Bagian 10 - Pertarungan Sambil Duduk

Kakak Linghu menjawab sambil tertawa: ‘Jurus Pedang Kakus tidak pantas dipamerkan di depan umum, apalagi di hadapan kelima guru besar kami. Jurus tersebut hanya kugunakan untuk menusuk lalat-lalat yang menggangguku di dalam kakus saja. Namun pada suatu kesempatan aku pernah bertemu dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh terkemuka dari aliran sesat. Waktu itu mereka memuji Jurus Pedang Kakus ciptaanku konon tiada tandingannya di dunia ini, kecuali untuk menghadapi Ketua Dongfang mereka. Jurus Pedang Kakus memang luar biasa, namun selama ini belum pernah kugunakan selain untuk menusuk lalat. Lagipula, siapa orangnya yang mau bertarung melawanku sambil duduk? Meskipun Saudara Tian bersedia bertanding denganku sambil duduk, tetap saja aku merasa khawatir; jangan-jangan di tengah babak nanti kau merasa gusar karena tidak bisa mengalahkan aku, lantas melupakan perjanjian dan berdiri menyerangku. Kalau bertarung sambil berdiri jelas aku bukan tandinganmu. Kau urutan keempat belas, sedangkan aku hanya urutan kedelapan puluh sembilan. Dalam sekali tebas kau bisa langsung memotong tubuhku. Kehebatanmu bertarung sambil berdiri jelas tidak diragukan lagi, sedangkan kehebatanku dalam bertarung sambil duduk sama sekali tidak ada gunanya.’
Tian Boguang menyahut: ‘Saudara Linghu, kau ini memang licin dan pandai bersilat lidah. Darimana kau tahu kalau aku akan kalah? Darimana kau tahu kalau aku akan marah dan berdiri melanggar perjanjian? Aku ini selalu memegang janji. Jika aku sudah berjanji akan menghadapimu sambil duduk, maka aku tidak akan berdiri sampai kau benar-benar mengaku kalah.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Aku senang kalau kau punya sifat seperti itu. Baiklah, kalau demikian aku akan mengganti ketentuan nomor dua. Asalkan jika nanti setelah kalah kau tidak membunuhku, maka hukuman kedua boleh kita hapuskan. Kau tidak perlu menjadi ka... kasim, supaya kau jangan sampai putus keturunan.’
Tian Boguang menyahut: ‘Cukup bicaranya. Mari kita mulai!’
Usai berkata ia lantas membalik meja sehingga terlempar ke samping beserta semua arak di atasnya. Keduanya pun berhadapan di atas bangku masing-masing. Kakak Linghu menghunus pedang, sedangkan Tian Boguang mengangkat goloknya.
‘Kau boleh menyerang terlebih dulu,’ seru Kakak Linghu. ‘Barangsiapa yang meninggalkan bangkunya terlebih dulu, dinyatakan kalah. Barangsiapa yang mengangkat pantat terlebih dulu, dinyatakan kalah.’
Tian Boguang menjawab: ‘Baik, siapa yang mengangkat pantatnya lebih dulu dinyatakan kalah. Mari kita mulai!’
Tiba-tiba Tian Boguang melirik ke arah saya, dan berkata: ‘Saudara Linghu, sekarang aku tahu rencanamu. Jangan-jangan kau menantangku bertarung sambil duduk supaya biksuni cilik ini bisa membantumu menyerangku dari belakang. Atau, bisa saja dia menggangguku sehingga aku terpaksa bangkit dari bangku.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Aku tidak perlu dibantu oleh siapa pun. Bila sampai ada yang membantu diriku anggap saja aku kalah. Hei, Biksuni cilik! Kau ingin aku menang atau kalah?’
Saya pun menjawab: ‘Tentu saja aku ingin kau menang. Bukankah kau ini ahli silat sambil duduk nomor dua di dunia? Sudah pasti kau akan menang.’
Kakak Linghu kembali berkata: ‘Kalau begitu, cepat kau pergi! Lebih cepat lebih baik, makin jauh makin bagus. Kalau di dekatku ada perempuan gundul pembawa sial seperti dirimu, mana mungkin aku bisa menang?’ Usai bicara ia langsung menusukkan pedangnya ke arah Tian Boguang.
Sambil menangkis, Tian Boguang berkata: ‘Hebat sekali! Hebat sekali! Benar-benar siasat yang sangat hebat untuk menyelamatkan biksuni cilik. Saudara Linghu, aku sungguh kagum dengan tipu muslihatmu. Segala cara kau tempuh demi menyelamatkan biksuni kesayanganmu ini; meskipun nyawamu sebagai taruhannya.’
Pada saat itulah saya baru sadar maksud di balik semua ini. Kakak Linghu sengaja menantang Tian Boguang bertarung sambil duduk supaya saya mempunyai kesempatan untuk melarikan diri. Tian Boguang sedikit pun tidak bisa meninggalkan bangku, sehingga tidak mungkin dia bangkit dan mengejar saya.”
Para hadirin terkagum-kagum mendengar kecerdikan Linghu Chong. Mereka mengakui ilmu silat Tian Boguang memang jauh lebih hebat. Akan tetapi, Linghu Chong menemukan siasat luar biasa untuk dapat meloloskan Yilin.
Biksuni Dingyi menyahut, “Istilah ‘biksuni kesayangan’ dan sebagainya jangan kau sebut-sebut lagi. Hal ini juga jangan pernah kau pikirkan sedikit pun di dalam benakmu.”
“Baik, Guru,” jawab Yilin sambil menunduk. “Saya baru tahu kalau kata-kata ini tidak boleh diucapkan.”
“Jadi dengan cara itu kau bisa meloloskan diri?” tanya Dingyi. “Jika Tian Boguang membunuh Linghu Chong, maka kau tidak punya kesempatan lagi.”
“Benar, Guru,” jawab Yilin. “Kakak Linghu berkali-kali memaksa saya pergi meninggalkan rumah arak tersebut. Akhirnya, dengan berat hati saya memberi hormat dan berkata: ‘Terima kasih atas semua pertolonganmu, Kakak Linghu.’
Saya lantas berlari menuruni tangga loteng tempat mereka bertanding. Namun baru saja sampai di tengah-tengah terdengar suara Tian Boguang berteriak: ‘Kena!’ Saat saya menoleh, wajah saya terciprat dua tetes darah. Rupanya bahu Kakak Linghu terluka.
Terdengar suara Tian Boguang mengejek: ‘Ternyata jago pedang sambil duduk nomor dua di dunia tidak ada apa-apanya.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Tentu saja. Biksuni cilik itu belum pergi; sehebat apapun ilmu pedangku tetap saja aku harus bernasib sial selama masih ada dia di sini.’
