Bagian 67 - Kematian Ketua Taishan

Pada saat itu tiba-tiba terlihat dua orang murid Songshan berlari dari arah bawah gunung. Melihat cara lari mereka yang terburu-buru, jelas ada suatu urusan penting yang perlu untuk dilaporkan. Para hadirin pun tertarik untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Dalam sekejap saja kedua orang itu sudah berada di hadapan Zuo Lengchan. Mereka memberi hormat dan berkata, “Guru, ketua Biara Shaolin Biksu Fangzheng dan ketua Perguruan Wudang Pendeta Chongxu bersama rombongan masing-masing sedang menuju kemari untuk menyampaikan selamat kepada Partai Lima Gunung kita.”
“O, mereka juga hadir? Wah, sungguh suatu kehormatan besar. Aku harus turun untuk menyambut langsung,” kata Zuo Lengchan dengan nada datar seolah tidak terlalu peduli. Meskipun demikian, Linghu Chong dapat melihat pancaran rasa gembira dari sorot mata ketua Perguruan Songshan tersebut.
Para hadirin pun ikut gempar begitu mendengar bahwa ketua-ketua Perguruan Shaolin dan Wudang juga hadir di Puncak Songshan. Serentak mereka ikut di belakang Zuo Lengchan melangkah ke bawah untuk menyambut.
Linghu Chong bersama murid-murid Henshan menyisih ke tepi untuk memberi jalan kepada orang sebanyak itu. Tampak Pendeta Tianmen dari Taishan, Tuan Besar Mo dari Hengshan, Xie Feng ketua Partai Pengemis, Yu Canghai ketua Perguruan Qingcheng, dan tokoh-tokoh persilatan lainnya ada di antara mereka. Kepada masing-masing pemimpin aliran itu Linghu Chong mengangkat tangan memberi hormat.
Akan tetapi ada dua orang di antara para hadirin yang membuat Linghu Chong gugup dan gemetar. Mereka tidak lain adalah Yue Buqun dan Ning Zhongze yang datang bersama murid-murid Huashan. Dengan perasaan pilu Linghu Chong memburu maju, kemudian berlutut dan memberi hormat. “Harap kedua Sesepuh yang mulia menerima hormat Linghu Chong.” Ia tidak berani lagi memanggil “Guru” dan “Ibu Guru”, namun caranya memberi hormat masih sama seperti dahulu.
Yue Buqun mengelak ke samping dan menjawab dengan nada dingin, “Untuk apa Ketua Linghu melakukan banyak adat seperti ini? Bukankah malah terlihat aneh dan lucu?”
Linghu Chong bangkit dan mundur ke tepi jalan setelah menyembah kedua orang tua asuhnya itu beberapa kali. Tampak mata Ning Zhongze basah dan merah. Wanita itu berkata, “Kabarnya kau telah menjabat sebagai ketua Perguruan Henshan. Untuk selanjutnya asalkan kau tidak membuat masalah, aku kira masih banyak kesempatan bagimu untuk membersihkan diri.”
Yue Buqun tertawa dingin, “Dia? Tidak membuat masalah? Itu bisa terjadi kelak jika matahari terbit dari barat. Pada hari pertama dia menjadi ketua Henshan saja sudah menerima ribuan orang dari golongan hitam, apa ini bukan masalah? Aku juga mendengar dia membantu Ren Woxing membunuh Dongfang Bubai dan merebut kembali kedudukan sebagai ketua Partai Mentari dan Bulan, apa itu bukan masalah? Seorang ketua perguruan lurus bersih membantu urusan mahabesar dalam tubuh aliran sesat, apakah ini bukan masalah namanya?”
“Benar, benar,” jawab Linghu Chong. Ia tidak ingin berdebat dengan mantan gurunya itu sehingga memilih untuk mengalihkan pembicaraan, “Dalam pertemuan di Gunung Songshan ini tampaknya Paman Zuo bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi Partai Lima Gunung. Entah bagaimana pendapat kedua Sesepuh terhadap urusan ini?”
“Pendapatmu sendiri bagaimana?” Yue Buqun balas bertanya.
“Menurut murid…”
Yue Buqun tersenyum menyela, “Istilah ‘murid’ tidak perlu kau pakai lagi. Jika kau masih teringat saat-saat dirimu berada di Huashan dahulu, hendaknya kau… kau…” Ucapan Yue Buqun ini terdengar ramah namun sulit untuk dilanjutkan. Sepertinya ada sesuatu hal yang ingin ia sampaikan kepada Linghu Chong.
Sejak diusir dari Perguruan Huashan, belum pernah Linghu Chong menghadapi sikap ramah Yue Buqun seperti ini. Kontan ia menjadi senang dan segera menjawab, “Ada perintah apa dari kedua Sesepuh, murid… eh, saya pasti akan menurutinya.”
“Aku tidak punya perintah apa-apa,” ujar Yue Buqun manggut-manggut. “Hanya saja kaum persilatan seperti kita sangat mengutamakan budi dan kewajiban. Bagaimana kau dikeluarkan dari Huashan sesungguhnya bukan karena kami yang berhati kejam dan tidak dapat memaafkan kesalahanmu, namun karena kau telah melanggar pantangan besar dalam dunia persilatan. Meskipun sejak kecil kau berada dalam asuhan kami sehingga hubungan kita seperti ayah dan anak, namun aku harus tetap bertindak adil tanpa pilih kasih.”
Mendengar sampai di sini, air mata Linghu Chong berlinang-linang. Dengan tersedu-sedu ia berkata, “Budi baik Guru dan Ibu Guru sukar saya balas meski badan ini hancur lebur sekalipun.”
Yue Buqun menepuk-nepuk bahu Linghu Chong dengan perlahan, kemudian berkata, “Kejadian di Biara Shaolin tempo hari antara kita, guru dan murid, sampai bermain senjata. Sebenarnya beberapa jurus yang kugunakan untuk melawanmu itu mengandung makna yang dalam dengan harapan agar kau bisa mengubah pikiranmu dan kembali ke dalam Perguruan Huashan. Namun sayangnya kau tidak sadar. Sungguh, kejadian itu membuat aku sangat bersedih.”
“Benar, saya pantas mati,” jawab Linghu Chong dengan menundukkan kepala. “Perbuatanku di Biara Shaolin tempo hari sungguh sukar dijelaskan. Saya seperti berada dalam pengaruh setan. Saya ingin dapat kembali mengabdi di bawah pimpinan Guru. Sungguh, inilah cita-cita saya selama hidup ini.”
Yue Buqun tersenyum menjawab, “Aku khawatir kata-katamu ini hanya manis di bibir saja. Sekarang ini kau sudah menjadi ketua Perguruan Henshan, mana mau kembali menjadi muridku lagi? Lagipula melihat ilmu silatmu saat ini, mana pantas aku menjadi gurumu?” Usai berkata demikian ia melirik ke arah Ning Zhongze, istrinya.
Dari nada ucapan Yue Buqun ini terasa kalau ia tidak keberatan untuk menerima Linghu Chong kembali menjadi murid Perguruan Huashan. Segera Linghu Chong pun berlutut dan berkata, “Guru, Ibu Guru, murid telah banyak berbuat dosa. Untuk selanjutnya, murid berjanji akan memperbaiki kesalahan-kesalahan dahulu dan patuh kepada ajaran Guru dan Ibu Guru. Harapan murid hanyalah kesediaan Guru dan Ibu Guru untuk menaruh belas kasihan dan menerima saya kembali.”
Pada saat itu terdengar suara banyak orang sedang berdatangan. Para hadirin tampak mengiringi Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu naik ke atas. Segera Yue Buqun berkata dengan suara tertahan, “Lekas kau berdiri. Urusan ini dapat kita rundingkan nanti.”
