Bagian 18 - Pusaka Pembawa Bencana

Setelah itu, Yilin menutupi jasad Liu Zhengfeng dan Qu Yang dengan bebatuan pula. Ketika tiba giliran menutupi jasad Qu Feiyan, ia pun bergumam, “Adik Qu, demi diriku kau rela mengorbankan nyawa. Aku berdoa semoga kau naik ke istana langit dan menikmati segala kebahagiaan di sana. Semoga di kelahiran berikutnya, kau menjadi laki-laki sehingga memiliki kekuatan lebih besar untuk menolong sesama manusia dan berbuat banyak kebaikan. Dengan demikian, kelak kau bisa memasuki alam surga dan kekal abadi di dalamnya. Semoga Sang Buddha mengampuni semua dosa-dosamu. Semoga semua makhluk berbahagia....”
Linghu Chong sendiri duduk termenung di atas batu. Ia terharu mengingat bagaimana Qu Feiyan telah menyelamatkan jiwanya, namun kini lebih dulu meninggal dalam usia yang masih sangat muda. Meskipun dirinya bukan penganut ajaran Buddha, namun dalam hati ikut berharap semoga doa Yilin menjadi kenyataan.
Setelah merasa lumayan dalam beristirahat, Linghu Chong membuka kitab not lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Kitab tersebut berisi simbol-simbol yang menurutnya aneh, dan tidak ia mengerti sama sekali. Memang, kemampuan baca tulis Linghu Chong agak terbatas. Karena tidak mengetahui apa-apa mengenai isi kitab tersebut, ia pun memasukkannya kembali ke dalam saku baju sambil merenung, “Demi persahabatan, Paman Liu telah memberikan segalanya, termasuk nyawanya sendiri, meskipun temannya itu seorang anggota aliran sesat. Mereka berdua telah memperlihatkan keberanian luar biasa saat menghadapi kematian. Benar-benar laki-laki sejati. Sungguh mengagumkan! Aku mengira hari ini Paman Liu tengah mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, mengundurkan diri dari dunia persilatan. Aih, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana ia bisa berubah menjadi musuh Perguruan Songshan? Benar-benar membingungkan!”
Di tengah-tengah lamunannya, tiba-tiba Linghu Chong melihat sekelebat bayangan pedang di sisi utara agak jauh dari tempatnya duduk. Di bawah remang-remang cahaya rembulan, ia mengenali gerakan pedang tersebut merupakan ilmu silat perguruannya. Seketika jantungnya berdebar saat menyimpulkan bahwa seseorang dari Huashan tengah bertarung melawan musuh.
Buru-buru Linghu Chong bangkit dan berkata, “Adik, kau tunggu di sini dulu. Aku pergi sebentar.”
Yilin yang masih sibuk merapikan keempat makam tidak melihat kilatan pedang tersebut. Ia hanya mengangguk karena mengira Linghu Chong pamit pergi untuk buang air kecil.
Linghu Chong berjalan tertatih-tatih dengan bantuan ranting kayu sebagai tongkat. Ia juga memungut pedang peninggalan Fei Bin dan menggantungkannya di pinggang. Setelah agak jauh berjalan, suara pertarungan terdengar semakin jelas. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa gerangan tokoh dari perguruannya yang sedang bertarung itu? Sepertinya yang sedang dihadapi adalah kaum silat papan atas dari perguruan lain.
Semakin keras suara pertarungan tersebut pertanda jarak mereka juga sudah sangat dekat. Linghu Chong pun memilih bersembunyi di balik sebatang pohon besar untuk mengintai. Di bawah cahaya rembulan, ia melihat seorang pria berpakaian sarjana sedang bertarung melawan seorang pendeta agama Tao bertubuh pendek. Si sarjana yang terlihat berdiri di tengah tanah terbuka tidak lain adalah Yue Buqun, gurunya sendiri. Sementara itu, si pendeta pendek yang menjadi lawannya tidak lain adalah Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.
Yu Canghai dengan segenap tenaga berputar mengelilingi Yue Buqun dengan melancarkan sejumlah serangan. Dalam sekali berputar ia dapat melancarkan puluhan tusukan. Namun, kesemuanya itu dapat ditangkis oleh Yue Buqun.
Melihat sang guru bertempur melawan seorang ketua perguruan ternama, Linghu Chong merasa sangat terkesan. Ia juga melihat betapa indah dan anggun cara bertempur gurunya itu. Setiap kali Yu Canghai menusukkan pedangnya, Yue Buqun selalu menangkis dengan halus. Sewaktu Yu Canghai berputar ke belakang dan melancarkan serangan, Yue Buqun tidak ikut berputar, melainkan hanya mengayunkan pedangnya melindungi punggung dari serangan tersebut. Semakin lama serangan Yu Canghai semakin gencar, sementara Yue Buqun terlihat hanya melakukan gerakan bertahan tanpa berusaha membalas sedikit pun.
Sungguh kagum perasaan Linghu Chong menyaksikan kehebatan gurunya. Diam-diam ia berpikir, “Pantas saja dunia persilatan memberi julukan kepada Guru sebagai Si Pedang Budiman. Guru memang berperangai halus dan lembut dalam tutur kata, maupun dalam tindakan. Bahkan, dalam pertempuran sekalipun ia tetap bersikap tenang dan penuh sopan santun. Ah, Guru bisa mengatur emosi bukan hanya karena sifatnya yang sabar, namun juga karena ilmu silatnya yang sangat tinggi.”
Yue Buqun memang jarang bertarung melawan seseorang. Linghu Chong hanya pernah menyaksikan gurunya itu bertarung melawan sang istri di depan para murid. Tentu saja ini hanya sekadar berlatih, bukan pertarungan yang sebenarnya. Namun, pertarungan kali ini sudah tentu berbeda dengan yang pernah ia saksikan sebelumnya.
Linghu Chong kemudian berganti mengamati gerakan Yu Canghai yang lincah dan cepat luar biasa. Dalam hati ia berpikir, “Biasanya aku suka memandang rendah ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Bahkan, pada saat di rumah pelacuran kemarin aku berani mencari perkara dengan pendeta pendek itu. Tak disangka, ilmu silatnya begitu hebat dan mematikan. Meskipun dalam keadaan sehat, tidak mungkin aku bisa menandinginya. Dalam satu menit mungkin aku sudah roboh olehnya. Hm, lain kali aku tidak boleh gegabah jika bertemu lagi dengannya. Jalan yang paling baik tentu saja menjaga jarak dan menghindari perselisihan dengan orang ini.”
