Bagian 80 - Menumpas Kaum Serakah

Serentak orang-orang itu berpaling ke arah Linghu Chong. Selang sejenak barulah mereka dapat mengenali pemuda itu. Kedelapan orang ini biasanya sangat hormat kepada Ren Yingying, dan sangat takut kepada Linghu Chong. Maka untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja. Tidak seorang pun yang berani mengutarakan pendapat.
Tiba-tiba Yan Sanxing dan Qiu Songnian serentak berkata, “Bagus sekali. Kita benar-benar berjasa besar!”
“Benar!” sahut Pendeta Yuling. “Mereka hanya dapat menangkap beberapa orang biksuni cilik. Apa hebatnya? Sementara kita berhasil membekuk ketua Perguruan Henshan. Ini baru yang namanya jasa besar. Tuan Yue pasti akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis kepada kita.”
“Jadi, kita harus bagaimana?” sahut Nyonya Zhang sambil menarik kembali tangannya yang hampir saja membuka ikatan pada tubuh Ren Yingying.
Kedelapan orang itu sama-sama berpikir, “Jika Nona Ren dibebaskan, mana mungkin kita bisa menangkap Linghu Chong. Bisa-bisa kita semua kehilangan nyawa di sini.” Rupanya masing-masing merasa sangat segan terhadap kedudukan dan kekuasaan Ren Yingying dalam Partai Mentari dan Bulan.
You Xun tertawa kecil dan berkata, “Pepatah mengatakan, nyali kecil bukan jantan, tidak kejam bukan laki-laki. Disebut tidak jantan bukan masalah. Tapi kalau tidak menjadi laki-laki rasanya sungguh sayang, sungguh sayang!”
“Jadi menurutmu, kita harus membunuh Nona Ren untuk menghilangkan saksi?” tanya Pendeta Yuling.
“Bukan aku yang mengatakan, tapi kau sendiri yang menyimpulkan demikian,” jawab You Xun.
Nyonya Zhang langsung saja membentak, “Putri Suci berjasa besar kepada kita. Kita semua berhutang budi kepada Beliau. Siapa yang berani kurang ajar terhadap Beliau, maka akulah orang pertama yang akan menghalangi.”
“Bila sekarang kau lepaskan dia, apakah dia tetap mengampunimu?” kata Qiu Songnian. “Bagaimana mungkin dia membiarkan kita menangkap Linghu Chong?”
Nyonya Zhang menyahut, “Bagaimanapun juga kita pernah bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Kalau sekarang kita harus memberontak terhadap ketua sendiri, ini namanya pengkhianatan!” Usai berkata demikian tangannya kembali menjulur hendak membuka ikatan Ren Yingying.
“Tunggu dulu!” bentak Qiu Songnian dengan suara bengis.
“Kau berani membentak, memangnya aku takut padamu?” jawab Nyonya Zhang gusar.
Tanpa banyak bicara Qiu Songnian mengeluarkan goloknya. Namun gerakan Nyonya Zhang sendiri sangat cepat. Tahu-tahu tangannya sudah melolos keluar sebilah belati dari balik bajunya dan dengan dua kali gerakan ia sudah memutuskan tali yang mengikat kaki dan tangan Ren Yingying. Ia sadar ilmu silat Ren Yingying sangat tinggi. Dengan membebaskan gadis itu maka ketujuh orang lainnya tidak perlu ditakuti lagi
Qiu Songnian tidak tinggal diam. Segera ia mengayunkan goloknya ke arah Nyonya Zhang. Namun Nyonya Zhang juga tidak kalah cepatnya. Dengan tiga kali tusukan ia dapat mendesak biksu berambut itu mundur.
Sementara itu You Xun dan yang lain merasa gentar melihat Ren Yingying sudah terbebas dari ikatan. Masing-masing melangkah mundur ke tepi ruangan untuk berjaga-jaga. Bahkan, mereka bermaksud melarikan diri. Namun begitu melihat Ren Yingying tetap tergeletak di lantai tanpa bergerak, barulah mereka sadar bahwa titik nadi sang putri suci telah tertotok. Serentak mereka pun melangkah maju kembali.
“Hehe, sebenarnya kita semua adalah sahabat baik,” kata You Xun dengan cengar-cengir. “Untuk apa harus main senjata segala? Bukankah ini berbahaya?”
Qiu Songnian menjawab, “Kalau totokan Nona Ren sudah terbuka, apakah jiwa masih bisa dipertahankan?” Usai berkata ia kembali menerjang Nyonya Zhang.
Meskipun tubuh Qiu Songnian tinggi besar, senjatanya juga berat, tapi menghadapi serangan jarak dekat seorang perempuan tua bersenjata belati macam Nyonya Zhang sedikit pun ia tidak bisa menang. Bahkan biksu berambut ini berkali-kali terdesak mundur.
“Hei, hei, jangan berkelahi lagi, jangan berkelahi lagi! Apapun masalahnya, mari kita bicarakan dengan baik-baik,” kata You Xun sambil tertawa kecil. Laki-laki yang berdandan mirip saudagar itu melangkah mendekati keduanya sambil berkipas-kipas.
“Minggir sana! Jangan mengganggu!” bentak Qiu Songnian.
“Baik, baik!” sahut You Xun dengan tetap tertawa. Ia lantas berbalik, namun tiba-tiba tangannya bekerja cepat. Terdengar Nyonya Zhang menjerit ngeri, dan tahu-tahu gagang kipas You Xun yang terbuat dari baja sudah menancap di tenggorokan perempuan berambut putih itu.
“Aih, aih, sudah kukatakan kita semua bersahabat dan untuk apa main senjata segala? Tapi kau tidak mau menurut. Bukankah ini namanya mementingkan diri sendiri?” kata You Xun sambil menarik kipasnya. Seketika darah segar menyembur keluar dari leher Nyonya Zhang.
Apa yang baru saja terjadi benar-benar di luar dugaan semua orang. Qiu Songnian melompat mundur sambil memaki, “Sialan, ternyata anak kura-kura ini membantu aku.”
“Kalau bukan membantu dirimu, apakah aku harus membantu dia?” sahut You Xun dengan tertawa. Ia berpaling dan berkata kepada Ren Yingying, “Nona Ren, kau adalah putri kesayangan Ketua Ren. Kami semua hormat kepadamu karena mengingat ayahmu. Namun rasa segan kami lebih-lebih juga karena kau memegang obat penawar Pil Pembusuk Otak yang pernah kami telan. Kalau obat penawar itu dapat kami miliki, maka Putri Suci macam dirimu sudah tidak berarti lagi.”
“Benar, benar, ambil obat penawarnya dan bunuh dia!” seru keenam yang lain beramai-ramai.
Pendeta Yuling berkata, “Tapi kita harus bersumpah lebih dulu. Barangsiapa membocorkan peristiwa ini, biarlah dia mati membusuk oleh ratusan pil maut yang telah dimakannya.”
Ketujuh orang itu merasa tidak mempunyai pilihan lain kecuali membunuh Ren Yingying. Namun mereka juga sangat takut kepada Ren Woxing. Apabila peristiwa ini sampai diketahui oleh ketua aliran sesat tersebut, maka sekalipun dunia ini sangat luas tetap saja tiada tempat untuk mereka bersembunyi. Tanpa ragu-ragu lagi masing-masing pun mengucapkan sumpah sesuai saran Pendeta Yuling.
