Bagian 58 - Pertandingan Tiga Babak

“Tidak bisa,” sahut Zuo Lengchan. “Siapa saja di pihak kami yang harus maju adalah pilihan kami sendiri. Mana boleh kau main tunjuk sesukanya?”
“Jago masing-masing pihak harus dipilih sendiri, pihak lawan tidak boleh ikut campur, benar begitu?” tanya Ren Woxing.
“Benar,” jawab Zuo Lengchan. “Dari pihak kami yang akan maju adalah kedua ketua dari Shaolin dan Wudang, ditambah lagi aku sendiri.”
Ren Woxing mengejek, “Dengan kedudukan dan namamu itu, mana mungkin dapat disejajarkan dengan ketua-ketua dari Perguruan Shaolin dan Wudang?”
Dengan muka merah Zuo Lengchan menjawab, “Hm, sudah tentu aku tidak berani disejajarkan dengan ketua-ketua Shaolin dan Wudang. Tapi untuk melayani dirimu rasanya sudah cukup.”
“Hahaha!” Ren Woxing tertawa kemudian berpaling kepada Fangzheng. “Bila aku ingin berkenalan dengan ilmu pukulan Perguruan Shaolin kalian boleh atau tidak, Biksu Ketua?”
“Amitabha! Sudah lama saya tidak berlatih. Jelas bukan tandingan Tuan Ren,” sahut Fangzheng. “Hanya saja saya berharap dapat menahan Tuan Ren di sini. Terpaksa beberapa kerat tulangku yang sudah lapuk ini kupersiapkan untuk menerima pukulanmu.”
Zuo Lengchan tidak menduga kalau Ren Woxing justru menantang Fangzheng bertanding. Hal ini jelas memandang remeh terhadap dirinya. Namun dalam hati ia bukannya marah, tapi justru merasa senang, “Tadinya aku khawatir tidak bisa mengalahkanmu. Kemudian pada babak kedua kau mengajukan Xiang Wentian untuk menghadapi Pendeta Chongxu, sedangkan anak perempuanmu melawan Biksu Fangzheng. Dalam keadaan demikian bila Pendeta Chongxu yang lebih tua usianya mengalami kekalahan, lalu aku juga tidak bisa mengalahkanmu, tentu hal ini bisa menjadi bencana.”
Selangkah demi selangkah Zuo Lengchan berjalan mundur untuk memberikan tempat yang leluasa bagi Fangzheng dan Ren Woxing bertarung. Kedelapan mayat juga sudah dipindahkan dari tengah ruangan.
“Silakan, Biksu Ketua,” kata Ren Woxing sambil kemudian memasang kuda-kuda.
“Tuan Ren silakan buka serangan lebih dulu!” sahut Fangzheng sambil merangkap tangan membalas hormat.
“Yang saya mainkan adalah ilmu silat murni Partai Mentari dan Bulan. Sebaliknya yang akan Biksu mainkan adalah ilmu silat murni Perguruan Shaolin. Babak pertama pertandingan ini merupakan murni melawan murni,” kata Ren Woxing.
“Huh, ajaran murni apa? Tidak tahu malu!” mendadak Yu Canghai mengejek.
“Biksu Ketua, biarkan aku membunuh si pendek ini dulu, baru kemudian kita mulai pertandingan,” kata Ren Woxing.
“Jangan!” seru Fangzheng berseru sambil melancarkan serangan pertama. “Terimalah seranganku ini!” Ia paham watak Ren Woxing yang berani berkata dan berani berbuat. Serangan gembong aliran sesat itu bagaikan kilat bisa-bisa membuat Yu Canghai kehilangan nyawa dalam waktu sekejap. Maka, ia pun mendahului membuka serangan.
Pukulan Fangzheng tersebut terlihat sangat enteng dan biasa saja. Namun begitu sampai di tengah jalan mendadak pukulannya bergerak-gerak. Satu telapak tangannya berubah menjadi dua, kemudian menjadi empat, kemudian berubah lagi menjadi delapan, dan seterusnya.
“Seribu Tapak Buddha!” teriak Ren Woxing mengenali jurus itu. Maka, ia pun segera membalas memukul bahu kanan Fangzheng. Segera Fangzheng menarik kembali pukulannya itu, dan kemudian tangan yang lain berganti menyerang dengan cara yang sama. Tangan kiri itu tampak bergoyang-goyang, satu berubah dua, dua berubah empat, dan seterusnya. Tapi Ren Woxing lantas melompat ke atas. Berturut-turut ia membalas dengan dua kali pukulan.
Linghu Chong menyaksikan pertarungan itu dari atas. Dilihatnya pukulan Fangzheng sukar diduga perubahannya. Belum lanjut pukulannya segera berubah beberapa kali. Sungguh ilmu pukulan mahaaneh yang belum pernah dilihatnya. Sebaliknya pukulan Ren Woxing terlihat sangat sederhana. Tangannya hanya menjulur dan ditarik kembali secara biasa, seperti agak kaku. Tapi meskipun Biksu Fangzheng melancarkan pukulan-pukulan yang sukar dijajaki, Ren Woxing selalu menyambut serangannya itu dengan tenang. Pada saat itu pula Fangzheng cepat ganti serangan lain. Tampaknya kedua orang sama-sama kuat dan lihai.
Dalam hal ilmu pukulan tangan kosong, Linghu Chong tidak begitu mahir. Salah satu bagian dalam Sembilan Jurus Pedang Dugu yaitu Jurus Mematahkan Pukulan tidak dikuasainya dengan baik. Lagipula ia juga merasa kesulitan menemukan titik kelemahan dalam setiap jurus pukulan kedua orang yang sedang bertarung itu.
Kedua tokoh sakti itu sama-sama ahli dalam ilmu pukulan. Kehebatan mereka nomor satu di dunia persilatan. Linghu Chong kebingungan menyaksikan jurus-jurus mereka dan tetap saja kesulitan menemukan intisari serangan keduanya. “Dalam ilmu pedang aku berhasil menang atas Pendeta Chongxu dan juga tidak kalah menghadapi Tuan Ren di dalam penjara dulu. Namun menghadapi jurus pukulan yang dilancarkan kedua tokoh ini, aku harus menyerang mereka dengan pedang terus-menerus. Kakek Guru Feng berkata, bahwa aku harus berlatih dulu selama dua puluh tahun sebelum mampu bertarung menghadapi tokoh-tokoh papan atas dunia persilatan,” demikian ia berpikir.
Sejenak kemudian, Ren Woxing menyodokkan kedua tangannya ke depan secara mendadak. Kontan Biksu Fangzheng terdesak mundur dua sampai tiga langkah berturut-turut. Linghu Chong terkesiap, hatinya menjerit, “Wah, celaka! Sepertinya Biksu Fangzheng bisa kalah.”
Tapi ia kemudian melihat biksu tua itu memukulkan tangan kirinya melingkar saat lengan kanannya diserang musuh. kedua tangannya ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, menyusul Ren Woxing berbalik mundur selangkah dan mundur lagi. Setelah beberapa jurus, Ren Woxing kembali terdesak mundur beberapa langkah.
