Bagian 8 - Lolos dari Penjahat Cabul

“Di sebelah sini,” sahut seseorang di luar ruangan.
Yu Canghai benar-benar pandai menahan perasaan. Meskipun berita buruk ini sangat tiba-tiba dan mengejutkannya, serta yang terbunuh adalah salah satu dari Ying Xiong Hao Jie, atau Empat Jagoan Qingcheng, namun tetap terlihat tenang.
“Tolong, jenazah muridku dibawa masuk kemari,” katanya kemudian.
“Baik,” jawab suara dari luar. Tidak lama kemudian dua orang laki-laki yang masing-masing berseragam Hengshan dan Qingcheng masuk ke dalam ruangan. Mereka terlihat mengusung selembar papan pintu di mana sesosok mayat terbaring di atasnya. Sebilah pedang tampak menusuk perut mayat itu mulai bagian perut kemudian miring ke atas sampai menembus tenggorokan. Pedang tersebut panjangnya lebih dari satu meter, namun yang terlihat hanya gagangnya saja. Pemandangan tersebut mau tidak mau membuat ngeri para hadirin, meskipun banyak di antara mereka yang berpengalaman luas di dunia persilatan.
“Linghu Chong, hm, Linghu Chong, betapa biadab kau....” gerutu Yu Canghai sambil berjongkok di samping mayat Luo Renjie.
Si murid Taishan kembali berkata, “Paman Tianbai saat ini melanjutkan pencarian terhadap kedua maling cabul itu. Namun, sebaiknya satu atau dua paman dari sini ikut pergi memberi bantuan.”
Biksuni Dingyi dan Yu Canghai serentak menjawab, “Aku saja yang berangkat!”
Tiba-tiba dari luar terdengar suara lembut seorang perempuan berteriak, “Guru, saya datang!”
Dingyi yang mengenali suara itu langsung menjawab, “Apakah itu Yilin? Lekas masuk kemari!”
Serentak semua orang menoleh ke arah pintu untuk melihat seperti apa wajah biksuni belia yang konon diculik dua maling cabul tersebut. Begitu pintu ruangan terbuka, mereka langsung terbelalak menyaksikan seorang biksuni muda melangkah masuk ke dalam ruangan. Ternyata wajah biksuni bernama Yilin ini memang benar-benar cantik jelita. Tidak seorang pun dari para hadirin yang merasa keberatan andaikata ada yang memuji betapa kecantikan Yilin tidak kalah dibandingkan bidadari kahyangan. Usia biksuni muda ini baru sekitar enam belas tahun, dan tubuhnya terlihat langsing meskipun tertutup jubah longgar.
Begitu sampai di hadapan Dingyi, segera Yilin berlutut dengan lemah gemulai. Ia kemudian berkata, “Guru....” Namun baru satu kata terucap ia langsung menangis.
Dingyi menyahut, “Kau... apa yang terjadi denganmu? Bagaimana kau bisa meloloskan diri?”
“Guru, kali ini... kali ini hampir saja saya tidak bisa bertemu Guru lagi,” jawabnya sambil mencucurkan air mata. Suaranya terdengar lembut, sementara kedua tangannya yang memegangi lengan baju Dingyi tampak putih bersih dan sangat menawan.
Diam-diam para hadirin banyak yang berpikir, “Bagaimana gadis secantik ini bisa menjadi biksuni?”
Hanya Yu Canghai saja yang melihat biksuni muda itu dengan sekilas pandang. Kedua matanya lantas kembali mengamati pedang yang menancap di perut Luo Renjie. Pada gagang pedang itu teruntai hiasan benang berwarna hijau, dan pada permukaan pedang di dekat gagang terukir beberapa huruf yang berbunyi: “Huashan – Linghu Chong”.
Yu Canghai kemudian membandingkannya dengan pedang yang tergantung di pinggang Lao Denuo. Keduanya sama persis. Tanpa banyak bicara, pendeta bertubuh pendek itu melompat maju untuk mencolok mata Lao Denuo menggunakan jari tangan kirinya. Serangan ini begitu cepat dan juga sangat keji. Tahu-tahu kedua ujung jari Yu Canghai sudah menempel di pelupuk mata murid Huashan nomor dua tersebut.
Lao Denuo terkesiap dan langsung menangkis menggunakan jurus Obor Menerangi Langit. Namun Yu Canghai menyeringai dan segera memutar tangan kirinya sehingga kedua tangan Lao Denuo berhasil ditangkapnya. Menyusul kemudian tangan kanannya bergerak pula merebut pedang yang tergantung di pinggang lawan.
Lao Denuo meronta untuk membebaskan diri dari cengkeraman Yu Canghai namun sia-sia. Dalam waktu sekejap pedang miliknya itu sudah dipergunakan Yu Canghai untuk menodong dadanya.
“Saya... saya....” ujar Lao Denuo kebingungan.
Sambil menodong, Yu Canghai mengamati pula pedang di tangannya itu. Tampak sebuah ukiran beberapa huruf di batang pedang berbunyi: “Huashan – Lao Denuo”. Bentuk dan ukuran pedang ini pun sama persis dengan yang menancap di perut Luo Renjie. Perlahan-lahan, ia menggeser pedang di tangannya agak ke bawah sehingga menempel di perut Lao Denuo sambil berkata, “Hm, apa nama jurus yang dipakai Perguruan Huashan kalian yang mulia untuk membunuh muridku itu?”
Keringat dingin mengalir membasahi dahi Lao Denuo. Namun demikian, ia masih tetap berusaha tenang, meskipun menjawab dengan suara gemetar, “Perguruan... perguruan kami tidak memiliki jurus seperti itu.”
Dalam hati Yu Canghai merasa heran membayangkan bagaimana cara Linghu Chong menusuk Luo Renjie. Ia berpikir, “Apakah Linghu Chong berjongkok terlebih dulu untuk kemudian menusuk perut Renjie sampai menembus tenggorokan? Yang lebih mengherankan, mengapa dia meninggalkan pedangnya begitu saja sehingga mudah dikenali orang? Apakah Linghu Chong sengaja menantang Perguruan Qingcheng terang-terangan?”
Tiba-tiba Yilin berseru, “Mohon Paman Yu mengampuni Kakak Linghu. Jurus yang ia gunakan sungguh bukan jurus pedang Perguruan Huashan.”
Yu Canghai menoleh ke arah Dingyi dan berkata dengan wajah mengejek, “Biksuni, apa kau dengar ucapan muridmu tadi? Bagaimana cara dia memanggil si bajingan Linghu Chong tadi?”