Pertarungan antara kedua pemimpin perguruan itu berlangsung semakin seru. Yu Canghai berputar semakin cepat mengelilingi Yue Buqun sambil melancarkan tusukan-tusukan pedang. Begitu cepatnya seakan yang terlihat hanyalah bayangan warna ungu saja. Suara pedangnya pun menderu-deru pula, serta menimbulkan debu yang cukup tebal.
Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Jika aku yang menghadapi jurus pedang itu, tentu sudah sejak tadi tubuhku berlubang-lubang. Kepandaian pendeta pendek ini sepertinya setingkat di atas Tian Boguang. Aih, sejak tadi Guru hanya bertahan tanpa membalas sama sekali. Semoga Guru tidak lengah sedikit pun agar tidak kalah olehnya.”
Beberapa saat kemudian, Yu Canghai tampak melompat mundur dan kemudian berdiri tegak di atas sebongkah batu. Entah bagaimana tahu-tahu ia sudah menyarungkan pedangnya kembali. Linghu Chong lalu memandang ke arah Yue Buqun dan ternyata gurunya itu juga telah menyimpan kembali pedangnya. Melihat keduanya sama-sama diam tanpa bersuara, Linghu Chong tidak dapat menentukan siapa di antara mereka yang menang ataupun kalah. Ia juga tidak mengetahui apakah masing-masing mengalami luka dalam atau tidak.
Selang agak lama, Yu Canghai berkata sambil tersenyum getir, “Baiklah, kita berpisah dulu, Kakak Yue. Sampai jumpa kembali!” Usai berkata demikian ia langsung melesat pergi.
“Pendeta Yu, bagaimana dengan pasangan suami-istri Lin? Kau sekap di mana mereka?” sahut Yue Buqun sambil kemudian bergegas mengejar Yu Canghai. Dalam sekejap bayangan mereka sudah hilang ditelan kegelapan malam.
Mendengar itu Linghu Chong merasa lega dan berpikir, “Sepertinya Guru berhasil mengalahkan Yu Canghai. Dalam keadaan sehat sekalipun, tidak mungkin aku mampu mengejar mereka. Mungkin keduanya sudah berada jauh di sana. Ah, lebih baik aku kembali saja.”
Namun baru saja Linghu Chong hendak melangkah menuju ke tempat Yilin, tiba-tiba terdengar suara jeritan memilukan dari arah hutan sebelah kiri. Suara tersebut seperti suara seorang pria kesakitan, yang diselingi suara seorang wanita pula.
Dengan langkah hati-hati dan perasaan terkejut, Linghu Chong pun berjalan menuju ke arah tersebut. Setelah melewati beberapa pepohonan, samar-samar ia melihat sebuah kuil tua berwarna kuning berdiri di tepi hutan. Khawatir jangan-jangan di dalam kuil sedang terjadi pertempuran antara murid-murid Huashan melawan pihak Qingcheng, ia pun tidak berani langsung masuk, melainkan berdiri merapat di dekat dinding luar.
Sejenak kemudian terdengar suara seorang tua berteriak kasar, “Di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis kau simpan? Asalkan kau menunjukkan di mana kitab itu berada, maka kau akan kubantu membalas dendam. Urusan menumpas Perguruan Qingcheng hanyalah masalah kecil bagiku.”
Samar-samar Linghu Chong teringat kalau itu adalah suara Mu Gaofeng, alias Si Bungkuk dari Utara, yang beberapa hari lalu dijumpainya di rumah pelacuran Wisma Permata. Padahal, gurunya sedang mencari pasangan suami-istri Lin Zhennan, tak tahunya mereka sudah jatuh ke tangan orang bungkuk itu.
Kemudian terdengar suara seorang pria merintih kesakitan dan menjawab dengan suara lemah, “Aku tidak tahu apa-apa mengenai Kitab Pedang Penakluk Iblis. Ilmu itu diturunkan secara lisan, turun-temurun dalam keluarga kami. Aku belum pernah melihat ada kitab seperti itu dalam keluarga kami.”
Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Ah, itu pasti suara Lin Zhennan, ketua Biro Pengawalan Fuwei.”
Sejenak kemudian kembali terdengar suara Lin Zhennan menyambung, “Terhadap kesediaan Tuan Pendekar membalaskan sakit hati kami, sudah tentu kami sangat berterima kasih. Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng sudah melakukan banyak kejahatan. Kelak dia pasti mati secara mengerikan. Meskipun tidak mati di tangan Tuan, tetap saja dia akan mati di tangan pendekar lainnya.”
“Oh, jadi kau tetap tidak mau mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis berada?” sahut Mu Gaofeng menegas. “Apa kau tidak pernah mendengar nama besar Si Bungkuk dari Utara, hah?”
Lin Zhennan menjawab, “Tentu saja saya tahu. Semua orang pernah mendengar nama besar Tuan Pendekar Mu.”
“Bagus sekali, bagus sekali!” ujar Mu Gaofeng sambil tertawa. “Aku memang terkenal, tapi bukan karena kebaikanku. Yang sering didengar orang pasti caraku turun tangan yang ganas dan kejam. Kau sendiri pasti pernah mendengar kalau selama ini aku tidak mengenal belas kasihan, bukan?”
Dengan angkuh Lin Zhennan menjawab, “Aku tahu Pendekar Mu terkenal kejam dan suka menyiksa. Meskipun seandainya di dalam keluarga kami benar-benar terdapat Kitab pedang Penakluk Iblis, tetap saja aku tidak akan memberikannya kepada siapa pun. Aku tidak peduli meskipun dipaksa dengan cara disiksa ataupun dibujuk rayu. Sesudah jatuh ke tangan Perguruan Qingcheng, setiap hari kami kenyang oleh siksaan. Meskipun ilmu silatku rendah, namun di dalam tubuhku masih tersisa seonggok tulang yang keras.”
“Bagus, bagus, bagus sekali!” ujar Mu Gaofeng sambil manggut-manggut. “Kau bilang tulangmu keras, tahan dianiaya, kuat disiksa. Setiap hari si hidung kerbau pendek itu menyiksamu, tapi kau belum juga menyerah. Hal itu membuktikan kalau di dalam Keluarga Lin memang benar-benar terdapat Kitab Pedang Penakluk Iblis. Kau berusaha mati-matian melindunginya, membuktikan kalau kitab tersebut memang benar-benar ada. Huh, untuk apa kau tetap bersikeras? Serahkan saja kitab itu kepadaku! Ilmu silatmu yang rendah menunjukkan kalau ilmu pedang dalam kitab itu tidak istimewa. Kalau Jurus Pedang Penakluk Iblis benar-benar luar biasa, mengapa melawan murid Qingcheng saja kau tidak becus?”