Linghu Chong menanggapi dalam hati, “Bagus, bagus!” Tapi sejenak kemudian ia merenung, “Aneh, kenapa aku khawatir ketika melihat Biksu Fangzheng terancam kalah, dan merasa senang jika dia berada di atas angin? Ya, bagaimanapun juga Biksu Fangzheng adalah biarawan saleh, sementara Ketua Ren seorang gembong aliran sesat. Hati nuraniku tetap bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.” Tapi lantas terpikir olehnya, “Namun bila Ketua Ren kalah, maka Yingying akan terkurung lagi selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi ini. Hal ini jelas tidak kuinginkan.”
Kontan ia menjadi bingung. Hati kecilnya merasa serbasalah. Dalam beberapa saat ia tidak tahu harus memihak siapa. Ia yakin jika Ren Woxing, Ren Yingying, dan Xiang Wentian kembali ke dunia persilatan, maka akan terjadi kekacauan besar. Namun ia sendiri tidak rela kalau Ren Yingying mengalami penderitaan di gunung tersebut.
Diam-diam ia mengalihkan pandangannya ke arah gadis itu. Tampak Ren Yingying bersandar di sebuah tiang besar. Ia terlihat begitu lemah gemulai, alisnya lentik agak terkerut seperti sedang memendam kesedihan. Serentak rasa kasihan Linghu Chong berkobar, “Bagaimana aku bisa membiarkan Yingying dikurung selama sepuluh tahun di sini? Bagaimana ia bisa melewati hari-hari penuh dengan perasaan tersiksa?” Ia kemudian teringat betapa gadis itu telah mengorbankan diri demi untuk menyelamatkan jiwanya. Dalam dunia persilatan ia memiliki banyak kawan yang gagah, namun hanya Ren Yingying seorang yang berkorban sejauh itu.
Rasa iba telah memenuhi dada Linghu Chong. Ia tidak peduli apakah Ren Yingying putri seorang ketua aliran sesat, atau iblis betina sekalipun. Yang jelas gadis itu pernah mengorbankan diri untuk menyelamatkan jiwanya, maka ia tidak akan pernah melupakan budi baik gadis tersebut. Ia tidak peduli meskipun seluruh dunia berbalik memusuhinya karena ia memilih untuk melindungi gadis itu.
Sebelas pasang mata terpusat menyaksikan pertandingan kedua tokoh sakti itu. Dalam hati masing-masing mereka memuji kehebatan pukulan Ren Woxing dan Fangzheng. Tampak Zuo Lengchan tersenyum dan bersyukur dalam hati, “Untung Si Tua Ren memilih Biksu Fangzheng sebagai lawannya pada babak pertama ini. Jika ia memilih diriku tentu akan membuatku sulit. Dibandingkan dengan Jurus Tapak Songyang andalan perguruan kami, ilmu pukulannya lebih rumit den memiliki banyak perubahan. Ilmu pukulannya lebih bagus dariku. Ia hanya mengincar titik-titik penting, tidak lebih dari itu.”
Sebaliknya Xiang Wentian juga sedang berpikir, “Ilmu silat Perguruan Shaolin yang tersohor selama ratusan tahun ternyata memang bukan omong kosong belaka. Bila aku yang harus menghadapi Biksu Fangzheng, terpaksa yang harus mengadu tenaga dalam. Untuk bertanding ilmu pukulan jelas aku tidak akan bisa menang.”
Di sisi lain diam-diam Yue Buqun, Pendeta Tianmen, Yu Canghai, dan yang lain juga sedang membandingkan ilmu pukulan kedua jago itu dengan kepandaian mereka masing-masing.
Sesudah sekian lamanya pertempuran sengit itu berlangsung, lambat laun Ren Woxing merasa ilmu pukulan Biksu Fangzheng mulai kendur. Dalam hati ia berpikir, “Hm, meskipun jurus pukulan biksu ini sangat hebat, namun usianya jelas sudah tua. Daya tahanmu tentu semakin berkurang.”
Segera ia mempercepat serangan. Setelah beberapa kali memukul, tiba-tiba sewaktu menarik tangan kanan terasa nadi pergelangannya agak kaku. Tenaga dalam juga agak macet, sungguh ia terkejut bukan main. Ia tahu hal itu disebabkan oleh pengaruh tenaga dalam lawan. Ia berpikir, “Ilmu Mengubah Otot biksu tua ini sungguh sempurna. Aku tidak bisa mengerahkan pukulan karena ia bisa menahan dan mengendalikan tenaga dalamku.” Ia yakin jika pertarungan ini berlangsung lebih lama lagi, bila tenaga dalam lawan sudah dikerahkan besar-besaran, tentu ia berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Saat itu Fangzheng menghantam dengan pukulan telapak kiri. Ren Woxing berseru sambil menyambut dengan telapak kiri pula. Kedua tangan pun beradu. Kedua orang itu sama-sama mundur selangkah. Terasa tenaga dalam biksu tua itu sangat lunak, tapi luar biasa kuatnya. Meski Ren Woxing sudah mengeluarkan Jurus Penyedot Bintang, namun sedikit pun tidak bisa menghisap tenaga lawan. Dalam hati ia merasa sangat heran.
“Shanzhai, shanzhai!” ujar Fangzheng sambil kemudian tangan kanannya menghantam ke depan. Kembali Ren Woxing menyambut dengan tangan kanan pula. Kedua tangan kembali beradu lagi. Tubuh masing-masing sampai tergeliat. Ren Woxing merasa darah di seluruh badan seakan-akan mendidih. Segera ia mundur dua langkah, an tiba-tiba memutar tubuh. Tahu-tahu dada Yu Canghai sudah dicengkeramnya menggunakan tangan kanan, sementara tangan kiri mengayun siap menghantam batok kepala ketua Perguruan Qingcheng itu.
Kejadian tersebut bagaikan seekor kelinci yang tiba-tiba disambar elang. Semua mata sedang tertuju kepada Ren Woxing yang sedang kewalahan menghadapi pukulan-pukulan Biksu Fangzheng tadi. Siapa sangka ia mendadak ganti sasaran dan menyerang orang lain. Yu Canghai sendiri seorang tokoh silat angkatan tua. Andai saja ia bertarung terang-terangan melawan Ren Woxing, sekalipun pada akhirnya kalah, tentunya tidak mungkin hanya dalam satu jurus langsung tertangkap seperti itu.
Begitulah, di tengah jeritan banyak orang, Biksu Fangzheng segera melompat bagaikan burung yang sedang menyambar mangsa. Dengan dua telapak tangan berkecepatan tinggi ia memukul ke arah belakang kepala Ren Woxing. Dalam dunia persilatan ini disebut siasat “serang sini, tolong sana”, yang memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu dan melepaskan tawanannya. Dalam hal ini Ren Woxing harus membatalkan pukulannya terhadap kepala Yu Canghai untuk menangkis serangan Fangzheng.
