Bagian 9 - Murid Huashan Nomor Satu

Yilin menjawab, “Saya tetap tidak mau pergi. Saya berkata: ‘Kakak Lao, kau telah mempertaruhkan nyawa demi untuk menolongku; mana mungkin aku meninggalkanmu di sini? Jika Guru sampai tahu kalau aku kabur seperti pengecut, tentu Beliau akan membunuhku. Guru selalu mengatakan bahwa, meskipun murid-murid Perguruan Henshan semua adalah kaum wanita, namun kami selalu mengutamakan sikap kesatria tidak berbeda dengan laki-laki.”
“Bagus sekali, bagus sekali!” sahut Dingyi memuji. “Ucapanmu benar sekali. Kaum persilatan yang tidak mengutamakan rasa setia kawan, lebih baik mati saja; tidak peduli laki-laki atau perempuan.”
Melihat raut muka sang biksuni tua sedemikian bersungguh-sungguh, diam-diam para hadirin memuji keberanian dan semangat Dingyi jelas tidak kalah dibandingkan kaum laki-laki.
Terdengar Yilin menjawab, “Akan tetapi, Kakak Linghu justru memarahi saya. Dia berkata: ‘Dasar biksuni cilik sialan, persetan denganmu! Yang kau lakukan hanya omong kosong panjang lebar. Gara-gara kau masih di sini aku jadi tidak leluasa mengerahkan ilmu pedang Huashan yang mahasakti. Aku yang tua ini ternyata harus menerima takdir mati di tangan penjahat cabul di dalam sini. Jangan-jangan kau sudah bersekongkol dengan Tian Boguang untuk menjebakku di gua ini. Aku, Lao Denuo, memang bernasib sial karena bertemu biksuni sial seperti dirimu. Gara-gara dirimu masih berada di sini, aku tidak berani mengerahkan ilmu pedang Huashan yang paling ampuh. Aku takut kau ikut celaka menjadi korban kekuatan pedangku yang tidak pandang bulu. Baiklah kalau demikian. Tian Boguang, silakan kau penggal leherku dengan gerakan terbaikmu untuk mengakhiri semua ini. Aku yang tua tidak akan menolak takdir....”’
Semua kata-kata kotor yang diucapkan Linghu Chong diceritakan kembali oleh Yilin, namun menggunakan suara yang lembut dan manis sehingga terdengar menggelikan. Para hadirin mau tidak mau tersenyum juga mendengarnya.
Yilin melanjutkan, “Mendengar ucapannya itu, saya pun sadar tidak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Kakak Linghu karena ilmu silat saya sangat rendah. Justru dengan keberadaan saya di sana, Kakak Linghu semakin terdesak dan tidak mampu mengerahkan ilmu pedang Huashan yang mahasakti....”
Dingyi menukas, “Huh, ilmu pedang bocah itu biasa-biasa saja! Memangnya bagian mana yang disebutnya mahasakti?”
Yilin menjawab, “Guru, dia hanya ingin menakut-nakuti Tian Boguang. Saya lantas berkata kepadanya: Kakak Lao, aku pergi sekarang. Semoga kita bertemu kembali.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Lekas pergi dari sini, telur bebek busuk! Semakin jauh semakin bagus! Bertemu biksuni hanya membuatku kalah berjudi. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku ini gemar berjudi. Bertemu denganmu hanya membawa kesialan saja!’”
Dingyi yang sempat kagum kepada Linghu Chong tadi kini kembali gusar. Ia bangkit dari duduk dan bertanya, “Dasar bocah keparat! Yilin, apakah kau lantas pergi?’
“Saya terpaksa pergi karena khawatir membuat Kakak Linghu bertambah marah,” jawab Yilin. “Begitu saya pergi meninggalkan gua, segera terdengar kembali suara logam beradu, pertanda Kakak Linghu dan Tian Boguang melanjutkan pertarungan mereka. Jika Tian Boguang yang menang, tentu dia akan segera mengejar saya; namun jika Kakak Linghu yang menang, tentu dia akan kalah berjudi jika masih melihat saya. Maka itu, saya pun berlari sekencang-kencangnya. Waktu itu saya ingin sekali segera bertemu Guru. Saya ingin meminta Guru menghadapi si penjahat Tian Boguang itu.”
Dingyi mendengus sambil mengangguk.
Yilin lalu bertanya, “Guru, akhirnya Kakak Linghu mati dibunuh Luo Renjie. Apakah dia bernasib sial karena... karena bertemu saya?”
“Omong kosong!” jawab Dingyi gusar. “Untuk apa kau percaya dengan bualannya? Setiap hari banyak orang yang melihat kita; memangnya mereka bernasib sial semua?”
Para hadirin tersenyum geli mendengar pertanyaan Yilin yang polos itu. Namun demikian, tidak seorang pun yang berani bersuara karena segan terhadap Dingyi.
Yilin lalu melanjutkan ceritanya, “Saya pun berlari secepat mungkin tanpa berhenti sedikit pun. Ketika marahari terbit barulah saya memasuki Kota Hengyang. Saya merasa lega karena mengira bisa berjumpa Guru di sana. Baru saja memperlambat langkah, tahu-tahu Tian Boguang sudah berada di belakang saya. Seketika kaki saya terasa lemas dan lunglai. Saya kembali berlari namun baru beberapa langkah saja, orang itu sudah menangkap saya. Waktu itu saya sangat sedih memikirkan Kakak Linghu tentu sudah mati di dalam gua.
Pagi itu suasana Kota Hengyang sudah ramai. Banyak orang berlalu-lalang di jalanan sehingga Tian Boguang tidak berani berbuat kurang ajar terhadap saya. Ia hanya mengancam: ‘Jika kau tidak menimbulkan masalah, maka aku tidak akan berbuat kasar terhadapmu. Tapi kalau kau tidak menuruti perintahku, maka akan kulepaskan semua pakaianmu di sini biar menjadi tontonan banyak orang.’
Saya sangat ketakutan dan terpaksa menuruti penjahat itu. Dia berkata: ‘Biksuni cilik, kau ini memang sangat cantik bagaikan... bagaikan seekor belibis yang turun dari langit. Rumah Arak Huiyan terbuka untukmu. Marilah kita minum di sana sambil bersenang-senang.’
Saya menjawab: ‘Seorang biksuni tidak boleh minum arak dan makan daging. Ini juga menjadi larangan keras di Biara Awan Putih.’
Dia berkata: ‘Huh, di tempatmu banyak sekali peraturan aneh-aneh. Apa kau benar-benar ingin mematuhi semuanya? Hari ini akan kuajari kau bagaimana caranya melanggar peraturan. Semua peraturan dan tata tertib hanya untuk menipu orang saja. Gurumu itu... gurumu itu....’” Sampai di sini Yilin melirik ke arah Dingyi dan tidak berani melanjutkan.
