Bagian 76 - Dua Ilmu Pedang Sakti Bertemu

Beberapa hari kemudian, ketika Linghu Chong bangun dari tidur di pagi hari, ia melihat pada kuburan Yue Lingshan telah tumbuh beberapa tunas rumput liar. Dengan sedih ia berpikir, “Ada rumput tumbuh di atas kuburan Adik Kecil. Entah bagaimana perasaannya di dalam sana?”
Tiba-tiba terdengar suara seruling yang sangat merdu. Begitu menoleh, tampak Ren Yingying sedang meniup seruling sambil duduk di atas batu cadas. Lagu yang dimainkannya adalah “Lagu Penenang Jiwa” yang biasanya ia mainkan menggunakan kecapi. Linghu Chong pun melangkah mendekati si nona. Tampak seruling itu terbuat dari bambu yang masih segar, sepertinya baru saja dibuat oleh Ren Yingying menggunakan pedang.
Segera Linghu Chong memangku kecapi dan mulai memetiknya mengikuti irama seruling Ren Yingying. Selesai membawakan sebuah lagu, ia merasa lebih bersemangat dan perasaannya jauh lebih segar. Kedua muda-mudi itu pun saling pandang dan tertawa bersama.
Ren Yingying berkata, “Kau sudah mahir memainkan Lagu Penenang Jiwa. Bagaimana kalau kita berlatih lagu ‘Menertawakan Dunia Persilatan’ mulai hari ini?”
“Lagu ini sangat sukar, entah sampai kapan aku baru bisa menyamaimu,” ujar Linghu Chong.
Ren Yingying tersenyum berkata, “Lagu ini memang sangat bagus. Aku sendiri masih belum paham secara keseluruhan. Ada sesuatu yang istimewa dalam lagu ini, namun sulit untuk dijelaskan. Sepertinya lagu ini memang harus dimainkan oleh dua orang, karena sifatnya saling melengkapi. Aku pernah memainkannya seorang diri namun rasanya seperti meraba-raba dalam kegelapan. Jika kita berlatih bersama pasti akan mendapat banyak kemajuan.”
Linghu Chong bertepuk dan menjawab, “Kau benar. Dulu aku pernah mendengar lagu ini dimainkan oleh Paman Liu dari Perguruan Hengshan dan Sesepuh Qu dari aliran... maksudku dari Partai Mentari dan Bulan kalian. Paduan seruling dan kecapi mereka sungguh selaras dan sangat enak didengar. Menurut Paman Liu, lagu Menertawakan Dunia Persilatan memang digubah dengan menggunakan paduan suara seruling dan kecapi.”
“Ya, kau memetik kecapi dan aku meniup seruling. Kita mulai berlatih setahap demi setahap,” kata Ren Yingying.
Linghu Chong menyahut, “Andai saja kita punya kecapi besar pasti lebih bagus lagi. Yang kita miliki hanya kecapi tujuh senar, sementara kecapi besar memiliki dua puluh lima senar.”
Ren Yingying tersenyum menanggapi, “Beberapa hari ini kau jarang bercanda, kukira sifatmu sudah berubah.”
Raut muka gadis ini bersemu merah karena Linghu Chong mulai melupakan kesedihannya. Meskipun mereka hanya tinggal berdua saja di dalam lembah permai yang sunyi itu, namun keduanya tidak pernah bersenda gurau, apalagi lelucon yang bersifat jorok. Linghu Chong khawatir Ren Yingying yang pemalu itu tersinggung dan mendiamkannya. Maka, selama beberapa hari terakhir ini ia hanya sibuk meminta petunjuk bermain musik kepada si nona.
Begitulah, sejak hari itu Linghu Chong dan Ren Yingying mulai berlatih lagu Menertawakan Dunia Persilatan bersama-sama. Kemampuan seni musik Linghu Chong memang lebih rendah, namun karena pada dasarnya ia seorang pemuda cerdas sehingga cepat menangkap pelajaran yang diberikan Ren Yingying. Apalagi ia sudah mempelajari dasar-dasar bermain kecapi sejak di Kampung Bambu di luar Kota Luoyang dulu. Maka, sekitar sepuluh hari kemudian permainan Linghu Chong sudah semakin bagus, hampir mampu mengimbangi Ren Yingying. Meskipun paduan musik mereka masih kalah indah dibandingkan dengan permainan Qu Yang dan Liu Zhengfeng, namun bisa dikatakan sudah mampu menangkap makna yang terkandung di dalam lagu tersebut.
Semakin dekat hubungan mereka, paduan musik yang mereka hasilkan pun semakin indah. Lembah sunyi dan permai yang mereka tinggali itu seolah-olah berada di luar dunia nyata. Untuk sesaat mereka lupa akan kilatan pedang dan percikan darah di dunia persilatan. Kedua muda-mudi ini sama-sama membayangkan dapat hidup berdampingan di lembah tersebut hingga hari tua, tentu rasanya akan sangat bahagia.
Pada suatu siang, setelah Linghu Chong berlatih musik sekian lamanya dengan Ren Yingying, tiba-tiba hawa murni liar di dalam tubuhnya sedikit mengganggu. Pikirannya terasa kusut dan sukar untuk ditenteramkan. Beberapa kali irama kecapinya terdengar salah.
“Tentu kau lelah. Silakan istirahat dulu saja,” ujar Ren Yingying.
“Dikatakan lelah juga tidak. Entah apa yang terjadi aku tidak tahu,” kata Linghu Chong. “Aku ingin mencari buah persik dulu. Kita berlatih lagi nanti malam.”
“Baiklah, tapi jangan terlalu jauh,” kata Ren Yingying.
Linghu Chong mengetahui ada banyak pepohonan persik tumbuh di sebelah timur lembah tersebut. Apalagi saat itu adalah musim buah persik matang. Segera ia pun menuju ke sana. Kira-kira berjalan sepuluh li jauhnya, ia pun tiba di depan pepohonan persik yang lebat dengan buahnya yang sudah berwarna merah menggoda.
Tanpa pikir panjang ia lantas memetik sebanyak dua buah. Pada pohon selanjutnya ia memetik tiga buah. Lama-lama ia berpikir bahwa buah-buah tersebut beberapa hari lagi pasti akan bergururan di tanah dan membusuk. Maka ia pun terus saja memetik sampai puluhan buah banyaknya.
“Nanti setelah memakan daging buah-buah ini, aku dan Yingying akan menebarkan biji-bijinya sehingga kelak lembah ini akan dikenal orang sebagai Lembah Persik. Aku dan Yingying akan dijuluki Sepasang Majikan Lembah Persik. Lalu kami memiliki enam orang anak, dan mereka akan disebut sebagai Enam Dewa Lembah Persik Cilik. Entah betapa kacau apabila Enam Dewa Lembah Persik Cilik bertemu dan berdebat dengan Enam Dewa Lembah Persik Tua,” pikirnya sambil mulut tersenyum-senyum sendiri.
Pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar suara bergeseknya ranting-ranting pohon. Segera ia pun bersembunyi di dalam semak belukar sambil berpikir, “Bagus sekali. Aku sudah bosan memakan kodok panggang dan buah-buahan. Mungkin ada hewan sebangsa kijang atau rusa yang datang dan bisa kutangkap.”
Ternyata dugaan Linghu Chong keliru, karena yang terdengar kemudian adalah suara langkah kaki beberapa orang berjalan. Ia pun terkejut dan berpikir, “Mengapa ada orang lain di lembah sunyi ini? Jangan-jangan mereka ke sini untuk mencariku dan Yingying?”
Sejenak kemudian, sayup-sayup terdengar salah seorang yang datang itu berkata, “Apakah kau tidak salah? Apakah benar keparat Yue Buqun itu menuju kemari?”