Linghu Chong menyadari begitu mereka selesai bersumpah, tentu Ren Yingying akan segera dibunuh pula. Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk membobol beberapa titik nadinya yang masih tertotok. Namun meskipun tenaga dalamnya sangat kuat tetap saja sulit untuk dikendalikan dengan baik. Totokan pada tubuhnya belum juga bisa terbuka. Menyadari hal ini hatinya sangat gelisah dan khawatir.
Linghu Chong lantas memandang ke arah Ren Yingying. Dilihatnya si nona juga sedang memandangnya dengan mesra. Sedikit pun gadis itu tidak menunjukkan rasa takut dan gentar. Linghu Chong lega melihatnya. Ia berpikir, “Sekalipun kami berdua akan mati, namun rasanya sungguh bahagia bisa mati bersama pada waktu yang sama dan tempat yang sama pula.”
Terdengar Qiu Songnian berseru kepada You Xun, “Lekas kerjakan!”
“Saudara Qiu terkenal cepat dan tegas dalam menghadapi setiap urusan. Maka lebih baik Saudara Qiu saja yang turun tangan,” jawab You Xun.
“Bangsat! Kalau kau tidak turun tangan maka kau sendiri yang akan kubunuh segera,” bentak Qiu Songnian.
“Kalau Saudara Qiu tidak berani, biar kita minta Saudara Yan saja yang turun tangan,” ujar You Xun dengan tertawa.
“Nenekmu,” sahut Qiu Songnian memaki. “Mengapa aku tidak berani? Masalahnya hari ini aku sedang tidak ingin membunuh orang.”
“Sebenarnya siapa pun yang turun tangan adalah sama saja. Bukankah kita sudah bersumpah tidak akan membocorkan peristiwa ini?” kata Pendeta Yuling.
“Jika begitu, bagaimana kalau Saudara Pendeta saja yang turun tangan?” ujar Biksu Xibao.
“Hei, kenapa semuanya harus bingung seperti ini?” sahut Yan Sanxing. “Apabila kita memang tidak bisa saling percaya, maka yang paling baik adalah masing-masing mengayunkan senjata secara bersama-sama pada tubuh Nona Ren, bagaimana?”
Ketujuh orang ini adalah kumpulan manusia kejam dan serakah. Di sisi lain mereka juga berhati licik. Masing-masing saling mencurigai sehingga pada saat-saat gawat seperti itu masih juga berusaha melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.
“Tunggu dulu,” seru You Xun kemudian. “Biar kuambil dulu obat penawar racun pil tersebut dari tubuhnya.”
“Kenapa pula harus kau yang mengambilnya?” sahut Qiu Songnian. “Setelah kau ambil obat penawar itu tentu akan kau gunakan untuk memeras kami. Biar aku saja yang mengambil.”
“Kau yang mengambil? Memangnya siapa yang percaya kau tidak akan memeras kami?” sahut You Xun tidak terima.
“Sudahlah, jangan buang-buang waktu lagi!” seru Pendeta Yuling. “Bila terlalu lama, jangan-jangan totokannya terbuka sendiri. Urusan ini bisa runyam kalau sudah begitu. Yang paling penting adalah kita harus segera membinasakan dia, baru kemudian membagi obat penawarnya.”
Segera Yuling mendahului mencabut pedang. Keenam orang lainnya pun beramai-ramai mempersiapkan senjata masing-masing dan mengelilingi tubuh Ren Yingying.
Melihat ajal sudah dekat, Ren Yingying pun memandang Linghu Chong tanpa berkedip. Teringat saat-saat indah dan bahagia selama berdampingan dengan pemuda itu, sekilas bibirnya pun tersenyum manis.
“Sekarang aku akan menghitung sampai tiga, lalu kita turun tangan bersama!” seru Yan Sanxing. “Nah, mulai! Satu… dua… tiga!” Begitu hitungan ketiga diucapkan, serentak tujuh bentuk senjata pun menyambar turun ke arah Ren Yingying bersama-sama.
Sungguh tak disangka, ketujuh senjata itu tanpa diperintah tiba-tiba berhenti begitu saja pada jarak beberapa senti dari tubuh Ren Yingying.
“Dasar pengecut!” gerutu Qiu Songnian. “Kenapa tidak diteruskan? Huh, selalu saja kalian ingin orang lain yang membunuhnya agar tidak ikut menanggung dosa.”
“Hei, kau sendiri kenapa juga berbuat demikian?” jawab Biksu Xibao. “Golokmu juga berhenti di tengah jalan. Kalau kau memang pemberani kenapa senjatamu tidak menyentuh kulit Nona Ren?”
Ketujuh orang ini sama-sama manusia busuk, berjiwa licik. Masing-masing mengharapkan Ren Yingying mati terkena senjata orang lain sehingga kalau peristiwa ini sampai terbongkar mereka bisa mengelakkan diri dari tanggung jawab. Selain itu dalam hati mereka ternyata masih ada juga rasa segan menodai senjata masing-masing dengan darah seorang tuan putri yang selama ini mereka hormati.
“Baiklah, mari kita ulangi kembali!” seru Qiu Songnian. “Kali ini kalau ada yang menahan senjata, maka dia adalah bangsat anak lonte, anjing, babi! Nah, biar aku yang menghitung. Satu… dua…”
Tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Jurus Pedang Penakluk Iblis!”
Serentak ketujuh orang itu menoleh begitu mendengar istilah tersebut. Empat di antaranya lantas bertanya bersama-sama, “Kau bilang apa?”
Memang sudah sejak lama ketujuh orang ini mengincar kitab pusaka Jurus Pedang Penakluk Iblis. Bersama Nyonya Zhang mereka pernah mengeroyok Yu Canghai, karena mengira mendiang ketua Perguruan Qingcheng itu menyimpan kitab pusaka tersebut. Apalagi setelah mendengar berita menggemparkan bahwa Yue Buqun berhasil membutakan kedua mata Zuo Lengchan, membuat mereka semakin bernafsu untuk menguasai jurus pedang sakti tersebut. Maka begitu mendengar ilmu itu disebut-sebut, serentak mereka pun mengesampingkan semua urusan.
Kini ketujuh pasang mata mereka memandang tanpa berkedip ke arah Linghu Chong. Terdengar mulut pemuda itu berkata, “Jurus Pedang Penakluk Iblis, ilmu pedang mahasakti di seluruh dunia. Latih dulu kekuatan pedang, kemudian latih kesaktian pedang. Kalau kekuatan pedang sudah kokoh, maka kesaktian pedang akan sempurna dengan sendirinya. Bagaimana cara membangkitkan kekuatan pedang, serta bagaimana cara membangkitkan kesaktian pedang, rahasia keajaibannya dapat dicari dalam kitab ini.”
Setiap kali ia menyebut satu kalimat, serentak ketujuh orang itu maju satu langkah pula ke arahnya. Tahu-tahu mereka sudah meninggalkan Ren Yingying dan kini ganti mengelilingi tubuh Linghu Chong yang masih tergantung-gantung di udara.
“Apakah kalimat tadi… terdapat dalam Kitab Pedang Penakluk Iblis?” tanya Qiu Songnian ketika Linghu Chong menghentikan uraiannya.
