Bagian 63 - Pertempuran di Kuil Gantung

Fangzheng manggut-manggut dan berkata, “Adik seperguruanku, yaitu Biksu Fangsheng pernah sekali bertemu dengan Tuan Feng Qingyang. Adik Fangsheng berkata kepadaku bahwa ilmu pedangmu merupakan hasil didikan Tuan Feng. Berita yang kami dengar, pada masa perpecahan Perguruan Huashan tersebut Tuan Feng telah mengasingkan diri entah ke mana.”
Chongxu menyahut, “Konon pada masa perpecahan itu, Tuan Feng menyingkir ke Jiangnan dan menikah di sana. Begitu mendengar adanya pertempuran sesama saudara di Huashan, ia segera kembali untuk mendukung Kelompok Pedang. Namun Kelompok Pedang saat itu telah mengalami kekalahan dengan jumlah korban yang tidak sedikit. Maka dengan ilmu pedangnya yang luar biasa itu, Tuan Feng berhasil membalik keadaan. Kelompok Tenaga Dalam ganti menjadi pihak yang terdesak. Namun tiba-tiba Tuan Feng mendengar berita kurang sedap mengenai keluarganya di Jiangnan. Konon, seorang bernama Yue Zheng telah menerima perintah rahasia dari Kelompok Tenaga Dalam supaya menyewa seorang pelacur untuk berpura-pura menjadi putri keluarga Yue. Dengan menyamar sebagai perempuan baik-baik, pelacur itu bisa menjadi istri Tuan Feng serta menahan Tuan Feng agar selalu berada di Jiangnan. Setelah mendengar kenyataan itu, Tuan Feng penasaran dan kembali ke Jiangnan mencari istrinya serta keluarga Yue. Namun mereka semua seolah lenyap begitu saja. Ia benar-benar merasa ditipu mentah-mentah. Desas-desus yang terdengar di dunia persilatan, konon Tuan Feng sangat terguncang dan akhirnya bunuh diri memotong leher sendiri.”
Fangzheng memandang Chongxu dengan tatapan tajam berharap agar sang pendeta berhenti bercerita. Namun Chongxu pura-pura tidak melihat dan terus saja berkata, “Ketua Linghu, aku sangat menghormati Tuan Feng dan tidak berani membicarakan kehidupan pribadinya. Aku bercerita seperti ini hanya sebagai pelajaran untukmu, bahwa seorang pendekar besar bisa saja terjerumus akibat seorang wanita.”
Linghu Chong sadar kalau Chongxu sedang menyindir hubungannya dengan Ren Yingying. Namun karena Chongxu bermaksud baik, ia hanya menghela napas tanpa menjawab. Ia merenung, “Kakek Guru Feng tinggal di Puncak Perenungan seumur hidupnya. Rupanya Beliau sangat menyesali kesalahannya di masa lalu dan malu untuk kembali ke dunia persilatan. Ini sebabnya kenapa Kakek Feng melarangku membicarakan keberadannya kepada orang lain, serta Beliau juga berkata tidak ingin bertemu orang-orang Huashan lagi. Duka dan kesedihan yang menimpa dirinya dirasakan selama berpuluh-puluh tahun. Selama itu pula Beliau hidup seorang diri. Kini aku sudah mengetahui duduk permasalahannya. Suatu hari nanti aku akan mendaki Puncak Huashan dan berbicara dengan Beliau. Aku bukan lagi orang Huashan sehingga menemui Beliau tidak akan dianggap sebagai pelanggaran oleh Beliau.”
Ketiga orang itu berbicara selama setengah hari dan tanpa terasa matahari sudah hampir tenggelam di balik gunung. Fangzheng berkata, “Tidak lama setelah Yue Su dan Cai Zifeng dari Perguruan Huashan menulis ulang Kitab Bunga Mentari sesuai hasil hafalan mereka, keduanya lantas terbunuh menjadi korban serangan kesepuluh gembong aliran sesat itu. Keduanya belum sempat mempelajari ilmu dalam kitab tersebut sampai tuntas, dan kitab itu sendiri telah jatuh ke tangan aliran sesat. Meskipun belum mempelajarinya sampai tuntas, namun Yue Su dan Cai Zifeng memiliki penafsiran sendiri-sendiri terhadap isi kitab tersebut. Yang satu berpendapat bahwa belajar tenaga dalam dahulu jauh lebih penting, sementara yang satunya berpendapat belajar jurus pedang jauh lebih penting. Masing-masing memiliki pengikut dan pendukung sehingga Perguruan Huashan pun terpecah menjadi dua. Perpecahan itu berkembang menjadi pertempuran yang sangat merugikan kedua belah pihak. Hm, Kitab Bunga Mentari ini sangat tidak bermanfaat untuk perguruan Huashan.”
Chongxu mengangguk, “Lima warna membutakan mata, lima nada memekakkan telinga, mungkin inilah peribahasa yang tepat.”
Fangzheng melanjutkan, “Meskipun kesepuluh gembong aliran sesat berhasil merebut Kitab Bunga Mentari, namun mereka semua terbunuh pula pada serangan berikutnya. Ketua Linghu tadi menyampaikan bahwa Ketua Ren memberikan kitab itu kepada Dongfang Bubai. Tentu yang dimaksud adalah kitab hasil tulisan kedua tokoh dari Huashan tersebut. Sebenarnya isi kitab ini masih kalah luas dibandingkan dengan apa yang dipahami oleh Lin Yuantu.”
“Lin Yuantu? Siapa itu Lin Yuantu?” sahut Linghu Chong menegas.
“Dia adalah kakek buyut Adik Lin-mu, pendiri Biro Pengawalan Fuwei yang terkenal dengan 72 jurus Pedang Penakluk Iblis-nya itu,” jawab Fangzheng.
“Apakah Tuan Lin ini juga pernah membaca Kitab Bunga Mentari sebelumnya?” tanya Linghu Chong.
“Dia… dia adalah Biksu Duyuan, murid kesayangan Biksu Hongxie,” ujar Fangzheng menjelaskan.
Hati Linghu Chong tergetar mendengarnya. Ia berkata, “O, ternyata demikian. Ini benar-benar… agak….”
“Sebelum menjadi biksu ia memang bermarga Lin. Setelah meninggalkan biara, ia lantas memakai marganya kembali,” kata Fangzheng.
“Ternyata Tuan Lin yang terkenal dan disegani karena memiliki 72 jurus Pedang Penakluk Iblis itu adalah Biksu Duyuan. Ini sungguh tidak… tidak terduga sama sekali,” ujar Linghu Chong. Seketika kejadian-kejadian saat Lin Zhennan meninggal dunia di kuil tua di luar Kota Hengshan dahulu itu terbayang-bayang kembali di dalam benaknya.
Fangzheng melanjutkan, “Duyuan atau Tuyuan. Setelah meninggalkan biara, ia lantas menggunakan kembali marga aslinya namun tetap memakai nama kebuddhaannya, yaitu membalik ‘Duyuan’ menjadi ‘Yuantu’. Ia juga menikah dan punya anak serta mendirikan sebuah biro pengawalan bernama Fuwei. Kehebatannya menggemparkan dunia persilatan. Tuan Lin itu seorang yang sangat lurus. Meski menjadi seorang pengusaha, namun ia tetap suka membela kebenaran serta menolong sesamanya. Hatinya lembut tidak ubahnya seperti saat masih menjadi biksu. Sudah tentu tidak lama kemudian Biksu Hongxie mengetahui bahwa Tuan Lin itu adalah bekas muridnya. Namun kabarnya di antara guru dan murid itu untuk selanjutnya tetap tidak saling berhubungan.”
