Bagian 81 - Terkurung di dalam Gua

Linghu Chong bertanya, “Di mana mereka sekarang?”
“Mereka sudah lewat kira-kira dua jam yang lalu,” tutur Dewa Daun Persik. “Mereka mengajak kami minum arak di kota depan sana. Kami jawab, habis berak segera menyusul. Siapa sangka perempuan sial ini keburu datang dan mengganggu kami.”
Linghu Chong termenung sejenak memikirkan hal ini. Ia lantas berkata, “Baiklah, kalian nanti boleh menyusul. Biar aku pergi ke sana dulu. Kalian berenam adalah pahlawan besar, tidak mungkin mengganggu musuh yang sudah tertangkap. Kalau sampai kalian memukul perempuan ini, itu bisa merusak nama besar kalian.”
“Benar sekali,” sahut Enam Dewa Lembah Persik serentak.
Ren Yingying tertawa berkata, “Kau tidak jadi mencukur rambut perempuan itu, tentunya karena kau mengingat Adik Yilin-mu. Itu artinya balas dendammu hanya terbayar sebagian kecil saja.”
Setelah berjalan beberapa kilo jauhnya, mereka berdua pun tiba di suatu kota yang cukup ramai. Pada rumah makan kedua mereka baru bisa bertemu Biksu Bujie dan Tian Boguang di loteng atas. Mereka tampak sedang duduk menghadap makanan dan minuman di atas meja. Melihat Linghu Chong dan Ren Yingying datang, kedua orang itu berseru senang. Segera Bujie menyuruh pelayan menambahkan makanan dan arak.
Ketika Linghu Chong bertanya ada kejadian apa, Tian Boguang lantas bertutur, “Karena kejadian yang memalukan di Lembah Tong Yuan itu, kami tidak punya muka lagi untuk berada di sana. Aku mengajak Kakek Guru lekas-lekas pergi dari sana. Untuk selanjutnya kami berdua tidak berani lagi menginjakkan kaki di Gunung Henshan.”
Karena Linghu Chong dan Ren Yingying berniat membebaskan murid-murid Perguruan Henshan secara diam-diam, maka mereka memutuskan untuk tidak memberi tahu kedua orang itu mengenai peristiwa penculikan tersebut. Linghu Chong lantas berkata kepada Bujie, “Biksu besar, aku ingin meminta bantuanmu untuk menyelesaikan suatu urusan, apakah kau mau?”
“Tentu saja mau. Urusan apa?” sahut Bujie.
“Tapi urusan ini perlu dirahasiakan. Cucu-muridmu ini sama sekali tidak boleh ikut campur,” ujar Linghu Chong.
“Apa susahnya? Akan kusuruh dia menyingkir sejauh mungkin dan tidak boleh mengganggu urusanku. Beres sudah,” jawab Bujie.
Linghu Chong berkata, “Baiklah. Di timur sana kira-kira ratusan meter jauhnya, pada sebatang pohon yang tinggi ada seseorang terikat dan digantung tinggi di atas pohon….”
“Oh,” sahut Bujie dengan wajah serbasalah dan tubuh gemetar.
Linghu Chong berkata, “Orang yang sedang dikerek itu adalah temanku. Aku meminta bantuanmu agar pergi ke sana untuk menolongnya.”
“Mudah saja,” ujar Bujie. “Tapi mengapa tidak kau sendiri yang menolongnya?”
“Terus terang, temanku itu seorang perempuan,” kata Linghu Chong dengan sengaja menahan suara sambil memoncongkan bibirnya ke arah Ren Yingying. “Aku merasa tidak enak karena selalu bersama Nona Ren.”
“Hahahaha!” Bujie bergelak tawa. “Ya, ya, aku tahu! Tentu kau takut kalau-kalau Nona Ren minum cuka.” Istilah ini maksudnya adalah cemburu.
Ren Yingying melotot sekejap kepada mereka berdua. Linghu Chong lantas berkata sambil tertawa kepada Bujie, “Justru perempuan itu yang suka cemburu. Dulu suaminya hanya memandang sekejap dan memuji sekali saja kepada wanita lain, tapi perempuan itu lantas kabur tanpa pamit. Akibatnya malah membuat susah suaminya yang mencari ke seluruh pelosok dunia selama belasan tahun.”
Mendengar uraian itu, bola mata Bujie melotot dan napasnya memburu pula. Dengan suara terputus-putus ia bertanya, “Apakah dia… dia… dia….” Namun pertanyaan ini tidak sanggup untuk dilanjutkannya.
“Kabarnya sampai sekarang suaminya masih terus mencari tapi belum juga bertemu,” sambung Linghu Chong.
Sampai di sini lantas terdengar suara Enam Dewa Lembah Persik datang ke rumah makan itu dengan bersenda gurau. Namun Biksu Bujie seakan-akan tidak melihat kedatangan mereka. Kedua tangannya memegang erat-erat lengan Linghu Chong dan menegas, “Apakah ben… benar katamu ini?”
“Dia sendiri yang berkata padaku,” sahut Linghu Chong. “Katanya, biarpun suaminya berhasil menemukan dia, biarpun berlutut dan menyembah padanya juga dia tetap tidak mau berkumpul kembali dengan suaminya itu. Sebab itulah bila kau melepaskannya, dia pasti akan segera kabur. Gerak tubuh perempuan itu teramat cepat. Hanya dalam satu kedipan mata saja dia sudah lenyap.”
“Aku tidak akan berkedip, aku tidak akan berkedip,” ujar Bujie.
Linghu Chong melanjutkan, “Aku juga bertanya mengapa dia tidak mau bertemu dengan suaminya. Dia menjawab suaminya adalah manusia paling tidak berperasaan di dunia, orang yang paling doyan perempuan. Biarpun bertemu kembali juga tidak ada gunanya.”
Tiba-tiba Bujie berteriak satu kali, kemudian memutar tubuh hendak berangkat. Namun Linghu Chong sempat menarik dan berbisik kepadanya, “Akan kuajarkan satu akal bagus padamu, dijamin dia tidak akan dapat melarikan diri.”
Bujie terkejut namun hatinya senang. Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia berlutut dan menyembah beberapa kali kepada Linghu Chong sambil berkata, “Saudara Linghu, eh, maksudku... Ketua Linghu, Guru Linghu, Sesepuh Linghu, aku mohon kepadamu lekas ajarkanlah akal bagus itu kepadaku. Biarlah aku meng… mengangkatmu sebagai guru.”
“Ah, mana aku berani? Lekas bangun!” sahut Linghu Chong menahan geli. Lalu ia menarik Bujie untuk bangun sambil berbisik di telinga biksu besar itu, “Nanti bila sudah kau turunkan dia dari atas pohon, jangan sekali-kali kau buka tali ringkusannya, lebih-lebih jangan membuka totokannya. Cukup kau gendong saja dia ke dalam penginapan. Sewa satu kamar di situ. Nah, sekarang coba kau pikirkan, bagaimana caranya supaya seorang perempuan tidak berani lari keluar kamar?”
Bujie menjadi bingung. Sambil menggaruk-garuk kepala botaknya ia berkata, “Aku… aku tidak tahu.”
“Mudah sekali,” kata Linghu Chong. “Lucuti semua pakaiannya, baru kemudian buka totokannya. Dalam keadaan telanjang bulat mana berani dia lari keluar?”
