Bagian 66 - Pertemuan di Gunung Songshan

Xiang Wentian yang dadanya terkena tusukan jarum Dongfang Bubai sudah pulih kembali setelah mengalami kesemutan sebentar. Segera ia pun berseru pula, “Selamat, Ketua! Selamat, Ketua!”
“Kau berjasa besar dalam membinasakan pengkhianat ini,” kata Ren Woxing dengan tertawa. Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong, “Jasa dan bantuan Chong-er juga tidak sedikit jumlahnya.”
Linghu Chong memandang sejenak ke arah Ren Yingying. Dilihatnya gadis itu pucat pasi karena masih terbayang betapa mengerikan pertempuran hidup mati yang baru saja mereka alami itu. “Kalau bukan karena Yingying telah mengerjai Yang Lianting, mungkin tidak mudah bagi kita untuk mengalahkan Dongfang Bubai,” ujar Linghu Chong kemudian. “Untungnya dia tidak menggunakan jarum berbisa.”
Ren Yingying tergetar mendengarnya. Dengan suara lirih ia berkata, “Sudahlah, tidak perlu dibicarakan lagi. Dia ini bukan manusia, tapi siluman. Sewaktu kecil aku sering digendongnya dan diajak pergi berjalan-jalan ke gunung, memetik buah dan sebagainya. Siapa sangka ia akhirnya berubah seperti ini.”
Ren Woxing lantas merogoh sejilid kitab tipis dan sudah usang dari balik baju Dongfang Bubai. Diacungkannya kitab itu sambil berkata, “Ini yang disebut ‘Kitab Bunga Mentari’. Ilmu silat yang tertulis dalam kitab ini memang sangat ampuh. Setiap orang persilatan tentu akan tertarik bila membacanya. Untung waktu itu aku sudah berhasil menguasai Jurus Penyedot Bintang. Jika tidak, bukan mustahil aku pun akan tertarik untuk mempelajari ilmu dalam kitab ini.”
Kembali ia mendepak mayat Dongfang Bubai, lalu berkata sambil tertawa, “Haha, meskipun kau licin seperti setan juga tidak tahu maksud tujuanku memberikan kitab ini padamu. Ambisimu besar, semangatmu menyala-nyala, dan berhasrat naik ke atas. Apa kau kira aku tidak tahu watakmu itu? Hahahahaha!”
Hati Linghu Chong terguncang. Baru sekarang ia tahu ternyata tujuan Ren Woxing memberikan Kitab Bunga Mentari kepada Dongfang Bubai bukanlah timbul dari niat yang baik. Keduanya sama-sama menyimpan rencana dan maksud tertentu. Dilihatnya mata kanan Ren Woxing yang terluka itu masih meneteskan darah, ditambah lagi ia terbahak-bahak dengan mulut lebar. Wajahnya menjadi semakin beringas dan menyeramkan.
Tiba-tiba Ren Woxing meraba selangkangan Dongfang Bubai dan ia tidak menemukan sepasang bola kemaluan pada mayat musuhnya itu. Dengan tertawa semakin menggila ia berkata, “Kitab Bunga Mentari ini sangat tepat bila dipelajari kaum kasim, hahahaha.” Usai berkata demikian ia meremas-remas kitab tersebut dan menggosok-gosoknya dengan kedua tangan. Ketika kedua telapaknya terbuka, kertas-kertas kecil pun berhamburan. Kitab Bunga Mentari yang sudah tua dan lapuk itu pun hancur di tangannya.
Ren Yingying menghela napas lega, “Benda celaka seperti itu memang paling bagus dihancurkan saja.”
Linghu Chong tersenyum berkata, “Apa kau takut aku mempelajarinya?”
“Huh, omong kosong!” sahut Ren Yingying dengan muka merah. Ia lantas mengeluarkan obat dan menaburkannya pada mata Ren Woxing dan Shangguan Yun yang telah buta sebelah.
Wajah semua orang rata-rata dihiasi luka akibat tusukan jarum. Ren Yingying bercermin dan melihat satu goresan kecil di pipinya. Meskipun diobati dan bisa sembuh, namun tusukan Dongfang Bubai itu akan tetap membekas seumur hidup. Membayangkan hal itu seketika ia menjadi murung.
Linghu Chong berkata, “Kau memiliki segala keberuntungan yang membuat semua manusia dan siluman merasa iri. Goresan sekecil ini tidak akan mengurangi keberuntunganmu. Sudahlah, jangan bersedih.”
“Keberuntungan apa?” sahut Ren Yingying.
“Kau ini cantik sekaligus sangat pintar. Ilmu silatmu juga tinggi,” jawab Linghu Chong. “Selain itu ayahmu seorang ketua partai persilatan besar. Dirimu juga dihormati banyak orang di dunia. Dan yang paling penting, kau terlahir sebagai wanita asli sampai-sampai membuat seorang Dongfang Bubai iri kepadamu.”
Ren Yingying tersenyum mendengarnya. Seketika ia pun lupa kepada goresan kecil di pipinya itu.
Begitulah, kelima orang yang selamat tersebut lantas meninggalkan kamar Dongfang Bubai dan kembali ke balairung. Ren Woxing memberikan perintah agar semua tokoh Partai Mentari dan Bulan datang menghadap. Begitu duduk di atas singgasana, ia tertawa dan berkata, “Dongfang Bubai memang pintar, bisa menikmati hidupnya sebagai seorang ketua yang dipuja. Dengan duduk tinggi di atas panggung, jaraknya juga cukup jauh dari bawahan yang datang menghadap, dengan sendirinya lantas timbul rasa takut dan segan dalam hati mereka. Apa nama ruangan ini?”
Shangguan Yun menjawab, “Lapor kepada Ketua yang bijaksana, ruangan ini bernama Balairung Budi Luhur. Ini diambil dari pujian kami kepadanya, yaitu ‘seorang terpelajar yang berbudi luhur, kesatria rendah hati’.”
Ren Woxing tertawa mendengarnya, “Hahaha, mana bisa dia menjadi kaum terpelajar dan petarung sekaligus?” Sejenak kemudian ia pun berkata kepada Linghu Chong, “Chong-er, kemarilah!”
Linghu Chong lantas berjalan mendekatinya.
“Chong-er,” kata Ren Woxing, “ketika di Hangzhou dulu aku pernah mengajakmu supaya masuk ke dalam agama kami. Waktu itu aku sendirian dan baru lepas dari kesulitan. Apa saja yang kukatakan tentunya tidak bisa membuatmu percaya begitu saja. Tapi sekarang aku benar-benar telah duduk kembali di atas singgasana ketua. Maka, urusan pertama yang akan kubahas tidak lain tetap persoalan yang dahulu…” sampai di sini ia menepuk-nepuk tempat duduknya dan melanjutkan, “tempat ini cepat atau lambat tentu akan kau duduki pula. Hahahahaha!”
“Ketua,” jawab Linghu Chong, “Kebaikan Yingying padaku tak terhitung banyaknya. Apa yang engkau kehendaki atas diriku tidak sepantasnya dapat kutolak. Hanya saja aku sudah terlanjur berjanji kepada orang lain akan menyelesaikan suatu urusan penting. Oleh karena itu tentang persoalan masuk ke dalam partaimu terpaksa tidak dapat kupenuhi.”
Kedua alis Ren Woxing menegak. Dengan suara dingin ia berkata, “Kau tentu cukup tahu apa akibatnya bagi orang yang tidak tunduk pada keinginanku!”