Linghu Chong terkesiap dan berpikir, “Mereka menyebut-nyebut nama Guru. Siapa sebenarnya orang-orang ini?”
Kemudian terdengar suara seorang lagi menjawab, “Menurut penyelidikan Sesepuh Shi, putri dan menantu Yue Buqun tiba-tiba menghilang entah ke mana. Jejak mereka sama sekali tidak ditemukan di kota, di pasar, di desa, ataupun di sungai mana pun juga. Kemungkinan besar mereka bersembunyi di lembah ini untuk merawat luka. Cepat atau lambat, Yue Buqun pasti akan ke sini untuk mencari mereka.”
Linghu Chong kembali berpikir, “Ternyata mereka mengetahui kalau Adik Kecil terluka, namun tidak mengetahui kalau ia sudah meninggal. Sepertinya banyak sekali yang mencari Adik Kecil dan Lin Pingzhi, terutama Guru dan Ibu Guru. Andai saja lembah ini tidak terpencil, pasti mereka sudah ke sini sejak lama.”
Lalu terdengar suara orang yang pertama tadi berkata, “Jika dugaanmu tidak salah dan Yue Buqun benar-benar kemari, maka kita perlu memasang perangkap di ujung jalan masuk lembah ini.”
Orang kedua yang bersuara agak serak menjawab, “Andaikan Yue Buqun tidak segera datang, kita tetap punya rencana untuk memancing kedatangannya.”
“Akalmu sungguh hebat Adik Xue. Aku tidak menyangka kalau kau ternyata menyimpan banyak kepandaian,” kata orang yang pertama.
Si marga Xue menjawab, “Terima kasih, Sesepuh Ge. Saya sangat mengharapkan bantuan Sesepuh Ge. Apapun perintah Sesepuh Ge kepada saya pasti akan saya laksanakan dengan sepenuh hati.”
Linghu Chong kecewa mendengarnya dan berpikir, “Hm, ternyata orang-orang Partai Mentari dan Bulan. Sebaiknya mereka segera pergi dari sini dan jangan mengganggu kami.” Sejenak kemudian ia berpikir kembali, “Rupanya mereka berniat mengincar Guru. Meskipun orang-orang ini mungkin memiliki kepandaian tinggi, rasanya tetap bukan tandingan Guru yang telah mengalami kemajuan pesat. Apalagi mengenai tipu muslihat, melawan guru sama seperti peribahasa ‘bertanding kapak melawan Lu Ban’. Sungguh tidak tahu diri”
Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara tepuk tangan tiga kali. Si marga Xue lantas berkata, “Sesepuh Du sudah tiba pula.”
Sesepuh Ge segera membalas dengan tiga kali tepuk tangan pula. Lalu terdengar suara langkah kaki sekitar empat orang yang berjalan cepat. Dua orang di antaranya agak tertinggal di belakang, sepertinya ilmu meringankan tubuh mereka lebih rendah. Namun setelah dekat, Linghu Chong dapat mendengar bahwa kedua orang yang di belakang itu ternyata sedang menggotong sesuatu.
Sesepuh Ge merasa senang dan berseru, “Sesepuh Du, ternyata kau berhasil menangkap anak gadis keluarga Yue? Sungguh jasamu ini sangat besar!”
Lalu terdengar orang yang bermarga Du itu menjawab dengan suara lantang, “Orang ini memang berasal dari keluarga Yue. Namun ini bukan anak gadisnya, melainkan induknya!”
“Hah!” terdengar Sesepuh Ge terkejut namun sangat senang. “Jadi... jadi, orang ini istri Yue Buqun? Kau menangkap istri Yue Buqun?”
Linghu Chong sangat terkejut mendengar orang yang ditawan gembong-gembong aliran sesat itu ternyata ibu-gurunya. Ia bermaksud menerjang keluar untuk menolong, tapi segera teringat bahwa dirinya sedang tidak membawa pedang. Tanpa pedang di tangan jelas kepandaiannya tidak cukup untuk menandingi tokoh-tokoh semacam Sesepuh Ge dan kawan-kawannya itu. Hal ini cukup membuatnya khawatir.
Kemudian terdengar Sesepuh Du bertanya, “Apa kau yakin?”
Sesepuh Ge menjawab, “Ilmu pedang Nyonya Yue sangat bagus. Entah bagaimana Saudara Du dapat menangkapnya? Ah, pasti kau memakai obat bius, bukan?”
Sesepuh Du tertawa menjawab, “Perempuan ini masuk ke dalam rumah makan dalam keadaan seperti orang linglung. Tanpa pikir ia lantas meminum semangkuk teh. Orang-orang sering memuji betapa hebat istri Yue Buqun. Hm, ternyata dia begini ceroboh.”
Linghu Chong sangat gusar dan berpikir dalam hati, “Ibu Guru pasti sedang bingung memikirkan putri tersayangnya yang menghilang entah ke mana dalam keadaan terluka pula. Huh, berani-beraninya kalian menyebutnya ceroboh? Sebentar lagi aku akan keluar untuk membinasakan kalian semua dan menolong Ibu Guru.” Setelah terdiam sejenak ia kembali merenung, “Tapi bagaimana caraku menghadapi mereka sementara di tanganku tidak ada pedang? Aku harus merebut golok mereka sebagai pengganti pedang.”
Terdengar Sesepuh Ge berkata, “Setelah istri Yue Buqun berhasil kita bekuk, maka segala urusan menjadi mudah. Saudara Du, persoalan yang harus kita pikirkan saat ini adalah bagaimana cara memancing Yue Buqun agar datang kemari?”
“Juga bagaimana selanjutnya jika dia sudah terpancing kemari?” tanya Sesepuh Du.
Sesepuh Ge merenung sejenak, lalu menjawab, “Kita gunakan istrinya sebagai sandera dan kita paksa dia menyerah. Suami-istri Yue terkenal sangat rukun dan serasi, sudah tentu dia tidak akan berani membangkang.”
“Apa yang disampaikan Saudara Ge sangat masuk akal,” kata Sesepuh Du. “Tapi aku khawatir kalau-kalau Yue Buqun ternyata berhati kejam. Cintanya kepada sang istri ternyata tidak mendalam, dan tidak setia pula. Kalau demikian bisa jadi urusan kita menjadi runyam.”
“Ini memang… memang… Eh, bagaimana pendapatmu, Saudara Xue?” tanya Sesepuh Ge tiba-tiba.
Si marga Xue menjawab, “Di hadapan kedua sesepuh, saya merasa tidak berhak bicara dan ikut perintah saja.”
Sampai di sini tiba-tiba dari arah barat terdengar suara orang bertepuk tangan tiga kali.
“Ah, Sesepuh Bao sudah datang,” ujar Sesepuh Du.
Dalam sekejap saja tampak dua orang datang berlari dari arah barat dengan kecepatan luar biasa.
“Sesepuh Mo juga ikut,” kata Sesepuh Ge.
Melihat itu Linghu Chong mengeluh dalam hati, “Mendengar cara mereka berlari, sepertinya kedua orang yang baru datang ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada si marga Ge dan Du. Entah bagaimana caraku bisa menyelamatkan Ibu Guru dengan tangan kosong?”
Terdengar Sesepuh Ge berkata, “Saudara Du telah berjasa besar. Ia berhasil menangkap istri Yue Buqun.”
“Bagus sekali, bagus sekali! Kalian sudah bekerja keras,” kata seorang sesepuh yang baru datang itu senang.
Sesepuh Ge menjawab, “Ini semua berkat jasa Saudara Du.”
