Bagian 13 - Si Pedang Budiman

Yu Canghai merasa serbasalah. Ilmu silat Linghu Chong dan Lin Pingzhi jelas-jelas jauh di bawahnya. Sudah tentu membunuh mereka berdua adalah pekerjaan mudah. Akan tetapi, jika ia benar-benar melakukannya, maka itu berarti sesuai dengan ejekan kedua pemuda tersebut. Ini berarti predikat “memalukan” dengan sendirinya akan melekat pula pada dirinya. Namun demikian, ia juga tidak mungkin membiarkan kedua pemuda itu mengejeknya terus-menerus. Maka, ia pun menyeringai dan berkata kepada Linghu Chong, “Urusan denganmu biarlah nanti kuperhitungkan dengan gurumu.”
Kemudian ia berpaling kepada Lin Pingzhi dan berkata, “Bocah sial, kau ini sebenarnya murid siapa, hah?”
“Bangsat tua bangka!” bentak Lin Pingzhi. “Kau telah menghancurkan keluargaku dan membuat hidupku terlunta-lunta; tapi kau masih juga bertanya siapa aku ini?”
Yu Canghai menjadi heran. Ia merasa baru kali ini bertemu pemuda bungkuk itu, namun mengapa dirinya dituduh berbuat seperti itu. Meskipun demikian, di hadapan murid-murid ketiga perguruan ia merasa tidak leluasa untuk bertanya lebih lanjut. Maka, ia pun memberi perintah, “Renxiong, singkirkan bocah bungkuk ini lebih dulu; baru setelah itu tangkap Linghu Chong.”
“Baik, Guru!” sahut Hong Renxiong kemudian melompat maju. Dengan cara demikian, Yu Canghai dapat menghindarkan diri dari ejekan Linghu Chong dan Lin Pingzhi tadi.
Lin Pingzhi sendiri segera meraba pedangnya. Namun belum sempat pedang itu keluar dari sarungnya, pedang Hong Renxiong secepat kilat sudah lebih dulu mengancam di depan dadanya. Dengan perasaan gusar, pemuda yang sedang menyamar bungkuk itu berkata, “Yu Canghai, meskipun aku, Lin Pingzhi....”
Seketika Yu Canghai terkejut mendengarnya. Dengan cepat ia melepaskan pukulan jarak jauh untuk menyapu pedang Hong Renxiong sehingga meleset dari sasaran.
“Apa katamu?” tanya pendeta pendek itu menegas.
“Aku, Lin Pingzhi, meskipun menjadi hantu akan tetap mengincar nyawamu!” teriak Lin Pingzhi murka.
“Jadi... jadi, kau adalah Lin Pingzhi dari Biro Pengawalan Fuwei, hah?” sahut Yu Canghai semakin mendekat.
Lin Pingzhi sadar bahwa dengan membuka penyamaran, maka kematian akan segera datang menjemputnya. Namun demikian ia sudah bertekad bulat menghadapi Yu Canghai habis-habisan. Maka itu, ia lantas membuang semua koyo yang menempel di wajahnya, dan berkata lantang, “Benar, aku adalah Lin Pingzhi dari Biro Pengawalan Fuwei. Aku yang telah membunuh anakmu, si kurang ajar pengganggu perempuan. Kau sendiri juga telah menghancurkan keluargaku serta menyekap ayah dan ibuku.”
Berita bahwa Perguruan Qingcheng menghancurkan Biro Pengawalan Fuwei telah menyebar luas di dunia persilatan. Pada umumnya, orang-orang tidak mengetahui dendam lama tentang kekalahan Tang Qingzi di tangan Lin Yuantu, sehingga mereka mengira satu-satunya tujuan Yu Canghai menghancurkan perusahaan tersebut adalah untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis.
Sewaktu di Rumah Arak Huiyan, Linghu Chong yang pernah mendengar berita itu telah menggunakannya untuk mengalihkan perhatian Luo Renjie dan membunuh murid Qingcheng tersebut. Mu Gaofeng sendiri juga mendengar adanya berita ini. Maka begitu melihat si bungkuk muda telah membuka penyamarannya dan mengaku sebagai Lin Pingzhi dari Biro Pengawalan Fuwei, seketika ia merasa terkejut. Setelah melihat raut muka Yu Canghai yang terlihat berubah kaget, serta bagaimana pendeta pendek itu menggagalkan tusukan pedang Hong Renxiong demi membiarkan Lin Pingzhi tetap hidup, maka perasaan Mu Gaofeng bertambah yakin.
Maka, begitu melihat Yu Canghai meraih lengan kanan Lin Pingzhi dan bersiap menyeret pemuda itu pergi, Mu Gaofeng pun melompat maju dan menarik lengan yang lain sambil berteriak, “Nanti dulu!”
Dalam sekejap, tubuh Lin Pingzhi ditarik oleh dua kekuatan besar dari arah yang berlawanan. Keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalam sehingga Lin Pingzhi merasa sakit bukan main dan hampir saja ia jatuh pingsan.
Melihat Mu Gaofeng ikut campur, Yu Canghai merasa urusan menjadi rumit. Jika ia menarik lebih keras, maka tubuh Lin Pingzhi akan terbelah menjadi dua. Maka, ia pun menggerakkan tangannya yang lain untuk menusukkan pedang ke arah Mu Gaofeng sambil membentak, “Lepaskan tanganmu, Saudara Mu!”
Akan tetapi, pada saat itu juga Mu Gaofeng mengeluarkan senjatanya yang berwujud golok bengkok untuk menangkis pedang Yu Canghai. Merasa penasaran, Yu Canghai melancarkan sembilan serangan sekaligus ke arah Mu Gaofeng, namun kesemuanya dapat ditangkis oleh menusia bungkuk tersebut.
“Saudara Mu, selama ini kita tidak pernah bermusuhan. Untuk apa kau membela bocah ini dan berselisih denganku?” sahut Yu Canghai.
Sambil memutar golok bengkoknya untuk menangkis setiap serangan pedang lawan, Mu Gaofeng menjawab, “Pendeta Yu, di hadapan banyak orang bocah ini telah menyembah dan memanggil kakek kepadaku. Meskipun kita tidak pernah bermusuhan, tapi aku tidak rela kalau ada orang yang menangkap bocah ini; karena itu sama artinya dengan menghinaku. Dunia sudah terlanjur mengenal bocah ini sebagai cucu si bungkuk. Maka itu, aku tidak boleh berpeluk tangan begitu saja. Kalau aku tidak bisa melindungi cucuku ini, tentu tidak akan ada lagi orang yang mau memanggilku kakek.”