Segera Ren Yingying mendekati Linghu Chong dan memegang tangannya. Gadis itu berkata, “Ayah, hari ini adalah hari bahagiamu karena berhasil menduduki kembali singgasanamu. Kenapa Ayah harus ribut untuk urusan kecil seperti ini? Tentang bagaimana dia bisa bergabung ke dalam agama kita biarlah dibicarakan kelak saja.”
Ren Woxing memiringkan wajah ke kanan sehingga mata kirinya terlihat memandang tajam kepada kedua muda-mudi itu. “Hm, Yingying, sekarang yang kau inginkan hanya suami dan tidak peduli dengan ayah lagi, begitu?”
Xiang Wentian tertawa menengahi mereka, “Ketua, Adik Linghu seorang kesatria muda yang berwatak kukuh. Biarlah nanti kuberi pengertian padanya….”
Belum selesai ia bicara, tiba-tiba terdengar suara belasan orang berseru dari arah luar balairung, “Kami, para ketua balai, para wakil ketua balai dengan ini menyampaikan sembah bakti kepada Ketua yang mahaagung dan mahabijaksana. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.”
“Masuk!” bentak Ren Woxing.
Sebanyak belasan laki-laki kekar melangkah masuk ke dalam balairung. Serentak mereka berlutut dan menyembah secara berjajar-jajar. Ketika Ren Woxing menjabat sebagai ketua yang dahulu, saat itu ia menyapa para anggota Partai Mentari dan Bulan dengan sebutan “Saudara”, dan pada saat bertemu dengannya mereka cukup memberi hormat saja. Kini melihat orang-orang itu berlutut dan menyembah kepadanya, ia pun bangkit dan berkata, “Tidak perlu...”
Akan tetapi tiba-tiba terpikir olehnya, “Rasanya tidak ada salahnya kalau aku menerima sembah mereka. Seorang pimpinan harus berwibawa dan menetapkan peraturan-peraturan yang mengikat. Dulu aku terlalu lunak dan percaya kepada bawahan sehingga berhasil dijebak mentah-mentah oleh Dongfang Bubai. Hm, peraturan menyembah pimpinan seperti ini tidak ada salahnya untuk diteruskan.”
Tidak lama kemudian, kembali satu rombongan lain masuk dan menyembah pula. Kali ini Ren Woxing tidak berdiri lagi dari tempat duduknya. Sembah dan pujian muluk-muluk itu diterimanya dengan senang hati dan kepala manggut-manggut.
Sementara itu Linghu Chong sudah mengundurkan diri sampai ke ambang pintu balairung. Kini ia berdiri pada jarak yang cukup jauh dengan singgasana sang ketua. Cahaya lilin yang remang-remang membuat wajah Ren Woxing tampak samar-samar. Tiba-tiba timbul suatu pikiran dalam benak Linghu Chong, “Yang duduk di atas singgasana itu Ren Woxing atau Dongfang Bubai? Memangnya apa perbedaan di antara mereka?”
Kemudian terdengar para anggota partai di dalam balairung itu ramai memberikan sanjung puji kepada sang ketua. Rupanya di antara mereka banyak yang ketakutan karena selama belasan tahun ini mengabdi kepada Dongfang Bubai. Kalau sekarang Ren Woxing tiba-tiba mengusut perbuatan mereka tentu bisa berbahaya. Sebagian lagi mungkin adalah orang baru, yang sama sekali tidak kenal siapa Ren Woxing. Namun mereka sudah terbiasa menyanjung dan memuji Dongfang Bubai serta Yang Lianting agar terhindar dari bahaya dan bisa naik pangkat. Maka, seperti biasa mereka pun berteriak-teriak memuji untuk menarik perhatian sang ketua baru.
Saat itu sang surya sudah muncul di ufuk timur. Sinarnya yang lembut menembus ke dalam balairung sehingga terlihat bayangan punggung ratusan anggota partai yang berlutut sedang menyerukan sanjung puji memuakkan. Linghu Chong berpikir, “Urusanku yang paling utama adalah mencegah Zuo Lengchan melebur dan menguasai Serikat Pedang Lima Gunung. Setelah itu aku akan memilih seorang murid wanita untuk menggantikan kedudukanku sebagai ketua Perguruan Henshan. Yingying sangat baik kepadaku. Andai saja setelah semua urusanku beres ia memintaku untuk masuk Partai Mentari dan Bulan, pasti aku tak kuasa menolaknya. Lagipula kelak aku akan menikahinya. Dengan sendirinya, Ketua Ren pun menjadi mertuaku. Akan tetapi, kalau setiap hari aku harus berbuat menjijikkan seperti orang-orang itu, mana aku sanggup melakukannya? Tadinya aku kira ini semua hanya ulah Dongfang Bubai dan Yang Lianting untuk menekan anak buah mereka. Namun kini kulihat Ketua Ren ternyata sangat menikmati sanjung puji macam ini.” Sejenak kemudian ia berpikir kembali, “Beberapa waktu yang lalu di Puncak Huashan aku melihat ukiran ilmu silat para sesepuh Partai Mentari dan Bulan. Jelas dalam partai ini banyak terdapat orang-orang sakti dan perkasa. Pada zaman ini yang aku tahu partai ini memiliki Kakak Xiang, Shangguan Yun, Jia Bu, Tong Baixiong, serta Empat Sekawan dari Jiangnan. Mereka semua orang-orang hebat tapi apa semuanya tunduk begitu saja pada peraturan menjijikkan ini? Para kesatria ini dipaksa berlutut merendahkan diri dan mengumandangkan kata-kata pujian di mana mungkin hati mereka sedang berontak. Mengucapkan sanjung puji seperti ini benar-benar menjijikkan. Apakah para kesatria ini masih pantas disebut sebagai kesatria?”
Kemudian terdengar suara Ren Woxing berkumandang dari ujung balairung sana, “Tentang segala perbuatan kalian di bawah kepemimpinan Dongfang Bubai telah kucatat satu per satu dengan jelas. Namun aku tidak akan mengusut kejadian yang sudah-sudah, asalkan untuk selanjutnya kalian setia dan berbakti kepadaku.”
Mendengar itu serentak para anggota partai berkata, “Terima kasih atas kemurahan hati Ketua. Sungguh Ketua mahaadil dan mahabijaksana. Hati Ketua lapang bagai luasnya samudera. Ketua yang mahaagung memang tidak pantas melakukan perbuatan rendah. Kami akan selalu setia pada Ketua. Meski harus lebur melewati lautan api juga kami rela asalkan demi kebesaran Ketua dan Partai Mentari dan Bulan.”
Ren Woxing menunggu sampai semua puji-pujian itu selesai. Setelah keadaan menjadi hening, ia pun melanjutkan, “Tapi bila ada seseorang yang berani membangkang dan berkhianat, maka dosa yang sudah-sudah akan diperhitungkan semua. Satu orang yang bersalah, segenap keluarganya ikut bertanggung jawab dan dihukum mati semua.”
Serentak para anggota partai berseru, “Kami akan selalu setia kepada Ketua.”
Linghu Chong terkesiap melihat pemandangan itu. Diam-diam ia berpikir, “Apa yang dilakukan Ketua Ren ini tidak ada bedanya dengan Dongfang Bubai, menegakkan wibawa melalui kekerasan. Meski dari luar orang-orang ini terlihat tunduk, tapi dalam hati mereka tentu memberontak. Lalu dari mana ‘kesetiaan’ mereka bisa dipercaya?”