Linghu Chong merasa suara gembong aliran sesat yang baru datang itu seperti sudah dikenalnya. “Mungkinkah aku pernah bertemu dengannya di Tebing Kayu Hitam?” Ia lantas mengerahkan tenaga dalam agar dapat mendengar lebih jelas suara percakapan orang-orang itu. Sama sekali ia tidak berani melongok keluar untuk mengintai. Ia sadar gembong-gembong aliran sesat ini rata-rata berilmu tinggi. Sedikit saja ia bergerak pasti akan langsung ketahuan.
Sementara itu Sesepuh Ge terdengar berkata, “Saudara Bao dan Saudara Mo, kami di sini sedang berunding bagaiman cara memancing Yue Buqun kemari agar kita dapat menangkap dan membawanya ke Tebing Kayu Hitam.”
“Lalu bagaimana rencana kalian?” tanya seorang sesepuh yang baru datang itu.
Sesepuh Ge menjawab, “Kami belum menemukan cara yang tepat. Mungkin Saudara Bao dan Saudara Mo ada saran?”
Sesepuh yang tadi berkata, “Ketika orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung bertanding di puncak Songshan memperebutkan jabatan ketua, Yue Buqun telah membutakan mata Zuo Lengchan. Setelah kejadian itu tak seorang pun yang berani lagi menantangnya. Konon ia telah mendapatkan Jurus Pedang Penakluk Iblis yang asli dari keluarga Lin, dan ilmu silatnya kini sangat lain daripada yang lain. Maka itu jangan sekali-kali kita memandang remeh kepadanya.”
“Benar, dengan kekuatan kita berempat rasanya belum tentu kita kalah, juga belum tentu kita menang,” ujar Sesepuh Du.
Sesepuh Mo berkata, “Aku rasa Sesepuh Bao tentu sudah memiliki rencana bagus. Tolong katakan saja pada kami.”
Sesepuh Bao menyahut, “Sebenarnya aku memang mendapat suatu akal, tapi hanya akal biasa. Aku khawatir menjadi bahan tertawaan kalian.”
“Mana mungkin? Sesepuh Bao terkenal sebagai gudang akal partai kita. Rencanamu pasti sangat bagus,” seru Sesepuh Mo, Ge, dan Du bersama-sama.
“Rencanaku ini sebenarnya hanya suatu akal bodoh,” ujar Sesepuh Bao. “Kita gali saja sebuah liang yang dalam, lalu di atasnya kita tutup dengan ranting kayu dan rumput sehingga tidak terlihat lagi. Setelah itu kita totok urat nadi perempuan ini dan kita letakkan ia di pinggir liang itu untuk memancing kedatangan Yue Buqun. Bila ia melihat sang istri tergeletak di situ, tentu ia akan bergegas datang untuk menolongnya dan… plung… aduuuh….” sambil berbicara demikian ia bergaya seperti orang yang terperosok ke dalam lubang. Maka tertawalah ketiga sesepuh yang lainnya bersama-sama.
“Akal Sesepuh Bao sungguh hebat, ditambah lagi kita berempat bersembunyi di dekat liang jebakan itu. Maka begitu Yue Buqun terjerumus, serentak kita mengacungkan senjata-masing-masing untuk menutup rapat mulut lubang tersebut sehingga tidak memberi kesempatan padanya untuk melompat naik ke atas,” kata Sesepuh Mo dengan tertawa.
“Benar, namun dalam hal ini masih ada satu kesulitan,” ujar Sesepuh Bao.
“Kesulitan?” Sesepuh Mo menegas. “Benar juga. Tentu Saudara Bao khawatir pada ilmu pedang Yue Buqun yang sangat aneh itu. Setelah ia terjerumus ke dalam lubang tetap saja masih sukar bagi kita untuk membekuknya, begitu?”
“Dugaan Saudara Mo memang tepat,” ujar Sesepuh Bao. “Kali ini tugas yang dibebankan kepada kita oleh Ketua Ren adalah menghadapi tokoh utama Serikat Pedang Lima Gunung yang baru dilebur itu. Mati atau hidup diri kita nanti sukar diperkirakan. Bila kita sampai gugur dalam menjalankan tugas sungguh merupakan suatu kehormatan yang gemilang. Hanya saja, nama baik dan wibawa Ketua Ren tentu kita rugikan. Maka menurut pendapatku, di dalam lubang jebakan itu rasanya kita masih perlu menambahkan sesuatu.”
“Aha, ucapan Sesepuh Bao benar-benar sangat cocok dengan seleraku,” seru Sesepuh Du. “Aku membawa ‘Bubuk Seratus Bunga Penghisap Jiwa’ dalam jumlah yang cukup banyak. Kita bisa menebarkan bubuk ini di antara daun-daun dan rumput-rumput penutup lubang jebakan. Begitu Yue Buqun terperosok, tentu dia akan menarik napas panjang-panjang untuk berusaha melompat ke atas, akan tetapi… hahaha….” sampai di sini kembali mereka bergelak tawa bersama-sama.
“Nah, urusan ini jangan ditunda. Mari kita atur seperlunya,” kata Sesepuh Bao. “Di mana sebaiknya lubang jebakan itu kita gali?”
“Dari sini ke barat sana, kira-kira tiga li jauhnya adalah sebuah jalan kecil yang berbahaya. Di sebelahnya terdapat jurang yang curam, dan di sisi lain terdapat dinding tebing yang tinggi. Bila Yue Buqun benar-benar datang kemari, mau tidak mau dia harus melalui jalan setapak itu.”
“Bagus, mari kita melihat ke sana,” ajak Sesepuh Bao sambil mendahului melangkah pergi. Segera orang-orang lainnya ikut serta berjalan di belakangnya.
Linghu Chong berpikir, “Mereka pasti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menggali lubang dalam itu. Ini kesempatanku untuk memberi tahu Yingying dan mengambil pedang guna menolong Ibu Guru.” Ia menunggu orang-orang aliran sesat itu pergi cukup jauh barulah ia melangkah meninggalkan tempat itu.
Setelah berjalan beberapa li, tiba-tiba ia mendengar suara orang menggali tanah. “Hah, ternyata mereka menggali di sini?” ujarnya dalam hati. Segera ia bersembunyi di balik pohon dan mencoba mengintip orang-orang itu. Benar juga, keempat sesepuh aliran sesat tersebut sedang sibuk menggali tanah. Karena jaraknya cukup dekat, Linghu Chong dapat melihat wajah mereka. Ternyata ada satu di antaranya yang sudah ia kenali. Orang itu adalah Bao Dachu yang pernah dilihatnya di Perkampungan Buah Plum di tepi Danau Barat, di Kota Hangzhou dulu. Pantas saja yang lain memanggilnya Sesepuh Bao, ternyata ia adalah Bao Dachu.
Waktu itu Linghu Chong mengenal Bao Dachu sebagai utusan Dongfang Bubai untuk menghukum Empat Sekawan dari Jiangnan karena kelalaian mereka sehingga Ren Woxing dapat meloloskan diri dari penjara bawah danau. Kembali Linghu Chong termenung, “Guru telah menjadi pemimpin Perguruan Lima Gunung, pasti Ketua Ren kini menganggapnya sebagai musuh yang berbahaya. Ketua Ren mengirim para sesepuh berilmu tinggi, jelas ia tidak memandang rendah terhadap Guru. Pasti selain empat orang ini masih tersembunyi pula bala bantuan lainnya.”
Linghu Chong terkejut menyaksikan orang-orang aliran sesat itu menggali tanah tidak menggunakan cangkul atau sekop dan sebagainya, namun memakai senjata mereka yang berbentuk kapak, tombak, dan sejenisnya. Mula-mula mereka mencongkel tanah, lalu dengan menggunakan tangan mereka mengorek tanah yang sudah gembur itu. Cara demikian sudah tentu makan waktu lama. Namun berhubung ilmu silat mereka tinggi, serta tenaga mereka kuat pula, maka penggalian ini pun berlangsung lumayan cepat.