Begitulah, Yu Canghai dan Mu Gaofeng sama-sama membagi kekuatan mereka. Sebelah tangan menarik tubuh Lin Pingzhi, sementara tangan yang lain saling menyerang, sambil mulut mereka bertanya jawab. Lama-lama pertarungan mereka semakin cepat. Tentu saja Lin Pingzhi yang paling menderita dibuatnya.
Yu Canghai bertambah gusar. Ia pun berseru, “Saudara Mu, bocah ini telah membunuh putra bungsuku. Mana mungkin aku bisa melupakan sakit hati ini dan tidak membalas dendam?”
Mu Gaofeng tertawa dan berkata, “Baik kalau begitu. Demi menjaga kehormatan Pendeta Yu, silakan kalau ingin membalas dendam. Mari kita bersama-sama menarik bocah ini sampai mampus! Satu... dua... tiga....” Usai berkata demikian, ia pun memperkuat tarikannya sehingga Lin Pingzhi semakin kesakitan. Beberapa tulang sendinya terasa hampir lepas.
Yu Canghai menjadi khawatir kalau pemuda itu sampai mati. Sebelum Kitab Pedang Penakluk Iblis ditemukan, ia tidak ingin membunuh Lin Pingzhi ataupun kedua orang tuanya; sedangkan urusan membalas dendam dapat ditunda lain waktu. Seketika ia pun mengendurkan pegangannya sehingga tubuh Lin Pingzhi sepenuhnya jatuh ke tangan si bungkuk.
“Terima kasih banyak,” ujar Mu Gaofeng sambil tertawa. “Pendeta Yu memang sahabat sejati. Demi si bungkuk sampai-sampai kau rela dendam kematian putramu tidak terbalas. Pendeta Yu benar-benar mengutamakan kesetiakawanan daripada urusan pribadi.”
Yu Canghai menjawab, “Terima kasih atas pujian Saudara Mu. Hanya kali ini saja aku bersedia mengalah. Lain kali, tidak ada kesempatan kedua bagimu.”
“Belum tentu,” sahut Mu Gaofeng. “Pendeta Yu seorang yang berbudi luhur dan murah hati. Tentu lain kali kau tetap mengalah kepadaku.”
Yu Canghai terlihat sangat kesal. Ia lantas memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk pergi meninggalkan Wisma Permata.
Sementara itu, Biksuni Dingyi dan Liu Zhengfeng bersama murid-murid mereka sudah lebih dulu meninggalkan rumah pelacuran tersebut untuk mencari Yilin di tempat lain. Seketika suasana Wisma Permata berubah sepi, seolah-olah hanya tinggal Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi berdua yang tertinggal di sana.
“Bungkuk palsu, kau ini sebenarnya berwajah tampan,” ujar Mu Gaofeng memulai pembicaraan. “Nak, kau tidak perlu memanggil kakek lagi kepadaku. Mulai saat ini kau panggil saja si bungkuk ini sebagai gurumu.”
Lin Pingzhi terlihat masih kesakitan akibat ditarik kedua orang sakti tadi. Diam-diam ia berpikir, “Ilmu silat si bungkuk ini sepuluh kali lipat di atas Ayah. Bahkan, Yu Canghai pun segan kepadanya. Jika aku ingin membalas dendam, maka jalan yang paling baik memang harus berguru kepadanya. Akan tetapi, sewaktu murid Qingcheng tadi menyerangku, ia sama sekali tidak berusaha untuk menolong. Baru setelah mendengar siapa diriku yang sebenarnya, ia pun turun tangan untuk membantu. Jelas orang ini punya maksud yang kurang baik.”
Melihat pemuda itu tampak ragu-ragu, Mu Gaofeng kembali membujuknya, “Kau sendiri telah mengetahui kehebatan ilmu silat dan nama besar Si Bungkuk dari Utara. Sampai saat ini aku belum pernah memiliki murid seorang pun. Jika kau bersedia menjadi muridku, maka semua kepandaianku akan kuturunkan kepadamu. Jangankan melawan murid-murid Qingcheng, bahkan Yu Canghai sendiri kelak dapat kau kalahkan dengan mudah. Nak, kenapa kau tidak segera berlutut dan menyembahku sebagai gurumu?”
Semakin orang itu membujuk, perasaan Lin Pingzhi semakin bertambah ragu. Diam-diam ia berpikir, “Jika orang bungkuk ini benar-benar peduli kepadaku dan ingin menjadikanku sebagai murid, mengapa tadi dia mencengkeram bahuku dan menarik keras-keras? Bahkan, ia juga mengajak Yu Canghai menarik tubuhku sampai mati. Setelah mengetahui siapa diriku yang sebenarnya, Yu Canghai menginginkan diriku hidup-hidup. Jelas dia ingin mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis dariku. Hm, dalam Serikat Pedang Lima Gunung banyak terdapat orang-orang sakti dan bijaksana. Bila ingin mendapatkan guru yang baik, seharusnya aku berguru kepada salah satu di antara mereka. Si bungkuk ini sangat kejam. Tidak peduli setinggi apapun ilmunya, aku tidak boleh berguru kepada orang jahat ini.”
Melihat Lin Pingzhi masih tetap ragu-ragu, Mu Gaofeng menjadi gusar. Namun demikian, bibirnya tetap menunjukkan senyum. “Bagaimana? Apakah kau menganggap kepandaian si bungkuk ini belum memenuhi syarat? Apa kau merasa diriku ini belum pantas menjadi gurumu?” seru Mu Gaofeng sambil tertawa.
Sekilas Lin Pingzhi sempat melihat wajah Mu Gaofeng yang bengis dan keji sebelum tersenyum. Seketika ia pun bergidik ngeri. Ia merasa sangat terdesak oleh manusia bungkuk tersebut. Kalau sampai menolak, bisa jadi Mu Gaofeng marah dan mebunuhnya. Maka, dengan terpaksa pemuda itu pun menjawab, “Kesediaan Pendekar Mu menerima saya sebagai murid merupakan keberuntungan yang sangat besar bagi saya. Akan tetapi, sejak kecil saya hanya belajar ilmu silat Keluarga Lin kami saja. Jika saya harus belajar ilmu perguruan lainnya, maka saya harus meminta izin kepada Ayah terlebih dahulu. Cara seperti itu adalah suatu hal yang wajar dalam dunia persilatan.”
Mu Gaofeng manggut-manggut dan berkata, “Aturan seperti itu aku pun sudah tahu. Akan tetapi, permainanmu yang payah tadi belum bisa digolongkan sebagai ilmu silat. Pasti kepandaian ayahmu juga sangat terbatas. Kau sungguh beruntung hari ini tiba-tiba saja aku ingin menerima murid. Sebentar lagi mungkin aku sudah berubah pikiran. Jadi, sebelum terlambat segeralah menyembah dan memanggilku guru. Kelak aku sendiri yang akan minta izin kepada ayahmu. Sudah pasti ia tidak akan berani menolak.”