“Ocehan keparat itu tidak perlu kau ceritakan,” sahut Dingyi gusar. “Selanjutnya bagaimana?”
Yilin menjawab, “Saya pun berkata kepadanya: ‘Guruku tidak seperti yang kau tuduhkan. Beliau tidak pernah minum arak atau makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi!’”
Mendengar jawaban Yilin meledaklah tawa para hadirin yang sejak tadi tertahan sekian lama. Meskipun Yilin memotong ceritanya tetap saja mereka bisa menebak kalau Tian Boguang telah menuduh Dingyi diam-diam suka melanggar pantangan. Dingyi sendiri tampak sangat malu dan berpikir, “Anak ini sungguh polos; tidak tahu mana yang pantas diceritakan, mana yang tidak.”
Yilin melanjutkan, “Penjahat itu kemudian menarik baju saya dan berkata: ‘Jika kau tidak mengikuti langkahku, maka jubahmu ini akan kutarik sampai robek.’
Saya terpaksa mengikuti Tian Boguang masuk ke dalam sebuah kedai besar yang bernama Rumah Arak Huiyan tadi. Kami duduk semeja di loteng atas. Guru, orang itu benar-benar jahat. Sudah tahu saya seorang biksuni masih saja dia memaksa supaya saya menemaninya minum arak dan makan daging. Kita ini pengikut Buddha, dilarang memakan daging; dan tidak mungkin saya melanggarnya. Biarlah dia menelanjangi saya di depan umum, asalkan itu semua bukan niat saya.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang pemuda mendatangi kami. Wajahnya terlihat pucat dan pakaiannya berlumuran darah. Sebilah pedang tergantung pula di pinggangnya. Tanpa banyak bicara ia langsung duduk semeja dengan kami dan langsung meneguk semangkuk arak yang dihidangkan Tian Boguang untuk saya. Begitu habis, mangkuk itu kemudian diisinya lagi dan diminumnya dalam sekali teguk. Ketika hendak minum untuk yang ketiga kalinya dia mengangkat mangkuknya dan berkata pada kami: ‘Mari, semuanya!’“
Mendengar suaranya itu perasaan saya terkejut dan sangat gembira. Ternyata dia adalah kakak dari Huashan yang berusaha menolong saya di dalam gua tadi. Buddha memberkatinya. Ternyata Kakak Linghu selamat dari tangan jahat Tian Boguang. Akan tetapi, luka di tubuhnya sangat parah. Tian Boguang sendiri mengamatinya dari atas ke bawah dengan seksama. Penjahat itu lalu berkata: ‘Kau rupanya!’
Kakak Linghu menjawab: ‘Benar, ini aku!’
Tian Boguang mengacungkan jempol dan memuji: ‘Laki-laki hebat!’
Kakak Linghu mengacungkan jempolnya pula dan menjawab: ‘Ilmu golok hebat!’
Keduanya pun bergelak tawa dan minum bersama. Saya benar-benar terkejut. Semalam mereka bertarung mati-matian, tapi pagi itu minum bersama dengan akrab. Saya senang melihat Kakak Linghu tidak mati; tapi saya juga khawatir kalau dia ternyata teman Tian Boguang.
Tian Boguang lantas berkata: ‘Aku pernah mendengar bahwa Lao Denuo sudah tua bangka. Dia memiliki kakak seperguruan yang usianya jauh lebih muda bernama Linghu Chong. Melihat usiamu ini, jelas kau ini bukan Lao Denuo.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Aku memang bukan Lao Denuo.’
Tian Boguang memukul meja sambil berseru: ‘Aha, kalau demikian kau ini pasti Linghu Chong, pemuda dari Huashan yang terkenal gagah berani.’
Pada saat itulah saya baru mengetahui kalau nama asli penolong saya adalah Linghu Chong, bukan Lao Denuo. Dia sama sekali belum tua. Mungkin usianya belum ada dua puluh lima.
Kemudian Kakak Linghu menjawab: ‘Saudara Tian terlalu memuji. Linghu Chong yang kau sebut gagah berani ini telah bertekuk lutut di bawah ilmu golokmu yang luar biasa. Sungguh memalukan.’
Tian Boguang tertawa dan berkata: ‘Tanpa bertarung, tidak akan terjadi perkenalan. Bagaimana kalau kita berteman saja? Kalau Saudara Linghu menyukai biksuni cilik ini, aku bersedia mengalah. Kaum laki-laki seperti kita lebih mengutamakan persahabatan daripada urusan perempuan.’”
“Kurang ajar!” sahut Dingyi menukas dengan muka merah padam. “Bajingan itu... bajingan itu....”
Yilin hampir saja menangis ketika melanjutkan, “Kakak Linghu kemudian berkata: ‘Saudara Tian, biksuni cilik ini wajahnya pucat sepeti mayat. Tiap hari dia hanya makan sayuran dan kacang. Percuma wajahnya cantik kalau tidak menarik. Apalagi aku paling tidak suka dengan kaum biksuni. Bahkan, aku ingin membantai habis semua biksuni yang ada di muka bumi.’
‘Mengapa?’ tanya Tian Boguang.
Kakak Linghu berkata: ‘Terus terang, aku punya suatu kegemaran, yaitu berjudi. Aku sangat senang berjudi. Judi adalah hidupku. Setiap bertemu dadu, aku langsung lupa segalanya, bahkan namaku sendiri. Namun jika melihat biksuni, aku selalu kalah bertaruh. Kejadian ini tidak hanya sekali dua kali, namun sudah berkali-kali. Tidak hanya aku saja, saudara-saudaraku dari Huashan sebenarnya juga muak kalau bertemu para bibi dan saudari dari Henshan. Kelihatannya kami bersikap ramah tamah, padahal sebenarnya dalam hati kami merasa sial.’”
Mendengar itu Dingyi tidak tahan lagi. Tanpa ampun dia langsung menampar pipi Lao Denuo satu kali. Gerakan tangannya ini sangat cepat dan juga keras. Lao Denuo yang bernasib sial itu tidak sempat menghindar. Seketika kepalanya terasa pusing dan hampir saja ia jatuh di lantai.
Liu Zhengfeng tersenyum dan berkata, “Kakak Dingyi, mengapa kau harus marah? Keponakan Linghu bicara sembarangan hanya untuk menyelamatkan muridmu yang jelita ini saja. Ia hanya berusaha agar Tian Boguang bersedia melepaskan Yilin.”
