfeng dapat bertugas membaktikan diri kepada pemerintahan untuk membalas budi baik Yang Mulia Kaisar.”
Segera Liu Zhengfeng bersujud beberapa kali sambil berkata, “Terima kasih atas kemurahan hati Yang Mulia!” Ia kemudian bangun kembali dan tidak lupa memberi hormat kepada pejabat tersebut. “Terima kasih banyak atas kebaikan Pembesar Zhang,” lanjutnya.
“Selamat! Selamat!” sahut sang pembesar yang bermarga Zhang itu sambil tertawa. “Mulai sekarang Sersan Liu dan aku sama-sama pejabat pemerintahan. Kita sama-sama mengabdi kepada Yang Mulia Kaisar. Untuk itu, kau tidak perlu segan-segan lagi.”
“Hamba hanya seorang bodoh yang tidak berpengalaman. Untuk selanjutnya, hamba memohon bimbingan dan arahan dari Pembesar Zhang,” ujar Liu Zhengfeng. “Hari ini hamba menerima jabatan dari Yang Mulia Kaisar. Tentu saja ini tidak lepas dari kebaikan hati Tuan Gubernur dan Pembesar Zhang.”
“Ah, tidak juga, tidak juga,” sahut Pembesar Zhang sambil tersenyum.
Liu Zhengfeng membalas senyum, kemudian berkata kepada adik iparnya, “Adik Fang, tolong ambilkan sedikit hadiah untuk Pembesar Zhang.”
Fang Qianju menjawab, “Semua hadiah telah siap, Kakak Ipar.” Usai berkata demikian ia pun masuk ke dalam dan sejenak kemudian muncul kembali dengan membawa sebuah nampan bundar yang di atasnya terdapat bungkusan kain beludru.
Liu Zhengfeng mengambil alih nampan tersebut dan menyodorkannya kepada Pembesar Zhang sambil berkata, “Ini ada sedikit oleh-oleh, tentu tidak sebanding dengan kebaikan Pembesar Zhang kepada hamba. Mohon Pembesar Zhang sudi menerimanya.”
“Ah, kita ini sudah seperti saudara. Tidak perlu seperti ini,” jawab Pembesar Zhang sambil tertawa. Ia lantas berkedip ke arah pengawalnya. Si pengawal tanggap dan segera mengambil alih nampan tersebut dari tangan Liu Zhengfeng.
Dengan wajah berseri-seri, Pembesar Zhang berkata, “Untuk urusan dinas saya tidak boleh terlalu lama di sini. Marilah kita minum barang tiga cawan, dengan harapan semoga Sersan Liu lekas-lekas naik pangkat ke tingkatan selanjutnya.”
Para pelayan rupanya sudah mempersiapkan diri sedemikian rupa. Mereka pun menyodorkan nampan berisi sepoci arak dengan dua cawan untuk sang pembesar dan tuan rumah. Setelah masing-masing minum tiga cawan, Pembesar Zhang pun mohon diri dengan diantarkan Liu Zhengfeng sampai ke depan pintu utama rumahnya. Suara genderang dan simbal kembali berbunyi mengiringi kepergian mereka.
Peristiwa ini benar-benar di luar dugaan para hadirin yang hampir semuanya berasal dari kalangan persilatan. Tampak wajah mereka menampilkan perasaan kaget bercampur malu. Meskipun bukan pemberontak, rata-rata mereka hidup bebas dan tidak sudi mematuhi aturan kerajaan. Oleh karena itu, ketika menyaksikan Liu Zhengfeng bersujud dan merendahkan diri di hadapan seorang pejabat istana untuk menerima sebuah pangkat, mereka merasa sayang dan sangat kecewa. Sebagian dari mereka tampak memandang Liu Zhengfeng dengan penuh penghinaan. Diam-diam mereka berpikir, “Entah berapa jumlah uang yang dikeluarkan Liu Zhengfeng untuk membeli pangkat sersan tersebut? Dilihat dari bobot bungkusan di atas nampan tadi, sepertinya berisi emas murni, bukan perak. Huh, padahal dia seorang tokoh nomor dua di Perguruan Hengshan yang terkenal jujur dan murah hati. Tak disangka, ketika memasuki hari tua justru terpikat pada kedudukan sebagai pejabat kerajaan.”
Liu Zhengfeng sendiri telah kembali ke dalam ruangan utama dan mempersilakan para hadirin duduk di kursi masing-masing. Meja dan kursi di dalam ruangan tersebut tampak tersusun ke dalam tiga deretan. Deretan tengah merupakan tempat duduk golongan Serikat Pedang Lima Gunung dan beberapa perguruan ternama lainnya. Kursi utama di deretan tengah ini tetap kosong karena Pendeta Tianmen yang seharusnya duduk di sana merasa segan. Kursi utama di deretan kiri diduduki oleh Pendeta Xia dari Sanggar Zhengzhou, sementara kursi utama di deretan kanan diduduki oleh Zhang Jin’ao dari Partai Pengemis. Meskipun Zhang Jin’ao bukan seorang tokoh ternama, namun Partai Pengemis sendiri memiliki jumlah anggota yang begitu besar dan tersebar di mana-mana. Selain itu, sang ketua partai yang bernama Xie Feng juga seorang tokoh terkemuka di dunia persilatan dan memiliki kepandaian sangat tinggi. Berdasarkan itu, para hadirin merasa maklum jika Liu Zhengfeng menaruh penghormatan besar kepada partai tersebut yang kini diwakili Zhang Jin’ao.