Lin Pingzhi yang semakin terdesak akhirnya berkata, “Pendekar Mu, saat ini ayah dan ibuku berada dalam cengkeraman orang-orang Qingcheng. Aku sungguh berharap Pendekar Mu sudi menolong mereka. Asalkan kedua orang tuaku selamat, apa pun yang Tuan Pendekar minta pasti akan kupenuhi.”
“Apa? Kurang ajar!” bentak Mu Gaofeng kehilangan kesabaran. “Kau berani main tawar-menawar denganku, hah? Dasar bocah ingusan! Berani sekali kau mengajukan syarat kepadaku. Memangnya kau anggap dirimu siapa?”
Sambil membentak demikian, Mu Gaofeng teringat bagaimana Yu Canghai tadi mengalah di depan murid-muridnya dan menunda balas dendam atas kematian putranya. Jelas ketua Perguruan Qingcheng tersebut menginginkan sesuatu yang sangat berharga dari tangan Lin Pingzhi. Tentu saja Mu Gaofeng pernah mendengar desas-desus di dunia persilatan bahwa Yu Canghai telah menghancurkan Biro Pengawalan Fuwei untuk mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Jika kitab itu benar-benar ada, Mu Gaofeng berpikir tentu dirinya yang akan mendapatkan benda pusaka tersebut apabila Lin Pingzhi bersedia menjadi muridnya.
Berpikir demikian, Mu Gaofeng mengulangi kembali perintahnya, “Segeralah kau berlutut menyembahku. Dengan tiga kali menyembah, kau akan langsung menjadi muridku. Tentu saja seorang guru akan ikut bertanggung jawab atas keselamatan orang tua muridnya. Apalagi yang kau risaukan?”
Lin Pingzhi kembali terkenang kepada penderitaan ayah dan ibunya. Ia pun berpikir, “Ayah dan Ibu masih berada di tangan bajingan Yu Canghai. Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan mereka. Asalkan dia bisa membebaskan Ayah dan Ibu, aku akan memberikan apapun yang ia minta. Meskipun orang bungkuk ini bukan manusia baik-baik, tapi kali ini aku terpaksa harus mengakuinya sebagai guru.”
Perlahan-lahan Lin Pingzhi pun berlutut untuk menyembah Mu Gaofeng. Khawatir jangan-jangan ia berubah pikiran, Mu Gaofeng pun menekan kepala pemuda itu ke bawah. Tidak tahunya, Lin Pingzhi seorang pemuda berhati keras. Semula ia berniat untuk menyembah dan memanggil guru kepada Mu Gaofeng. Akan tetapi, begitu tangan si bungkuk menekan tengkuknya, seketika ia berusaha menolak.
“Hei, lekas berlutut?” seru Mu Gaofeng gusar. Ia pun menambah tenaga untuk menekan lebih kuat.
Lin Pingzhi seorang pemuda angkuh. Bagaimanapun juga ia pernah menjadi seorang tuan muda yang setiap hari disanjung puji oleh orang-orang di sekitarnya. Kini, demi untuk menyelamatkan kedua orang tuanya, ia terpaksa merendahkan diri dengan berlutut dan menyembah seorang bungkuk berhati kejam. Namun, begitu Mu Gaofeng main paksa, seketika pemuda itu memberontak. Dengan suara keras ia berkata, “Jika kau berjanji akan menolong ayah dan ibuku, maka aku pun berjanji akan berguru kepadamu. Tapi untuk saat ini aku tidak mungkin menyembah kepadamu.”
“Apa katamu?” bentak Mu Gaofeng. “Baik, kita lihat saja. Aku ingin tahu apakah kau benar-benar tidak mungkin menyembah kepadaku?”
Setelah berkata demikian, si bungkuk menekan kepala Lin Pingzhi semakin keras. Lin Pingzhi berusaha bangkit berdiri namun kekuatan Mu Gaofeng sungguh luar biasa. Ia merasakan seolah ada batu besar seberat ribuan kilo menindih kepalanya.
Dengan kedua tangan mendorong tanah, Lin Pingzhi berusaha melawan tekanan Mu Gaofeng. Sebaliknya, Mu Gaofeng menambah kekuatan tangannya. Sambil tertawa ia berkata, “Menyembah atau tidak? Jika tenagaku kutambah lagi, tentu lehermu akan segera patah.”
Kepala Lin Pingzhi semakin mendekati tanah. Namun mulutnya tetap berteriak dengan susah payah, “Aku tidak mau... aku tidak mau....” Ia bahkan bisa mendengar suara tulang lehernya yang hampir patah.
“Coba lihat sampai di mana penolakanmu,” sahut Mu Gaofeng sambil menambah sedikit tenaga. Kepala Lin Pingzhi semakin terdorong ke bawah. Dahi pemuda itu kini hanya berjarak lima senti dari permukaan tanah.
Pada saat itulah tiba-tiba Lin Pingzhi merasa ada hawa panas menjalar di punggungnya. Hawa tersebut merasuk ke dalam tubuhnya dengan lembut dan memberinya kekuatan baru. Entah mengapa, beban berat yang menindih kepalanya tidak terasa lagi. Dengan mudah ia mampu berdiri dan mendesak tekanan Mu Gaofeng.
Kejadian ini sangat membingungkan perasaan Lin Pingzhi. Sebaliknya, Mu Gaofeng sangat terkejut karena menyadari bahwa pemuda itu telah mendapat bantuan tenaga dalam yang mirip sekali dengan ilmu Pelangi Ungu, milik Perguruan Huashan. Konon kabarnya, ilmu tenaga dalam tersebut terlihat samar-samar seperti pelangi di angkasa, namun kekuatannya sangat dahsyat bagaikan badai yang menghancurkan.
Mu Gaofeng kembali berusaha menekan kepala Lin Pingzhi dengan tenaga yang lebih besar. Namun baru saja tangannya menyentuh kepala pemuda itu, dahi Lin Pingzhi segera memancarkan tenaga yang menggetarkan. Seketika tangan Mu Gaofeng terasa kaku dan kesemutan, serta dadanya terasa sesak.
Dengan cepat Mu Gaofeng melangkah mundur dan berkata, “Rupanya Saudara Yue sedang bermain-main dengan si bungkuk ini. Untuk apa pula kau bersembunyi di pojok sana?”