Dingyi menyahut, “Jadi menurutmu, ini semua demi menolong Yilin?”
“Aku yakin demikian,” jawab Liu Zhengfeng sambil mengangguk. “Keponakan Yilin, bagaimana menurutmu?”
Yilin menunduk dan berkata lirih, “Sebenarnya... sebenarnya Kakak Linghu sangat baik. Hanya saja, ia suka berbicara kotor. Tapi kalau Guru marah, saya tidak berani bercerita lagi.”
“Ceritakan saja, ceritakan saja semuanya!” sahut Dingyi gusar. “Aku jadi ingin tahu apa saja yang dikatakan bocah sialan itu. Jika dia memang benar-benar bajingan, aku akan membuat perhitungan dengan si tua Yue, gurunya.”
Yilin masih menundukkan kepala. Sedikit pun ia tidak berani bercerita kembali.
Dingyi berseru, “Lekas lanjutkan! Kau jangan terlalu membelanya. Kami bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk berdasarkan ceritamu.”
“Baik, Guru” sahut Yilin. “Kemudian Kakak Linghu kembali berkata: ‘Saudara Tian, kita hidup di dunia persilatan ini setiap saat tidak luput dari adu senjata. Meskipun memiliki ilmu silat tinggi, tapi kalau bernasib sial tentu jiwanya akan celaka. Betul tidak? Apabila kita bertemu musuh yang berkepandaian sama, tentu hasil akhirnya sangat tergantung pada nasib dan keberuntungan. Biksuni cilik ini kurus kering seperti ayam. Meskipun wajahnya cantik seperti dewi kahyangan, tetap saja aku tidak tertarik sama sekali. Sebagai manusia sudah tentu aku lebih mementingkan keselamatan nyawa. Lebih mementingkan perempuan daripada persahabatan adalah salah; lebih memntingkan perempuan daripada keselamatan adalah keliru. Kaum biksuni adalah pembawa sial, maka sebaiknya jangan sekali-kali kita menyentuh dia.’
Tian Boguang tertawa dan menjawab: ‘Saudara Linghu, aku kira kau ini seorang pria yang tidak kenal takut. Hm, ternyata kau begitu ketakutan melihat biksuni cilik ini.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Tentu saja. Aku punya banyak pengalaman buruk dengan biksuni. Setiap kali melihat biksuni lewat aku pasti bernasib sial. Hal ini sudah terjadi berkali-kali. Sebagai contoh, tadi malam aku hanya mendengar suara biksuni ini saja namun harus merasakan tiga kali sabetan golokmu. Apa ini bukan nasib sial namanya?’
Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dan berkata: ‘Benar juga ucapanmu, Saudara Linghu!’
Kakak Linghu menjawab: ‘Saudara Tian, aku ini tidak sudi bicara dengan kaum biksuni. Sebaiknya kau biarkan saja dia pergi sejauh-jauhnya agar kita bisa menikmati arak ini sampai puas. Setulus hati aku memberikan nasihat kepadamu. Sedikit saja kau menyentuh seorang biksuni, maka nasib sial akan selalu menyertaimu. Sepanjang perjalanan kau berkelana di dunia persilatan, masalah demi masalah akan selalu mendatangimu. Kecuali, kalau kau menjadi seorang biksu. Aku heran, mengapa kau berani bermain-main dengan salah satu dari tiga racun paling berbahaya di dunia?’
Tian Boguang bertanya: ‘Tiga racun paling berbahaya? Apa saja itu?’
Kakak Linghu terihat heran dan balik bertanya: ‘Aneh, padahal kau ini sudah berkelana ke mana-mana, tapi ternyata belum mengetahui tiga jenis racun paling berbahaya di muka bumi. Baiklah aku katakan kepadamu, tiga racun tersebut adalah biksuni, warangan, dan ular belang emas. Aku bersumpah demi kahyangan, bahwa biksuni adalah yang paling beracun di antara semua jenis racun. Semua murid laki-laki dalam Serikat Pedang Lima Gunung sudah mengetahui akan hal ini, memangnya kau tidak takut?’”
Kemarahan Dingyi meledak bagaikan gunung meletus. Tangannya menggebrak meja dan mulutnya memaki, “Dasar kepa....” Namun demikian, ia sempat menahan diri sehingga tidak sampai mengeluarkan kata-kata kotor.
Lao Denuo yang baru saja ditampar sang biksuni tua kini berusaha menjaga jarak dengannya. Melihat Dingyi kembali marah-marah, ia pun mundur semakin jauh.
Liu Zhengfeng berkata, “Meskipun Keponakan Linghu bermaksud baik, namun mulutnya terkesan lancang dan suka bicara omong kosong melebihi batas. Tapi harus diakui, untuk menghadapi penjahat sakti seperti Tian Boguang memang harus pandai berdusta seperti yang dilakukannya. Membohongi seorang penjahat adalah suatu hal yang sangat sulit.”
Yilin menyahut, “Jadi menurut Paman Liu, Kakak Linghu hanya berdusta saja? Jadi dia hanya ingin menipu Tian Boguang?”
“Tentu saja,” jawab Liu Zhengfeng. “Mana mungkin kaum laki-laki Serikat Pedang Lima Gunung memiliki keyakinan konyol seperti itu; bahwa biksuni adalah racun paling mematikan? Esok lusa adalah hari upacara pengunduran diriku. Jika benar kaum biksuni adalah racun, mana mungkin aku mengundang para kakak dan keponakan dari Perguruan Henshan yang mulia? Justru aku sangat menghormati Kakak Dingyi dan mengharap kehadiran kalian semua di rumahku ini.”
Mendengar penjelasan Liu Zhengfeng itu, wajah Dingyi terlihat sedikit tenang. Namun ia masih saja memaki, “Huh, mulut Linghu Chong yang kotor itu entah hasil didikan siapa?” Perkataannya ini seolah menyindir guru Linghu Chong, atau ketua Perguruan Huashan.
“Kakak Dingyi jangan marah,” ujar Liu Zhengfeng. “Tian Boguang adalah penjahat berilmu tinggi. Aku yakin Keponakan Linghu merasa tidak sanggup mengalahkannya dalam pertarungan, sehingga menggunakan kata-kata yang kotor dan kasar untuk membebaskan Keponakan Yilin. Coba pikir, Tian Boguang sudah berkelana ke mana-mana, tentu pengalamannya sedemikian luas. Untuk membohongi manusia seperti dia diperlukan kata-kata yang tepat meskipun ada pihak lain yang harus tersinggung. Kita hidup di dunia persilatan, sekali-kali tentu bertemu dengan masalah sulit seperti ini. Tentu saja Tuan Yue dan segenap Perguruan Huashan sangat menghormati Perguruan Henshan yang mulia. Apabila Keponakan Linghu tidak menghormati tiga biksuni sepuh, mana mungkin dia begitu mati-matian berusaha menyelamatkan seorang murid Henshan?”