Linghu Chong sangat senang. Ia menghormat beberapa kali dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, barulah ia berdiri.
Dengan perasaan pilu bercampur senang, Ning Zhongze berkata, “Adik kecilmu dan Adik Lin-mu pada bulan yang lalu telah… telah menikah.” Nada ucapannya terdengar khawatir kalau-kalau apa yang ia katakan itu akan mengecewakan Linghu Chong. Masalahnya, ia menduga maksud Linghu Chong ingin kembali ke Perguruan Huashan adalah demi Yue Lingshan.
Linghu Chong memang merasa berduka saat mendengar hal itu, meski sebelumnya sudah mendengar dari cerita Yilin. Perlahan ia melirik ke arah Yue Lingshan yang berdiri di belakang sang ibu. Tampak adik seperguruannya itu telah berganti dandanan menjadi seorang nyonya muda. Pakaiannya agak mewah, namun wajahnya masih sama seperti dulu. Tidak ada tanda-tanda riang gembira sebagaimana layaknya seorang pengantin baru. Ketika beradu pandang dengan Linghu Chong, mendadak wajah Yue Lingshan berubah merah dan kemudian menunduk.
Seketika dada Linghu Chong seperti dipukul dengan palu godam keras-keras, mata pun terasa berkunang-kunang. Hampir-hampir ia tidak sanggup berdiri tegak. Sayup-sayup telinganya mendengar seseorang menyapa, “Ketua Linghu, engkau adalah tamu dari jauh, tapi malah sudah datang lebih dulu. Biara Shaolin adalah tetangga dekat, tapi si tua ini malah datang terlambat.”
Linghu Chong merasa bahunya dipapah seseorang. Dengan cepat ia menenangkan diri dan memerhatikan siapa yang mendekatinya itu. Ternyata orang itu adalah Biksu Fangzheng yang memandangnya sambil tersenyum simpul. Segera Linghu Chong menjawab, “O, ternyata Biksu Fangzheng. Terimalah hormat saya!”
“Ya, ya,” jawab Fangzheng.
“Sudahlah, kita tidak perlu banyak adat lagi,” sahut Zuo Lengchan. “Kalau setiap orang saling memberi hormat, sampai kapan ribuan orang yang hadir ini bisa tuntas semua? Silakan para hadirin masuk ke dalam Pelataran Samadi Tinggi dan duduk di sana.”
Para hadirin beramai-ramai mengiakan dan kemudian masuk ke dalam ruang yang ditunjuk Zuo Lengchan.
Puncak tertinggi Gunung Songshan dikenal dengan sebutan Puncak Eji. Di puncak itu dibangun sebuah kuil yang disebut Pelataran Samadi Tinggi, yang semula merupakan tempat ibadah kaum Buddha. Akan tetapi sejak seratus tahun terakhir kuil tersebut menjadi tempat kediaman ketua Perguruan Songshan. Meskipun Zuo Lengchan tetap mempertahankan nama aslinya, namun ia bukan seorang pengikut agama Buddha. Ilmu silat Songshan sendiri lebih dekat dengan ajaran agama Tao.
Para hadirin telah memasuki Pelataran Samadi Tinggi. Di dalamnya terdapat pekarangan yang penuh dengan pepohonan cemara berusia tua, serta sebuah balai yang bercorak Buddha. Balai ini sangat luas, namun masih belum bisa menandingi kemegahan Balai Kesatria Agung milik Biara Shaolin. Tidak sampai seribu orang yang masuk ke dalam balai tersebut, keadaan sudah penuh sesak dan tidak ada lagi tempat untuk berpijak. Sementara itu para hadirin sisanya hanya bisa berdiri di pekarangan kuil saja.
Dengan lantang Zuo Lengchan membuka suara, “Hari ini adalah hari berkumpulnya Serikat Pedang Lima Gunung. Hari ini kami merasa diberkahi atas kehadiran para kawan dari daunia persilatan yang ikut menyaksikan peristiwa ini. Sungguh, ini di luar dugaan dan kami sangat berterima kasih atas hal ini. Hanya saja kalau ada kekurangan dalam penyambutan dan pelayanan, harap para hadirin sudi memberi maaf.”
Seorang hadirin berteriak, “Sudahlah, tidak perlu basa-basi! Masalahnya saat ini jumlah yang datang terlalu banyak, sementara tempatnya cukup sempit.”
Zuo Lengchan menjawab, “Jika kita mendaki ke atas sekitar dua ratus langkah atau lebih, di sana terdapat sebuah tempat yang biasa digunakan para kaisar zaman dahulu untuk memuja langit dan bumi. Tempat itu cukup luas untuk menampung kita semua. Namun sayangnya, kita ini hanyalah kaum persilatan biasa, rasanya tidak pantas menggunakan tempat suci yang dikeramatkan itu.”
Pada zaman dahulu para kaisar sering melakukan puji syukur atas keberhasilan pemerintahannya dengan memuja langit dan bumi di puncak Gunung Taishan atau Gunung Songshan. Berbagai persembahan juga dilakukan di tempat ini. Upacara tersebut juga bertujuan untuk memohon ketentraman negeri. Namun saat ini yang ada di Puncak Songshan adalah kaum persilatan yang tidak tahu menahu soal pemujaan langit dan bumi. Mereka hanya merasa sesak berada di Pelataran Samadi Tinggi dan meminta dibawa ke tempat lain yang lebih luas.
Para hadirin tidak peduli dengan nilai kekeramatan tempat yang diceritakan Zuo Lengchan itu. Beberapa di antara mereka berteriak, “Kita ini tidak berada di bawah perintah kaisar mana pun. Apa peduli kita dengan tempat keramat atau tidak? Tempat luas seperti itu tidak digunakan sekarang juga lantas mau tunggu kapan lagi?” Bersama itu sebagian dari mereka sudah bergegas mendahului berlari ke arah yang ditunjuk sang tuan rumah.
Zuo Lengchan berkata, “Baiklah, jika demikian mari kita menuju ke sana!”
Dalam hati Linghu Chong merenung, “Zuo Lengchan sungguh cermat dalam menjalankan siasatnya. Ia sengaja membuat para hadirin merasa sesak berada di tempat ini dan memamerkan sebuah tempat keramat yang lebih luas. Namun, ia sendiri berlagak malu untuk mengajak mereka ke sana dan membiarkan para hadirin itu saling mendesak sendiri untuk berangkat ke tempat itu.” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Entah tempat macam apa yang dipamerkan Zuo Lengchan itu? Dia menyatakan tempat itu biasanya digunakan oleh para kaisar, dan sekarang dia mengundang para hadirin untuk pergi ke sana. Jangan-jangan Zuo Lengchan berniat ingin menjadi kaisar pula? Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu mengatakan bahwa orang ini memiliki ambisi yang sangat besar. Setelah melebur Serikat Pedang Lima Gunung, langkah selanjutnya adalah berusaha mencaplok Partai Mentari dan Bulan, kemudian menghabiskan pula Perguruan Shaolin dan Wudang. Hm, dia dan Dongfang Bubai sepertinya memiliki cita-cita yang sama, panjang umur dan merajai dunia persilatan.”