Dari arah sudut bangunan Wisma Permata, muncul seorang pria berpakaian sarjana dengan bibir tersenyum. Tangan kanannya tampak menggoyang-goyangkan kipas dengan gerakan anggun. Ia lantas menyapa, “Saudara Mu, sudah lama kita tidak bertemu tapi kau terlihat masih muda belia. Sungguh mengagumkan!”
Rupanya tebakan Mu Gaofeng tidak salah. Pria berpakaian sarjana itu memang benar bernama Yue Buqun, ketua Perguruan Huashan yang terkenal dengan julukan Si Pedang Budiman. Selamanya Mu Gaofeng sangat segan terhadap orang ini. Apalagi kini ia tertangkap basah sedang mendesak seorang anak muda yang berkepandaian rendah, jelas ini membuatnya serbasalah.
Namun demikian, si bungkuk berusaha menyembunyikan perasaannya dan membalas dengan ramah, “Saudara Yue, kau jangan bercanda. Justru kau ini yang terlihat semakin muda. Aku selalu berharap kau sudi menjadi guruku dan mengajarkan ilmu Santapan Yin Yang kepadaku.”
Yue Buqun menyahut, “Kau bungkuk gila! Sebagai kawan lama yang baru bertemu kembali, apa tidak ada bahan pembicaraan lain? Untuk apa aku mempelajari ilmu cabul seperti itu?”
Santapan Yin Yang adalah ilmu yang terdapat dalam kitab pengobatan kuna. Ilmu ini bertujuan untuk mendapatkan kesehatan dan awet muda dengan cara bersetubuh dengan banyak perempuan. Konon, energi yang dilepaskan oleh para perempuan dalam kegiatan tersebut diserap untuk memperkaya kesehatan si pelaku. Karena cara-cara demikian bertentangan dengan norma kesusilaan, ilmu ini dianggap masyarakat sebagai ilmu cabul.
Mu Gaofeng menjawab, “Tidak seorang pun yang percaya kalau kau tidak menguasai ilmu tersebut. Jika tidak, bagaimana kau terlihat seperti cucuku, padahal usiamu sudah lebih dari enam puluh tahun?”
Lin Pingzhi sendiri sudah melompat mundur sewaktu Mu Gaofeng melepaskan cengkeramannya. Begitu menoleh ke arah Yue Buqun, ia langsung terpesona melihat wibawa ketua Perguruan Huashan tersebut. Wajahnya terlihat bersih tanpa kerutan sedikit pun, dengan janggut tertata rapi di dagunya. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Bangsat bungkuk itu memanggilnya dengan sebutan ‘Saudara Yue’. Mungkinkah laki-laki yang berwibawa seperti dewa itu bernama Tuan Yue, ketua Perguruan Huashan yang terkenal? Aih, apa benar usianya sudah lebih dari enam puluh tahun? Padahal, sepertinya ia baru berusia empat puluh. Lao Denuo adalah murid orang ini, tapi dia terlihat jauh lebih tua.”
Namun kemudian Lin Pingzhi teringat ibunya pernah bercerita bahwa kaum persilatan yang memiliki tenaga dalam tingkat tinggi konon tidak hanya berumur panjang, tapi juga awet muda. Dalam hati Lin Pingzhi semakin bertambah kagum.
Yue Buqun tersenyum sopan dan berkata, “Saudara Mu, pemuda ini seorang anak yang berbakti. Ia juga pemberani dan berjiwa kesatria. Bakat seperti ini sulit dicari, sehingga tidak heran kalau Saudara Mu suka kepadanya. Perlu diketahui, semua kemalangan yang menimpa dirinya disebabkan oleh keberaniannya menolong Lingshan, putriku. Melihat dia menemui kesulitan, mau tidak mau aku harus segera turun tangan. Dengan memandang diriku, aku harap Saudara Mu sudi menaruh belas kasihan kepadanya.”
“Apa katamu?” sahut Mu Gaofeng terheran-heran. “Bocah ini berilmu rendah, mana mungkin ia menjadi pahlawan penolong putrimu? Ah, mungkin ceritanya harus dibalik. Mungkin yang benar, melihat bocah tampan ini, maka Keponakan Lingshan telah....”
Menyadari si bungkuk suka berkata kotor, Yue Buqun buru-buru menukas, “Sesama kaum persilatan wajar jika saling memberikan pertolongan. Menolong tidak harus dengan tenaga ataupun kekuatan. Membantu dengan ucapan juga termasuk pertolongan. Tentu saja untuk menolong orang lain tidak perlu harus berilmu tinggi. Saudara Mu, kalau kau bersikeras ingin mengambil pemuda ini sebagai murid, memang yang paling baik adalah kau harus membiarkan dia meminta persetujuan lebih dulu dari orang tuanya. Dengan demikian kedua pihak sama-sama tidak merasa dirugikan.”
Mu Gaofeng merasa bimbang melihat Yue Buqun sudah mulai mencampuri urusannya. Ia pun menjawab, “Tadinya aku memang sangat tertarik untuk menjadikan bocah ini sebagai murid. Namun kini, aku sudah tidak berhasrat lagi. Walaupun bocah ini menyembah kepadaku seribu kali, aku tetap tidak sudi menerimanya.”
Setelah berkata demikian tiba-tiba orang bungkuk itu menendang tubuh Lin Pingzhi hingga terpental sejauh beberapa meter. Tendangan ini begitu cepat dan kuat, bahkan Yue Buqun tidak sempat menghalanginya. Untungnya, Lin Pingzhi mampu bangkit kembali setelah menerima tendangan itu. Penderitaan yang bertubi-tubi telah membuat fisik dan mental pemuda ini bertambah kuat.
Yue Buqun berkata, “Saudara Mu, sebenarnya bukan aku yang bertambah muda, tetapi dirimu sendiri. Sesuatu yang tidak dapat kau miliki lantas kau buang begitu saja. Sifatmu ini benar-benar seperti anak kecil.”
Mu Gaofeng tertawa dan menjawab, “Jangan khawatir, Saudara Yue. Bagaimanapun besarnya nyaliku tetap saja tidak mungkin berani menentangmu. Sudahlah, aku pergi saja. Tidak kusangka, Perguruan Huashan yang mulia juga menaruh perhatian terhadap Kitab Pedang Penakluk Iblis.”
“Apa maksudmu?” sahut Yue Buqun sambil melompat maju. Wajahnya tampak memancarkan sinar berwarna keunguan.
Melihat itu Mu Gaofeng berpikir, “Tidak salah lagi, ini adalah ilmu Pelangi Ungu. Hm, si tua Yue ini telah berhasil menguasainya. Kini ia tidak hanya mahir dalam ilmu pedang, tapi juga memiliki tenaga dalam tingkat tinggi. Sungguh bijaksana kalau aku tidak bermain-main dengannya.”