“Terima kasih atas penjelasanmu, Adik Liu,” sahut Dingyi sambil mengangguk. Ia lantas bertanya kepada Yilin, “Apakah Tian Boguang kemudian membebaskanmu?”
“Tidak juga,” jawab Yilin. “Waktu itu Kakak Linghu terus-menerus berusaha meyakinkannya. Ia berkata: ‘Saudara Tian, ilmu ringan tubuhmu nomor satu di dunia. Namun jika kau terkena kutukan karena menyentuh biksuni, maka semua kehebatanmu hanya sia-sia belaka.’
Tian Boguang terlihat ragu-ragu dan memandang sejenak ke arah saya, kemudian berkata: ‘Terima kasih atas nasihat Saudara Linghu. Aku biasa berkelana seorang diri ke mana-mana. Hidup atau mati bukan hal yang penting bagiku. Apalagi yang harus aku takutkan? Kita sudah terlanjur bertemu dengan biksuni ini, bukankah sebaiknya kita biarkan saja dia tetap di sini untuk menemani kita minum?”
Pada saat itulah tiba-tiba seorang pemuda yang duduk di meja sebelah menerjang ke arah kami sambil menghunus pedang. Ia membentak: ‘Apakah kau ini... kau ini bernama Tian Boguang?’
‘Benar, akulah orangnya,’ jawab Tian Boguang. ‘Memangnya kenapa?’
Pemuda itu berkata: ‘Kau penjahat cabul, aku akan membunuhmu! Setiap orang persilatan menginginkan kepalamu, tapi kau malah enak-enakan minum di sini. Benar-benar mencari mampus.’
Usai berkata ia langsung mengayunkan pedangnya menggunakan jurus Perguruan Taishan. Pemuda itu... pemuda itu adalah dia!” kata Yilin sambil menunjuk ke arah mayat yang tergeletak di atas papan pintu.
“Dia adalah muridku,” sahut Pendeta Tianmen sambil mengangguk. “Chi Baicheng, Chi Baicheng, kau sungguh bocah pintar.”
Yilin melanjutkan, “Tian Boguang bergerak secepat kilat dan tahu-tahu tangannya sudah memegang golok. Kemudian ia berkata sambil tersenyum: ‘Sudahlah, sudahlah! Mari minum lagi, mari minum lagi!’ Usai berkata ia lantas menyarungkan kembali goloknya di pinggang.
Tidak seorang pun di loteng rumah arak tersebut yang mengetahui dengan jelas, apa yang sebenarnya telah terjadi. Entah bagaimana, tiba-tiba dada kakak dari Taishan itu sudah terluka dan menyemburkan darah. Ia memandangi Tian Boguang dengan sorot mata tajam, kemudian roboh di lantai.”
Yilin kemudian menoleh ke arah Pendeta Tiansong yang terbaring di samping mayat Chi Baicheng, kemudian melanjutkan, “Paman dari Taishan itu lantas maju menyerang Tian Boguang dengan pedangnya pula. Tentu saja ilmu silat paman itu lebih hebat daripada keponakannya tadi. Namun, Tian Boguang mampu menangkis semua serangannya sambil tetap duduk di atas bangku. Tiga puluh jurus terlewati namun penjahat itu tidak juga berdiri. Ia mampu mengatasi semua serangan paman itu.”
Pendeta Tianmen tertegun mendengarnya. Ia kemudian menoleh kepada Tiansong dan bertanya, “Adik, apakah ilmu silat penjahat itu sedemikian hebat?”
Tiansong tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang kemudian memalingkan muka ke arah lain.
Yilin melanjutkan, “Pada saat itulah Kakak Linghu melolos pedangnya dan segera menyerang Tian Boguang. Penjahat itu langsung berdiri dan menangkis....”
“Apa kau tidak salah?” sela Dingyi. “Pendeta Tiansong menyerang dengan tiga puluh jurus namun tidak mampu membuatnya berdiri. Mengapa serangan Linghu Chong yang hanya sekali langsung membuat keparat itu bangun? Memangnya ilmu silat Linghu Chong lebih hebat daripada Pendeta Tiansong?”
Yilin menjawab, “Begitulah yang terjadi. Tian Boguang berkata: ‘Saudara Linghu sudah kuanggap sebagai kawan yang sederajat. Karena kau menyerangku sambil berdiri, maka aku pun ikut berdiri. Jika aku tetap saja duduk di sini, itu berarti aku tidak menghormati dirimu. Meskipun ilmu silatku jauh lebih hebat, namun tidak sepantasnya aku menghina dirimu. Nah, kalau menghadapi si hidung... hidung kerbau itu, maka ceritanya tentu lain.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Terima kasih atas pujianmu. Aku tidak pantas menerima penghormatan setinggi ini.’ Usai berkata, ia kembali menyerang Tian Boguang sebanyak tiga kali. Guru, tiga serangan Kakak Linghu ini sungguh cepat dan mengerikan. Sinar pedangnya terlihat mengepung rapat tubuh Tian Boguang....”
Dingyi menukas, “Itu adalah jurus Tiga Puncak Gunung Huashan, ciptaan si tua Yue. Konon, serangan kedua lebih hebat daripada yang pertama, dan yang ketiga lebih hebat daripada yang kedua. Lantas, bagaimana cara Tian Boguang menangkisnya?”
Yilin menjawab, “Tiap kali menangkis, Tian Boguang mundur satu langkah. Jadi, ia mundur sebanyak tiga langkah. Sambil mundur ia memuji: ‘Jurus bagus!’. Ia kemudian berpaling ke arah Paman Tiansong dan bertanya: ‘Hidung kerbau, kenapa kau tidak bergabung mengeroyok aku?’ Memang, sejak Kakak Linghu menyerang untuk yang pertama kalinya, Paman Tiansong langsung melangkah mundur.
Paman Tiansong menjawab: ‘Aku seorang kesatria dari Perguruan Taishan. Mana mungkin aku merendahkan diriku sendiri dengan bertarung melawan penjahat busuk seperti dirimu?’
Saya pun menyahut: ‘Paman jangan salah paham! Kakak Linghu orang yang baik.’
Paman Tiansong menjawab: ‘Orang baik apanya? Mungkin yang benar, dia adalah begundal Tian Boguang yang paling baik.’ Usai berkata demikian tiba-tiba Paman Tiansong menjerit kesakitan. Beliau mendekap dada sambil memandang heran.