“Kalau bukan Kitab Pedang Penakluk Iblis, memangnya kau kira ini Kitab Iblis Penakluk Pedang?” sahut Linghu Chong gusar.
“Coba uraikan lanjutannya,” kata Qiu Songnian.
Linghu Chong mengangguk lalu kembali berkata, “Untuk melatih kekuatan pedang, maka perasaan harus tulus dan bersungguh-sungguh. Pikiran harus tenang, hati harus bersih...” Sampai di sini ucapannya lantas berhenti.
“Ayo teruskan, teruskan!” desak Biksu Xibao. Sementara itu Pendeta Yuling tampak komat-kamit mengulangi kalimat yang diucapkan Linghu Chong tadi. Sepertinya ia sedang mencoba menghafalkannya di luar kepala.
Sebenarnya Linghu Chong sama sekali belum pernah membaca isi Kitab Pedang Penakluk Iblis. Apa yang baru saja ia ucapkan itu adalah kata pengantar dalam mempelajari ilmu pedang Perguruan Huashan aliran tenaga dalam. Tentu saja Linghu Chong hanya sekadar menukar istilah Jurus Pedang Perguruan Huashan menjadi Jurus Pedang Penakluk Iblis. Namun ketujuh penjahat di hadapannya tidak pernah mengenal ilmu pedang Perguruan Huashan, serta sangat berhasrat menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis. Maka begitu mendengar uraian Linghu Chong tersebut, mereka menjadi semakin tergila-gila dan ingin mengetahui lebih banyak.
Intisari ilmu pedang Perguruan Huashan aliran tenaga dalam sebenarnya sudah lama dilupakan oleh Linghu Chong sejak ia berlatih Sembilan Jurus Pedang Dugu kepada Feng Qingyang. Itulah sebabnya uraian cara berlatih kekuatan pedang seperti yang pernah diajarkan Yue Buqun kepadanya sangat sedikit yang masih tersisa dalam ingatannya. Namun demi menolong jiwa Ren Yingying terpaksa ia mencoba mengarang sebisanya.
“Mengalirlah dengan lembut, penuhi pedangmu dengan kekuatan, bunuh semua yang ada... Selanjutnya, jika tidak berhasil membunuh, maka ilmu pedang tidak berguna lagi... Entah apa lanjutannya, aku lupa. Aku belum tuntas menghafalkannya,” ujar Linghu Chong
Biksu Xibao tidak sabar dan membentak, “Di mana kitab pusaka itu? Biar kami baca sendiri!” Yang lain ikut meendesak pula.
“Kitab pusaka itu… yang pasti tidak berada padaku. Bahkan, uang saja aku tidak punya,” sahut Linghu Chong sambil melirik ke arah perutnya. Tentu saja hal ini menimbulkan rasa curiga ketujuh orang itu. Serentak dua buah tangan pun menggerayangi bajunya. Yang satu adalah tangan Biksu Xibao dan yang satunya lagi adalah tangan Qiu Songnian.
Tiba-tiba terdengar kedua orang itu menjerit ngeri. Kepala Biksu Xibao yang botak licin hancur dengan otak berhamburan, sementara punggung Qiu Songnian tertembus pedang sampai ke dada. Ternyata masing-masing telah dibereskan oleh Yan Sanxing dan Pendeta Yuling.
“Hm, kita sudah bekerja keras demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis, akhirnya bertemu juga di sini,” ujar Yan Sanxing tertawa. “Namun kedua bajingan ini bermaksud mengangkanginya. Memangnya di dunia ini ada urusan begini mudah?” Menyusul ia lantas menendang dua kali. Seketika kedua sosok mayat tersebut terlempar hingga ke pinggir ruangan loteng.
Sebenarnya Linghu Chong berpura-pura mengutarakan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis hanyalah untuk menyelamatkan Ren Yingying dari bahaya. Sedapat-dapatnya ia mencari akal untuk mengalihkan perhatian orang-orang itu. Di samping itu ia juga bermaksud mengulur waktu sambil menunggu totokan pada tubuhnya dan juga pada tubuh Ren Yingying terbuka sendiri oleh waktu. Tak disangka akalnya ini ternyata sangat manjur. Bukan saja ketujuh orang itu dapat dipancing meninggalkan Ren Yingying, bahkan mereka malah saling bunuh pula. Kini tujuh orang itu tinggal lima saja. Diam-diam Linghu Chong merasa sangat senang.
“Sabar dulu,” tiba-tiba You Xun menyela. “Apakah kitab pusaka itu benar-benar ada di tubuh Linghu Chong atau tidak juga belum pasti. Tapi kita sendiri malah saling membunuh. Bukankah ini justru merugikan….”
Belum usai ia berbicara, Yan Sanxing sudah melotot dan menegur, “Huh, kau sebut kami tidak sabar, sebenarnya kau tidak senang, bukan? Barangkali kau juga ingin mengangkangi sendiri kitab pusaka itu?”
“Mengangkangi sendiri jelas tidak berani. Memangnya siapa pula yang ingin meniru biksu gundul itu? Memangnya enak punya kepala hancur?” sahut You Xun. “Masalahnya kita datang ke sini demi satu tujuan bersama. Kitab pusaka yang terkenal di seluruh dunia persilatan ini sudah pasti setiap orang ingin melihatnya. Maka, apa salahnya kalau kita miliki bersama?”
“Benar,” ujar Sepasang Cemara Tung bersama-sama. “Siapa pun tidak boleh mengangkangi kitab pusaka itu. Kita harus membacanya bersama.”
Yan Sanxing lantas berkata kepada kepada You Xun, “Baiklah, silakan kau saja yang mengambil kitab pusaka itu dari balik baju bocah Linghu ini.”
You Xun menggeleng dengan tersenyum, lalu berkata, “Lebih baik tidak usah. Aku sama sekali tidak punya niat mengangkangi kitab pusaka itu. Silakan Saudara Yan saja yang mengambil. Asalkan aku diizinkan membaca sekilas saja sudah membuat hatiku puas.”
“Kalau begitu, kau saja yang mengambilnya,” kata Yan Sanxing kepada Pendeta Yuling.
“Kurasa lebih baik Saudara Yan saja yang mengambil,” jawab Pendeta Yuling.
Ketika Yan Sanxing memandang Sepasang Cemara Tung, ternyata kedua orang itu pun menggelengkan kepala, pertanda mereka enggan pula.
Dengan suara gusar Yan Sanxing lantas memaki, “Apa kalian pikir aku tidak tahu isi hati kalian? Kalian ingin aku yang mengambil kitab pusaka itu, lalu diam-diam kalian membunuhku dari belakang untuk mengurangi saingan. Hm, aku, si marga Yan sama sekali tidak sudi ditipu mentah-mentah.”
Kelima orang itu lantas terdiam dan saling pandang. Masing-masing juga tidak mau tertipu. Keadaan pun menjadi buntu dan menegangkan.
Linghu Chong khawatir kelima orang itu kembali mendekati Ren Yingying. Maka ia pun berbicara, “Hei, kalian tidak perlu bertengkar, biar aku mengingat-ingatnya lagi. O ya, kalau tidak salah, seperti ini kalimat selanjutnya: Pedang Penakluk Iblis muncul, bunuh semua habis-habisan. Kalau tidak habis makan sendiri… eh, salah, kalau tidak habis… dijual lagi… eh, salah lagi. Wah, ini konyol. Isi kitab pusaka ini memang terlalu dalam maknanya sehingga sukar dipahami.”