Dingyi justru menyahut dengan galak, “Apa kau pikir aku ini tuli, hah? Sudah jelas aku mendengarnya sendiri!”
Biksuni tua ini benar-benar memiliki sifat tak mau kalah. Sebenarnya ia hampir saja membentak Yilin karena menyebut “Kakak Linghu”. Namun karena Yu Canghai lebih dulu menegur dengan lagak kurang sopan, ia pun tersinggung dan berbalik membela Yilin.
Dingyi melanjutkan, “Lima perguruan pedang telah berserikat menjadi satu, dan saling mengangkat saudara. Wajar saja kalau muridku yang masih muda ini memanggil Linghu Chong dengan sebutan ‘kakak’. Memangnya menurutmu ada yang aneh?”
“Boleh juga, boleh juga,” ujar Yu Canghai mencibir sambil menghimpun tenaga. Sekejap kemudian tangannya mendorong tubuh Lao Denuo ke belakang. Seketika pria tua berambut putih itu melayang dan membentur dinding ruangan. Dinding itu langsung retak dan debu pun bertaburan di udara.
“Huh, apa kau pikir aku tidak tahu perbuatanmu?” bentak Yu Canghai. “Kenapa kau buntuti aku sepanjang jalan? Apa sebenarnya tujuanmu mengintai diriku?”
Lao Denuo mencoba bangkit namun kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh kembali. Perutnya terasa mual dan matanya berkunang-kunang akibat dorongan Yu Canghai tadi. Tanpa daya, ia pun duduk di lantai sambil berpikir, “Celaka, ternyata keparat pendek ini mengetahui kalau aku dan Adik Kecil telah mengintai perbuatannya.”
Dingyi tidak terlalu peduli terhadap kemarahan Yu Canghai. Ia kembali bertanya kepada muridnya, “Yilin, coba kau ceritakan dengan jelas bagaimana dirimu bisa jatuh ke tangan Tian Boguang dan Linghu Chong?” Usai berkata demikian ia pun menggandeng tangan Yilin menuju pintu keluar.
Para hadirin merasa maklum atas sikap Dingyi. Muridnya yang masih muda dan cantik telah jatuh ke tangan penjahat cabul bernama Tian Boguang, sudah tentu sulit mempertahankan kesuciannya. Cerita yang selengkapnya jelas tidak pantas jika disampaikan di depan umum. Maka itu, wajar saja jika Yilin hendak dibawa menuju ke suatu tempat yang lebih tertutup untuk ditanyai secera terperinci.
Akan tetapi Yu Canghai tiba-tiba melompat ke dekat pintu menghadang kedua biksuni tersebut. Ia berkata, “Masalah ini sudah merenggut dua nyawa. Hendaknya Biksuni Yilin bicara di sini saja agar kami semua ikut mendengarnya. Kalau yang terbunuh adalah Keponakan Chi, mungkin Pendeta Tianmen tidak terlalu memikirkannya; karena di antara murid-murid Serikat Pedang Lima Gunung sudah saling mengangkat saudara. Akan tetapi, muridku yang bernama Luo Renjie memang tidak sebanding untuk mengaku saudara terhadap Linghu Chong.”
Biksuni Dingyi seorang perempuan tua berwatak keras. Bahkan kedua kakak seperguruannya, yaitu Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingxian biasa mengalah kepadanya. Kali ini di depan umum ia disindir secara langsung oleh Yu Canghai, sudah tentu amarahnya terusik. Wajahnya terlihat merah padam dan tangannya bersiap melayangkan pukulan.
Liu Zhengfeng sudah lama mengenal Dingyi sehingga hafal dengan perilaku biksuni tua ini. Baik Dingyi maupun Yu Canghai sama-sama tokoh papan atas dalam dunia persilatan. Apabila keduanya sampai bertarung, tentu akibatnya benar-benar mengerikan. Maka itu sang tuan rumah tersebut segera bergegas menengahi kedua pihak sambil membungkuk hormat.
“Kakak berdua adalah tamu kehormatanku. Bagaimanapun juga hendaknya kalian memandang kepadaku. Tolong jangan bertengkar sekarang. Memang kuakui pelayananku sangat jauh dari memuaskan. Untuk itu, mohon dimaafkan,” ujar Liu Zhengfeng.
“Adik Liu, kau ini bicara apa?” jawab Dingyi. “Aku benar-benar muak terhadap si hidung kerbau ini yang mencoba merintangi jalanku; padahal, aku hanya ingin bicara empat mata dengan muridku seorang.”
Hidung kerbau adalah sebutan untuk mengejek kaum pendeta agama Tao.
Sebenarnya Yu Canghai sendiri juga agak segan terhadap Dingyi dan tidak yakin menang apabila benar-benar bertarung melawannya. Andaikata hari ini ia bisa mengalahkan Dingyi, tetap saja kakak seperguruan sang biksuni yang bernama Dingxian tidak akan tinggal diam begitu saja. Meskipun Dingxian terkenal ramah dan rendah hati, namun kesaktiannya jauh lebih hebat daripada sang adik. Jika Perguruan Henshan sampai mengangkat senjata, tentu Perguruan Qingcheng berada dalam masalah besar.
Menyadari hal itu Yu Canghai pun tersenyum pahit sambil berkata, “Aku hanya berharap Biksuni Yilin sudi menceritakan kematian muridku di sini. Sama sekali Yu Canghai tidak berani merintangi tokoh besar dari Biara Awan Putih.” Perlahan-lahan ketua Perguruan Qingcheng itu kembali duduk di atas kursinya.
Dingyi sendiri juga kembali ke tempat duduknya sambil menggandeng Yilin. Ia kemudian berkata, “Coba kau ceritakan apa yang telah terjadi.” Khawatir muridnya yang masih belia itu bercerita melampaui batas sehingga mencemarkan nama baik Perguruan Henshan, ia pun menambahkan, “Ceritakan seperlunya saja. Ambil bagian-bagian yang kau anggap penting.”
“Baik, Guru!” jawab Yilin sambil mengangguk. “Mohon Guru sudi membunuh penjahat bernama Tian Boguang itu. Dia sudah... dia sudah....”
“Ya, aku paham. Kau tidak perlu menjelaskannya secara rinci. Aku sudah paham maksudmu,” sela Dingyi menukas. “Aku pasti akan membunuh si keparat Tian Boguang dan Linghu Chong....”