Menyusul kemudian ada anggota partai yang membongkar dosa dan kejahatan Dongfang Bubai. Katanya, bekas ketua itu terlalu memercayai Yang Lianting dan main bunuh secara sewenang-wenang. Ada pula yang mengadu, katanya Dongfang Bubai suka melakukan korupsi, menumpuk kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Ada lagi yang mengoceh, katanya ilmu silat Dongfang Bubai sebenarnya sangat rendah, tapi suka berlagak dan main gertak melulu. Ada juga yang mengatakan kalau Dongfang Bubai sangat rakus. Setiap kali makan ia menyembelih tiga ekor sapi, lima babi, dan sepuluh domba.
Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Mereka benar-benar suka menjilat. Ilmu silat Dongfang Bubai dikatakan rendah, padahal kami berlima nyaris kehilangan nyawa karena tusukan jarumnya. Kalau Dongfang Bubai dikatakan rakus karena suka makan sebanyak itu, apanya yang aneh? Dia seorang ketua partai besar. Apa salahnya dia menjamu kawan-kawannya dengan makanan sebanyak itu? Apa itu semua dianggap suatu kejahatan?”
Yang paling menggelikan ialah pengaduan seseorang yang mengatakan Dongfang Bubai sangat cabul, suka main perempuan dan memerkosa anak istri para anggota partai. Padahal sudah jelas Dongfang Bubai telah memotong alat kelamin sendiri dan menjadi banci demi untuk menguasai ilmu dalam Kitab Bunga Mentari. Mendengar laporan lucu itu Linghu Chong sampai terbahak-bahak sehingga suaranya berkumandang memenuhi balairung. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arahnya dengan mata melotot gusar.
Ren Yingying paham kekasihnya bisa menimbulkan keonaran. Lekas ia menarik tangan Linghu Chong, dan berkata, “Mereka sedang membicarakan urusan Dongfang Bubai. Tidak ada sesuatu yang menarik di sini. Mari kita turun ke bawah saja.”
“Ya, jangan-jangan ayahmu menjadi marah dan kepalaku dipenggal,” ujar Linghu Chong dengan menjulurkan lidah. Segera mereka keluar dari balairung dan turun ke bawah menggunakan keranjang kerekan.
Keduanya duduk bersanding di dalam keranjang bambu. Awan putih tampak mengambang di sekeliling mereka. Linghu Chong merasa apa yang baru saja terjadi itu bagaikan mimpi saja. Ia berpikir untuk selanjutnya bagaimanapun juga tak akan sudi lagi naik ke atas Tebing Kayu Hitam.
“Apa yang sedang kau renungkan, Kakak Chong?” tanya Ren Yingying tiba-tiba.
“Apakah kau mau pergi bersamaku?” kata Linghu Chong.
Muka Ren Yingying menjadi merah. Dengan tergagap ia menjawab, “Tapi kita… kita…”
“Kita apa?” sahut Linghu Chong.
Ren Yingying menunduk dan menjawab, “Kita belum… belum menikah. Mana boleh aku ikut pergi denganmu?”
“Bukankah dahulu kita pernah berkelana berdua di dunia persilatan?” ujar Linghu Chong.
“Yang dahulu itu karena terpaksa. Justru karena kebersamaan kita itu timbul banyak omongan-omongan iseng di dunia persilatan,” kata Ren Yingying. “Apalagi tadi Ayah mengatakan bahwa aku… aku hanya memikirkan dirimu dan tidak mau Ayah lagi. Kalau sekarang aku benar-benar ikut pergi bersamamu tentu Ayah akan bertambah marah. Setelah mengalami penderitaan-penderitaan selama belasan tahun agaknya watak Ayah agak berubah menjadi aneh. Aku harus menjaganya dengan baik dan tidak tega berpisah dengannya. Asalkan hatimu tidak berubah, asalkan umur kita masih panjang, untuk selanjutnya kita bisa bertemu lagi.” Kata-kata terakhir itu diucapkannya dengan lirih, hampir-hampir tak terdengar.
Kebetulan waktu itu segumpal awan putih melayang tiba sehingga mereka seperti terbungkus di dalamnya. Meskipun duduk bersanding, namun karena suasana remang-remang, jarak keduanya pun seperti sangat jauh. Sesampainya di bawah tebing dan keluar dari keranjang bambu, Ren Yingying bertanya dengan suara berat, “Apakah kau akan langsung berangkat?”
“Ya,” jawab Linghu Chong. “Zuo Lengchan telah mengundang segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung untuk berkumpul pada tanggal lima belas bulan tiga, dalam acara memilih ketua Partai Lima Gunung. Ambisinya sangat besar dan dapat mengancam keselamatan dunia persilatan. Maka itu, pertemuan di Gunung Songshan ini harus kuhadiri.”
Ren Yingying mengangguk dan berkata, “Kakak Chong, ilmu pedangmu lebih hebat daripada Zuo Lengchan, tapi kau harus berhati-hati terhadap tipu muslihatnya.”
“Ya,” jawab Linghu Chong.
Ren Yingying menyambung, “Sebenarnya aku ingin pergi juga, tapi aku seorang perempuan aliran sesat. Jika aku pergi ke Songshan bersamamu tentu hanya akan merintangi urusanmu.” Ia diam sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada cemas, “Bila nanti kau berhasil menjadi ketua Partai Lima Gunung, namamu akan termasyhur di seluruh dunia, sedangkan golongan putih dan hitam selamanya tidak pernah bersatu. Kurasa urusan kita akan… akan lebih sulit.”
Linghu Chong memegang tangan Ren Yingying erat-erat dan menjawab halus, “Kau masih belum percaya padaku?”
“Tentu saja aku percaya,” sahut Ren Yingying dengan tersenyum. Selang sejenak ia berkata lagi dengan khawatir, “Namun semakin tinggi ilmu silat seseorang, semakin besar pula namanya di dunia persilatan. Hal seperti ini sering pula mengubah wataknya. Dia sendiri mungkin tidak sadar, tapi bermacam-macam urusan selalu berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Paman Dongfang seperti itu. Aku khawatir Ayah juga bisa seperti itu.”
Linghu Chong tersenyum menanggapi, “Ayahmu tidak akan menjadi seperti Dongfang Bubai. Bukankah Kitab Bunga Mentari sudah dihancurkannya?”
“Aku tidak membicarakan soal ilmu silat,” jawab Ren Yingying, “aku sedang membicarakan watak manusia. Meskipun andaikata Paman Dongfang tidak mempelajari Kitab Bunga Mentari, tetap saja ia memberontak dan merebut kedudukan ketua Partai Mentari dan Bulan apabila menemukan kesempatan.”
“Kau jangan khawatir, Yingying,” kata Linghu Chong. “Orang lain mungkin seperti itu, tapi aku pasti tidak. Pembawaanku ini suka berterus terang, tidak bisa berlagak. Andaikan aku menjadi sombong dan besar kepala, tapi di hadapanmu aku akan tetap seperti sekarang.”
“Baiklah kalau begitu,” ujar Ren Yingying.
Tiba-tiba Linghu Chong terdiam sejenak dan kemudian berkata, “Semua orang di dunia persilatan telah mengetahui hubungan kita. Kawan-kawan yang kau asingkan di salah satu pulau di laut selatan tolong dimaafkan dan suruh mereka kembali ke sini.”
Ren Yingying tersenyum menjawab, “Akan kukirimkan orang untuk membawa mereka kembali ke sini.”
Linghu Chong menarik tubuh gadis itu lebih dekat, dan perlahan-lahan merangkul pinggangnya. “Sekarang aku mohon diri padamu. Setelah urusan penting di Gunung Songshan beres, aku akan segera datang mencarimu. Sejak itu kita berdua takkan berpisah lagi.”