Bujie senang sekali. Ia bertepuk tangan dan berseru, “Bagus sekali! Akal bagus! Guru, budi baikmu….” tidak sampai ucapannya selesai, ia langsung melompat keluar melalui jendela dan lenyap dalam sekejap.
“Hei, sungguh aneh kelakuan biksu besar itu? Kenapa dia begitu terburu-buru? Memangnya mau ke mana?” kata Dewa Akar Persik.
“Pasti dia kebelet berak, makanya terburu-buru,” kata Dewa Ranting Persik.
“Tapi kenapa dia menyembah Saudara Linghu dan memanggil guru kepadanya?” ujar Dewa Bunga Persik. “Sudah tua begitu kenapa berak saja perlu diajari orang lain?”
“Memangnya berak ada sangkut pautnya dengan usia?” bantah Dewa Daun Persik. “Apakah anak umur tiga tahun bisa berak sendiri tanpa diajari orang tuanya?”
Ren Yingying tahu pembicaraan keenam orang dungu ini semakin lama tentu semakin melantur. Maka ia pun memberi isyarat kepada Linghu Chong dan mendahului pergi meninggalkan loteng rumah makan tersebut.
Linghu Chong lantas berkata, “Keenam Saudara Persik, kalian terkenal sebagai ahli minum arak tanpa ada bandingannya. Maka itu silakan kalian minum sepuas-puasnya di sini. Aku sendiri tidak sanggup minum banyak-banyak, terpaksa harus berangkat lebih dulu.”
Karena dipuji demikian, Enam Dewa Lembah Persik menjadi senang. Dalam anggapan mereka jika tidak minum sampai habis beberapa guci rasanya akan kehilangan nama besar tersebut. Maka beramai-ramai mereka pun berteriak, “Pelayan, lekas bawakan enam guci arak yang paling enak!”
Seorang lagi berkata, “Saudara Linghu, kemampuanmu minum arak selisih jauh dengan kami. Baiklah, kau boleh berangkat lebih dulu. Setelah puas kami akan segera menyusul.”
Seorang yang lain menyahut, “Kalau kau menunggu sampai kami puas, bisa-bisa esok hari baru bisa berangkat.”
Begitulah, hanya dengan satu kalimat pujian saja Linghu Chong sudah dapat menghindarkan diri dari gangguan keenam manusia dungu bersaudara tersebut. Setibanya di luar rumah makan, dengan menahan tawa Ren Yingying berkata, “Kau telah memulihkan hubungan suami istri Biksu Bujie. Jasamu sungguh tak terhitung. Hanya saja cara yang kau ajarkan kepaadanya agak… agak….” sampai di sini kepalanya pun menunduk dengan wajah bersemu merah.
Linghu Chong hanya memandangi gadis itu sambil tertawa tanpa berkata apa-apa.
Setelah cukup jauh meninggalkan kota, Linghu Chong masih saja tersenyum-senyum sambil memandangi Ren Yingying.
“Kau lihat apa? Apa kau tidak kenal lagi padaku?” gerutu si nona.
“Aku sedang berpikir, perempuan itu pernah menggantungku di atas loteng, kubalas dengan menggantungnya di atas pohon,” kata Linghu Chong dengan tertawa. “Dia mencukur bersih rambutku, kubalas dengan menyuruh suaminya melucuti pakaiannya sampai telanjang bulat. Ini namanya satu dibalas satu.”
“Satu dibalas satu katamu?” sahut Ren Yingying menegas sambil melirik dan tersenyum.
“Semoga Biksu Bujie tidak main kasar. Semoga mereka berdua, suami-istri dapat berkumpul kembali dengan bahagia,” ujar Linghu Chong tertawa.
Ren Yingying ikut tertawa dan berkata, “Tapi hati-hati, lain kali bila bertemu lagi dengan perempuan itu tentu kau akan merasakan pembalasannya.”
“Aku membantu mereka berkumpul kembali, dia justru harus berterima kasih kepadaku,” sahut Linghu Chong. Lalu ia memandang beberapa saat ke arah Ren Yingying sambil cengar-cengir. Sikapnya terlihat sangat aneh.
“Apa yang sedang kau tertawakan?” tanya gadis itu.
“Biksu Bujie dan istrinya bersatu kembali. Aku sedang membayangkan entah apa yang akan mereka bicarakan di dalam kamar nanti,” sahut Linghu Chong.
“Tapi mengapa kau memandangi aku seperti itu?” gerutu Ren Yingying. Tiba-tiba ia dapat menangkap isi hati Linghu Chong. Rupanya pemuda bandel ini sedang membayangkan Biksu Bujie melucuti pakaian istrinya hingga telanjang bulat. Pikirannya sedang membayangkan ke sana, tapi matanya memandangi Ren Yingying sambil tersenyum-senyum. Seketika wajah Ren Yingying menjadi merah. Segera ia pun mengangkat tangan memukul Linghu Chong.
Dengan cepat Linghu Chong mengelak, lalu berkata dengan tertawa, “Hei, hei, istri memukul suami, ini namanya perempuan jahat.”
Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara-suara mendesing nyaring perlahan. Ren Yingying mengenali itu sebagai suara suitan kode rahasia antara sesama anggota Partai Mentari dan Bulan. Ia lantas memberi isyarat kepada Linghu Chong untuk tidak berbicara, lalu mengajaknya berlari ke arah sumber datangnya suara suitan tersebut.
Tidak jauh kemudian, tampak seorang perempuan berdandan sebagai pelayan rumah makan berlari dari arah barat. Tempat di situ cukup lapang, tidak terdapat semak atau pohon untuk bersembunyi. Orang itu agak tercengang ketika melihat Ren Yingying tiba-tiba datang pula.
Maka perempuan itu pun memberi hormat sambil menyapa, “Hamba Sang Sanniang, ketua Balai Angin Surga, menyampaikan sembah hormat kepada Putri Suci. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan!”
Ren Yingying mengangguk beberapa kali. Menyusul kemudian tampak dari arah timur muncul pula seorang tua bertubuh kecil, memakai baju berwarna cokelat gelap, mirip kaum hartawan kampung. Dengan langkah cepat ia mendekati Ren Yingying dan memberi hormat, lalu berkata, “Hamba Qin Weibang menyampaikan sembah bakti kepada Putri Suci. Semoga Ketua berjaya selalu, melindungi rakyat jelata.”
“Kau juga berada di sini, Pemuka Qin?” tanya Ren Yingying kepadanya. Rupanya Qin Weibang adalah salah satu di antara sepuluh pemuka utama dalam partai.
Qin Weibang menjawab hormat, “Hamba ditugasi Ketua Ren untuk mencari berita di sekitar sini. Saudari Sang, apakah ada suatu berita yang kau peroleh?”
“Lapor kepada Putri Suci dan Pemuka Qin,” ujar Sang Sanniang, “pagi ini saat berada di rumah penukaran kuda, hamba melihat rombongan Perguruan Songshan yang berjumlah sekitar enam sampai tujuh puluh orang sedang menuju ke Gunung Huashan.”
“Jadi mereka benar-benar menuju ke Huashan?” sahut Qin Weibang menegas.
“Ada urusan apa orang-orang Perguruan Songshan pergi ke Huashan?” sela Ren Yingying.