Linghu Chong merasa heran melihat perubahan tempat galian itu dan berpikir, “Aneh, bukankah tadi mereka hendak menggali di jalan setapak dekat tebing sana, tapi mengapa sekarang berpindah ke sini? Ah, aku paham sekarang. Tentu di sana tanahnya keras dan banyak mengandung bebatuan cadas. Rupanya si marga Ge ini tidak terlalu pandai dan hanya sembarang bicara saja.”
Tiba-tiba terdengar Sesepuh Ge tertawa dan berkata, “Yue Buqun itu sudah tua, tapi istrinya ternyata masih begini muda dan cantik.”
Sesepuh Du menanggapi dengan tertawa pula, “Dia memang cantik, tapi sudah tidak muda lagi. Paling tidak, usianya sudah sekitar empat puluhan. Kalau memang Saudara Ge tertarik, tunggu sampai kita menangkap Yue Buqun dan membawanya kepada Ketua Ren. Kemudian, kau dapat meminta wanita ini sebagai hadiah, bagaimana?”
Sesepuh Ge menjawab, “Mengambilnya sebagai hadiah aku rasa tidak perlu. Namun kalau sekadar untuk bermain-main kurasa boleh juga.” Sambil berbicara ia tertawa terbahak-bahak.
Mendengar itu Linghu Chong semakin gusar. Ia berpikir, “Dasar bajingan tak tahu malu! Berani kalian merendahkan ibu-guruku seperti ini? Tunggu saja, akan kubunuh kalian satu per satu.” Karena suara tertawa Sesepuh Ge yang menjijikkan itu, tanpa terasa Linghu Chong melongok untuk melihat apa yang dilakukannya. Ternyata pria bermarga Ge itu sedang mencubit pipi ibu-gurunya satu kali. Rupanya Ning Zhongze tidak mampu bergerak untuk melawan karena urat nadinya sedang tertotok. Terdengar pula orang-orang aliran sesat yang lain ikut bergelak tawa.
“Wah, tampaknya Saudara Ge sudah tidak sabar lagi. Apakah kau hendak bermain-main dengan perempuan ini sekarang juga?” kata Sesepuh Du dengan tertawa.
Linghu Chong yang sudah sangat murka bermaksud menerjang keluar meski pedang tidak ada di tangannya. Namun lantas terdengar Sesepuh Ge menjawab, “Bukan masalah berani atau tidak berani. Masalahnya aku khawatir menggagalkan tugas yang dibebankan Ketua Ren kepada kita. Andaikan aku punya seratus kepala juga akan dipenggal semua oleh Beliau.”
“Bagus sekali,” ujar Bao Dachu dengan nada dingin. “Sekarang Sesepuh Ge dan Sesepuh Du silakan pergi memancing kedatangan Yue Buqun. Ilmu meringankan tubuh kalian sangat bagus. Kira-kira dua jam lagi segala sesuatu di sini sudah kami bereskan.”
“Baik,” jawab Sesepuh Ge dan Sesepuh Du bersama-sama, kemudian mereka berlari ke arah utara.
Kepergian kedua orang itu membuat suasana di lembah pegunungan itu kembali sunyi. Yang terdengar kini hanyalah suara tanah sedang digali saja. Kadang-kadang terdengar pula suara Sesepuh Mo memberi petunjuk ini dan itu.
Linghu Chong masih mendekam di tengah semak-semak rumput dan tidak berani bergerak sedikit pun. Ia merenung, “Aku sudah pergi terlalu lama, Yingying pasti sangat khawatir. Kalau ia menyusul kemari, tentu dapat menyelamatkan Ibu Guru. Bagaimanapun juga orang-orang aliran sesat ini pasti akan tunduk kepada perintah tuan putri mereka. Dengan demikian aku juga tidak perlu bertarung melawan mereka. Ah, makin lama aku tertahan di sini rasanya justru lebih baik. Lagipula si marga Ge sudah pergi. Tidak ada lagi yang mengganggu Ibu Guru.”
Akhirnya, orang-orang aliran sesat itu telah selesai menggali lubang jebakan. Mulut lubang tersebut kemudian ditutupi dengan ranting-ranting kayu dan rerumputan, serta ditaburi pula dengan bubuk obat bius. Setelah itu, di atasnya ditutup lagi dengan rumput-rumput pula. Bao Dachu dan rekan-rekannya yang semua berjumlah enam orang lantas menyusup ke tengah semak-semak di samping lubang jebakan itu untuk menantikan kedatangan Yue Buqun.
Perlahan-lahan Linghu Chong memungut sepotong batu di sebelahnya dan berpikir, “Bagaimanapun juga aku harus menyelamatkan Guru. Jika nanti Guru datang, aku akan melemparkan batu ini untuk merusak lubang perangkap itu. Dengan demikian, Guru akan lebih waspada dan tidak terjebak ke dalamnya.”
Begitulah, baik Linghu Chong maupun kelompok Bao Dachu sama-sama memasang telinga di tempat persembunyian masing-masing. Saat itu adalah permulaan musim panas. Selain suara serangga hutan dan sesekali kicauan burung liar, tidak terdengar lagi suara apa pun selain itu. Mereka benar-benar memusatkan perhatian kalau-kalau terdengar suara langkah kaki Yue Buqun sedang mengejar Sesepuh Ge dan Sesepuh Du.
Setelah lebih dari satu jam, tiba-tiba terdengar suara jerit seorang perempuan dari kejauhan. Linghu Chong terkejut seketika dan berpikir, “Itu suara Yingying. Apakah ia bertemu dengan Guru ataukah dengan kedua sesepuh tadi?”
Tidak lama lantas terdengar suara dua orang berlari mendekati tempat itu. Yang satu berlari di depan dan yang lain mengejar di belakang. Terdengar suara Ren Yingying kembali berteriak, “Kakak Chong, gurumu hendak membunuhmu, kau jangan keluar!” Suaranya ini dikerahkan sekuat tenaga. Rupanya ia tidak tahu di mana Linghu Chong berada dan ingin sekali memberitahukan tentang hal ini.
Linghu Chong sendiri terkejut mendengarnya. “Guru ada di sini hendak membunuhku?” pikirnya.
Ren Yingying kembali berteriak-teriak, “Kakak Chong, segeralah menyingkir! Gurumu hendak membunuhmu!” Tak lama kemudian gadis itu muncul dalam keadaan rambut acak-acakan. Tangannya menghunus pedang, tapi kakinya berlari kencang karena dikejar Yue Buqun dari belakang.
Tidak lebih dari sepuluh langkah lagi Ren Yingying pasti akan terjerumus ke dalam lubang perangkap yang digali orang-orang aliran sesat tadi. Baik Linghu Chong maupun kelompok Bao Dachu sama-sama bingung tidak tahu harus berbuat apa.
Akan tetapi Yue Buqun lebih dahulu melompat ke depan. Tangan kirinya mencengkeram punggung Ren Yingying, sementara tangan kanannya menangkap dan menelikung kedua tangan si nona ke belakang pinggang. Seketika Ren Yingying pun tidak bisa bergerak lagi. Pedangnya tampak jatuh ke tanah.
Linghu Chong dan Bao Dachu sama sekali tidak sempat memberi pertolongan karena kecepatan gerak Yue Buqun yang luar biasa itu. Setinggi apapun ilmu silat Ren Yingying juga tidak sanggup berbuat apa-apaa dan dalam sekejap ia langsung tertangkap oleh lawan. Meski demikian, tetap saja gadis itu berteriak-teriak, “Kakak Chong, lekas lari yang jauh! Gurumu hendak membunuhmu!”