Linghu Chong bertanya, “Tuan Lin memperoleh intisari Kitab Bunga Mentari dari uraian sesepuh Huashan kami, Yue Su dan Cai Zifeng. Lalu bagaimana jurus Pedang Penakluk Iblis itu bisa sangat terkenal, padahal yang diwarisi Tuan Lin Zhennan sangat tidak bagus?”
“Jurus Pedang Penakluk Iblis memang berasal dari Kitab Bunga Mentari yang tidak lengkap itu, yaitu ketika Biksu Duyuan mendengar penuturan Yue Su dan Cai Zifeng di Gunung Huashan,” ujar Fangzheng. Tiba-tiba ia berpaling kepada Chongxu, “tentang ilmu pedang kau adalah ahlinya dan jauh lebih paham daripadaku. Mengenai seluk-beluk masalah ini lebih baik kau saja yang bercerita.”
Chongxu tertawa menjawab, “Andai saja kita bukan teman lama, tentu ucapanmu ini bisa membuatku marah. Kau bisa kuanggap mengolok-olok diriku, karena pada zaman ini ilmu pedang siapa yang bisa melebihi Pendekar Linghu?”
Fangzheng berkata, “Meskipun Pendekar Linghu sangat hebat, tapi pengetahuan dan pengalamannya tentang ilmu pedang masih jauh untuk menyamai dirimu. Kita bertiga adalah teman, untuk apa pakai segan-segan segala.”
“Ah, padahal pengetahuanku tentang ilmu pedang masih jauh untuk disebut mahir. Kelak jika ada kesempatan bertemu Tuan Feng Qingyang, aku akan minta petunjuk kepadanya,” ujar Chongxu. Ia lantas berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, “Jurus Pedang Penakluk Iblis milik keluarga Lin yang sekarang memang rendah, padahal ilmu yang sama telah membuat Lin Yuantu menggemparkan dunia persilatan. Memang, keduanya berasal dari jurus yang sama namun sangat mencolok perbedaanya. Ketua Perguruan Qingcheng terdahulu yang bernama Zhang Qingzi sangat disegani di daerah barat namun kalah telak di tangan Lin Yuantu. Namun sekarang ilmu pedang Perguruan Qingcheng malah jauh lebih bagus daripada ilmu pedang keluarga Lin. Di balik hal ini tentu ada sebab-sebab tertentu. Masalah ini sudah lama kurenungkan, dan tentunya juga menjadi bahan pemikiran setiap peminat ilmu pedang di dunia persilatan.”
Linghu Chong berkata, “Mengapa keluarga Adik Lin hancur dan berantakan, ayah dan ibunya tewas secara mengenaskan, semua ini sampai sekarang belum juga terpecahkan.”
“Benar,” jawab Chongxu. “Nama besar Pedang Penakluk Iblis terlalu hebat, namun kepandaian Lin Zhennan ternyata sangat rendah. Perbedaan mencolok ini mau tidak mau menimbulkan dugaan bahwa Lin Zhennan pasti terlalu dungu dan tidak mampu mempelajari ilmu silat leluhurnya yang mengagumkan itu. Lebih jauh orang-orang tentu berpikir bila Kitab Pedang Penakluk Iblis itu jatuh di tanganku tentu aku dapat menyelami kajaiban ilmu pedang Lin Yuantu yang gilang-gemilang di masa lampau tersebut. Adik Linghu, selama ratusan tahun ini Lin Yuantu memang bukan satu-satunya ahli pedang. Di samping dirinya masih ada Perguruan Shaolin, Wudang, Emei, Kunlun, Diancang, Qingcheng, dan tentu saja Serikat Pedang Lima Gunung. Masing-masing memiliki ahli waris sendiri-sendiri sehingga tidak saling mengincar ilmu pedang pihak lain. Namun melihat kepandaian Lin Zhennan begitu rendah sementara di dalam keluarganya tersimpan ilmu pedang hebat warisan leluhur, tentu keadaannya bagaikan seorang anak kecil membawa emas dan berkeliaran sendiri di tengah pasar. Mau tidak mau hal ini tentu saja menarik perhatian setiap orang untuk merebut emasnya itu.”
Linghu Chong berkata, “Tuan Lin Yuantu murid kesayangan Biksu Hongxie dan ia pernah belajar di Perguruan Shaolin Putian. Pasti ia sudah menguasai ilmu silat Shaolin yang hebat sehingga mengenai jurus Pedang Penakluk Iblis atau apa, bukan mustahil cuma namanya saja yang sengaja ia berikan, tapi sesungguhnya itu adalah ilmu silat Perguruan Shaolin yang ia ubah sedikit di sana-sini.”
“Memang banyak juga orang yang berpikir demikian,” kata Chongxu. “Tapi jurus Pedang Penakluk Iblis dan ilmu Perguruan Shaolin jelas-jelas berbeda. Setiap orang yang memahami ilmu pedang akan segera tahu bila melihatnya. Hm, orang yang mengincar kitab keluarga Lin sebenarnya sangat banyak, tapi akhirnya si pendek dari Perguruan Qingcheng yang turun tangan paling dulu. Meskipun si pendek bermarga Yu ini cukup cekatan, namun otaknya agak bebal. Mana bisa ia dibandingkan dengan gurumu, Tuan Yue yang pendiam, tapi tinggal menarik keuntungan?”
Seketika wajah Linghu Chong berubah. Ia berseru, “Pendeta… apa yang kau katakan?”
Chongxu tersenyum menjawab, “Setelah Lin Pingzhi putra Lin Zhennan masuk Perguruan Huashan, dengan sendirinya Kitab Pedang Penakluk Iblis pun dibawanya serta. Kabarnya Tuan Yue punya seorang putri tunggal yang akan dijodohkan kepada Adik Lin-mu itu, betul tidak? Hm, ini sungguh suatu muslihat jangka panjang yang sempurna.”
Semula Linghu Chong kurang senang ketika Pendeta Chongxu menyinggung nama baik Yue Buqun, gurunya. Namun setelah mendengar Chongxu mengatakan gurunya itu bermain muslihat jangka panjang, tiba-tiba ia teringat pada kejadian dahulu, waktu sang guru mengutus Lao Denuo dan adik kecilnya menyamar di sebuah kedai arak di luar Kota Fuzhou. Waktu itu ia tidak tahu apa maksud tujuan sang guru, tapi sekarang ia paham tujuannya adalah untuk mengawasi Biro Pengawalan Fuwei. Padahal kepandaian Lin Zhennan sudah jelas sangat rendah, lalu untuk apa gurunya itu mengirim orang kalau bukan untuk mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis? Hanya saja, cara yang digunakan gurunya ini memakai akal, tidak memakai kekerasan seperti si pendek Yu Canghai dan si bungkuk Mu Gaofeng.
Linghu Chong kemudian berpikir pula, “Adik Kecil seorang gadis muda belia, mengapa Guru membiarkannya menonjolkan diri di tempat umum, di sebuah kedai arak dalam waktu cukup lama?” Berpikir sampai di sini tiba-tiba hatinya bergetar, perasaannya merinding. Seketika itu ia paham duduk perkaranya, “Ternyata Guru sengaja mengatur dan menghendaki supaya Adik Kecil berjodoh dengan Adik Lin sejak jauh-jauh sebelumnya.”
Melihat air muka Linghu Chong berubah masam, Fangzheng dan Chongxu sadar pemuda ini biasanya sangat menghormati sang guru, tentu perkataan tadi agak menyinggung perasaannya. Maka Fangzheng pun berkata, “Apa yang kami sampaikan tadi hanya obrolanku dengan Pendeta Chongxu saja dan cuma sekadar dugaan pula. Padahal gurumu di dunia persilatan terkenal sebagai kesatria yang sopan dan alim. Mungkin kami yang telah salah menduga dan salah pula menilainya.”