Sorot mata Ren Yingying menjadi terang, memancarkan rasa gembira. Dengan suara berat ia berkata, “Semoga usahamu berhasil dengan baik dan bisa secepatnya kembali kemari. Siang dan malam aku… aku akan selalu menantikanmu di sini.”
“Baiklah,” kata Linghu Chong sambil perlahan-lahan mencium pipi gadis itu.
Wajah Ren Yingying langsung merah merona. Dengan malu-malu ia mendorong perlahan. Linghu Chong tertawa dan berjalan mendekati kudanya. Sekali lompat ia langsung hinggap di atas kuda itu dan memacunya meninggalkan pusat Partai Mentari dan Bulan tersebut.
Beberapa hari kemudian Linghu Chong pun sampai di Gunung Henshan. Para murid yang ditugasi menjaga kaki gunung segera mengirim laporan ke atas. Beramai-ramai murid-murid lainnya pun turun menyambut kedatangan sang ketua dengan gembira. Tidak lama kemudian para jagoan yang tinggal di Lembah Tong Yuan juga berdatangan menyambut pula.
Linghu Chong menanyakan keadaan para jagoan itu selama ia pergi. Zu Qianqiu menjawab, “Para murid laki-laki semuanya hidup prihatin, giat berlatih dengan tertib. Tak seorang pun yang berani datang ke biara induk.”
Linghu Chong menjawab senang, “Syukur kalau begitu.”
Yihe tertawa menyahut, “Memang benar mereka tidak pernah datang ke biara induk. Tapi untuk hidup prihatin, apa benar demikian?”
Linghu Chong terkejut dan bertanya, “Apa maksudmu?”
Yihe menjawab, “Sepanjang hari sepanjang malam aku mendengar suara gaduh dari arah Lembah Tong Yuan. Ramai sekali suara mereka.”
Linghu Chong tertawa menanggapi, “Hahaha, mana mungkin menyuruh kawan-kawan ini duduk diam?”
Linghu Chong kemudian bercerita tentang keberhasilan Ren Woxing merebut kembali kedudukannya sebagai ketua Partai Mentari dan Bulan. Para jagoan sangat gembira mendengarnya. Suara sorak-sorai mereka bergemuruh menggetarkan lembah. Dalam hati mereka membayangkan, jika Ren Woxing menjadi ketua lagi, itu berarti Ren Yingying pun mendapat kedudukan penting pula di dalam partai. Ini berarti keadaan akan menjadi lebih baik untuk semua orang.
Linghu Chong akhirnya sampai di Puncak Xianxing. Yang pertama kali ia lakukan di biara induk adalah menyampaikan sembah bakti kepada altar ketiga biksuni sepuh. Pertemuan di Gunung Songshan pada tanggal lima belas bulan tiga sudah semakin dekat. Bersama murid-murid tertua seperti Yihe dan Yiqing, ia membicarakan undangan Zuo Lengchan tersebut. Mereka memutuskan untuk pergi ke Henan terlebih dahulu sebelum menuju Gunung Songshan. Yihe dan yang lain tidak setuju apabila mereka harus melibatkan para jagoan yang tinggal di Lembah Tong Yuan untuk membantu melawan pihak Songshan. Meskipun para jagoan itu bisa menambah kekuatan mereka, namun hal itu justru akan menjadi bahan olok-olok untuk pihak Henshan sendiri.
Yihe berkata, “Kakak Ketua, ilmu pedangmu lebih tinggi daripada Zuo Lengchan, jadi mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin Partai Lima Gunung bukan hal yang sulit. Akan tetapi, para jagoan di Lembah Tong Yuan bisa merepotkan kita.”
Linghu Chong tersenyum berkata, “Tujuan kita adalah mencegah Zuo Lengchan supaya tidak menguasai keempat perguruan lainnya. Aku sama sekali tidak pantas menjadi ketua Perguruan Henshan, apalagi menjadi ketua Partai Lima Gunung. Apabila kalian menghendaki untuk tidak mengajak para jagoan itu, maka kita tidak akan mengajak mereka.”
Ia kemudian berjalan menuju Lembah Tong Yuan untuk berunding dengan Ji Wushi, Zu Qianqiu, dan Lao Touzi. Ternyata ketiga orang itu juga tidak setuju apabila rombongan mereka ikut serta ke Gunung Songshan. Ketiganya meminta Linghu Chong memimpin para murid perempuan untuk berangkat lebih dulu, sementara mereka akan memberi pengertian kepada para jagoan yang lainnya.
Malam itu, Linghu Chong minum arak bersama para jagoan di Lembah Tong Yuan tersebut. Tujuannya adalah membuat mereka mabuk sehingga ia dapat pergi diam-diam bersama para murid perempuan keesokan harinya. Namun, Linghu Chong sendiri ternyata tidur pulas sampai bangun kesiangan. Terpaksa, rencana menuju Gunung Songshan ditunda hari itu. Esok paginya barulah ia memimpin para murid perempuan berangkat menuju ke sana.
Beberapa hari kemudian mereka sampai di sebuah kota dan beristirahat dalam sebuah kuil bobrok yang cukup besar. Zheng E dan enam murid lain meronda di luar menghadapi kemungkinan serangan licik pihak Songshan. Namun tidak lama kemudian Zheng E dan Qin Juan berlari memasuki kuil sambil berteriak, “Kakak Ketua, cepat kemari dan lihatlah!”
Keduanya melapor dengan wajah menahan geli. Yihe bertanya, “Ada apa sebenarnya?”
Qin Juan menjawab cekikikan, “Kakak, sebaiknya kau lihat sendiri saja.”
Linghu Chong segera keluar dan mengikuti kedua murid muda tersebut yang membawa mereka menuju ke sebuah penginapan. Mereka langsung melihat enam orang bertumpuk-tumpuk seperti batu bata di sebuah rumah kecil di sisi barat rumah penginapan tersebut. Mereka tidak lain adalah Enam Dewa Lembah Persik yang tidak bisa berkutik karena tubuh mereka masing-masing tertotok. Linghu Chong sangat terkejut melihatnya. Segera ia menarik turun Dewa Akar Persik yang berada paling atas di tumpukan itu. Dilihatnya segumpal biji buah persik menyumpal mulut Dewa Akar Persik.
Begitu Linghu Chong mengeluarkan sumpalan itu, seketika Dewa Akar Persik langsung memaki-maki, “Nenekmu, semua keluargamu akan kubuat menderita, anak turunmu sampai delapan belas keturunan akan kusiksa, kau….”
Linghu Chong tertawa bertanya, “Hei, Kakak Akar Persik, aku tidak berbuat salah kepadamu.”
“Aku tidak memaki dirimu! Jangan ikut campur!” bentak Dewa Akar Persik. “Anjing itu, jika kelak aku melihatnya, akan kurobek tubuhnya menjadi delapan, enam belas, tiga puluh empat…”
“Siapa yang kau caci maki itu?” tanya Linghu Chong.
“Nenekmu, jika aku tidak mencaci maki dia, lantas siapa lagi yang sedang kumaki ini?” sahut orang tua itu galak.
Linghu Chong kemudian menarik turun Dewa Bunga Persik dan mengeluarkan sumpalan di mulutnya. Begitu mulutnya terbebas langsung saja ia berkata, “Kakak Pertama, yang kau katakan tadi salah. Delapan potong dikalikan dua jadi enam belas, dikalikan dua lagi jadi tiga puluh dua. Kenapa kau tadi bilang jadi tiga puluh empat?”
“Terserah aku mau merobeknya menjadi tiga puluh empat atau berapa. Apa aku tadi berkata akan selalu membaginya dua? Terserah aku jika membaginya dua lalu menambah dua sobekan lagi,” jawab Dewa Akar Persik tidak mau kalah.