Air mata hangat berlinang-linang di pelupuk mata Linghu Chong. Ia sangat terharu dan merenung, “Yingying hanya memikirkan keselamatanku meski bahaya sudah ada di dekatnya.”
Yue Buqun telah menotok beberapa titik nadi di punggung Ren Yingying sehingga gadis itu jatuh ke tanah tak bisa bergerak lagi. Pada saat yang sama ia juga melihat istrinya tergeletak di dekat situ tanpa bergerak.
Yue Buqun sangat terkejut namun dengan cepat menguasai perasaannya. Dengan tenang ia memeriksa keadaan di sekitar dan ternyata tak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Pada dasarnya Yue Buqun memang sangat cerdik, sehingga tidak berusaha mendekati dan menolong sang istri, sebaliknya ia berkata dengan suara hambar, “Nona Ren, bajingan Linghu Chong telah membunuh putri kesayanganku. Tentunya kau pun ikut ambil bagian atas perbuatan itu, bukan?”
Kembali Linghu Chong terkejut. Ia tidak habis mengerti mengapa sang guru menuduhnya telah membunuh Yue Lingshan.
Maka terdengar Ren Yingying menjawab, “Yang membunuh putrimu adalah Lin Pingzhi. Memangnya ada masalah apa antara kau dengan Linghu Chong? Mengapa kau menuduh Linghu Chong yang membunuh putrimu?”
Yue Buqun bergelak tawa dan berkata, “Lin Pingzhi adalah menantuku, memangnya kau tidak tahu? Mereka adalah pengantin baru. Betapa besar cinta kasih di antara mereka dapat kau bayangkan sendiri. Mana mungkin seorang suami tega membunuh istrinya sendiri?”
Ren Yingying menyambung, “Lin Pingzhi telah bergabung dengan Perguruan Songshan. Demi mendapatkan kepercayaan Zuo Lengchan bahwa dirinya benar-benar bermusuhan denganmu, maka ia sengaja membunuh anak perempuanmu.”
“Hahaha, omong kosong!” kembali Yue Buqun tertawa. “Kau menyebut Perguruan Songshan? Huh, di dunia ini Perguruan Songshan sudah tidak ada lagi. Perguruan Songshan telah dilebur ke dalam Perguruan Lima Gunung. Mana mungkin Lin Pingzhi menggabungkan diri ke dalam perguruan yang sudah punah? Lagipula ia juga tahu Zuo Lengchan sekarang ini adalah bawahanku. Tidak mungkin ia meninggalkan ayah mertuanya yang menjadi ketua Perguruan Lima Gunung, kemudian mengekor kepada seorang buta semacam Zuo Lengchan yang membela diri sendiri saja susah. Sekalipun orang paling bodoh di dunia ini juga tidak mungkin berbuat demikian.”
“Persetan jika kau tidak percaya. Kau bisa mencari Lin Pingzhi dan bertanya sendiri kepadanya,” kata Ren Yingying.
Mendadak suara Yue Buqun berubah bengis. “Yang kucari saat ini bukan Lin Pingzhi, tapi Linghu Chong. Setiap kaum persilatan saat ini mengatakan Linghu Chong telah memerkosa anak perempuanku. Karena anak perempuanku melawan sekuat tenaga, akhirnya ia dibunuh oleh bajingan itu. Sekarang kau mengarang cerita untuk menutupi dosa Linghu Chong, jelas kau juga bukan manusia baik-baik,” katanya.
“Huh,” ujar Ren Yingying hanya mendengus.
Yue Buqun melanjutkan, “Nona Besar Ren, ayahmu adalah ketua Partai Mentari dan Bulan yang terhormat, seharusnya aku tidak perlu menyusahkanmu. Namun demi untuk memaksa Linghu Chong muncul kemari, terpaksa aku harus menggunakan sedikit kekerasan atas dirimu. Aku akan memotong telapak tangan kirimu lebih dulu, kemudian telapak tangan kanan, kemudian menebas kaki kirimu dan setelah itu kaki kanan. Apabila Linghu Chong mempunyai perasaan tentu dia akan segera muncul.”
“Memangnya kau berani?” sahut Ren Yingying dengan suara lantang. “Sekali kau berani mengganggu seujung rambutku, Ayah pasti akan menyapu bersih seluruh keluargamu tanpa kecuali.”
Yue Buqun menyahut dengan tertawa, “Aku tidak berani katamu?” Usai berkata ia lantas melolos pedang yang tergantung di pinggangnya.
Linghu Chong tidak tahan lagi. Segera ia menerobos keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru, “Guru, Linghu Chong ada di sini!”
Ren Yingying menjerit terkejut dan segera berseru, “Lekas lari, lekas lari! Dia tak mungkin berani mencelakai aku!”
Namun Linghu Chong menggeleng sambil tetap melangkah maju, “Guru….” katanya terputus.
“Bangsat cilik, kau masih punya muka untuk memanggil ‘guru’ padaku?” bentak Yue Buqun bengis.
Dengan menahan air mata tiba-tiba Linghu Chong berlutut dan berkata, “Langit menjadi saksi, selamanya Linghu Chong sangat menghormati Nona Yue, tidak mungkin berani berlaku kasar sedikit pun. Linghu Chong merasa berhutang budi kepada Guru dan Ibu Guru yang telah membesarkan diriku ini. Jika hendak membunuhku, silakan lakukan saja.”
Ren Yingying menjadi khawatir dan berseru, “Kakak Chong, orang ini setengah laki-laki setengah perempuan. Dia sudah kehilangan sifat manusia, kenapa kau tidak lekas pergi saja!”
Raut muka Yue Buqun berubah merah mendengar perkataan gadis itu. Serentak ia pun berpaling dan berkata, “Apa maksud ucapanmu tadi?”
“Demi untuk mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis, kau telah… telah merusak dirimu sendiri... kau menjadi… menjadi manusia tidak jelas seperti siluman,” sahut Ren Yingying. “Kakak Chong, apakah kau masih ingat dengan Dongfang Bubai? Dia dan gurumu ini sudah gila semua. Mereka bukan lagi manusia normal.”
Dalam pikiran Ren Yingying adalah bagaimana agar Linghu Chong lekas-lekas lari menyelamatkan diri, meski ia sadar bahwa ucapannya itu pasti akan membangkitkan amarah Yue Buqun dan berakibat buruk baginya. Namun semua itu sudah tidak dipedulikannya lagi.
Dengan nada dingin Yue Buqun bertanya, “Kata-katamu yang aneh itu kau dengar dari mana?”
“Lin Pingzhi sendiri yang bicara demikian,” jawab Ren Yingying. “Kau telah mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis milik keluarga Lin, memangnya kau kira dia tidak tahu? Waktu kau melempar jubah biksu yang bertuliskan salinan kitab pusaka tersebut, saat itu Lin Pingzhi sedang bersembunyi di luar jendela kamarmu sehingga dapat menangkap jubah itu. Maka dari itu dia… dia juga berhasil mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Jika tidak, mana mungkin dia bisa membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng? Bagaimana ia berlatih Jurus Pedang Penakluk Iblis, dengan sendirinya ia pun tahu bagaimana kau berlatih sebelumnya. Nah, Kakak Chong, perhatikan baik-baik suara Yue Buqun yang mirip dengan perempuan ini. Dia… dia sama saja dengan Dongfang Bubai. Dia sudah… sudah bukan laki-laki normal lagi.”
Waktu itu Ren Yingying mendengar dengan jelas percakapan antara Lin Pingzhi dan Yue Lingshan di dalam kereta, sementara Linghu Chong tidak ikut mendengarnya. Ia paham kalau Linghu Chong sangat menghormati gurunya sehingga sengaja memendam rahasia itu rapat-rapat. Namun kini keadaannya berbeda. Ia terpaksa membocorkan rahasia tersebut demi untuk menyadarkan Linghu Chong bahwa guru yang dihadapinya sekarang ini bukan lagi seorang tokoh persilatan terhormat, melainkan seorang aneh yang sudah tidak normal, seorang gila yang tidak mungkin diajak bicara tentang budi kebaikan segala.