Setelah semua hadirin duduk kembali, para pelayan muncul dengan membawa berbagai macam hidangan. Mi Weiyi tampak mengusung sebuah meja kecil dan meletakkannya di tengah ruangan, disusul kemudian Xiang Danian muncul dengan membawa sebuah baskom terbuat dari emas gemerlapan. Baskom tersebut sudah berisi air dan segera diletakkan di atas meja tersebut. Di luar rumah terdengar tiga kali bunyi petasan turut meramaikan suasana.
Liu Zhengfeng maju ke tengah ruangan sambil merangkap tangan memberi hormat kepada semua tamunya. Para hadirin segera bangkit untuk membalas hormat. Sejenak kemudian, Liu Zhengfeng pun menyampaikan pidato sambutannya. “Para hadirin sekalian, saudara-saudaraku dari berbagai perguruan. Sungguh aku merasa sangat berterima kasih atas kesediaan kalian mengunjungi kediamanku ini. Hari ini aku mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas dan untuk selanjutnya tidak lagi berurusan dengan dunia persilatan. Dalam hal ini Saudara-Saudara tentu sudah tahu apa alasanku. Aku baru saja diangkat sebagai pejabat kerajaan sebagaimana yang kalian saksikan tadi. Sebagai seorang pejabat, aku wajib taat dan patuh terhadap peraturan pemerintah. Sebaliknya, orang-orang dunia persilatan pada umumnya lebih mementingkan persaudaraan dan setiakawan. Apabila terjadi suatu perselisihan tentu aku akan sulit untuk menegakkan keadilan. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan mulai saat ini. Apabila murid-muridku ingin masuk ke perguruan lain, aku persilakan dengan tulus. Kelak jika Saudara-Saudara berkunjung ke kota Hengshan ini, akan tetap kusambut sebagai seorang sahabat. Tapi mengenai urusan dunia persilatan, sama sekali aku tidak mau ikut campur lagi.” Usai berkata demikian, ia kembali memberi hormat kepada tamu-tamunya.
Para hadirin bertanya-tanya di dalam hati mengenai keputusan Liu Zhengfeng tersebut. Ada sebagian yang berpikir, “Jika dia ingin menjadi pejabat istana, apa hendak dikata? Setiap orang punya cita-cita sendiri. Biarlah dunia persilatan kehilangan manusia serakah seperti dia. Masa bodoh dengan urusannya.”
Ada pula yang berpikir, “Huh, Liu Zhengfeng benar-benar membuat malu perguruannya. Pantas saja Tuan Besar Mo selaku ketua Perguruan Hengshan tidak sudi menghadiri acara ini. Rasanya tidak hanya Hengshan saja yang dirugikan, bahkan seluruh anggota Serikat Pedang Lima Gunung juga merasa direndahkan martabatnya.”
“Serikat Pedang Lima Gunung sangat menjaga kehormatan dan tata krama. Aku yakin, mereka tidak setuju dan merasa sangat diredahkan oleh perbuatan Liu Zhengfeng ini. Namun demi menjaga hubungan baik, mereka memilih diam tidak bersuara.”
Namun ada pula yang berpikir demikian, “Siapa bilang Serikat Pedang Lima Gunung selalu menjaga kehormatan? Liu Zhengfeng telah berlutut dan bersujud demi untuk menerima pangkat kerajaan. Apakah ini yang disebut dengan kehormatan?”
Begitulah, karena setiap orang tenggelam ke dalam pikiran masing-masing, maka suasana di ruangan tersebut menjadi sunyi senyap. Menanggapi pengangkatan Liu Zhengfeng tadi seharusnya mereka mengucapkan pujian dan selamat. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya; sama sekali tidak ada yang terlihat membuka suara.
Liu Zhengfeng sendiri tidak begitu peduli terhadap sikap tamu-tamunya. Ia lalu menghadap keluar seolah-olah hendak berbicara kepada para leluhur yang telah tiada. Sesaat kemudian ia pun berseru lantang, “Saya, Liu Zhengfeng, berterima kasih terhadap semua budi baik Guru. Selama ini saya tidak pernah berjasa dalam mengembangkan nama besar Perguruan Hengshan. Syukurlah, saat ini perguruan berada di bawah pimpinan Kakak Mo yang bijaksana dan berilmu tinggi. Sehingga, Liu Zhengfeng ada atau tiada juga tidak akan berpengaruh apa-apa. Mulai saat ini Liu Zhengfeng menyatakan cuci tangan dan melepaskan diri dari pergaulan dunia persilatan. Selanjutnya, saya hanya mencurahkan tenaga dan pikiran untuk jabatan yang baru saja saya terima. Apabila suatu hari nanti saya berani melanggar sumpah, biarlah nasib saya serupa dengan pedang ini.”
Berkata sampai di sini, Liu Zhengfeng melolos pedang pusakanya dan dengan sekali tekan, pedang itu patah menjadi dua. Kedua potongan tersebut dibuangnya dan langsung menancap di lantai.
Melihat pemandangan ini, para hadirin kembali terkejut. Untuk para tamu yang berilmu tinggi jelas menancapkan potongan pedang di lantai bukan pekerjaan sulit. Namun, mematahkan pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan jelas membutuhkan tenaga dalam yang sangat tinggi. Ini menunjukkan betapa Liu Zhengfeng telah mencapai tingkatan tinggi dalam pelajaran ilmu silatnya.