Tanpa banyak bicara Linghu Chong lantas mengikuti para hadirin lainnya dan akhirnya sampai di tempat pemujaan itu. Kembali ia berpikir, “Mendengar ucapan Guru tadi, sepertinya Beliau memaafkan semua kesalahanku dan mengizinkan aku kembali ke Huashan. Mengapa Guru tiba-tiba berubah menjadi ramah kepadaku? Mungkin Beliau telah mendengar kalau tingkah laku dan perbuatanku di Henshan tetap sopan dan sama sekali tidak menodai nama baik perguruan meskipun semua anggotanya kaum perempuan. Adik Kecil dan Adik Lin juga baru saja menikah, pasti Guru dan Ibu Guru merasa bersalah kepadaku. Mungkin juga Ibu Guru telah banyak membujuk Guru sehingga Guru akhirnya mengubah sikapnya kepadaku. Hari ini Zuo Lengchan berniat menjalankan rencananya untuk melebur kelima perguruan menjadi satu. Selama Guru masih menjadi ketua Perguruan Huashan, pasti Beliau akan berusaha sekuat tenaga untuk menentang rencana ini. Beliau bersikap ramah kepadaku tentu mengharapkan dukunganku untuk mempertahankan Perguruan Huashan. Baiklah, aku akan mengerahkan yang terbaik demi memenuhi harapan Guru, sekaligus demi menjaga keselamatan Perguruan Henshan.”
Yang disebut tempat pemujaan itu ternyata sebuah panggung dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga menjadi rata. Linghu Chong membayangkan betapa banyak tukang batu di zaman dulu yang bekerja memahat panggung mahabesar tersebut. Begitu mengamati panggung batu itu dengan seksama, ternyata ada beberapa bagian yang nampak baru saja dipahat. Meskipun lumut sudah tumbuh di sana, namun Linghu Chong yakin bahwa panggung batu tersebut pernah rusak pada suatu ketika dan kemudian diperbaiki oleh orang-orang suruhan Zuo Lengchan.
Di sekitar panggung batu itu terdapat sebuah lapangan yang sangat luas. Di tempat itu semua orang merasa nyaman dan segar melihat puncak-puncak gunung yang tak terhitung banyaknya di bawah Puncak Songshan tersebut. Ditambah lagi hari itu cuaca sedang terang benderang, tanpa segumpal awan sedikit pun yang melayang di angkasa, sehingga pemandangan pun tampak semakin jelas. Linghu Chong memandang jauh ke arah utara dan dapat melihat jalur Sungai Yumen dan Sungai Kuning seperti untaian benang. Di sebelah barat ia dapat melihat kota bersejarah, yaitu Luoyang, sedangkan di tenggara ia bisa melihat lapisan-lapisan pegunungan.
Ia kemudian mendengar tiga orang tua di depannya sedang menunjuk-nunjuk ke arah selatan. Salah seorang berkata, “Yang itu adalah Puncak Beruang Besar, dan yang di sana adalah Puncak Beruang Kecil. Dua puncak yang berdekatan itu adalah Puncak Kemala Kembar. Dan tiga puncak yang berdekatan itu adalah Puncak Tonjolan Tiga.”
Orang tua lainnya berkata, “Gunung di seberang sana itu adalah Gunung Shaoshi, di mana terdapat Biara Shaolin yang termasyhur itu. Tempo hari aku pernah mengunjungi Biara Shaolin dan merasakan Gunung Shaoshi luar biasa tingginya. Namun jika dipandang dari sini, ternyata masih jauh di bawah Gunung Songshan.” Ketiga orang tua itu lantas tertawa bersama.
Dari penampilan mereka bertiga Linghu Chong yakin ketiganya bukan orang Perguruan Songshan. Namun ucapan mereka itu jelas mengolok-olok Shaolin dan meninggikan derajat Songshan. Linghu Chong juga dapat merasakan ketiga orang tua itu menyimpan tenaga dalam yang sangat besar. Ia menduga ketiganya adalah undangan Zuo Lengchan yang sengaja didatangkan untuk membantu bila terjadi apa-apa. Sepertinya Zuo Lengchan memang mempersiapkan rencananya dengan sangat cermat.
Zuo Lengchan sendiri tampak sedang meminta Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu untuk naik ke atas panggung batu. Namun dengan tertawa Fangzheng menolak, “Kami berdua orang tua yang sudah lapuk ini hanya datang sebagai penonton saja, untuk apa kami harus naik panggung dan mempermalukan diri sendiri?”
“Kenapa Biksu berkata demikian, seperti baru kenal saja?” ujar Zuo Lengchan dengan tertawa pula.
“Para tamu sudah hadir semua, silakan Ketua Zuo melaksanakan acara utama dan tidak perlu melayani kami berdua tua bangka,” kata Chongxu.
“Baiklah jika demikian,” jawab Zuo Lengchan. Ia kemudian naik ke atas panggung batu tersebut. Setelah naik beberapa puluh undak-undakan, kira-kira masih dua-tiga meter di bawah panggung, ia berhenti kemudian berseru lantang, “Para hadirin yang terhormat!”
Meski lapangan di puncak gunung itu sangat luas, para tamu juga tersebar di sana-sini, namun ucapan Zuo Lengchan itu dapat didengar dengan jelas oleh setiap orang. Jelas ia berseru sambil mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi.
Zuo Lengchan lantas melanjutkan sambil memberi hormat, “Atas kunjungan kawan-kawan sekalian, sungguh aku sangat berterima kasih. Sebelum tiba di sini tentunya kawan-kawan sudah mendengar bahwa hari ini adalah hari bahagia untuk Serikat Pedang Lima Gunung kami yang akan melebur menjadi satu.”
Ratusan orang yang berkeliling di bawah panggung berteriak ramai, “Benar, benar! Selamat! Selamat!”
“Terima kasih!” kata Zuo Lengchan. “Semuanya, silakan duduk!”
Para hadirin pun serentak duduk di atas tanah. Para murid tampak duduk di dekat ketua perguruan masing-masing.
Zuo Lengchan melanjutkan, “Bahwasanya Serikat Pedang Lima Gunung kami sudah ratusan tahun lamanya berserikat, selamanya satu napas dan satu haluan laksana satu keluarga. Sudah sekian tahun pula aku menjabat sebagai ketua perserikatan ini. Hanya sayang akhir-akhir ini di dalam dunia persilatan telah terjadi banyak peristiwa penting. Aku dan saudara-saudara tertua dari Serikat Pedang Lima Gunung telah berunding. Kami akhirnya sepakat, jika Serikat Pedang Lima Gunung tidak dilebur menjadi satu, maka kelak tentu sangat berat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang bakal menimpa.”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyahut dengan nada dingin, “Entah Ketua Zuo pernah berunding dengan saudara tertua dari perguruan mana? Mengapa aku si marga Mo tidak pernah mengetahui persoalan ini?” Orang yang berbicara ini tidak lain adalah Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan. Dari nada bicaranya menunjukkan kalau Perguruan Hengshan tidak sepakat dengan peleburan tersebut.
Zuo Lengchan menjawab, “Aku telah mengatakan di dunia persilatan telah terjadi banyak peristiwa penting sehingga terpaksa Serikat Pedang Lima Gunung harus dilebur menjadi satu. Salah satu peristiwa penting di antaranya adalah terjadinya saling bunuh dan saling mencelakai di antara saudara-saudara sesama Serikat Pedang Lima Gunung kita. Sepertinya banyak yang sudah lupa tentang kesetiakawanan di antara sesama anggota kelima perguruan kita. Tuan Besar Mo, murid Perguruan Songshan kami, yaitu Adik Fei si Tapak Songyang Besar telah tewas di luar Kota Hengshan. Ada orang yang menyaksikan bahwa pelaku pembunuhan itu adalah engkau sendiri, benar tidak?”
Tuan Besar Mo terkesiap mendengarnya. Ia pun berpikir, “Waktu aku membunuh orang bernama Fei Bin itu, yang ada di sana hanya Adik Liu, Qu Yang, Linghu Chong serta seorang biksuni cilik dari Henshan. Adik Liu, Qu Yang beserta cucu perempuannya telah meninggal. Apakah mungkin Linghu Chong yang membocorkan rahasia ini ketika sedang mabuk? Ataukah biksuni cilik itu yang membocorkan rahasia ini karena sudah terbiasa hidup jujur?”