Kelima orang itu kembali memperhatikan ucapan Linghu Chong dengan seksama. Semakin Linghu Chong kebingungan dan pura-pura tidak mengerti, justru membuat mereka semakin penasaran.
Yan Sanxing tidak sabar dan segera mengangkat goloknya, lalu berseru, “Sebenarnya urusan ini tidak sulit kalau kalian membiarkan aku merogoh baju bocah ini. Baiklah, biar aku yang mengambilnya dan kalian berempat cukup berjaga di luar pintu.”
Tanpa bicara Sepasang Cemara Tung segera melangkah keluar. You Xun keluar pula mengikuti pasangan tersebut sambil cengar-cengir. Tinggal Pendeta Yuling saja yang merasa sangsi dan hanya mundur dua-tiga langkah.
“Kau juga harus keluar dari tempat ini!” bentak Yan Sanxing.
“Apa-apaan kau main bentak? Memangnya aku takut padamu? Mau keluar atau tidak bukan urusanmu! Ada hak apa kau memerintah diriku?” jawab Yuling gusar. Namun tetap saja pada akhirnya ia pun mengundurkan diri ke luar pintu.
Maka, You Xun dan yang lain pun berjaga di luar pintu sambil keempat pasang mata mereka memandang tajam ke dalam. Tanpa berkedip mereka mengawasi gerak-gerik Yan Sanxing. Mereka yakin Si Pengemis Kejam Berkawan Ular itu tidak mungkin bisa melarikan diri dari Loteng Kura-Kura Dewa yang terletak menggantung di puncak gunung tersebut. Satu-satunya jalan keluar hanyalah jambatan layang menuju Loteng Ular Sakti, namun jalur ini cukup berbahaya jika dilewati dengan tergesa-gesa.
Yan Sanxing sendiri masih tetap tidak percaya pada keempat orang itu. Sambil kepala menoleh ke arah pintu, ia berjalan mundur mendekati Linghu Chong. Sesudah dekat, tangan kirinya lantas menjulur dan meraba-raba baju pemuda itu, sementara tangan kanan tetap memegang golok untuk berjaga-jaga.
Akan tetapi ternyata dalam baju Linghu Chong tidak terdapat suatu kitab apa pun, kecuali sebatang pedang pendek. Hatinya semakin penasaran. Goloknya pun dipindahkan ke mulut. Tangan kirinya lantas mencengkeram dada Linghu Chong, sementara tangan kanan kembali meraba baju pemuda itu. Di luar dugaan, begitu tangan kirinya mengeluarkan tenaga untuk mencengkeram, seketika ia merasa tenaga dalamnya mengalir keluar melalui tangan kirinya itu.
Yan Sanxing sangat terkejut dan lekas-lekas hendak menarik kembali tangannya, namun terasa seperti melekat kuat di tubuh Linghu Chong. Semakin kuat ia menarik tangan semakin deras pula tenaganya yang terhisap keluar. Semakin ia meronta, semakin membanjir pula tenaga dalamnya bagaikan air bah yang sukar dibendung lagi.
Linghu Chong menyadari bahwa Jurus Penyedot Bintang dalam tubuhnya telah bekerja menghisap seluruh tenaga dalam Si Pengemis Kejam Berkawan Ular. Dengan gembira ia sengaja berkata, “Hei, kenapa kau totok nadi dadaku? Cepat lepaskan, biar kuuraikan rahasia Jurus Pedang Penakluk Iblis kepadamu.” Kemudian ia pun pura-pura menggerakkan bibir seperti sedang berbicara.
Melihat itu, You Xun dan yang lain mengira Linghu Chong benar-benar sedang menguraikan isi kitab pusaka kepada Yan Sanxing seorang. Masing-masing merasa rugi jika tidak ikut mendengarkan. Maka serentak mereka pun berlari ke hadapan Linghu Chong.
“Benar, benar. Kitab inilah yang kau cari. Keluarkan saja, biar teman-temanmu ikut membaca!” seru Linghu Chong dengan sengaja. Padahal saat itu tangan Yan Sanxing sudah melekat kuat pada tubuhnya, mana mungkin bisa ditarik keluar?
Namun Pendeta Yuling mengira Yan Sanxing benar-benar telah menemukan kitab pusaka tersebut dalam baju Linghu Chong. Ia juga mengira Yan Sanxing tidak mau mengeluarkan kitab tersebut, tapi ingin mengangkanginya sendiri. Sudah tentu ia tidak tinggal diam. Segera ia pun menjulurkan tangannya ke dalam baju Linghu Chong. Seketika tangan pendeta jahat itu terasa lengket pula. Tenaga dalamnya juga membanjir keluar dengan sangat deras.
“Hei, hei, kalian berdua jangan berebut. Kalau kitab pusaka ini sampai robek nanti tidak bisa dibaca lagi!” seru Linghu Chong kembali berpura-pura.
Mendengar itu Sepasang Cemara Tung saling pandang dan sama-sama mengangguk setuju. Keduanya lantas berkelebat mengayunkan senjata masing-masing yang berupa tongkat tembaga penyangga tubuh. Tanpa ampun, kepala Yan Sanxing dan Pendeta Yuling pecah berantakan. Otak mereka berhamburan di mana-mana.
Begitu kedua orang itu tewas, tenaga mereka pun buyar pula. Kedua tangan mereka yang melekat di tubuh Linghu Chong juga ikut terlepas. Sebaliknya, Linghu Chong justru mendapat keuntungan. Dengan menghisap tenaga dalam kedua penjahat itu seketika totokan pada tubuhnya pun terbuka dan urat nadinya kembali lancar seketika.
Begitu totokan pada tubuhnya telah terbuka, Linghu Chong lantas mengerahkan sedikit tenaga. Seketika tali tambang yang mengikat tangannya langsung putus begitu saja. Dengan cepat ia mencabut pedang pendek dari balik baju sambil berkata, “Kitab pusaka ada di sini. Siapa yang ingin mengambil?”
Sepasang Cemara Tung adalah yang paling polos di antara para penjahat itu. Mereka terlambat menyadari bahwa kedua tangan Linghu Chong telah terbebas, dan justru merasa senang mendengar tawaran tersebut. Tanpa pikir panjang mereka lantas mengulurkan tangan masing-masing untuk menerimanya.
Tiba-tiba sinar perak berkelebat dua kali. Disusul kemudian pergelangan tangan kanan Sepasang Cemara Tung masing-masing telah terpotong dan jatuh ke lantai. Serentak mereka berdua melompat mundur sambil menjerit ngeri.
Linghu Chong lantas mengerahkan tenaga memutuskan tali pengikat pada kakinya. Begitu tubuhnya benar-benar bebas segera ia pun melompat ke depan Ren Yingying dan berkata kepada You Xun, “Begitu jurus pedang bekerja, segera bunuh semua habis-habisan! Nah, Saudara You, itulah kalimat kunci Jurus Pedang Penakluk Iblis. Apa kau masih ingin membaca kitab pusaka ini?”
Si licik You Xun menyadari hanya tinggal dirinya seorang yang masih tersisa. Dengan muka pucat pasi seperti mayat ia menjawab gugup, “Ter… terima kasih, aku... aku tidak… tidak ingin membacanya!”