“Sungguh sayang!” ujar Tuan Wen sambil menghela napas panjang. Para hadirin lainnya memahami, bahwa Tuan Wen bukan menyayangkan pedang pusaka yang telah patah menjadi dua tersebut, namun menyayangkan betapa seorang tokoh terkemuka berilmu tinggi harus mengundurkan diri dan menjadi abdi kaisar.
Sambil tersenyum kepada para hadirin, Liu Zhengfeng menyingsingkan lengan bajunya dan bersiap mencelupkan kedua tangannya ke dalam air dalam baskom emas. Namun tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan keras, “Tunggu dulu!”
Liu Zhengfeng dan segenap hadirin terkejut seketika. Mereka menoleh ke arah pintu dan melihat empat orang berseragam warna kuning masuk dan langsung berdiri di samping kiri dan kanan ruangan. Menyusul kemudian masuk lagi seorang bertubuh tegap yang mengangkat tinggi-tinggi sebuah bendera kecil berwarna lima macam. Bendera itu tampak indah gemerlapan karena dihiasi mutiara dan untaian batu permata.
Sebagian para hadirin terperanjat kaget melihat bendera itu. Terdengar mereka berbisik-bisik satu sama lain, “Bendera kecil itu adalah Panji Pancawarna, lambang ketua Serikat Pedang Lima Gunung.”
Si pembawa panji berjalan angkuh ke tengah ruangan dan kemudian berhenti tepat di hadapan Liu Zhengfeng. Ia lantas mengangkat kembali panji itu tinggi-tinggi dan berkata dengan suara lantang, “Kami membawa perintah Ketua Zuo, pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung, supaya Paman Liu menunda pelaksanaan upacara Cuci Tangan Baskom Emas untuk sementara waktu.”
Liu Zhengfeng terkejut. Dengan berusaha tetap tenang ia membungkuk di hadapan Panji Pancawarna sambil menjawab, “Jika itu yang menjadi perintah Ketua Serikat, aku siap menuruti. Tapi kalau boleh tahu, ada maksud apa hingga Ketua Serikat menyampaikan perintah seperti ini?”
Si pembawa panji menyahut, “Kami hanya menyampaikan perintah Ketua Serikat. Kedudukan kami rendah sehingga tidak berhak mengetahui maksud dan tujuan Ketua Serikat. Mohon Paman Liu sudi memaafkan.”
“Ah, kau terlalu merendahkan diri,” ujar Liu Zhengfeng. “Kalau tidak salah, kau ini Keponakan Shi alias Si Pohon Cemara Seribu Depa, bukan?”
Meskipun bibirnya tetap tersenyum, namun suara Liu Zhengfeng terdengar agak gemetar. Bagaimanapun juga ia sangat terkejut karena perubahan keadaan yang sangat tiba-tiba ini.
Si pembawa panji diam-diam merasa bangga karena sang tuan rumah ternyata mengenali julukannya. Ia pun menjawab, “Paman Liu benar. Saya Shi Dengda, murid Perguruan Songshan, menyampaikan menyampaikan sembah hormat kepada Paman Liu.”
Setelah itu, Shi Dengda lantas memberi salam kepada Pendeta Tianmen, Yue Buqun, Biksuni Dingyi, serta tokoh-tokoh papan atas lainnya. Serentak keempat rekannya yang berdiri di kanan-kiri pintu juga melakukan hal yang sama.
Biksuni Dingyi membalas salam kemudian berkata, “Kalian dikirim oleh Ketua Zuo untuk merintangi upacara Cuci Tangan Adik Liu, kurasa hal itu memang sangat tepat.” Ia merasa telah datang kesempatan untuk mengutarakan isi hatinya. “Aku berpendapat kaum persilatan seperti kita lebih suka hidup bebas dengan mengutamakan persaudaraan dan kesetiakawanan, bukannya tunduk di hadapan pembesar kerajaan. Namun Adik Liu tentu tidak sudi mendengarkan saran dari biksuni tua seperti diriku, sehingga sejak tadi aku memilih diam tidak bersuara.”
Liu Zhengfeng menanggapi dengan wajah serius, “Sejak dulu kelima perguruan telah mengikat persaudaraan di dalam Serikat Pedang Lima Gunung. Kita bersama-sama telah bersepakat untuk saling bahu-membahu menegakkan kebenaran dan keadilan. Bila terjadi sesuatu yang menyangkut kelima perguruan, kita semua wajib tunduk kepada perintah Ketua Serikat. Panji Pancawarna adalah lambang kelima perguruan kita. Melihat panji pusaka ini sama seperti melihat Ketua Serikat.”
Setelah diam sejenak, ia melanjutkan, “Upacara Cuci Tangan Baskom Emas hari ini adalah urusan pribadiku, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perserikatan kita. Para sahabat yang hadir di sini bisa menjadi saksi. Oleh karena itu, Panji Pancawarna tidak berlaku untuk membatasi kehendakku. Harap Keponakan Shi menyampaikan permintaan maafku kepada gurumu yang terhormat. Semoga Ketua Zuo dapat memakluminya.”
Usai berkata demikian Liu Zhengfeng melangkah maju mendekati baskom emas di atas meja dan berniat mencelupkan kedua tangannya. Namun, Shi Dengda segera melompat untuk merintangi.
“Paman Liu, guruku telah memberi perintah supaya Paman menunda upacara Cuci Tangan Baskom Emas ini,” ujar Shi Dengda. “Guru berkata bahwa Serikat Pedang Lima Gunung senapas sehaluan. Maksud Guru mengirimkan Panji Pancawarna semata-mata untuk menjaga persatuan serikat kita, serta menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia persilatan. Ini semua juga demi kebaikan Paman Liu sendiri.” Usai berkata demikian ia kembali mengangkat tinggi-tinggi Panji Pancawarna di udara.