“Hah, Kakak Linghu?” tanya Yilin dengan sorot mata tajam. “Mengapa Guru ingin membunuh Kakak Linghu? Dia....” Mendadak air matanya berlinang-linang di pipi saat melanjutkan, “Dia sudah... dia sudah meninggal....”
Seketika semua orang terkejut mendengar ucapan Yilin itu. Pendeta Tianmen langsung bangkit dan bertanya dengan suara keras, “Bagaimana dia bisa mati? Siapa yang telah membunuhnya?”
“Pembunuhnya adalah....” jawab Yilin sambil menunjuk mayat Luo Renjie. “Pembunuhnya adalah dia... orang jahat dari Qingcheng itu!”
Mendengar berita itu kemarahan Tianmen langsung reda. Sebaliknya, Yu Canghai merasa senang karena Luo Renjie tidak mati sia-sia. Diam-diam ia berpikir, “Jadi, keduanya bertarung habis-habisan sampai mati bersama. Hm, Renjie memang pantas disebut sebagai salah satu dari Empat Jagoan Qingcheng. Benar-benar tidak mengecewakan perguruan.”
Tiba-tiba Yu Canghai terkesiap dan memandang Yilin dengan sorot mata tajam. Ia lantas berkata, “Jadi menurutmu, semua anggota Serikat Pedang Lima Gunung adalah orang baik, sedangkan murid Perguruan Qingcheng adalah orang jahat, begitu?”
“Entahlah,” jawab Yilin sambil menangis. “Aku tidak berbicara tentang Paman Yu. Yang kumaksud orang jahat adalah dia.” Kali ini ia menunjuk mayat Luo Renjie sekali lagi.
Dingyi kembali naik darah dan membentak Yu Canghai, “Memangnya kau mau menakut-nakuti anak kecil?” Biksuni tua itu lalu menepuk-nepuk punggung Yilin dan berkata, “Yilin, kau jangan takut; gurumu ada di sini. Tidak seorang pun boleh menyakitimu.”
Yu Canghai kembali berkata, “Seorang biarawati tidak boleh berdusta. Apa kau berani bersumpah atas nama Sang Buddha bahwa ceritamu benar, Biksuni kecil?” Rupanya ia khawatir jangan-jangan Yilin bercerita atas desakan gurunya sehingga berkata yang tidak-tidak mengenai Luo Renjie. Meskipun Linghu Chong dan Luo Renjie sama-sama terbunuh, namun tidak ada seorang pun di antara para hadirin yang menyaksikannya; sehingga cerita dari Yilin benar-benar menjadi sumber utama.
“Jangankan di hadapan Sang Buddha, di hadapan Guru sekalipun saya tidak berani berdusta,” jawab Yilin. Ia kemudian berlutut dengan wajah menghadap pintu keluar, kemudian menguncupkan kedua tangannya sambil berkata, “Di hadapan Guru dan Paman Guru sekalian, Yilin bersumpah akan menceritakan kejadian yang sebenar-benarnya. Sang Buddha mahaadil apabila Yilin sampai berdusta.”
Setiap orang dapat melihat dengan jelas ketulusan dan kejujuran Yilin di balik gerak-geriknya yang serbalembut itu. Seorang tamu berjanggut hitam dan berusia lima puluhan, serta berpakaian sarjana menyahut, “Jika Nona Biksuni berkata demikian, sudah pasti kami percaya.”
Dingyi pun berkata sambil memandang Yu Canghai, “Kau dengar itu, hidung kerbau? Tuan Wen pun berkata demikian. Apa lagi yang membuatmu sangsi?”
Rupanya Dingyi mengenali pria berpakaian sarjana itu bermarga Wen. Siapa nama lengkapnya tidak seorang pun yang tahu, dan semua orang hanya memanggilnya Tuan Wen. Tokoh ini merupakan jago silat terkenal dari Provinsi Shanxi yang bersenjatakan sepasang pena logam. Para pesilat yang bersenjatakan seperti ini pada umunya mahir dalam ilmu menotok titik nadi lawan.
Kini semua mata tertuju kepada Yilin. Wajahnya yang agung tampak bercahaya seolah menerangi segenap penjuru ruangan. Hampir semua para hadirin membayangkan wajah biksuni muda ini bagaikan mutiara yang halus licin tanpa cacad. Bahkan, Yu Canghai pun berpikir, “Biksuni cilik ini sepertinya memang berhati bersih. Kata-katanya tentu bisa dipercaya.”
Suasana begitu hening. Tidak seorang pun dari para hadirin yang mencoba bersuara. Masing-masing menunggu cerita yang akan disampaikan Yilin.
Selang sejenak Yilin mengawali kisahnya, “Kemarin siang, saya ikut dalam rombongan Guru dan para kakak menuju ke rumah Paman Liu ini. Sempat turun hujan deras ketika rombongan kami hampir sampai di Kota Hengyang. Ketika menuruni jalanan perbukitan, saya kurang hati-hati sehingga terpeleset jatuh dengan tangan menyangga tubuh. Akibatnya, kedua tangan saya kotor terkena lumpur. Begitu sampai di bawah bukit, saya memisahkan diri dari rombongan untuk membersihkan tangan karena melihat ada sungai kecil di sana.
Tiba-tiba saya melihat bayangan seorang laki-laki di permukaan sungai, berdiri di belakang bayangan saya. Saya terkejut dan mencoba berdiri namun punggung terasa sakit dan kesemutan. Rupanya orang itu telah menotok titik nadi di punggung saya sehingga tubuh pun lumpuh seketika. Saya ingin berteriak tapi tidak bisa bersuara. Tidak hanya titik gerak, orang itu juga menotok titik bisu saya. Kemudian, tubuh saya diangkat dan dibawanya berjalan sejauh ratusan meter. Sampai akhirnya, orang itu membawa saya masuk ke dalam gua. Waktu itu saya benar-benar takut, namun sedikit pun tidak mampu bergerak ataupun bersuara.
Tidak lama kemudian saya mendengar suara tiga orang kakak seperguruan berpencar memanggil-manggil nama saya: ‘Yilin, Yilin, di mana kau?’. Orang itu hanya tertawa pelan dan berkata lirih: ‘Jika kakak-kakakmu masuk kemari, mereka akan kutangkap sekalian.’ Namun ketiga kakak ternyata tidak masuk ke dalam gua tetapi menuju ke arah lain.
Setelah keadaan kembali sepi, orang itu membuka totokannya sehingga saya bisa bergerak bebas. Sekuat tenaga saya mencoba melarikan diri namun orang itu tahu-tahu sudah berdiri di mulut gua. Akibatnya, saya pun menabrak dadanya dan dia berkata: ‘Apa kau pikir bisa lari dari sini?’