Sementara itu beribu-ribu pasang mata serentak memerhatikan air muka Tuan Besar Mo. Namun ketua Perguruan Hengshan itu ternyata tenang-tenang saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ia menggeleng dan menjawab, “Hal demikian itu belum pernah terjadi. Mana mungkin aku yang punya sedikit kepandaian ini bisa membunuh Si Tapak Songyang Besar?”
Zuo Lengchang menjawab dengan tertawa dingin, “Kalau pertarungan satu lawan satu secara terang-terangan, memang Tuan Besar Mo tidak akan mampu membunuh Adik Fei. Namun saat itu kau menyerangnya secara tiba-tiba menggunakan Jurus Pedang Hantu milik perguruanmu sehingga Adik Fei pun mati tanpa sempat melawan. Kami menemukan mayat Adik Fei sudah dirusak oleh seseorang untuk mengaburkan bukti. Akan tetapi bekas tusukan pedang tipismu tidak bisa begitu saja ditutup-tutupi. Nah, apakah ini tidak cukup menjadi bukti?”
Kali ini Tuan Besar Mo benar-benar terkejut dibuatnya. Sambil menggeleng-geleng ia berpikir, “Huh, mana mungkin aku mau mengakuinya?” Ia merasa Zuo Lengchan terlalu percaya kepada luka pada mayat Fei Bin dan tidak memiliki saksi mata. Maka, ia pun memutuskan untuk tidak akan mengakui perbuatannya itu di hadapan Zuo Lengchan. Namun sejak saat ini, permusuhan antara Perguruan Songshan dan Hengshan tidak bisa dihindari lagi. Bahkan, untuk lolos dari Gunung Songshan saja tentu akan luar biasa sulitnya.
Linghu Chong juga terperanjat begitu mendengar Zuo Lengchan mengorek peristiwa yang terjadi lebih dari setahu yang lalu itu. Saat itu adalah masa di mana ia dan Yilin bertemu Qu Yang dan Liu Zhengfeng di tengah hutan dan mendapatkan warisan kitab musik dari mereka berjudul Menertawakan Dunia Persilatan.
Terdengar Zuo Lengchan melanjutkan, “Urusan yang paling penting saat ini adalah peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Tuan Besar Mo, kita berdua adalah ketua di perguruan masing-masing, tentunya engkau harus mengutamakan urusan mahapenting ini dan mengesampingkan masalah pribadi. Sudah sepantasnya perselisihan pribadi harus dihindari. Maka dari itu, Saudara Mo, urusan yang sudah-sudah tidak perlu kau pikirkan lagi. Adik Fei memang saudara seperguruanku. Tapi kalau nanti Serikat Pedang Lima Gunung sudah dilebur, dengan sendirinya Saudara Mo menjadi saudara seperguruanku pula. Yang sudah meninggal biarlah meninggal, yang masih hidup untuk apa harus saling bunuh?”
Kata-kata Zuo Lengchan ini terdengar lembut, namun sebenarnya bernada mengancam. Maksudnya ialah, kalau Tuan Besar Mo setuju dengan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, maka masalah terbunuhnya Fei Bin tidak akan pernah diusut lagi dan tidak akan diadakan perhitungan pula.
Dengan mata melotot Zuo Lengchan menatap Tuan Besar Mo yang menanggapinya dengan mendengus saja. Sambil menarik senyum yang dibuat-buat Zuo Lengchan berkata, “Masalah peleburan Serikat Pedang Lima Gunung kita agaknya Perguruan Hengshan sudah setuju. Lalu bagaimana dengan Perguruan Taishan? Pendeta Tianmen, bagaimana pendapatmu?”
Pendeta Tianmen lantas berdiri. Dengan suara keras ia berkata, “Sekitar tiga ratus tahun yang lalu Perguruan Taishan didirikan oleh leluhur kami, Pendeta Dongling. Sungguh menyesal, aku terlalu bodoh dan kurang bijaksana sehingga tidak mampu mengembangkan Perguruan Taishan menjadi lebih gemilang. Namun begitu, Perguruan Taishan yang sudah bersejarah tiga ratus tahunan ini bagaimanapun juga tidak boleh putus di tanganku. Soal melebur Taishan dengan perguruan-perguruan lain sama sekali kami tidak dapat menerimanya.”
Tiba-tiba di tengah-tengah rombongan Taishan berdiri seorang pendeta berjenggot putih dan berjubah hijau. Ia berseru, “Ucapan Keponakan Tianmen ini kurang tepat. Perguruan Taishan kita memiliki lebih dari empat ratus anggota. Janganlah karena memikirkan kepentingan dirimu seorang lantas mengorbankan kepentingan banyak orang.”
Wajah pendeta berjenggot itu tampak kurus kering, tapi suaranya ternyata keras dan kuat. Di antara para hadirin ada yang mengenalnya dan lantas berbisik-bisik pada teman di sekitarnya, “Dia bernama Pendeta Yujizi, masih terhitung paman perguruan Pendeta Tianmen.”
Pendeta Tianmen yang berwajah merah bercahaya begitu mendengar kata-kata Yujizi itu, seketika mukanya pun bertambah merah. Segera ia berseru, “Paman, apa artinya ucapanmu ini? Sejak aku menjabat sebagai ketua Perguruan Taishan, dalam hal apa aku pernah mengabaikan kepentingan golongan kita? Aku menolak peleburan Serikat Pedang Lima Gunung justru demi mempertahankan Perguruan Taishan kita. Bagaimana aku bisa disebut lebih suka mementingkan urusan pribadi?”
Yujizi tertawa mengejek dan berkata, “Peleburan kelima perguruan menjadi satu, akan membuat Partai Lima Gunung kita akan bertambah besar pengaruhnya. Itu berarti setiap murid Partai Lima Gunung juga akan ikut merasakan manfaatnya. Namun sebaliknya, jabatanmu sebagai ketua Taishan lantas ikut hanyut, bukan?”
Pendeta Tianmen menjadi gusar. Ia berteriak murka, “Jadi kau menuduh aku hanya memikirkan kepentingan pribadi saja, begitu?” Sekejap kemudian ia mengeluarkan sebilah pedang pendek berwarna kehitam-hitaman dari balik bajunya dan berseru, “Ini, mulai saat ini aku tidak sudi menjadi ketua lagi. Kalau kau menginginkannya, kau boleh menjabatnya.”
Meskipun pedang pendek itu tidak menarik sedikit pun, namun benda ini merupakan pusaka yang diwariskan turun temurun oleh Pendeta Dongling, pendiri Perguruan Taishan. Selama tiga ratus tahun benda ini selalu menjadi tanda pengenal ketua.
Tampak Yujizi maju selangkah dan mencibir, “Hm, kau benar-benar rela meninggalkan kedudukanmu?”
“Kenapa tidak?” jawab Tianmen gusar.
“Baik, kau bisa serahkan itu padaku!” kata Yujizi. Mendadak sebelah tangannya menjulur ke depan, tahu-tahu pedang pendek di tangan Tianmen itu telah dirampas olehnya.
Tianmen sama sekali tidak mengira kalau Yujizi benar-benar akan merampas pedang pusakanya. Ia tertegun oleh perbuatan sang paman guru. Tanpa berpikir lagi ia lantas melolos pedang panjang di pinggangnya.
Namun dengan cepat Yujizi sudah melompat mundur pula. Pada saat itu dua sosok bayangan lantas berkelebat. Tampak dua pendeta tua lainnya telah menghadang di depan Tianmen dengan pedang terhunus. Bersamaan mereka membentak, “Tianmen, sebagai angkatan muda kau berani melawan angkatan tua, apakah kau sudah lupa pada tata tertib perguruan kita?”
Kedua pendeta tua itu adalah dua orang paman guru Tianmen lainnya yang seangkatan dengan Yujizi. Mereka bernama Yuqingzi dan Yuyinzi.