Liu Zhengfeng terlihat heran. Ia pun berkata, “Aku benar-benar tidak mengerti. Rencana pengunduran diriku sudah kusampaikan jauh-jauh sebelumnya. Kalau Kakak Zuo memang bermaksud baik, mengapa tidak dari kemarin-kemarin dia menasihati aku? Mengapa baru sekarang ia mengirim Panji Pancawarna pada saat aku menjamu para tamuku? Bukankah ini sama saja dengan membuatku malu di depan banyak pendekar dan kesatria? Jika hari ini aku harus menarik ucapanku, tentu aku akan menjadi bahan tertawaan di dunia persilatan.”
Shi Dengda menjawab, “Guru kami sering memuji Paman Liu sebagai seorang tokoh persilatan yang sangat dihormati banyak orang. Nama besar Paman Liu terkenal di mana-mana, sehingga kami dipesan untuk selalu bersikap sopan kepada Paman. Jika sampai melanggar hal ini, tentu kami akan mendapat hukuman setimpal dari Guru. Mengingat nama besar Paman Liu di dunia persilatan, kami yakin tidak seorang pun berani memandang rendah terhadap Paman jika menuruti perintah ini.”
“Ah, itu hanya pujian Kakak Zuo belaka,” ujar Liu Zhengfeng sambil tertawa. “Mana mungkin aku memiliki kehormatan sebesar itu?”
Melihat perdebatan yang bertele-tele itu Biksuni Dingyi tidak sabar dan ikut bicara, “Adik Liu, mengenai upacaramu ini bagaimana kalau ditunda dulu untuk sementara waktu? Semua yang hadir di sini adalah kawan-kawan kita sendiri. Jadi, siapa orangnya yang berani menertawakanmu? Andaikan ada satu-dua orang yang berani mengolok-olok dirimu, biar aku yang akan membereskannya.” Dengan tatapan galak ia lantas menyapu para hadirin dari ujung kiri sampai ke ujung kanan ruangan.
“Baiklah kalau Kakak Dingyi berpendapat demikian,” jawab Liu Zhengfeng. “Upacara ini aku tunda sampai esok hari. Saudara-saudara sekalian bisa menginap di sini. Biar kami berunding dahulu dengan para keponakan dari Perguruan Songshan ini.”
Tiba-tiba dari arah belakang rumah terdengar suara seorang gadis kecil berseru, “Hei, jangan mengganggu! Terserah diriku ingin bermain dengan siapa. Kenapa kau harus ikut campur?”
Para hadirin sangat terkejut karena mereka sama sekali belum lupa bahwa itu adalah suara Qu Feiyan, gadis kecil yang kemarin telah mempermainkan Yu Canghai di depan umum.
Sejenak kemudian terdengar suara seorang laki-laki berseru, “Kau duduk di sini saja dulu! Tidak boleh sembarangan bergerak atau berteriak! Setelah semuanya beres, baru kau kubiarkan pergi.”
“Aneh sekali! Memangnya ini rumahmu?” sahut Qu Feiyan. “Aku mau pergi mencari kupu-kupu bersama Kakak Liu, mengapa kau berani menghalangi?”
Laki-laki itu menjawab, “Kalau kau mau pergi silakan pergi sendiri! Tapi Nona Liu harus tetap menunggu di sini, tidak boleh ke mana-mana!”
Qu Feiyan menyahut, “Huh, kau sudah membuat Kakak Liu muak. Lebih baik kalian saja yang pergi dari sini!”
Rupanya yang dimaksud dengan “Kakak Liu” atau “Nona Liu” adalah anak perempuan Liu Zhengfeng. Terdengar suara gadis itu berkata, “Adik Qu, kau jangan pedulikan dia. Lebih baik kita pergi sekarang saja.”
Tapi mendadak terdengar si laki-laki membentak, “Nona Liu, kau lebih baik tunggu di sini saja! Jangan sembarangan bergerak!”
Liu Zhengfeng menjadi gusar mendengar percakapan tersebut. Dalam hati ia berpikir, “Siapa bangsat itu? Kenapa dia berani kurang ajar di rumahku sendiri? Berani sekali dia mengancam Jing-er.”
Murid nomor dua Liu Zhengfeng, yaitu Mi Weiyi bergegas menuju ke ruang belakang. Di sana ia melihat Liu Jing, putri gurunya, bergandengan tangan dengan Qu Feiyan. Di hadapan kedua gadis kecil itu berdiri seorang laki-laki berbaju kuning sedang merentangkan kedua lengannya seolah mencegah mereka pergi menuju pintu keluar.
Melihat seragam yang dipakai orang itu, Mi Weiyi segera berdehem dan menyapa, “Saudara tentu berasal dari Perguruan Songshan, bukan? Mengapa tidak duduk di ruang utama saja bersama para tamu lainnya?”
Orang itu menoleh dan menjawab, “Terima kasih atas undanganmu. Tapi Ketua Serikat telah memberi perintah supaya kami mengawasi semua anggota Keluarga Liu jangan sampai ada seorang pun yang lolos.”
Suara murid Songshan tersebut tidak terlalu keras namun terdengar dengan jelas sampai ke ruang utama. Seketika para hadirin terkejut dibuatnya.
Liu Zhengfeng menjadi gusar dan bertanya, “Keponakan Shi, ada apa ini sebenarnya?”