Benar juga, sorot mata Yue Buqun bertambah beringas. “Nona Ren, sebenarnya aku bermaksud mengampuni jiwamu. Namun karena ucapanmu yang tidak jelas itu, terpaksa aku harus membereskan nyawamu. Maka janganlah kau menyalahkan aku bila sebentar lagi kau harus mampus,” ujarnya.
“Lekas pergi, Kakak Chong, lekas pergi!” kembali Ren Yingying berteriak-teriak tanpa memedulikan keselamatan diri sendiri.
Sementara itu Yue Buqun sudah mulai mengangkat pedangnya. Linghu Chong hafal benar bagaimana kehebatan ilmu silat sang guru. Sekali pedangnya bergerak, jiwa Ren Yingying tentu akan melayang. Maka dengan cepat ia berteriak, “Kalau mau bunuh, bunuh saja aku, jangan mencelakai dia!”
Tiba-tiba Yue Buqun menoleh ke arah Linghu Chong dan berkata, “Hm, kau hanya mempelajari beberapa jurus cakar kucing saja lantas mengira dapat malang melintang di dunia persilatan, hah? Baiklah, angkat pedangmu, akan kuhajar kau supaya mati dengan rela.”
“Sama sekali… sama sekali aku tidak berani bertarung melawan Gu… melawanmu!” jawab Linghu Chong.
“Dalam keadaan seperti ini kau masih juga berlagak bodoh?” bentak Yue Buqun gusar. “Dahulu, ketika di atas kapal di Sungai Kuning, juga ketika berada di Bukit Lima Raja Kejam, kau sengaja berkomplot dengan kawanan bangsat untuk membuatku malu. Waktu itu sudah timbul niatku hendak membunuhmu, tapi kutahan sampai sekarang. Boleh dikata kau sangat beruntung. Waktu di Fuzhou pun kau sudah jatuh ke tanganku. Kalau bukan karena istriku yang berada di sana tentu sudah lama kuhabisi riwayatmu. Gara-gara salah perhitungan tersebut akibatnya malah mengorbankan anak perempuanku, yang harus mati di tangan bangsat semacam dirimu ini.”
“Aku tidak… aku tidak….” sahut Linghu Chong tergagap-gagap.
“Siapkan pedangmu!” bentak Yue Buqun murka. “Jika kau mampu mengalahkan ilmu pedangku, maka kau dapat langsung membunuhku pula. Kalau tidak, maka aku pun takkan mengampuni jiwamu. Siluman betina aliran sesat ini sembarangan mengoceh, biar kubereskan dia lebih dahulu.” Usai berkata ia langsung menebaskan pedangnya ke arah leher Ren Yingying.
Tanpa pikir lagi Linghu Chong langsung memungut sepotong batu dan melemparkannya ke arah Yue Buqun. Yue Buqun terpaksa berkelit menghindar. Secepat kilat Linghu Chong menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping untuk menyambar pedang Ren Yingying yang jatuh di tanah tadi. Secepat kilat ia lantas menusuk pula ke arah paha kiri Yue Buqun.
Apabila serangan Yue Buqun tadi diarahkan kepada Linghu Chong, maka pemuda itu pasti tidak akan menghindar dan rela mati di tangan sang guru. Namun karena Yue Buqun terlalu gemas terhadap Ren Yingying yang telah membongkar rahasianya, tanpa pikir panjang ia pun berniat membunuh gadis itu terlebih dulu. Tentu saja bagaimanapun juga Linghu Chong tidak bisa tinggal diam. Dilihatnya bagian bawah ketiak kanan Yue Buqun adalah tempat yang terbuka, maka ia lantas menyerang titik itu dengan lemparan batu untuk memaksa lawan menarik kembali serangannya.
Benar juga, Yue Buqun segera menarik pedangnya untuk menangkis. Namun berturut-turut Linghu Chong kembali menyerang tiga kali, terpaksa Yue Buqun mundur dua-tiga langkah dengan perasaan terkejut bercampur heran. Tiga kali pedang mereka beradu membuat tangan Yue Buqun terasa kesemutan. Memang dalam pertarungan di Biara Shaolin beberapa bulan yang lalu Linghu Chong tidak mengerahkan segenap kemampuannya, sementara kali ini ia berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa Ren Yingying.
Setelah mendesak mundur lawan, Linghu Chong segera membalik sebelah tangannya hendak membuka totokan pada tubuh Ren Yingying.
Namun Ren Yingying berseru, “Jangan khawatirkan aku, awas!”
Tampak sinar putih berkelebat, rupanya pedang Yue Buqun sudah menusuk kembali. Untungnya Linghu Chong pernah melihat ilmu silat Dongfang Bubai, Yue Buqun, dan Lin Pingzhi sebelumnya. Maka ia pun sadar bahwa gerakan ketiga orang itu sangat cepat seperti bayangan setan. Jika ia menunggu sampai titik kelemahan lawan terlihat, maka bisa-bisa dirinya akan terluka lebih dahulu. Maka tanpa pikir panjang, Linghu Chong pun mengacungkan pedangnya lantas menusuk perut Yue Buqun secepat kilat.
Yue Buqun kelabakan dan terpaksa melompat mundur sambil memaki, “Sungguh keji dirimu, bangsat cilik!”
Padahal sebagai orang yang mendidik dan membesarkan Linghu Chong sejak kecil seharusnya Yue Buqun hafal watak pemuda itu. Apabila ia tidak peduli dengan serangan balasan Linghu Chong itu dan tetap menyerang, tentu jiwa lawan sudah melayang di tangannya. Linghu Chong sendiri meskipun menggunakan siasat hancur bersama musuh, namun dalam hati ia tidak pernah melupakan budi baik sang guru. Sebenarnya ia tidak sungguh-sungguh menusuk perut gurunya itu. Jadi dalam hal ini Yue Buqun telah salah perhitungan. Ia terlanjur mengukur orang lain seperti dirinya sendiri, sehingga kehilangan satu kesempatan bagus untuk membinasakan lawan.
Setelah beberapa jurus berlalu permainan pedang Yue Buqun bertambah gencar namun tetap tidak bisa mengalahkan lawan. Linghu Chong sendiri menghadapinya dengan tangkas dan penuh semangat. Semula ia rela mati di tangan sang guru. Namun begitu teringat bahwa Ren Yingying telah membuat Yue Buqun sakit hati, maka ia yakin gurunya itu pasti akan menyiksa si nona sampai mati menderita demi melampiaskan amarah. Membayangkan hal itu membuat Linghu Chong pantang menyerah dan bertempur dengan sekuat tenaga.
Puluhan jurus telah terlewati. Serangan Yue Buqun tampak bertambah rumit. Linghu Chong menghadapi itu semua dengan memusatkan perhatiannya. Lambat laun pikirannya menjadi terbuka, dan menjadi paham pula. Yang dipandangnya kali ini hanyalah titik ujung pedang sang guru saja, sementara yang lainnya sudah tidak ia pedulikan lagi.
Intisari Sembilan Jurus Pedang Dugu yang ia mainkan adalah “semakin kuat pihak musuh semakin kuat pula diri sendiri.” Dahulu sewaktu bertanding melawan Ren Woxing dalam penjara di bawah Danau Barat, tak peduli bagaimanapun Ren Woxing menyerang dengan bermacam-macam gerak perubahan selalu saja Linghu Chong dapat melayaninya dengan jurus-jurus baru yang lahir seketika. Padahal ilmu silat Ren Woxing boleh dikata jarang ada bandingannya, namun ia harus mengakui kehebatan dan kecerdasan Linghu Chong.