Linghu Chong merasa bingung. Ia berharap perkataan Chongxu tadi salah, namun dalam lubuk hatinya tetap ada perasaan bahwa ucapan pendeta sakti tersebut benar adanya. Ia pun merenung, “Tuan Lin Yuantu tadinya seorang biksu. Itu sebabnya di rumah lama keluarga Lin di Jalan Xiangyang terdapat ruangan sembahyang Buddha, dan juga jubah biksu berisi rahasia Jurus Pedang Penakluk Iblis. Dugaanku, ia menghafalkan penuturan kedua sesepuh, Yue Su dan Cai Zifeng di Huashan tentang Kitab Bunga Mentari, kata demi kata. Setelah itu ia pun menuliskannya kembali pada jubah biksu yang ia kenakan waktu itu.”
Terdengar Chongxu berkata, “Sampai sekarang, Kitab Bunga Mentari tetap menyimpan rahasia ilmu silat yang sangat besar. Aliran sesat menyimpan sebagian, yaitu hasil rampasan kesepuluh gembong dahulu. Gurumu, Tuan Yue, juga menyimpan sebagian. Mengingat Lin Pingzhi sudah bergabung ke dalam Perguruan Huashan, maka Zuo Lengchan juga tidak akan tinggal diam. Dapat dipastikan saat ini ia menyimpan dua tujuan. Pertama, membunuh Tuan Yue dan melebur Huashan ke dalam Songshan, lalu yang kedua merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis dari tangan gurumu itu.”
Linghu Chong manggut-manggut, lantas berkata, “Dugaan Pendeta ada benarnya. Tapi bukankah Kitab Bunga Mentari yang lengkap ada di Biara Shaolin Putian? Apakah Zuo Lengchan tidak mengetahui hal ini? Jika ia tahu saya khawatir ia akan menyerbu biara tersebut.”
Fangzheng tersenyum menanggapi, “Kitab Bunga Mentari yang lengkap di Biara Shaolin Putian sudah dimusnahkan sejak lama. Jadi, kau tidak perlu khawatir mengenai hal ini.”
Linghu Chong terkejut mendengarnya, “Apa? Dimusnahkan?”
Fangzheng menjawab, “Sesaat sebelum Biksu Hongxie meninggal, ia mengumpulkan semua muridnya. Ia menyampaikan hasil penafsirannya dan kemudian melemparkan kitab itu ke dalam api. Kepada murid-muridnya ia berkata: ‘Ilmu silat yang terkandung dalam kitab ini sangat luar biasa dan menakjubkan. Langkah pertama untuk mempelajari ilmu ini tidak hanya sulit dilakukan, namun juga tidak mungkin dilakukan. Maka itu, jika kitab ini sampai jatuh ke tangan orang lain bisa sangat berbahaya. Ia kemudian menulis sepucuk surat kepada ketua Biara Shaolin di Gunung Shaoshi tentang hal ini.”
Linghu Chong menghela napas. “Biksu Hongxie benar-benar bijak. Jika Kitab Bunga Mentari lenyap dari muka bumi, maka kekacauan di dunia persilatan dapat dihindari,” katanya. Ia kemudian terdiam dan merenung, “Jika Kitab Bunga Mentari tidak ada, maka Jurus Pedang Penakluk Iblis juga tidak ada. Guru juga tidak akan mendekatkan Adik Kecil dengan Adik Lin. Atau, Adik Lin tidak akan pernah bergabung dengan Perguruan Huashan, sehingga ia tidak akan pernah bertemu Adik Kecil.” Namun kemudian hatinya berkata, “Tapi, aku sendiri seorang pengelana liar yang sudah terlanjur bergaul dengan golongan hitam. Meskipun Kitab Bunga Mentari tidak ada, tetap saja aku dikeluarkan dari perguruan. Hm, seorang laki-laki sejati mengikuti suara hatinya dan menuai apa yang ia tabur sendiri. Tidak seharusnya aku menyalahkan pihak lain.”
Chongxu berkata, “Tanggal lima belas bulan depan Zuo Lengchan Serikat Pedang Lima Gunung di Gunung Songshan untuk memilih ketua. Bagaimana pendapat Pendekar Linghu mengenai hal ini?”
Linghu Chong tertawa dan berkata, “Apa masih ada yang namanya pemilihan? Jabatan ketua sudah pasti menjadi milik Zuo Lengchan.”
Chongxu bertanya, “Apa Pendekar Linghu tidak ingin menentang hal ini?”
“Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah tunduk kepadanya,” jawab Linghu Chong. “Hanya tinggal Perguruan Henshan kami saja yang belum tunduk kepadanya. Namun jika kami menentang, apakah ini bukan hal yang sia-sia?”
Chongxu mengangguk dan menjawab, “Tidak juga! Perguruan Taishan, Huashan, dan Hengshan memang tunduk kepada kekuasaan Songshan. Namun itu hanya luarnya saja. Meskipun mereka menyatakan tunduk, namun dalam hati mereka tentu menolak peleburan ini.”
Fangzheng menambahkan, “Menurut pendapatku, Pendekar Linghu nanti di sana hendaknya menentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung itu. Saya rasa tidak semua orang menyetujui peleburan itu. Andai penggabungan itu sudah tidak dapat diurungkan lagi, maka kedudukan ketua partai harus ditentukan melalui pertandingan silat. Bila Pendekar Linghu bersungguh-sungguh, tentu kau dapat mengalahkan Zuo Lengchan bertanding pedang.”
“Tapi aku… aku….” seru Linghu Chong terperanjat bingung.
“Aku sependapat dengan Biksu Ketua,” sela Pendeta Chongxu, “kami pernah bertukar pikiran mengenai sifatmu yang tidak tertarik dalam hal kedudukan ketua atau apapun. Bila kau menjabat sebagai ketua – terus terang saja – tata tertib Partai Lima Gunung akan menjadi kendur, dan para anggota tentu merasa leluasa bertindak apa saja. Hal ini juga bukan sesuatu yang baik untuk dunia persilatan….”
“Hahaha, ucapan Pendeta memang tepat,” seru Linghu Chong tertawa. “Bagaimana mungkin aku bisa mengemban tugas berat itu? Aku, Linghu Chong, hanya seorang petualang yang kurang tertib hidupnya dan suka pada kebebasan.”
“Hidup kurang tertib tidak terlalu membahayakan orang lain, tapi ambisi yang besar justru banyak mencelakakan orang,” ujar Chongxu. “Bila Adik Linghu menjadi ketua Partai Lima Gunung, pertama, tentu takkan menggunakan kekerasan untuk menumpas aliran sesat. Kedua, juga takkan mencaplok Perguruan Shaolin dan Wudang kami. Ketiga, kemungkinan besar kau pun tak berminat untuk mencaplok perguruan-perguruan lain seperti Emei, Kunlun, dan Kongtong.”
Fangzheng tersenyum berkata, “Kami berdua sepakat menjalankan rencana ini. Meskipun kami mengatakan ini semua demi keselamatan dunia persilatan, namun setengahnya juga demi perguruan kami berdua.”
Chongxu menyahut, “Terus terang, kunjungan kami ke Henshan ini di samping memberi selamat kepadamu juga demi menyelamatkan nyawa beribu-ribu kawan persilatan, baik dari golongan putih maupun golongan hitam.”
“Amitabha! Jika Zuo Lengchan sampai menjadi ketua Partai Lima Gunung, siapa yang bisa menjamin kapan pembunuhan akan berakhir,” ujar Fangzheng.