Qin Weibang menjawab, “Ketua Ren memperoleh berita, bahwa sejak Yue Buqun menjabat sebagai ketua Perguruan Lima Gunung lantas bermaksud memerangi agama kita. Maka, ia pun sibuk mengumpulkan murid-murid dari Perguruan Lima Gunung di Gunung Huashan. Melihat gelagat ini kemungkinan besar mereka hendak menyerang Tebing Kayu Hitam secara besar-besaran.”
“Benarkah demikian?” sahut Ren Yingying penasaran. Ia merasa sangsi jangan-jangan Qin Weibang yang terkenal licik ini sengaja memutarbalikkan kenyataan. Padahal mungkin saja orang tua ini yang memimpin penangkapan murid-murid Perguruan Henshan dan berusaha mengalihkan perhatian. Namun Sang Sanniang tampaknya juga bersungguh-sungguh. Sepertinya ada masalah lain di balik semua ini, demikian pikirnya.
Ren Yingying lantas berkata, “Pendekar Linghu adalah ketua Perguruan Henshan, namun mengapa dia tidak tahu-menahu tentang apa yang kau katakan tadi? Bukankah ini aneh?”
“Hamba telah mnyelidiki bahwa murid-murid Perguruan Taishan dan Hengshan juga sudah bergerak menuju ke Huashan. Hanya Perguruan Henshan saja yang belum terlihat bergerak,” jawab Qin Weibang. “Pelindung Kiri Xiang Wentian telah memerintahkan kami untuk menyelidiki masalah ini. Lebih dulu Pemuka Bao Dachu telah diperintahkan untuk menyelidiki Perguruan Henshan. Hamba diperintah pula untuk berjaga di sekitar sini sebagai penghubung berita yang akan dibawa oleh Pemuka Bao.”
Ren Yingying saling pandang sejenak dengan Linghu Chong. Meskipun hati mereka bimbang, namun penuturan Qin Weibang ini jelas bersungguh-sungguh. Dalam hati masing-masing muncul pertanyaan, “Apakah semua yang dikatakannya benar?”
Qin Weibang lantas memberi hormat kepada Linghu Chong dan meminta maaf, “Hamba hanya sekadar melaksanakan perintah, oleh karena itu mohon Ketua Linghu jangan marah.”
Linghu Chong membalas hormat dan berkata, “Tidak lama lagi aku dan Nona Ren akan menikah….”
Mendengar itu muka Ren Yingying bersemu merah dan mulutnya sampai berseru kaget. Ia tidak menyangka Linghu Chong akan berkata seperti itu di depan orang lain, namun ia sendiri tidak membantah sama sekali.
“Pemuka Qin menerima perintah dari calon ayah mertua,” lanjut Linghu Chong, “oleh karena itu sebagai kaum muda sudah tentu kami ikut bertanggung jawab atas hal ini.”
Dengan wajah gembira Qin Weibang dan Sang Sanniang serentak berkata, “Selamat, selamat!”
Dengan wajah semakin merah Ren Yingying menyingkir agak jauh.
Qin Weibang kembali berkata, “Pelindung Kiri Xiang berpesan kepada hamba dan Pemuka Bao agar jangan sekali-kali berlaku kasar terhadap murid-murid Perguruan Henshan. Kami hanya boleh mencari berita saja, dan dilarang main kekerasan. Hamba pun menjalankan perintah Beliau dengan taat.”
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seorang perempuan menyela dengan tertawa, “Ilmu pedang Pendekar Linghu tanpa tanding di dunia ini. Bahwasanya Pelindung Kiri Xiang menyuruh kalian jangan main kekerasan sebenarnya adalah demi kebaikan kalian sendiri.”
Begitu menoleh, Linghu Chong melihat seorang perempuan cantik keluar dari balik semak-semak pohon. Ternyata yang baru datang ini tidak lain adalah Lan Fenghuang, ketua Partai Lima Dewi.
“Kakak Perempuan, kau baik-baik saja?” ujar Linghu Chong menyapa kepadanya.
“Kau juga baik-baik saja, Kakak Laki-Laki,” jawab Lan Fenghuang. Ia lantas berpaling ke arah Qin Weibang dan menegur, “Jika kau ingin menyapa padaku lekas silakan! Mengapa harus mengerutkan kening segala?”
“Ah, mana aku berani?” sahut Qin Weibang. Ia tahu sekujur badan perempuan ini penuh dengan benda berbisa, maka yang lebih baik jangan mengganggu sedikit pun. Segera ia pun mendekati Ren Yingying dan berkata, “Bagaimana untuk selanjutnya hamba harus bertindak terhadap masalah ini, mohon Putri Suci sudi memberi petunjuk.”
“Lakukan saja sesuai perintah Ketua,” sahut Ren Yingying.
“Baik,” jawab Qin Weibang dengan hormat. Ia dan Sang Sanniang lantas mohon diri.
Setelah kedua orang itu pergi, Lan Fenghuang berkata, “Murid-murid Perguruan Henshan telah ditawan orang, mengapa kalian tidak lekas pergi menolongnya?”
“Kami baru saja menyusul dari Henshan, tapi di sepanjang jalan belum juga menemukan jejak,” jawab Linghu Chong.
“Jalan ini bukan menuju ke Huashan. Kalian telah salah arah,” ujar Lan Fenghuang.
“Jalan ke Huashan?” sahut Linghu Chong menegas. “Jadi mereka ditawan ke Huashan? Apa kau sendiri melihatnya?”
“Di Lembah Tong Yuan kemarin aku merasa air teh yang kuminum agak-agak aneh. Namun aku diam saja tanpa menunjukkan rasa curiga. Satu per satu orang-orang di sana roboh tak sadarkan diri. Aku pun berpura-pura ikut roboh pingsan,” jawab Lan Fenghuang.
“Main racun melawan Ketua Lan dari Partai Lima Dewi sama saja mengundang masalah sendiri,” ujar Linghu Chong dengan tersenyum.
Lan Fenghuang tertawa pula dan berkata, “Keparat-keparat itu memang tidak tahu adat.”
Linghu Chong bertanya, “Apakah kau tidak membalas mereka dengan racun pula?”
“Kenapa aku harus berlaku sungkan?” sahut Lan Fenghuang. “Ada dua bangsat yang mengira aku benar-benar jatuh pingsan. Mereka mendekati aku dan bermaksud main gila. Begitu menggerayangi tubuhku, mereka langsung mati keracunan. Sisanya menjadi ketakutan dan tidak berani mendekat. Katanya aku sudah mati tapi masih tetap mengandung racun.” Usai berkata demikian ia pun tertawa geli.
“Lantas bagaimana?” tanya Linghu Chong.
“Untuk mengetahui permainan apa yang akan mereka lakukan, aku tetap pura-pura tidak sadarkan diri,” lanjut Lan Fenghuang. “Kemudian kawanan bangsat ini turun dari Puncak Xianxing dengan menculik serombongan biksuni cilik. Kulihat sendiri yang memimpin kawanan bangsat ini adalah gurumu, Tuan Yue. Kakak, sepertinya gurumu itu agak-agak tidak beres. Kau telah menjabat sebagi ketua Perguruan Henshan, tapi dia malah memimpin anak buahnya menangkap sekian banyak anak buahmu. Bukankah ia sengaja hendak bermusuhan denganmu?”