Semua orang terkejut kagum melihat kecepatan gerakan Biksu Fangzheng yang secepat kilat itu. Meskipun tidak sempat bersorak memuji, namun mereka tahu bahwa jiwa Yu Canghai dapat diselamatkan. Sesuai dugaan Ren Woxing terpaksa menarik tangannya yang hendak menghantam kepala Yu Canghai tadi. Akan tetapi tangan tersebut tidak digunakan untuk menangkis serangan Fangzheng, melainkan untuk mencengkeram titik Tanzhong pada bagian dada biksu ketua tersebut. Menyusul kemudian tangan kanannya ikut bekerja pula. Secepat kilat ulu hati Fangzheng ditotoknya dengan tepat. Tanpa ampun lagi, tubuh ketua biara Shaolin itu langsung lemas dan roboh terkulai.
Kontan semua orang terperanjat kaget. Beramai-ramai mereka menerjang maju mengerumuni sang biksu tua. Hanya Zuo Lengchan yang bergerak menghantam ke arah punggung Ren Woxing. Tapi Ren Woxing sempat menangkis pukulan itu sambil membentak, “Bagus! Anggap saja ini babak kedua!”
Zuo Lengchan melancarkan serangan kilat dengan gaya berubah-ubah. Kadang tangannya memukul, kadang menelapak, lalu berubah menotok, kemudian mencengkeram pula. Dalam sekejap saja ia sudah menggunakan belasan macam bentuk serangan tangan.
Meskipun diserang berkali-kali, Ren Woxing masih mampu untuk bertahan dengan mengerahkan segenap tenaga dalam. Beberapa jurus serangannya yang terakhir untuk merobohkan Biksu Fangzheng tadi jelas menggunakan segenap tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang ketua Perguruan Shaolin yang memiliki tenaga dalam setinggi itu bisa dicengkeram pada titik titik Tanzhong dengan sangat tepat? Bagaimana mungkin satu jari bisa dengan tepat melumpuhkan biksu ketua tersebut? Serangan-serangan tadi bisa dikatakan sebagai pertaruhan terakhir bagi Ren Woxing.
Kemenangan Ren Woxing atas Biksu Fangzheng itu semata-mata juga karena siasat licik belaka. Ia memanfatkan sifat Fangzheng yang welas asih, dengan cara seolah hendak membinasakan Yu Canghai. Perhitungan Ren Woxing sungguh cermat. Pertama, orang-orang lain tidak sempat menolong ketua Perguruan Qingcheng itu karena jarak mereka agak jauh. Kedua, dalam hati mereka banyak yang tidak suka dengan pribadi Yu Canghai, sehingga tidak mungkin sudi mengambil risiko menolong pendeta kerdil itu. Dalam keadaan demikian Ren Woxing yakin hanya Biksu Fangzheng saja yang akan menolong Yu Canghai.
Ketika ketua Perguruan Shaolin itu menolong Yu Canghai dengan cara menyerangnya, ternyata ia sama sekali tidak menangkis, tapi berbalik mencengkeram dan menotok titik penting di tubuh biksu tua itu. Cara yang dilakukan Ren Woxing ini sesungguhnya sangat berbahaya. Sebab, jangankan kedua tangan Fangzheng yang menghantam ke arah kepalanya, bahkan angin yang ditimbulkan saja sudah bisa membuat otaknya meledak.
Sewaktu menangkap Yu Canghai tadi, Ren Woxing memang sudah mempertaruhkan jiwanya pula. Ia berusaha memanfaatkan hati welas asih biarawan saleh itu. Ketika pukulan sang biksu yang bisa menghancurkan kepala itu ternyata tidak ditangkis, maka ia pun menarik kembali tangannya itu secara mendadak. Untuk itu ia mengerahkan tenaga sangat besar, sehingga daerah dada dan perut menjadi kosong dan terbuka.
Begitu Ren Woxing mencengkeram dan menotok dadanya, Fangzheng sekuat tenaga mengumpulkan tenaga di tangannya untuk memukul kepala Ren Woxing, namun keadaannya sudah sangat lemah. Tenaga dalamnya di titik Dantian sama sekali tidak bisa berkembang.
Pendeta Chongxu segera membangunkan Biksu Fangzheng dan membuka totokan pada tubuh ketua biara Shaolin itu , sambil berkata, “Perasaan Kakak Biksu terlalu yang baik, sehingga bisa diperdaya oleh lawan secara licik.”
“Amitabha!” ujar Fangzheng. “Pikiran Tuan Ren memang cerdik. Adu akal, bukan adu tenaga. Saya sungguh sangat kagum dan mengaku kalah.”
Terdengar Yue Buqun berseru, “Ketua Ren memakai akal licik, kemenangannya tidak gemilang. Cara yang ia gunakan sama sekali bukan perbuatan seorang laki-laki sejati.”
“Memangnya dalam Partai Mentari dan Bulan kami ada laki-laki sejati?” sahut Xiang Wentian dengan tertawa. “Jika Ketua Ren seorang laki-laki sejati tentu sejak dahulu sudah berkomplot dengan kalian. Untuk apa harus bertanding seperti sekarang ini?”
Yue Buqun langsung terdiam oleh perkataan Xiang Wentian.
Sementara itu Ren Woxing bersandar pada sebatang tiang kayu sambil melancarkan pukulan untuk menangkis setiap serangan Zuo Lengchan. Sebagai ketua Perguruan Songshan sekaligus ketua Serikat Pedang Lima Gunung, sikap Zuo Lengchan biasanya sangat angkuh. Pada waktu yang lain tentu ia tidak sudi bertempur melawan Ren Woxing di kala lawannya itu baru saja bertanding melawan tokoh nomor satu dari Perguruan Shaolin. Ia paham bahwa cara demikian tentu akan membuatnya disebut sebagai pengecut. Namun Ren Woxing telah berhasil merobohkan Biksu Fangzheng dengan cara licik dan membuat marah tokoh-tokoh yang menyaksikan. Sekarang Zuo Lengchan tiba-tiba maju melabrak Ren Woxing, hal ini justru menimbulkan pujian kepadanya karena rasa setia kawan yang ia tunjukkan itu.
Xiang Wentian melihat gerak-gerik Ren Woxing agak lamban dan sukar menghirup napas di bawah serangan gencar Zuo Lengchan. Ia pun berseru, “Ketua Zuo, apa kau tidak tahu malu, melawan orang yang baru saja bertempur? Biarlah aku saja yang melayani dirimu!”
“Sesudah kurobohkan orang bermarga Ren ini baru kuhadapi dirimu. Memangnya aku takut bertempur secara bergiliran melawan dirimu?” sahut Zuo Lengchan sambil sebelah tangannya menghantam pula ke arah Ren Woxing.
Ren Woxing tersinggung juga mendengar kata-kata Zuo Lengchan itu. Dengan nada dingin ia berkata, “Hanya dengan sedikit kepandaianmu ini memangnya bisa merobohkan Ren Woxing? Adik Xiang, kau minggir saja!”
Xiang Wentian kenal watak sang ketua yang angkuh itu. Ia pun tidak berani membantah, dan terpaksa berkata, “Baiklah, aku mundur sementara ini. Tapi orang bermarga Zuo ini terlalu pengecut dan tidak kenal malu. Akan kutendang sekali pantatnya!” Bersama itu ia mengangkat sebelah kakinya, siap menendang pantat Zuo Lengchan.
“Apa kau hendak main kerubut?” teriak Zuo Lengchan dengan gusar sambil mengelak ke samping.