Kini Linghu Chong sudah berhasil pula mendalami Jurus Penyedot Bintang, membuat kekuatan tenaga dalamnya sukar diukur lagi. Sebaliknya Jurus Pedang Penakluk Iblis meski aneh, namun baru beberapa bulan saja dipelajari oleh Yue Buqun. Gerakannya belum secepat Dongfang Bubai. Tentu keadaannya berbeda dengan Linghu Chong yang telah setahun lebih menguasai Sembilan Jurus Pedang Dugu dan memperoleh banyak pengalaman bersama ilmu sakti tersebut. Oleh karena itu, setelah ratusan jurus berlalu, cara Linghu Chong melayani lawannya sudah tidak perlu menggunakan pikiran lagi. Betapapun aneh perubahan gerak serangan Jurus Pedang Penakluk Iblis selalu dapat disambutnya dengan jurus serangan yang sama anehnya pula.
Meskipun Jurus Pedang Penakluk Iblis memiliki 72 jurus utama, namun setiap jurus memiliki gerak perubahan yang bermacam-macam. Gerakan-gearakan perubahan dalam jurus pedang tersebut sangat rumit dan menakjubkan. Jika orang lain yang menghadapinya pasti akan mati seketika, atau mungkin mati karena pusing kebingungan. Sebaliknya, meskipun Sembilan Jurus Pedang Dugu hanya memiliki sembilan jurus utama saja, namun masing-masing tidak memiliki gerak perubahan yang pasti dan terikat. Ilmu pedang ini secara alami bergerak mengikuti kehebatan lawan. Jika lawan memainkan satu jurus, maka ia pun menghadapinya dengan satu jurus pula. Dan apabila lawan memainkan seribu jurus, maka ia pun mampu melayaninya dengan seribu jurus pula.
Dalam pandangan Yue Buqun kali ini gerak pedang Linghu Chong dirasakannya jauh lebih rumit daripada gerak serangannya. Rasanya sekalipun bertempur tiga hari tiga malam juga tetap akan lahir jurus-jurus baru dari tangan Linghu Chong untuk melayaninya.
Karena berpikir demikian seketika timbul rasa gentar di dalam hati Yue Buqun. Ia pun berpikir, “Perempuan siluman aliran sesat ini telah membongkar rahasiaku. Bila hari ini aku tidak dapat membereskan mereka, kelak cerita tentang diriku tentu akan tersiar luas di kalangan persilatan. Lantas, apakah aku masih punya muka untuk menjabat sebagai ketua Perguruan Lima Gunung lagi? Sepertinya segala rencana yang kurancang sekian lama akan hancur seluruhnya. Si keparat Lin Pingzhi telah membocorkan rahasiaku kepada siluman betina ini. Entah apa yang harus kulakukan untuk mencegah aib ini agar tidak tersebar luas?”
Karena merasa gelisah, serangan-serangannya pun bertambah ganas. Akan tetapi pikiran yang kacau membuat kecepatan pedangnya agak menurun pula. Padahal Jurus Pedang Penakluk Iblis sangat istimewa dalam hal kecepatan. Maka jika ratusan jurus telah berlalu dan tidak bisa mengalahkan lawan, dengan sendirinya semangat dari jurus pedang sehebat apapun pasti akan berkurang.
Sebaliknya, pikiran Linghu Chong lebih terbuka dan ia mampu melihat celah kelemahan pada jurus lawan. Keistimewaan utama Sembilan Jurus Pedang Dugu adalah kehebatannya dalam mengincar titik-titik kelemahan ilmu silat lawan. Apapun serangannya, apapun senjatanya, setiap jurus pasti memiliki celah kelemahan dan inilah yang selalu diincar dengan baik oleh Sembilan Jurus Pedang Dugu. Sekali celah kelemahan itu berhasil dimasuki, maka kemenangan sudah pasti dapat berada di tangan.
Dalam pertempuran di Tebing Kayu Hitam waktu itu, Linghu Chong bertarung melawan Dongfang Bubai yang hanya bersenjatakan sebatang jarum sulam. Meskipun pada gerakan Dongfang Bubai terlihat adanya celah kelemahan, namun karena kecepatannya yang luar biasa membuat Linghu Chong tidak mampu melancarkan serangan dengan tepat. Setiap kali ia menusukkan pedang, lawannya itu telah berganti jurus yang baru.
Selanjutnya Linghu Chong juga menyaksikan bagaimana Yue Buqun bertarung melawan Zuo Lengchan di puncak Songshan, serta bagaimana Lin Pingzhi membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Akhir-akhir ini ia berusaha keras bagaimana mematahkan Jurus Pedang Penakluk Iblis tersebut, namun selalu saja satu kesimpulan membayanginya, yaitu jurus pedang ini sangat-sangat cepat. Setiap kali satu celah kelemahan dalam suatu jurus dapat diincar selalu saja terlewatkan dan jurus yang lain pun menyusul datang.
Kini pertarungan Linghu Chong dan Yue Buqun itu telah berlangsung mendekati dua ratus jurus. Linghu Chong sempat melihat celah terbuka pada ketiak kanan Yue Buqun ketika lawannya itu mengangkat pedang. Seketika Linghu Chong teringat bahwa jurus ini sudah digunakan oleh Yue Buqun sebelumnya. Setelah beberapa gerakan kembali Yue Buqun memperlihatkan titik kelemahan pada pinggang kirinya. Jurus ini pun sudah digunakan Yue Buqun sebelumnya. Rupanya rangkaian Jurus Pedang Penakluk Iblis telah habis dan terpaksa harus diulangi lagi dari awal.
Tiba-tiba seberkas pikiran muncul dalam benak Linghu Chong, “Jurus Pedang Penakluk Iblis memang cepat luar biasa. Celah kelemahannya tidak bisa dimasuki, sehingga ini bukan titik kelemahan yang sesungguhnya. Tapi akhirnya aku berhasil menemukan celah kelemahan yang sebenarnya, yaitu ketika jurus ini diulangi dari awal.”
Dalam dunia persilatan, ilmu pedang aliran mana pun juga betapapun hebatnya dan betapapun banyak jurus-jurusnya, tetap saja pasti akan berakhir. Apabila musuh belum bisa dirobohkan mau tidak mau rangkaian jurus tersebut harus diulangi kembali dari awal. Hanya saja, seorang jago silat papan atas pasti memiliki banyak jurus cadangan. Akan tetapi dalam hal ini Yue Buqun sudah kehabisan akal. Ia sadar tidak bisa menggunakan jurus pedang Perguruan Huashan ataupun empat perguruan yang lain karena semuanya sudah dikenal dengan baik oleh Linghu Chong. Satu-satunya yang ia andalkan kini hanyalah Jurus Pedang Penakluk Iblis dan itu pun harus diulangi lagi dari awal. Melihat datangnya kesempatan untuk meraih kemenangan membuat Linghu Chong tersenyum senang.
Melihat ujung bibir lawan sekilas tertarik ke atas membuat Yue Buqun menjadi penasaran. “Mengapa bangsat cilik ini tersenyum? Apakah dia sudah menemukan jalan untuk mengalahkan diriku?” pikirnya kemudian.
Maka ia lantas mengerahkan segenap tenaga dalam, dan kemudian mendesak maju serta mundur sekaligus. Secepat kilat ia sudah mengelilingi tubuh Linghu Chong dengan rapat. Serangannya pun bertambah gencar dan membadai. Betapa cepat Yue Buqun berputar membuat Ren Yingying yang tergeletak di tanah tidak dapat melihat dengan jelas ke mana serangannya itu ditujukan. Lambat laun ia merasa pusing dan muak pula seperti orang yang sedang mabuk laut.