Linghu Chong menghirup napas dalam-dalam, lalu berkata, “Jika demikian pesan Ketua berdua, sudah tentu Linghu Chong tidak berani menolaknya. Tapi Ketua berdua harap maklum bahwa saya masih terlalu hijau dalam segala hal. Menjabat sebagai ketua Perguruan Henshan saja sudah keterlaluan, apalagi menjadi ketua Partai Lima Gunung? Mungkin saya akan banyak ditertawakan oleh para kesatria di seluruh jagad. Maka itu, saya sama sekali tidak menginginkan jabatan ketua Partai Lima Gunung. Namun tanggal lima belas nanti saya pasti akan hadir ke Gunung Songshan untuk mengobrak-abriknya. Bagaimanapun juga, niat Zuo Lengchan untuk menjadi ketua Partai Lima Gunung harus digagalkan. Linghu Chong memang tidak mahir berbuat suatu kebaikan, tapi kalau disuruh berbuat onar dijamin beres.”
Chongxu berkata, “Kalau hanya berbuat onar saja juga kurang baik. Dalam keadaan terpaksa, kuharap kau jangan menolak untuk diangkat sebagai ketua.”
Namun Linghu Chong terus saja menggeleng-gelengkan kepala.
Chongxu melanjutkan, “Jika kau tidak berebut kedudukan ketua dengan Zuo Lengchan, akhirnya tentu dia yang terpilih sehingga Serikat Pedang Lima Gunung pun terlebur menjadi satu. Orang pertama yang akan dibereskan oleh Zuo Lengchan tentu kau sendiri.”
Linghu Chong terdiam dan menghela napas panjang, kemudian berkata, “Jika harus seperti itu, lantas mau bagaimana lagi?”
Chongxu terus mendesak, “Mungkin kau dapat meloloskan diri, tapi apakah semua anak buahmu akan kau tinggalkan begitu saja? Bagaimana kalau Zuo Lengchan membantai murid-murid tinggalan Biksuni Dingxian yang kau pimpin sekarang ini? Apakah kau juga akan tinggal diam?”
“Tidak bisa!” seru Linghu Chong sambil menggebrak tali jembatan di sampingnya.
Fangzheng menambahkan, “Selain itu, gurumu dan saudara-saudara seperguruanmu dari Huashan rasanya juga takkan lolos dari akal licik Zuo Lengchan dalam waktu yang tidak lama lagi. Satu per satu dari mereka pasti akan menjadi korban keganasan Zuo Lengchan. Apakah kau juga tetap berpangku tangan?”
Hati Linghu Chong tergetar mendengarnya. Bulu tengkuknya terasa ikut merinding. Sejenak kemudian ia lantas menjawab dengan hormat kepada kedua tokoh itu, “Terima kasih atas petunjuk Ketua berdua. Saya pasti akan berusaha sekuat tenaga.”
Fangzheng berkata, “Tanggal lima belas bulan tiga nanti saya dan Saudara Chongxu tentu juga akan berkunjung ke Gunung Songshan untuk sekadar ikut membantu Pendekar Linghu.”
“Bila Ketua berdua juga hadir, bagaimanapun Zuo Lengchan takkan berani berbuat sewenang-wenang,” kata Linghu Chong gembira.
Ketiganya mengakhiri perundingan dengan hati lega. Meskipun masalah yang dihadapi cukup berat, namun karena jalan keluar sudah terlihat mereka pun merasa ringan. Chongxu tertawa berkata, “Marilah kita kembali saja. Seorang ketua baru menghilang sekian lama, tentu anak buahmu sedang bingung menantikan dirimu.”
Ketiganya lantas berputar balik. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Siapa itu?”
Ternyata saat itu ia mendengar suara napas banyak orang dari arah ujung jembatan gantung. Sepertinya di dalam Loteng Kura-kura Sakti pada Kuil Gantung sebelah kiri itu ada pihak lain yang bersembunyi dan mengintai mereka.
Baru saja ia selesai membentak, serentak terdengar suara berisik. Beberapa daun jendela loteng tersebut tampak didobrak orang. Sekejap kemudian terlihat belasan batang busur panah mencuat keluar terarah kepada mereka bertiga. Pada saat yang hampir sama di Loteng Ular Sakti di belakang mereka juga terjadi hal yang serupa. Daun jendela juga didobrak dan belasan busur panah muncul mengincar ke arah mereka.
Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong adalah tiga tokoh terkemuka di dunia persilatan zaman ini. Dalam keadaan biasa, meskipun puluhan anak panah diarahkan ke tubuh mereka, namun senjata-senjata itu belum tentu mampu melukai ketiganya. Akan tetapi saat ini keadaannya berbeda. Ketiganya sedang berada di tengah jembatan gantung yang lebarnya hanya sekitar satu meter saja. Di bawah mereka adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya. Ditambah lagi, mereka bertiga tidak membawa senjata sama sekali. Menghadapi keadaan yang luar biasa secara tiba-tiba ini, mau tidak mau mereka merasa terkejut pula di dalam hati.
Selaku tuan rumah, Linghu Chong segera melangkah ke depan dan membentak, “Kaum celurut dari mana ini? Mengapa tidak tampakkan diri?”
Namun pertanyaannya itu dijawab dengan suara bentakan seseorang, “Serang!”
Sebanyak tujuh belas atau delapan belas anak panah melesat ke arah Linghu Chong. Akan tetapi, yang melesat ini ternyata bukan panah-panah biasa, melainkan semacam semburan air dari ujung busur masing-masing. Air yang menyembur itu berwarna kehitam-hitaman, serta berbau busuk dan sangat aneh, seperti bau bangkai dan juga menyerupai bau udang atau ikan busuk pula. Benar-benar memuakkan dan membuat Linghu Chong, Fangzheng, dan Chongxu ingin muntah meskipun tenaga dalam mereka sangat tinggi.
Semburan air itu mengarah ke udara dan sejenak kemudian turun lagi menjadi titik-titik hujan. Saat beberapa tetes air hitam itu jatuh di atas papan kayu jembatan, dalam sekejap saja langsung membekas dan menimbulkan lubang-lubang kecil. Jelas air hitam tersebut adalah racun yang bisa melelehkan sasaran.
Meski Fangzheng dan Chongxu berpengalaman luas, tapi air beracun sehebat itu tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Kalau menghadapi anak panah atau senjata rahasia biasa mereka mampu menghindarinya meski tanpa senjata. Namun menghadapi air beracun yang bisa menghancurkan benda-benda yang tertetes ini boleh dikata membuat mereka gentar juga. Sedikit saja kulit terciprat bisa membuat daging mereka membusuk sampai ke tulang.
Kedua tokoh sepuh itu saling pandang sejenak. Wajah masing-masing tampak berubah hebat, dengan sorot mata memancarkan rasa ngeri. Padahal biasanya kedua orang ini bisa dikatakan tidak punya rasa takut sama sekali.
Setelah air beracun itu disemburkan, dari balik jendela terdengar suara seseorang berseru lantang, “Air beracun ini hanya disemburkan ke udara. Kalau sekiranya disemprotkan ke tubuh kalian, tentu bisa dibayangkan bagaimana akibatnya?” Lalu belasan ujung busur panah tadi terlihat mulai menggeser ke bawah dan kembali diarahkan kepada Linghu Chong bertiga.
Jembatan gantung itu panjangnya belasan meter yang menghubungkan Loteng Kura-kura Sakti di sebelah kanan dan Loteng Ular Sakti di sebelah kiri. Namun kini di dalam kedua loteng itu sama-sama terpasang alat penyembur air beracun. Bila alat-alat itu dijalankan serentak, biarpun punya kepandaian setinggi langit juga sulit untuk menyelamatkan diri.
Mendengar suara orang itu, Linghu Chong langsung mengenali siapa dia. Segera ia pun berseru, “Hm, kabarnya Ketua Dongfang mengirim hadiah kepadaku. Benar-benar hadiah yang luar biasa!”