Saya berpikir kalau Kakak Linghu sangat tidak menyukai kaum biksuni sehingga jika saya terus menerus di sana, maka bisa-bisa dia akan terbunuh di tangan Tian Boguang. Maka itu, saya kembali berlari menuruni tangga. Sesampainya di luar rumah arak, saya kembali mendengar suara pertarungan mereka dan teriakan Tian Boguang: ‘Kena!’
Saya yakin Kakak Linghu pasti kembali terluka. Namun, saya takut jika kembali ke atas bisa membuat Kakak Linghu marah. Maka, saya pun mencari jalan lain, yaitu memanjat tiang rumah arak tersebut. Begitu sampai di atas genting, saya lantas mengintip melalui lubang jendela. Pemandangan di loteng itu sangat mengerikan. Kakak Linghu tampak bertempur dengan tangkas meskipun tubuhnya berlumuran darah; sementara Tian Boguang masih segar bugar, tidak terluka sama sekali.
Beberapa saat kemudian, Tian Boguang kembali berseru: ‘Kena!’ Rupanya ia telah melukai lengan kiri Kakak Linghu. Penjahat itu lantas berkata: ‘Saudara Linghu, kali ini aku berbaik hati kepadamu.’
Kakak Linghu menjawab sambil tertawa: ‘Aku tahu. Jika kau menambah sedikit tenaga saja, tentu lenganku sudah buntung.’
Guru, dalam keadaan seperti itu Kakak Linghu masih bisa tertawa-tawa.
Tian Boguang bertanya kepadanya: ‘Kau masih ingin bertarung?’
‘Tentu saja!’ jawab Kakak Linghu. ‘Memangnya aku terlihat berdiri?’
‘Menurutku lebih baik kita akhiri saja pertandingan ini. Silakan Saudara Linghu berdiri dan mengaku kalah,’ ujar Tian Boguang. ‘Lupakan saja semua perjanjian. Kau tidak perlu mengakui biksuni cilik itu sebagai guru.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Perkataan seorang laki-laki sejati bagaikan panah yang terlepas dari busurnya; mana boleh ditarik kembali?’
Tian Boguang tetap saja mendesak: ‘Saudara Linghu, aku sudah banyak bertemu laki-laki gagah berani di dunia ini. Tapi yang benar-benar jantan dan kesatria hanya dirimu seorang. Baiklah, pertandingan ini kita anggap seri saja. Impas, tidak ada yang menang ataupun yang kalah, bagaimana?’
Kakak Linghu hanya tersenyum tanpa menjawab. Darah bercucuran dari beberapa tempat di tubuhnya dan tampak membasahi lantai. Tian Boguang kemudian menyimpan goloknya dan berniat bangkit. Tiba-tiba ia teringat bahwa siapa yang berdiri lebih dulu dinyatakan kalah. Maka itu, ia segera mengurungkan niat tersebut.
Kakak Linghu tertawa dan memuji: ‘Saudara Tian, kau sungguh cerdik!’”
Mendengar cerita Yilin sampai di sini, tanpa sadar para hadirin menghela napas bersama-sama. Ternyata mereka sangat menyayangkan nasib Linghu Chong.
Yilin melanjutkan, “Kemudian Tian Boguang mengangkat kembali goloknya dan berkata: ‘Saudara Linghu, aku tidak perlu segan-segan lagi karena kau telah menolak kebaikan hatiku. Aku terpaksa harus menyerangmu dengan gencar supaya bisa segera menyusul biksuni cilik tadi. Jika aku terlalu lama di sini, bisa-bisa biksuni cilik tadi sudah menghilang entah ke mana.’
Saya sangat gemetar mendengar ucapan Tian Boguang itu. Saya ingin menghindari Tian Boguang, tapi tidak tega meninggalkan Kakak Linghu. Saya lantas teringat bahwa Kakak Linghu berjuang mati-matian menghadapi Tian Boguang semata-mata demi untuk menyelamatkan saya. Maka, satu-satunya jalan untuk mencegah Tian Boguang membunuh Kakak Linghu adalah dengan cara bunuh diri di hadapan mereka.”
Berpikir demikian, saya pun menghunus pedang yang sudah patah dan bersiap melompat ke dalam loteng. Pada saat itulah saya melihat Kakak Linghu kembali terluka. Kali ini keadaannya sudah sangat parah. Ia akhirnya roboh di lantai beserta bangkunya. Tangannya mendorong lantai untuk bangkit kembali, namun sedikit pun ia tidak bisa bangun.
Tian Boguang sangat senang. Sambil tersenyum ia berkata: ‘Kalau bertarung sambil duduk, kau ini nomor dua. Tapi kalau bertarung sambil merangkak urutanmu nomor berapa? Sudahlah, kau sudah kalah.’ Usai berkata ia lantas bangkit dari bangku.
Tiba-tiba Kakak Linghu tertawa keras dan berseru: ‘Kau yang kalah!’
‘Kalah bagaimana?’ sahut Tian Boguang. ‘Kau yang kalah. Kau sudah jatuh di lantai. Bukankah kita sepakat barangsiapa meninggalkan bangku terlebih dulu maka dia dinyatakan... dinyatakan....’ Tian Boguang tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, hanya jarinya menunjuk-nunjuk dengan raut muka tidak percaya. Ia baru sadar kalau dirinya sudah bangkit berdiri, sementara Kakak Linghu terkapar di lantai dengan bangku ikut terguling namun tetap menempel di pantatnya.
Begitulah, meskipun keadaan Kakak Linghu sangat parah, namun berdasarkan perjanjian, maka ia tetap terhitung menang.”
Mendengar cerita Yilin ini para hadirin bertepuk tangan dan bersorak memuji kemenangan Linghu Chong. Hanya Yu Canghai yang mendengus dan terlihat bermuka masam. Ia kemudian berkata, “Huh, hanya bajingan rendah yang bersedia main akal-akalan menghadapi maling cabul seperti Tian Boguang. Sungguh membuat malu kaum lurus saja.”
“Akal-akalan bagaimana?” sahut Dingyi. “Seorang laki-laki sejati bertempur mengandalkan kecerdasan, bukan kekuatan. Yang aku tahu selama ini belum ada murid Perguruan Qingcheng yang bisa seperti dia.”
Setelah mendengar bagaimana perjuangan Linghu Chong membela nama baik Perguruan Henshan tanpa memedulikan keselamatan diri sendiri, diam-diam Dingyi merasa sangat berterima kasih terhadap pemuda itu. Semua kebencian dan rasa gusarnya telah hilang sama sekali.