Dewa Bunga Persik berkata, “Kenapa kau membaginya dua lantas menambah dua sobekan lagi? Memangnya apa alasannya?”
Totokan pada tubuh mereka belum lagi lepas, namun begitu ada kesempatan berbicara mereka langsung saja mengoceh memperdebatkan hal-hal yang tidak penting.
Linghu Chong bertanya, “Berhenti bertengkar! Sebenarnya ada kejadian apa?”
Dewa Bunga Persik berkata, “Kedua biksu sinting itu, Bubujie dan Bujubujie, kedelapan belas leluhur mereka adalah biksu sinting semua.”
Linghu Chong kembali tertawa bertanya, “Mengapa kau memaki mereka?”
Dewa Akar Persik menjawab, “Jika bukan memaki mereka lantas aku memaki siapa? Kau pergi tanpa pamit dan kami mendengar itu semua dari Zu Qianqiu. Bagaimana mungkin kami enam bersaudara diam di puncak gunung tanpa menyaksikan keramaian di Songshan? Tentu saja kami memutuskan ikut. Hampir saja kami berhasil menyusulmu kalau saja tidak bertemu si biksu sinting Bujubujie. Dia mengajak kami minum dan bercerita tentang enam ekor anjing mati disengat serangga. Kami tertarik pada ceritanya sehingga tidak menyadari kalau Biksu Bujie bersembunyi di dekat kami dan langsung melumpuhkan kami dengan totokan. Biksu Bujie berkata, kalau kami ikut ke Gunung Songshan tentu hanya akan merusak rencana Ketua Linghu saja. Huh, dari mana dia tahu kalau kami akan merusak rencanamu?”
Linghu Chong memaklumi apa yang terjadi dan tertawa menjawab, “Sebenarnya saat ini Enam Dewa Lembah Persik sudah menang, dan Biksu Bujie kalah. Jika kalian bertemu Biksu Bujie dan Biksu Bujubujie masalah ini tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Kalian juga tidak perlu bertarung melawan mereka. Sebaliknya, kalau para kesatria di dunia persilatan bertanya tentang hal ini, tentu mereka tidak bisa mengingkari kekalahan di tangan Enam Dewa Lembah Persik.”
Dewa Akar Persik dan Dewa Bunga Persik mengangguk dan menjawab, “Untuk selanjutnya jika bertemu dengan dua biksu sinting itu kami tidak akan mengungkit masalah ini lagi sehingga mereka berdua tidak akan kehilangan muka.”
Linghu Chong tertawa menjawab, “Yang paling penting saat ini adalah membuka totokan kalian, enam bersaudara. Kalian pasti sangat menderita sekarang.” Usai berkata ia lantas membuka totokan pada tubuh Dewa Bunga Persik dan menutup pintu supaya suara perdebatan mereka tidak sampai terdengar dari luar.
Zheng E terkekeh dan bertanya, “Kakak Ketua, apa yang sedang mereka lakukan?”
Qin Juan menjawab, “Mereka sedang membangun candi.”
Dewa Bunga Persik langsung memaki, “Biksuni cilik sembarangan! Kenapa kau bilang kami sedang membangun candi?”
Qin Juan tertawa menjawab, “Hei, aku bukan biksuni.”
Dewa Akar Persik berkata, “Kau hidup bersama para biksuni, jadi kau pun termasuk biksuni.”
Qin Juan menjawab, “Kakak Ketua juga hidup bersama kami, tapi dia bukan biksuni.”
Zheng E menambahkan, “Kalian juga hidup bersama kami, tapi kalian juga bukan biksuni.”
Dewa Akar Persik dan Dewa Bunga Persik terdiam tidak bisa membalas. Keduanya sama-sama bingung mencari alasan yang tepat untuk melawan perkataan kedua murid muda tadi.
Linghu Chong dan para murid perempuan lantas menunggu di luar sampai sekian lama, namun Enam Dewa Lembah Persik tidak juga muncul keluar. Ia pun membuka pintu dan melihat Dewa Bunga Persik melangkah mundur dengan sikap malu-malu, sementara kelima saudaranya masih dalam keadaan tertotok. Linghu Chong bergelak tawa dan segera membuka totokan kelima orang tua aneh tersebut, kemudian melangkah keluar lagi.
Tidak lama kemudian terdengar suara berisik dari dalam rumah kecil itu. Linghu Chong tertawa senang dan melangkah menjauhi penginapan tersebut. Beberapa puluh langkah selanjutnya ia melewati jalan yang membelah suatu lahan pertanian. Satu pohon persik tampak tumbuh subur dengan ranting-ranting dipenuhi bunga bermekaran. Melihat itu ia berpikir, “Pohon bunga persik memang sangat indah dan memesona, tapi Enam Dewa Lembah Persik hanya bisa membuat gaduh dan berisik saja. Nama julukan mereka sama sekali berbeda dengan kenyataan pohon bunga persik.”
Ia berjalan santai sambil berpikir keenam orang tua bersaudara itu pasti baru saja selesai bertengkar sekarang, dan berniat mengajak mereka minum arak bersama. Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki di belakangnya, dan satu suara perempuan menyapa dengan lembut, “Kakak Linghu!”
Linghu Chong menoleh dan melihat rupanya Yilin yang datang menghampirinya.
Biksuni cantik itu berkata, “Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”
“Tentu saja boleh,” jawab Linghu Chong. “Tanya urusan apa?”
Yilin bertanya, “Menurutmu siapa yang lebih baik, Nona Ren ataukah adik kecilmu?”
Linghu Chong terkesiap. Dengan agak rikuh ia menjawab, “Mengapa tiba-tiba kau bertanya masalah ini?”
“Kakak Yihe dan Kakak Yiqing yang menyuruhku bertanya ini kepadamu,” jawab Yilin.
Linghu Chong bertambah heran, lalu menjawab dengan tersenyum, “Mereka adalah kaum alim, mengapa bertanya hal-hal demikian?”
Yilin menunduk dan berkata, “Kakak Linghu, aku tidak pernah bercerita kepada orang lain tentang hubunganmu dengan adik kecilmu. Namun Kakak Yihe pernah melukai Nona Yue sehingga antara kedua pihak timbul perselisihan. Maka ketika kedua kakak kami datang ke Gunung Huashan untuk menyampaikan berita pelantikanmu sebagai ketua Perguruan Henshan, mereka telah ditahan di sana.”
“Ya, aku ingat,” jawab Linghu Chong. “Aku juga merasa khawatir mengapa mereka berdua belum kembali sampai sekarang. Ternyata mereka telah ditahan oleh pihak Huashan. Dari mana kau mendapat kabar ini?”
“Dari Tian… maksudku Bujubujie yang melapor padaku,” jawab Yilin dengan malu-malu.
“Tian Boguang?” sahut Linghu Chong.
“Benar,” jawab Yilin, “ketika engkau ke Tebing Kayu Hitam, para kakak telah menyuruhnya ke Gunung Huashan untuk mencari berita.”
Linghu Chong mengangguk, “Dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, Tian Boguang memang tepat jika disuruh menyelidiki sesuatu. Dan kedua kakakmu itu apakah bisa dijumpai olehnya?”
“Bisa. Namun penjagaan Perguruan Huashan terlalu ketat, dia tidak sanggup menolong mereka. Syukurlah kedua kakak tidak terlalu menderita. Aku juga telah memberi pesan padanya supaya jangan main kekerasan dan memusuhi Perguruan Huashan supaya tidak membuatmu marah,” ujar Yilin.