“Ah, jangan terlalu sungkan. Cukup baca sekilas saja juga boleh. Ini tidak akan menyakitkan,” ujar Linghu Chong sambil tersenyum. Sambil berkata demikian ia pun menepuk-nepuk pungggung serta pinggang Ren Yingying untuk melancarkan urat nadi gadis itu yang masih tertotok.
Dengan badan gemetar You Xun berkata, “Tuan… Tuan Muda Linghu, Tuan... Tuan Pendekar Linghu, kau… kau… kau…” mendadak ia bertekuk lutut dan menyembah, lalu melanjutkan, “Hamba memang pantas mati. Asalkan Putri… Putri Suci dan Ketua Linghu memberi perintah, sekalipun menyeberangi lautan api atau terjun ke dalam air mendidih juga… juga hamba laksanakan.”
Linghu Chong berkata sambil mencibir, “Untuk mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, maka langkah pertama sangat menyenangkan. Mengapa kau tidak mencobanya?”
Berkali-kali You Xun menyembah dan berkata, “Putri Suci dan Ketua Linghu mahabijaksana, setiap kaum persilatan mengetahui hal ini. Hamba mohon ampun dan mohon izin untuk menebus dosa dengan mengabdi setulus hati. Hamba akan menyiarkan ke seluruh dunia persilatan, bahwa Putri Suci dan Ketua Linghu adalah sepasang… sepasang... maksudku... maksudku...” Seketika You Xun merasa serbasalah. Ia ingat bahwa sifat Ren Yingying sangat pemalu dan suka menutup-nutupi hubungannya dengan Linghu Chong. Dengan mengucapkan istilah “sepasang” You Xun semakin ketakutan jangan-jangan sang putri suci justru semakin marah kepadanya,
Saat itu Ren Yingying telah berdiri dan melihat Sepasang Cemara Tung masih berdiri berdampingan. Keduanya adalah pasangan laki-laki-perempuan yang aneh. Masing-masing hanya memiliki satu mata dan satu kaki dengan dibantu tongkat tembaga sebagai penyangga. Kini Linghu Chong bahkan baru saja membuntungi sebelah tangan mereka masing-masing.
Meskipun darah masih mengucur dari luka keduanya, namun tidak sedikit pun rasa gentar dan takut terlihat pada wajah mereka. Sungguh sangat berbeda dengan You Xun yang sejak tadi suka berlagak, namun kini bertekuk lutut dengan wajah pucat pasi.
Ren Yingying lantas bertanya, “Apakah kalian pasangan suami-istri?”
Yang laki-laki dari Sepasang Cemara Tung bernama Zhou Gutong, dan yang perempuan bernama Wu Baiying. Menanggapi pertanyaan itu Zhou Gutong menjawab bengis, “Kami berdua telah jatuh ke tanganmu. Hendak membunuh atau menyiksa pelan-pelan juga terserah kalian. Untuk apa banyak bertanya segala?”
Ren Yingying sangat suka kepada sifat seperti ini. Maka dengan dingin ia kembali berkata, “Aku bertanya apakah kalian ini suami-istri atau bukan?”
Wu Baiying menjawab, “Kami sudah hidup bersama selama dua puluh tahun. Hubungan kami jauh lebih baik daripada orang lain yang menikah secara resmi.”
“Di antara kalian berdua hanya seorang saja yang aku biarkan hidup,” kata Ren Yingying. “Kalian ini masing-masing hanya memiliki satu kaki, satu tangan, dan satu …” Teringat bahwa ayahnya juga bermata satu seketika Ren Yingying menghentikan ucapannya. Setelah diam sejenak barulah ia melanjutkan, “Kalian berdua silakan bertarung sampai mati salah satu. Yang menang boleh pergi dari sini dengan bebas.”
“Baik,” seru Sepasang Cemara Tung bersama-sama. Tongkat penyangga mereka lantas bergerak, namun masing-masing mengarah ke batok kepala sendiri.
“Tunggu dulu!” seru Ren Yingying berteriak. Dengan pedang panjang di tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri ia melangkah maju dan menangkis kedua tongkat pasangan tersebut. Rupanya kedua orang ini bertekad bulat hendak bunuh diri sehingga masing-masing memukul kepala sendiri dengan sangat keras. Tangan kanan Ren Yingying berhasil menangkis tongkat Zhou Gutong, namun karena tangan kirinya lebih lemah sehingga hanya sedikit memperlambat laju tongkat Wu Baiying sehingga kepala wanita itu tetap terluka dan mengucurkan darah.
“Biar aku saja yang bunuh diri,” seru Zhou Gutong kepada pasangannya. “Putri Suci sudah menyatakan akan membebaskan salah satu dari kita. Bukankah ini yang terbaik?”
“Aku saja yang mati, biar kau yang hidup. Kenapa juga harus berebut di antara kita?” sahut Wu Baiying.
Ren Yingying mengangguk dan berkata, “Bagus sekali. Cinta kalian berdua memang teguh. Benar-benar cinta sejati. Aku sungguh-sungguh menghargai hubungan kalian. Nah, kalian berdua kubiarkan tetap hidup. Lekas kalian balut tangan kalian yang buntung itu.”
Sungguh senang rasa hati Sepasang Cemara Tung. Segera mereka membuang tongkat masing-masing. Si pria membalut luka yang wanita, dan si wanita membalut luka si pria.
“Tapi masih ada syaratnya. Kalian harus melaksanakan ini dengan baik,” kata Ren Yingying kemudian. “Setelah turun gunung, kalian harus segera menyembah langit dan bumi, mengadakan upacara pernikahan secara resmi. Kalian sudah lama hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, bukankah ini….” Sebenarnya ia hendak mengatakan “bukankah ini tidak pantas?” namun segera teringat bahwa dirinya juga cukup lama berkelana bersama Linghu Chong tanpa ikatan resmi. Menyadari hal itu seketika kepalanya tertunduk dan wajahnya bersemu merah.
Sepasang Cemara Tung saling pandang sejenak, lalu keduanya memberi hormat dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Putri Suci.”
You Xun lantas ikut berbicara, “Putri Suci berbudi luhur, Beliau tidak hanya mengampuni jiwa kalian berdua, tapi juga memberikan saran demi kebaikan hidup kalian di masa yang akan datang. Sungguh peruntungan kalian tidaklah kecil. Aku sangat mengetahui kebaikan budi Putri Suci sehingga bersyukur menjadi bawahan Beliau. Aku akan melayani Putri Suci seumur hidup dengan sepenuh hati.”
Ren Yingying lantas bertanya, “Atas perintah siapa kalian datang ke Gunung Henshan kali ini, dan ada muslihat apa?”
“Hamba telah tertipu oleh si anjing busuk Yue Buqun,” jawab You Xun. “Ia mengaku telah mendapatkan Lencana Kayu Hitam dari Ketua Ren. Ia mengaku mendapat titah untuk menangkap semua murid Perguruan Henshan dan membawa mereka semua ke Tebing Kayu Hitam.”
“Yue Buqun memegang Lencana Kayu Hitam?” sahut Ren Yingying menegas.
“Benar sekali,” jawab You Xun. “Hamba melihat dengan mata kepala sendiri dia benar-benar memegang Lencana Kayu Hitam lambang kebesaran Partai Mentari dan Bulan. Jika tidak, mana mungkin hamba sudi melaksanakan perintahnya, sementara hamba selamanya tunduk dan patuh terhadap Ketua Ren dan Putri Suci belaka?”