Tak disangka gerakan kaki Xiang Wentian itu ternyata hanya pura-pura saja. Melihat Zuo Lengchan tertipu, Xiang Wentian terbahak-bahak geli dan menjawab, “Hahaha, hanya anak haram yang suka main kerubut!” Ia lalu melompat mundur dan berdiri di samping Ren Yingying.
Karena ejekan Xiang Wentian itu, serangan Zuo Lengchan menjadi terhalang satu jurus. Kesempatan ini segera digunakan oleh Ren Woxing untuk menarik napas panjang-panjang. Seketika semangatnya pun bangkit kembali. Kontan ia membalas serangan dengan menghantam tiga kali berturut-turut.
Sekuat tenaga Zuo Lengchan mematahkan serangan Ren Woxing itu. Diam-diam ia terkesiap menyadari tenaga dalam musuh lamanya itu. “Sudah belasan tahun aku tidak bertarung melawan tua bangka ini. Ternyata ilmu silatnya meningkat dengan pesat. Hm, aku harus mengerakan segenap kemampuan untuk bisa memenangkan babak ini.”
Pertarungan antara Zuo Lengchan melawan Ren Woxing kali ini adalah pertempuran kedua mereka setelah masa dahulu. Pertarungan di hadapan tokoh-tokoh tertinggi dunia persilatan sekarang ini benar-benar pertarungan yang menentukan. Karena itu mereka sangat mementingkan soal kemenangan, sama sekali berbeda dengan pertandingan babak pertama antara Ren Woxing melawan Biksu Fangzheng tadi, yang dilangsungkan dengan suasana ramah tamah.
Begitu Ren Woxing mendapatkan napas baru, seketika semua gerakannya merupakan gerakan membunuh. Keduanya mengganti gaya serangan dari memukul menjadi memotong. Tangan Zuo Lengchan tetap saja berubah-ubah, dari memukul, menapak, sampai mencengkeram. Semakin lama semakin cepat pertarungan kedua orang itu. Linghu Chong sampai sulit membedakan siapa di antara mereka. Sewaktu melihat pertandingan babak pertama tadi ia tidak paham akan intisari gerakan Ren Woxing dan Fangzheng, dan kini ia sangat kesulitan mengikuti kecepatan gerak kedua tokoh sakti tersebut.
Ia lalu melirik ke arah Ren Yingying. Muka gadis itu tampak putih bersih bagaikan salju, sama sekali tidak menunjukkan suatu perasaan cemas ataupun khawatir. Seolah-olah ia sangat yakin atas kemenangan sang ayah. Sementara itu wajah Xiang Wentian kadang senang kadang cemas. Sepertinya ia merasa sangat kesal dan gelisah, seakan-akan jauh lebih gawat daripada dia sendiri yang bertempur. “Pengalaman Kakak Xiang jauh lebih luas daripada Yingying. Melihat ketegangan di wajahnya itu, mungkin sekali dalam pertarungan ini Tuan Ren sukar mendapat kemenangan,” pikir Linghu Chong.
Perlahan-lahan pandangannya beralih ke arah lain. Tampak guru dan ibu-gurunya berdiri sejajar di samping Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. Di belakang mereka berdiri Pendeta Tianmen ketua Perguruan Taishan dan Tuan Besar Mo ketua Perguruan Hengshan. Sejak datang tadi Tuan Besar Mo sama sekali tidak membuka suara sehingga Linghu Chong tidak tahu bahwa tokoh sakti berbadan tinggi kurus itu juga berada di biara Shaolin. Di sisi lain tampak Yu Canghai ketua Perguruan Qingcheng berdiri sendiri di sudut ruangan dengan menggenggam erat gagang pedangnya. Wajahnya tampak sangat gusar. Seorang pengemis tua berdiri di sebelah lain lagi. Ia tentu ketua Partai Pengemis yang bernama Xie Feng. Di sebelahnya tampak seorang berperawakan gagah. Ia tentu ketua Perguruan Kunlun yang bernama Zhenshan Zi. Tokoh ini berjuluk Si Pedang Tunggal, tapi di punggungnya justru tersandang dua batang pedang.
Kesembilan tokoh tersebut adalah orang-orang sakti di dunia persilatan. Masing-masing adalah pemimpin aliran ternama. Andai saja mereka tidak memusatkan perhatian ke arah pertandingan, tentu sejak tadi keberadaan Linghu Chong sudah mereka ketahui melalui tarikan atau hembusan napasnya. Dalam hati ia merenung, “Para guru besar dunia persilatan berkumpul di sini. Beberapa di antara mereka sangat kuhormati. Rasanya tidak sopan jika aku bersembunyi di sini mendengarkan pembicaraan mereka dari tadi. Meskipun aku tiba di sini lebih awal, tetap saja aku merasa tidak nyaman telah menguping pembicaraan mereka. Kalau sampai ketahuan sungguh diriku akan malu setengah mati.”
Maka ia pun berharap Ren Woxing bisa memenangkan babak ini, sehingga mereka bertiga dapat pergi dengan bebas. Dan kalau nanti Biksu Fangzheng dan yang lain sudah pindah ke ruang lain, ia berniat akan lekas-lekas menyusul dan menemui Ren Yingying. Terpikir akan berbicara dengan gadis itu, seketika dadanya terasa hangat. Ia merenung, “Apakah untuk seterusnya aku benar-benar akan menjadi pasangan suami istri dengan Yingying? Betapa kesetiaan dan cintanya pada diriku sudah tidak perlu disangsikan lagi. Tapi aku… tapi aku….”
Memang selama ini jika ia teringat kepada Ren Yingying, maka yang terpikir di hatinya adalah perasaan ingin membalas budi. Ia bertekad membebaskan gadis itu lolos dari biara Shaolin, adalah untuk menunjukkan kepada dunia persilatan bahwa dirinya yang telah jatuh hati kepada si nona dan bukan sebaliknya. Dengan demikian orang-orang persilatan tidak lagi mencemooh Ren Yingying bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Anehnya, setiap bayangan Ren Yingying yang cantik itu timbul dalam benaknya, hatinya tidak merasakan kebahagiaan dan kemesraan. Hal ini sungguh berbeda dibanding jika ia terkenang kepada Yue Lingshan yang sangat dicintainya itu. Terhadap Ren Yingying yang ada dalam lubuk hatinya adalah perasaan agak-agak takut.
Ketika pertama kali bertemu dengan Ren Yingying dulu, ia senantiasa menyangka gadis itu sebagai seorang nenek tua. Maka yang timbul dalam hatinya adalah perasaan hormat. Kemudian setelah mengetahui sifat si nona yang ringan tangan, membunuh orang dengan gampang, memerintah orang dengan tegas, membuat dalam rasa hormatnya itu telah bercampur pula tiga bagian rasa muak dan tiga bagian rasa takut. Rasa muak itu perlahan-lahan menjadi tawar setelah mengetahui bahwa Ren Yingying jatuh hati kepadanya.