Shi Dengda segera berseru kepada saudaranya yang berada di ruang belakang itu, “Adik Wan, kau boleh kemari. Paman Liu sudah sepakat menunda upacara.”
“Ya, memang seharusnya seperti itu,” sahut si marga Wan sambil kemudian berjalan menuju ruang utama. Sesampainya di hadapan Liu Zhengfeng, ia segera membungkuk memberi hormat, “Wan Daping dari Perguruan Songshan menyampaikan salam hormat kepada Paman Liu.”
Liu Zhengfeng gemetar menahan gusar. Ia pun berteriak keras, “Ada berapa banyak murid Perguruan Songshan yang datang kemari? Lebih baik kalian keluar semua!”
Menanggapi seruan sang tuan rumah, puluhan orang pun muncul dari berbagai penjuru. Ada yang muncul di atap rumah, ada yang muncul di pintu masuk, ada yang muncul di pintu belakang, ada pula yang muncul dari samping rumah. Dari tempat masing-masing mereka serentak mengucapkan salam kepada Liu Zhengfeng, “Murid-murid Songshan menyampaikan salam kepada Paman Liu!”
Suara salam yang mereka ucapkan membuat rumah Liu Zhengfeng yang megah terasa bergetar. Puluhan murid Songshan itu ada yang memakai seragam kuning, ada pula yang sejak tadi menyamar dan menyusup di antara para tamu.
Biksuni Dingyi ikut merasa gusar. Dengan suara keras ia pun berseru, “Apa-apaan ini semua? Ini keterlaluan! Sungguh penghinaan... sungguh penghinaan!”
“Maafkan kami, Bibi Biksuni!” ujar Shi Dengda. “Tapi bagaimanapun juga guru kami telah memerintahkan supaya kami mencegah Paman Liu melangsungkan upacara Cuci Tangan ini. Kami khawatir Paman Liu tidak mau menuruti perintah guru kami. Oleh sebab itu, kami terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang kurang pantas.”
Pada saat itu pula dari ruang belakang muncul sejumlah orang yang tidak lain adalah istri, anak-anak, dan tujuh orang murid Liu Zhengfeng. Disusul kemudian terlihat murid-murid Perguruan Songshan menodongkan pedang di punggung mereka.
Liu Zhengfeng terperanjat melihat perbuatan murid-murid Songshan tersebut. Namun ia tetap berusaha tegar dan berteriak dengan suara lantang, “Para hadirin sekalian, bukannya aku ini keras kepala dan menentang Ketua Serikat. Namun Kakak Zuo telah mengirim murid-muridnya untuk mengancam diriku sedemikian rupa. Jika Liu Zhengfeng tunduk di bawah kekerasan, akan ditaruh ke mana lagi mukaku ini? Kakak Zuo melarangku melangsungkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, huh, kepalaku boleh dipenggal, tapi cita-citaku tidak boleh dipatahkan!”
Usai berkata demikian, Liu Zhengfeng bersiap mencelupkan kedua tangannya ke dalam baskom emas di atas meja. Melihat itu Shi Dengda berseru, “Tunggu dulu!”
Murid Songshan tersebut mengibaskan Panji Pancawarna untuk menghalangi Liu Zhengfeng. Namun Liu Zhengfeng dengan sigap mencolokkan kedua jarinya ke arah mata Shi Dengda. Buru-buru Shi Dengda menangkis serangan tersebut. Namun secepat kilat tangan Liu Zhengfeng yang lain ikut menyerang, sehingga lawannya itu terpaksa melangkah mundur.
Kesempatan tersebut segera dimanfaatkan Liu Zhengfeng untuk melanjutkan niatnya. Namun belum sampai kedua tangannya mencapai air di dalam baskom, tiba-tiba dua orang murid Songshan lainnya menerjang maju. Tanpa menoleh, Liu Zhengfeng berhasil mendepak dada salah seorang dengan kaki kiri dan menangkap lengan seorang lainnya dengan tangan kanan. Dengan cepat ia mengangkat tubuh murid Songshan tersebut dan melemparkannya ke arah Shi Dengda. Gerakan Liu Zhengfeng tersebut berlangsung sangat cepat dan juga mengenai sasaran dengan tepat. Seorang ahli silat papan atas yang biasanya bersikap lembut dan berdandan mewah itu kini telah memperlihatkan kepandaiannya di depan umum.
Melihat ketangkasan Liu Zhengfeng, murid-murid Songshan yang berjumlah puluhan tersebut mau tidak mau merasa gentar juga. Salah seorang yang menodong putra Liu Zhengfeng berteriak, “Paman Liu, jika kau tidak mengurungkan niatmu, maka aku terpaksa membunuh putramu ini!”
Liu Zhengfeng menoleh. Tampak pedang murid Songshan tersebut sudah menempel di leher putra sulungnya. Ia pun berseru, “Para hadirin yang terhormat, kalian semua menjadi saksi. Jika ada yang berani menyentuh seujung rambut putraku, maka semua murid Perguruan Songshan yang ada di sini akan aku cincang habis mayat-mayatnya.”
Murid-murid Songshan semakin gentar karena para hadirin mulai memandang mereka dengan tatapan curiga. Jika mereka benar-benar membunuh putra Liu Zhengfeng, tentu para hadirin dan murid-murid Hengshan akan langsung bertindak menyerbu.