“Memang betul,” jawab Lin Zhennan. “Justru itu aku heran mengapa Pendekar Mu berusaha merebut kitab itu? Andaikan kitab itu benar-benar ada, mengapa isinya sedemikian tidak bermanfaat, sehingga untuk melawan murid Qingcheng saja tidak berguna? Sungguh aneh, kenapa Pendekar Mu begitu menginginkannya?”
Mu Gaofeng menjawab, “Aku hanya heran, mengapa si pendeta pendek itu mati-matian menginginkannya. Sampai-sampai, dia mengerahkan semua begundal Qingcheng untuk mendapatkannya. Hal itu membuatku yakin di dalam kitab tersebut pasti tersembunyi rahasia besar. Hanya saja, kau ini terlalu bodoh dan juga kurang berbakat. Pantas saja Jurus Pedang Penakluk Iblis yang kau kuasai sedemikian rendahnya. Kalau demikian, apa tidak sayang leluhurmu susah payah menciptakannya, sekarang ilmu itu harus terkubur begitu saja? Setelah kau perlihatkan kitab itu kepadaku, maka aku pasti bisa memecahkan rahasianya sehingga intisari Jurus Pedang Penakluk Iblis dapat kau kuasai. Dengan demikian, nama Keluarga Lin akan kembali harum di dunia persilatan. Bukankah ini akan menguntungkan perusahaanmu juga?”
“Maksud baik Pendekar Mu biarlah kuterima dalam hati saja,” jawab Lin Zhennan sambil tersenyum pahit. “Tapi sudah kukatakan kalau aku benar-benar tidak mempunyai Kitab Pedang Penakluk Iblis. Jika kau tidak percaya, kenapa tidak kau geledah saja tubuhku ini?”
“Untuk apa?” sahut Mu Gaofeng. “Andai saja kitab itu ada di tubuhmu tentu sejak kemarin sudah ditemukan oleh begundal-begundal dari Qingcheng itu. Ketua Lin, kau ini pura-pura bodoh atau bagaimana?”
“Ya, aku memang bodoh,” ujar Lin Zhennan. “Sudah sejak lama aku menyadari kalau diriku ini memang bodoh. Aku tidak membutuhkan penilaian dari Pendekar Mu.”
Mu Gaofeng menggelengkan kepalanya dan berkata, “Hm, ternyata kau belum tahu juga. Mungkin Nyonya Lin lebih memahami maksud perkataanku. Maklum saja, cinta kasih seorang ibu biasanya melebihi cinta kasih seorang ayah.”
“Apa katamu?” seru Nyonya Lin. “Apa yang terjadi dengan Pingzhi-ku? Ada hubungan apa dia dengan urusan ini? Di mana... di mana dia sekarang?”
“Anakmu itu pintar dan cerdik. Begitu melihatnya aku langsung merasa suka,” kata Mu Gaofeng. “Dia sangat cerdas dan berbakat. Dia bisa melihat kalau aku ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Maka, anakmu itu lantas memohon untuk menjadi muridku.”
Lin Zhennan sudah hafal sifat putra tunggalnya yang pantang menundukkan kepala di hadapan orang lain yang berhati busuk. Maka, ia pun pura-pura menjawab, “Oh, rupanya putra kami sudah mengangkat Pendekar Mu sebagai guru. Tentu hal ini menjadi keberuntungan besar baginya. Sayang sekali, kami berdua sudah disiksa sedemikian hebatnya. Luka kami sudah terlalu parah. Kami hanya tinggal menunggu ajal. Jika Pendekar Mu tidak keberatan, sudilah kiranya membawa Pingzhi kemari. Biar kami bisa melihat wajah putra kami untuk yang terakhir kalinya.”
Mu Gaofeng menjawab, “Itu hanya masalah kecil. Permintaan kalian sangat mudah untuk aku kabulkan.”
“Kalau begitu, di mana anak kami berada?” tanya Nyonya Lin. “Kami mohon dengan sangat, Pendekar Mu sudi memanggi Pingzhi kemari. Budi baik Tuan Pendekar tidak akan kami lupakan.”
“Baik, aku akan segera memanggilnya ke sini,” sahut Mu Gaofeng. “Tapi selamanya si marga Mu tidak sudi disuruh orang dengan cuma-cuma. Untuk memanggil putramu kemari itu urusan mudah. Asalkan lebih dulu kalian memberitahukan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan.”
Sebagai seorang pengusaha terkenal, Lin Zhennan sudah hafal dengan tipu muslihat yang dilancarkan Mu Gaofeng. Ia pun menghela napas dan berkata, “Rupanya Pendekar Mu tidak memercayai ucapanku tadi. Sudah kubilang kalau kami benar-benar tidak mempunyai kitab tersebut. Andai saja kami memilikinya tentu sudah kami titipkan kepada Pendekar Mu untuk disampaikan kepada Pingzhi, mengingat umur kami tinggal sekejap. Kami mohon Pendekar Mu sudi membawa Pingzhi kemari agar kami bisa bertemu muka dengannya untuk yang terakhir kali.”
“Huh, ternyata benar ucapanku tadi; kau ini memang benar-benar bodoh!” bentak Mu Gaofeng. “Urat jantungmu sudah pecah. Meskipun aku tidak menyentuhmu, tetap saja kau akan mati dengan sendirinya. Andai saja satu jam yang lalu kau berterus terang kepadaku, mungkin aku sudah membantu mengobati luka-lukamu. Hm, kau bersikeras tidak mau membuka mulut meskipun disiksa sampai mati, tentu saja karena kau tidak ingin ilmu silat leluhurmu itu jatuh ke tangan orang lain. Akan tetapi kau lupa, setelah dirimu mati, maka anggota Keluarga Lin yang tesisa hanya tinggal anakmu seorang. Jadi, kalau dia mati pula, siapa lagi yang akan mempelajari ilmu pedang leluhurmu? Kitab Pedang Penakluk Iblis tidak akan ada gunanya lagi.”
Nyonya Lin tersentak dan berseru khawatir, “Ada apa dengan putraku? Apa dia... apa dia mendapat celaka?”