Saya lantas melompat mundur dan melolos pedang. Namun karena orang itu tidak menyakiti saya, saya pun tidak mungkin menyakitinya. Apalagi sebagai seorang pengikut Buddha harus mengutamakan sifat welas asih. Maka itu saya hanya mengancam: ‘Pergi kau! Kenapa menggangguku? Cepat menyingkir! Jika kau merintangi jalanku, maka aku... aku akan menusukmu!’
Orang itu hanya tertawa dan menjawab: ‘Biksuni cilik, kau ini sangat baik hati. Mana mungkin kau tega melukai kulitku? Kalau kau berani, tikam saja dadaku ini.’
Saya menjawab: ‘Kita tidak saling mengenal dan tidak saling bermusuhan. Kenapa pula aku harus membunuhmu?’
Orang itu tertawa dan berkata: ‘Bagus sekali! Kalau begitu, marilah kita duduk dan bercakap-cakap di sini.’
Saya berkata: ‘Guru dan para kakak sedang mencariku. Lagipula, Guru tidak mengizinkan aku bercakap-cakap dengan sembarang laki-laki.’
Orang itu menyahut: ‘Tapi bukankah kau sudah melakukannya? Apa bedanya berbicara lama atau sebentar?’
Orang itu terus mendesak, sehingga saya kembali mengancam: ‘Jangan mendekat! Apa kau tidak tahu guruku sangat sakti? Jika Guru sampai tahu perbuatanmu, maka Beliau pasti akan mematahkan kedua kakimu. Guruku yang sakti akan datang mencarimu.’
Tapi orang itu menjawab: ‘Silakan saja kalau dia ingin mencariku. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik kepadanya. Dia sudah tua. Aku tidak suka....’”
“Omong kosong!” bentak Dingyi menukas cerita Yilin. “Kau bahkan mengingat semua perkatannya; sampai-sampai ocehan gila juga kau ceritakan di sini!”
Para hadirin merasa geli dan ingin sekali tertawa. Namun, mereka tidak berani tersenyum sedikit pun karena segan terhadap Dingyi yang bermuka merah menahan malu. Dengan sekuat tenaga, mereka berusaha memasang wajah serius menunggu kelanjutan cerita Yilin.
Yilin sendiri tampak menanggapi sang guru dengan nada polos, “Tapi dia benar-benar bicara seperti itu.”
“Baiklah, baiklah, kata-kata seperti ini jangan kau ulangi lagi,” ujar Dingyi setelah agak tenang. “Ceritakan saja secara ringkas dan jelas. Ceritakan bagaimana kau bisa bertemu Linghu Chong.”
“Baiklah,” lanjut Yilin. “Orang itu kemudian bicara macam-macam; antara lain, dia bilang kalau wajah saya sangat cantik. Dia juga mengajak saya tidur bersama....”
“Hentikan!” kembali Dingyi membentak. “Anak kecil tidak boleh bicara sembarangan!”
“Tapi dia yang bicara seperti itu, Guru” sahut Yilin polos. “Saya sendiri tidak mau menerima ajakannya itu, dan saya tidak tidur....”
“Diam kataku!” bentak Dingyi lebih keras.
Murid Qingcheng yang membawa masuk jasad Luo Renjie tadi tak kuasa menahan geli. Ia pun tertawa terbahak-bahak mengejutkan semua orang. Tentu saja ini membuat Dingyi semakin murka. Biksuni tua itu lantas menyambar cawan teh di atas meja dan menyiramkan isinya ke arah pemuda itu. Gerakan tersebut disertai tenaga dalam sehingga air teh di dalam cangkir secara cepat dan tepat menyiram wajah si murid Qingcheng tanpa tercecer di lantai sedikit pun. Sebaliknya, pemuda itu tidak sempat menghindar sehingga ia pun menjerit kepanasan.
Yu Canghai marah melihat perbuatan Dingyi. Ia pun membentak, “Apa-apaan ini? Muridmu boleh bercerita tapi muridku tidak boleh tertawa. Dasar ingin menang sendiri.”
Dingyi memandangi Yu Canghai sambil memiringkan wajah, kemudian berkata galak, “Dingyi dari Henshan sudah sejak dulu suka menang sendiri. Memangnya baru sekarang kau tahu?” Usai berkata demikian ia lantas mengangkat cawan kosong untuk dilemparkan ke arah Yu Canghai. Namun ketua Perguruan Qingcheng itu memalingkan muka seolah tak peduli.
Melihat kepercayaan diri Yu Canghai yang begitu tinggi, ditambah ilmu silatnya yang sangat tinggi, diam-diam Dingyi merasa segan juga. Perlahan, ia pun meletakkan kembali cawan teh di atas meja dan berkata, “Yilin, lanjutkan ceritamu kembali. Kalimat yang tidak penting tidak perlu kau sampaikan!”
“Baik, Guru,” sahut Yilin. “Beberapa kali saya mencoba melarikan diri namun orang itu selalu dapat menghadang saya. Hari pun semakin gelap, dan saya semakin gelisah. Akhirnya, saya nekad menusuk orang itu menggunakan pedang. Terpaksa saya melanggar pantangan membunuh karena terdesak, meskipun dalam hati merasa tidak tega. Namun orang itu dengan cepat menghindar dan meraih... meraih pinggang saya. Saya terkesiap dan berkelit ke samping. Tahu-tahu, pedang saya sudah berhasil direbutnya. Guru, ilmu silat orang itu sangat hebat. Dia memegang pedang saya dengan tangan kanan, lalu mematahkan ujung pedang saya menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Ujung pedang saya pun patah sepanjang dua senti.”
“Dia mematahkan ujung pedangmu sepanjang dua senti?” sahut Dingyi tak percaya.
“Benar,” jawab Yilin.
Biksuni Dingyi dan Pendeta Tianmen saling pandang. Keduanya sama-sama berpikir bahwa penjahat ini benar-benar hebat. Apabila yang dipatahkannya adalah bagian tengah pedang, maka hal itu sudah biasa. Akan tetapi orang ini bisa mematahkan ujung pedang dengan dua jari sepanjang dua senti saja; sungguh kekuatan yang menakjubkan.
Pendeta Tianmen lantas melolos pedang yang tergantung di pinggang muridnya, lalu mematahkan ujungnya sepanjang dua senti pula. “Seperti ini?” katanya kemudian.