Ren Yingying tampak termenung dan berpikir, “Bagaimana caranya Yue Buqun bisa memegang Lencana Kayu Hitam? Ah, aku lupa kalau dia telah menelan Pil Pembusuk Otak sehingga mau tidak mau harus tunduk kepada partai kami. Mungkin dia datang menemui Ayah dan mendapatkan lencana tersebut.”
Usai berpikir demikian ia lantas bertanya, “Apakah Yue Buqun menjanjikan kepada kalian bahwa ia akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis apabila kalian berhasil melaksanakan perintah?
You Xun kembali menyembah dan menjawab, “Si anjing Yue Buqun benar-benar bermulut manis. Kami termakan tipuannya.”
Ren Yingying bertanya, “Kalian tadi berkata bahwa tugas ini telah dijalankan dengan baik. Bagaimana caranya bisa terjadi demikian?”
You Xun menjawab, “Ada beberapa orang yang menaburkan racun di sumber mata air di puncak gunung sehingga semua murid Perguruan Henshan terbius tak sadarkan diri. Bahkan, para anggota lainnya yang tinggal di Lembah Tong Yuan juga ikut pingsan pula. Saat ini mereka semua telah dibawa menuju ke Tebing Kayu Hitam.”
“Apakah ada orang-orang yang terbunuh?” sahut Linghu Chong.
“Sebanyak delapan atau sembilan orang anggota yang tinggal di Lembah Tong Yuan terpaksa dibunuh, karena mereka tidak mempan terhadap obat bius tersebut,” jawab You Xun.
“Siapa mereka?” tanya Linghu Chong selanjutnya.
“Hamba tidak mengenal siapa mereka,” ujar You Xun. “Hanya saja... mereka bukan sahabat baik Ketua Linghu.”
Linghu Chong manggut-manggut lega. Terdengar Ren Yingying berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini.”
“Baik,” jawab Linghu Chong sambil memungut pedang panjang peninggalan Biksu Xibao, sementara pedang pendek sudah sejak tadi dikembalikannya kepada Ren Yingying. “Bila kita bertemu lagi dengan perempuan galak itu, aku harus memberi pelajaran kepadanya dengan baik,” katanya sambil tertawa.
“Terima kasih banyak atas kebaikan hati Putri Suci dan Pendekar Linghu yang mengampuni jiwa hamba,” ujar You Xun senang.
“Ah, jangan terlalu sungkan,” sahut Ren Yingying. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kiri dan secepat kilat pedang pendeknya melesat dan menancap di dada You Xun. Manusia licik dan licin yang seumur hidup suka berlagak itu pun tewas seketika.
Linghu Chong dan Ren Yingying lalu turun meninggalkan Loteng Kura-kura Dewa tersebut. Suasana pegunungan begitu sunyi dan hanya suara kicauan burung saja yang terdengar. Ren Yingying tertawa setelah menoleh ke arah Linghu Chong.
Menanggapi hal itu Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Mulai hari ini Linghu Chong sudah mencukur rambut dan menjadi biksu. Mulai hari ini aku sudah memutuskan hendak meninggalkan masyarakat ramai. Maka itu, sampai di sini saja kebersamaan kita. Nona, marilah kita berpisah sekarang.”
Ren Yingying sadar pemuda itu hanya bergurau saja. Namun karena cintanya begitu mendalam, mau tidak mau hatinya merasa khawatir. Ia pun berkata, “Kakak Chong, kau jangan bergurau seperti ini. Aku… aku….” Padahal saat membunuh You Xun tadi sedikit pun ia tidak berkedip. Namun mendengar ucapan Linghu Chong yang sungguh-sungguh itu tanpa terasa tubuhnya gemetar.
Linghu Chong terkesan melihatnya. Sambil menepuk dahi sendiri ia pun berkata, “Tapi karenaddidampingi seorang calon istri yang cantik jelita seperti ini, maka si biksu memilih kembali lagi ke dalam masyarakat ramai.”
“Huh, kukira setelah You Xun mati tidak ada lagi manusia yang bermulut licin di dunia ini,” ujar Ren Yingying sambil tertawa. “Kukira dunia persilatan akan tenang dan damai tanpa manusia bermulut manis seperti dia. Tak kusangka... hehe.”
Linghu Chong tersenyum menjawab, “Cobalah kau sentuh kepalaku. Mulai sekarang aku pantas dijuluki si manusia berkepala licin.”
“Huh, kita bicara persoalan yang penting saja,” sahut Ren Yingying kemudian. “Murid-murid Perguruan Henshan sudah dibawa pergi ke Tebing Kayu Hitam. Kita harus segera membebaskan mereka. Ini benar-benar masalah yang rumit. Bahkan, ini bisa merusak hubungan baik antara aku dan Ayah….”
“Benar,” ujar Linghu Chong. “Bahkan ini juga bisa merusak hubungan baik antara menantu dengan bapak mertua.”
Ren Yingying melirik pemuda itu dengan tatapan galak, namun dalam hati terasa manis sekali.
Linghu Chong melanjutkan, “Urusan ini jangan sampai terlambat. Kita harus lekas-lekas menyusul ke sana untuk menolong mereka. Kita harus menghadang di tengah jalan.”
“Benar. Kita harus membunuh semua orang suruhan Yue Buqun. Basmi mereka tanpa kecuali, agar jangan sampai Ayah tahu,” kata Ren Yingying. Sejenak kemudian tiba-tiba ia menghela napas.
Linghu Chong dapat memahami perasaannya. Si nona bermaksud menyembunyikan urusan besar seperti ini dari telinga Ren Woxing, meskipun hal ini jelas tidak mudah. Sebaliknya, Linghu Chong sendiri menjabat sebagai ketua Perguruan Henshan, maka begitu semua anggotanya ditawan orang, mana boleh ia tinggal diam tanpa menolong? Ren Yingying memang sudah bertekad hendak membela pihaknya, meskipun harus rela melawan perintah ayah sendiri.
Mengingat urusan sudah seperti ini, maka segala sesuatu harus diputuskan dengan tegas. Linghu Chong lantas mengulurkan tangan kirinya untuk menggenggam erat-erat tangan kanan Ren Yingying. Semula gadis itu hendak meronta, tapi melihat keadaan begitu sepi tiada seorang pun yang terlihat, maka ia pun diam saja membiarkan tangannya dipegang Linghu Chong.
“Yingying, aku paham perasaanmu,” kata Linghu Chong. “Urusan ini tentu akan membuat kalian, ayah dan anak berselisih paham. Sungguh aku merasa tidak enak hati.”
“Jika Ayah memikirkan diriku tentu takkan membuat susah Perguruan Henshan,” kata Ren Yingying sambil menggeleng perlahan. “Menurut dugaanku, Ayah tidak bermaksud buruk kepadamu.”
Seketika Linghu Chong dapat menangkap maksud ucapan tersebut. Ia pun berkata, “Benar juga. Sepertinya ayahmu sengaja menangkap murid-murid Henshan sebagai sandera agar aku bergabung dengan Partai Mentari dan Bulan.”
“Tepat,” ujar Ren Yingying. “Sesungguhnya Ayah sangat suka kepadamu. Apalagi kau adalah satu-satunya ahli waris ilmu saktinya.”