“Saat ini keadaannya masih baik-baik saja,” jawab Mu Gaofeng. “Tentu saja dia akan tetap sehat dan selamat apabila kalian sudi mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis itu disimpan. Sesudah kuterima, tentu aku akan segera memberikannya kepada putramu. Jika dia kurang paham isinya, maka aku yang akan memberinya petunjuk. Dengan demikian putramu itu bisa melestarikan ilmu silat warisan leluhur Keluarga Lin, tidak seperti dirimu yang bodoh dan tidak becus ini. Bukankah ini pilihan yang baik daripada aku memukulnya sampai hancur lebur?”
Begitu si bungkuk mengucapkan kata “memukulnya” seketika Linghu Chong mendengar suara benda keras hancur berkeping-keping. Rupanya Mu Gaofeng telah memukul hancur patung dewa di dalam kuil tersebut untuk mempertegas ucapannya.
Melihat itu Nyonya Lin semakin khawatir. Ia berkata, “Kenapa kau... kau ingin membunuh putra kami?”
Mu Gaofeng bergelak tawa dan menjawab, “Lin Pingzhi adalah muridku. Hidup matinya terserah kepadaku. Bila aku ingin membinasakannya, sekali hantam saja dia akan hancur seperti patung itu.” Usai berkata ia kembali menakut-nakuti dengan memukul hancur benda-benda lainnya di dalam kuil.
Lin Zhennan menyahut, “Istriku, kau jangan bertanya lagi. Putra kita tidak ada padanya. Kalau dia benar-benar menawan Pingzhi, kenapa dia tidak langsung menyeretnya kemari? Bukankah dengan cara begitu kita bisa lebih mudah dipaksa menyerah?”
Mu Gaofeng tertawa semakin keras meskipun kebohongannya telah diketahui. Ia kembali berkata, “Kau ini memang benar-benar bodoh. Sangat bodoh! Anggap saja dugaanmu itu benar. Lantas, apakah aku tidak bisa membunuhnya? Kau salah besar, Ketua Lin. Kawan-kawanku tersebar di dunia persilatan. Menemukan dan membunuh Lin Pingzhi hanya masalah sederhana.”
Nyonya Lin yang masih ketakutan berkata lirih kepada sang suami, “Aku takut... aku takut dia mencelakai Ping-er....”
Mu Gaofeng menukas, “Benar sekali! Sekali kau mengatakan di mana kitab itu berada, maka Lin Pingzhi akan tetap selamat. Sekalipun ajal kalian tiba, dia akan tetap meneruskan nama besar Keluarga Lin kalian.”
Lin Zhennan tetap bersikap tenang, bahkan tertawa terbahak-bahak. “Istriku, apabila kita menuruti perintahnya, yaitu menyerahkan Kitab Pedang Penakluk Iblis kepadanya, maka yang pertama dia lakukan adalah membunuh Ping-er,” ujarnya kemudian. “Selama kita tidak memberitahukan kepadanya, maka Ping-er akan baik-baik saja. Aku jamin si bungkuk ini tidak akan berani macam-macam terhadap anak kita. Kau jangan terkecoh oleh tipuan rendah seperti ini.”
Nyonya Lin pun sadar akan sandiwara Mu Gaofeng. Ia lantas berseru, “Bungkuk tua, kau tidak perlu mengancam anak kami. Bunuh saja kami sekarang juga!”
Linghu Chong yang menguping di luar hanya bisa membayangkan wajah Mu Gaofeng pasti sangat merah menahan murka. Dalam waktu singkat si bungkuk itu pasti menyiksa suami-istri Lin Zhennan sampai mati. Maka ia pun berteriak, “Pendekar Mu, aku adalah Linghu Chong, murid Perguruan Huashan. Guru kami mengundangmu untuk keluar sebentar. Ada urusan penting yang ingin Beliau tanyakan kepadamu.”
Saat itu Mu Gaofeng sudah mengepalkan tangan siap memukul wajah Lin Zhennan. Ia sangat terkejut mendengar seruan Linghu Chong tersebut. Dalam urusan ini sebenarnya ia tidak ingin mengalah kepada siapapun. Tapi, peristiwa di Wisma Permata kemarin membuat Mu Gaofeng bertambah segan dan takut kepada Yue Buqun. Dari seruan Linghu Chong tadi, ia mengira Yue Buqun sudah lama menunggu di luar untuk membuat perhitungan dengannya. Sebagai seorang pemimpin perguruan golongan putih, sudah tentu Yue Buqun akan menindak tegas perbuatan sewenang-wenang yang ia lakukan terhadap pasangan suami-istri Lin tersebut.
Maka, tanpa pikir panjang Mu Gaofeng pun berteriak, “Maaf, aku sedang sibuk. Tolong sampaikan kepada gurumu bahwa aku tidak bisa memenuhi undangannya. Kelak jika Saudara Yue pergi ke utara, aku persilakan mampir di rumahku yang sederhana. Selamat tinggal!”
Usai berkata demikian Mu Gaofeng langsung melompat menjebol atap kuil dan kemudian melesat ke arah hutan. Khawatir Yue Buqun mengejar dan menanyainya, ia pun berlari sekencang-kencangnya dan menghilang dalam waktu sekejap.
Mendengar Mu Gaofeng telah menjauh, Linghu Chong sangat gembira. Diam-diam ia berpikir, “Rupanya si bungkuk itu benar-benar takut kepada Guru. Padahal, kalau tadi dia benar-benar keluar memenuhi panggilanku, bisa-bisa aku sekarang sudah mati di tangannya.”
Perlahan-lahan Linghu Chong masuk ke dalam kuil tua tersebut. Samar-samar dalam kegelapan ia melihat dua orang duduk di lantai dengan tubuh diikat saling membelakangi pada sebatang tiang. Keduanya terlihat begitu lemah, pertanda sudah berkali-kali mendapatkan siksaan fisik dan mental.
Melihat pasangan tersebut, Linghu Chong membungkuk dan menyapa, “Saya Linghu Chong dari Perguruan Huashan memberi hormat kepada Paman dan Bibi Lin. Saat ini putra kalian, yaitu Pingzhi, telah menjadi adik seperguruan kami.”
“Jangan terlalu sungkan, anak muda,” sahut Lin Zhennan gembira. “Keadaan kami sudah payah, sehingga tidak bisa membalas hormatmu. Tapi, apa benar yang baru saja kau katakan tadi? Apa benar Pingzhi telah menjadi murid Pendekar Yue dari Perguruan Huashan?” Saat mengucapkan kata-kata yang terakhir ini, suaranya terdengar agak gemetar.