“Wah, ternyata Paman Pendeta juga bisa,” jawab Yilin polos. “Tapi potongan yang diciptakan orang itu lebih rata daripada kepunyaan Paman.”
“Huh!” sahut Tianmen mendengus sambil menyarungkan kembali pedang muridnya itu. Kemudian tangan kirinya melemparkan potongan ujung pedang tersebut ke atas meja, sampai amblas ke dalam dan tidak terlihat lagi.
“Tenaga dalam Paman Pendeta sungguh luar biasa. Saya yakin, penjahat itu pasti tidak dapat melakukannya. Namun sayang....” ujar Yilin sambil kemudian menundukkan kepala. “Andai saja waktu itu Paman Pendeta berada di sana, mungkin Kakak Linghu tidak akan terluka parah.”
“Terluka parah bagaimana? Bukankah tadi kau bilang dia sudah mati?” tanya Tianmen.
“Justru itu. Gara-gara terluka parah, maka Kakak Linghu akhirnya bisa dibunuh oleh si penjahat Luo Renjie,” jawab Yilin.
Kembali Yu Canghai merasa tersinggung karena muridnya disebut sebagai “penjahat” seperti Tian Boguang. Ini berarti, Yilin menganggap Luo Renjie sama rendahnya dengan maling cabul tersebut.
Sementara itu para hadirin lainnya bertanya-tanya mengapa air mata Yilin kembali mengalir begitu teringat kepada nasib Linghu Chong. Andai saja gadis ini bukan seorang biksuni, pasti Pendeta Tianmen, Liu Zhengfeng, He Sanqi, ataupun Tuan Wen sudah membelai kepala atau menepuk-nepuk punggung Yilin untuk menghiburnya.
Sambil mengusap air matanya menggunakan lengan baju, Yilin melanjutkan cerita, “Penjahat bernama Tian Boguang itu mendorong tubuh saya lalu mencoba membuka pakaian saya. Saya pun menamparnya, tapi kedua tangan saya justru dapat ditangkapnya.
Pada saat itulah tiba-tiba kami mendengar suara tawa seorang laki-laki di luar gua. Orang itu tertawa tiga kali: ‘Hahaha!’ Setelah berhenti sejenak kembali ia tertawa: ‘Hahaha!’
Tian Boguang pun membentak kasar: ‘Siapa itu?’
Namun orang di luar kembali tertawa tanpa menjawab.
Tian Boguang memaki: ‘Sebaiknya kau pergi saja. Lebih cepat lebih baik. Berani membuat Tuan Tian marah bisa membuatmu kehilangan nyawa.’
Namun orang itu kembali tertawa tiga kali. Tian Boguang mencoba mengabaikannya dan kembali melucuti pakaian saya. Orang itu kembali tertawa dengan suara yang lebih keras. Semakin sering ia tertawa, semakin membuat Tian Boguang marah. Saya berharap orang itu datang untuk menolong saya. Namun dia ternyata mengetahui kehebatan Tian Boguang dan tidak berani masuk ke dalam gua. Hanya suara tawanya yang makin lama makin keras membuat Tian Boguang bertambah gusar.
Tian Boguang memaki-maki orang itu dengan kata-kata kotor. Ia kembali menotok urat nadi saya dan kemudian melangkaah keluar gua. Akan tetapi, orang itu sudah lebih dulu bersembunyi. Ketika Tian Boguang masuk ke dalam, orang itu kembali tertawa. Tian Boguang semakin gusar dan berlari keluar, namun orang itu sudah menyembunyikan dirinya kembali. Waktu itu saya tertawa karena merasa sangat geli melihat sikap Tian Boguang....”
Dingyi menukas, “Kau ini berada di antara hidup dan mati tapi masih juga bisa tertawa.”
“Benar, Guru,” jawab Yilin. “Saya sendiri juga tidak tahu kenapa. Saya hanya merasa senang melihat Tian Boguang dikerjai orang di luar gua itu. Sampai akhirnya, Tian Boguang pura-pura masuk ke dalam padahal ia bersembunyi di dekat mulut gua; dengan harapan bisa menyergap orang itu jika kembali tertawa. Karena merasa khawatir, saya pun menjerit: ‘Awas, dia mau keluar!’
Tapi orang itu tertawa di tempat yang lebih jauh dan berkata: ‘Terima kasih banyak; tapi kau tidak perlu khawatir. Dia tidak mungkin bisa menangkapku. Ilmu ringan tubuhnya terlalu rendah.’”
Para hadirin merasa heran karena ada orang yang berani mengejek ilmu ringan tubuh Tian Boguang. Padahal, ilmu ringan tubuh si maling cabul terkenal tiada bandingannya di dunia persilatan. Rupanya orang di luar gua itu bermaksud memancing amarah penjahat yang bergelar Si Pengelana Tunggal Ribuan Li tersebut.
Yilin melanjutkan cerita, “Si penjahat Tian Boguang masuk ke dalam dan tiba-tiba mencubit pipi saya. Saya pun menjerit kesakitan. Kemudian ia berlari keluar dan berteriak: ‘Hei, Bangsat! Kau berani menantang ilmu ringan tubuh Tian Boguang, hah?’ Namun maling cabul itu tertipu. Orang yang tertawa tadi ternyata bersembunyi di dekat mulut gua. Begitu melihat Tian Boguang keluar, ia segera menyelinap masuk.
Laki-laki itu lantas mendekati saya dan berkata: ‘Jangan takut. Aku datang untuk menolongmu. Bagian mana yang ditotok?’
Saya menjawab: ‘Dia menotok titik Jianzhen dan Dazhui di badanku. Tapi, kau ini siapa?’
Orang itu tidak menjawab melainkan minta izin membuka totokanku.’”
Dingyi tertegun mendengar cerita muridnya karena titik Jianzhen terletak di paha. Padahal, tidak sepantasnya seorang laki-laki menyentuh paha perempuan, apalagi terhadap seorang biksuni. Namun dalam keadaan terdesak seperti itu, semua pelanggaran bisa dimaklumi.
Terdengar Yilin melanjutkan cerita, “Laki-laki itu berusaha memijat sekuat tenaga namun tetap saja tidak mampu membebaskan totokan saya. Jelas tenaga dalam Tian Boguang begitu hebat. Kemudian kami mendengar suara Tian Boguang semakin mendekat. Saya pun berkata kepadanya: ‘Lekas lari dari sini! Jika ketahuan kau pasti akan dibunuh olehnya.’
Tapi orang itu menjawab: ‘Serikat Pedang Lima Gunung adalah satu kesatuan; bagaikan cabang-cabang dalam satu pohon. Adik dalam kesulitan, mana mungkin aku tega pergi begitu saja?’”