Ternyata orang yang berbicara di Loteng Kura-kura Sakti itu memang Jia Bu, utusan Dongfang Bubai yang datang untuk membawa hadiah. Ia lantas bergelak tawa dan berkata, “Pintar sekali Tuan Muda Linghu ini. Dalam sekejap saja kau dapat mengenali suaraku. Orang pintar tentu tidak mau menelan pil pahit. Sekarang aku jelas berada di atas angin dengan sedikit muslihat licik. Maka itu, bagaimana kalau Tuan Muda Linghu menyerah kalah saja?” Ia sengaja mengakui kalau dirinya memakai tipu muslihat licik, sehingga tidak perlu takut didamprat oleh Linghu Chong karena akal busuknya itu.
Dengan mengerahkan tenaga dalam, Linghu Chong bergelak tawa pula. Suaranya menggetarkan angkasa pegunungan. Ia berkata, “Aku dan kedua sesepuh dari Perguruan Shaolin dan Wudang sedang mengobrol iseng di sini. Kukira yang ada di sini adalah teman baik semua sehingga tidak perlu mengadakan penjagaan segala. Tak disangka Saudara Jia berhasil memperdaya kami. Apa hendak dikata, tidak mengaku kalah juga sudah sulit.”
“Baik sekali kalau begitu,” kata Jia Bu. “Ketua Dongfang sangat menghormati tokoh angkatan tua dunia persilatan. Beliau juga sangat menghargai tunas angkatan muda. Apalagi Nona Ren sejak kecil tinggal bersama Ketua Dongfang. Hanya dengan mengingat nama Nona Ren saja kami mana berani berlaku kasar kepada Tuan Muda Linghu.”
Linghu Chong mendengus tidak menjawab. Sementara itu Fangzheng dan Chongxu memeriksa keadaan sekitarnya untuk mencari celah meloloskan diri. Namun melihat belasan senapan air yang diacungkan ke arah mereka itu, seandainya turun tangan bersamaan juga tetap sulit membereskan semua musuh yang tidak jelas jumlahnya tersebut. Asal ada satu senapan saja yang sempat menyemburkan air beracunnya, jiwa ketiga orang itu tentu melayang seketika. Karena itu mereka hanya saling pandang belaka. Dari sorot mata keduanya terlihat satu pendapat yang sama: tidak boleh bertindak secara gegabah.
Terdengar Jia Bu berkata lagi, “Jika Tuan Muda Linghu sudah bersedia mengaku kalah, maka segala persoalan menjadi beres. Ketua Dongfang berpesan kepada kami untuk mengundang Tuan Muda Linghu beserta Biksu Ketua dari Shaolin dan Pendeta Ketua dari Wudang berkunjung ke Bukit Kayu Hitam dan tinggal di sana barang beberapa hari. Sekarang kalian bertiga kebetulan berada di sini. Bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat bersama?”
Kembali Linghu Chong mendengus. Ia berpikir di dunia ini mana ada urusan semudah itu? Asalkan pihaknya punya kesempatan meninggalkan jembatan gantung itu, untuk mengatasi Jia Bu dan Shangguan Yun boleh dikata pekerjaan yang tidak sulit.
Sesuai dugaan, segera terdengar Jia Bu menyambung, “Namun ilmu silat kalian bertiga teramat tinggi. Bila di tengah jalan kalian berubah pikiran dan tidak mau menuju ke Bukit Kayu Hitam, maka sukar bagi kami untuk menunaikan tugas. Demi tanggung jawab yang berat ini terpaksa aku harus meminjam tiga belah tangan kanan kalian.”
“Pinjam tiga belah tangan kanan?” Linghu Chong menegas.
“Benar,” jawab Jia Bu. “Silakan kalian bertiga menebas tangan kanan sendiri-sendiri. Dengan demikian kami bisa lega.”
“Hahahahaha! Ternyata itu keinginanmu,” seru Linghu Chong tertawa. “Dongfang Bubai rupanya takut kepada ilmu silat kami bertiga, sehingga memasang perangkap ini dan memaksa kami menebas tangan kanan sendiri. Jika kami kehilangan tangan kanan dengan sendirinya kami tidak mampu lagi bermain pedang dan dia bisa tidur nyenyak tanpa khawatir lagi.”
“Tidur nyenyak tanpa khawatir mungkin juga tidak,” kata Jia Bu. “Yang jelas Ren Woxing akan kehilangan bala bantuan yang kuat semacam Tuan Muda Linghu ini. Maka kekuatannya tentu akan menjadi jauh lebih lemah.”
“Hm, kau memang orang yang suka berterus terang,” ujar Linghu Chong.
“Aku ini seorang pengecut sejati,” jawab Jia Bu. Ia lalu melantangkan suaranya, “Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, kalian lebih suka mengorbankan sebelah tangan atau jiwa kalian melayang di sini?”
“Baiklah,” jawab Chongxu. “Dongfang Bubai ingin meminjam tangan, kami bisa pinjamkan. Hanya saja kami tidak membawa senjata apa-apa. Untuk memotong lengan sendiri tentu sangat sulit.” Baru saja ucapannya berakhir, tiba-tiba muncul sinar putih gemerlap. Ternyata sebuah gelang baja dilemparkan dari jendela sana. Garis tengah gelang baja itu sekitar tiga puluh senti, dengan pinggiran yang sangat tajam. Di tengah gelang terdapat satu palangan yang digunakan sebagai pegangan. Senjata semacam ini jarang dijumpai di dunia persilatan. Biasanya yang dipakai sepasang gelang baja semacam ini dan disebut Gelang Qiankun.
Karena Linghu Chong berdiri paling depan, maka dengan cepat ia menangkap gelang baja itu. Melihat senjata itu ia meringis mengakui kelicikan Jia Bu. Pinggiran gelang baja itu sangat tajam, sekali bergerak saja sebelah lengan pasti akan tertebas buntung. Tapi kalau diputar, lantaran bentuknya bundar kecil, bagaimanapun juga sukar menahan air beracun yang disemprotkan.
“Jika kalian sudah setuju, lekas kerjakan!” bentak Jia Bu dengan suara bengis, “Kalian tidak perlu mengulur-ulur waktu untuk menunggu datangnya bala bantuan! Aku akan menghitung dari satu sampai tiga! Jika kalian tidak lekas memotong lengan sendiri, serentak air beracun akan kami semburkan! Satu….”
Linghu Chong berbisik kepada kedua kawannya, “Aku akan menerjang ke depan, harap Ketua berdua ikut di belakangku!”
“Jangan!” kata Chongxu.
Terdengar Jia Bu telah berseru lagi, “Dua!”
Linghu Chong mengangkat gelang baja di tangannya. Dalam hati ia berpikir, “Bagaimanapun juga Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu adalah tamu, aku tidak boleh membuat susah mereka berdua. Pada hitungan ketiga nanti, akan segera kulemparkan kembali gelang baja ini, lalu kuterjang sambil mengibaskan lengan baju. Biar aku menghadang semua semburan air beracun itu dengan badanku, supaya kedua sesepuh bisa meloloskan diri.”
Sementara itu Jia Bu telah berseru lagi, “Semuanya bersiap, hitungan terakhir ‘tiga’!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang perempuan dari dalam Loteng Kura-kura Sakti, “Nanti dulu!” Menyusul kemudian sesosok bayangan hijau melayang tiba dan menghadang di depan Linghu Chong. Perempuan itu tidak lain adalah Ren Yingying.
Linghu Chong langsung berseru, “Yingying, mundurlah!”
Ren Yingying tampak menggoyang-goyangkan sebelah tangan di belakang tubuhnya, lalu berseru, “Paman Jia, nama besar Orang Agung Muka Kuning begitu cemerlang di dunia persilatan. Tapi mengapa sekarang kau melakukan perbuatan rendah seperti ini?”