Mendengar si nona mengorbankan diri dan terkurung di biara Shaolin, timbul rasa terima kasih Linghu Chong yang tak terhingga kepadanya. Namun rasa terima kasih yang dalam itu tidak menimbulkan pikiran ingin untuk berhubungan lebih akrab. Yang ia harapkan hanya banagaimana bisa membalas budi kebaikan si nona saja. Maka ketika mendengar Ren Woxing mengatakan dirinya sebagai calon menantu, entah mengapa perasaannya menjadi serbasalah, sedikit pun tidak merasa senang. Padahal bicara soal kecantikan, Ren Yingying sangat jauh melebihi Yue Lingshan. Namun semakin melihat kecantikan gadis itu, semakin dirasa pula adanya jarak yang jauh di antara mereka.
Hanya sekejap saja Linghu Chong memandang Ren Yingying dan setelah itu tidak berani melihat gadis itu lagi. Ia kemudian melihat kedua tangan Xiang Wentian mengepal, dengan kedua mata melotot lebar ke arah pertandingan. Ternyata saat itu Zuo Lengchan sudah terdesak sampai ke sudut ruangan, sementara Ren Woxing masih terus menghujaninya dengan pukulan-pukulan dahsyat. Tampaknya Zuo Lengchan sudah kewalahan, tangkisannya lemah, dan serangannya selalu gagal. Ketua Perguruan Songshan itu lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Tiba-tiba Ren Woxing membentak dan kedua tangannya mendorong ke arah dada lawan. Lekas-lekas Zuo Lengchan menyambut dengan kedua tangan pula. Maka, empat telapak tangan pun beradu. Zuo Lengchan terdesak mundur dengan punggung menumbuk tembok. Debu pasir pun jatuh bertebaran dari atap.
Linghu Chong merasa badannya ikut terguncang. Papan nama besar yang dibuatnya bersembunyi itu seakan-akan ikut rontok ke bawah. Ia terkejut dan berpikir, “Paman Zuo dalam masalah besar. Kalau mereka mengadu tenaga dalam, Tuan Ren tentu menggunakan Jurus Penyedot Bintang untuk menghisap tenaga Paman Zuo. Dalam beberapa saat, tentu Paman Zuo akan kalah telak.”
Tapi lantas dilihatnya Zuo Lengchan menarik kembali tangan kanannya, sehingga tinggal tangan kiri saja yang menahan kekuatan musuh. Menyusul kemudian dengan dua jari tangan kanan ia menusuk ke arah Ren Woxing. Mendadak Ren Woxing menjerit aneh dan lekas-lekas melompat mundur untuk menghindar. Segera Zuo Lengchan menotok lagi dengan jari tangan lain. Berturut-turut ia menotok tiga kali dan Ren Woxing pun terdesak mundur tiga langkah.
Biksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan yang lain merasa terkejut. Masing-masing berpikir, “Jurus penyedot Bintang milik Ren Woxing dapat menghisap tenaga dalam lawan tanpa ampun. Tapi mengapa ketika keempat tangan itu beradu, Zuo Lengchan sama sekali tidak celaka?” Mereka merasa heran menyaksikan hal itu, sementara Ren Woxing tentu jauh lebih heran lagi.
Dalam pertarungan yang terjadi belasan tahun silam, Ren Woxing tidak perlu menggunakan Jurus Penyedot Bintang sudah mampu membuat Zuo Lengchan terdesak. Tapi ketika Zuo Lengchan sudah hampir bisa dirobohkan, tiba-tiba jantung Ren Woxing terasa sakit dan tenaga dalamnya sukar dikerahkan. Ia terkejut dan menyadari bahwa hal itu merupakan akibat sampingan dari Jurus Penyedot Bintang yang belum dikuasainya secara sempurna. Jika di waktu biasa tentu ia bisa segera duduk samadi untuk memusnahkan rasa sakit itu. Tapi saat itu ia sedang menghadapi lawan tangguh, tentu tidak ada kesempatan mengobati penyakit tersebut. Dalam keadaan yang genting itu tiba-tiba muncul dua orang adik seperguruan Zuo Lengchan yaitu Ding Mian dan Fei Bin. Dengan cerdik Ren Woxing pun berseru, “Hahaha, kita sudah sepakat bertarung satu lawan satu, tapi secara licik kau menyembunyikan pembantu. Seorang laki-laki sejati tidak sudi dicurangi, biarlah kita bertemu lagi lain waktu. Sekarang kakekmu ini tidak sudi meladeni kalian.”
Sebaliknya, Zuo Lengchan sendiri juga sadar dirinya pasti kalah. Melihat pihak lawan tiba-tiba hendak mengakhiri pertandingan, tentu hal ini sangat kebetulan baginya. Maka ia tidak berani mengejek dengan kata-kata yang bisa memancing amarah lawan, kecuali hanya menjawab, “Salahmu sendiri, kenapa kau tidak membawa beberapa begundalmu?”
Ren Woxing tertawa, lalu memutar tubuh dan melangkah pergi. Begitulah, pertarungan di masa lalu itu telah diakhiri tanpa kejelasan siapa yang kalah atau menang. Hanya saja mereka saling menyadari kelemahan ilmu silat masing-masing. Sejak itulah keduanya sama-sama berlatih dengan lebih tekun supaya tidak mengalami kekalahan pada pertemuan selanjutnya.
Lebih-lebih Ren Woxing mengetahui akibat sampingan dari Jurus Penyedot Bintang yang dilatihnya itu. Ilmu tersebut memang membuatnya bisa menghisap tenaga lawan, tapi tenaga yang dihisap itu berbeda-beda asal golongannya dan tidak sama pula tingkat kekuatannya. Campuran bermacam-macam tenaga itu kalau tidak segera diselaraskan tentu akan berakibat buruk. Rasa sakit bisa saja timbul pada saat-saat yang tidak terduga dan berbalik melawan tenaga dalam milik sendiri. Ren Woxing yang memiliki tenaga dalam tinggi tentu dengan mudah dapat mengatasi kekacauan yang ditimbulkan oleh tenaga dalam hasil menghisap orang lain itu. Tapi sungguh sangat berbahaya bila tenaga liar itu mendadak mengacau pada saat ia sedang menghadapi lawan tangguh seperti misalnya saat prtempuran melawan Zuo Lengchan tersebut.
Siang dan malam Ren Woxing sibuk mencari cara untuk mengatasi pengaruh buruk yang ditimbulkan Jurus Penyedot Bintang tersebut. Pada saat sibuk memusatkan pikiran demi untuk mengatasi tenaga-tenaga liar yang bergolak di tubuhnya itulah, seorang tokoh mahacerdik semacam dirinya sampai lengah terhadap perangkap yang diatur oleh Dongfang Bubai, orang kepercayaannya sendiri. Akibatnya, ia harus mendekam selama sepuluh tahun di dasar Danau Barat. Tapi justru di tempat itulah ia berhasil menemukan cara mengatasi tenaga-tenaga liar yang bergolak di dalam tubuhnya itu sehingga Jurus Penyedot Bintang tidak lagi menimbulkan pengaruh buruk berupa penyakit “senjata makan tuan”.