“Hah,” seru Dingyi menyela. “Jadi dia berasal dari Serikat Pedang Lima Gunung?”
“Benar, Guru!” jawab Yilin. “Orang itu adalah Kakak Linghu Chong.”
“Oh,” sahut Dingyi, Liu Zhengfeng, Tianmen, Yu Canghai, He Sanqi, dan Tuan Wen bersama-sama. Lao Denuo terlihat menghela napas lega. Sebenarnya beberapa hadirin sudah menduga kalau si penolong itu adalah Linghu Chong; namun, tidak seorang pun yang yakin sampai mendengar sendiri dari ucapan Yilin.
Yilin melanjutkan, “Mendengar suara Tian Boguang semakin dekat dan dekat, Kakak Linghu lantas meminta maaf dan langsung menggendong tubuh saya keluar gua. Kami pun bersembunyi di dalam semak-semak ilalang. Baru saja kami keluar, Tian Boguang sudah masuk ke dalam gua. Begitu mengetahui saya sudah menghilang, ia pun marah-marah dan mencaci maki dengan kata-kata kotor. Entah apa saja yang ia ucapkan, saya tidak bisa menirukannya.
Penjahat itu kemudian keluar dari gua sambil menghunus pedang patah milik saya. Untungnya waktu itu hari sudah cukup gelap. Langit juga dalam keadaan mendung dan tiada bulan atau bintang yang bersinar. Dalam keadaan gelap gulita itu Tian Boguang menebaskan pedang ke segala arah. Rupanya dia yakin kalau kami berdua belum pergi jauh dan bersembunyi di dalam ilalang. Sempat satu kali pedangnya lewat di atas kepala saya, hanya selisih beberapa senti saja. Kemudian ia pun berjalan ke arah lain sambil terus menebas dan mengayunkan pedang.
Tiba-tiba beberapa tetes cairan berbau anyir mengenai wajah saya. Ternyata itu adalah darah Kakak Linghu. Saya terkejut dan bertanya: ‘Apakah kau terluka?’
Akan tetapi, Kakak Linghu langsung membungkam mulut saya. Selang agak lama – setelah mendengar suara ayunan pedang semakin jauh dan jauh – barulah dia berbisik: ‘Aku tidak apa-apa.’ Tangannya lalu melepaskan mulut saya, sementara darahnya masih tetap mengucur membasahi wajah saya.
Saya sangat khawatir dan berbisik: ‘Hei, kau terluka cukup dalam. Pendarahannya harus dihentikan. Aku membawa Salep Penghubung Kahyangan.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Jangan bicara dulu. Sedikit saja kita bergerak, maka dia akan langsung menemukan kita.’
Tiba-tiba terdengar suara Tian Boguang berseru keras: ‘Aha, di sana kalian rupanya! Ayo keluar, aku sudah melihat persembunyian kalian!’
Mendengar teriakan penjahat itu saya langsung putus asa. Saya pun mencoba berdiri tapi kaki terasa lumpuh, tak bisa bergerak sama sekali....”
Biksuni Dingyi menukas, “Hm, kau tertipu mentah-mentah. Sebenarnya Tian Boguang tidak melihatmu. Dia hanya menggertak supaya kau keluar dengan sendirinya.”
“Benar sekali,” sahut Yilin agak heran. “Bagaimana Guru bisa mengetahuinya? Bukankah Guru tidak berada di sana?”
“Apanya yang aneh?” jawab Dingyi balik bertanya. “Jika dia benar-benar melihat kalian, untuk apa masih berteriak-teriak? Bukankah lebih baik kalau dia mendekati kalian secara diam-diam dan langsung membunuh Linghu Chong? Hm, ternyata Linghu Chong sendiri masih hijau.”
“Tidak demikian. Kakak Linghu juga berpikiran seperti Guru.” sahut Yilin. “Dia segera membungkam mulut saya agar tidak bersuara. Benar juga, ternyata Tian Boguang masih saja berteriak-teriak sambil membabat semak belukar. Setelah orang itu menjauh, Kakak Linghu perlahan berbisik: ‘Adik, asalkan kau sanggup bertahan setengah jam lagi, maka urat nadimu yang tertotok akan kembali terbuka dengan sendirinya. Tapi aku khawatir penjahat itu akan kembali ke sini dan menemukan kita. Untuk itu, marilah kita bersembunyi di dalam gua.’”
Mendengar kalimat terakhir itu Liu Zhengfeng dan He Sanqi bertepuk tangan; sementara Tuan Wen memuji, “Bagus sekali! Berani tapi cerdik!”
Yilin melanjutkan, “Sebenarnya saya sangat takut masuk kembali ke dalam gua. Tapi karena sudah terlanjur kagum terhadap kepandaian Kakak Linghu, saya pun mengikuti ajakannya. Ia lantas menggendong tubuh saya menyelinap ke dalam gua. Sesampainya di dalam, tubuh saya diletakkannya di bawah.
Saya pun berkata: ‘Di dalam bajuku ada Salep Penghubung Kahyangan, obat luka buatan Perguruan Henshan yang sangat manjur. Silakan... silakan kau ambil sendiri.’
Tapi Kakak Linghu menolak: ‘Tidak perlu. Ini bukan saat yang tepat untuk mengambil obatmu. Nanti saja kalau totokanmu sudah terbuka, biar kau saja yang mengambilkan.’ Perlahan-lahan ia lantas mengiris lengan bajunya menggunakan pedang untuk membalut luka di bahu.
Saya baru menyadari kalau bahu Kakak Linghu itu terluka oleh sabetan pedang Tian Boguang di semak-semak tadi. Demi menjaga keselamatan saya, Kakak Linghu menahan sakit dalam waktu yang cukup lama. Andai sedikit saja dia bersuara, tentu Tian Boguang langsung mengetahui persembunyian kami. Akan tetapi saya juga merasa heran; kenapa dia merasa saat itu bukan waktu yang tepat untuk mengambil obat....”
“Hm, ternyata Linghu Chong seorang kesatria sejati,” sahut Dingyi dengan nada mengejek.
Yilin memandangi gurunya dengan perasaan heran. Ia lantas berkata, “Tentu saja Kakak Linghu seorang kesatria sejati. Saya tidak mengenalnya, tapi dia berusaha menolong saya tanpa memedulikan keselamatan diri sendiri.”