Linghu Chong hanya terdiam. Ia paham Lan Fenghuang seorang perempuan dari suku Miao yang pada umumnya berwatak polos, lugu, dan suka berbicara tanpa pikir.
“Melihat perbuatannya itu aku sungguh merasa gemas,” lanjut Lan Fenghuang. “Pada saat itu juga aku bermaksud meracuninya sampai mampus. Tapi kemudian aku berpikir tentang perasaanmu kepadanya. Andaikan aku ingin meracuninya juga masih bisa kulakukan lain waktu.”
“Kau selalu memikirkan perasaanku, aku sungguh berterima kasih,” kata Linghu Chong.
“Ah, biasa saja,” ujar Lan Fenghuang. “Kudengar pula percakapan mereka bahwa selagi kau tidak berada di Gunung Henshan, maka mereka harus lekas-lekas pergi. Orang-orang itu takut jika kau pulang dan memergoki perbuatan mereka. Namun ada pula yang menyayangkan dirimu sedang tidak berada di Henshan. Kalau saja kau ada tentu sekaligus akan ditawan pula, dan segala urusan pun beres. Huh, enak saja bicara demikian!”
Linghu Chong menjawab, “Kalau Kakak Perempuan selalu mendampingi di sana, rasanya tidak mudah jika mereka hendak menangkap diriku.”
Lan Fenghuang sangat senang. Ia tertawa dan berkata, “Boleh dikata mereka sedang beruntung. Coba saja mereka berani mengganggu seujung rambutmu, hm, pasti akan kubalas dengan meracuni seratus orang di antara mereka.” Berkata demikian ia lantas berpaling kepada Ren Yingying, “Nona Ren, janganlah kau minum cuka. Hubunganku dengan Kakak Linghu bagaikan keluarga.”
Wajah Ren Yingying menjadi merah. Dengan tersenyum ia menjawab, “Ketua Linghu sering membicarakan tentang dirimu. Katanya, kau sangat baik kepadanya.”
“Bagus sekali kalau begitu!” seru Lan Fenghuang senang. “Sebenarnya aku khawatir kalau-kalau dia tidak berani menyebut namaku di depanmu.”
Ren Yingying lantas bertanya, “Kau pura-pura tak sadarkan diri, tapi mengapa bisa lolos dari cengkeraman mereka?”
“Mereka takut terhadap tubuhku yang beracun sehingga tiada seorang pun yang berani menyentuhku,” jawab Lan Fenghuang. “Ada di antaranya yang menyarankan agar aku dibacok sampai mati dengan golok, ada pula yang mengusulkan agar membunuhku dengan senjata rahasia. Akan tetapi di mulut mereka bicara demikian, namun tak seorang pun yang berani turun tangan. Akhirnya beramai-ramai mereka pun kabur. Aku lantas mengikuti jejak mereka. Setelah yakin mereka menuju ke arah Gunung Huashan, aku pun segera berusaha mencari Kakak Linghu untuk menyampaikan berita penting ini.”
“Sungguh aku sangat berterima kasih padamu. Kalau tidak bertemu denganmu, tentu kami akan menuju ke Tebing Kayu Hitam dengan sia-sia,” kata Linghu Chong. “Sekarang urusan ini tidak boleh ditunda-tunda lagi. Mari kita lekas mengejar ke Huashan.”
Ketiga orang itu lantas berbelok ke barat dan melanjutkan perjalanan secepat-cepatnya. Namun di sepanjang jalan ternyata tidak tampak satu pun tanda-tanda yang mencurigakan.
Linghu Chong dan Ren Yingying sama-sama merasa ragu dan bimbang. Mereka berpikir, “Rombongan itu berisi ratusan orang. Tapi aneh, kenapa tidak ada jejak sama sekali? Mustahil tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Jangan-jangan mereka tidak menempuh jalur ini!”
Pada hari ketiga di sebuah kedai kecil, ketiganya bertemu empat orang yang memakai seragam Perguruan Hengshan. Saat itu Linghu Chong sedang menyamar sehingga tidak dikenali oleh mereka. Diam-diam Linghu Chong memasang telinga mendengarkan percakapan orang-orang itu, yang tampaknya sedang bergembira seolah ada banyak harta karun di Gunung Huashan sedang menunggu kedatangan mereka.
Terdengar salah seorang berkata, “Untungnya Kakak Huang sangat baik hati dan sudi mengirim kabar gembira ini kepada kita. Beruntung pula kita sedang berada di Shanxi sehingga masih sempat menyusul ke sana. Sementara itu para kakak dan adik seperguruan yang berada di Hengshan tentu tidak seberuntung kita.”
“Tapi kita juga jangan senang dulu. Yang paling penting adalah kita harus lekas-lekas menyusul ke sana,” ujar yang lain menanggapi. “Dalam urusan seperti ini kurasa bisa terjadi perubahan setiap saat.”
Linghu Chong sangat penasaran ingin tahu ada persoalan menarik apa sehingga keempat orang ini sangat berhasrat menuju ke Huashan. Tapi mereka berempat sama sekali tidak menyinggung persoalan apa yang dimaksudkan itu.
Lan Fenghuang bertanya, “Apakah perlu merobohkan mereka dengan racun untuk dimintai keterangan?”
Mengingat Tuan Besar Mo sangat baik kepadanya, Linghu Chong tidak ingin menyusahkan murid-murid Perguruan Hengshan tersebut. Maka ia pun menjawab, “Kita tidak perlu mengganggu mereka. Yang paling baik kita harus secepatnya berangkat ke Huashan.”
Beberapa hari kemudian sampailah mereka bertiga di kaki Gunung Huashan. Saat itu keadaan mulai petang. Namun untungnya Linghu Chong sudah sangat hafal keadaan di pegunungan itu. Ia berkata, “Sebaiknya kita naik ke atas melalui jalan kecil di belakang gunung, tentu tidak akan bertemu dengan orang lain.”
Di antara kelima pegunungan, Huashan memang terkenal yang paling curam. Jalan kecil di belakang gunung juga sangat terjal dan sulit didaki. Untungnya ilmu silat ketiga orang ini sama-sama tinggi. Tebing yang terjal bukan rintangan bagi mereka. Meskipun demikian, mereka baru sampai di puncak saat menjelang pagi dini hari.
Linghu Chong membawa kedua rekannya menuju ke gedung utama. Keadaan di tempat itu ternyata gelap gulita. Masing-masing memasang telinga untuk mendengarkan dengan seksama, namun tidak terdengar apa-apa. Sewaktu mendatangi tempat tinggal para murid Huashan, ternyata di sana juga kosong melompong. Ketika Linghu Chong menyalakan lilin, kamar yang kosong itu tampak penuh dengan debu. Beberapa kamar yang lain juga demikian, pertanda para murid sudah lama tidak pulang ke Huashan. Mungkin sejak pertemuan di Gunung Songshan mereka tidak pernah kembali lagi ke situ.
Lan Fenghuang menjadi rikuh karena keadaan tidak sesuai dengan laporannya. Ia berkata, “Apakah mungkin aku tertipu oleh kawanan bangsat itu? Mungkinkah mereka mengaku datang ke Huashan sini, tapi sebenarnya menuju ke tempat lain?”