Dalam pertarungan kali ini Ren Woxing mengerahkan Jurus Penyedot Bintang ketika kedua telapak tangannya beradu dengan tangan Zuo Lengchan. Tapi anehnya, tenaga dalam Zuo Lengchan ternyata kosong entah ke mana. Ren Woxing terkejut karena lawan menggunakan ilmu yang sangat aneh seperti itu. Ia sama sekali tidak bisa menghisap tenaga dalam Zuo Lengchan. Memang tadi ia juga tidak mampu menghisap tenaga Biksu Fangzheng karena dalam sekejap saja ketua biara Shaolin itu mampu menyembunyikan tenaga yang ia miliki. Kejadia seperti itu sama sekali tidak pernah muncul dalam benak Ren Woxing.
Setelah beberapa kali menggunakan Jurus Penyedot Bintang dan tetap tak bisa menyedot tenaga lawan, tiba-tiba Ren Woxing melihat Zuo Lengchan menusuknya dengan dua buah jari tangan kanan. Melihat gerak tusukan lawan tersebut sangat ganas, Ren Woxing berpikir, “Apa mungkin seranganmu ini tidak bertenaga pula?” Maka ia hanya sedikit memiringkan tubuh, seolah menghindar, padahal sengaja memberi peluang agar tusukan lawan itu mengenai sasaran. Tujuan Ren Woxing adalah member peluang agar kedua jari Zuo Lengchan itu menusuk dadanya, sehingga Jurus Penyedot Bintang yang sudah dipersiapkan bisa langsung bekerja. “Bila tusukan jarimu ini tidak bertenaga, rasanya percuma saja karena tidak akan mampu melukai kulitku. Tapi sebaliknya, kalau jarimu ini bertenaga, tentu tenagamu itu dalam sekaligus akan kusedot habis,” demikian pikirnya.
Dalam sekejap kedua jari tangan kanan Zuo Lengchan itu sudah mencapai sasaran, tepat menusuk titik Tianchi di bagian dada Ren Woxing. Jurus Penyedot Bintang pun langsung bekerja. Benar juga, dalam waktu singkat tenaga dalam Zuo Lengchan langsung bocor dan membanjir keluar bagaikan tanggul yang bobol, tersedot oleh Ren Woxing melalui titik tersebut. Anehnya, Zuo Lengchan ternyata tidak khawatir, sebaliknya malah tersenyum gembira, bahkan semakin mengerahkan tenaganya supaya tersedot jurus lawan.
Sebaliknya, badan Ren Woxing tiba-tiba mengejang. Dari pusarnya muncul suatu arus hawa dingin menerjang ke atas. Seketika itu pula kaki dan tangannya tidak bisa berkutik, seluruh urat nadi pun terasa macet dan tidak mengalirkan darah pula.
Perlahan-lahan Zuo Lengchan menarik kembali tangannya dan selangkah demi selangkah mundur ke pinggir sambil menatap Ren Woxing tanpa bicara sedikit pun. Ren Woxing sendiri terlihat gemetar. Tangan dan kakinya kaku tidak bergerak. Keadaannya mirip seperti orang yang sedang tertotok jalan darahnya.
“Ayah!” teriak Ren Yingying sambil menubruk maju dan memegang badan Ren Woxing. Terasa lengan ayahnya itu dingin luar biasa. Dengan cepat ia menoleh dan memanggil, “Paman Xiang!”
Xiang Wentian pun memburu maju dan segera mengurut-urut beberapa kali bagian dada Ren Woxing. Setelah itu barulah Ren Woxing bisa bersuara dan lancar kembali pernapasannya.
“Hm, bagus, bagus!” kata Ren Woxing dengan muka merah padam. “Tak terpikir olehku akan langkahmu ini. Mari kita ulangi lagi!”
Zuo Lengchan tidak menjawab, hanya menggeleng perlahan saja.
“Kalah dan menang sudah jelas terlihat. Untuk apa harus diulangi lagi?” ujar Yue Buqun. “Bukankah titik Tianchi Tuan Ren sudah tertotok oleh Ketua Zuo?”
Ren Woxing mendengus dengan gusar, “Huh, bagus sekali! Aku sendiri yang tertipu. Baiklah, babak ini anggap saja aku yang kalah.”
Siasat yang digunakan Zuo Lengchan tadi benar-benar sangat berbahaya, bahkan bagi dirinya sendiri. Ia telah mengerahkan Hawa Murni Mahadingin yang dilatihnya selama belasan tahun dan sengaja membiarkannya dihisap oleh Ren Woxing. Setelah hawa murni sebanyak itu merasuk ke dalam tubuh Ren Woxing melalui tusukan kedua jarinya, dalam sekejap sekujur tubuh Ren Woxing pun kaku membeku. Pada detik selanjutnya Zuo Lengchan lantas mengerahkan tenaga dalamnya lagi untuk menutup titik nadi lawan. Pada umumnya pertarungan menggunakan totokan semacam ini hanya digunakan oleh para pesilat kelas dua. Namun tak disangka-sangka cara ini justru digunakan Zuo Lengchan untuk meraih kemenangannya. Meskipun menggunakan siasat yang tidak jujur, namun hanya orang yang memiliki tenaga dalam tinggi yang mampu menggunakan cara tersebut.
Xiang Wentian mengetahui kalau tenaga dalam Zuo Lengchan sudah terkuras habis, dan untuk memulihkan diri paling tidak membutuhkan waktu sedikitnya dua sampai tiga bulan. Maka, ia pun berkata, “Tadi Ketua Zuo menyatakan hendak melayani aku bila sudah mengalahkan Ketua Ren. Sekarang mari kita mulai saja.”
Biksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan yang lain mengetahui maksud ucapan Xiang Wentian. Setelah membekukan aliran darah lawannya, Zuo Lengchan tampak begitu pucat, bahkan tidak mampu bersuara sepatah kata pun. Apabila kedua orang itu benar-benar bertarung, maka Zuo Lengchan tidak hanya dipastikan mengalami kekalahan, namun bisa-bisa terbunuh di tangan Xiang Wentian. Akan tetapi Zuo Lengchan tadi telah menyanggupi demikian, sehingga ia bisa dikatakan pengecut bila tidak menerima tantangan Xiang Wentian itu.
Tiba-tiba Yue Buqun menyela, “Sejak awal kita sudah sepakat mengadakan pertandingan tiga babak. Siapa-siapa jago yang akan maju tergantung kepada pilihan pihak masing-masing dan tidak boleh pihak lawan ikut menentukan. Bukankah Ketua Ren sendiri sudah menyetujuinya? Bila Ketua Ren benar-benar seorang kesatria sejati, mana mungkin mengingkari persetujuan ini?”
“Tuan Yue memang pintar bicara dan pandai berdebat,” kata Xiang Wentian sambil tersenyum. “Tapi kau sendiri masih terlalu jauh untuk bisa disebut sebagai ‘kesatria sejati’. Caramu berdebat mirip seorang pengecut yang tidak memegang janji.”
“Kesatria sejati atau pengecut tergantung kepada orangnya,” sahut Yue Buqun. “Cara penilaian kaum kesatria tentunya berbeda dibanding pandangan kaum pengecut.”