“Urusan ini… Nona Besar, harap engkau menyingkir dulu, jangan ikut campur!” jawab Jia Bu.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ren Yingying. “Paman Dongfang menyuruhmu bersama Paman Shangguan mengantar hadiah untukku, tapi mengapa kau dapat disuap oleh Zuo Lengchan dan berbalik memusuhi ketua Perguruan Henshan?”
“Siapa bilang aku menerima suap dari Zuo Lengchan?” Jia Bu menyangkal. “Aku mendapat perintah rahasia dari Ketua Dongfang agar menangkap Linghu Chong dan membawanya ke Bukit Kayu Hitam.”
“Omong kosong!” bentak Ren Yingying. “Lencana milik Ketua ada padaku. Ketua memerintahkan: Jia Bu telah mengadakan persekongkolan jahat. Hendaknya setiap anggota partai segera menangkap dan membunuhnya bila melihatnya. Untuk ini ada hadiah yang disediakan.”
Usai berkata ia lantas mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Tampak sepotong kayu hitam yang dikenal sebagai Lencana Kayu Hitam ada dalam genggamannya.
Jia Bu menjadi gusar dan segera memberi aba-aba, “Semprotkan air beracun!”
“Apa kau berani?” Ren Yingying balas membentak. “Apakah Ketua Dongfang menyuruhmu membunuh aku?”
“Kau membangkang perintah Ketua….”
“Paman Shangguan, tangkap pengkhianat ini,” seru Ren Yingying menyela, “dan kau akan segera naik pangkat menjadi ketua Balai Naga Hijau.”
Shangguan Yun yang saat itu berada di Loteng Ular Sakti tercengang memikirkan perintah Ren Yingying. Ilmu silat dan pengalamannya memang lebih tinggi daripada Jia Bu, namun dalam partai, kedudukan Jia Bu sebagai ketua Balai Naga Hijau lebih tinggi daripada kedudukannya yaitu sebagai ketua Balai Macan Putih. Hal ini sempat membuatnya cemburu dalam hati. Kini mendengar seruan Ren Yingying itu, mau tidak mau hatinya tergerak namun diliputi keraguan pula. Sudah tentu ia pun mengetahui kalau Ren Yingying adalah putri Ren Woxing, ketua terdahulu. Meskipun biasanya Ketua Dongfang sangat menghargai gadis ini, namun akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa Ren Woxing tampil lagi di dunia persilatan dan bermaksud merebut kembali kedudukannya sebagai ketua. Ia menduga di antara Ketua Dongfang dan Nona Ren tentu juga akan terjadi perselisihan. Tapi kalau disuruh memerintahkan anak buahnya menyemprotkan air beracun kepada Ren Yingying, hal ini pun tidak bisa dilakukan olehnya.
Terdengar Jia Bu berteriak lagi, “Lepaskan tembakan!”
Namun para prajuritnya selama ini memandang Ren Yingying sebagai malaikat kahyangan yang dipuja-puja. Apalagi gadis itu terlihat memegang Lencana Kayu Hitam, tentu saja mereka tidak berani sembarangan bertindak kepadanya.
Tiba-tiba di tengah suasana yang tegang itu, di bawah loteng Loteng Kura-kura Sakti terdengar suara orang berseru, “Api! Api! Kebakaran! Kebakaran” Menyusul kemudian terlihatlah sinar api menyala-nyala disertai mengepulnya asap dari bawah.
“Jia Bu, kau benar-benar kejam!” seru Ren Yingying. “Mengapa kau menyalakan api untuk membakar anak buahmu sendiri?”
Jia Bu membantah, “Omong kos….”
Ren Yingying menyela, “Hidup Ketua Dongfang, pemersatu dunia persilatan! Wahai, orang-orang Partai Mentari dan Bulan, Ketua memberikan perintah: Lekas padamkan api!” Bersamaan itu ia lantas menerjang ke depan.
Linghu Chong, Fangzheng, dan Chongxu segera memanfaatkan keadaan itu untuk berlari ke depan pula. Tadi sewaktu Ren Yingying mengangkat Lencana Kayu Hitam dan menyampaikan perintah memadamkan api, seketika terjadi kebingungan dan kekacauan dalam lingkungan para prajurit pemanah. Dalam keadaan itu Linghu Chong bertiga melesat di atas jembatan gantung dan membobol jendela loteng lalu menerjang ke dalam.
Begitu mereka menyerbu ke dalam loteng, Linghu Chong menyambar sebuah tatakan lilin yang berujung tajam di dekat altar. Sekali ia menghentakkannya, sepotong lilin yang masih menancap di situ lagsung melesat dan merobohkan seorang anak buah Jia Bu. Menyusul tatakan lilin lantas bekerja pula. Hanya sekejap saja enam sampai tujuh orang telah dibinasakan pula. Di sebelah sana Fangzheng dan Chongxu juga sedang melabrak musuh dengan tangan kosong. Dengan cepat mereka pun telah membereskan tujuh sampai delapan orang.
Kedatangan Jia Bu dan Shangguan Yun kali ini membawa empat puluh buah peti besar, yang setiap petinya digotong dua orang sehingga semua pengikut mereka berjumlah delapan puluh orang. Kedelapan puluh orang itu semuanya adalah jago pilihan dalam Partai Mentari dan Bulan. Meskipun bukan jago kelas satu, namun ilmu silat masing-masing dapat dikatakan cukup tangguh. Empat puluh orang di antaranya tersebar menjaga di sekeliling Loteng Kura-kura Sakti, dan yang empat puluh lagi bertugas menembakkan senapan air yang terbagi di Loteng Kura-kura Sakti dan Loteng Ular Sakti. Dalam sekejap saja Linghu Chong bertiga sudah membereskan kedua puluh anak buah Jia Bu. Alat penyemprot air beracun itu tampak berantakan tersebar memenuhi lantai. Sementara itu Jia Bu bersenjatakan sepasang pena sedang bertempur melawan Ren Yingying yang bersenjatakan sepasang pedang, satu panjang dan satu pendek.
Ketika pertama kali bertemu dulu Linghu Chong hanya mendengar suara Ren Yingying saja tanpa pernah melihat wajahnya. Ia hanya tahu betapa kaum persilatan dari golongan hitam sangat segan kepada gadis itu sehingga ia pun membayangkan Ren Yingying sebagai seorang wanita agung yang sangat kuat dan berkuasa. Begitu pula sewaktu gadis itu membunuh beberapa murid Shaolin dulu serta bertarung melawan Biksu Fangsheng, saat itu Linghu Chong hanya menyaksikan bayangannya saja. Dengan demikian, ini adalah pertama kalinya Linghu Chong menyaksikan langsung bagaimana Ren Yingying bertarung melawan seseorang.
Terlihat olehnya bagaimana Ren Yingying bergerak dengan ringan dan sangat cepat. Tempat yang diserangnya selalu titik-titik berbahaya pada tubuh lawan. Linghu Chong sendiri sampai terbawa perasaan. Melihat gerakan gesit gadis itu ia merasa dirinya ikut mengapung bagaikan kabut atau asap.
Sebaliknya sepasang pena yang digunakan Jia Bu juga terlihat sangat ampuh. Bobot kedua pena tersebut kiranya tidak ringan, terbukti dari sambaran angin yang menderu ketika senjata itu bergerak. Ren Yingying selalu berusaha menghindarkan senjatanya beradu dengan senjata lawan dan menyerang pada saat yang tepat dan titik yang mematikan.
Terdengar Fangzheng berteriak kepada Jia Bu, “Makhluk tercela, kenapa kau tidak meletakkan senjata dan menyerah saja?”