Tanpa banyak bicara lagi, Liu Zhengfeng pun melangkah maju mendekati baskom emas untuk melanjutkan niatnya. Akan tetapi di luar dugaan, tiba-tiba melesat sebuah senjata rahasia yang memancarkan sinar perak menyilaukan. Liu Zhengfeng dengan gesit melompat mundur. Senjata rahasia tersebut menghantam tepi baskom emas hingga menimbulkan suara nyaring.
Si pelempar senjata rahasia jelas memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Baskom emas tersebut sampai jatuh ke bawah. Air bersih di dalamnya tumpah menggenangi lantai. Menyusul kemudian orang itu muncul dan langsung menginjak baskom tersebut sampai tergencet pipih.
Pelempar senjata rahasia tersebut ternyata seorang pria berseragam kuning dan berusia empat puluhan. Tubuhnya kurus dengan kumis tipis menghiasi kedua ujung bibirnya, kiri dan kanan. Dengan merangkap kedua tangan ia mengucapkan salam kepada Liu Zhengfeng, “Kakak Liu, atas perintah Kakak Zuo, kau dilarang melanjutkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas ini.”
Liu Zhengfeng mengenal laki-laki kurus itu bernama Fei Bin. Ia merupakan adik seperguruan nomor empat dari Zuo Lengchan yang dijuluki Si Tapak Songyang Besar. Adapun Zuo Lengchan merupakan ketua Perguruan Songshan sekaligus pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung.
Liu Zhengfeng mengeluh dalam hati. Rupanya Zuo Lengchan benar-benar ingin menggagalkan upacara Cuci Tangan yang hendak dilangsungkannya. Bahkan, yang dikirim kali ini bukan hanya murid-muridnya, tapi juga adik seperguruannya yang memiliki kepandaian tinggi. Melihat baskom emas sudah rusak, maka pilihan pun tinggal dua; bertempur habis-habisan atau menyerah kalah dan menerima segala penghinaan.
Diam-diam Liu Zhengfeng berpikir, “Perguruan Songshan telah terpilih menjadi pimpinan Serikat Pedang Lima Gunung, namun cara mereka menekan orang sungguh keterlaluan. Para hadirin yang ada di sini apakah tidak ada yang berani untuk maju menentang ketidakadilan ini?”
Dengan menahan gusar, Liu Zhengfeng membalas hormat dan berkata, “Jauh-jauh Adik Fei datang kemari bukannya ikut minum bersama kami barang secawan, tapi malah berdiri di luar merasakan teriknya matahari. Mungkin selain Adik Fei juga ada tokoh-tokoh hebat Perguruan Songshan lainnya yang juga berada di sini. Kalau hanya menghadapi si marga Liu ini, rasanya Adik Fei saja sudah cukup. Tapi untuk menghadapi semua hadirin di tempat ini, mungkin kawan-kawan dari Perguruan Songshan yang datang masih kurang jumlahnya.”
Fei Bin tersenyum dan berkata, “Kakak Liu, kau tidak perlu mencoba mengadu domba kami dengan para kesatria yang hadir di sini. Untuk menghadapi Kakak Liu seorang diri, ilmuku masih terlalu rendah. Tidak mungkin aku sanggup bertahan menghadapi Jurus Pedang Menjatuhkan Belinis yang sangat ampuh darimu. Perguruan Songshan sama sekali tidak berani membuat masalah dengan Perguruan Hengshan, apalagi melawan para hadirin sekalian. Kedatangan kami kemari semata-mata untuk membatalkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas yang hendak kau langsungkan, karena itu menyangkut keselamatan ribuan nyawa orang-orang dunia persilatan.”
Para hadirin terkejut mendengar ucapan Fei Bin. Mereka heran mengapa upacara tersebut jika diteruskan bisa membahayakan keselamatan banyak orang.
“Benar sekali,” sahut Biksuni Dingyi ikut berbicara. “Soal Adik Liu ingin menjadi pembesar kerajaan itu urusan pribadinya. Sebenarnya aku malu ikut bicara. Tapi, perlu kukatakan kalau setiap orang punya cita-cita. Adik Liu ingin menjadi pejabat dan menumpuk kekayaan, ya silakan saja. Yang penting, dia tidak merugikan rakyat kecil dan merusak kesetiakawanan kaum persilatan. Aku rasa keputusannya ini tidak terlalu membahayakan keselamatan banyak orang.”
“Biksuni Dingyi,” ujar Fei Bin, “kau ini seorang pemuka agama, sudah tentu kurang memahami tipu muslihat seperti ini. Asal kau tahu, jika intrik besar seperti ini sampai berkelanjutan, bukan hanya kawan-kawan persilatan saja yang menjadi korban, tapi juga rakyat jelata yang tidak berdosa akan ikut mengalami bencana besar. Coba pikir, seorang tokoh ternama dari Perguruan Hengshan sudi merendahkan diri di hadapan para pembesar kerajaan yang serakah dan korup. Hm, Kakak Liu sudah kaya raya, tapi mengapa masih menginginkan jabatan di kerajaan? Apalagi pangkat yang diperolehnya sangat rendah, tentu hal ini membuat kami curiga. Jangan-jangan ada rencana lain di balik itu semua.”
Para hadirin terkesiap mendengar penuturan Fei Bin. Sejak awal masing-masing juga merasa curiga mengapa seorang terpandang dan kaya raya seperti Liu Zhengfeng bersedia menerima pangkat rendah di pemerintahan? Namun demikian, tidak seorang pun sejak tadi yang berani membuka suara.
“Adik Fei, kalau kau ingin memfitnahku, tolong cari alasan yang lebih masuk akal,” ujar Liu Zhengfeng sambil tertawa. Ia benar-benar seorang yang pandai mengendalikan amarah. “Nah, saudara-saudara dari Songshan lainnya silakan keluar untuk ikut bergabung di sini.”