Yu Canghai kembali berkata sinis, “Benar-benar laki-laki sejati yang suka merangkak di depan kaki penjahat cabul.”
Dingyi menyahut, “Huh, Perguruan Qingcheng sendiri....”
Khawatir jangan-jangan Dingyi kembali bertengkar dengan Yu Canghai, Liu Zhengfeng buru-buru menyela dengan cara bertanya kepada Yilin, “Keponakan Yilin, apakah Tian Boguang bersedia mengaku kalah?”
Yilin menjawab, “Waktu itu Tian Boguang hanya diam termangu-mangu. Kakak Linghu lantas berseru: ‘Adik dari Henshan, kau boleh turun kemari. Terimalah ucapan selamat dariku karena sekarang kau sudah mendapatkan seorang murid baru, seorang murid yang sangat hebat.’
Rupanya keberadaan saya di atas genting telah diketahui oleh Kakak Linghu. Meskipun Tian Boguang seorang penjahat, namun ia bersikap kesatria. Sebenarnya mudah baginya untuk membunuh Kakak Linghu dan menangkap saya. Akan tetapi ia hanya berseru kepada saya: ‘Biksuni cilik, jika sampai aku melihatmu lagi maka akan kupenggal kepalamu.’
Kebetulan sekali saya sendiri tidak sudi punya murid seperti dia. Ancamannya itu justru membuat saya lega. Setelah dia pergi meninggalkan Rumah Arak Huiyan, saya pun melompat masuk ke dalam loteng untuk mengobati luka Kakak Linghu menggunakan Salep Penghubung Kahyangan. Saya menemukan sebanyak tiga belas tempat luka di tubuhnya....”
“Selamat untukmu, Biksuni Dingyi!” ujar Yu Canghai menukas.
“Selamat apa?” sahut Dingyi dengan sorot mata tajam.
“Selamat karena kau baru saja memperoleh seorang cucu murid yang berilmu silat tinggi dan memiliki nama besar di dunia persilatan,” jawab Yu Canghai dengan nada mengejek.
Amarah Dingyi kembali meledak. Biksuni tua ini menggebrak meja dan bangkit berdiri. Buru-buru Pendeta Tianmen melerai mereka. “Pendeta Yu, kau memang suka mencari gara-gara. Sebagai pendeta agama Tao tidak sepantasnya bercanda seperti tadi.”
Yu Canghai diam tak menjawab. Menyadari dirinya memang salah; serta ada perasaan segan terhadap Tianmen, ia pun berpaling seolah tidak mendengar teguran ketua Perguruan Taishan tersebut. Dingyi sendiri juga kembali duduk di kursinya.
Yilin melanjutkan, “Setelah membubuhkan obat luka, saya lalu membantu Kakak Linghu memakai bajunya kembali. Kakak Linghu bernapas dengan terputus-putus, namun ia lalu berkata: ‘Tolong ambilkan arak untukku.’
Saya pun menuangkan arak ke dalam mangkuk dan membantunya minum. Pada saat itulah terdengar langkah kaki dua orang sedang menaiki tangga loteng. Mereka adalah murid-murid Perguruan Qingcheng. Salah satunya adalah dia....” Berkata demikian ia lantas menunjuk murid Qingcheng yang ikut menggotong masuk mayat Luo Renjie tadi, atau yang telah disiram air teh oleh Dingyi pula. “Yang satu lagi adalah si jahat Luo Renjie. Mereka berdua memandangi Kakak Linghu, kemudian memandangi saya dengan sikap kurang ajar.”
Diam-diam para hadirin berpikiran sama. Ketika Luo Renjie dan saudaranya datang ke Rumah Arak Huiyan, tentu mereka heran melihat Linghu Chong yang berlumuran darah sedang duduk dengan seorang biksuni cantik. Apalagi Yilin tampak menuangkan arak untuk Linghu Chong, sudah tentu membuat kedua murid Qingcheng memandang rendah kepadanya.
Yilin terus saja bercerita, “Kakak Linghu memandang Luo Renjie dengan sorot mata tajam, kemudian bertanya kepada saya: ‘Adik Biksuni, apa kau tahu nama jurus andalan Perguruan Qingcheng?’
Saya menjawab: ‘Tidak tahu. Kabarnya ilmu silat Perguruan Qingcheng banyak jenisnya dan bagus-bagus.’
Kakak Linghu berkata: ‘Memang bagus-bagus. Tapi ada satu jurus yang paling bagus. Sebenarnya ingin kukatakan kepadamu tapi takut akan menimbulkan keributan.’ Sambil berkata demikian Kakak Linghu melirik ke arah Luo Renjie.
Luo Renjie menjadi gusar mendengar ucapan Kakak Linghu. Dia melangkah maju dan bertanya: ‘Apa maksudmu dengan jurus yang paling bagus? Cepat katakan!’
Kakak Linghu menjawab: ‘Sebenarnya aku takut mengatakannya, tapi karena kalian memaksa, baiklah! Jurus terbaik Perguruan Qingcheng bernama Belibis Mendarat Tampak Pantat.’
Luo Renjie semakin marah dan membentak: ‘Omong kosong! Perguruan Qingcheng tidak mempunyai jurus gila seperti itu.’
Kakak Linghu tertawa dan berkata: ‘Aneh, sungguh aneh. Padahal jurus itu adalah ilmu silat andalan Perguruan Qingcheng yang mulia, tapi mengapa kau belum mempelajarinya? Eh, begini saja. Coba kau berdiri membelakangi diriku, biar kutunjukkan seperti apa jurusnya.’
Luo Renjie sadar dirinya hendak dipermainkan. Ia pun memukul wajah Kakak Linghu. Kakak Linghu mencoba berdiri untuk melawan namun tubuhnya sangat lemas karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Akibatnya, ia pun jatuh terduduk kembali di atas bangku. Pukulan itu membuat hidung Kakak Linghu mengeluarkan darah.
Ketika Luo Renjie memukul lagi, saya pun menangkisnya dan berseru: ‘Jangan! Dia sudah terluka parah, apa kau tidak melihatnya? Pendekar macam apa kau ini berani menyerang orang yang sudah terluka?’
Luo Renjie memaki saya: ‘Heh, Buksuni cilik! Rupanya kau sedang jatuh cinta kepada si keparat ini. Cepat pergi! Kalau tidak, kau pun akan kuhajar sekalian.’
Saya berkata: ‘Silakan saja kalau kau berani memukulku. Aku akan mengadu kepada Pendeta Yu biar kalian dihukum.’