“Tapi aku sudah pasti tidak sudi masuk partai kalian,” jawab Linghu Chong. “Aku merasa muak dan ngeri bila mendengar sanjung puji para anggota terhadap ayahmu, semacam: ‘Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.’”
“Ya, aku tahu. Maka itu aku pun tidak pernah membujukmu agar masuk menjadi anggota partai kami,” kata Ren Yingying. “Bila kau masuk partai, kelak kau pun akan diangkat menjadi ahli waris kedudukan Ayah. Setelah resmi menjadi ketua, siang-malam kau akan selalu mendengar sanjung puji para anggota yang membuatmu risih dan jijik. Namun lama-lama kau akan terbiasa dan sifatmu pasti juga akan berubah tidak akan seperti ini lagi. Contohnya, sejak Ayah pulang kembali ke Tebing Kayu Hitam, pribadinya sudah berubah dengan cepat.”
“Tapi kita juga tidak boleh membuat ayahmu marah,” ujar Linghu Chong sambil menggenggam tangan Ren Yingying yang satu lagi. Ia lantas menyambung, “Yingying, setelah kita bebaskan murid-murid Perguruan Henshan, segera kita langsungkan upacara pernikahan. Tidak perlu kita terlalu banyak adat, misalnya memakai perantara makcomblang dan bertunangan segala. Kita berdua lantas meletakkan senjata dan mengundurkan diri dari dunia persilatan. Kita hidup mengasingkan diri tanpa mencampuri urusan luar. Yang kita utamakan hanya bagaimana membuat banyak anak saja.”
Semula Ren Yingying hanya mendengarkan dengan termangu saja. Raut mukanya tampak bersemu merah, dan hatinya senang tak terlukiskan. Namun begitu mendengar kalimat terakhir, seketika ia pun terkejut dan melotot. Sekuatnya ia meronta dan melepaskan kedua tangannya dari genggaman Linghu Chong.
“Hei, setelah menjadi suami istri bukankah harus punya anak?” ujar Linghu Chong dengan tertawa.
“Jika kau sembarangan bicara lagi, maka selama tiga hari aku tidak akan bicara denganmu,” ancam Ren Yingying.
Linghu Chong hafal watak gadis itu yang selalu menepati ucapannya. Maka ia pun menjawab sambil menjulurkan lidah, “Baiklah, urusan yang lebih penting harus kita selesaikan dulu. Mari kita pergi ke Puncak Xianxing lebih dulu untuk melihat keadaan.”
Dengan ilmu meringankan tubuh masing-masing keduanya dapat mencapai puncak utama Gunung Henshan tersebut dengan cepat. Setibanya di Biara Wuse ternyata tidak seorang pun terdapat di sana. Tempat tinggal para murid juga kosong melompong. Berbagai perabotan berserakan di sana-sini, pedang dan golok juga tercecer di mana-mana. Untungnya di tempat itu tidak terdapat noda darah sedikit pun, sepertinya tidak sampai jatuh korban.
Mereka berdua kemudian pergi ke Lembah Tong Yuan. Di tempat itu juga tidak terdapat seorang pun. Hanya di atas meja masih tersisa bermacam-macam makanan dan arak. Seketika Linghu Chong ketagihan minum, namun sama sekali tidak berani minum sisa arak tersebut. Jelas ia teringat cerita You Xun tentang obat bius yang disebarkan para pengikut Yue Buqun.
“Perutku sudah lapar. Marilah kita turun gunung untuk mencari makan,” ajaknya kemudian.
Ren Yingying lantas merobek baju luar Linghu Chong dan memakaikannya sebagai pembungkus kepala pemuda itu. Linghu Chong tertawa dan berkata, “Memang harus begini. Jika tidak, bisa-bisa aku dituduh sebagai biksu yang menculik anak gadis orang.”
Keduanya lantas turun gunung dan menemukan kedai makan pada saat lewat tengah hari. Setelah mengisi perut sampai kenyang mereka lantas melanjutkan perjalanan dan menemukan jalur menuju Tebing Kayu Hitam. Sambil menghela napas dalam-dalam pasangan tersebut pun bergegas menyusuri jalan tersebut dengan cepat.
Beberapa jam kemudian, tiba-tiba dari balik gunung sayup-sayup terdengar suara orang membentak dan memaki. Sewaktu mereka berhenti dan mendengarkan dengan seksama, sepertinya itu adalah suara Enam Dewa Lembah Persik. Dengan cepat mereka pun melaju ke arah datangnya suara. Lambat laun suara-suara itu terdengar semakin jelas, dan memang benar suara Enam Dewa Lembah Persik.
“Keenam bayi ini sedang bertengkar dengan siapa?” kata Ren Yingying dengan suara tertahan.
Setelah berbelok di suatu tanjakan, mereka lantas bersembunyi di balik pohon. Terdengar Enam Dewa Lembah Persik masih saja membentak-bentak sambil mengepung satu orang. Rupanya mereka sedang bertempur sengit. Orang yang sedang dikeroyok itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, hanya terlihat sosok bayangannya menyelinap kian-kemari di antara keenam lawannya itu. Ketika diperhatikan dengan cermat, ternyata orang itu adalah ibu Yilin, yaitu si nenek penjaga Kuil Gantung.
Sejenak kemudian, terdengar suara Dewa Akar Persik dan Dewa Buah Persik berteriak-teriak. Rupanya pipi mereka masing-masing telah terkena tamparan si nenek.
Linghu Chong senang melihat hal ini. Ia pun berbisik kepada Ren Yingying, “Ini namanya hutang besar bayar kontan! Biar aku yang ganti mencukur gundul kepalanya.” Segera ia pun bersiap-siap. Tangannya menggenggam gagang pedang, menunggu Enam Dewa Lembah Persik kewalahan dan ia pun melompat keluar untuk membantu.
Sementara itu kembali terdengar suara tamparan berulang-ulang. Enam Dewa Lembah Persik berturut-turut terkena pukulan tangan si nenek. Keenam bersaudara itu sangat murka. Sungguh mereka bermaksud hendak memegang kaki dan tangan perempuan itu agar dapat merobek tubuhnya menjadi empat potong.
Akan tetapi gerakan si nenek memang sangat cepat laksana bayangan setan. Beberapa kali Enam Dewa Lembah Persik nyaris berhasil memegang kaki atau tangannya, namun selalu luput terpaut satu-dua senti saja. Setelah itu kembali mereka terkena tamparan lagi.
Sebaliknya, si nenek juga sadar bahwa keenam lawannya sangat kuat dan gesit pula. Ia sendiri khawatir kehabisan tenaga dan akhirnya bisa tertangkap oleh keenam bersaudara itu. Maka tidak lama kemudian, perempuan itu kembali membuka serangan. Berturut-turut ia menampar muka empat orang lawannya, kemudian melompat ke belakang dan melesat melarikan diri. Langkah si nenek ini benar-benar secepat kilat. Hanya dalam sekejap saja sudah puluhan meter jauhnya. Meskipun Enam Dewa Lembah Persik membentak-bentak dan sesumbar, tetap saja sukar untuk menyusulnya.
Namun sialnya, si nenek justru berlari ke arah Linghu Chong dan Ren Yingying bersembunyi. Segera saja Linghu Chong pun melompat keluar sambil melintangkan pedang dan membentak, “Mau lari ke mana?” Begitu sinar putih berkelebat, seketika ujung pedangnya mengacung ke leher perempuan itu.