“Baik!” sahut dua orang bersamaan, masing-masing dari arah atap rumah sebelah barat dan timur. Sekejap kemudian kedua orang itu sudah melompat turun dan berdiri di samping Fei Bin. Ilmu meringankan badan mereka sama persis dengan yang diperlihatkan Fei Bin beberapa saat sebelumnya. Jelas keduanya merupakan tokoh-tokoh terkemuka dari Perguruan Songshan pula.
Sebagian dari para hadirin rupanya mengenali kedua orang yang baru muncul tersebut. Yang berdiri di sebelah timur Fei Bin seorang laki-laki berbadan gemuk dan tinggi besar. Ia adalah adik seperguruan nomor dua Zuo Lengchan yang bernama Ding Mian, alias Si Tapak Penahan Menara. Sementara itu, yang berdiri di sebelah barat adalah laki-laki bertubuh kurus kering. Ia merupakan adik seperguruan nomor tiga yang bernama Lu Bai, alias Si Tapak Bangau. Keduanya langsung merangkap tangan dan memberi hormat kepada Liu Zhengfeng.
Melihat kembali muncul dua tokoh papan atas Perguruan Songshan, para hadirin serentak berdiri untuk memberi hormat. Sebaliknya, Liu Zhengfeng merasa semakin terdesak.
“Adik Liu, kau jangan khawatir,” sahut Biksuni Dingyi. “Semua urusan di dunia ini tidak dapat mengalahkan yang namanya ‘Kebenaran’. Janganlah kau takut pada ketidakadilan dan penindasan. Meskipun mereka mengepungmu dengan jumlah besar, namun kami dari Perguruan Taishan, Huashan, dan Henshan tentu tidak akan tinggal diam begitu saja. Apa kau pikir kami datang kemari hanya untuk makan tanpa peduli atas kesulitanmu?”
Liu Zhengfeng tersenyum getir dan berkata, “Terima kasih, Kakak Biksuni. Sungguh sangat memalukan kalau urusan ini sampai kuceritakan pada banyak orang. Sebenarnya ini hanyalah urusan rumah tangga perguruan kami sendiri. Para hadirin terpaksa ikut mendengarkan cerita yang seharusnya kami sembunyikan rapat-rapat.” Setelah terdiam sejenak dan memandangi para tamunya, ia pun melanjutkan, “Sebenarnya hubunganku dengan Kakak Mo kurang baik. Jangan-jangan, Kakak Mo telah mengadu kepada Ketua Zuo tentang keburukan-keburukanku, sehingga saudara-saudara dari Perguruan Songshan terpaksa datang kemari untuk menggagalkan upacara Cuci Tangan ini. Ini memang kesalahanku yang kurang menghargai kakak seperguruan. Baiklah, aku mengaku salah dan bersedia meminta maaf kepada Kakak Mo.”
Fei Bin memandang tajam kepada para hadirin. Sorot matanya yang berkilat-kilat menunjukkan betapa pria bertubuh kurus ini memiliki tenaga dalam yang begitu hebat. Sejenak kemudian, pandangannya kembali kepada sang tuan rumah dan ia pun berkata, “Kau bilang urusan ini ada sangkut-pautnya dengan Tuan Besar Mo? Jika benar demikian, silakan Tuan Besar Mo menunjukkan diri supaya kita bisa bicara baik-baik.”
Suasana di ruang utama itu mendadak sunyi senyap. Para hadirin berdebar-debar menunggu kemunculan Tuan Besar Mo alias Si Malam Hujan di Xiaoxiang. Akan tetapi, ketua Perguruan Hengshan itu tidak juga terlihat datang.
Dengan tersenyum getir Liu Zhengfeng berkata, “Pertengkaran kami ini sebenarnya sudah diketahui banyak orang di dunia persilatan. Maka itu, rasanya tidak perlu kurahasiakan lagi. Para hadirin tentu mengetahui kalau aku cukup beruntung karena terlahir di keluarga yang kaya raya. Warisan yang kudapatkan dari leluhurku juga melimpah ruah. Sebaliknya, Kakak Mo berasal dari keluarga miskin. Sebagai seorang saudara, sudah tentu aku siap membantu keuangan Kakak Mo kapan saja. Namun Kakak Mo sudah terlanjur iri kepadaku. Kami tidak pernah bertemu dan berbicara dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, sudah beberapa tahun ini Kakak Mo tidak sudi menginjakkan kaki di rumahku. Jadi, jangan diharapkan kalau dia juga hadir dalam upacara Cuci Tangan Baskom Emas kali ini. Namun yang membuatku sangat heran mengapa Ketua Zuo hanya percaya pada pengaduan sepihak saja, sampai-sampai mengirimkan saudara-saudara dari Perguruan Songshan untuk menawan anak dan istriku di hadapan para tamu? Bukankah... bukankah ini sudah keterlaluan?”
Fei Bin menoleh ke arah Shi Dengda dan berseru, “Angkat panjimu!”
“Baik!” jawab si keponakan sambil mengangkat Panji Pancawarna di samping Fei Bin.
“Kakak Liu,” sahut Fei Bin dengan penuh wibawa, “urusan ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Tuan Besar Mo. Jadi, kau tidak perlu mencemarkan nama baiknya. Kami hanya diperintah Ketua Zuo untuk menyelidiki persekongkolanmu dengan Dongfang Bubai, pemimpin aliran sesat. Sebenarnya ada intrik apa di antara kalian berdua? Apakah kalian merencanakan kehancuran Serikat Pedang Lima Gunung atau saudara-saudara aliran lurus lainnya?”