Kedua penjahat itu hanya tertawa dan tidak takut sedikit pun. Luo Renjie berkata: ‘Kau seorang biksuni tidak berbudi, berani melanggar peraturan agama. Setiap orang berhak menghukummu.’
Guru, bukankah dia telah menuduh orang yang tidak bersalah?
Luo Renjie kemudian mengulurkan tangan kiri hendak menyentuh saya. Saya pun menangkis namun gerakannya itu hanya sekadar pancingan; karena tangan yang kanan dengan cepat mencubit pipi saya sambil ia bergelak tawa. Saya sangat marah dan balas memukul sebanyak tiga kali, namun semua dapat dihindarinya.
Pada saat itulah Kakak Linghu berkata: ‘Adik, kau tidak perlu menanggapinya. Biarkan aku memulihkan tenaga untuk kemudian menghadapi mereka.’ Saya kemudian berpaling ke arahnya. Tampak wajah Kakak Linghu sangat pucat.
Luo Renjie menerjang dengan kasar ke arah Kakak Linghu. Namun Kakak Linghu berhasil membelokkan arah pukulannya dengan tangan kiri. Seketika tubuh Luo Renjie pun berbalik. Dengan cepat Kakak Linghu melayangkan tendangan dan tepat mendarat di... di pantat Luo Renjie. Tanpa ampun, Luo Renjie pun terlempar dengan tubuh menggelinding di tangga loteng.
Kemudian Kakak Linghu berkata kepada saya: ‘Adik Biksuni, itu tadi yang kusebut sebagai jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat, ilmu kebanggan Perguruan Qingcheng. Bagaimana menurut pendapatmu?’
Waktu itu saya ingin tertawa namun tidak jadi karena melihat wajah Kakak Linghu semakin bertambah pucat. Saya berkata kepadanya: ‘Beristirahatlah, jangan bicara lagi.’
Darah yang mengalir di tubuhnya semakin banyak. Rupanya tendangan tadi sempat membuat luka yang saya obati kembali terbuka.
Saat itu Luo Renjie telah berlari kembali ke loteng tempat kami berada sambil menghunus pedang. Ia berkata: ‘Apa kau bernama Linghu Chong dari Perguruan Huashan?’
Kakak Linghu menjawab sambil tertawa: ‘Kau adalah orang ketiga dari Perguruan Qingcheng yang telah menyerangku dengan jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat. Sudah ada... sudah ada... tiga orang....’
Melihat Luo Renjie semakin gusar, saya pun meraih pedang untuk melindungi Kakak Linghu. Luo Renjie lantas berkata kepada kawannya: ‘Adik Li, coba kau layani biksuni ini!’
Murid Qingcheng bermarga Li itu lantas menyerang saya dengan pedangnya. Saya terpaksa bertarung menghadapinya. Sementara itu Luo Renjie sendiri menyerang Kakak Linghu dengan pedangnya pula. Kakak Linghu berusaha menangkis, sehingga luka di tubuhnya bertambah parah. Hanya dalam beberapa jurus saja, pedang Kakak Linghu sudah jatuh di lantai.
Luo Renjie lantas menodongkan pedangnya ke dada Kakak Linghu dan berkata: ‘Panggil aku dengan sebutan ‘Kakek dari Qingcheng’ sebanyak tiga kali, maka jiwamu akan kuampuni.’
‘Baik,’ sahut Kakak Linghu. ‘Akan kupanggil kau dengan sebutan kakek, asalkan kau ajari aku jurus Belibis Mendarat....”
Belum selesai ucapan Kakak Linghu, tiba-tiba Luo Renjie sudah menusukkan pedangnya di dada Kakak Linghu. Penjahat itu sungguh keji....” Sampai pada bagian ini Yilin kembali menangis berlinangan air mata. “Aku... aku... aku melihatnya dengan jelas, namun tidak sanggup mencegah pedang itu menancap... menancap di dada Kakak Linghu.”
Seketika suasana berubah hening. Yu Canghai merasa semua pasang mata para hadirin sedang memandang ke arahnya dengan perasaan benci dan kesal. Ia lantas berkata, “Biksuni, apakah ceritamu ini benar? Kau bilang Renjie telah menusuk dada Linghu Chong; tapi kenapa dia juga ikut terbunuh?”
Yilin menjawab, “Kakak Linghu memang tertusuk pedang Luo Renjie tapi tidak langsung meninggal. Dia justru tertawa lebar dan berkata kepada saya secara perlahan: ‘Adik Biksuni, ada sebuah rahasia... sebuah rahasia besar yang ingin kusampaikan kepadamu. Ini tentang... tentang Kitab Pedang Penakluk Iblis milik... milik Biro Pengawalan Fuwei... yang disimpan... disimpan di....”
Seketika jantung Yu Canghai berdebar kencang begitu Yilin menyebut suatu benda yang saat itu sedang diincar Perguruan Qingcheng. Bahkan, ia sampai berkata, “Di mana....” Namun ia segera menahan diri karena menyadari bahwa pertanyaan ini bisa menimbulkan masalah. Sambil jantungnya berdebar-debar ia menunggu kelanjutan cerita Yilin. Jika sampai Biksuni Dingyi mengetahui masalah ini, tentu urusan akan bertambah panjang.
Yilin melanjutkan, “Begitu mendengar ucapan Kakak Linghu, si jahat Luo Renjie merasa penasaran. Ia pun mendekat dan berusaha memasang telinga untuk ikut mendengarkan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan. Di luar dugaan, tiba-tiba Kakak Linghu meraih pedangnya di lantai dan langsung menusuk perut Luo Renjie sampai tembus ke tenggorokan. Luo Renjie roboh seketika. Tubuhnya kejang-kejang beberapa kali sebelum tewas. Rupanya... rupanya Kakak Linghu hanya berbohong untuk mengalihkan perhatiannya saja. Begitu ia lengah, Kakak Linghu berhasil membunuhnya.”
Sampai di sini Yilin merasa sangat sedih. Ia pun jatuh pingsan karena tidak mampu lagi menahan perasaannya. Dingyi segera memeluk tubuh muridnya itu dan menyandarkannya di bahu, sambil matanya tetap melotot ke arah Yu Canghai.
Sejenak semua orang terdiam membayangkan apa yang telah terjadi di Rumah Arak Huiyan tersebut. Bagi tokoh-tokoh papan atas seperti Liu Zhengfeng, Pendeta Tianmen, He Sanqi, dan Tuan Wen, ilmu silat Linghu Chong dan Luo Renjie terhitung biasa-biasa saja. Akan tetapi, akhir dari pertarungan mereka yang sama sekali tidak terduga itu sungguh peristiwa yang jarang terjadi di dunia persilatan.