Yu Canghai berkata sinis, “Mungkin kau memang belum pernah mengenalnya. Tapi, bisa jadi dia pernah melihatmu sebelumnya. Kalau tidak, mana mungkin dia mati-matian berusaha menolongmu?” Ucapan ini seolah menuduh Linghu Chong menolong Yilin hanya karena tertarik pada kecantikan biksuni muda tersebut.
“Tidak. Kakak Linghu berkata belum pernah melihat diriku sama sekali. Dia tidak mungkin berbohong kepadaku,” jawab Yilin. Meskipun suaranya lemah lembut, namun terasa penuh keyakinan. Para hadirin ikut terkesan melihatnya dan diam-diam membenarkan pernyataan itu.
Sementara itu Yu Canghai berpikir, “Si keparat Linghu Chong biasanya bertingkah ugal-ugalan dan suka mencari keributan. Bisa jadi dia menantang Tian Boguang bukan karena tertarik pada kecantikan, tetapi untuk memperoleh nama besar di dunia persilatan.”
Yilin melanjutkan, “Setelah membalut lukanya, Kakak Linghu kembali memijat-mijat beberapa titik nadi di punggung dan pinggang saya untuk membuka totokan. Namun kemudian terdengar suara ayunan pedang semakin mendekat. Rupanya Tian Boguang sudah mendekati mulut gua, namun tidak langsung masuk ke dalam. Orang itu hanya duduk di atas sebongkah batu di luar gua. Sepertinya ia sangat penasaran.
Waktu itu saya sangat ketakutan dan menahan napas dengan jantung berdebar-debar. Tiba-tiba totokan di bagian bahu saya terbuka dan menimbulkan rasa sakit. Tanpa sadar, saya pun meringis kesakitan sampai menarik napas. Tentu saja hal ini merusak semuanya. Tian Boguang yang sangat cermat mendengar dan langsung bangkit sambil tertawa. Ia pun masuk ke dalam gua dengan langkah lebar. Kakak Linghu sendiri masih tetap terdiam tanpa bergerak sedikit pun.
Dalam kegelapan itu, terdengar suara Tian Boguang berkata sambil tertawa: ‘Domba kecilku, ternyata kau bersembunyi di dalam gua ini, ya?’ Usai berkata tangannya lantas menjulur hampir meraih tubuh saya.
Tiba-tiba saya mendengar suara pedang berkelebat. Rupanya Kakak Linghu menusuk Tian Boguang dan tepat mengenai sasaran. Penjahat itu terkejut dan menjatuhkan pedang patah milik saya di tangannya. Namun demikian, tusukan itu tidak terlalu dalam dan juga tidak mengenai bagian berbahaya. Tian Boguang lantas melompat ke belakang dan melolos goloknya. Kemudian ia mengayunkan senjata untuk membalas Kakak Linghu. Sekejap kemudian, terdengar suara logam beradu; Kakak Linghu dan Tian Boguang telah terlibat pertarungan seru di dalam gua. Keadaan waktu itu benar-benar gelap dan keduanya sama-sama tidak bisa saling melihat. Saya hanya mendengar setiap kali senjata mereka beradu, keduanya langsung melompat mundur dan menghimpun napas.”
Pendeta Tianmen menyela, “Berapa jurus Linghu Chong bisa menandingi Tian Boguang itu?”
“Waktu itu saya sangat bingung dan tidak tahu harus bagaimana,” jawab Yilin. “Entah berapa jurus mereka lalui, sampai akhirnya saya mendengar Tian Boguang tertawa dan berkata: ‘Aha, rupanya kau berasal dari Perguruan Huashan! Ilmu pedang perguruanmu tidak sebanding dengan golokku. Lekas katakan, siapa namamu!’
Kakak Linghu menjawab: ‘Namaku tidak penting. Setiap anggota Serikat Pedang Lima Gunung adalah keluarga sendiri. Baik Huashan maupun Henshan adalah musuh besar penjahat cabul seperti dirimu....’ Belum selesai Kakak Linghu menjawab, tiba-tiba Tian Boguang sudah menerjang maju. Rupanya dia hanya memancing Kakak Linghu berbicara supaya bisa mengetahui di mana musuhnya itu berada. Sesaat kemudian terdengar suara Kakak Linghu berseru kesakitan. Rupanya dia kembali terluka oleh golok Tian Boguang.
Tian Boguang lantas berkata: ‘Sudah kubilang, ilmu pedang Huashan tidak dapat menandingi aku. Meskipun gurumu, si tua Yue, datang kemari juga tidak akan menang.’
Namun demikian, Kakak Linghu tetap terdiam tidak menjawab sama sekali.
Setelah totokan di bahu terbuka, saya kembali merasa kesakitan karena totokan di punggung juga terbuka. Setelah bisa bergerak kembali, saya pun merangkak untuk mencari pedang saya yang sudah patah tadi untuk membantu Kakak Linghu. Namun Kakak Linghu justru berteriak: ‘Rupanya kau sudah terbebas. Lekas kau pergi dari sini! Cepat lari!’
Saya pun menjawab: ‘Kakak dari Huashan, biarkan aku membantumu! Mari kita bertempur bersama melawan penjahat itu!’
Namun Kakak Linghu tetap melarang dan berkata: ‘Tidak! Kau pergi saja sekarang! Kita berdua tetap bukan tandingan orang ini.”
Terdengar Tian Boguang kembali tertawa dan berkata: ‘Senang sekali mendengarmu menyadari kehebatanku. Untuk apa kau membuang-buang waktu di sini? Namun, aku kagum juga pada keberanianmu. Katakan siapa namamu, orang Huashan!’
Kakak Linghu menyahut: ‘Kalau kau bertanya dengan sopan tentu akan kujawab. Tapi karena kau bersikap kurang ajar, maka orang tuamu ini tidak perlu merasa segan.’
Guru, bukankah ini menggelikan? Kakak Linghu bukan ayahnya, tapi dia mengaku sebagai orang tua Tian Boguang?”
Dingyi menjawab sambil mendengus, “Ini hanya kata-kata ejekan, jangan diambil pusing.”
“Ah, begitu rupanya,” ujar Yilin. “Kemudian Kakak Linghu berkata kepada saya: ‘Hei, Adik dari Henshan, lekas kau pergi ke Hengshan. Saudara-saudara kita sudah berkumpul di sana. Keparat ini tidak akan berani mengejarmu.’
Saya bertanya: ‘Bagaimana kalau dia nanti membunuhmu?’