Linghu Chong juga merasa sangsi dan khawatir. Teringat olehnya saat menyerbu Biara Shaolin dulu. Waktu itu rombongannya pun menyerbu tempat kosong, lalu menghadapi bahaya. Jangan-jangan Yue Buqun kembali menggunakan siasat yang sama. Namun sekarang mereka hanya bertiga. Andaikan masuk perangkap juga mudah untuk meloloskan diri. Justru yang dikhawatirkan adalah murid-murid Perguruan Henshan. Jangan-jangan mereka dikurung di suatu tempat rahasia dan sukar untuk diketemukan lagi mengingat sudah sekian lamanya mereka digiring kemari.
“Bagaimana kalau kita berpencar untuk mencari?” usul Lan Fenghuang. “Dua jam lagi kita berkumpul kembali di tempat ini.”
“Baiklah,” jawab Linghu Chong setuju. Ia berpikir kepandaian Lan Fenghuang dalam ilmu racun tidak perlu disangsikan lagi, tentu tidak seorang pun yang sanggup menghadapinya. Namun ia tetap berpesan, “Orang lain tidak perlu kau takuti. Namun bila bertemu guruku hendaknya kau berhati-hati terhadap ilmu pedangnya yang sangat cepat luar biasa.”
Dalam keremangan cahaya lilin Lan Fenghuang dapat melihat wajah Linghu Chong berkata dengan sungguh-sungguh. Ia pun terkesan dan menjawab, “Kakak, aku akan selalu mengingat nasihatmu ini.” Usai berkata ia lantas mendorong pintu dan pergi secepatnya.
Linghu Chong dan Ren Yingying memeriksa lagi ke beberapa tempat lainnya. Sampai-sampai tempat tinggal pribadi Yue Buqun dan Ning Zhongze di tepi Jurang Tianqin juga mereka selidiki. Namun demikian, tetap tiada seorang pun yang dapat mereka temukan.
“Ini benar-benar aneh,” kata Linghu Chong. “Biasanya kalau orang-orang Huashan turun gunung, sedikitnya disisakan beberapa orang sebagai penjaga rumah. Tapi sekarang mengapa tak ada seorang pun yang tinggal di sini?”
Terakhir mereka mendatangi tempat tinggal Yue Lingshan yang terletak di sebelah Jurang Tianqin, tidak jauh dari tempat tinggal Yue Buqun suami-istri. Begitu membuka pintu, seketika ia teringat kenangan masa lalu saat datang menjemput sang adik kecil untuk berlatih pedang bersama. Namun kini Yue Lingshan telah tiada, pergi untuk selamanya. Tak kuasa menahan pilu, air mata Linghu Chong pun berlinang di pipi.
Pemuda itu lantas mendorong pintu, ternyata dipalang dari dalam. Ren Yingying lantas melompati pagar dan membukanya dari dalam. Mereka lantas masuk dan menyalakan lilin yang terdapat di atas meja. Keadaan ruangan itu pun kosong melompong dan penuh debu, bahkan perabot keperluan perempuan juga tidak terdapat sama sekali.
Linghu Chong berpikir, “Mungkinkah setelah menikah dengan Adik Lin, lantas Adik Kecil tidak tinggal di sini lagi? Tentu mereka tinggal di rumah baru, dan semua perabotan dibawa pula ke sana.”
Diperiksanya laci meja dan di situ tersimpan berbagai mainan anak-anak seperti boneka, kuda kayu, kelereng batu, keranjang bambu, dan sebagainya. Itu semua adalah mainan yang pernah mereka gunakan sewaktu kecil dulu. Ternyata Yue Lingshan masih merawat dan menyimpan semuanya dengan baik. Linghu Chong merasa pedih teringat kenangan masa lalu. Tanpa terasa ia kembali mencucurkan air mata.
Ren Yingying terdiam dan perlahan melangkah keluar sambil menutup pintu. Seorang diri Linghu Chong termangu-mangu cukup lama di dalam ruangan tersebut. Setelah menguasai keadaan, ia pun memadamkan lilin dan keluar ruangan pula.
Agar Linghu Chong melupakan kepedihan hatinya, Ren Yingying berkata, “Kakak Chong, di puncak tertinggi Huashan ada suatu tempat yang sangat berarti dalam hidupmu. Maukah kau membawaku ke sana?”
“Tentu yang kau maksud itu adalah Tebing Perenungan,” kata Linghu Chong. “Baiklah. Mari kita pergi ke sana. Tapi entah apakah Kakek Guru Feng masih tinggal di sana atau tidak?”
Segera ia mendahului melangkah di depan menyusuri jalan setapak menuju ke tempat itu. Linghu Chong sangat mengenal tempat tersebut dengan baik. Meskipun tebing itu terletak di belakang gunung dan jaraknya juga tidak dekat, namun keduanya sampai di sana dengan cepat.
Setibanya di puncak tebing Linghu Chong berkata, “Aku pernah tinggal di gua itu….” Baru sekian ia bicara, tiba-tiba terdengar suara senjata berbenturan dua kali. Mereka berdua sangat terkejut dan bergegas mendekati gua. Tidak lama kemudian terdengar suara jerit ngeri seseorang. Sepertinya ada yang bertarung di dalam gua dan ada yang terluka pula.
Linghu Chong segera melolos pedang dan mendahului berlari ke dalam gua. Dulu ia pernah tanpa sengaja menemukan gua rahasia di dalam gua tersebut yang berisikan gambar-gambar ukiran ilmu silat Serikat Pedang Lima Gunung. Sebelum pergi pun ia sempat menutup lorong masuk ke dalam gua rahasia tersebut. Namun kini penutup lorong itu telah terbuka. Tampak pula cahaya api menerangi bagian dalam gua rahasia itu. Linghu Chong dan Ren Yingying melangkah menyusuri lorong dengan hati berdebar-debar.
Tak disangka ternyata keadaan di dalam gua rahasia itu terang benderang oleh cahaya berpuluh-puluh obor. Paling tidak ada dua ratus orang berada di sana. Mereka sedang asyik memandangi jurus-jurus ilmu silat yang terukir pada dinding gua tersebut. Masing-masing memperhatikan ukiran-ukiran itu dengan seksama, sehingga suasana terasa hening dan sunyi.
Ketika mendengar suara benturan senjata dan jeritan ngeri tadi, Linghu Chong dan Ren Yingying membayangkan keadaan di dalam gua tentu gelap gulita dan terjadi pertarungan sengit yang berdarah-darah. Siapa sangka ternyata keadaan di dalam gua itu terang benderang dan sangat hening, padahal terdapat ratusan orang berdiri di dalamnya.
Gua tempat Linghu Chong pernah dikurung memang cukup sempit, namun gua rahasia di dalamnya sangat luas dan lebar. Meskipun di dalamnya berdiri sekitar dua ratus orang, tetap saja masih terlihat adanya tempat luang. Hanya saja, orang-orang sebanyak itu masing-masing terdiam seperti mayat hidup. Keadaan tampak begitu menyeramkan.
Ren Yingying berdiri merapat pada bahu kiri Linghu Chong. Melihat raut muka gadis itu agak pucat dan menunjukkan rasa takut, perlahan-lahan Linghu Chong merangkul pinggangnya. Mereka melihat orang-orang di dalam gua itu memakai tiga jenis seragam berbeda warna. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata mereka adalah orang-orang Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan. Di antaranya bahkan terdapat orang-orang tua yang sudah beruban. Jelas sekali di dalam gua ini terdapat banyak tokoh terkemuka dan para sesepuh dari ketiga perguruan yang ikut hadir. Setelah diperhatikan lagi, ternyata murid-murid Perguruan Huashan dan Henshan tidak seorang pun yang berada di dalam situ.