Meskipun hatinya gentar namun Mu Gaofeng tetap terlihat tenang. Sambil menyeringai ia menjawab, “Entahlah, aku sendiri tidak tahu benda seperti apa Kitab Pedang penakluk Iblis itu. Yang aku tahu, Yu Canghai tampak sangat menginginkannya. Harap Saudara Yue jangan tersinggung atas ucapanku yang lancang tadi. Selamat tinggal!”
Usai berkata demikian, Mu Gaofeng melesat pergi ditelan kegelapan malam.
Yue Buqun menghela napas dan berkata lirih, “Sayang sekali, tokoh berbakat seperti dia malah berkelakuan....” Sambil menelan kata “tidak baik” ketua Huashan ini tampak menggelengkan kepala.
Tiba-tiba Lin Pingzhi berlari maju untuk kemudian berlutut di hadapan Yue Buqun. Berkali-kali ia menyembah sambil berkata, “Mohon Guru sudi menerima saya sebagai murid. Saya siap untuk mematuhi dan melaksanakan semua tata tertib perguruan. Sedikit pun saya tidak akan berani membantah perintah Guru.”
Yue Buqun tertawa dan menjawab, “Jika aku menerima dirimu, tentu kelak aku akan diolok-olok si bungkuk, bahwa aku telah berebut murid dengannya.”
Lin Pingzhi menyahut, “Begitu melihat Guru, saya langsung merasa kagum. Keinginan ini lahir dari lubuk hati saya yang paling dalam. Sama sekali tidak ada unsur keterpaksaan.”
Yue Buqun menukas, “Menerima dirimu sebagai murid bukan masalah sulit. Hanya saja, kau belum memberi tahu ayah dan ibumu. Jangan-jangan mereka tidak mengizinkanmu.”
“Asalkan Guru menerima saya, tentu Ayah dan Ibu ikut merasa senang. Saya berani menjamin mereka berdua pasti mengizinkan. Kedua orang tua saya ada di tangan para penjahat Qingcheng. Hanya Guru yang dapat membebaskan mereka,” ujar Lin Pingzhi sambil terus memohon.
“Baiklah, lekas bangun!” jawab Yue Buqun. “Kalian semua, lekas keluar dari persembunyian!”
Beberapa orang pun bermunculan dari balik tembok. Mereka tidak lain adalah murid-murid Huashan, yaitu Lao Denuo, Liang Fa, dan sebagainya. Kesemuanya sejak tadi diperintahkan untuk bersembunyi dan hanya boleh keluar jika Mu Gaofeng sudah pergi. Bagaimanapun juga, Yue Buqun tidak ingin mempermalukan Si Bungkuk dari Utara di hadapan banyak orang.
Lao Denuo dan adik-adiknya berkata dengan nada gembira, “Kami mengucapkan selamat, Guru baru saja menerima seorang murid yang gagah berani. Sudah pasti dia akan memiliki masa depan yang cerah.”
Yue Buqun tersenyum dan berkata, “Pingzhi, mereka ini adalah kakak-kakak seperguruanmu. Tentu sebelum ini kau pernah melihat mereka. Nah, sekarang kalian bisa berkenalan secara resmi.”
Lin Pingzhi pun memberi hormat kepada murid-murid Huashan itu satu per satu. Mereka adalah Lao Denuo, murid nomor dua yang berambut putih; Liang Fa, murid nomor tiga yang bertubuh tinggi besar; Shi Daizi, murid nomor empat yang berdandan seperti kuli; Gao Genming, murid nomor lima yang suka membawa sempoa; serta Lu Dayou, murid nomor enam yang membawa seekor kera kecil. Selain itu ada pula murid ketujuh bernama Tao Jun dan murid kedelapan bernama Ying Bailuo.
Tiba-tiba Lin Pingzhi mendengar suara merdu seorang perempuan yang tidak asing baginya. Perempuan itu berdiri di belakang Yue Buqun dan berkata, “Ayah, kalau aku ini termasuk kakak atau adik?”
Sejenak Lin Pingzhi terperanjat. Ia sama sekali tidak pernah lupa kalau itu adalah suara Lingshan, si gadis burik yang dulu menyamar sebagai penjual arak bernama Wan-er. Dengan malu-malu gadis itu memandang ke arah Lin Pingzhi namun sekejap kemudian langsung berlindung kembali di balik punggung sang ayah.
Melihat wajah gadis itu, Lin Pingzhi terkejut dan berpikir, “Tadinya dia berwajah burik penuh benjolan seperti bekas penyakit cacar. Tapi kenapa sekarang dia terlihat begitu cantik?”
Di bawah cahaya rembulan, Lin Pingzhi memang tidak bisa melihat dengan jelas wajah Yue Lingshan, namun ia yakin gadis ini sangat cantik tidak seperti pertemuan sebelumnya. Pemuda itu kembali berpikir, “Aku ingat sekarang, bahwa Biksuni Dingyi pernah bertanya mengapa gadis ini menyamar dengan wajah burik. Ternyata seperti ini wajahnya yang asli.”
Terdengar Yue Buqun menjawab pertanyaan putrinya, “Meskipun ketujuh kakak seperguruanmu ini bergabung dengan Huashan sesudah dirimu, namun mereka memanggilmu ‘Adik Kecil’. Khusus untuk dirimu memang tidak dipanggil sesuai urutan masuk perguruan, melainkan berdasarkan usia. Sepertinya sudah nasibmu dipanggil ‘Adik Kecil’ sekali lagi, karena usia Pingzhi sedikit di atasmu.”
“Tidak bisa, tidak bisa!” sahut Yue Lingshan. “Dia harus memanggilku ‘kakak’. Mulai sekarang kalau Ayah menerima murid baru, entah seratus orang, entah dua ratus orang, semua harus memanggil ‘kakak’ kepadaku.”
Sambil tertawa kecil, Yue Lingshan muncul dari balik punggung sang ayah. Kini Lin Pingzhi dapat melihat dengan jelas betapa putri Yue Buqun itu memang sangat cantik dengan wajah bulat telur serta sepasang mata yang indah cemerlang.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi membungkuk dan berkata, “Kakak Yue, atas belas kasihan Guru, aku dapat diterima sebagai murid Perguruan Huashan. Siapa yang masuk perguruan lebih dulu berhak dipanggil kakak. Tentu saja dalam hal ini aku terhitung adik seperguruanmu.”
Yue Lingshan terlihat senang dan berkata kepada ayahnya, “Ayah dengar sendiri, bukan? Dia memanggilku sebagai kakak secara sukarela. Aku sama sekali tidak memaksanya.”