Pendeta Tianmen gemetar menahan marah. “Paman berdua tentu menyaksikan sendiri, apa… apa yang telah diperbuat oleh Paman… Paman Yuji barusan ini?” teriaknya.
Yuyinzi menjawab, “Kami memang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa engkau telah menyerahkan jabatan ketua Perguruan Taishan kepada Kakak Yuji. Kau sendiri rela mengundurkan diri dan memberikan tempatmu kepada orang yang lebih bijaksana. Sungguh tindakanmu ini patut dipuji.”
Yuqingzi ikut bicara pula, “Kakak Yuji adalah paman perguruanmu. Sekarang dia telah menjabat sebagai ketua pula. Tapi kau berani menggunakan senjata dan bersikap kasar kepadanya. Ini namanya perbuatan durhaka kepada orang tua.”
Tianmen sadar kedua paman perguruannya itu sudah sepaham dengan Yujizi dan berusaha memojokkannya. Dengan perasaan semakin gusar ia berteriak, “Aku tadi bicara dalam keadaan marah. Pikiranku sedang kacau. Padahal kedudukan ketua Perguruan Taishan kita mana boleh diserahkan begini saja kepada setiap orang? Seandainya akan kuberikan pada orang lain juga sama sekali tidak… tidak kepada Paman Yuji.”
“Sebagai seorang kesatria, mengapa kau menjilat kembali ludahmu sendiri?” sahut Yuyinzi.
Tiba-tiba seorang pendeta setengah umur di tengah rombongan Taishan berteriak, “Ketua perguruan kita selama ini adalah guruku. Kalian ini sebenarnya hendak main gila apa?” Pendeta yang baru saja bicara ini bernama Jianchu, murid Tianmen yang nomor dua.
Menyusul seorang pendeta lainnya juga berdiri dan berseru, “Kakak Tianmen telah menyerahkan jabatannya kepada guruku. Peristiwa ini telah disaksikan beribu-ribu pasang mata dan telinga yang hadir di Gunung Songshan ini. Mana mungkin persoalan ini bisa dipalsukan? Dengan jelas Kakak Tianmen tadi menyatakan, ‘Sejak kini aku tidak menjabat ketua lagi. Kalau kau menginginkannya silakan bisa kau ambil saja!’. Coba katakan, betul tidak?” Pendeta yang satu ini jelas murid dari Yujizi.
Seketika itu orang-orang Taishan menjadi rebut sendiri. Mereka terpecah menjadi dua bagian. Bagian yang lebih sedikit mendukung Tianmen, sementara yang lebih banyak berteriak-teriak, “Ketua lama undurkan diri, ketua baru pegang pimpinan! Ketua lama lekas mundur, biar ketua baru menggantikannya!”
Tianmen memang murid tertua dalam angkatannya dan juga memiliki nama besar dalam Perguruan Taishan. Akan tetapi sekitar enam atau tujuh orang pamannya diam-diam berusaha menyingkirkan dirinya. Dari kedua ratus orang Taisahan yang datang ke Gunung Songshan itu, sebanyak lebih dari seratus enam puluh orang mendukung pihak Yujizi.
Yujizi sendiri lantas mengangkat tinggi-tinggi pedang pendek yang dirampasnya dari Tianmen tadi sambil berteriak, “Ini adalah pusaka Pendeta Dongling. Wasiat guru besar kita berbunyi: ‘melihat pedang ini sama dengan melihat Dongling’. Menurut kalian pantas tidak kalau kita taat kepada wasiat leluhur kita?”
“Benar, tepat sekali ucapan Ketua!” serentak ratusan anak buahnya berteriak.
Ada juga yang berteriak, “Murid murtad Tianmen berani melawan pimpinan dan tidak tunduk kepada peraturan. Dia harus ditangkap dan dihukum.”
Melihat suasana seperti itu, Linghu Chong menduga tentu ini semua sudah diatur sedemikian rupa oleh Zuo Lengchan. Watak Pendeta Tianmen terkenal sangat berangasan. Jika sedang marah ia suka mengeluarkan kata-kata yang tidak disadarinya sehingga justru membuatnya masuk perangkap lawan. Kini pihak lawan sedang di atas angin. Tianmen sendiri bukan seorang yang pintar menghadapi kejadian-kejadian luar biasa seperti itu, sehingga dirinya hanya bisa marah-marah, namun tidak tahu harus berbuat apa.
Ketika Linghu Chong memandang ke kalangan orang-orang Huashan, dilihatnya sang guru berdiri di sana dengan berpangku tangan. Air muka Yue Buqun tidak memperlihatkan suatu pendapat. Linghu Chong berpikir, “Tentu Guru tidak dapat menyetujui tindakan Yujizi dan kawan-kawannya itu. Namun Beliau tampaknya tidak ingin ikut campur persoalan orang lain, dan memilih menunggu untuk melihat gelagat selanjutnya. Biarlah aku pun menunggu pula dan mengikuti perintah Guru.”
Sementara itu Yujizi telah memberi isyarat. Serentak sekitar 150 orang Taishan yang menjadi begundalnya berpencar dengan pedang terhunus. Seketika sisa yang lainnya, yang jumlahnya tidak lebih dari 50 orang pun terkepung di tengah-tengah. Yang terkepung itu tentu saja murid-murid Pendeta Tianmen.
Dengan murka Tianmen membentak, “Apakah kalian benar-benar ingin berkelahi? Baiklah, silakan maju!”
Dengan suara lantang Yujizi berteriak, “Dengarkan, Tianmen! Selaku ketua Perguruan Taishan, kuperintahkan dirimu untuk membuang senjata dan menyerahkan diri. Apakah kau berani membangkang di depan pedang pusaka peninggalan Guru Besar kita ini?”
“Huh, siapa yang mengakui engkau sebagai ketua Perguruan Taishan?” jawab Tianmen gusar.
Yujizi kembali berseru, “Dengarkan, murid-murid Tianmen! Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan kalian. Asalkan kalian meletakkan senjata dan menggabungkan diri, maka kesalahan kalian tidak akan diusut. Jika tidak, tentu kalian pasti akan menerima ganjaran setimpal.”
Dengan suara keras Jianchu menyahut, “Asalkan kau mau bersumpah di bawah pedang pusaka Guru Besar bahwa kau tidak akan menghancurkan Perguruan Taishan yang dibangun Guru Besar dengan susah payah, maka tidak menjadi soal bila kau menjabat sebagai ketua kita. Namun baru sekejap saja kau mengaku sebagai ketua, serentak kau hendak menjual Perguruan Taishan kita kepada Perguruan Songshan. Kau sungguh sangat berdosa terhadap Guru Besar di alam baka. Kau pasti akan dikutuk oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai anggota Perguruan Taishan.”
Yuyinzi memaki, “Bocah kurang ajar! Kau pikir dirimu siapa berani mengoceh di hadapan orang tua angkatan ‘Yu’? Apa jeleknya jika Serikat Pedang Lima Gunung dilebur menjadi satu? Bukankah Perguruan Songshan sendiri nanti juga terlebur di dalamnya? Partai Lima Gunung itu sudah menunjukkan kalau Taishan ada di dalamnya. Lantas, apa jeleknya peleburan ini?”
Tianmen menjawab kasar, “Hm, diam-diam kalian telah main gila dan menjual diri kepada Zuo Lengchan. Huh, pendek kata, bila perlu kalian bisa membunuhku, tapi aku tidak akan takluk kepada Perguruan Songshan. Jangan harap!”
Yujizi berteriak, “Kalian tidak mau tunduk kepada perintah pedang pusaka Guru Besar, jangan menyesal bila sebentar nanti kalian semua akan mampus tak terkubur!”