Orang-orang ketiga perguruan itu sama-sama memandangi ukiran di dinding dengan seksama, namun mereka tidak bercampur aduk. Masing-masing berdiri di dalam kelompoknya. Orang-orang Songshan memandangi ukiran ilmu ilmu pedang Perguruan Songshan, begitu pula orang-orang Taishan dan Hengshan. Seketika Linghu Chong teringat kepada percakapan keempat murid Hengshan yang ditemuinya di kedai kecil dalam perjalanan tadi. Konon mereka mendapat berita penting dan buru-buru menyusul ke Huashan seolah terdapat harta karun di gunung ini. Ternyata harta karun yang mereka maksudkan adalah gambar-gambar ilmu pedang sakti peninggalan leluhur yang terukir pada dinding gua tersebut.
Sekilas Linghu Chong memandang ke arah kelompok Perguruan Hengshan. Tampak seorang tua kurus berambut putih memandang dinding gua dengan penuh perhatian. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Orang tua itu tidak lain adalah Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan sendiri. Linghu Chong merasa bingung hendak mendekat ke arahnya untuk menyampaikan salam hormat atau tidak.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang dalam kelompok Perguruan Songshan berteriak gusar, “Hei, kau ini bukan murid Songshan, mengapa kau ikut melihat ukiran di dinding sebelah sini?”
Orang yang membentak itu ternyata seorang tokoh tua berseragam kuning. Ia sedang melotot kepada seorang laki-laki bertubuh jangkung setengah baya, sambil mengacungkan pedangnya di depan dada orang itu.
Si jangkung mendengus dan menjawab, “Huh, memangnya aku memandangi ukiran milik perguruanmu?”
“Kau berani menyangkal?” damprat orang tua dari Songshan itu. “Kau ini berasal dari perguruan mana? Kalau kau hanya mencuri lihat ilmu pedang Perguruan Songshan kami, masih bisa dimaafkan. Tapi kau berani pula memandangi cara mematahkan ilmu pedang perguruan kami, ini benar-benar kurang ajar!”
Serentak lima orang murid Songshan bergerak mengelilingi si jangkung dengan pedang di tangan masing-masing.
“Aku sama sekali tidak paham terhadap ilmu pedang kalian yang mengesankan itu. Andaikan aku memandangi ukiran mengenai cara untuk mematahkan ilmu pedang kalian juga tidak ada gunanya,” ujar si jangkung berusaha membela diri.
“Pendek kata, dengan memandangi ukiran dinding di sebelah sini tentu kau punya niat tidak baik pula,” jawab si Songshan tua bengis.
Si jangkung menyahut, “Tapi ketua Perguruan Lima Gunung, Tuan Yue, telah mengundang kita kemari untuk mempelajari berbagai macam ilmu pedang leluhur yang terukir di dinding ini. Beliau tidak pernah membatasi bagian mana yang boleh dilihat dan bagian mana dilarang.”
Si Songshan tua tetap bersikeras, “Jelas kau tidak punya maksud baik terhadap Perguruan Songshan kami dan hal ini tidak dapat kami biarkan.”
“Serikat Pedang Lima Gunung telah dilebur menjadi satu. Yang ada kini hanyalah Perguruan Lima Gunung, mana ada Perguruan Songshan segala?” sahut si jangkung dengan angkuh. “Bila Serikat Pedang Lima Gunung tidak dilebur menjadi satu mana mungkin Tuan Yue mengizinkan kita semua masuk ke dalam gua rahasia di puncak Huashan sini, apalagi untuk mendalami ilmu pedang leluhur ini?”
Si Songshan tua tidak bisa menjawab. Tiba-tiba salah seorang rekannya yang masih muda mendorong keras pundak belakang si jangkung sambil membentak, “Mulutmu memang pintar bicara, ya?”
Si jangkung serentak berbalik arah sehingga pergelangan tangan murid Songshan itu tertangkap olehnya, lantas ditarik pula. Seketika murid Songshan itu pun terbanting jatuh.
Pada saat itulah terdengar pula suara teriakan di tengah-tengah kelompok Perguruan Taishan, “Siapa kau? Beraninya kau memakai seragam Perguruan Taishan kami dan menyusup di sini untuk mencuri lihat? Beraninya kau mengamati ukiran ilmu pedang Perguruan Taishan di dinding ini?”
Menyusul kemudian terlihat seorang muda berseragam Taishan berlari keluar meninggalkan kalangan. Namun segera ia dihadang oleh seorang Taishan lainnya yang juga membentak, “Berhenti! Siapa kau? Beraninya kau mengacau di sini?”
Pemuda itu tidak menjawab, tapi pedangnya lantas menusuk sambil tubuh menerjang ke depan. Si penghadang pun mengelak sambil tangannya mencolok kedua mata lawan. Terpaksa si anak muda melompat mundur. Namun si penghadang terus saja memburu maju. Kembali tangannya menjulur ke depan untuk menyerang kedua mata pemuda itu.
Lantaran diserang dari jarak dekat, pedang si pemuda sukar digunakan untuk menangkis. Terpaksa ia kembali melompat mundur. Segera si penghadang menyapu dengan sebelah kakinya. Untung pemuda itu sempat meloncat ke atas, tapi tetap saja dadanya terkena pukulan. Seketika ia pun jatuh terguling dan muntah darah. Dari belakang dua orang murid Taishan memburu maju dan membekuknya.
Sementara itu di sisi lain si jangkung sudah terkepung oleh empat-lima orang murid Perguruan Songshan dan sedang diserang dengan gencar. Ilmu pedang si jangkung terlihat sangat lihai. Ditinjau dari gerakannya, jelas ia bukan berasal dari Serikat Pedang Lima Gunung.
Serentak beberapa orang Songshan yang menonton di pinggir berteriak, “Keparat ini bukan orang Serikat Pedang Lima Gunung kita! Dia adalah mata-mata musuh yang ikut menyusup kemari.”
Karena terjadi pertempuran di dua tempat, seketika suasana di dalam gua yang tadinya sunyi senyap berubah menjadi kacau-balau.
Dalam keadaan ribut tersebut Linghu Chong berpikir, “Orang-orang di sini berkumpul atas undangan Guru, pasti bukan demi tujuan yang baik. Aku harus mencari Paman Mo dan memintanya untuk memimpin orang-orang Hengshan meninggalkan gua ini. Mengenai ilmu pedang Hengshan yang terukir di sini dapat kuceritakan pada Beliau lain kali.”
Segera ia pun menyelinap maju ke arah kalangan Perguruan Hengshan. Namun baru beberapa langkah saja, tiba-tiba terdengar suara gemuruh keras laksana gugurnya batu-batuan gunung yang sangat dahsyat. Banyak di antara orang-orang itu yang menjerit ketakutan.
Linghu Chong terkejut. Dengan cepat ia berputar balik. Dilihatnya debu pasir bertebaran di dalam gua. Ia tidak berpikiran untuk mencari Tuan Besar Mo lagi, karena yang perlu segera didatanginya saat ini adalah Ren Yingying. Akan tetapi suasana telah berubah menjadi sangat kacau. Orang-orang berlari serabutan, senjata menyambar tak kenal arah, dan yang terlihat hanya debu pasir belaka. Linghu Chong benar-benar tidak tahu di mana Ren Yingying saat itu berada.