Liu Zhengfeng lantas bertanya kepada murid Qingcheng yang membawa masuk jasad Luo Renjie tadi, “Keponakan Li, kau adalah saksi mata peristiwa ini, benar demikian?”
Si marga Li tidak menjawab, hanya memandang ke arah Yu Canghai. Para hadirin melihat raut mukanya yang jelas-jelas menujukkan kalau apa yang diceritakan Yilin memang benar demikian. Andai saja Yilin berkata bohong, tentu ia sudah membantahnya dari tadi.
Yu Canghai sendiri merasa gusar dan berpaling ke arah Lao Denuo. Ia berkata, “Keponakan Lao, memangnya apa kesalahan Perguruan Qingcheng di mata perguruanmu yang mulia, sehingga kakak pertamamu selalu mencari gara-gara terhadap muridku?”
“Saya tidak tahu,” jawab Lao Denuo. “Sepertinya terjadi masalah pribadi antara Kakak Pertama dengan Saudara Luo. Sungguh, ini semua tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan baik antara Perguruan Qingcheng dan Huashan.”
Yu Canghai berkata sinis, “Tidak ada sangkut-pautnya bagaimana? Enak saja kau bicara....”
Belum selesai ia berkata tiba-tiba jendela sebelah barat didobrak orang dan kemudian dari situ melayang masuk sesosok tubuh manusia. Para hadirin yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh persilatan papan atas segera menghindar dan bersiap siaga. Belum sempat mereka mengetahui siapa orang yang telah melayang masuk tadi, tiba-tiba jendela yang lain ikut terbuka dan satu lagi tubuh yang terlempar masuk ke dalam. Kedua orang itu jatuh tengkurap dengan wajah menghadap lantai dengan memakai seragam warna ungu, seperti seragam murid-murid Qingcheng pada umumnya. Di pantat mereka tergambar pula telapak kaki yang masih kotor dan basah.
Lebih mengejutkan lagi tiba-tiba dari luar terdengar suara orang berseru lantang, “Ini adalah jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat.”
Tanpa banyak bicara Yu Canghai langsung menerjang ke arah suara sambil melayangkan pukulan. Namun ia tidak menjumpai siapa-siapa. Sambil mendorong bingkai jendela menggunakan tangan kiri, ia lantas melompat ke luar dan dalam sekejap sudah mendarat di atas genting. Ternyata di atap rumah Liu Zhengfeng itu juga tidak terdapat siapa-siapa. Matanya lantas memandang ke segala arah, namun yang terlihat hanyalah hujan gerimis turun dari langit gelap.
Keadaan malam itu begitu sunyi. Tidak seorang pun terlihat berkeliaran di sana. Yu Canghai berpikir si penyerang tidak mungkin menghilang bergitu saja dan pasti masih bersembunyi di sekitar situ. Ia juga yakin kalau orang yang bisa melumpuhkan kedua muridnya pasti seorang lawan yang cukup tangguh. Maka itu, ia pun menghunus pedang dan mulai berlari mengelilingi kediaman Liu Zhengfeng yang besar dan megah.
Liu Zhengfeng, Biksuni Dingyi, He Sanqi, Tuan Wen, dan Lao Denuo ikut melompat ke atap, sedangkan Pendeta Tianmen tetap duduk di kursi mengingat kedudukannya yang lebih tinggi. Dari atas genting mereka melihat pedang di tangan Yu Canghai berkilat-kilat di tengah kegelapan. Pendeta bertubuh pendek itu memeriksa setiap rumah dan bilik di lingkungan kediaman Liu Zhengfeng dengan kecepatan luar biasa. Setiap mata yang melihat diam-diam memuji di dalam hati betapa hebat ilmu ringan tubuh ketua Perguruan Qingcheng tersebut.
Yu Canghai terus menyisir ke segala arah; baik itu sudut bangunan, ataupun pohon-pohon di pekarangan, namun ia tidak menemukan satu pun hal yang mencurigakan. Dengan penasaran ia masuk kembali ke dalam ruangan untuk memeriksa kedua muridnya yang telah dilemparkan orang tadi. Baginya tendangan yang dilakukan si penyerang terhadap pantat kedua muridnya jelas-jelas sangat merendahkan Perguruan Qingcheng.
Sesampainya di dalam, Yu Canghai langsung membalik tubuh salah satu dari kedua muridnya yang masih tengkurap di lantai. Ternyata dia adalah Shen Renjun. Ia merasa tidak perlu membalik muridnya yang satu lagi karena dari janggutnya yang kasar, dapat dikenali kalau dia adalah Ji Rentong. Mereka berdua adalah murid-murid Qingcheng yang dulu dikirim untuk menghancurkan Biro Pengawalan Fuwei cabang Hunan.
Yu Canghai lantas menepuk dua kali titik nadi di bawah iga Shen Renjun sambil bertanya, “Siapa yang telah menyerangmu?”
Shen Renjun membuka mulut hendak bicara namun sulit mengeluarkan suara. Tentu saja Yu Canghai terkejut bukan main. Tepukannya tadi meskipun pelan sebenarnya disertai tenaga dalam tingkat tinggi, namun totokan pada tubuh Shen Renjun ternyata tetap tidak terbuka. Jelas si pelaku seorang yang berkepandaian tinggi. Bukannya takut, Yu Canghai justru semakin penasaran. Ia pun menyalurkan tenaga dalam yang lebih kuat melalui titik Lingtai di punggung Shen Renjun.
Sejenak kemudian Shen Renjun dapat berbicara meskipun dengan suara tergagap-gagap, “Guru... saya... saya tidak tahu... siapa... siapa yang telah menyerang kami.”
“Di mana kalian diserang?” tanya Yu Canghai.
“Tadi ketika saya dan Adik Ji keluar untuk buang air tiba-tiba punggung kami merasa kesemutan karena ditotok orang. Tahu-tahu anak bulus itu sudah melemparkan tubuh kami ke dalam ruangan ini melalui jendela,” jawab Shen Renjun.
“Dia pasti seorang ahli silat papan atas,” ujar Yu Canghai.
“Benar, Guru,” sahut Shen Renjun.
Yu Canghai benar-benar penasaran entah darimana si penyerang kedua muridnya berasal. Diam-diam ia mengamati pula raut muka Pendeta Tianmen yang tampak biasa-biasa saja. Sepertinya ketua Perguruan Taishan itu tidak peduli terhadap apa yang baru saja terjadi. Yu Canghai pun berpikir, “Hm, Serikat Pedang Lima Gunung bagaikan satu pohon dengan lima cabang. Tianmen benar-benar tidak peduli terhadap masalah yang menimpa Perguruan Qingcheng kami. Sepertinya ia juga menyalahkanku karena Renjie telah membunuh Linghu Chong.”
Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benak Yu Canghai bahwa si penyerang mungkin telah menyusup di aula depan dan berbaur dengan para tamu Liu Zhengfeng yang berjumlah ratusan orang. Maka, ia pun mengajak Shen Renjun menuju ke sana. Di tempat itu terlihat orang-orang masih ramai membicarakan kematian Chi Baicheng dari Taishan dan Luo Renjie dari Qingcheng.
Melihat Yu Canghai datang, sebagian para tamu yang mengenalinya sebagai ketua Perguruan Qingcheng langsung terdiam menghentikan pembicaraan. Sementara itu yang tidak mengenalinya juga ikut terdiam; karena meskipun bertubuh pendek, namun Yu Canghai terlihat sangat berwibawa. Seketika suasana aula utama kediaman Liu yang berisikan ratusan orang itu berubah sunyi, dan semua pandangan pun beralih kepada sang ketua Qingcheng.
Begitu berada di tengah ruangan, sinar mata Yu Canghai memandang tajam ke segala arah. Satu per satu tamu Liu Zhengfeng dipandanginya dengan seksama. Kebanyakan dari mereka adalah para pesilat kelas dua di dunia persilatan. Meskipun banyak dari mereka yang tidak terkenal, namun Yu Canghai dapat menebak darimana orang-orang ini berasal berdasarkan warna seragam yang mereka pakai. Ternyata tidak satu pun dari mereka yang terlihat mencurigakan. Yu Canghai berpikir ilmu silat mereka pasti biasa-biasa saja dan tidak mungkin bisa melumpuhkan Shen Renjun dan Ji Rentong dan kemudian menghilang dengan sangat cepat.
Sampai akhirnya, pandangan Yu Canghai tertuju kepada seseorang yang berwajah jelek dan berbadan bungkuk. Beberapa titik di mukanya ditempel dengan koyo. Tingkah laku orang ini juga cukup mencurigakan bagi Yu Canghai.
Diam-diam Yu Canghai memikirkan asal-usul laki-laki bungkuk yang dicurigainya itu. “Mungkinkah dia?” ujarnya dalam hati. “Mu Gaofeng si Bungkuk dari Utara jarang sekali menginjakkan kaki di daratan tengah sini. Dia juga tidak memiliki hubungan baik dengan Serikat Pedang Lima Gunung. Hm, untuk apa dia muncul dalam acara Cuci Tangan Baskom Emas Liu Zhengfeng ini? Tapi kalau orang ini bukan dia, lantas siapa lagi manusia jelek bertubuh bungkuk yang berkecimpung di dunia persilatan?”
Pandangan semua orang ikut beralih pula ke arah si orang bungkuk yang sedang diperhatikan Yu Canghai. Beberapa tokoh persilatan yang sudah berpengalaman ikut terperanjat menyaksikan kehadiran si bungkuk tersebut. Bahkan, Liu Zhengfeng tampil ke depan memberikan sambutan dengan penuh hormat, “Saya tidak menyadari kehadiran Saudara yang terhormat sehingga terlambat dalam memberikan penyambutan. Mohon dimaafkan.”
Sebenarnya si orang bungkuk ini bukan seorang ahli silat papan atas. Ia tidak lain adalah Lin Pingzhi, tuan muda Biro Pengawalan Fuwei. Sejak tadi ia hanya duduk di sudut ruangan dan tidak berani menonjolkan diri karena takut dikenali oleh orang-orang Perguruan Qingcheng. Akan tetapi karena Yu Canghai kini memandang tajam ke arahnya, mau tidak mau dirinya pun menjadi pusat perhatian semua orang di aula tersebut.
Dengan perasaan serbasalah, Lin Pingzhi bangkit dari duduk dan balas memberi hormat, “Tidak benar, tidak benar. Saya tidak pantas menerima penghormatan ini.”
Liu Zhengfeng heran mendengar si orang bungkuk ini berbicara dengan logat daerah selatan, padahal Mu Gaofeng terkenal dengan julukan Si Bungkuk dari Utara. Jika diamati dengan seksama, usia orang bungkuk ini juga terlihat jauh lebih muda dibandingkan Mu Gaofeng. Apalagi Mu Gaofeng terkenal kasar dan tidak tahu aturan, sedangkan orang ini bersikap sangat sopan. Untuk lebih meyakinkan, Liu Zhengfeng pun bertanya, “Saya bernama Liu Zhengfeng, tuan rumah di sini. Kalau boleh saya tahu, siapakah nama Tuan yang mulia?”
Lin Pingzhi sama sekali tidak menduga kalau sang tuan rumah muncul untuk menanyakan siapa namanya. Ia membuka mulut namun tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
“Apakah Anda dan Pendekar Mu....” ujar Liu Zhengfeng kemudian.
Seketika Lin Pingzhi mendapat akal mendengar perkataan itu. Ia berpikir, “Margaku adalah Lin. Rasanya tidak masalah kalau aku sekarang mengaku bermarga Mu, mengingat kedua kata ini sangat mirip jika ditulis.” Maka dengan cepat ia pun menjawab, “Saya... saya memang bermarga Mu.”
Liu Zhengfeng semakin yakin kalau si orang bungkuk di hadapannya jelas bukan Mu Gaofeng. Maka ia pun berkata, “Kedatangan Tuan Mu merupakan suatu kehormatan bagi keluarga Liu. Jika boleh saya tahu, ada hubungan apa antara Tuan Mu dengan Pendekar Mu Gaofeng, si Bungkuk dari Utara?”
Seumur hidup baru kali ini Lin Pingzhi mendengar ada seorang pendekar bungkuk bernama Mu Gaofeng. Dilihat dari sikap hormat Liu Zhengfeng, sepertinya Mu Gaofeng ini seorang tokoh papan atas di dunia persilatan. Di samping itu, Yu Canghai terlihat memandanginya dengan tatapan curiga. Maka, Lin Pingzhi pun terpaksa berkata bohong, “Si Bungkuk dari Utara, Pendekar Mu adalah... Beliau adalah sesepuh saya.”
Karena tidak melihat adanya orang lain lagi yang mencurigakan di ruangan itu, Yu Canghai berani menyimpulkan kalau Lin Pingzhi adalah si penyerang terhadap Shen Renjun dan Ji Rentong. Kalau yang datang adalah Mu Gaofeng tentu ia merasa segan meskipun tidak takut kepadanya. Namun karena yang membuat ulah hanya kerabat mudanya, maka ia merasa tidak perlu khawatir lagi. Karena orang bungkuk ini berani membuat ulah dengannya, maka ia berniat membuat perhitungan dengan Lin Pingzhi.