Tianmen berseru pula, “Setiap murid Taishan yang setia, hari ini biarlah kita bertempur mati-matian sampai titik darah penghabisan di Puncak Songshan ini!”
“Benar, bertempur sampai titik darah penghabisan!” teriak murid-murid Tianmen yang berdiri di sekitarnya. Meski jumlah mereka jauh lebih sedikit, namun tekad mereka bulat, sedikit pun tidak gentar.
Apabila Yujizi memberi komando agar anak buahnya menyerang, rasanya sukar juga membunuh habis anak buah Tianmen. Selain itu, beribu-ribu kesatria yang hadir di situ, terutama tokoh-tokoh seperti Biksu Fangzheng atau Pendeta Chongxu tentu juga tidak akan tinggal diam menyaksikan pembunuhan besar-besaran di antara sesama golongan tersebut.
Maka Yujizi, Yuyinzi, dan Yuqingzi serta para pendukung mereka hanya saling pandang saja dengan perasaan ragu-ragu. Dalam hati mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak.
Tiba-tiba jauh di sebelah kiri sana terdengar suara seseorang berseru dengan nada bermalas-malasan, “Seumur hidup aku yang tua ini sudah banyak menjelajahi dunia. Jumlah kesatria dan pahlawan yang pernah kutemui juga tak terhitung banyaknya. Namun, babi yang suka menjilat kembali ludah sendiri hanya dalam waktu singkat sungguh jarang kulihat.”
Pandangan semua orang beralih ke arah datangnya suara itu. Terlihat di sana seorang laki-laki berbaju kain kasar berdiri bersandar pada sebongkah batu cadas. Tangan kirinya memegang dan mengibas-kibaskan sebuah caping. Sepasang matanya kecil, tubuhnya jangkung, sikapnya pun acuh tak acuh.
Para hadirin tidak kenal asal-usul orang bertubuh jangkung itu, juga tidak paham ucapannya tersebut ditujukan kepada siapa. Terdengar si jangkung kembali berkata, “Huh, sudah jelas kau telah menyerahkan jabatan ketua kepada orang lain, memangnya apa yang sudah kau katakan tadi hanya kentut belaka? Kalau begitu, sebaiknya ganti saja namamu menjadi ‘kentut’.”
Mendengar ini, Yujizi dan lain-lain baru tahu kalau si jangkung berdiri di pihaknya. Maka, mereka pun bergelak tawa terbahak-bahak.
Semakin gusar Tianmen menjawab, “Ini urusan Perguruan Taishan kami, tidak perlu orang lain ikut campur!”
Namun si jangkung masih berbicara dengan sikap malas, “Setiap urusan yang kuanggap tidak adil pasti akan kuurusi. Hari ini adalah hari bahagia peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, tapi kau sengaja membuat masalah di sini dan mengacaukan suasana baik ini. Sungguh keterlaluan!”
Tiba-tiba pandangan semua orang terasa kabur. Ternyata si jangkung melompat maju dengan kecepatan yang sukar dilukiskan ke tengah kalangan orang-orang Taishan itu. Capingnya terangkat dan serentak ia menghantam ke atas kepala Tianmen.
Tianmen tidak menangkis serangan si jangkung, namun pedangnya lantas menusuk ke dada orang itu. Di luar dugaan si jangkung menjatuhkan diri ke bawah, lantas menerobos dengan sangat cepat melalui selangkangan Tianmen. Ketika ia berbalik, sebelah kakinya pun mendepak, dan dengan tepat titik nadi di punggung Tianmen tertendang olehnya.
Beberapa gerakan itu sungguh teramat cepat dan caranya juga lain daripada yang lain. Kontan semua orang terperangah. Dalam keadaan yang tidak terduga-duga Pendeta Tianmen dibekuk olehnya.
Melihat sang guru mengalami kekalahan, serentak beberapa murid mengangkat pedang dan menusuk si jangkung. Tapi orang itu bergelak tawa dan kemudian menyodorkan punggung Tianmen ke depan. Tentu saja murid-murid Tianmen kelabakan dan lekas-lekas menarik kembali pedang masing-masing.
“Lekas buang senjata kalian, atau kupenggal putus kepala guru kalian ini!” bentak si jangkung sambil menjambak rambut Tianmen dan mengancam hendak memuntir kepala pendeta itu.
Dalam keadaan seperti itu, percuma saja Tianmen memiliki kepandaian tinggi, namun sama sekali tidak bisa berkutik di tangan musuh. Wajahnya yang merah semakin bertambah merah.
“Caramu menyerang secara licik itu bukanlah perbuatan seorang kesatria sejati. Siapakah namamu, wahai Tuan yang terhormat?” ujar Jianchu.
“Plak”, tiba-tiba si jangkung menampar muka Tianmen satu kali. Masih dengan sikap bermalas-malasan ia menjawab, “Siapa berani kurang ajar padaku, segera kuhajar gurunya!”
Melihat sang guru dianiaya, murid-murid Tianmen saling merasa khawatir sekaligus murka. Kalau serentak mereka menusuk dengan pedang masing-masing, bukan mustahil si jangkung seketika akan penuh tertancap pedang bagaikan seekor landak. Namun mereka tidak berani sembarangan bertindak mengingat keselamatan sang guru berada di tangan musuh. Karena gusar seorang pendeta muda pun berteriak, “Kau binatang….”
“Plak”, kembali Tianmen ditampar oleh si jangkung. “Itu untuk muridmu yang pintar mengucapkan kata-kata kotor!” ujarnya.
Pada saat itulah tiba-tiba Tianmen berteriak satu kali. Darah segar kemudian menyembur keluar dari mulutnya. Si jangkung terkejut dan bermaksud melepaskan cengkeramannya, tapi sudah terlambat. Tianmen sempat memutar kepalanya sehingga sekarang ia berhadapan muka dengan si jangkung. Maka darah yang masih menyembur keluar dari mulut Tianmen itu pun membasahi wajah si jangkung pula. Pada saat yang sama Tianmen secepat kilat mencekik leher orang itu dengan kedua tangan sekuat tenaga. Terdengar suara “krak” satu kali, yaitu bunyi tulang leher si jangkung telah dipatahkan mentah-mentah oleh Tianmen.
Ketika Tianmen mengayunkan tangannya, orang itu terlempar ke belakang dan jatuh menggelepar. Setelah berkelojotan beberapa kali, ia kemudian tak bergerak lagi. Semua orang ngeri melihatnya. Tubuh Tianmen yang tinggi besar, kini tampak bertambah gagah, dengan wajah penuh darah menyeramkan.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Tianmen membentak keras. Tubuhnya sempoyongan kemudian roboh di tanah. Ternyata ia telah mengembuskan napas yang terakhir pula.
Rupanya ketika tadi ia tertangkap dan tertotok oleh si jangkung, kemudian jatuh ke dalam cengkeraman orang itu, seketika hatinya merasa sangat malu bercampur murka. Ditambah lagi dengan tamparan dua kali membuatnya merasa terhina di hadapan banyak orang. Karena rasa gusar sudah memenuhi hati, seketika ia rela mengorbankan nyawa sendiri. Ia kemudian mengerahkan segenap tenaga dalam untuk membuka totokan lawan sehingga dapat bergerak bebas. Kemudian dengan sisa-sisa tenaga ia membinasakan si jangkung, dan akhirnya nyawa sendiri pun melayang karena urat nadi terputus akibat pengerahan tenaga dalam yang dipaksakan tadi.
“Guru!” serentak murid-murid Tianmen berteriak memanggil dan memburu maju. Namun Tianmen sudah tidak bernapas lagi, jantung pun sudah berhenti. Serentak murid-muridnya hanya dapat menangis sedih di sekeliling mayat orang itu.