Sebagai seorang pengusaha terkenal, tentu saja Lin Zhennan yang berwawasan luas mengetahui bahwa Yue Buqun ketua Perguruan Huashan memiliki nama besar di atas Yu Canghai. Setiap tahun ia berusaha menjalin hubungan dengan Perguruan Qingcheng, namun sama sekali tidak pernah mengirimkan hadiah kepada Perguruan Huashan. Rupanya Lin Zhennan merasa Biro Pengawalan Fuwei belum sederajat untuk bisa berteman dengan Perguruan Huashan ataupun anggota Serikat Pedang Lima Gunung lainnya. Maka, begitu mendengar putranya diterima sebagai murid Huashan, tentu saja Lin Zhennan merasa sangat bahagia. Apalagi ia menyaksikan sendiri bagaimana seorang Mu Gaofeng yang kejam dan bengis bisa lari terbirit-birit hanya karena mendengar nama Yue Buqun diucapkan.
Menanggapi pertanyaan Lin Zhennan tadi, Linghu Chong berkata sambil membuka ikatan kedua suami-istri itu, “Benar sekali. Kemarin Adik Pingzhi telah diterima sebagai murid perguruan kami. Tadinya si bungkuk Mu Gaofeng berusaha memaksa Adik Pingzhi supaya bersedia menjadi muridnya. Tapi Adik Pingzhi sungguh pemberani dan bersikeras menolaknya. Kebetulan waktu itu Guru datang dan berhasil mengusir Mu Gaofeng. Adik Pingzhi kemudian memohon supaya diterima sebagai murid Guru. Melihat keberanian dan kesungguhan hati putra Paman dan Bibi, guru kami pun menerima permohonannya. Beberapa saat yang lalu, Guru juga telah mengalahkan Yu Canghai dalam sebuah pertarungan pedang. Kali ini Guru sedang mengejar pendeta pendek itu yang melarikan diri entah ke mana. Sayang sekali, Guru tidak tahu kalau Paman dan Bibi Lin ada di sini.”
Lin Zhennan dan istrinya sangat gembira mendengar cerita Linghu Chong. Ia pun berkata dengan napas tersengal-sengal, “Semoga... semoga Pingzhi bisa segera... segera datang. Kalau tidak... kalau tidak, kami mungkin sudah....” Dari suaranya yang sangat payah itu, sepertinya ajal Lin Zhennan sudah semakin dekat.
Linghu Chong ingin sekali membantu menyalurkan tenaga dalam untuk mengobati lukanya, namun saat itu ia sendiri juga belum sembuh benar. Maka, yang bisa ia lakukan hanya berkata, “Paman Lin hendaknya jangan bicara lagi. Sebentar lagi Guru mungkin melewati tempat ini. Beliau pasti bisa menyembuhkan luka kalian berdua.”
Lin Zhennan tersenyum getir. Sejenak ia memejamkan mata, kemudian berkata lagi dengan suara lirih, “Keponakan Linghu, aku... aku sudah tidak... tidak tahan lagi. Aku sangat gembira... Pingzhi bisa menjadi murid... Huashan. Kumohon kau... kau sudi menjaganya....”
“Paman Lin tidak perlu khawatir,” sahut Linghu Chong. “Tentu saja Adik Pingzhi tidak hanya kuanggap sebagai adik seperguruan, tetapi juga akan kuperlakukan seperti adik kandung sendiri. Apalagi Paman Lin sudah berpesan seperti itu, tentu aku akan lebih melindunginya lagi.”
“Budi baik Keponakan Linghu tidak akan pernah kami lupakan,” ujar Nyonya Lin ikut bicara. “Kami akan selalu mengingatnya... meskipun berada di alam baka sana.”
“Aku mohon Paman dan Bibi beristirahat saja. Jangan bicara lagi,” ujar Linghu Chong.
Namun Lin Zhennan tidak menghiraukan larangan Linghu Chong. Ia tetap saja berbicara meskipun dengan napas tersengal-sengal, “Tolong sampaikan... pesan terakhir kami kepada Pingzhi..... Katakan kepadanya... bahwa, di dalam rumah lama Keluarga Lin... di Gang Matahari, di Kota Fuzhou... terdapat benda pusaka... warisan leluhur. Seharusnya dia... menjaga benda itu dengan baik. Tapi... tapi menurut pesan leluhur, setiap anggota keluarga Lin, jangan sampai... jangan sampai membuka dan memeriksa... benda itu, karena... karena bisa mendatangkan... malapetaka besar.”
“Baiklah, pesan Paman Lin akan kusampaikan kepada Adik Pingzhi,” sahut Linghu Chong.
“Terima... terima... kas....” belum sempat kata-katanya selesai, napas Lin Zhennan sudah lebih dulu berhenti. Ketua Biro Pengawalan Fuwei itu telah meninggal dunia.
Rupanya selama beberapa hari ini Lin Zhennan telah merasakan berbagai macam siksaan yang dilakukan Yu Canghai. Demi untuk menyampaikan wasiat leluhur tersebut kepada Lin Pingzhi, ia berusaha keras melawan kematian. Kini begitu mendengar nasib putranya ternyata dalam keadaan aman, ia merasa sangat lega. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga ia menyampaikan wasiat tersebut kepada Linghu Chong, dan setelah itu, ia pun merasa tenang meninggalkan dunia fana.
Terdengar Nyonya Lin berkata, “Pendekar Muda Linghu, tolong kau sampaikan kepada Pingzhi supaya tidak melupakan sakit hati ayah-ibunya.” Usai berkata demikian ia lantas membenturkan kepalanya pada tiang batu tempat tangannya tadi diikat. Wanita itu pun meninggal pula dengan kepala remuk, menyusul sang suami.
Linghu Chong menghela napas menyaksikan kepergian pasangan suami-istri Lin tersebut. Dalam hati ia berpikir, “Yu Canghai dan Mu Gaofeng memaksa Paman dan Bibi Lin membocorkan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan. Meskipun dianiaya sampai setengah mati, mereka berdua pantang menyerah. Sekarang pun ketika ajal mereka tiba, Paman Lin masih saja berusaha merahasiakannya kepadaku. Dia takut aku menggelapkan benda pusaka itu sehingga menjelaskan bahwa benda tersebut bisa mendatangkan malapetaka besar. Hm, kau pikir Linghu Chong ini manusia macam apa? Padahal, mempelajari semua ilmu silat Huashan saja aku belum tuntas. Lalu, untuk apa aku harus bersusah payah mengincar ilmu silat orang lain? Kekhawatiran kalian sungguh sia-sia belaka.”