Namun Jia Bu sudah tidak peduli lagi. Ia merasa hari ini adalah hari kematiannya. Dengan nekad, ia menusukkan penanya ke leher Ren Yingying. Kontan saja Linghu Chong terkejut. Khawatir Ren Yingying tidak sanggup menghindari serangan maut itu, tanpa pikir panjang tatakan lilin yang berujung tajam itu pun ditusukkannya ke depan, tepat mengenai pergelangan tangan Jia Bu.
Jia Bu kesakitan. Kedua pena pun terlepas dari pegangan. Namun orang ini memang sangat tangkas. Dengan sangat cepat ia menubruk ke arah Linghu Chong sambil menghantamkan kedua telapak tangan. Namun Fangzheng lebih dulu menyela dari samping. Sekali pegang kedua tangan Jia Bu tertangkap oleh sang biksu.
Sekuat tenaga Jia Bu meronta. Namun bagaimanapun juga sukar melepaskan diri dari pegangan Fangzheng itu. Tanpa pikir panjang ia mengangkat sebelah kakinya, lantas menendang selangkangan Fangzheng. Serangan ini benar-benar perbuatan rendah. Fangzheng menghela napas dan terpaksa mendorongkan kedua tangannya ke depan. Jia Bu tidak mampu berdiri tegak lagi, ia terlempar ke luar menerobos pintu kemudian terjerumus ke bawah. Terdengar suara jeritan ngeri yang terus berkumandang, makin lama makin lirih sampai akhirnya lenyap di dasar jurang yang tak terkirakan dalamnya itu.
“Untung kau datang menolong tepat pada waktunya!” kata Linghu Chong kepada Ren Yingying.
“Ya, untung aku tidak terlambat,” jawab Ren Yingying dengan tersenyum. Lalu ia berseru pula, “Padamkan api!”
Terdengar beberapa orang mengiakan di bawah loteng. Ternyata api yang berkobar di bawah itu sengaja dinyalakan untuk mengacaukan perhatian Jia Bu. Api tersebut bukan kebakaran sesungguhnya, namun hanya rumput kering yang dinyalakan dan dicampur dengan bahan bakar lainnya.
Ren Yingying mendekati jendela dan berseru ke arah Loteng Ular Sakti, “Paman Shangguan, Jia Bu membangkang perintah sehingga mendapatkan ganjaran yang setimpal. Kau sendiri boleh kemari bersama anak buahmu. Aku tidak akan membuatmu susah.”
“Nona Besar, ucapanmu harus dapat dipercaya,” jawab Shangguan Yun.
“Asalkan Paman Shangguan mau tunduk kepada perintahku, aku berjanji takkan membuatmu susah. Kalau sampai melanggar sumpah ini biarlah otakku membusuk dimakan ulat.” Ucapan Ren Yingying ini merupakan sumpah paling berat menurut adat Partai Mentari dan Bulan. Shangguan Yun lega mendengarnya dan segera ia memimpin kedua puluh anak buahnya keluar dari loteng di ujung sana itu.
Ketika Linghu Chong berempat turun ke bawah Loteng Kura-kura Sakti, tampak Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan beberapa lainnya sudah menanti di situ.
“Dari mana kau tahu Jia Bu akan menyergap kami?” tanya Linghu Chong kepada Ren Yingying.
“Aku merasa heran mengapa Dongfang Bubai begitu baik hati mau mengirimkan hadiah kepadamu,” jawab Ren Yingying. “Aku berpikir di dalam peti-peti kirimannya itu mungkin tersembunyi suatu muslihat keji. Kemudian kulihat pula tingkah laku Jia Bu yang agak mencurigakan, bahkan membawa pengikutnya naik ke sini. Aku bertambah curiga dan mencoba mengikutinya bersama Tuan Lao dan yang lain. Ternyata beberapa anak buahnya yang berjaga di bawah sana melarang kami naik ke sini. Dengan demikian rahasia mereka lantas kami ketahui.”
Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan yang lain bergelak tertawa, sementara Shangguan Yun tertunduk malu. Linghu Chong sendiri juga merenungi nasibnya itu, “Ini baru hari pertamaku dilantik sebagai ketua Perguruan Henshan, namun kebodohanku sudah terbuka dengan jelas. Orang-orang dari aliran sesat datang dengan maksud tidak baik, tapi aku tidak menaruh curiga sama sekali. Dengan licik mereka bisa mengepung kami. Kalau aku yang mati tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau Biksu Fangzheng dan pendeta Chongxu yang celaka di tangan para penjahat itu? Aih, aku tidak bisa membayangkannya,” ujarnya dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Terdengar Ren Yingying berkata, “Paman Shangguan, selanjutnya kau ikut denganku atau kembali pada Dongfang Bubai?”
Air muka Shangguan Yun berubah hebat. Tentu saja ia merasa sulit kalau disuruh mengkhianati Dongfang Bubai.
Dengan suara lantang Ren Yingying melanjutkan, “Di antara kesepuluh sesepuh Partai Mentari dan Bulan kita sudah ada enam di antaranya yang menelan Tiga Pil Penghancur Otak dari ayahku. Apa kau mau menelan pil ini atau tidak?” Usai berkata ia lantas menjulurkan tangannya. Tampak sebiji pil berwarna merah berputar-putar di tengah telapak tangan gadis itu.
“Apakah benar, enam di antara ke… kesepuluh sesepuh kita sudah… sudah….”
“Benar,” sahut Ren Yingying. “Selama ini kau belum pernah bekerja pada ayahku. Sejak masuk partai kau langsung mengabdi pada Dongfang Bubai, itu berarti kau tidak pernah mengkhianati ayahku. Tapi asalkan kau mau meninggalkan yang salah dan memilih yang benar, sudah tentu aku akan menghargai dirimu. Ayah juga pasti akan memberi penilaian baik padamu.”
Shangguan Yun berpikir kalau tidak menyerah tentu jiwanya akan melayang. Keadaannya sangat memaksa, mau tidak mau ia mengambil pil merah itu dari tangan Ren Yingying dan langsung menelannya. “Shangguan Yun berterima kasih atas budi baik Nona Besar yang mengampuni selembar nyawa hamba ini. Untuk selanjutnya Shangguan Yun berada di bawah perintah Nona Besar,” ujarnya sambil memberi hormat.
“Selanjutnya kita adalah kalangan sendiri, tidak perlu banyak adat,” kata Ren Yingying. “Para pengikutmu ini dengan sendirinya mengikuti jejakmu, bukan?”
Shangguan Yun menoleh ke arah para pengikutnya yang berjumlah dua puluh orang itu. Melihat sang pemimpin sudah menyerah, tanpa diperintah lagi mereka lantas menyembah kepada Ren Yingying dan berseru, “Kami semua tunduk di bawah perintah Putri Suci!”
Sementara itu kawan-kawan yang lain sudah memadamkan api. Melihat Ren Yingying telah menaklukkan Shangguan Yun mereka ikut bersyukur dan menyampaikan selamat. Maklum saja, ilmu silat Shangguan Yun termasuk tinggi dalam Partai Mentari dan Bulan, serta kedudukannya juga sangat penting. Dengan demikian, peluang keberhasilan Ren Woxing untuk merebut kembali kedudukan ketua tentu akan semakin besar.
Melihat urusan sudah beres, Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu lantas mohon diri. Linghu Chong mengantar keberangkatan kedua tokoh itu hingga jauh barulah ia mengucapkan selamat jalan.