Setelah lebih dari tiga puluh jurus berlalu, tampak jari tangan kiri Yue Buqun menunjuk ke depan. Pedangnya di tangan kanan pun ditarik. Linghu Chong paham bahwa ini adalah awal dari rangkaian Jurus Pedang Penakluk Iblis yang akan diulangi lagi untuk yang ketiga kalinya. Setelah bertarung sekian lama, diam-diam Linghu Chong merasa lelah karena ia baru sembuh dari sakit akibat luka parah tempo hari. Namun ia sadar bahwa keadaan begitu gawat. Di bawah serangan Yue Buqun yang gencar dan cepat itu, sedikit saja lengah pasti jiwanya akan melayang, bahkan Ren Yingying akan ikut menjadi korban. Oleh sebab itulah ketika melihat serangan lawan hendak diulangi, segera ia mendahului menusuk ke bawah ketiak kanan Yue Buqun. Tempat yang diincarnya tepat merupakan titik kelemahan jurus serangan Yue Buqun itu.
Rupanya gerakan demikian inilah yang ditemukan Linghu Chong untuk mengalahkan Jurus Pedang Penakluk Iblis, yaitu menyerang titik kelemahan musuh sebelum serangan musuh dilancarkan. Maka sebelum Yue Buqun sempat mengganti jurus yang lain, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah menyambar tiba. Seketika Yue Buqun menjerit terkejut, suaranya penuh rasa tidak percaya, gusar dan putus asa pula.
Saat itu ujung pedang Linghu Chong sudah berada di bawah ketiak lawan. Sedikit saja didorong ke depan, tentu tubuh Yue Buqun akan tertembus. Namun begitu mendengar jeritan tajam Yue Buqun itu, seketika ia pun sadar, “Ah, kenapa aku sampai lupa diri? Dia ini guruku, mana boleh aku mencelakainya?”
Segera ia pun menahan pedangnya dan berkata, “Kalah atau menang sudah jelas. Bagaimana kalau kita sudahi saja pertandingan ini. Yang paling penting adalah men… nolong Ibu Guru.”
“Baiklah! Aku mengaku kalah,” jawab Yue Buqun dengan muka pucat seperti mayat.
Tanpa pikir lagi Linghu Chong lantas membuang pedangnya dan menoleh untuk melihat Ren Yingying. Di luar dugaan, tiba-tiba Yue Buqun berseru sekali, kemudian pedangnya menyambar secepat kilat mengarah ke pinggang kiri Linghu Chong.
Tempat yang diincar ini sungguh berbahaya. Dalam keadaan terkejut Linghu Chong bermaksud segera memungut kembali pedangnya namun sudah terlambat. Pedang Yue Buqun lebih dulu menancap di belakang pinggangnya. Untungnya tenaga dalam Linghu Chong sangat bagus. Seketika otot pinggangnya melawan sehingga tusukan tersebut tidak sampai terlalu dalam.
Yue Buqun tampak gembira. Dicabutnya pedang itu dan kembali ia menebas ke bawah. Lekas-lekas Linghu Chong menjatuhkan diri dan menggelindingkan tubuhnya. Namun Yue Buqun terus saja mengejar dan kembali mengayunkan pedangnya. Untung Linghu Chong sempat mengelak lagi. Serangan Yue Buqun itu tepat mengenai tanah, dan hanya beberapa senti saja dari kepala Linghu Chong.
Sambil menyeringai Yue Buqun kembali mengangkat pedangnya. Kali ini ia melangkah maju dan dengan sekali tebas pasti kepala Linghu Chong akan terpenggal. Tak disangka, tiba-tiba sebelah kakinya menginjak tempat lunak. Tubuhnya langsung terjerumus jatuh ke bawah. Ia bermaksud melompat ke atas dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, namun saat itu langit dan bumi terasa seperti berputar-putar. Selanjutnya ia pun jatuh tak sadarkan diri. Rupanya Yue Buqun telah jatuh terjerumus ke dalam lubang perangkap buatan aliran sesat tadi.
Linghu Chong benar-benar lolos dari lubang jarum. Hampir saja ia mati konyol. Perlahan-lahan ia merangkak bangun sambil mendekap luka di pinggang belakangnya.
Pada saat itulah terdengar seruan beberapa orang dari semak-semak, “Nona Besar! Putri Suci!” Kemudian beberapa orang tampak berlari-lari keluar. Mereka tidak lain adalah Bao Dachu, Sesepuh Mo, dan empat orang lainnya.
Bao Dachu tiba di tepi lubang perangkap. Sambil menahan napas ia mengetuk kepala Yue Buqun berkali-kali menggunakan gagang goloknya keras-keras. Ia sadar tenaga dalam orang ini sangat tinggi. Obat bius dalam lubang jebakan itu mungkin mebuatnya pingsan sebentar. Maka, ketukan keras ini pasti akan menundanya untuk sadar kembali.
Sementara itu Linghu Chong dengan susah payah mendekati tempat Ren Yingying menggeletak dan bertanya, “Bagian mana yang ditotok olehnya?”
“Apakah kau tidak… tidak apa-apa?” Ren Yingying balik bertanya. Suaranya terdengar gemetar karena rasa khawatir yang begitu besar.
“Jangan khawatir, aku takkan... takkan mati,” sahut Linghu Chong.
“Bunuh bangsat keparat itu!” teriak Ren Yingying tiba-tiba.
“Baik,” jawab Bao Dachu paham.
Namun Linghu Chong lebih dulu mencegah, “Jang… jangan!”
Ren Yingying mengerti perasaannya dan segera mengganti perintah, “Kalau begitu, tangkap saja dia!” Rupanya ia tidak tahu kalau lubang perangkap itu mengandung obat bius.
Terdengar Bao Dachu menjawab, “Baik!” Ia tidak berani berterus terang bahwa lubang perangkap itu adalah hasil karyanya, karena ketika tadi sang tuan putri dikejar-kejar dan ditawan oleh Yue Buqun, sama sekali ia dan rekan-rekannya tidak berani keluar untuk menolong karena takut mati. Peristiwa ini kalau sampai diketahui oleh partai maka bisa menjadi musibah besar bagi mereka dan berakhir dengan hukuman mati.
Maka Bao Dachu pun melompat ke dalam lubang. Segera ia mencengkeram tengkuk Yue Buqun lalu menyeret tubuh orang itu ke atas. Dengan cekatan ia pun menotok pula beberapa urat nadi penting pada tubuh ketua Perguruan Lima Gunung tersebut. Selanjutnya kaki dan tangan Yue Buqun pun diikat menggunakan tambang. Sudah terkena bius, diketok kepalanya, lalu urat nadinya ditotok, dan diikat pula dengan tambang. Sekalipun kepandaian Yue Buqun setinggi langit juga tidak mungkin bisa lolos.
Linghu Chong saling pandang dengan Ren Yingying. Kedua muda-mudi ini merasa seperti baru saja terbangun dari sebuah mimpi buruk. Selang agak lama barulah Ren Yingying menangis. Linghu Chong mendekati dan memeluknya. Setelah pengalaman pahit tersebut, mereka merasa hidup belum pernah seindah saat ini. Perlahan-lahan Linghu Chong membuka totokan pada tubuh Ren Yingying tersebut.
Ketika tiba-tiba melihat sang ibu-guru masih tergeletak di tanah, barulah Linghu Chong ingat dan berteriak, “Celaka!”
Segera ia pun mendekati Ning Zhongze dan membuka totokan pada tubuh Nyonya Yue terebut sambil berkata, “Maafkan aku, Ibu Guru.”
(Bersambung)
Bagian 75 ; Bagian 76 ; Bagian 77