Linghu Chong tersenyum berkata, “Kau memberi pesan padanya melalui surat? Kau sudah benar-benar pantas menjadi seorang guru.”
Wajah Yilin merona, lalu ia menjawab, “Aku tinggal di Puncak Xianxing, sedangkan dia tinggal di Lembah Tong Yuan. Cara yang paling baik tentu saja melalui surat. Setelah menulis, Nenek Biksuni yang mengantarkan ke sana.”
“Aku hanya bercanda,” sahut Linghu Chong menggoda. “Lantas, apa yang dilaporkan Tian Boguang?”
Yilin menjawab dengan ragu-ragu, “Katanya di sana ia kebetulan melihat suatu perayaan. Sepertinya gurumu sedang menikahkan putrinya….”
Tiba-tiba wajah Linghu Chong berubah hebat mendengarnya. Seketika Yilin terkejut dan segera menutup mulutnya. Linghu Chong terlihat sangat susah. Napasnya memburu dan tenggorokannya seperti tersumbat. Sekuat tenaga ia berkata, “Teruskan… teruskan ceritamu. Aku tidak… apa-apa.”
Yilin menjawab lirih, “Kakak Linghu, kau jangan bersedih. Kakak Yihe dan Kakak Yiqing juga mengatakan meskipun Nona Ren adalah orang aliran sesat, tapi dia sangat cantik dan molek. Ilmu silatnya juga tinggi. Dalam setiap hal ia sepuluh kali lebih baik daripada Nona Yue.”
“Apa yang aku sedihkan?” ujar Linghu Chong dengan tersenyum getir. “Bila Adik Kecil mendapatkan jodoh yang baik, aku justru ikut merasa senang untuknya. Apakah Tian… Tian Boguang juga melihat adik kecilku?”
“Tian Boguang hanya melihat suasana begitu ramai di sana. Puncak Huashan dihias segala rupa. Banyak tamu-tamu dari berbagai golongan datang memberi selamat. Dan Tuan Yue ternyata tidak memberitahukannya kepada Perguruan Henshan kita. Sepertinya kita telah dipandang sebagai musuh.”
Linghu Chong mengangguk-angguk. Lalu Yilin melanjutkan, “Kakak Yu Sao dan Kakak Yiwen dengan maksud baik menyampaikan undangan kepada Perguruan Huashan. Mereka tidak mengirim utusan untuk mengucapkan selamat padamu sebagai ketua baru, sebaliknya malah menahan utusan. Maka menurut pendapat Kakak Yihe dan Kakak Yiqing, kita juga tidak perlu segan-segan lagi terhadap Perguruan Huashan yang tidak tahu aturan itu. Kelak kalau kita bertemu mereka di Gunung Songshan, secara tegas kita akan bertanya pada mereka dan menyuruh mereka membebaskan Kakak Yiwen berdua.”
Kembali Linghu Chong hanya mengangguk-angguk saja.
Melihat sikap Linghu Chong yang linglung itu, Yilin menghela napas dan menambahkan, “Kakak Linghu, hendaknya kau berhati-hati!” Usai berkata ia lantas berjalan meninggalkannya.

Melihat Yilin pergi semakin lama semakin jauh, tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Adik Yilin!”
Yilin berhenti dan menoleh ke belakang.
Linghu Chong bertanya padanya, “Yang menikah dengan Adik Kecil apakah… apakah….”
Yilin mengangguk. “Benar, laki-laki itu bermarga Lin.” Dengan langkah cepat ia mendekati Linghu Chong lalu memegang lengan baju pemuda itu dan berkata, “Kakak Linghu, orang bermarga Lin itu sedikit pun tidak bisa dibandingkan denganmu. Nona Yue memang ceroboh sehingga memilih menikah dengannya. Para kakak khawatir engkau bersedih, sehingga hal ini tetap dirahasiakan sampai sekarang. Akan tetapi Enam Dewa Lembah Persik mengatakan kalau ayahku dan Tian Boguang ada di dekat sini. Lagipula meskipun Tian Boguang tidak mengatakannya padamu, saat sampai di Gunung Songshan nanti kemungkinan besar kita akan bertemu dengan Nona Yue serta suaminya. Jika engkau tiba-tiba melihat dandanan Nona Yue telah berubah menjadi seorang pengantin baru, bisa jadi engkau akan… akan bingung dan urusan jadi runyam. Menurut pendapat para kakak, akan sangat baik jika Nona Ren berada di sampingmu. Para kakak menyuruhku agar menasihatimu supaya jangan memikirkan Nona Yue yang tidak punya pendirian itu.”
Linghu Chong tersenyum getir. Ia merasa bersyukur atas perhatian para murid Henshan terhadapnya. Pantas saja selama perjalanan ini mereka sangat baik dalam memberikan pelayanan. “Rupanya mereka khawatir hatiku berduka,” pikirnya. Tiba-tiba terasa pada telapak tangannya tertetes beberapa titik air. Ia terkejut dan berpaling, ternyata air mata Yilin yang berlinang-linang. “Hei, kenapa… kenapa kau menangis?”
“Aku… aku tidak tega melihat engkau berduka,” jawab Yilin. “Kakak Linghu, jika engkau ingin menangis, silakan menangis saja sepuasnya.”
“Hahaha, kenapa aku harus menangis?” ujar Linghu Chong sambil bergelak tawa. “Linghu Chong seorang pemuda bandel, sampai-sampai Guru dan Ibu Guru mengusirku dari Huashan. Mana mungkin hanya karena… hanya karena… Hahahaha!”
Sambil tertawa ia lantas berlari cepat ke depan. Sekali berlari ia tidak berhenti sehingga tanpa terasa sampai lebih 50 li jauhnya. Sampai di suatu tempat yang sepi, hatinya terasa sedih tak tertahankan. Ia menjatuhkan diri di tanah rumput dan menangis keras-keras.
Setelah menangis sekian lama barulah hatinya terasa lega. “Bila aku pulang saat ini tentu kedua mataku tampak merah sembap. Hal ini bisa menjadi bahan tertawaan Yihe dan yang lain. Lebih baik aku kembali kalau hari sudah gelap saja.” Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Tentu mereka sedang mencariku dan merasa khawatir bila tidak menemukan diriku. Menangis atau tertawa adalah hal biasa bagi setiap orang. Bagaimana perasaanku kepada Adik Kecil sudah diketahui semua orang. Sekarang dia menikah dengan orang lain, bila aku tidak berduka malah orang lain akan menuduh perasaanku palsu.”
Segera ia berlari kembali ke kuil bobrok tempat rombongannya menginap. Dilihatnya Yihe, Yiqing, dan yang lain sedang mencari-cari dirinya. Melihat sang ketua pulang, para murid perempuan itu menjadi lega dan gembira. Mereka telah menyediakan arak dan makanan di atas meja. Malam itu Linghu Chong minum sepuasnya sampai mabuk berat, kemudian ia pun tertidur.
Pada tanggal tiga belas sampailah rombongan dari Henshan itu di kaki Gunung Songshan. Ketika tiba tanggal lima belas tepat, pagi-pagi sekali Linghu Chong memimpin mereka berangkat menuju ke atas gunung. Sampai di pertengahan, di suatu gardu istirahat mereka disambut empat orang murid Songshan. Dengan sangat hormat mereka berkata, “Atas kunjungan Ketua Linghu dari Perguruan Henshan, kami dari Perguruan Songshan mengucapkan selamat datang dan terima kasih. Para paman dari Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah sejak kemarin tiba lebih dulu di sini. Maka sekarang lengkap sudah dengan kedatangan Ketua Linghu bersama para kakak dan adik dari Henshan.”