Yue Buqun menjawab, “Dia baru masuk perguruan sudah kau takut-takuti dengan kata ‘paksa’. Jangan-jangan dia berpikir kalau semua muridku suka main paksa. Mengerikan!”
Maka tertawalah murid-murid Huashan lainnya.
Yue Lingshan kembali berkata, “Ayah, Kakak Pertama bersembunyi di sini untuk menyembuhkan lukanya. Tadi dia terkena pukulan Pendeta Yu satu kali. Keadaannya tentu bertambah parah. Mari kita lekas menjenguknya.”
Yue Buqun menggelengkan kepala dan berkata, “Sebaiknya Genming dan Daizi saja yang masuk.”
Gao Genming dan Shi Daizi mengiakan dan segera melompat ke dalam kamar melalui jendela. Namun tidak lama kemudian terdengar mereka berseru, “Guru, Kakak Pertama tidak ada di sini. Di kamar ini tidak ada siapa-siapa.” Cahaya api terlihat memancar keluar melalui jendela, pertanda kedua murid Huashan itu telah menyalakan lilin.
Yue Buqun mengerutkan dahinya. Sebagai seorang yang selalu menjaga kehormatan, pantang baginya masuk ke dalam rumah pelacuran yang kotor dan hina tersebut. Ia pun memerintahkan Lao Denuo untuk membantu mencari.
Setelah Lao Denuo masuk ke dalam kamar melalui jendela, Yue Lingshan berkata, “Ayah, aku juga ingin masuk untuk mencari.”
Namun Yue Buqun segera memegangi lengan putrinya itu dan berkata, “Hus! Kau tidak boleh sembarangan masuk ke tempat seperti ini!”
Yue Lingshan yang pernah menyaksikan kehebatan pukulan Yu Canghai merasa sangat cemas. Ia pun berseru dengan suara serak hampir menangis, “Tapi... tapi Kakak Pertama terluka parah. Aku takut... aku takut dia mati karena lukanya itu.”
“Jangan khawatir,” bisik Yue Buqun. “Dia telah diobati dengan Salep Penghubung Kahyangan milik Perguruan Henshan. Jiwanya masih bisa diselamatkan.”
Yue Lingshan terlihat lega. Ia pun bertanya, “Dari mana... dari mana Ayah tahu?”
“Diam, jangan cerewet!” sahut Yue Buqun.
Linghu Chong yang belum pulih memang kembali terluka oleh sambaran angin pukulan Yu Canghai tadi. Lukanya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah. Meskipun demikian, telinganya masih bisa mendengar dengan jelas suasana di luar kamar saat Yu Canghai dan Mu Gaofeng memperebutkan Lin Pingzhi. Namun begitu mendengar kedatangan Yue Buqun, seketika pemuda itu sangat ketakutan. Ia memang tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada gurunya itu. Khawatir sang guru akan menghukumnya karena berada di dalam rumah pelacuran, ia pun berkata kepada Yilin dan Qu Feiyan, “Celaka, guruku ada di sini. Kita harus segera pergi.”
Sambil berjalan sempoyongan dan memegangi dinding, Linghu Chong menyusuri lorong Wisma Permata. Qu Feiyan segera menarik lengan Yilin untuk berjalan di belakang pemuda itu. Khawatir Linghu Chong terjatuh dan kehilangan kesadaran, mereka berdua serentak memegangi lengan kanan dan kirinya untuk membantu ia berjalan.
Linghu Chong menyusuri sebuah serambi panjang sambil menggertakkan gigi menahan sakit. Ia sadar pendengaran dan penglihatan gurunya sangat tajam. Jika ia meninggalkan Wisma Permata saat ini, tentu akan segera ketahuan. Maka, begitu melihat sebuah kamar besar di sisi kanan, buru-buru ia memasuki ruangan tersebut.
“Lekas tutup pintu dan jendela,” ujarnya dengan suara lirih. Qu Feiyan segera melaksanakan permintaan itu. Dengan keadaannya yang sangat lemah, Linghu Chong segera merebahkan diri di atas ranjang. Napasnya pun terdengar sangat payah dan tersengal-sengal.
Ketiganya bersembunyi di dalam kamar besar itu tanpa bersuara sedikit pun. Selang beberapa lama akhirnya terdengar suara Yue Buqun berkata, “Sepertinya dia sudah pergi dari sini. Sudahlah, mari kita juga pergi.”
Linghu Chong merasa lega dan menghembuskan napas panjang. Namun beberapa lama kemudian kembali terdengar suara memanggil-manggil, “Kakak Pertama! Kakak Pertama!” Suara tersebut tidak lain adalah suara Lu Dayou si Monyet Keenam. Ternyata ia diam-diam berputar balik sementara guru dan saudara-saudaranya yang lain berangkat pergi.
Dalam hati Linghu Chong mengakui kalau Lu Dayou adalah saudara seperguruannya yang paling akrab dan setiakawan. Baru saja ia hendak menjawab tiba-tiba dilihatnya kain kelambu tampak bergetar. Rupanya Yilin yang duduk di tepi ranjang sedang gemetar ketakutan.
Menyadari hal itu Linghu Chong berpikir, “Jika aku menjawab panggilan Monyet Keenam, nama baik biksuni cilik ini bisa tercemar. Lebih baik aku diam saja.”
Lu Dayou memanggil berkali-kali namun Linghu Chong berusaha menahan diri untuk tidak menjawab. Akhirnya suara itu semakin menjauh dan tidak terdengar lagi, pertanda Si Monyet Keenam sudah pergi menyusul yang lainnya.
Setelah keadaan aman, Qu Feiyan berkata, “Linghu Chong, kau masih hidup atau sudah mati?”
“Mana mungkin aku mati? Kalau aku mati tentu akan merusak nama baik Perguruan Henshan,” jawab Linghu Chong.
“Apa maksudmu?” sahut Qu Feiyan.
Linghu Chong menjawab, “Aku telah diobati menggunakan salep dan pil buatan Perguruan Henshan. Kalau sampai tidak sembuh tentu aku akan merasa sangat bersalah kepada... kepada biksuni cilik ini.”
“Benar sekali,” ujar Qu Feiyan. “Kalau kau mati, tentu Kakak Yilin akan sangat menyesal.”
Mendengar Linghu Chong terluka parah tapi masih bisa bercanda, perasaan Yilin menjadi sedikit lega. Ia lantas berkata, “Kakak Linghu, kau telah mendapat pukulan Pendeta Yu. Biarkan aku memeriksa lukamu lagi.”
Linghu Chong mencoba bangun namun Qu Feiyan berkata, “Jangan memaksakan diri, Kau berbaring saja.”