Ucapan Fei Bin ini sangat mengejutkan semua hadirin yang mendengarnya. Bahkan, ada beberapa di antara mereka yang berseru kaget. Maklum saja, aliran sesat yang konon menyebarkan agama pemuja iblis itu adalah musuh besar para kesatria dan pendekar dari golongan lurus. Permusuhan tersebut sudah berlangsung selama ratusan tahun. Banyak sekali jatuh korban di antara kedua pihak. Tidak sedikit dari para tamu yang datang di rumah Liu Zhengfeng tersebut yang telah kehilangan orang tua, saudara, guru, atau sahabat mereka akibat keganasan kaum aliran sesat. Setiap kali istilah aliran sesat diucapkan, selalu saja mengundang kebencian dan kutukan siapa saja yang mendengarnya.
Sebenarnya tujuan Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, Huashan, dan Henshan membentuk Serikat Pedang Lima Gunung semata-mata adalah untuk menghadapi kekuatan aliran sesat tersebut. Meskipun demikian, jumlah pengikut aliran sesat terlalu banyak dan ilmu silat mereka juga sangat tinggi dan beraneka ragam. Lebih-lebih sang pemimpin yang bernama Dongfang Bubai. Ia bahkan dijuluki sebagai orang nomor satu di dunia persilatan abad ini. Sejak menjadi ketua aliran sesat, orang ini belum pernah kalah bertanding melawan siapa pun juga, dan ini sesuai dengan namanya, yaitu ‘Bubai’ yang berarti ‘tak terkalahkan’.
Maka, begitu Fei Bin menyebut adanya persekongkolan antara Liu Zhengfeng dengan Dongfang Bubai, para hadirin menjadi ikut curiga. Meskipun tuduhan itu belum tentu benar, namun rasa simpati mereka terhadap Liu Zhengfeng langsung berkurang seketika.
Menanggapi tuduhan tersebut Liu Zhengfeng menjawab, “Seumur hidup aku belum pernah bertemu Dongfang Bubai, apalagi mengenal dirinya. Atas dasar apa Adik Fei melemparkan tuduhan keji seperti itu?”
Fei Bin tidak menjawab. Ia hanya melirik kepada Lu Bai. Kakak seperguruannya itu pun maju dan berkata, “Saudara Liu, apa yang kau katakan itu sungguh jauh dari kenyataan. Di dalam aliran sesat ada seorang Tetua Pelindung Agama yang bernama Qu Yang. Aku yakin Saudara Liu pasti mengenalnya, benar demikian?”
Sejak tadi Liu Zhengfeng selalu bersikap tenang. Tapi begitu mendengar nama ‘Qu Yang’ disebut, wajahnya langsung berubah menampilkan perasaan heran dan terkejut. Mulutnya tampak tertutup rapat dan diam seribu bahasa.
Si gemuk Ding Mian ikut berseru, “Apa kau mengenal Qu Yang?” Sejak tadi ia hanya diam menyaksikan tanya jawab antara Fei Bin dan Liu Zhengfeng. Namun begitu berbicara langsung membentak dengan kasar dan suaranya terdengar menggelegar laksana halilintar. Beberapa di antara para hadirin tidak bisa menyembunyikan perasaan gentar mereka. Dengan membentak seperti itu, tubuh Ding Mian terlihat semakin besar seperti raksasa.
Liu Zhengfeng sendiri tetap diam tanpa bersuara sepatah kata pun. Pandangan para hadirin serentak tertuju kepadanya. Sikapnya yang bungkam itu membuat para tamu merasa curiga, jangan-jangan apa yang dituduhkan pihak Perguruan Songshan adalah benar.
Selang agak lama kemudian akhirnya Liu Zhengfeng mengangguk-angguk dan berkata, “Benar sekali, Kakak Qu Yang memang kenalanku. Bahkan, kami bukan hanya sekadar kenal, tetapi sudah menjadi sahabat baik. Kakak Qu adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki di dunia ini.”
Seketika suasana menjadi gempar. Tadinya Para hadirin menduga Liu Zhengfeng berusaha memikirkan cara untuk membantah tuduhan tersebut. Mereka juga mengira kalau dirinya dan Qu Yang hanya sekadar kenal atau pernah bertemu sekali-dua kali. Tidak disangka, dengan penuh keberanian Liu Zhengfeng mengakui gembong aliran sesat itu sebagai sahabat karibnya.
Fei Bin tersenyum dan berkata, “Bagus sekali, bagus sekali! Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Nah, Liu Zhengfeng, Ketua Zuo telah memberimu dua pilihan. Terserah dirimu untuk memilih jalan yang mana.”
Liu Zhengfeng sendiri tetap terlihat tenang. Perlahan-lahan ia duduk di kursi seolah tidak peduli dengan tawaran Fei Bin sedikit pun. Tangannya kemudian bergerak menuang secawan arak dan pelan-pelan meminumnya dalam sekali teguk. Para hadirn mengamati tangan dan lengan baju Liu Zhengfeng sama sekali tidak bergetar, pertanda ia memang seorang yang sangat ahli dalam menahan amarah. Menyaksikan itu semua diam-diam para hadirin merasa kagum dan memuji ketenangan tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut dalam mengendalikan diri.
(Bersambung)
Bagian 14 ; Halaman muka ; Bagian 16