Linghu Chong kemudian berjalan berdampingan dengan Ren Yingying kembali ke Puncak Xianxing. Terdengar Ren Yingying berkata, “Kakak Chong, kau sendiri sudah menyaksikan betapa keji dan licinnya Dongfang Bubai itu. Saat ini Ayah dan Paman Xiang sedang menemui dan membujuk kenalan-kenalan lama yang punya kedudukan penting di dalam aliran kami agar mau mendukung Ayah menjadi pemimpin lagi. Bila mereka mau menerima dengan baik ajakan Ayah tentu tidak menjadi soal. Tapi kalau ada yang menentang, satu per satu lantas dibereskan sekalian untuk mengurangi kekuatan Dongfang Bubai. Sementara ini Dongfang Bubai juga telah mengadakan serangan balasan, seperti kejadian ini. Dia mengirim Jia Bu dan Shangguan Yun untuk menjebakmu. Ini benar-benar suatu langkah yang sangat lihai. Masalahnya, Ayah dan Paman Xiang sukar dicari jejaknya sehingga Dongfang Bubai tidak mampu menemukan mereka. Sebaliknya kalau kau sampai celaka, aku… aku….” sampai di sini air mukanya menjadi merah, dan segera ia berpaling.
Angin malam berhembus sepoi-sepoi, meniup rambut Ren Yingying yang halus itu ke atas sehingga tampak lehernya yang jenjang dan putih bersih. Hati Linghu Chong tergetar melihatnya. Ia berpikir, “Bagaimana cintanya padaku, sudah diketahui banyak orang. Bahkan, Dongfang Bubai sampai ingin menangkapku sebagai sandera untuk memaksa ia menyerah, dan juga untuk memaksa ayahnya. Ketika di jembatan gantung tadi, sudah jelas ia mengetahui betapa ampuh air beracun musuh, namun ia rela menghadang di depanku. Punya istri begini setia, apa lagi yang akan kuharapkan?” Tanpa terasa lengannya menjulur dan bermaksud memeluk pinggang si nona.
Ren Yingying tertawa kecil, lalu sedikit berkelit, sehingga lengan Linghu Chong mengenai tempat kosong. “Apa seperti ini kelakuan seorang ketua perguruan yang terhormat?” katanya dengan tertawa.
Linghu Chong menjawab sambil meringis, “Biar saja. Di seluruh dunia persilatan ini memang hanya ketua Perguruan Henshan saja yang paling istimewa, maksudku, paling banyak menjadi bahan tertawaan orang.”
“Mengapa kau berkata demikian?” ujar Ren Yingying sungguh-sungguh. “Bahkan ketua-ketua dari Shaolin dan Wudang juga menghargai dirimu. Siapa lagi yang berani memandang rendah padamu? Biarpun gurumu mengusirmu dari Huashan, tapi kau jangan selalu memikirkan soal ini sehingga merasa rendah diri.”
Kata-kata ini benar-benar menyentuh perasaan Linghu Chong. Memang selama ini hatinya dirundung duka karena pemecatannya dari Perguruan Huashan. Tanpa menjawab, ia hanya menghela napas dan menunduk.
“Kakak Chong,” kata Ren Yingying sambil memegang tangan Linghu Chong, “sebagai ketua Perguruan Henshan, kau telah menonjol di antara para kesatria sejagad. Henshan dan Huashan berada pada tingkatan yang sama. Apa sebagai ketua Perguruan Henshan kau merasa tidak lebih terhormat daripada seorang murid Huashan?”
“Terima kasih banyak atas bujukanmu,” jawab Linghu Chong. “Aku hanya merasa kedudukanku sebagai pemimpin kawanan biksuni ini agak lucu dan serbarumit.”
Ren Yingying berkata, “Tapi hari ini sudah ada ribuan kesatria yang bersedia menjadi anggota Perguruan Henshan. Di dalam Serikat Pedang lima Gunung boleh dikata hanya Perguruan Songshan saja yang bisa menandingimu. Selain itu mana mungkin Huashan, Taishan, dan Hengshan dapat menyamai kedudukanmu?”
“Dalam urusan ini aku juga harus berterima kasih padamu,” kata Linghu Chong.
“Terima kasih apa?” kata Ren Yingying tertawa.
“Kau khawatir namaku akan jatuh karena seorang laki-laki menjadi pemimpin kaum biksuni. Maka, kau sengaja mengirim anak buahmu sebanyak itu untuk bergabung dengan Perguruan Henshan. Kalau bukan perintah seorang Putri Suci mana mungkin kawanan berandal sebanyak itu sudi datang kepadaku untuk menerima perintah begitu saja?” ujar Linghu Chong.
“Juga belum tentu benar seluruhnya,” sahut Ren Yingying. “Tatkala kau menyerbu Biara Shaolin bukankah mereka pun tunduk semua di bawah perintahmu?”
Sambil bicara, tanpa terasa biara induk sudah dekat. Sayup-sayup terdengar suara berisik banyak orang. Ren Yingying lantas berhenti dan berkata, “Kakak Chong, sementara ini kita berpisah dulu. Bila urusan penting Ayah sudah beres tentu aku akan datang lagi menjengukmu.”
Terdorong oleh perasaan hangat di dadanya, Linghu Chong berkata, “Apakah kalian akan berangkat ke Bukit Kayu Hitam?”
“Benar,” jawab Ren Yingying.
“Aku ikut!” kata Linghu Chong.
Seketika bola mata Ren Yingying memancarkan sinar penuh rasa gembira. Namun perlahan-lahan ia menggeleng.
“Kau tidak ingin aku ikut ke sana?” sahut Linghu Chong menegas.
“Baru saja kau menjadi ketua Perguruan Henshan, rasanya kurang pantas jika sekarang ikut campur urusan Partai Mentari dan Bulan kami,” kata Ren Yingying.
“Tapi menghadapi Dongfang Bubai adalah pekerjaan yang sangat berbahaya. Mana mungkin aku harus tinggal diam membiarkanmu menghadapi bahaya?” ujar Linghu Chong.
“Tapi di sini tinggal kawanan berandalan sebanyak itu. Siapa yang berani mengatasi mereka jika ada yang mengganggu nona-nona jelita Perguruan Henshan kalian?” kata Ren Yingying.
“Asalkan kau memberi perintah tegas, bagaimanapun juga kukira mereka tak akan berani main gila.”
“Baiklah, karena kesediaanmu ikut menyerang ke Bukit Kayu Hitam, atas nama Ayah kusampaikan terima kasih.”
“Buat apa kita saling berterima kasih seperti orang lain saja.”
“Baiklah, kalau lain kali aku tidak tahu terima kasih janganlah kau salahkan aku,” sahut Ren Yingying dengan tertawa. Setelah beberapa langkah ia kembali berkata, “Tapi jika engkau tidak masuk ke dalam Partai Mentari dan Bulan, Ayah tidak sudi menerima bantuanmu. Tapi… tapi…”
“Meskipun aku tidak masuk ke dalam partai, tapi aku tetap bukan orang lain untukmu,” jawab Linghu Chong. “Jika ayahmu menyuruhku pergi, aku akan bersikeras dan menolak.’
Ren Yingying tersenyum menjawab, “Ayah pasti akan sangat senang dengan bantuanmu.”
Setelah kedua orang itu kembali di Puncak Xianxing, mereka lantas memberi perintah kepada anak buah masing-masing. Linghu Chong menyuruh murid-murid Henshan giat berlatih, sementara Ren Yingying memberi perintah kepada Lao Touzi dan kawan-kawan agar hidup prihatin. Selanjutnya mereka dilarang naik ke Puncak Xianxing tanpa dipanggil. Barangsiapa yang melanggar akan dihukum potong kaki. Jika kaki kiri yang melangkah duluan maka kaki kiri itu yang dipotong. Sebaliknya, jika kaki kanan yang melangkah dulu, maka kaki kanan pula yang akan dipotong.
Esok paginya Linghu Chong, Ren Yingying, Shangguan Yun, dan kedua puluh anak buahnya yang tersisa berangkat menuju Bukit Kayu Hitam, tempat di mana markas besar Partai Mentari dan Bulan berada.
(Bersambung)
Bagian 62 ; Bagian 63 ; Bagian 64