Linghu Chong kemudian duduk di lantai bersandar pada dinding untuk mengistirahatkan kakinya sambil memejamkan mata. Tiba-tiba dari arah pintu terdengar suara Yue Buqun berkata, “Pendeta Yu, apakah kau masuk ke dalam kuil ini?”
Seketika Linghu Chong pun berteriak, “Guru! Guru!”
Yue Buqun menjawab, “Chong-er, apa kau berada di dalam?”
“Benar, saya di sini!” jawab Linghu Chong sambil perlahan-lahan berdiri dengan bersandar pada tiang.
Yue Buqun segera masuk ke dalam kuil. Saat itu fajar sudah mulai menyingsing sehingga ia dapat melihat jasad suami-istri Lin Zhennan dengan mudah.
“Apakah mereka ini Ketua Lin dan istrinya?” tanya Yue Buqun kemudian.
“Benar,” jawab Linghu Chong. Ia lantas menceritakan semua yang ia ketahui, mulai dari pemaksaan yang dilakukan Mu Gaofeng; bagaimana ia menakut-nakuti dan mengusir Mu Gaofeng pergi; bagaimana kematian Lin Zhennan dan istrinya; serta bagaimana isi wasiat terakhir ketua Biro Pengawalan Fuwei tersebut.
“Apa? Mereka sudah mati?” sahut Yue Buqun ketika melihat pasangan tersebut telah menjadi mayat dengan keadaan masih terikat di tiang kuil.
Sejenak Yue Buqun termenung, baru kemudian ia berkata, “Dosa Yu Canghai semakin bertambah banyak, tapi ia tidak memperoleh apa-apa.”
“Apakah pendeta kerdil itu memohon belas kasihan kepada Guru?” tanya Linghu Chong dengan perasaan ingin tahu.
“Pendeta Yu memiliki sepasang kaki yang sangat gesit. Aku sudah berusaha keras mengejarnya namun jarak kami semakin jauh dan jauh saja,” ujar Yue Buqun. Sejenak ia menghela napas kemudian melanjutkan, “Ilmu meringankan tubuh Perguruan Qingcheng memang lebih bagus daripada Perguruan Huashan kita.”
“Benar, Guru!” jawab Linghu Chong sambil tetawa. “Apalagi jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat mereka paling hebat di dunia persilatan.”
Yue Buqun memasang wajah bengis dan membentak, “Chong-er, jaga mulutmu! Lidahmu memang tajam dan suka bicara tanpa dipikir lebih dulu. Mana bisa kau menjadi teladan bagi adik-adikmu?”
Linghu Chong langsung berhenti tertawa, kemudian berpaling sambil menjulurkan lidah dan menjawab, “Baik, Guru!” Ia memang dipungut Yue Buqun sejak kecil sehingga gurunya itu sudah seperti ayah sendiri baginya. Namun meskipun sangat menghormati sang guru, ia tetap suka bergurau di hadapan ketua Perguruan Huashan tersebut.
“Apakah Guru melihatku menjulurkan lidah?” ujar Linghu Chong kemudian.
Yue Buqun menjawab, “Meskipun kau berpaling, tapi aku melihat urat di bawah telingamu sedikit tegang. Sudah pasti kau menjulurkan lidahmu untuk meledek diriku. Huh, kau ini memang suka usil dan membuat onar. Kali ini tentu kau sudah kenyang menderita. Bagaimana dengan lukamu?”
“Sudah jauh lebih baik,” jawab Linghu Chong. “Semakin banyak menderita di masa kini, maka akan semakin pintar di masa depan.”
Yue Buqun mendengus dan berkata, “Apa kau merasa tidak cukup pintar saat ini?”
Usai berkata demikian ia lantas mengeluarkan kembang api dan berjalan ke luar kuil. Sesampainya di halaman, kembang api itu segera dinyalakan dan dilemparkannya ke atas. Kembang api tersebut melesat ke angkasa dan meletus menjadi seberkas cahaya terang berbentuk pedang berwarna putih keperakan. Beberapa menit kemudian, pedang cahaya tersebut perlahan turun ke bawah dan kemudian pecah menjadi titik-titik terang berhamburan. Ternyata nyala kembang api tersebut merupakan tanda isyarat Yue Buqun alias Si Pedang Budiman untuk memanggil segenap murid-murid Perguruan Huashan.
Tidak lama kemudian dari jauh terdengar suara langkah kaki seseorang sedang berlari menuju ke arah kuil kecil tersebut.
“Guru!” sahut orang itu setelah sampai di pelataran. Ternyata ia adalah Gao Genming si murid kelima.
“Ya, aku berada di sebelah dalam,” jawab Yue Buqun yang saat itu telah masuk kembali ke dalam kuil.
Gao Genming segera masuk dan memberi hormat kepada sang guru. Begitu melihat Linghu Chong, ia langsung berseru gembira, “Kakak Pertama, kau sudah sembuh? Kami sungguh mengkhawatirkan keadaan dirimu.”
Linghu Chong tersenyum haru. Ia menjawab, “Aku baik-baik saja. Langit telah melindungi aku. Kali ini aku benar-benar beruntung tidak sampai mati.”
Sayup-sayup terdengar suara langkah dua orang mendatangi kuil tersebut. Kali ini yang datang adalah Lao Denuo si murid kedua dan Lu Dayou si murid keenam. Begitu melihat Linghu Chong, tanpa memberi hormat lebih dulu kepada sang guru, Lu Dayou langsung melompat memeluknya dan berseru gembira, “Kakak Pertama, kami sangat mengkhawatirkanmu.”
Sejenak kemudian muncul Liang Fa si murid ketiga bersama Shi Daizi si murid keempat. Selang agak lama, muncullah Tao Jun si murid ketujuh, Ying Bailuo si murid kedelapan, Yue Lingshan putri sang guru, dan akhirnya Lin Pingzhi si murid baru.
Begitu melihat ayah dan ibunya telah meninggal dunia, Lin Pingzhi langsung menubruk dan memeluk jenazah mereka. Melihat tangisan pemuda itu, murid-murid Huashan yang lain ikut merasa prihatin.