Di tengah keributan itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru, “Ketua Zuo, kau sengaja mengundang orang macam Burung Hantu Laut Timur untuk melayani Pendeta Tianmen. Caramu ini apa tidak keterlaluan?”
Semua orang berpaling dan melihat yang berbicara itu ternyata seorang kakek buruk rupa yang dikenal bernama He Sanqi. Ia seorang pendekar tua yang sering terlihat berjualan bakmi pangsit di berbagai kota besar, antara lain Kota Hengshan.
Tentang asal usul si jangkung yang dibinasakan Pendeta Tianmen itu tak ada seorang pun yang tahu. Hanya He Sanqi seorang yang mengenalnya sebagai Burung Hantu Laut Timur. Sementara itu para hadirin lainnya tidak ada yang tahu siapa itu Burung Hantu Laut Timur.
Menanggapi tuduhan itu Zuo Lengchan menjawab, “Kata-katamu sungguh aneh dan lucu. Baru hari ini aku bertemu dengan Saudara Ji yang gugur itu, namun mengapa kau mengatakan aku sengaja mengundang dia untuk menghadapi Pendeta Tianmen?”
He Sanqi berkata, “Ketua Zuo mungkin belum lama kenal dengan Si Burung Hantu Laut Timur. Namun engkau tentu sudah lama mengenal gurunya yang bergelar Bintang Maut Halus Polos, bukan?”
Ucapan He Sanqi itu sangat menggemparkan para hadirin yang mendengarnya. Linghu Chong langsung teringat pada saat Yue Lingshan masih kecil dan suka menangis, maka ibunya sering menakut-nakuti dengan berkata, “Sudahlah, jangan menangis! Bintang Maut Halus Polos suka menangkap dan memakan anak kecil yang suka menangis.” Waktu itu Yue Lingshan langsung berhenti menangis, sedangkan Linghu Chong bertanya, “Ibu Guru, siapa itu Bintang Maut Halus Polos?” Ning Zhongze menjawab, “Dia itu seorang yang sangat jahat, yang suka menculik anak kecil. Wajahnya rata dan halus tanpa memiliki hidung, hanya dua buah lubangnya saja.”
Terkenang pada kejadian di masa lalu itu, tanpa terasa Linghu Chong memandang ke arah Yue Lingshan. Dilihatnya sang adik kecil sedang memandang jauh ke arah puncak-puncak gunung di bawah Songshan seperti sedang melamun. Wajahnya tampak murung memikirkan sesuatu. Sepertinya ucapan He Sanqi tentang Bintang Maut Halus Polos tadi tidak diperhatikan olehnya, atau mungkin apa yang terjadi di masa lalu itu pun sudah terlupa semua.
Melihat itu Linghu Chong menjadi heran. Ia merenung, “Adik Kecil baru saja menikah dengan Adik Lin yang dicintainya itu. Seharusnya ia merasa gembira dan bahagia, tapi entah ada urusan apa yang membuat hatinya murung? Jangan-jangan pasangan pengantin baru ini baru saja bertengkar sendiri?”
Ia kemudian memandang Lin Pingzhi yang berdiri di samping Yue Lingshan. Air muka lelaki ini terlihat sangat aneh. Seperti tertawa, tapi bukan tertawa, seperti marah, tapi juga bukan marah. Kembali Linghu Chong terkejut, “Aneh, sikap macam apa itu? Rasa-rasanya aku seperti pernah melihat air muka yang demikian ini. Namun, entah di mana aku pernah melihatnya?”
Sementara itu terdengar Zuo Lengchan berkata, “Pendeta Yuji, pertama-tama aku mengucapkan selamat atas jabatanmu sebagai ketua Perguruan Taishan yang baru. Mengenai peleburan Serikat Pedang Lima Gunung seperti yang kuuraikan tadi, entah bagaimana pendapat Pendeta?”
Melihat Zuo Lengchan mengalihkan pembicaraan dan tidak menjawab pertanyaan He Sanqi tadi, maka jelas sudah kalau ia memiliki hubungan baik dengan Bintang Maut Halus Polos, meskipun hal itu tidak diakuinya secara terang-terangan. Tokoh berjuluk Bintang Maut Halus Polos itu telah memiliki nama besar sejak tiga puluh tahun yang lalu, namun hanya sedikit saja yang pernah berjumpa atau bertarung dengannya. Tidak jelas ia berasal dari aliran mana. Namun jika melihat sifat dan perbuatan muridnya tadi, maka dapat diperkirakan ia berasal dari golongan hitam.
Dengan mengacungkan pedang pendek di tangannya, Yujizi berseri-seri menjawab, “Mengenai peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, kuanggap cara ini sangat bermanfaat bagi kelima perguruan kita dan sama sekali tidak ada jeleknya. Hanya manusia serakah yang mementingkan diri sendiri seperti Tianmen saja yang tidak setuju atas penggabungan ini, sementara setiap orang yang berpandangan jauh pasti akan setuju. Ketua Zuo, sebagai ketua Taishan, aku menyatakan bahwa perguruan kami dengan suara bulat menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung kita menjadi Partai Lima Gunung. Segenap anggota Perguruan Taishan menyatakan taat di bawah kepemimpinanmu demi perkembangan dan kejayaan kita bersama. Apabila ada orang yang hendak merintangi peleburan ini, maka Perguruan Taishan yang pertama-tama akan menghadapinya.”
Menyusul kemudian ratusan orang Taishan lantas bersorak menyatakan setuju. “Perguruan Taisahan bertekad bulat mendukung peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Jika ada yang berusaha menentangnya, kami dari Taishan yang pertama-tama akan mengatasinya.” Serentak suara teriakan mereka menggelegar berkumandang jauh.
Mendengar teriakan itu Linghu Chong berpikir, “Aneh, kenapa teriakan mereka satu sama lain serupa dan bersamaan? Sepertinya mereka sudah dilatih untuk ini sebelumnya. Apalagi kalau melihat cara bicara Yujizi yang begitu hormat kepada Zuo Lengchan, jelas sebelumnya mereka juga sudah bersekongkol dan yang pasti Yujizi tentu telah banyak menerima kebaikan dari Zuo Lengchan.”
Sementara itu murid-murid Pendeta Tianmen yang sedang berduka atas kematian guru mereka yang mengenaskan memilih duduk diam dengan tatapan penuh kebencian. Mereka hanya bisa mengepalkan tangan, menggertakkan gigi, serta mengutuk di dalam hati. Mereka bersumpah suatu saat akan menuntut balas kepada Yujizi dan para begundalnya.
Terdengar Zuo Lengchan berseru kembali, “Perguruan Hengshan dan Taishan telah menyatakan setuju atas peleburan ini. Sepertinya ini memang menjadi cita-cita banyak orang demi kebahagiaan bersama. Maka itu, Perguruan Songshan kami dengan sendirinya juga mengikuti suara banyak orang dan siap meleburkan diri.”
Dalam hati Linghu Chong mengejek, “Huh, ucapanmu sungguh manis seolah-olah tidak tahu-menahu masalah ini. Kau berpura-pura mengikuti pendapat banyak orang untuk ikut meleburkan diri. Padahal, kau sendiri adalah biang keladi semua ini.”
Terdengar Zuo Lengchan melanjutkan, “Di antara kelima perguruan sudah ada tiga yang setuju untuk meleburkan diri. Sekarang tinggal Henshan dan Huashan saja yang belum menyampaikan pendapat. Entah bagaimana pendapat kalian? Ketua Perguruan Henshan yang terdahulu, yaitu mendiang Biksuni Dingxian pernah beberapa kali berunding dengan aku mengenai peleburan ini. Waktu itu Beliau juga sangat setuju, begitu pula Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi juga setuju.”