Karena serangan ini mengarah ke tempat yang mematikan, si nenek terkejut. Ia pun menoleh untuk menghindar. Namun Linghu Chong lantas memiringkan pedangnya ke samping mengincar bahu kanan si nenek. Dalam keadaan tidak bisa berkelit lagi, terpaksa si nenek melompat mundur.
Namun Linghu Chong lantas maju dan kembali menusuk sehingga perempuan itu terpaksa mundur lagi selangkah. Dengan pedang di tangan, jelas si nenek bukan tandingannya. Dalam tiga kali serangan Linghu Chong kembali mendesak mundur si nenek beberapa langkah. Kalau dia mau, tentu dengan mudah riwayat si nenek sudah berakhir di tangannya.
Melihat itu, Enam Dewa Lembah Persik bersorak gembira. Begitu ujung pedang Linghu Chong sudah menodong di depan dada si nenek dan membuatnya tidak berani bergerak lagi, pada saat itulah Enam Dewa Lembah Persik memburu maju. Empat orang di antaranya serentak memegang kedua kaki dan kedua tangan perempuan itu dan mengangkatnya ke atas.
“Jangan membunuhnya!” teriak Linghu Chong.
Namun Dewa Bunga Persik masih penasaran. Dengan gemas ia menampar muka si nenek satu kali.
“Gantung saja dia!” seru Linghu Chong.
“Ya, benar. Tapi di mana ada tali?” seru Dewa Akar Persik.
Enam Dewa Lembah Persik tidak satu pun yang membawa tali. Di tengah hutan seperti itu juga sulit untuk mencari tali. Dewa Bunga Persik dan Dewa Dahan Persik berusaha mencari di sekitar situ. Ketika sedikit saja pegangan keempat Dewa Persik yang lainnya agak kendur, segera si nenek meronta dan melepaskan diri. Seketika ia menggelinding di tanah untuk kemudian melesat pergi.
Namun baru saja perempuan itu bermaksud lari sekuat tenaga, tiba-tiba di punggungnya terasa sudah menempel suatu benda tajam. Sekejap kemudian terdengar Linghu Chong berkata dengan tersenyum, “Berhenti! Tetap di sini!” Ternyata ujung pedangnya telah mengancam punggung si nenek.
Sama sekali si nenek tidak menyangka ilmu pedang Linghu Chong sedemikian hebatnya. Wajahnya tampak pucat dan hatinya menjadi gentar. Terpaksa ia tidak berani bergerak lagi.
Segera Enam Dewa Lembah Persik memburu maju. Enam jari pun bekerja serentak, masing-masing menotok titk-titik nadi di tubuh si nenek. Sambil meraba pipi yang panas dan perih akibat tamparan tadi segera Dewa Dahan Persik bermaksud membalas.
Linghu Chong merasa tidak enak hati bila ibu Yilin sampai terluka. Segera ia pun berseru, “Jangan dulu! Biarlah kita kerek saja tubuhnya di atas pohon.”
Enam Dewa Lembah Persik sangat senang mendengarnya. Tanpa disuruh lagi mereka lantas menguliti batang pohon untuk dipintal menjadi tali. Linghu Chong lalu bertanya kepada mereka apa sebab musababnya sampai berkelahi melawan perempuan itu.
Dewa Ranting Persik menjawab, “Tadinya kami sedang berak bersama di sini. Selagi kami menguras perut dengan senangnya, tiba-tiba perempuan ini berlari ke sini dan langsung bertanya: ‘Hei, apakah kalian melihat seorang biksuni cilik?’ – Cara bicaranya kasar, juga mengganggu kami yang sedang berak….”
Mendengar kata-kata yang menjijikkan itu, Ren Yingying mengerutkan kening dan berjalan menyingkir agak jauh.
Dengan tertawa Linghu Chong lantas berkata, “Benar. Perempuan ini memang tidak kenal tatakrama pergaulan.”
“Sudah tentu kami tidak mengubrisnya dan menyuruh dia lekas pergi,” lanjut Dewa Ranting Persik. “Tapi perempuan ini lantas main pukul dan begitulah, kami pun berhantam dengannya. Coba kalau Saudara Linghu tidak lekas datang, tentu dia sudah lolos.”
“Belum tentu,” bantah Dewa Bunga Persik. “Kita tadi sengaja membiarkan dia lari beberapa langkah, lalu mengejar dan menangkapnya, supaya dia gembira sia-sia.”
“Benar. Di bawah tangan Enam Dewa Lembah Persik tidak pernah ada cerita musuh bisa sampai lolos. Kami selalu dapat menangkap dan membekuk dia kembali,” sambung Dewa Buah Persik.
“Cara kami ini namanya ‘cara kucing mempermainkan tikus’. Kami biasa membiarkan lawan lolos untuk kemudian menangkapnya kembali,” sahut Dewa Akar Persik.
Linghu Chong hafal watak mereka yang tidak mau kalah dan selalu menjaga gengsi. Maka ia pun memuji, “Setiap kucing bisa menangkap enam tikus. Apalagi enam kucing tentu sangat mudah menangkap satu tikus.”
Keenam bersaudara itu senang mendengar pujian tersebut dan semakin bersemangat memintal tali. Begitu selesai, segera kaki dan tangan si nenek pun ditelikung dan diikat kencang, lalu tubuhnya dikerek di atas pohon.
Dengan pedangnya yang tajam Linghu Chong menebang dari atas batang pohon sehingga teriris sepanjang dua-tiga meter. Setelah itu ia lantas mengoreskan sebuah kalimat menggunakan ujung pedang yang berbunyi: “Gentong cuka nomor satu di dunia.”
Dewa Akar Persik bertanya, “Saudara Linghu, mengapa perempuan ini disebut gentong cuka nomor satu di dunia? Apakah kepandaiannya minum cuka sangat hebat? Ah, aku tidak percaya. Bagaimana kalau kita lepaskan dia dulu? Aku ingin berlomba minum cuka dengannya.”
“Minum cuka adalah kata kiasan,” jawab Linghu Chong menjelaskan. Maksudnya adalah cemburu. “Kalian Enam Dewa Lembah Persik adalah pahlawan yang tiada bandingannya. Nama besar kalian berkumandang di angkasa, kepandaian dan kesaktian kalian terkenal di seluruh penjuru dunia. Nenek bangsat ini mana sanggup menandingi kalian? Tidak perlu harus berlomba segala,” lanjutnya.
Enam Dewa Lembah Persik tertawa gembira dan menjawab serentak, “Benar sekali, benar sekali.”
“Nah, sekarang ganti aku yang bertanya kepada keenam Saudara Persik,” ujar Linghu Chong kemudian. “Apakah kalian melihat Adik Yilin atau tidak?”
“Apakah yang kau maksudkan biksuni cilik cantik jelita dari Perguruan Henshan itu?” sahut Dewa Ranting Persik. “Kalau biksuni cilik itu kami tidak tahu. Tapi kalau dua orang biksu bertubuh besar kami melihatnya.”
“Mereka masing-masing adalah ayah dan murid biksuni cilik itu,” sambung Enam Dewa Lembah Persik.
(Bersambung)
Bagian 79 ; Bagian 80 ; Bagian 81