Linghu Chong terus saja mendaki ke atas gunung. Di sepanjang jalan pegunungan dilihatnya pada setiap beberapa li tampak beberapa murid Songshan menyambut dengan hidangan minuman dan makanan ringan. Cara mereka menyambut tamu sangat sopan dan teratur. Hal ini menunjukkan betapa persiapan Zuo Lengchan sangat rapi dan sepertinya ia berusaha menggunakan segala cara untuk mendapatkan kedudukan ketua Partai Lima Gunung.
Dalam perjalanan menuju puncak tersebut tampak datang lagi beberapa murid Songshan menyambut sebagai pemandu para tamu. Mereka memberi hormat dan berkata, “Para tokoh dan ketua Perguruan Kulun, Emei, Kongtong, dan Qingcheng juga telah datang di Gunung Songshan ini untuk ikut menyaksikan upacara pemilihan ketua Partai Lima Gunung. Ketua Linghu datang pada saat yang tepat. Para tamu yang lain sudah menunggu di atas sana. Mari!” Sikap murid-murid Songshan itu sangat angkuh. Kata-kata mereka pun bernada sombong seakan-akan jabatan ketua Partai Lima Gunung sudah pasti akan dipegang oleh perguruan mereka.
Setelah naik lagi sekian lama, terdengar suara gemuruh air yang cukup berisik. Tampak sebuah air terjun mengalir deras ke bawah jurang. Beramai-ramai mereka mendaki ke atas menyusuri pinggiran air terjun itu. Dengan bangga murid Songshan yang menjadi pemandu berkata, “Di atas sana itu yang disebut Puncak Kemenangan. Ketua Linghu, menurutmu adakah tempat di Gunung Henshan yang bisa dibandingkan dengan tempat ini?”
Linghu Chong menjawab, “Pemandangan di Gunung Henshan sama indahnya dengan Gunung Songshan ini.”
Orang itu berkata, “Gunung Songshan disebut sebagai pusat dunia sejak zaman Kerajaan Tang. Songshan juga menjadi kepala dari semua gunung di dunia. Ketua Linghu bisa melihat sendiri pemandangan seindah ini. Tidak heran kalau raja-raja dari berbagai dinasti selalu mendirikan ibu kota di kaki Gunung Songshan ini.” Di balik ucapannya itu ia hendak mengatakan bahwa Songshan adalah kepala dari semua gunung di dunia, maka Perguruan Songshan juga selalu menjadi pimpinan dari semua golongan persilatan.
Dengan tersenyum Linghu Chong menjawab, “Kaum persilatan macam kita ini entah ada hubungannya atau tidak dengan raja-raja dan kaum pembesar negeri. Apakah Ketua Zuo sering berhubungan dengan para pembesar kerajaan?”
Seketika muka murid Songshan itu menjadi merah dan ia tidak berbicara lagi.
Jalanan ke atas untuk selanjutnya semakin curam. Murid Songshan yang menjadi penunjuk jalan tadi kembali berkata sambil menunjuk beberapa tempat, “Yang itu adalah Dataran Lembah Hijau, sedangkan yang itu Puncak Lembah Hijau. Lalu yang ini adalah Jembatan Besi Besar, sementara yang itu adalah Jembatan Besi Kecil. Nah, kalau yang di sebelah kanan itu adalah Jurang Sepuluh Ribu, yang kedalamannya luar biasa.”
Murid Songshan itu kemudian memungut sebongkah batu dan melemparkannya ke dalam jurang. Begitu batu itu membentur dinding jurang terdengar suara yang sangat nyaring dan semakin lama semakin pelan dan akhirnya lenyap. Ini menunjukkan kalau jurang tersebut memang sangat dalam luar biasa.
Tiba-tiba Yihe bertanya, “Bolehkah aku bertanya kepada Saudara, berapa jumlah tamu yang akan datang ke Puncak Songshan?”
“Sekitar dua ribu orang,” jawab orang itu.
Yihe berkata, “Jika setiap ada orang yang datang kau menjatuhkan sebongkah batu ke dalam jurang itu, lama-lama gedung Perguruan Songshan bisa berpindah ke sana pula.”
Murid Songshan itu hanya mendengus tidak menanggapi ucapan Yihe.
Setelah melewati suatu tikungan, tiba-tiba kabut pun datang bertaburan. Kemudian di tengah jalan pegunungan itu tampak belasan laki-laki menghadang dengan senjata di tangan. Salah seorang di antaranya berseru dengan suara seram, “Apakah Linghu Chong akan datang ke sini? Kalau melihatnya, harap kawan-kawan sekalian sudi memberitahukannya padaku.”
Linghu Chong melihat orang yang sedang berbicara itu bercambang pendek, kaku, dan lebat. Wajahnya sangat seram, tapi kedua matanya ternyata buta. Ketika melihat orang-orang yang lain, ternyata semua juga buta. Linghu Chong terkesiap dan segera berseru, “Linghu Chong sudah berada di sini. Saudara ada perlu apa?”
Begitu mendengar “Linghu Chong sudah berada di sini”, serentak belasan orang buta itu berteriak-teriak mencaci maki. Dengan senjata masing-masing mereka menerjang maju sambil memaki, “Bangsat keparat Linghu Chong, kau telah membuat kami susah. Hari ini, biarlah kami mengadu nyawa denganmu.”
Linghu Chong segera teringat kejadian di sebuah kuil bobrok saat ia bersama rombongan Huashan diserang lima belas orang berkedok. Dengan menggunakan Sembilan Jurus Pedang Dugu yang baru saja dipelajarinya, Linghu Chong berhasil membutakan semua mata para penyerang itu. Tadinya ia tidak tahu asal-usul kelima belas orang tersebut. Namun kini ia menduga mereka pasti orang-orang suruhan Perguruan Songshan.
Dilihatnya keadaan di tempat itu pun cukup berbahaya. Bila kelima belas orang itu benar-benar mengadu nyawa dengannya, tentu akan sangat fatal akibatnya. Asalkan ada salah seorang saja yang berhasil memeluk dan mendorongnya, maka bukan mustahil ia akan tergelincir ke dalam Jurang Sepuluh Ribu dan gugur bersama musuh. Sementara itu murid Songshan yang menjadi pemandu tadi bersikap acuh tak acuh seakan-akan bersyukur atas apa yang akan terjadi.
Ia pun ingat dirinya pernah membunuh banyak murid Songshan saat menolong rombongan Perguruan Henshan di Lembah Tempa Pedang, juga membunuh dua sesepuh yang merebut jubah biksu berisi naskah Kitab pedang Penakluk Iblis di Kota Fuzhou. Sungguh wajar jika orang-orang Songshan kini mengharapkan kematiannya. Maka, ia hanya bisa bertanya, “Apakah kawan-kawan buta ini murid Perguruan Songshan? Jika benar, sudilah kiranya Saudara memberi perintah agar mereka mau memberi jalan.”
“Bukan, mereka bukan orang kami,” jawab si pemandu jalan sambil tertawa. “Silakan Ketua Linghu sendiri saja yang membereskan mereka.”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang membentak dengan suara menggelegar, “Biar orang tua ini yang membersihkan jalanmu!” Suara ini ternyata suara Biksu Bujie yang datang bersama cucu muridnya, yaitu Biksu Bujubujie alias Tian Boguang. Dengan langkah lebar biksu berbadan tinggi besar itu menerjang maju. Sekali gerak ia langsung mencengkeram dua orang murid Songshan, lantas melemparkan tubuh mereka ke arah kawanan orang buta itu sambil berseru, “Ini dia, Linghu Chong telah tiba!”