Sebenarnya Yue Lingshan sangat senang melihat Linghu Chong telah sembuh dari luka. Namun melihat Lin Pingzhi sedang menangisi jasad kedua orang tuanya, maka ia pun menahan diri untuk tidak bersorak gembira. Perlahan-lahan gadis itu mendekat dan mencubit sang kakak pertama sambil berkata, “Apa kau... baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja,” jawab Linghu Chong.
Selama beberapa hari ini Yue Lingshan selalu dilanda kekhawatiran tentang berita kematian Linghu Chong. Kini, begitu melihat sang kakak pertama tiba-tiba muncul dalam keadaan selamat, ia tidak dapat lagi menahan perasaannya yang sudah menyesakkan dada. Maka, tanpa pikir lagi ia pun menarik lengan baju Linghu Chong dan menangis keras-keras.
Perlahan Linghu Chong menyandarkan kepala Yue Lingshan di bahunya sambil berkata lirih, “Adik Kecil, mengapa kau menangis? Siapa yang telah mengganggumu?”
Yue Lingshan tidak menjawab, melainkan terus saja mencucurkan air mata. Setelah perasaannya agak lega, ia pun berkata, “Kau tidak mati, kau tidak mati!”
“Tentu saja aku masih hidup,” jawab Linghu Chong sambil menggeleng.
“Aku dengar kau terkena pukulan Yu Canghai. Aku tahu ketua Perguruan Qingcheng itu menguasai Tapak Penghancur Jantung yang bisa membunuh orang tanpa mengeluarkan darah. Aku melihat sendiri bagaimana ia membantai banyak orang. Aku sangat takut dia... dia....” sampai di sini Yue Lingshan tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya dan kembali menangis.
“Aku sangat beruntung karena bisa menghindari pukulan itu,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum. “Tapi aku baru saja melihat pertarungan Guru melawan Yu Canghai, serta bagaimana pendeta kerdil itu lari terbirit-birit. Sayang sekali kau melewatkan peristiwa menarik tersebut.”
“Jangan kau ceritakan hal ini kepada orang lain,” sahut Yue Buqun menukas.
“Baik, Guru!” jawab Linghu Chong disertai murid-murid Huashan lainnya.
Yue Lingshan lantas memandangi wajah Linghu Chong yang terlihat kurus dan pucat pasi. Gadis itu lantas berkata, “Kakak Pertama, kali ini kau terluka sangat parah. Kau harus segera kembali ke Gunung Huashan untuk beristirahat.”
Sementara itu, Yue Buqun mendekati Lin Pingzhi yang masih menangisi jasad ayah dan ibunya. Ia pun berkata, “Pingzhi, jangan terus-menerus menangisi kedua orang tuamu. Lebih baik mari kita urus jenazah mereka.”
“Baik, Guru!” jawab Lin Pingzhi sambil bangkit berdiri. Namun begitu melihat wajah ayah dan ibunya yang berlumuran darah, mau tidak mau air matanya kembali bercucuran. Ia pun berkata dengan suara parau, “Ayah dan Ibu tidak melihatku pada saat-saat terakhir mereka. Mungkin mereka ingin... ingin memberikan nasihat perpisahan kepadaku.”
“Adik Lin,” sahut Linghu Chong, “aku berada di sini mendampingi ayah dan ibumu menjelang wafat. Beliau berdua berpesan kepadaku supaya selalu menjaga dirimu. Sudah tentu ini adalah kewajibanku. Selain itu, ayahmu juga meninggalkan sebuah wasiat untuk disampaikan kepadamu.”
“Oh... jadi Kakak Pertama mendampingi Ayah dan Ibu ketika mereka meninggal. Terima kasih banyak, terima kasih banyak, Kakak,” ujar Lin Pingzhi menahan haru.
“Paman dan Bibi Lin sungguh pantang menyerah. Meskipun Beliau berdua disiksa oleh para keparat dari Perguruan Qingcheng sampai terluka parah, namun keduanya tidak mau mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan,” ujar Linghu Chong. “Kemudian Mu Gaofeng datang pula untuk memaksa Paman dan Bibi Lin menyerahkan kitab tersebut. Si bungkuk itu memang seorang penjahat, sehingga tidak mengherankan kalau dia berbuat kejam seperti itu. Tapi Yu Canghai seorang ketua perguruan golongan putih. Tindakannya yang memalukan sudah tentu akan membuatnya dipandang rendah oleh seisi dunia persilatan.”
“Benar, Kakak Pertama!” sahut Lin Pingzhi dengan menggertakkan gigi. “Jika sakit hati ini tidak bisa kubalas, maka Lin Pingzhi lebih hina daripada babi.” Usai berkata demikian, pemuda itu mengepalkan tangan dan menghantam tiang batu di sebelahnya. Meskipun ilmu silatnya sangat rendah, namun karena kebenciannya sudah memuncak membuat pukulan itu sangat keras, sampai-sampai merontokkan debu dan kotoran di langit-langit kuil.
Yue Lingshan menyahut, “Adik Lin, semua ini terjadi karena kau membela diriku di kedai arak waktu itu. Tentu saja kelak jika kau mendapat kesempatan membalas dendam, aku tidak akan berpeluk tangan.”
“Terima kasih banyak, Kakak,” sahut Lin Pingzhi.
Yue Buqun menghela napas dan berkata, “Perguruan Huashan selama ini selalu bersikap teguh pendirian. Jika orang lain tidak mengganggu, maka kita tidak akan mengganggu mereka pula. Oleh sebab itu, perguruan kita jarang terlibat perselisihan dengan pihak mana pun. Namun sejak saat ini kita tidak bisa lagi hidup tenang. Mulai saat ini, Perguruan Qingcheng... Perguruan Qingcheng... Hm, sekali tercebur di dunia persilatan sulit sekali bagi kita untuk menghindari perselisihan.”
“Adik Kecil dan Adik Lin,” sahut Lao Denuo ikut berbicara, “Yu Canghai membunuh keluargamu bukan karena perbuatanmu menolong Adik Kecil, tapi sejak awal semua ini memang sudah ia rencanakan. Orang itu berambisi memiliki Kitab Pedang Penakluk Iblis. Benih-benih dendamnya muncul sejak gurunya yang bernama Tang Qingzi dikalahkan oleh kakek buyut Adik Lin yang perkasa.”
“Benar,” sahut Yue Buqun. “Kaum persilatan memang sukar terhindar dari keinginan untuk menjadi yang terhebat. Begitu mendengar adanya sebuah kitab rahasia ilmu silat – tidak peduli apakah berita itu benar atau tidak – tentu setiap orang berusaha mati-matian mendapatkannya, entah dengan cara gagah ataupun dengan cara licik. Padahal seorang guru besar seperti Pendeta Yu yang memiliki kepandaian tinggi dan nama besar, tidak sepantasnya mengincar ilmu silat pihak lain.”