Tiba-tiba dari tengah kalangan rombongan Henshan berteriak seorang perempuan, “Ketua Zuo, ucapanmu ini sangat tidak benar. Sebelum ketua dan kedua bibi perguruan kami wafat, Beliau bertiga justru menentang keras masalah peleburan Serikat Pedang Lima Gunung ini. Justru Beliau bertiga meninggal dunia secara berturut-turut adalah karena sangat menentang peleburan ini. Namun mengapa kau malah memutarbalikan kenyataan seperti ini?”
Semua hadirin pun serentak berpaling ke arah datangnya suara. Ternyata yang berteriak itu seorang gadis cantik berwajah bulat, yang tidak lain bernama Zheng E. Ia termasuk murid Henshan dari golongan paling muda sehingga kurang begitu dikenal oleh para hadirin di tempat itu.
Dengan suara lantang Zuo Lengchan menjawab, “Guru kalian mempunyai pandangan jauh ke depan dan perhitungan yang cermat. Beliau adalah tokoh paling hebat dalam Serikat Pedang Lima Gunung kita. Selamanya aku sangat kagum kepadanya. Namun sayang Beliau telah meninggal di Biara Shaolin tempo hari. Andai saja Beliau masih hidup, maka jabatan ketua Partai Lima Gunung hari ini rasanya tidak perlu diperebutkan lagi. Kita sepakat untuk menyerahkannya kepada Biksuni Dingxian.”
Ketua Songshan itu diam sejenak, lalu melanjutkan, “Dahulu sewaktu aku berunding tentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung dengan Biksuni Dingxian bertiga, secara tegas aku juga pernah menyatakan apabila peleburan Serikat Pedang Lima Gunung benar-benar terjadi, maka jabatan ketua Partai Lima Gunung sudah pasti akan kuminta Biksuni Dingxian untuk menjabatnya. Saat itu Biksuni Dingxian dengan rendah hati telah menolak usulanku. Namun setelah aku mendesak Beliau dengan sungguh-sungguh, akhirnya Biksuni Dingxian tidak menolak lagi. Tapi, aih, sungguh harus disesalkan, seorang kesatria wanita yang belum merampungkan darmabakti itu harus mendahului kita semua meninggal dunia di Biara Shaolin. Sungguh kematiannya membuatku sedih dan menyesal.”
Sebanyak dua kali ia menyebut nama Biara Shaolin, seolah-olah hendak mengingatkan para hadirin bahwa kematian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi itu adalah perbuatan pihak Biara Shaolin. Andai saja pembunuhnya bukan orang Shaolin, tetap saja perguruan tersebut harus bertanggung jawab, karena tempat terjadinya peristiwa itu adalah tempat suci yang diagungkan di dunia persilatan namun seorang tokoh besar bisa mati di sana.
Tiba-tiba terdengar suara serak dan kasar seseorang berteriak, “Ucapan Ketua Zuo kurang tepat. Dahulu Biksuni Dingxian pernah berkata kepadaku, bahwa Beliau justru mendukung engkau menjadi ketua Partai Lima Gunung.”
Zuo Lengchan senang mendengarnya. Ia berpaling ke arah datangnya suara dan melihat si pembicara itu ternyata seorang tua berwajah buruk dan aneh. Kepala orang itu kecil lancip, matanya pun kecil seperti tikus. Zuo Lengchan tidak mengenal siapa orang tua aneh itu, namun dari bajunya yang berwarna hitam dapat diketahui kalau ia adalah orang Perguruan Henshan. Di sebelahnya berdiri pula lima orang yang berwajah serupa, serta penampilan mereka juga sama. Zuo Lengchan rupanaya tidak mengenal bahwa keenam orang itu adalah Enam Dewa Lembah Persik.
Meski dalam hati merasa senang, tapi Zuo Lengchan pura-pura bersikap biasa saja. Ia berkata, “Siapakah nama Saudara yang mulia ini? Meski dahulu Biksuni Dingxian memang pernah menyarankan demikian, tapi kalau dibandingkan dengan Beliau boleh dikata diriku ini masih jauh untuk bisa memadai.”
Yang baru berbicara tadi adalah Dewa Akar Persik. Dengan berdehem satu kali, ia lalu menjawab, “Aku bernama Dewa Akar Persik, dan kelima orang ini adalah adik-adikku.”
“O, sudah lama kagum, sudah lama kagum!” ujar Zuo Lengchan.
“Apa yang menjadikanmu kagum kepada kami?” tanya Dewa Akar Persik. “Kagum terhadap ilmu silat kami atau kagum terhadap kecerdasan kami?”
Zuo Lengchan menggerutu dalam hati, “Sial, ternyata mereka orang-orang dungu yang telah membantai Cheng Buyou.” Mengingat pujian Dewa Akar Persik tadi ia pun menjawab sambil tersenyum, “Baik ilmu silat maupun kecerdasan kalian sudah lama aku kagumi.”
“Ilmu silat kami sebenarnya tidak seberapa,” sela Dewa Dahan Persik. “Bila kami berenam maju sekaligus akan sedikit lebih unggul daripada Ketua Zuo. Tapi kalau satu lawan satu rasanya kami harus mengakui selisih agak jauh.”
Dewa Bunga Persik menyahut, “Namun kalau bicara soal kecerdasan jelas kami jauh lebih tinggi daripada engkau,” sambung.
“Benarkah demikian?” ujar Zuo Lengchan sambil mengerutkan kening.
“Sedikit pun tidak salah,” sahut Dewa Bunga Persik. “Begitulah yang dikatakan Biksuni Dingxian dahulu.”
“Ya, dahulu sewaktu Biksuni Dingxian mengobrol dengan Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi mengenai peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, seringkali Biksuni Dingxian mengatakan bahwa orang yang paling tepat menjabat sebagai ketua Partai Lima Gunung adalah Ketua Zuo dari Songshan. Kau percaya atau tidak atas apa yang dikatakan Biksuni Dingxian itu?”
Zuo Lengchan menjawab, “Itu karena Biksuni Dingxian terlalu menghargai diriku. Namun sebenarnya aku sendiri tidak berani menerimanya,”
“Kau jangan senang dahulu,” kata Dewa Akar Persik. “Masalahnya Biksuni Dingjing berpendapat lain. Beliau mengatakan bahwa Ketua Zuo memang seorang kesatria, dan jika dibandingkan dengan para tokoh persilatan pada umumnya, memang termasuk tokoh pilihan. Akan tetapi Beliau menganggap kau ini terlalu bernafsu, terlalu mementingkan diri sendiri, berpikiran sempit, dan kurang lapang dada. Apabila kau diangkat menjadi ketua, maka yang paling celaka tentu murid-murid Henshan yang terdiri dari kaum wanita ini.”
“Benar,” sahut Dewa Dahan Persik. “Maka itu Biksuni Dingxian lantas berkata bahwa calon ketua yang bijaksana sebenarnya sudah tersedia enam orang kesatria sejati di sini. Keenam kesatria ini tidak hanya tinggi dalam ilmu silat, namun juga cerdik dan berwawasan luas. Menurut Beliau, mereka ini sangat cocok untuk diangkat menjadi ketua Partai Lima Gunung.”
“Enam kesatria?” sahut Zuo Lengchan. “Hm, di mana keenam orang itu?”
“Aha, mereka tidak lain dan tidak bukan adalah kami enam bersaudara ini,” jawab Dewa Bunga Persik.
Maka terdengarlah suara gelak tawa banyak orang bergemuruh begitu mendengar jawaban tersebut. Sebagian besar para hadirin memang tidak mengenal siapa Enam Dewa Lembah Persik. Namun melihat wajah mereka yang aneh dan tingkah laku mereka yang lucu itu, bahkan sekarang mengaku berpengetahuan luas dan kepandaian tinggi, tentu saja mereka semua merasa geli.
(Bersambung)
Bagian 66 ; Bagian 67 ; Bagian 68