Saya melihat darah mengalir melalui sela-sela jari tangan Paman Tiansong. Entah ilmu apa yang dipakai Tian Boguang, tahu-tahu ia sudah melukai dada Paman Tiansong. Padahal, sama sekali saya tidak melihatnya menggerakkan tangan atau mengayunkan golok. Sudah pasti serangannya sangat cepat dan tak terlihat. Saya pun menjerit: ‘Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia!’
Tian Boguang menjawab: ‘Baiklah, karena si cantik yang meminta, maka aku tidak akan membunuhmu.’
Segera Paman Tiansong berlari menuruni tangga loteng. Kakak Linghu berniat menyusul tapi dicegah Tian Boguang. “Saudara Linghu tidak perlu menolongnya. Si hidung kerbau itu sangat sombong; untuk apa kau mempermalukan dirimu sendiri? Lebih baik di sini saja, kita lanjutkan minum bersama.’
Kakak Linghu mengangguk dan kembali duduk dengan tersenyum dingin. Ia kemudian menuang arak dan meminumnya sampai habis dua mangkuk.
Guru, salah satu larangan utama dalam agama kita adalah tidak boleh minum arak. Meskipun Kakak Linghu bukan pengikut Buddha, namun tidak sebaiknya ia minum arak tanpa henti seperti itu. Arak sangat buruk untuk kesehatannya. Namun saya tidak berani menasihatinya. Saya takut dia kembali memaki: ‘Setiap kali melihat biksuni....’”
“Sudahlah, sudahlah, dia tidak akan mengucapkan kalimat gila itu lagi untuk selamanya,” sahut Dingyi.
“Benar, Guru,” jawab Yilin sedih.
“Apa yang terjadi setelah itu?” tanya Dingyi.
Yilin menjawab, “Kemudian Tian Boguang berkata: ‘Hidung kerbau tadi terhitung lumayan juga. Serangan golokku sangat cepat dan mematikan, namun dia sempat mundur beberapa senti sehingga lolos dari kematian. Hm, ilmu silat Perguruan Taishan ternyata bukan nama kosong. Saudara Linghu, karena si hidung kerbau tadi dapat meloloskan diri, tentu di kemudian hari dia akan mendatangkan kesulitan bagimu. Sebenarnya aku ingin membunuhnya; namun sayang, dia berhasil menghindari seranganku.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Setiap hari aku selalu bertemu masalah. Lupakan saja semuanya, dan sebaiknya kita minum lagi. Kalau serangan Saudara Tian tadi ditujukan kepadaku, tentu aku sudah mati dan tidak sempat menghindarinya. Ilmu silatku jelas tidak sehebat Paman Tiansong.’
Tian Boguang menjawab: ‘Sebenarnya aku tadi menghadapi dirimu hanya dengan setengah kekuatan saja. Itu semua sebagai balas budi karena tadi malam kau sudah berbaik hati mengampuni nyawaku.
Waktu itu saya merasa sangat bingung. Jangan-jangan dalam pertarungan tadi malam Kakak Linghu berhasil mengalahkan Tian Boguang dan mengampuni nyawanya.”
Para hadirin terkejut pula mendengar hal ini. Mereka sama-sama berpikir, tidak seharusnya Linghu Chong mengampuni seorang penjahat cabul semacam Tian Boguang.
Terdengar Yilin kembali bercerita, “Kakak Linghu kemudian menjawab: ‘Dalam pertarungan di gua tadi malam aku sudah mengerahkan segenap kemampuan. Ilmu silatku jauh lebih rendah darimu; mana mungkin aku berani mengaku telah bermurah hati kepadamu?’
Tian Boguang menjawab: ‘Bukankah tadi malam sewaktu aku memburu kalian di dalam gua, kau telah menusuk bahuku? Waktu itu aku hanya mendengar suara biksuni cilik ini, sedangkan kau telah menahan napasmu. Aku sama sekali tidak mengetahui keberadaanmu, tapi kau bersikap kesatria dengan menusukku secara perlahan saja. Saudara Linghu, sebenarnya kau bisa saja membunuhku dengan mudah. Bagiku kau bukan pemuda biasa, tapi seorang laki-laki sejati yang tidak sudi membunuh orang lain secara licik.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Tadi malam aku tidak tahan melihatmu mendekati biksuni ini. Meskipun aku tidak suka terhadap biksuni, namun aku juga tidak suka menyaksikan pemerkosaan. Apalagi dia ini murid Perguruan Henshan. Sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung, mana mungkin aku berpeluk tangan menyaksikan saudaraku disakiti? Maka itu, aku pun menusukmu sebelum kau mendekatinya.’
Tian Boguang berkata: ‘Meskipun demikian, andai saja kau dorong pedangmu dua atau tiga senti lagi, tentu nyawaku sudah melayang. Tapi mengapa ketika pedangmu sudah mengenai sasaran tiba-tiba kau tarik kembali?’
Kakak Linghu menjawab: ‘Sebagai murid Huashan sejak kecil aku dididik guruku untuk selalu bersikap kesatria. Aku tidak akan membunuh musuh secara diam-diam. Kau lebih dulu menebas bahuku, sebagai gantinya kutusuk bahumu; bukankah itu adil? Sekarang kita sama-sama tidak saling berhutang. Kalau bertempur lagi tidak perlu segan!’
Tian Boguang tertawa dan berkata: ‘Bagus sekali, bagus sekali! Aku senang bisa berteman denganmu. Mari kita habiskan semua arak di meja ini.’
Kakak Linghu berkata: ‘Ilmu silatmu lebih hebat. Tapi kalau urusan minum arak, belum tentu aku kalah darimu, Saudara Tian.’
Tian Boguang menegas: ‘Apa? Jadi, kau hendak menantangku adu minum? Boleh juga. Mari kita minum sepuluh mangkuk sekaligus!’
Kakak Linghu menjawab: ‘Saudara Tian, kupikir kau ini seorang laki-laki sejati, tapi kau sengaja menantangku dalam keadaan seperti ini. Kau sengaja hendak mengambil keuntungan dalam kelemahanku. Hm, ternyata aku sudah salah sangka terhadapmu. Dalam hal ini aku sungguh menyesal.’
Tian Boguang melirik Kakak Linghu dan bertanya: ‘Mengambil keuntungan bagaimana?’
Kakak Linghu menjawab: ‘Kau sendiri tahu kalau aku ini paling muak melihat biksuni. Begitu melihat dia, selera minumku langsung hilang. Bagaimana aku bisa melayanimu adu minum kalau dia masih ada di sini?’
Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dan berkata: ‘Saudara Linghu, kau ini memang sangat licik. Kau gunakan segala tipu muslihat untuk membebaskan biksuni cilik ini. Akan tetapi, aku menyukai wanita cantik melebihi segalanya. Aku telah menangkap biksuni cilik ini, dan aku tidak akan pernah melepaskannya. Apabila kau ingin aku melepaskannya, maka kau harus menerima syarat dariku.’
Kakak Linghu bertanya: ‘Syarat macam apa? Cepat katakan! Sekalipun harus naik ke gunung pedang, atau terjun ke dalam minyak mendidih juga aku tidak takut. Jika aku tidak berani menerima syarat darimu, maka aku bukan laki-laki sejati.’
Tian Boguang menuang arak pada guci ke dalam dua mangkuk, lalu berkata: ‘Mari minum dulu sebelum aku jelaskan apa persyaratannya.’
Kakak Linghu langsung mengambil satu mangkuk dan meneguk habis isinya, sedangkan Tian Boguang mengambil mangkuk yang satunya lagi. Setelah minum, penjahat itu berkata: ‘Saudara Linghu, kau ini sudah kuanggap sebagai teman. Dalam dunia persilatan ada pantangan mengganggu istri seorang teman. Maka itu, aku memintamu untuk menikahi... menikahi... menikahi biksuni cilik ini....’” Raut muka Yilin bersemu merah dan bicaranya terputus-putus ketika menceritakan bagian ini. Kepalanya pun tertunduk dan suaranya semakin lirih.
“Omong kosong!” bentak Dingyi sambil kembali menggebrak meja. “Benar-benar manusia cabul yang tidak tahu adat. Lalu bagaimana setelah itu?”
Yilin menjawab dengan suara lembut, “Tian Boguang terus saja mengoceh untuk mendesak Kakak Linghu. Ia berkata: ‘Seorang laki-laki sejati pantang menjilat ludahnya sendiri. Perkataan yang sudah diucapkan bagaikan kereta kuda yang tidak bisa ditarik mundur. Apabila kau menikahi... menikahi biksuni cilik ini, maka aku akan melepaskannya. Tidak hanya itu, aku bahkan membungkuk kepadanya dan menaruh penghormatan besar kepada biksuni cilik ini. Inilah syarat yang aku ajukan.’
Kakak Linghu menjawab: ‘Huh, kau suruh aku menikahinya? Apa kau ingin membuatku sial seumur hidup? Sudahlah, kau cari syarat yang lain saja!’
Tapi Tian Boguang terus saja mengoceh. Katanya kalau biksuni memelihara rambut tentu tidak bisa disebut biksuni lagi. Dia terus berkata macam-macam. Entah apa yang diucapkannya karena saya memejamkan mata dan menutup kedua telinga.
Kakak Linghu akhirnya membentak: ‘Tutup mulutmu! Persetan dengan syaratmu itu! Kita ini kaum persilatan. Syarat yang paling baik adalah bertempur sampai salah satu dari kita mati.’”
Tian Boguang menjawab dengan wajah mengejek: ‘Kalau bertarung jelas kau ini bukan tandinganku.’
‘Memang benar,’ jawab Kakak Linghu. ‘Kalau bertempur sambil berdiri, memang aku bukan tandinganmu. Pertama, karena ilmu ringan tubuhmu sangat sempurna; kedua, karena aku sendiri sudah terluka dan kehilangan banyak darah. Oleh karena itu, aku menantangmu bertarung sambil duduk.’”
Mendengar sampai di sini para hadirin terkejut bukan main. Mereka masih ingat cerita Yilin tentang betapa hebatnya ilmu silat Tian Boguang. Sambil tetap duduk di atas bangku, penjahat itu telah membunuh Chi Baicheng dalam sekali serang; juga bagaimana dia menangkis semua serangan Pendeta Tiansong sebanyak tiga puluh jurus tanpa bangkit sedikit pun. Akan tetapi, Linghu Chong justru menantangnya bertarung sambil duduk.
He Sanqi mengangguk dan berkata, “Apa yang dilakukan Linghu Chong sungguh cerdik. Menghadapi penjahat seperti Tian Boguang memang harus dipancing kemarahannya terlebih dulu.”
Yilin berkata, “Namun Tian Boguang sama sekali tidak marah mendengar tantangan itu. Dia justru memuji: ‘Saudara Linghu, aku mengagumi keberanianmu, tapi tidak kagum terhadap ilmu silatmu.’
Kakak Linghu membalas: ‘Aku mengagumi ilmu golokmu yang dilakukan sambil berdiri, bukan ilmu golok sambil duduk.’
Tian Boguang bergelak tawa dan berkata: ‘Ada satu hal yang tidak kau ketahui. Sewaktu masih remaja, aku pernah menderita sakit lumpuh. Selama dua tahun aku berlatih golok sambil duduk. Boleh dikata, bertarung sambil duduk adalah keahlianku yang sangat istimewa. Bukankah tadi kau melihat sendiri bagaimana aku menghadapi si hidung... si hidung... si pendeta dari Taishan tanpa berdiri sedikit pun? Sebenarnya aku tidak bermaksud merendahkannya, namun hanya sekadar memperagakan kehalianku yang satu itu. Dalam hal ini, jelas kau bukan tandinganku, Saudara Linghu.’
Dengan tenang Kakak Linghu menjawab: ‘Saudara Tian, ada satu hal pula yang tidak kau ketahui. Karena sakit lumpuh, kau telah berlatih ilmu golok sambil duduk selama dua tahun. Hm, hanya dua tahun saja. Padahal, hampir setiap hari aku berlatih ilmu pedang sambil duduk. Ilmu silatku memang lebih rendah darimu. Namun, untuk yang satu ini jelas kepandaianku lebih tinggi.’”
Mendengar sampai di sini para hadirin serentak berpaling ke arah Lao Denuo seolah ingin tahu apakah Perguruan Huashan memang memiliki teknik bertarung sambil duduk. Lao Denuo yang menyadari isi pikiran mereka buru-buru menggeleng sambil menjawab, “Tidak, tidak benar. Dalam perguruan kami tidak terdapat ilmu pedang sambil duduk. Kakak Pertama hanya bercanda.”
Yilin melanjutkan ceritanya, “Begitulah, Tian Boguang juga merasa heran. Ia pun berkata: ‘Apa benar demikian, Saudara Linghu? Wah, pengalamanku benar-benar sempit. Aku jadi penasaran ingin melihat seperti apa ilmu pedang Huashan sambil duduk itu. Kalau boleh tahu, apa nama jurus tersebut?’
Kakak Linghu menjawab: ‘Ilmu pedang sambil duduk ini bukan ajaran guruku, melainkan hasil ciptaanku sendiri.’