Kakak Linghu menjawab: ‘Dia tidak mampu membunuhku. Aku akan merintanginya di sini... Hei, kenapa kau masih di sini? Lekas pergi!’ Kembali terdengar suara logam beradu, disusul Kakak Linghu berseru: ‘Aduh!’ Rupanya dia kembali terluka.
Meskipun demikian, Kakak Linghu tidak peduli dan kembali berteriak kepada saya: ‘Adik, jika kau tidak segera pergi dari sini, maka aku akan memaki dirimu!’
Saat itu saya sudah menghunus pedang patah dan berseru kepadanya: ‘Kakak dari Huashan, mari kita hadapi orang ini bersama-sama!’
Tian Boguang tertawa dan menyahut: ‘Bagus sekali, Tuan Tian seorang diri bersenjata golok menghadapi Perguruan Huashan dan Henshan. Namun, kalian tetap tidak mungkin menang.’
Sementara itu Kakak Linghu mulai marah-marah dan memaki saya: ‘Dasar biksuni cilik tak tahu adat! Dasar biksuni tolol! Cepat kau pergi! Kalau tidak juga pergi akan kutempeleng wajahmu!’
Tian Boguang kembali tertawa dan berkata: ‘Biksuni cilik ini ingin bermesraan denganku. Dia tidak akan pergi.’
Kakak Linghu menegas: ‘Kau pergi atau tidak?’
Saya menjawab: ‘Aku tidak mau pergi!’
Kakak Linghu semakin gusar dan berkata: ‘Jika kau tidak mau pergi, maka aku akan memaki gurumu; Dasar Dingxian biksuni tua pikun dan bodoh, lihat bagaimana hasil didikanmu terhadap biksuni cilik ini!’
Saya menjawab: ‘Bibi Dingxian bukan guruku.’
Kakak Linghu berkata: ‘Kalau begitu akan kumaki si tua Dingjing!’
Saya menjawab: ‘Bibi Dingjing juga bukan guruku.’
Kakak Linghu menyahut: ‘Oh, kalau begitu kau adalah murid Dingyi, si pikun bodoh....”’
Mendengar ini raut muka Dingyi berubah merah dan terlihat gusar. Yilin buru-buru menjelaskan, “Guru jangan marah dulu. Kakak Linghu hanya bermaksud mengusir saya. Dia tidak bersungguh-sungguh hendak memaki Guru. Saya pun menjelaskan kepadanya: ‘Jangan kau maki guruku. Aku tolol karena kebodohanku sendiri. Guruku sudah mendidik dengan baik.’
Tiba-tiba Tian Boguang melompat ke arah saya dan berusaha menangkap saya kembali. Dalam keadaan gelap gulita saya mengayunkan pedang ke segala arah membuat penjahat itu terpaksa mundur kembali.
Kemudian terdengar kembali Kakak Linghu berkata: ‘Kenapa tidak juga pergi dari sini? Apa kau mau aku memaki gurumu lagi?
Saya menjawab: ‘Jangan memaki lagi. Lebih baik kita pergi bersama-sama.’
Kakak Linghu berkata: ‘Kau hanya akan menggangguku saja kalau masih berada di sini. Aku menjadi tidak leluasa mengerahkan jurus pedang Huashan yang paling ampuh. Begitu kau pergi, maka aku bisa langsung membunuh bangsat keparat ini.’
Tian Boguang ikut menyahut: ‘Hahaha, kasih sayangmu pada biksuni cilik ini sungguh luar biasa. Hanya sayang, dia tidak tahu siapa namamu.’
Diam-diam saya merasa ucapan Tian Boguang ini benar juga. Maka itu, saya pun bertanya: ‘Kakak dari Huashan, tolong katakan siapa namamu? Biar aku bisa bercerita kepada Guru tentang kebaikanmu.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Namaku Lao Denuo. Sudah, sana pergi! Kau ini terlalu banyak adat!’”
Mendengar sampai di sini, Lao Denuo terkejut. Dengan perasaan bingung ia berpikir, “Mengapa Kakak Pertama memakai namaku?”
Di sisi lain Tuan Wen berkata, “Linghu Chong benar-benar berwatak kesatria. Ia bertaruh nyawa menolong orang lain tanpa mencari kejayaan diri sendiri. Sungguh luar biasa.”
Akan tetapi Biksuni Dingyi berpendapat lain. Sambil melirik ke arah Lao Denuo ia menggerutu, “Ah, Linghu Chong telah memaki diriku ini pikun dan bodoh. Mungkin dia takut aku membalas perbuatannya. Maka, dengan sengaja dia melimpahkan kesalahan kepada orang lain.”
Biksuni tua ini lantas berseru kepada Lao Denuo, “Hm, rupanya kau orangnya yang berani memaki diriku pikun dan tua?”
Buru-buru Lao Denuo membungkuk dan menjawab, “Bukan saya, Bibi Biksuni! Mana mungkin saya berani?”
Liu Zhengfeng tersenyum menengahi, “Kakak Dingyi, sudah jelas yang bertarung melawan Tian Boguang adalah Linghu Chong, bukan Lao Denuo ini. Meskipun murid nomor dua, namun usia Keponakan Lao jauh lebih tua. Keponakan Linghu sengaja memakai nama adik seperguruannya ini karena Keponakan Lao memang sepantasnya menjadi kakek Yilin.”
Seketika Dingyi langsung paham begitu mendengar ucapan Liu Zhengfeng tersebut. Ternyata Linghu Chong berusaha menjaga nama baik Yilin dalam peristiwa ini. Saat itu memang keadaan gelap gulita sehingga Linghu Chong, Yilin, dan Tian Boguang tidak bisa saling melihat satu sama lain. Apabila Yilin berhasil meloloskan diri dan bercerita kepada orang lain bahwa yang telah menyelamatkan dirinya adalah si tua Lao Denuo, tentu tidak akan ada komentar miring terhadap peristiwa ini. Jelas-jelas tubuh Yilin telah digendong dan dipijat oleh penolongnya di dalam gua gelap. Apabila tersiar kabar bahwa sang penolong adalah pemuda bernama Linghu Chong, tentu akan menimbulkan desas-desus kurang sedap. Dengan menggunakan nama Lao Denuo, ini berarti Linghu Chong tidak hanya menjaga nama baik Yilin, tapi juga menjaga kehormatan Perguruan Henshan.
Menyadari maksud di balik ini semua, Biksuni Dingyi tersenyum dan berkata, “Hm, bocah Linghu Chong ini ternyata boleh juga. Selanjutnya bagaimana, Yilin?”
(Bersambung)
Bagian 7 ; Halaman muka ; Bagian 9