Yu Canghai pun berkata, “Selama ini Perguruan Qingcheng tidak pernah berselisih dengan Pendekar Mu Gaofeng si Bungkuk dari Utara. Tapi kenapa Tuan Mu mengganggu murid-muridku?”
Baru kali ini Lin Pingzhi mengetahui, bahkan berhadapan langsung dengan Yu Canghai, pendeta bertubuh pendek yang telah menghancurkan keluarganya. Dendamnya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Ingin rasanya ia mencabut pedang dan menusuk dada Yu Canghai. Akan tetapi setelah mengalami berbagai pengalaman pahit, kini perasaannya menjadi lebih terkendali. Dengan menahan gusar, Lin Pingzhi pun berkata, “Perguruan Qingcheng suka sekali membuat onar. Melihat terjadinya ketidakadilan, Pendekar Mu terpaksa turun tangan. Beliau sangat suka membantu kaum lemah yang tertindas, tidak peduli salah ataupun benar.”
Mendengar itu Liu Zhengfeng merasa geli di dalam hati. Meskipun memiliki kepandaian tinggi, namun Mu Gaofeng seorang yang berkelakuan buruk. Sebenarnya ia tadi menyebut istilah “Pendekar Mu” hanya sekadar untuk basa-basi saja. Meskipun demikian, kaum persilatan umumnya tidak suka mencari gara-gara dengan Mu Gaofeng karena si bungkuk ini seorang yang berpikiran sempit dan sangat keji. Barangsiapa mengganggu dirinya, maka ia akan membalas dengan cara-cara yang jauh lebih berat dan mengerikan.
Melihat jawaban yang bernada memuji itu, Liu Zhengfeng semakin yakin kalau Lin Pingzhi benar-benar kerabat Mu Gaofeng. Demi mencegah terjadinya perselisihan antara Lin Pingzhi dan Yu Canghai yang bisa mengundang kemarahan Mu Gaofeng, maka ia pun berkata, “Pendeta Yu dan Saudara Mu adalah tamu-tamu kehormatanku. Bagaimanapun juga kuharap kalian berdua sudi memandang kepadaku. Marilah kita bersama-sama mengeringkan cawan sebagai tanda damai. Pelayan, bawakan arak kemari.”
Segera seorang pelayan datang memenuhi panggilan sang majikan.
Meskipun Yu Canghai tidak takut kepada pemuda bungkuk di hadapannya, namun jika mengingat kekejaman dan kelicikan Mu Gaofeng yang sangat terkenal, mau tidak mau ketua Perguruan Qingcheng ini merasa ngeri juga. Meskipun arak telah dituang, ia tidak segera meminumnya, namun tetap memandang tajam ke arah Lin Pingzhi.
Sebaliknya, dendam Lin Pingzhi kepada pendeta pendek itu sudah tidak terlukiskan lagi. Rasa dendam itu pula yang membuat pemuda ini kehilangan rasa takutnya. Dalam hati ia berpikir, “Mungkin saat ini Ayah dan Ibu telah mengalami nasib yang paling buruk karena pendeta pendek ini menurunkan tangan jahatnya. Huh, lebih baik aku mati daripada berdamai dengan bangsat ini.”
Lin Pingzhi pun memandang wajah Yu Canghai dengan sorot mata berapi-api. Dalam hati ia ingin sekali mengutuk dan mencaci-maki Yu Canghai. Melihat sikap pemuda itu, amarah Yu Canghai bergolak pula. Ia lantas mengulurkan tangannya untuk memegang pergelangan Lin Pingzhi sambil berkata, “Baiklah, baiklah! Ucapan Saudara Liu memang benar. Kita ini sebagai tamu namun sudah bersikap lancang di sini. Saudara Mu, mari kita saling mengenal lebih dekat.”
Sepertinya Yu Canghai mengajak Lin Pingzhi bersalaman, namun sesungguhnya ia mengerahkan tenaga dalam untuk menyakiti pemuda itu. Lin Pingzhi bermaksud menarik tangannya namun tenaga Yu Canghai sangat kuat. Meskipun pergelangannya terasa sakit namun mulutnya tetap diam tak bersuara. Tujuan Yu Canghai sebenarnya bukan untuk meremukkan tangan Lin Pingzhi, melainkan hanya untuk memaksanya mohon ampun saja. Namun dendam Lin Pingzhi sudah begitu dalam. Meskipun mati ia sama sekali tidak takut. Bukannya merintih, ia justru semakin melotot ke arah Yu Canghai.
Liu Zhengfeng yang berdiri di sebelah mereka dapat melihat butiran keringat mengalir di dahi Lin Pingzhi. Dalam hati ia memuji keberanian pemuda itu yang telah menantang Yu Canghai. Dalam hati ia bermaksud melerai, namun baru saja berkata, “Pendeta Yu!” tiba-tiba terdengar suara seorang lainnya berteriak melengking, “Hai, Pendeta Yu! Rupanya hari ini hatimu sedang gembira, sampai-sampai cucu Mu Gaofeng juga kau ajak bercanda.”
Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat seorang bungkuk berbadan bulat pendek berdiri di pintu masuk ruangan. Wajah orang ini sangat jelek, penuh bercak dan benjolan di sana-sini. Banyak di antara para hadirin yang belum pernah bertemu Mu Gaofeng dan kini mereka sangat terkejut setelah mengetahui orangnya seperti apa. Belum habis rasa heran para hadirin tiba-tiba pria bungkuk itu sudah melesat ke arah Lin Pingzhi.
Tubuh Mu Gaofeng memang gemuk dan bulat, namun kecepatannya sungguh luar biasa dan sulit diikuti mata. Dalam sekejap ia sudah berdiri di samping Lin Pingzhi dan menepuk bahu pemuda itu sambil memuji, “Cucuku yang baik, cucuku yang tampan, kau telah memuji kakekmu ini sebagai pendekar budiman yang suka membantu kaum lemah melawan penindasan. Kakek sungguh senang.” Usai berkata demikian ia menepuk kembali bahu si pemuda.
Meskipun hanya berupa tepukan, sesungguhnya Mu Gaofeng telah menyalurkan tenaga dalam melalui tubuh Lin Pingzhi untuk menyerang balik sang ketua Qingcheng. Yu Canghai sendiri merasa kepanasan dan hampir saja melepas cengekeramannya. Namun ia segera mengerahkan tenaga lebih banyak lagi untuk memperkuat genggamannya.