Zuo Lengchan terlihat sedang menyeret kakinya untuk kemudian bersandar pada salah satu tiang kayu. Keadaannya begitu lemah. Untuk berdiri saja susah, apalagi harus bertempur kembali. Pendeta Chongxu lantas maju dua langkah dan berkata, “Sudah lama kudengar Tuan Xiang dijuluki sebagai Datuk Maharaja Langit, yang kemahirannya telah mengguncangkan dunia persilatan. Aku, si pendeta tua selaku ketua perguruan Wudang merasa malu dalam pertemuan ini belum melakukan apa-apa. Rasanya sungguh beruntung jika sebelum mengasingkan diri pada waktu yang tidak lama lagi aku bisa meminta petunjuk kepda Datuk Maharaja Langit. Sungguh hal ini merupakan kehormatan terbesar bagiku.”
Sebagai seorang ketua perguruan termasyhur, ucapannya itu sangat meninggikan lawan, sehingga Xiang Wentian sukar untuk menolak tantangan halus tersebut. Maka ia pun menjawab, “Aku sangat menghormati permintaanmu. Sudah lama aku mengagumi Jurus Pedang Taichi dari Perguruan Wudang. Aku terpaksa harus mempertaruhkan nyawa melayani Pendeta Chongxu bertarung beberapa jurus.”
Kedua orang itu saling memberi hormat dan kemudian berdiri berhadapan dengan mata saling menatap tajam. Meskipun demikian, keduanya tidak langsung melolos senjata.
Tiba-tiba Ren Woxing berseru, “Tunggu dulu! Tolong kau mundur, Adik Xiang!” Usai berkata demikian ia lantas mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Kontan semua orang terperanjat melihat Ren Woxing menghunus senjata. Mereka sangsi apakah benar Ren Woxing berani bertarung melawan Pendeta Chongxu, padahal ia baru saja bertanding dua babak berturut-turut melawan dua orang ahli silat papan atas.
Tentu saja Zuo Lengchan menjadi orang yang paling terkejut. Ia merenung, “Hasil latihanku selama belasan tahun telah berhasil membekukan titik nadinya. Seorang pesilat yang sepuluh kali lebih hebat darinya pun membutuhkan waktu enam sampai tujuh jam untuk bisa pulih kembali dari totokanku. Bagaimana ia bisa begitu yakin hendak bertarung lagi?”
Saat itu tak seorang pun yang tahu bahwa Ren Woxing merasa perutnya sakit luar biasa seperti ditusuk-tusuk puluhan pisau. Untuk bicara saja terlihat sangat dipaksakan, apalagi bertempur kembali.
Pendeta Chongxu tersenyum berkata, “Apakah Ketua Ren bermaksud memberi petunjuk kepadaku? Tapi kurasa ini tidak adil dan sangat menguntungkan diriku jika Ketua Ren lagi yang maju lagi pada babak ketiga ini.”
Ren Woxing menjawab, “Aku baru saja mempertaruhkan jiwa dengan bertempur melawan dua tokoh papan atas. Jika aku bertanding lagi melawan Pendeta, itu artinya terlalu memandang rendah kepada ilmu pedang Perguruan Wudang yang termasyhur selama ratusan tahun. Meskipun aku menjadi orang gila juga takkan melakukan itu.”
Pendeta Chongxu mengangguk gembira, “Terima kasih banyak, Ketua Ren.” Ketika melihat Ren Woxing mencabut pedang tadi, ia merasa serbasalah. Ia mengira Ren Woxing akan menantangnya bertarung di babak ketiga. Jika ia melayani tantangan itu dan mendapat kemenangan, tentu kemenangannya sangat tidak terhormat. Namun jika ia sampai kalah, tentu Perguruan Wudang akan kehilangan muka di dunia persilatan.
Ren Woxing melanjutkan, “Pendeta Chongxu adalah tenaga baru di pihak kalian. Maka, di pihak kami juga harus tampil seorang tenaga baru. Nah, adik cilik Linghu Chong, silakan turun kemari!”
Kata-kata ini benar-benar membuat semua orang terkejut. Serentak mereka ikut memandang ke arah yang dituju tatapan mata Ren Woxing. Linghu Chong sendiri merasa bingung dan serbasalah. Ia merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan diri, sehingga terpaksa meloncat ke bawah. Lebih dulu ia menyembah kepada Biksu Fangzheng dan berkata, “Secara lancang aku telah menyusup ke dalam biara agung ini. Mohon Biksu Ketua sudi memberi maaf.”
“Hahahaha, ternyata Pendekar Muda Linghu,” kata Fangzheng sambil tertawa. “Aku mendengar pernapasan Pendekar Muda sangat halus dan merata, benar-benar ilmu pernapasan yang hebat. Aku tadi sempat heran tokoh sakti dari mana yang telah berkunjung ke sini. Silakan bangun, jangan memakai adat setinggi ini!” Sambil berkata demikian ia membalas hormat dengan merangkap kedua tangan.
Linghu Chong terdiam dan berpikir, “Ternyata ia sudah mengetahui kalau aku bersembunyi di balik papan nama itu.”
“Linghu Chong,” tiba-tiba Xie Feng berseru, “coba lihat tulisan apakah ini?”
Linghu Chong bangkit dan memandang ke arah tiang yang ditunjuk oleh ketua Partai Pengemis itu. Ternyata di atas tiang kayu tersebut terukir tiga baris tulisan. Baris pertama berbunyi: “Di balik papan nama ada orang”. Lalu baris kedua berbunyi: “Akan kuseret dia turun”. Dan baris ketiga berbunyi: “Nanti dulu, hawa murni orang ini seperti dari golongan lurus, juga seperti dari golongan sesat. Entah kawan atau lawan”.
Setiap huruf yang menyusun tulisan-tulisan tersebut masih baru dan terukir dalam. Baris pertama dan ketiga adalah hasil ukiran jari tangan Biksu Fangzheng, sementara baris kedua berasal dari jari Xie Feng. Menyadari hal itu Linghu Chong merenung kagum, “Biksu Fangzheng mengetahui keberadaanku dan asal-usul tenaga dalamku hanya dengan merasakan pernapasanku yang sangat halus. Benar-benar seorang tokoh kelas satu.”
Segera ia kembali berkata, “Mohon para Sesepuh sekalian sudi memberi maaf. Karena kedatangan Sesepuh sekalian, aku merasa takut dan bersembunyi di atas sana. Maafkan aku yang tidak berani turun untuk memberi hormat!”
“Kau merasa takut seperti seorang pencuri,” Sahut Xie Feng. “Memangnya kau hendak mencuri apa datang ke Biara Shaolin ini?”
“Aku mendengar Nona Ren ditahan di sini. Maksud kedatanganku adalah hendak menjemputnya pulang,” sahut Linghu Chong.
“Haha, ternyata kedatanganmu ini hendak mencuri istri?” kata Xie Feng dengan tertawa. “Ini sebenarnya bukan hal yang menakutkan, tapi sangat memalukan.”
“Aku sudah berhutang budi kepada Nona Ren. Biarpun badanku hancur lebur demi dia, aku rela,” ujar Linghu Chong.
“Sungguh sayang, sungguh sayang,” kata Xie Feng sambil menghela napas. “Seorang pemuda baik-baik dan punya masa depan gemilang ternyata menjadi korban seorang wanita. Andai saja kau tidak terjerumus, jabatan ketua Perguruan Huashan kelak mana mungkin bisa lari dari tanganmu?”