Sekuat tenaga Linghu Chong berdesak-desakan di tengah banyak orang. Beberapa kali ia harus berkelit untuk menghindari serangan senjata yang datang entah dari mana. Begitu sampai di mulut gua, ia malah mengeluh. Tampak sebongkah batu yang sangat besar telah menutup mulut gua itu dengan sangat rapat. Entah berapa ton beratnya batu besar tersebut. Dengan kata lain, pintu utama gua kini telah buntu tersumbat oleh batu. Dalam keadaan gugup Linghu Chong tidak melihat suatu lubang pun untuk dijadikan jalan keluar.
“Yingying! Yingying! Di mana kau?” serunya kemudian.
Sayup-sayup terdengar Ren Yingying menjawab satu kali di kejauhan. Sepertinya gadis itu juga ikut terkurung di dalam gua. Namun di tengah keramaian dua ratus orang sungguh sulit menentukan dengan pasti di mana si nona berada. Diam-diam Linghu Chong merasa heran, “Aneh, kenapa Yingying ikut terkurung di dalam gua? Bukankah tadi ia menunggu dekat mulut gua?” Sejenak kemudian ia pun paham dan berpikir, “Aku tahu. Begitu batu besar ini jatuh, Yingying tidak pergi begitu saja. Tapi dia memilih masuk ke dalam gua untuk ikut terkurung bersamaku. Hm, aku ke sini untuk mencarinya, tapi dia malah menerjang ke sana untuk mencariku.” Berpikir demikian Linghu Chong pun segera berputar balik ke dalam badan gua.
Pada mulanya keadaan di dalam gua tersebut terang benderang oleh cahaya berpuluh-puluh obor. Namun dalam keadaan kacau-balau, tanpa sadar ada di antara mereka yang melemparkan obor di tangan untuk mencari selamat. Ditambah lagi debu dan pasir memenuhi gua, sehingga pemandangan menjadi remang-remang seperti berkabut tebal.
“Mulut gua telah tersumbat! Kita terkurung di sini!” demikian orang-orang itu berteriak ketakutan.
“Ini pasti tipu muslihat si keparat Yue Buqun!” teriak seorang lainnya dengan murka.
“Benar!” sahut seorang lagi dengan mengertakkan gigi. “Bangsat itu memancing kita ke sini untuk memamerkan ilmu pedang tahi….”
Beberapa puluh orang lantas beramai-ramai mendorong batu raksasa itu. Akan tetapi batu ini laksana sebuah bukit, sedikit pun tidak bergerak meski orang-orang itu mendorong sekuat tenaga.
“Lekas, lekas keluar melalui lorong di belakang sana!” teriak seseorang kemudian.
Sebelumnya memang sudah ada beberapa orang yang berpikir demikian. Mereka menemukan lorong sempit hasil galian seorang gembong aliran sesat. Gua rahasia ini memang pernah digunakan untuk mengurung sepuluh pemuka aliran sesat pada zaman dahulu. Setelah satu per satu orang-orang itu mati, akhirnya tinggal seorang saja yang mencoba menggali jalan keluar menggunakan kapak. Namun belum sampai berhasil akhirnya ia tewas pula karena kehabisan tenaga.
Lebih dari dua puluh orang sudah berbondong-bondong mendahului lari ke arah ujung lorong sempit bawah tanah tersebut dan berdesak-desakan di sana. Padahal lorong itu hanya cukup dilewati satu orang saja. Kini puluhan orang itu berebut untuk melewatinya lebih dulu, tentu saja hal ini sangat tidak mungkin berhasil. Karena keributan ini, kembali belasan obor menjadi padam pula.
Di tengah keributan itu ada dua orang laki-laki kekar mendesak maju dengan menyisihkan orang-orang lainnya. Mereka terus saja menyusup maju ke mulut lorong. Tapi mulut lorong itu sangat sempit. Karena kedua orang itu juga saling berebut lebih dulu, akhirnya kepala masing-masing malah terbentur dinding. Tidak seorang pun yang akhirnya mampu memasuki lubang lorong tersebut.
Tiba-tiba laki-laki kekar di sebelah kanan menikam dada laki-laki sebelah kiri dengan menggunakan sebilah belati. Seketika laki-laki itu menjerit ngeri. Menyusul kemudian laki-laki sebelah kanan mendorongnya minggir. Dengan cepat ia lantas menerobos masuk ke dalam lorong disusul oleh yang lainnya secara dorong-mendorong dan tarik-menarik. Masing-masing berebut menyelamatkan diri lebih dulu.
Sementara itu Linghu Chong sangat cemas dan khawatir karena tidak dapat menemukan Ren Yingying. Ia berpikir, “Zaman dulu kesepuluh pemuka aliran sesat itu memiliki ilmu silat setinggi langit. Namun ternyata mereka juga terjebak dan terkubur di dalam gua ini. Jangan-jangan nasib buruk demikian juga akan menimpa diriku dan Yingying. Bila muslihat ini memang sengaja diatur oleh Guru, maka bisa jadi sangat berbahaya.”
Dilihatnya orang-orang itu semakin berdesakan di mulut lorong. Karena terlalu gelisah tiba-tiba timbul pikiran jahat dalam benak Linghu Chong, “Orang-orang ini hanya menghalang-halangi saja. Mereka harus dibunuh semua agar aku dan Yingying dapat lolos dengan selamat.”
Segera ia bermaksud mengayunkan pedang untuk membunuh orang yang paling dekat di sebelahnya. Tiba-tiba dilihatnya seorang pemuda menjambak-jambak rambut sendiri dengan badan gemetar dan wajah pucat pasi. Sepertinya pemuda itu sangat takut mati. Seketika timbul rasa kasihan dalam hati Linghu Chong. Ia merenung, “Aku dan dia bernasib sama. Kami sama-sama terjebak oleh perangkap musuh. Seharusnya aku bahu-membahu bersama mereka untuk mencari jalan keluar. Mana boleh aku membunuh orang lain demi mencari selamat sendiri?” Karena itu pedangnya lantas ditarik kembali dan dipegang melintang di depan dada.
Tak lama kemudian terdengar orang-orang itu berteriak, “Ayo, lekas masuk ke sana, lekas!”
“Hei, kenapa diam saja? Lekas merangkak ke depan!”
“Keparat, kenapa diam saja? Apa kau sudah mampus di situ?”
“Tarik saja! Tarik saja kembali!”
Ternyata laki-laki kekar tersebut belum juga menerobos masuk ke dalam lorong sejak tadi. Kedua kakinya masih tertinggal di belakang. Sepertinya ia juga menghadapi jalan buntu di depan sana, hanya saja tidak mau mundur kembali.
Dua orang yang berteriak-teriak tadi benar-benar tidak sabar lagi. Mereka masing-masing menarik sebelah kaki laki-laki kekar itu sekuat tenaga. Sejenak kemudian terdengar belasan orang menjerit kaget. Yang ditarik kembali itu ternyata sesosok tubuh yang sudah tidak berkepala lagi. Potongan leher laki-laki kekar itu tampak masih menyemburkan darah segar. Rupanya seseorang telah menunggu di dalam lorong sana dan memenggal kepala laki-laki bertubuh kekar itu.