Tian Boguang terkesima dan memuji: ‘Saudara Linghu, kau ini benar-benar pandai dan berbakat. Sungguh mengagumkan!’”
Para hadirin memaklumi mengapa Tian Boguang berkata demikian. Bagi seorang pesilat, menciptakan jurus baru merupakan suatu hal yang sangat sulit. Hanya seorang tokoh papan atas yang berilmu tinggi atau berwawasan luas saja yang bisa melakukannya. Sebuah perguruan ternama seperti Huashan telah berdiri selama ratusan tahun dan setiap jurus-jurusnya telah diperbaiki dan diuji ribuan kali. Untuk memperbaiki satu jurus saja bukanlah hal yang mudah; apalagi menciptakan sebuah jurus baru.
Diam-diam Lao Denuo merasa heran. Ia berpikir, “Apakah Kakak Pertama telah menciptakan sebuah jurus pedang baru? Mengapa ia tidak pernah cerita kepada Guru?”
Yilin melanjutkan, “Waktu itu Kakak Linghu tertawa dan berkata: ‘Ilmu pedang ciptaanku ini sangat bau; kau tidak perlu mengaguminya.’
Tian Boguang heran dan bertanya: ‘Mengapa demikian? Jurus pedang biasanya disebut bagus atau buruk, kenapa yang ini kau sebut bau?’
Kakak Linghu menjawab: ‘Terus terang saja, jurus pedang ini kuciptakan berdasarkan pengalamanku pribadi. Setiap pagi aku buang hajat di dalam kakus, dan selalu saja ada lalat yang terbang kesana-kemari membuatku kesal. Maka itu, setiap kali masuk kakus aku pun membawa pedang untuk menusuk lalat-lalat yang beterbangan itu. Pada awalnya memang sangat sulit. Namun, hari-hari berikutnya tusukanku semakin jitu. Setiap kali menusuk selalu tepat sasaran. Akhirnya, tangan dan perasaanku dapat bekerja selaras. Kebiasaanku ini menjadi sebuah ilmu pedang baru. Karena ilmu pedang ini kuciptakan di dalam kakus, maka jangan heran kalau ilmu pedang ciptaanku ini kusebut bau.’
Saya pun tertawa geli mendengar penjelasan Kakak Linghu yang jenaka itu. Sebaliknya, Tian Boguang merasa sangat terhina. Ia berkata: ‘Linghu Chong, aku menganggapmu sebagai teman yang sederajat, tapi kau justru menyamakan aku dengan lalat kakus. Kalau begitu aku tidak perlu segan-segan lagi. Biar aku mencoba kehebatan jurus pedang kakus ciptaanmu yang... yang....’”
Mendengar sampai di sini para hadirin tersenyum dan mengangguk-angguk memuji kecerdikan Linghu Chong. Memang dalam pertandingan adu kesaktian, para pendekar selalu berusaha menahan kemarahan masing-masing. Barangsiapa yang marah berarti dia sudah kalah setengah permainan. Dalam hal ini perkataan Linghu Chong telah berhasil menyinggung perasaan Tian Boguang, sehingga penjahat cabul itu menjadi gusar.
“Bagus sekali!” sahut Dingyi memuji. “Selanjutnya bagaimana?”
“Kakak Linghu hanya tertawa,” lanjut Yilin. “Ia berkata: ‘Aku sungguh-sungguh tidak bermaksud membuat Saudara Tian tersinggung. Ilmu pedang kakus aku ciptakan hanya sebatas iseng saja. Aku sama sekali tidak berniat menyamakan Saudara Tian dengan lalat-lalat kotor. Mohon Saudara Tian sudi memberi maaf.’
Saya semakin geli mendengar perkataan Kakak Linghu sehingga saya pun tertawa dan membuat Tian Boguang bertambah gusar. Ia pun melolos goloknya dan berkata: ‘Baiklah, akan kulayani tantanganmu, Saudara Linghu. Kita bertarung sambil duduk dan lihat saja, siapa yang lebih unggul.’
Kali ini wajah Tian Boguang tampak sangat beringas. Saya khawatir jangan-jangan dia berniat membunuh Kakak Linghu.
Namun, Kakak Linghu tetap terlihat tenang. Ia berkata sambil tertawa: ‘Sebenarnya aku merasa sayang kalau harus bertanding melawan seorang teman baru sepertimu. Mengapa persahabatan yang baru terjalin ini harus rusak hanya karena ilmu pedangku yang bau? Dalam pertarungan sambil duduk, jelas kau bukan tandinganku. Jika Saudara Tian melayani tantanganku, aku takut tersiar kabar bahwa Linghu Chong sengaja mengambil keuntungan dari kelemahan Tian Boguang. Kemenangan seperti ini jelas bukan kemenangan yang gemilang.’
Tian Boguang menjawab: ‘Tidak benar! Pertandingan ini terjadi karena sukarela. Tidak seorang pun akan menyalahkanmu atas masalah ini.’
Kakak Linghu menegas: ‘Jadi, Saudara Tian secara sukarela bersedia bertanding denganku?’
Tian Boguang menjawab: ‘Tepat sekali!’
‘Bertarung sambil duduk?’
‘Ya, bertarung sambil duduk!’
‘Kalau begitu kita harus tentukan aturannya. Siapa yang berdiri lebih dulu sebelum jelas pihak mana yang menang, maka dia dinyatakan kalah,’ kata Kakak Linghu.
‘Setuju! Siapa yang berdiri lebih dulu dinyatakan kalah!’ sahut Tian Boguang.”
Kakak Linghu kembali bertanya: ‘Lalu, apa ketentuan bagi yang kalah?’
‘Terserah padamu,’ jawab Tian Boguang.
‘Begini saja,’ sahut Kakak Linghu. ‘Aku mempunyai dua hukuman. Pertama, barangsiapa yang kalah tidak boleh lagi bersikap kurang ajar kepada biksuni cilik ini. Bila bertemu harus memberi hormat: ‘Guru, saya Tian Boguang menyampaikan salam hormat....’
‘Huh, apa maksudmu? Darimana kau tahu kalau aku yang akan kalah? Kalau kau yang kalah bagaimana?’ sahut Tian Boguang.
‘Sama saja,’ jawab Kakak Linghu. ‘Intinya, barangsiapa yang kalah wajib bergabung dengan Perguruan Henshan untuk menjadi murid biksuni cilik ini, serta menjadi cucu-murid Biksuni Dingyi.’”
Yilin kemudian berpaling ke arah Dingyi dan bertanya, “Guru, ucapan Kakak Linghu ini sangat menggelikan. Bila salah satu dari mereka kalah, maka wajib menjadi murid Henshan. Padahal, mana boleh saya menerima seorang murid?” Usai berkata demikian biksuni jelita ini tersenyum lembut. Raut mukanya bagaikan matahari pagi terbit dari balik bukit.