Serentak kawanan orang buta itu mengayunkan senjata masing-masing. Mereka membacok dan menebas serabutan. Untung kedua murid Songshan itu cukup tangkas. Saat tubuh mereka terapung di udara, mereka sempat mencabut pedang untuk menangkis sambil berteriak, “Kami orang Songshan. Kita kawan sendiri. Lekas menyingkir!”
Mendengar itu kawanan orang buta menjadi kelabakan dan kacau-balau. Mereka berusaha menghindar sedapat mungkin. Namun Bujie sudah lebih dulu menyusul ke depan. Kembali kedua murid Songshan itu tertangkap olehnya. “Jika kalian tidak menyuruh kawanan buta itu enyah dari sini, akan kulemparkan tubuh kalian ke jurang!” bentaknya.
Kemudian sang biksu besar pun mengerahkan tenaga sekuatnya. Kedua murid Songshan itu dilemparkannya ke atas. Meskipun berat badan mereka masing-masing ada lebih dari seratus kati, tapi tenaga Biksu Bujie sendiri terlalu kuat. Sekali lempar, kedua orang itu lantas melayang ke atas beberapa meter tingginya. Tentu saja kedua murid Songshan itu ketakutan setengah mati. Hampir-hampir sukma mereka terbang meninggalkan raga. Terdengar suara keduanya menjerit ngeri, karena membayangkan pasti akan terjatuh ke dalam Jurang Sepuluh Ribu yang tak terhingga dalamnya itu dan tubuh mereka tentu hancur lumat.
Namun sebelum kedua orang itu jatuh ke bawah, dengan sangat cepat Biksu Bujie kembali menangkap dan mencengkeram tengkuk mereka lalu mengancam, “Bagaimana? Apakah mau mencoba lagi?”
Salah satu dari mereka berseru ketakutan, “Ti…Tidak! Jang… Jangan!”
Seorang lagi agaknya lebih pintar. Tiba-tiba saja ia berseru, “Hei, Linghu Chong, hendak lari ke mana kau? Hayo kawan-kawan buta, lekas kejar ke sini. Lekas!”
Mendengar itu kawanan orang buta pun percaya dan serentak mereka mengejar.
Tian Boguang lantas membentak, “Hei, bocah tengik! Nama Ketua Linghu mana boleh kau sebut sembarangan begitu? Ini hadiah untukmu!” Usai berkata ia melayangkan dua pukulan ke wajah orang itu, kemudian berteriak, “Pendekar Linghu ada di sini! Ketua Linghu ada di sini! Orang buta mana yang berani, lekas kemari kalau minta diberi pelajaran!”
Sebenarnya kawanan orang buta itu telah dihasut oleh pihak Songshan agar menuntut balas kepada Linghu Chong. Maka, dengan sabar mereka menanti di jalan pegunungan itu. Namun ketika mendengar jeritan ngeri kedua murid Songshan tadi, mau tidak mau mereka merasa ngeri juga. Apalagi mereka telah berlari kian-kemari di jalan pegunungan itu dengan mata buta sehingga tidak tahu di mana sasaran sebenarnya. Kontan mereka pun bingung sendiri dan akhirnya hanya berdiri termenung di tempat masing-masing.
Linghu Chong, Biksu Bujie, Tian Boguang, dan murid-murid Henshan lainnya segera melewati kawanan orang buta itu untuk melanjutkan perjalanan ke atas. Tidak lama kemudian terlihat dua puncak gunung mengapit sebuah selat alam sehingga berwujud bagaikan sebuah pintu gerbang. Angin kencang datang meniup keluar dari selat itu disertai kabut awan.
Biksu Bujie tiba-tiba membentak, “Hei, kalian yang suka pamer, apa nama tempat ini? Kenapa kalian berubah jadi pendiam?”
Dengan tersenyum kecut salah satu murid Songshan tadi menjawab, “Ini namanya Gerbang Menghadap Langit.”
Setelah memutar ke arah barat laut dan menanjak tidak seberapa jauh, terdapat sebidang tanah lapang di puncak gunung. Di situ sudah berkumpul ribuan orang. Kedua murid Songshan yang memandu jalan tadi lantas mendahului naik ke situ untuk melapor. Sejenak kemudian terdengar suara tetabuhan menyambut kedatangan Linghu Chong dan rombongannya.
Zuo Lengchan mengenakan jubah kuning tampak datang menyambut bersama dua puluh orang muridnya. Mereka semua serentak memberi hormat kepada rombongan dari Perguruan Henshan tersebut.
Meskipun kedudukan Linghu Chong saat ini sebagai ketua Perguruan Henshan, namun ia sudah terbiasa memanggil “Paman Zuo”. Lagipula ia juga berasal dari angkatan yang lebih muda. Maka sambil membalas hormat ia berkata, “Keponakan Linghu Chong memberi hormat kepada Ketua Songshan.”
Zuo Lengchan menjawab, “Meskipun berpisah cukup lama, namun Saudara Linghu tampak bertambah segar. Seorang kesatria muda dan tampan menjadi ketua Perguruan Henshan, sungguh suatu peristiwa yang jarang ada di dunia persilatan. Sungguh patut diberi selamat.”
Linghu Chong sadar ucapan Zuo Lengchan itu sebenarnya hanyalah olok-olok belaka. Apalagi ucapan selamat tersebut dilakukan dengan wajah datar tanpa senyum sedikit pun. Perkataan Zuo Lengchan itu tidak lain hanya untuk mengejek Linghu Chong sebagai seorang pendekar muda namun memimpin kaum biksuni.
Maka Linghu Chong pun menjawab sewajarnya saja, “Ini semua hanyalah wasiat terakhir dari Biksuni Dingxian. Aku hanya ingin membalas kematian kedua biksuni sepuh. Bila tugas membalas dendam sudah tercapai, dengan sendirinya aku akan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan ketua kepada yang lebih bijaksana.” Melalui ucapan ini Linghu Chong bermaksud menyindir Zuo Lengchan yang diyakininya telah membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi di Biara Shaolin.
Akan tetapi air muka Zuo Lengchan ternyata tidak berubah sedikit pun, malah ia berkata, “Serikat Pedang Lima Gunung selamanya senasib sepenanggungan. Bahkan, untuk selanjutnya kelima perguruan akan dilebur menjadi satu sehingga masalah sakit hati kedua biksuni sepuh bukan hanya menjadi urusan Perguruan Henshan belaka, namun juga menjadi urusan Partai Lima Gunung kita. Saudara Linghu sudah membulatkan tekad, sungguh patut dipuji.” Ia berhenti sejenak kemudian melanjutkan, “Pendeta Tianmen dari Taishan, Tuan Besar Mo dari Hengshan, Tuan Yue dari Huashan, serta para undangan lainnya sudah berdatangan semua. Silakan Saudara Linghu bertemu dengan mereka.”
“Baik,” jawab Linghu Chong. “Apakah Biksu Fangzheng dari Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Wudang juga sudah datang?”
Dengan acuh tak acuh Zuo Lengchan menjawab, “Tempat tinggal mereka memang dekat dari sini. Namun mengingat kedudukan mereka berdua yang tinggi itu, rasanya tidak akan hadir.” Usai berkata demikian, ia memandang Linghu Chong dengan tatapan penuh kebencian.
Linghu Chong tercengang, namun kemudian paham. Tatapan kebencian itu tentu disebabkan oleh rasa cemburu atas kedatangan Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu secara pribadi ketika dirinya dilantik menjadi ketua Perguruan Henshan tempo hari.
(Bersambung)
Bagian 65 ; Bagian 66 ; Bagian 67