Karena merasa tenaganya memang sangat lemah, Linghu Chong pun tetap berbaring di atas ranjang.
Setelah Qu Feiyan menyalakan lilin, Yilin dapat melihat betapa darah telah membasahi baju Linghu Chong. Tanpa memedulikan pantangan lagi, Yilin pun membuka baju pemuda itu dan membersihkan luka di dadanya menggunakan handuk yang tersedia di lemari kamar. Setelah itu, ia kembali mengoleskan Salep Penghubung Kahyanngan pada luka Linghu Chong.
“Wah, obat bagus seperti ini sayang sekali kalau dibuang-buang hanya untuk mengobatiku,” ujar Linghu Chong sambil tertawa.
“Kakak Linghu jangan bicara seperti itu,” sahut Yilin malu-malu. “Kau terluka parah demi untuk menolong diriku. Hanya obat ini yang bisa kuberikan kepadamu. Aku tidak tahu bagaimana lagi harus membalas kebaikanmu. Bahkan... bahkan....” Yilin merasa tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia akhirnya menyambung, “Bahkan guruku memuji perbuatanmu yang berani menantang penjahat berilmu tinggi demi menegakkan kebenaran. Karena hal itu, sampai-sampai Guru bertengkar dengan Pendeta Yu.”
“Jangan terlalu memuji,” jawab Linghu Chong. “Asalkan Bibi Dingyi yang terhormat tidak mendampratku, bagiku itu sudah cukup.”
“Mana mungkin Beliau mendampratmu?” sahut Yilin cepat. “Kakak Linghu harus beristirahat sehari semalam, supaya lukamu tidak pecah dan berdarah lagi.” Usai berkata demikian ia lantas memasukkan tiga butir Pil Empedu Beruang Putih ke dalam mulut pemuda itu.
Qu Feiyan berkata, “Kakak Yilin, kau di sini saja untuk menjaganya. Aku harus lekas-lekas pulang, karena Kakek mungkin sudah menungguku.”
“Tidak, jangan pergi! Mana boleh aku ditinggal sendirian di sini?” sahut Yilin mencegah.
“Sendirian bagaimana?” ujar Qu Feiyan sambil tertawa cekikikan. “Bukankah di sini ada Linghu Chong?” Gadis kecil itu lantas berpaling menuju pintu keluar.
“Pokoknya jangan pergi!” seru Yilin sambil melompat dan mencengkeram lengan Qu Feiyan.
“Hei, apa kau hendak bertarung denganku?” sahut Qu Feiyan sambil tersenyum menyeringai.
Wajah Yilin bersemu merah dan ia pun melepaskan cengkeramannya. “Adikku yang manis, tolong jangan pergi. Temani aku untuk menjaganya,” ujarnya memohon.
Qu Feiyan menjawab, “Baiklah, baiklah! Aku akan tetap di sini. Linghu Chong bukan orang jahat; kenapa kau takut kepadanya?”
“Apakah lenganmu terluka olehku?” sahut Yilin mengalihkan pembicaraan.
“Aku tidak apa-apa. Hanya keadaan Linghu Chong yang terlihat parah,” jawab Qu Feiyan.
Yilin terkesiap dan buru-buru mendekati ranjang. Begitu membuka kelambu, ia melihat Linghu Chong kehilangan kesadaran dengan mata tertutup rapat. Ia lantas meletakkan tangan di depan hidung pemuda itu untuk merasakan pernapasannya. Seketika hatinya lega karena napas Linghu Chong sudah mulai teratur.
Tiba-tiba terdengar jendela dibuka dan Qu Feiyan tertawa kecil. Serentak Yilin menoleh dan melihat gadis kecil itu sudah pergi melompati jendela.
Yilin merasa kebingungan namun juga tidak mampu mengejar gadis kecil yang lincah itu. Dengan perasaan cemas ia berkata kepada Linghu Chong, “Dia... dia sudah pergi.”
Namun waktu itu efek samping Pil Empedu Beruang Putih sedang bekerja, membuat Linghu Chong kehilangan kesadaran. Tentu saja semua perkataan Yilin tidak terdengar olehnya. Dalam kesendirian Yilin gemetar karena bingung. Agak lama kemudian barulah ia berani melangkah untuk menutup jendela.
Diam-diam biksuni muda itu lantas berpikir, “Aku harus segera pergi dari sini. Bagaimana kalau sampai ada orang yang melihat kami di sini? Bisa-bisa nama baik Perguruan Huashan dan Henshan akan tercemar.” Melihat Linghu Chong terbaring lemah ia kembali berpikir, “Kakak Linghu masih sangat lemah. Seorang anak kecil sudah cukup untuk membunuhnya. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan dia seorang diri di sini?”
Dalam kegelapan malam hanya terdengar suara kawanan anjing menggonggong di jalanan. Selain itu tidak terdengar suara apa-apa lagi. Wisma Permata yang tadinya ramai kini berubah sunyi senyap. Di dalam rumah besar itu hanya ada Yilin dan Linghu Chong berdua. Meskipun sangat ketakutan, namun sedikit pun Yilin tidak berani bergerak sembarangan. Ia hanya duduk diam di atas kursi menunggu Linghu Chong yang masih tertidur akibat pengaruh obat.
Beberapa lama kemudian terdengar suara ayam jantan berkokok, pertanda fajar mulai menyingsing. Yilin terkesiap dan berpikir, “Hari sudah mulai terang. Kalau ada orang lain yang datang bisa berbahaya. Bagaimana ini? Bagaimana ini?”
Usia Yilin masih sangat muda dan ia juga seorang biksuni yang setiap hari tinggal di Biara Awan Putih, di bawah bimbingan Biksuni Dingyi. Dengan demikian, pengalaman hidupnya sangat terbatas. Dalam keadaan sulit seperti saat ini ia merasa sangat cemas dan gelisah, tidak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berjalan mendekati Wisma Permata. Sesampainya di depan rumah mereka berhenti dan berbicara dengan suara perlahan, “Kalian berdua periksalah ke sebelah barat. Jika bertemu Linghu Chong, kalian harus menangkap dia hidup-hidup. Dia sedang terluka parah, maka tidak mungkin bisa melawan kita.”
Yilin terkejut mendengar suara-suara dari luar itu. Ia pun berpikir, “Bagaimanapun juga, aku harus melindungi Kakak Linghu, jangan sampai ia jatuh ke tangan orang jahat.”