“Guru, dalam keluarga kami sama sekali tidak terdapat Kitab Pedang Penakluk Iblis,” kata Lin Pingzhi. “Selama ini Ayah mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis secara lisan, dan menyuruh saya mengingat-ingat di dalam otak. Seandainya kitab itu benar-benar ada, mustahil Ayah tidak memberitahukannya kepada saya. Bukankah saya ini putra tunggalnya?”
Yue Buqun mengangguk dan berkata, “Aku sendiri tidak yakin apakah Kitab Pedang Penakluk Iblis benar-benar ada. Jika kitab itu sungguh ada, tentu Yu Canghai tidak mampu mengalahkan ayahmu. Bukankah ini merupakan bukti nyata?”
Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benak Linghu Chong. Ia pun segera berkata, “Adik Lin, sebelum meninggal dunia, ayahmu sempat berkata bahwa di Gang Matahari di Kota Fuzhou....”
Yue Buqun menukas, “Wasiat Ketua Lin hanya boleh kau sampaikan kepada Pingzhi seorang. Orang lain tidak perlu ikut mendengar.”
“Baik!” jawab Linghu Chong sambil mengangguk paham.
Yue Buqun kembali berkata, “Denuo dan Genming, kalian berdua pergilah ke Kota Hengshan untuk membeli dua buah peti mati.”
Kedua murid Huashan itu pun berangkat melaksanakan perintah sang guru. Singkat cerita mereka telah kembali dengan disertai beberapa orang kuli membawa dua buah peti mati besar. Setelah memasukkan jasad kedua orang tua Lin Pingzhi ke dalam masing-masing peti, Yue Buqun pun memutuskan untuk pulang ke Gunung Huashan melalui jalur sungai.
Dalam perjalanan menuju sungai yang terletak di utara kota, Linghu Chong sempat melihat di kejauhan beberapa biksuni muda sedang berjalan ke arah lain. Samar-samar ia mengenali salah satu dari mereka adalah Yilin. Rupanya Biksuni Dingyi telah mengutus beberapa orang muridnya untuk pergi mencari keberadaan Yilin. Para murid tersebut berhasil melaksanakan tugas dengan baik, dan mereka membawa biksuni muda itu ke tempat sang guru untuk bersama-sama kembali ke Gunung Henshan.
Linghu Chong merasa lega melihat Yilin telah bergabung dengan saudara-saudaranya. Pada sore harinya, rombongan Perguruan Huashan telah sampai di tepi sungai. Di sana Yue Buqun menyewa sebuah kapal untuk mengangkut rombongannya, beserta kedua peti mati yang berisi jasad Lin Zhennan dan istrinya.
Kapal pun berlayar menyusuri sungai menuju ke arah barat. Sesampainya di wilayah Provinsi Henan, rombongan tersebut berganti menempuh jalur darat. Saat itu Yue Buqun telah menyewa pedati untuk mengangkut kedua peti. Linghu Chong yang belum sembuh benar juga ikut menumpang di dalam pedati tersebut.
Beberapa hari kemudian, rombongan Yue Buqun itu akhirnya tiba di kaki Gunung Huashan. Setelah sampai di Puncak Gadis Suci, kedua peti mati diletakkan di dalam sebuah kuil kecil, untuk selanjutnya tinggal mencari tanggal yang tepat guna menguburkan jasad pasangan suami-istri Lin Zhennan tersebut.
Gao Genming dan Lu Dayou lantas mendahului pulang untuk menyampaikan kabar kepulangan sang guru. Tidak lama kemudian murid-murid Huashan lainnya tampak berdatangan menyambut rombongan. Murid-murid yang tidak ikut ke Hengshan berjumlah sekitar dua puluhan atau lebih. Satu per satu mereka diperkenalkan kepada Lin Pingzhi selaku murid baru. Beberapa di antaranya sudah berusia tiga puluhan, namun ada juga yang masih berusia belasan tahun. Selain itu terlihat pula enam orang murid perempuan yang segera mengerumuni Yue Lingshan. Dalam sekejap mereka sudah terlibat pembicaraan seru.
Sesuai peraturan, Lin Pingzhi yang saat itu berusia sembilan belas tahun harus memanggil “kakak” kepada semua murid Huashan yang masuk perguruan sebelum dirinya, termasuk kepada murid paling kecil, yaitu Su Qi yang baru berusia dua belas tahun.
Namun demikian, peraturan tersebut tidak berlaku untuk Yue Lingshan. Sebagai putri sang guru, ia berhak memanggil “kakak” dan “adik” berdasarkan usia, bukan berdasarkan urutan masuk perguruan. Meskipun demikian, ia menolak memanggil “kakak” kepada Lin Pingzhi yang setahun lebih tua daripada dirinya. Karena Yue Buqun tidak melarang, serta Lin Pingzhi juga tidak keberatan, maka Yue Lingshan pun bisa leluasa memanggil pemuda itu dengan sebutan “adik”.
Yue Buqun lantas memimpin rombongan murid-muridnya itu mendaki menuju ke puncak. Sepanjang perjalanan, Lin Pingzhi menyaksikan pemandangan indah terhampar di mana-mana. Gunung Huashan memang sangat terjal, namun sangat sedap dipandag mata. Pepohonan cemara tua yang rindang dan berwarna hijau asri serta suara burung berkicau membuat suasana bertambah nyaman. Beberapa bangunan megah berderet-deret tersebar menurut tinggi rendahnya tanah pegunungan, dan kesemuanya berwarna putih bersih.
Di depan salah satu gedung tersebut tampak seorang wanita cantik setengah umur muncul menyambut rombongan. Begitu melihatnya, Yue Lingshan langsung berlari ke arahnya dan berseru, “Ibu, aku baru saja mendapat satu adik seperguruan lagi.”
Dalam perjalanan tadi Lin Pingzhi sempat mendengar bahwa istri Yue Buqun atau yang biasa dipanggil dengan sebutan “ibu-guru” juga seorang pendekar pedang terkenal, bernama Ning Zhongze. Sebenarnya ia juga seorang murid Huashan, yaitu adik seperguruan Yue Buqun sendiri.
(Bersambung)
Bagian 17 ; Halaman muka ; Bagian 19