Pada saat itulah Linghu Chong melihat seseorang duduk di sudut gua. Di bawah cahaya obor yang remang-remang, samar-samar orang itu tampak seperti Ren Yingying. Karena senangnya ia pun berlari ke sana, namun baru beberapa langkah lantas bertumbukan dengan desakan banyak orang. Sekuat tenaga Linghu Chong mendorong ke depan. Namun keadaan orang-orang itu sudah sangat panik dan kacau. Mereka sudah kehilangan akal sehat. Bagaikan orang kalap mereka menerjang kian-kemari tak menentu. Ada yang memutar senjatanya secara serabutan, ada yang berteriak-teriak seperti orang gila, ada yang memeluk orang lain tanpa mau melepaskan, ada pula yang merangkak-rangkak di tanah sambil mengerang-erang.
Baru saja Linghu Chong maju dua-tiga langkah kedua kakinya lantas dipeluk orang. Ia menepuk keras kepala orang itu sampai menjerit kesakitan. Namun bukannya melepaskan tangan, orang itu malah memeluk lebih kencang.
“Lepaskan! Kalau tidak akan kubunuh kau!” bentak Linghu Chong.
Mendadak betisnya terasa sakit, rupanya karena digigit orang itu. Terkejut dan gusar hati Linghu Chong dibuatnya. Dilihatnya keadaan orang-orang di dalam gua sudah semakin gila. Jumlah obor pun semakin sedikit pula. Kini yang menyala hanya tinggal dua obor saja, bahkan tergeletak di atas tanah.
“Ambil obor itu, ambil obor itu, lekas!” seru Linghu Chong.
Namun seorang pendeta gemuk terbahak-bahak sambil mengangkat sebelah kakinya. Seketika salah satu obor itu pun diinjaknya hingga padam. Tanpa pikir lagi Linghu Chong mengangkat pedangnya. Sekali tebas ia memenggal kepala orang yang memeluk kedua kakinya itu. Tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Rupanya api obor yang terakhir pun telah padam pula.
Begitu semua obor padam, suasana di dalam gua menjadi sunyi. Semuanya kebingungan oleh perubahan yang mendadak ini. Sekejap kemudian, keributan kembali terjadi. Orang-orang itu kembali berteriak-teriak dan menjerit-jerit seperti orang gila.
Diam-diam Linghu Chong merenung, “Hari ini rasanya tidak ada lagi kesempaatan untuk bisa keluar dengan selamat. Tapi untungnya, aku bisa mati bersama Yingying,” Karena berpikiran demikian, hatinya tidak lagi merasa takut, tapi malah berbalik senang. Perlahan-lahan ia mencoba maju menuju ke tempat Ren Yingying tadi berada.
Namun baru beberapa langkah, mendadak dari samping ada orang berlari dan menabraknya dengan keras. Rupanya tenaga dalam orang ini sangat kuat. Tumbukannya yang keras membuat Linghu Chong terdorong mundur dan hampir jatuh terduduk. Untung ia masih sempat menahan diri dan memutar kembali. Segera ia pun menyelinap lagi ke arah Ren Yingying duduk tadi. Apa yang terdengar olehnya hanya suara jerit tangis dan bentakan melulu disertai benturan berpuluh-puluh senjata.
Dalam keadaan gelap gulita, semua orang menjadi bingung dan gelisah. Hampir semuanya sudah setengah gila ingin mencari selamat sendiri-sendiri. Beberapa di antaranya bisa berpikir panjang dan berhati tenang. Namun menghadapi sambaran senjata orang lain yang sedang kalap, mau tidak mau terpaksa harus mengangkat senjata untuk menjaga diri. Maka itu yang terdengar hanya suara benturan senjata yang nyaring dan jeritan ngeri tak terputus-putus. Menyusul kemudian ada orang merintih kesakitan dan mencaci maki, jelas banyak di antaranya yang terluka oleh serangan membabi buta kawan sendiri.
Meskipun ilmu pedang Linghu Chong sangat tinggi tetap saja ia tidak berdaya menghadapi keadaan seperti itu. Setiap saat ia pun bisa terluka oleh serangan yang sukar diketahui dari mana datangnya. Tiba-tiba pikirannya tergerak. Segera ia pun mengangkat pedang dan memutarnya dengan kencang untuk melindungi tubuh bagian atas. Selangkah demi selangkah ia bergesar mendekati dinding gua. Asalkan dinding gua bisa teraba, ia merasa lebih aman. Dengan berjalan merapat di dinding tentu ia akan lebih terhindar dari bahaya-bahaya yang mengancam. Apabila tubuhnya merambat di dinding sedikit demi sedikit tentu bisa secepatnya bergabung dengan Ren Yingying di sebelah sana.
Jarak antara tempat Linghu Chong berdiri dengan dinding gua sebenarnya hanya belasan meter saja. Akan tetapi karena terhalang oleh lautan senjata terpaksa ia harus berhati-hati kalau tidak mau lekas-lekas kehilangan nyawa. “Jika aku mati terkena pedang seorang tokoh persilatan papan atas rasanya masih berharga,” pikirnya kemudian, “tapi keadaan seperti sekarang ini sungguh gawat. Bisa jadi aku mati secara mendadak tanpa mengetahui siapa dan bagaimana caranya menyerang. Bisa jadi yang membunuhku hanyalah seorang jago kelas kambing. Menghadapi keadaan seperti ini, sekalipun Pendekar Dugu hidup kembali juga akan mati akal dan tidak berdaya.”
Teringat kepada Dugu Qiubai, yaitu pencipta ilmu pedang sakti yang diajarkan Feng Qingyang kepadanya, seketika pikiran Linghu Chong menjadi terang. “Benar sekali. Keadaan saat ini sangat genting. Hanya ada dua pilihan saja, aku terbunuh secara tidak jelas atau aku membunuh orang lain secara sembarangan pula. Semakin banyak orang yang kubunuh berarti semakin berkurang pula bahaya yang mengancam.”
Segera ia pun memutar pedangnya dengan cepat. Yang ia mainkan adalah Jurus Mematahkan Senjata Rahasia, salah satu dari Sembilan Jurus Pedang Dugu. Berturut-turut ia pun menebas ke kanan, ke kiri, ke muka, dan ke belakang. Gerakan Jurus Mematahkan Senjata Rahasia ini sedemikian cepat dan rapat. Sekalipun terjadi hujan panah menerjang Linghu Chong juga sulit untuk mengenai tubuhnya.
Begitulah, sekali pedangnya bergerak, kontan beberapa orang di dekatnya menjerit ngeri. Sampai pada akhirnya pedangnya kembali menusuk tubuh seseorang. Namun dari suara jeritannya yang tertahan, sepertinya yang tertusuk ini seorang perempuan.
Seketika Linghu Chong terkejut. Tangannya menjadi lemas dan pedang pun hampir-hampir terlepas dari genggaman. “Jangan-jangan dia Yingying! Apakah aku telah membunuh Yingying?” demikian hatinya bertanya-tanya. Perasaannya kembali gelisah. Segera ia berteriak, “Yingying, Yingying! Apakah kau Yingying?”
Akan tetapi perempuan itu sudah tidak bersuara lagi.
(Bersambung)
Bagian 80 ; Bagian 81 ; Bagian 82