Karena tepukan pertamanya tidak mampu melepaskan tangan Yu Canghai, Mu Gaofeng pun menepuk sekali lagi sambil mengerahkan delapan puluh persen tenaga yang ia miliki. Lin Pingzhi merasa tidak tahan lagi atas tepukan yang kedua ini. Tubuhnya telah menjadi media adu kesaktian antara kedua tokoh keji tersebut. Pandangannya terasa gelap, tenggorokannya terasa amis karena segumpal darah segar sudah naik ke mulutnya. Namun demikian, ia nekad menelan kembali darah tersebut ke dalam perut.
Yu Canghai sendiri juga merasa panas pada bagian tangannya. Terpaksa ia pun melepaskan genggamannya sambil berpikir, “Si bungkuk ini benar-benar licik dan kejam. Demi untuk mengalahkan aku, dia tidak segan-segan membuat cucunya terluka.”
Melihat Yu Canghai mundur selangkah, Lin Pingzhi segera mengumpulkan tenaga untuk berkata, “Pendeta Yu, ilmu silat Perguruan Qingcheng ternyata begitu saja. Dibandingkan Si Bungkuk dari Utara jelas kau kalah jauh. Mungkin lebih baik kau pindah perguruan saja, menjadi murid Pendekar Mu. Dengan demikian... dengan demikian kau akan... kau akan bertambah kuat....”
Meskipun hatinya senang namun pemuda ini telah menderita luka dalam cukup gawat sehingga badannya terasa lemas. Kalimat yang diucapkannya dapat diselesaikan dengan susah payah. Ia merasa beberapa organ tubuhnya di bagian dalam bagaikan naik ke atas. Kakinya terasa lemas dan hampir saja ia jatuh dan tidak sanggup berdiri lagi.
“Tentu saja aku senang jika bisa menjadi murid Pendekar Mu,” jawab Yu Canghai. “Namun kau juga murid Pendekar Mu. Tidak ada salahnya jika aku belajar lebih dulu darimu.” Maksud ucapan Yu Canghai ini adalah tantangan untuk Lin Pingzhi, sedangkan Mu Gaofeng tidak boleh ikut membantu.
Mu Gaofeng pun tertawa dan berkata, “Hahaha. Cucuku yang baik, dengan kepandaianmu yang rendah ini bukan tidak mungkin dalam sekali hantam saja kau akan mati di tangan Pendeta Yu. Sayang sekali jika cucu setampan dirimu harus mati di sini. Bagaimana jika kau menyembah kepada Kakek lebih dulu, biar Kakek mewakili dirimu untuk menghadapinya.”
Lin Pingzhi kembali melotot tajam ke arah Yu Canghai sambil berpikir, “Jika aku melayani tantangan Yu Canghai, tentu ia akan langsung membunuhku dalam sekali pukul. Jika demikian yang terjadi, bagaimana mungkin aku bisa membalaskan sakit hati Ayah dan Ibu? Namun, aku, Lin Pingzhi, juga tidak sudi menyembah manusia bungkuk ini dan memanggilnya sebagai kakek. Aku memang sudah terhina, namun menyembahnya di depan umum jelas perbuatan yang sangat merendahkan Keluarga Lin kami. Apabila bisa selamat, tentu Ayah tidak akan sanggup lagi berjalan dengan bangga mengingat penghinaan ini. Tentu Ayah tidak memiliki muka lagi untuk berkecimpung di dunia persilatan. Sekali aku menyembah Si Bungkuk dari Utara, maka untuk selamanya aku akan hidup di bawah nama besarnya dan tidak akan menjadi diriku lagi.” Berpikir demikian membuat badan Lin Pingzhi gemetar sampai-sampai ia berdiri sambil memegang tepi meja. Ia tidak dapat memutuskan harus bagaimana.
Melihat itu Yu Canghai pun berpikir, “Hm, aku yakin bocah ini bukan cucu Mu Gaofeng. Jika tidak, mengapa ia memanggil dengan sebutan ‘Sesepuh’, bukan ‘Kakek’? Tidak mungkin Mu Gaofeng menyuruh bocah ini berlutut di saat-saat begini kalau dia memang benar-benar cucunya.” Berpikir demikian Yu Canghai pun memanas-manasi Lin Pingzhi dengan berkata, “Kau memang seorang pengecut. Apa susahnya bagimu menyembah dan memanggilnya kakek? Tentu kau bisa mendapat bantuannya, bukan?”
Lin Pingzhi sendiri sedang terkenang pada penderitaan kedua orang tuanya, serta kematian para pegawai Biro Pengawalan Fuwei akibat kekejaman Perguruan Qingcheng. Ia merasa kepandaiannya terlalu rendah sehingga untuk membalas dendam saat ini rasanya terlalu sulit. Satu-satunya jalan adalah dengan meminta bantuan Mu Gaofeng. Diam-diam ia merenung, “Seorang laki-laki sejati menerima sedikit penghinaan adalah hal yang biasa, asalkan cita-citaku bisa segera terwujud.” Berpikir demikian, ia pun berpaling ke arah Mu Gaofeng dan berlutut di hadapan manusia bungkuk itu sambil menyembah, “Kakek, dosa jahanam Yu Canghai ini sangat besar. Ia merampok dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa. Ia adalah musuh bersama kaum persilatan. Mohon Kakek menegakkan keadilan dan menumpas penyakit busuk ini!”
Perbuatan Lin Pingzhi ini benar-benar di luar dugaan Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Padahal sebelumnya ia bersikeras menahan sakit saat dicengkeram Yu Canghai tadi, namun kini menyembah dan memohon perlindungan Mu Gaofeng. Pada umumnya orang persilatan memang sangat menjaga kehormatannya. Lebih baik mati mengalami siksaan daripada merendahkan diri menyembah orang lain, apalagi di depan umum. Namun yang dilakukan Lin Pingzhi benar-benar kebalikannya.
Sementara itu para hadirin menganggap perbuatan Lin Pingzhi biasa-biasa saja karena mereka mengira pemuda ini benar-benar cucu Mu Gaofeng. Jadi, berlutut dan menyembah si bungkuk merupakan hal yang sewajarnya. Di antara semua orang di situ hanya Mu Gaofeng saja yang mengetahui kalau Lin Pingzhi tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Sementara itu, Yu Canghai hanya menduga-duga saja karena pemuda itu memanggil “kakek” kepada Mu Gaofeng dengan suara gemetar.
(Bersambung)
Bagian 9 ; Halaman muka ; Bagian 11