Perlahan-lahan Yilin membungkus tubuh Linghu Chong menggunakan selimut lalu menggendongnya dengan kedua tangan. Setelah memadamkan lilin, ia membuka pintu perlahan-lahan dan menyelinap keluar. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, kecuali menjauhi arah suara orang-orang tadi. Begitu membuka pintu belakang gedung ia menyusup ke dalam kebun sayur. Setelah melewati kebun tersebut ia menemukan pintu pekarangan belakang dalam keadaan terbuka karena para penghuni wisma tadi malam berlarian keluar tanpa sempat menutupnya kembali. Merasa beruntung, Yilin pun membawa tubuh Linghu Chong melewati pintu tersebut dan berlari sekencang-kencangnya melalui jalanan kota.
“Aku harus membawa Kakak Linghu meninggalkan Kota Hengshan,” demikian pikirnya sambil terus berlari. Sesampainya di gerbang kota, ia melihat serombongan tukang sayur dari desa masuk ke dalam kota. Yilin pun menunduk saat berpapasan dengan rombongan tersebut sehingga berhasil mengelabui para petugas penjaga gerbang.
Biksuni muda itu terus berlari tanpa henti membawa tubuh Linghu Chong sampai beberapa kilo jauhnya. Di luar Kota Hengshan ia mengambil jalanan kecil yang menuju arah pegunungan. Ketika perasaannya sudah mulai tenang, Yilin melihat ke bawah dan menyaksikan bibir Linghu Chong tampak tersenyum. Melihat pemuda itu sudah sadar, ia menjadi gugup dan tanpa sadar tangannya melepaskan tubuh Linghu Chong.
“Amitabha,” seru Yilin sambil menangkap kembali tubuh pemuda itu yang hampir saja jatuh ke tanah.
“Maaf,” katanya. “Apakah lukamu kambuh lagi?”
“Aku baik-baik saja,” jawab Linghu Chong. “Kau sudah letih. Lembah ini sangat sepi. Sebaiknya kita beristirahat di dalam sana.”
Rupanya yang datang untuk menggeledah rumah pelacuran tadi adalah murid-murid Perguruan Qingcheng. Yilin tidak peduli lagi dengan keadaannya dan ia pun berlari sekuat tenaga membawa pergi tubuh Linghu Chong. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana ia harus menjauhkan pahlawan penolongnya itu dari ancaman bahaya. Kini keduanya telah selamat. Yilin baru merasakan betapa tubuhnya sangat letih setelah berlari sekian lama. Perlahan-lahan ia menurunkan Linghu Chong ke tanah, dan setelah itu ia duduk lemas dengan napas tersengal-sengal.
Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Kau lupa mengatur napasmu saat berlari tadi. Ini seharusnya tidak dilakukan oleh... oleh seorang murid persilatan. Lain kali kau harus tetap... tetap tenang agar tidak mudah terluka dalam.”
Yilin terlihat malu dan menjawab, “Terima kasih atas nasihatmu, Kakak Linghu. Guruku juga pernah mengajarkan demikian. Hanya saja, aku sendiri yang terlalu bodoh sehingga melupakan pelajaran tersebut.” Setelah berhenti sejenak, ia kembali bertanya dengan napas masih terengah-engah, “Bagaimana dengan lukamu?”
“Sekarang sudah tidak terasa sakit lagi,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja, kali ini terasa gatal dan mati rasa.”
“Bagus sekali,” jawab Yilin. “Itu pertanda Salep Penghubung Kahyangan sudah bekerja dengan baik. Kau akan segera sembuh.”
“Ini semua berkat obat mujarab milik perguruanmu,” ujar Linghu Chong sambil menghela napas. “Sayang sekali aku dalam keadaan terluka, sehingga harus melarikan diri menghindari bangsat rendah Perguruan Qingcheng tadi. Tapi, kalau kita sampai tertangkap oleh mereka, tentu rasanya jauh lebih mengerikan daripada mati. Nama baik perguruan kita bisa tercemar.”
“Jadi, kau mengikuti semua kejadian tadi?” sahut Yilin tak percaya. Begitu teringat dirinya telah menggendong tubuh Linghu Chong dalam waktu yang cukup lama dan ternyata pemuda itu mengetahui semuanya, seketika wajahnya pun bersemu merah; apalagi sewaktu pemuda itu kini sedang menatapnya.
Linghu Chong tidak menyadari perasaan Yilin. Ia hanya mengira kalau biksuni muda itu terlalu letih. Maka, ia pun berkata, “Adik, sebaiknya kau duduk tenang dan menjalankan pernapasan secara teratur sesuai pelajaran yang pernah kau peroleh. Dengan mengendalikan tenagamu, maka kau tidak akan jatuh sakit.”
“Baiklah,” jawab Yilin mengiakan. Ia kemudian duduk bersila dan mengatur pernapasan sambil memejamkan mata. Akan tetapi perasaannya sangat gelisah dan sukar mencapai keheningan. Sebentar-sebentar ia membuka mata untuk melihat luka Linghu Chong atau memandang pemuda itu apakah sedang melihat ke arahnya. Sewaktu membuka mata untuk yang keempat kalinya, ternyata Linghu Chong juga sedang memandang dirinya. Seketika ia pun tersipu malu dan memejamkan mata rapat-rapat.
Melihat tingkah laku Yilin tersebut, Linghu Chong tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa tertawa?” tanya Yilin dengan nada canggung. Wajahnya terlihat semakin merah.
Linghu Chong menjawab, “Kau masih terlalu muda. Latihan meditasimu belum sempurna sehingga masih belum bisa mengheningkan cipta dengan baik. Jika kau tidak bisa mencapai keheningan, tidak ada gunanya kau memaksakan diri seperti itu. Biksuni Dingyi pasti pernah mengajarimu cara meditasi yang baik, yaitu bagaimana mencapai keheningan tanpa harus memaksakan diri. Terutama dalam ilmu pernapasan, kau harus melakukannya dengan tenang dan teratur,” jawab Linghu Chong sambil terus tertawa. “Sudahlah, tidak perlu khawatir. Tenagaku sudah berangsur pulih. Andaikata orang-orang Qingcheng itu bisa menemukan tempat ini, tentu aku akan menyuruh mereka memperagakan jurus... jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat.”
Yilin menukas, “Belibis Mendarat di Pasir.”
“Benar sekali,” sahut Linghu Chong. “Rasanya nama Belibis Mendarat di Pasir memang jauh lebih bagus.” Usai berkata demikian napasnya kembali tersengal-sengal.
“Jangan banyak bicara dulu!” seru Yilin. “Istirahat saja lagi.”
Linghu Chong berkata, “Guruku ternyata datang juga ke Kota Hengshan ini. Tadinya kukira cukup diwakili para murid seperti kami. Aku ingin segera pulih dan kembali ke sana untuk menyaksikan upacara Paman Liu, pasti akan sangat meriah.”
(Bersambung)
Bagian 12 ; Halaman muka ; Bagian 14