“Huh, manusia-manusia kasar seperti mereka suka berbicara apa saja. Kau tidak perlu terlalu mempercayainya. Linghu Chong hanya berusaha membuat Tian Boguang marah,” jawab Dingyi. Usai berkata demikian ia lantas berpikir bagaimana Linghu Chong bisa menghadapi Tian Boguang. Diam-diam ia mengakui kalau si bocah Linghu Chong yang disebutnya bajingan itu ternyata jauh lebih cerdik daripada dirinya. Biksuni tua ini lantas bertanya, “Bagaimana cerita selanjutnya?”
“Melihat Kakak Linghu berbicara dengan penuh percaya diri, Tian Boguang tampak mulai ragu-ragu,” lanjut Yilin. “Sepertinya ia khawatir jangan-jangan Kakak Linghu memang menyimpan kepandaian istimewa, yaitu mahir bertarung sambil duduk. Kembali Kakak Linghu memancing amarahnya: ‘Jika kau belum siap menjadi murid Perguruan Henshan, sebaiknya pertandingan ini dibatalkan saja.’
Tian Boguang bertambah gusar dan berkata: ‘Omong kosong! Baiklah, aku setuju dengan aturanmu. Barangsiapa yang kalah wajib menjadi murid biksuni cilik ini.’
Mendengar hal ini saya pun berseru: ‘Aku tidak bisa menerima kalian sebagai murid. Kepandaianku rendah, dan guruku juga tidak mungkin mengizinkan. Lagipula anggota Perguruan Henshan adalah kaum perempuan semua. Mana boleh... mana boleh....’
Tiba-tiba Kakak Linghu menukas: ‘Diam kau! Aku sedang berunding dengan Saudara Tian. Kau tidak boleh ikut campur.’ Kemudian ia berpaling kepada Tian Boguang: ‘Nah, hukuman yang kedua adalah sebagai berikut; barangsiapa yang kalah wajib mengayunkan senjata kepada diri sendiri dan menjadi kasim.’
Guru, sebenarnya apa maksud perkataan Kakak Linghu ini? Mohon Guru sudi memberi penjelasan.”
Para hadirin tertawa mendengar kepolosan Yilin. Rupanya biksuni kecil ini tidak tahu kalau yang dimaksud dengan kasim adalah pelayan kaisar yang telah dikebiri atau dipotong kemaluannya.
Dingyi tersenyum geli dan menjawab, “Itu hanyalah istilah kotor yang biasa diucapkan kaum bajingan. Anak manis, sebaiknya kau tidak perlu tahu apa artinya.”
“Oh, jadi itu hanyalah kata-kata buruk?” ujar Yilin mengangguk-angguk. Ia lantas kembali bercerita, “Tian Boguang kemudian berkata: ‘Saudara Linghu, apa kau yakin pasti menang jika bertanding denganku?’
Kakak Linghu menjawab: ‘Tentu saja! Jika bertarung sambil berdiri aku menempati urutan kedelapan puluh sembilan dalam dunia persilatan. Tapi jika bertempur sambil duduk, maka urutanku terhitung nomor dua.’
Tian Boguang terlihat heran dan bertanya: ‘Kalau begitu, siapa yang menempati urutan pertama?’
Kakak Linghu menjawab: ‘Tentu saja pemimpin aliran sesat yang bernama Dongfang Bubai.’”
Mendengar nama Dongfang Bubai disebut, seketika wajah para hadirin berubah pucat. Menyadari hal itu Yilin merasa serbasalah. Ia pun bertanya, “Guru, apakah saya salah bicara?”
“Sebaiknya jangan kau sebut nama itu lagi,” jawab Dingyi. “Selanjutnya bagaimana?”
“Tian Boguang kemudian berkata: ‘Kalau Ketua Dongfang kau sebut sebagai pesilat nomor satu di dunia, maka aku sangat setuju. Tapi kalau kau sebut dirimu sebagai yang nomor dua sudah tentu ini sangat berlebihan. Memangnya kau merasa sudah lebih hebat daripada Tuan Yue, gurumu sendiri?’
Kakak Linghu menjawab: ‘Aku tadi berkata kalau bertarung sambil duduk maka diriku ini terhitung nomor dua paling hebat setelah Ketua Dongfang. Namun kalau bertarung sambil berdiri jelas guruku lebih hebat. Beliau menempati urutan kedelapan, sedangkan aku hanya urutan kedelapan puluh sembilan. Jelas aku masih kalah jauh.’
‘Ah, benar juga,’ sahut Tian Boguang sambil menganggukkan kepala. ‘Nah, kalau bertarung sambil berdiri, aku ini masuk urutan nomor berapa? Lalu, siapa pula yang menentukan urutannya?’
Kakak Linghu menjawab dengan berbisik: ‘Sebenarnya ini merupakan rahasia besar. Mengingat aku merasa cocok mengobrol denganmu, maka rahasia ini akan kuceritakan pula. Tapi tolong, jangan sampai kau ceritakan hal ini kepada orang lain karena bisa menimbulkan kekacauan di dunia persilatan. Sekitar tiga bulan yang lalu, kelima guru besar dari Serikat Pedang Lima Gunung berkumpul di Huashan untuk membicarakan kehebatan tokoh-tokoh persilatan pada zaman ini. Mereka kemudian menentukan urutan kehebatan para pesilat ternama. Saudara Tian, meskipun para guru besar kami tidak suka kepadamu, tapi mereka tetap mengakui kehebatanmu. Dalam bertempur sambil berdiri, urutanmu adalah nomor empat belas di dunia persilatan.’
“Omong kosong!” sahut Pendeta Tianmen dan Biksuni Dingyi bersamaan. “Mana ada pertemuan seperti itu?”
“Hah, jadi Kakak Linghu berbohong lagi kepadanya?” sahut Yilin. “Memang, Tian Boguang sempat ragu-ragu dan tidak percaya. Namun ia kemudian berkata: ‘Hm, para ketua Serikat Pedang Lima Gunung adalah tokoh-tokoh terkemuka di dunia persilatan. Apa benar mereka menempatkan diriku pada urutan keempat belas? Hm, ini sungguh berlebihan. Saudara Linghu, kau sendiri bagaimana? Apakah waktu itu kau juga memperlihatkan Jurus Pedang Kakus ciptaanmu itu di hadapan mereka, sehingga mereka pun menobatkan dirimu sebagai pesilat sambil duduk nomor dua di dunia?’
(Bersambung)
Bagian 8
; Halaman muka ; Bagian 10