“Hanya jabatan ketua Perguruan Huashan, apa yang harus dibanggakan?” tiba-tiba Ren Woxing menyela. “Kelak kalau aku sudah mati, jabatan ketua Partai Mentari dan Bulan juga akan jatuh ke tangan menantu kesayanganku ini?”
Linghu Chong terkejut dan berkata dengan suara gemetar, “Oh, ti… tidak… ti….”
“Sudahlah, tidak perlu banyak bicara lagi,” kata Ren Woxing dengan tertawa. “Nah, Chong-er, kenapa kau tidak segera berkenalan dengan ilmu pedang sakti ketua Perguruan Wudang ini? Pendeta Chongxu memiliki jurus pedang berupa perpaduan tenaga lembut dan kasar. Ia juga mampu menciptakan lingkaran sinar pedang yang mematikan. Hendaknya kau berhati-hati.”
Ia memanggil Linghu Chong dengan sebutan “Chong-er”, seolah sudah menganggap pemuda itu sebagaianggota keluarga sendiri. Tentu saja Linghu Chong semakin merasa serbasulit.
Saat itu masing-masing pihak sudah menang satu babak, sehingga babak ketiga adalah babak yang sangat menentukan nasib Ren Yingying bisa turun gunung atau tidak. Dulu Linghu Chong pernah bertanding pedang melawan Pendeta Chongxu dan dapat mengalahkannya. Maka, demi untuk menolong Ren Yingying mau tidak mau dirinya harus maju bertarung.
Segera ia memutar tubuh ke arah Pendeta Chongxu dan menghormat beberapa kali kepadanya. Chongxu terkejut dan segera membangunkannya, sambil berkata, “Kenapa Adik Cilik memakai adat setinggi ini?”
“Hatiku tidak enak karena harus meminta pengajaran kepada Pendeta yang sangat kuhormati,” sahut Linghu Chong.
“Ah, kau ini terlalu banyak adat,” ujar Chongxu sambil tertawa.
Begitu Linghu Chong bangkit, Ren Woxing langsung menyodorkan pedang kepadanya. Ia menerima pedang itu lantas berdiri di sudut kiri dengan ujung pedang mengarah ke bawah. Pendeta Chongxu memandangnya sekejap, lalu berpaling dan memandang jauh ke angkasa. Ia termenung-menung sambil memikirkan ilmu pedang pemuda itu tempo hari.
Agak lama kemudian, tiba-tiba Chongxu menghela napas panjang, dan berkata, “Kita tidak perlu bertanding lagi. Kalian berempat boleh pergi.”
Kontan semua orang terperanjat mendengar ucapannya itu. Linghu Chong tampak membungkuk hormat kepada sang pendeta. Melihat itu Xie Feng bertanya, “Apa maksud ucapanmu ini, Pendeta?”
Chongxu menjawab, “Aku tidak menemukan cara untuk mematahkan ilmu pedangnya. Maka dalam babak ini aku mengaku kalah saja.”
“Tapi kalian belum bertanding, bukan?” ujar Xie Feng terheran-heran.
“Beberapa hari yang lalu di kaki Gunung Wudang aku pernah bertarung melawan dia sampai lebih dari tiga ratus jurus, dan aku kalah,” jawab Chongxu. “Jika kami bertanding lagi hari ini, rasanya tetap saja aku tidak bisa menang.”
“Benarkah demikian yang terjadi?” tanya Fangzheng dan yang lain.
“Adik cilik Linghu Chong ini pernah mendapat pendidikan ilmu pedang dari Tuan Feng Qingyang. Aku sama sekali bukan tandingannya,” sahut Chongxu sambil tersenyum dan melangkah mundur.
Ren Woxing tertawa dan berkata, “Jiwa kesatria Pendeta Chongxu sungguh membuatku sangat kagum. Tadinya aku hanya kagum setengah saja kepadamu. Tapi sekarang telah bertambah menjadi kagum tiga per empat.” Ia kemudian memberi hormat kepada Fangzheng dan menyambung, “Biksu Ketua, sampai berjumpa lain waktu.”
Linghu Chong berjalan mendekati Yue Buqun dan istrinya, lalu berlutut menyembah pasangan tersebut.
“Aku tidak berani menerima sembahmu,” kata Yue Buqun dengan sikap dingin. Sebaliknya Ning Zhongze merasa pilu, air matanya berlinang-linang.
Linghu Chong kemudian memberi hormat kepada Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan. Tuan Besar Mo tidak ingin orang lain mengetahui pertemuannya dengan pemuda itu tempo hari, sehingga ia hanya membalas hormat tanpa bersuara sedikit pun.
“Mari kita pergi!” kata Ren Woxing sambil menggandeng Ren Yingying dengan sebelah tangan, dan Linghu Chong dengan tangan lainnya.
Xie Feng, Pendeta Tianmen, Yu Canghai, Zhenzan Zi, dan yang lain menyadari kepandaian mereka tidak lebih tinggi daripada Pendeta Chongxu. Kalau Chongxu saja mengaku bukan tandingan Linghu Chong, sudah tentu mereka tidak berani mencari penyakit walaupun dalam hati merasa sangsi.
Saat itu Ren Woxing sudah hampir saja melangkah keluar, tiba-tiba Yue Buqun membentak, “Tunggu dulu!”
“Ada apa?” sahut Ren Woxing sambil menoleh.
“Pendeta Chongxu tidak sudi berurusan dengan manusia rendah macam kalian, maka babak ketiga dianggap belum pernah terjadi,” kata Yue Buqun. “Nah, majulah Linghu Chong, biar aku yang melayani dirimu!”
Linghu Chong terkejut luar biasa sampai badannya gemetar. Dengan tergagap-gagap ia menjawab, “Guru, aku… aku….”
Yue Buqun tetap tenang dan berkata, “Kabarnya kau telah mendapatkan pengajaran dari Paman Feng. Ilmu pedangmu sudah mencapai intisari ilmu Perguruan Huashan yang tiada taranya. Sepertinya aku memang bukan lagi tandinganmu. Meski kau sudah dipecat dari perguruan, tapi petualanganmu di dunia persilatan masih tetap menggunakan ilmu pedang Huashan. Aku memang yang salah mengajar sehingga para sahabat dari golongan lurus bersih ikut pusing menghadapi murid murtad seperti kau ini. Kalau sekarang aku tidak turun tangan, apa harus minta orang lain yang menanggung tugas berat ini? Pendek kata, bila hari ini aku tidak membinasakan dirimu, biar kau saja yang membunuhku.”
Ucapan Yue Buqun itu makin lama makin bengis, akhirnya ia melolos pedang dan membentak, “Kau dan aku sudah putus hubungan sebagai murid dan guru. Lekas keluarkan pedangmu!”
“Saya tidak berani!” sahut Linghu Chong sambil mundur selangkah.
Yue Buqun akhirnya mendahului menusuk lurus ke depan, menggunakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Dengan cepat Linghu Chong mengelak ke samping. Ia masih belum juga melolos pedang. Berturut-turut Yue Buqun menusuk lagi dua kali dan tetap dihindari oleh Linghu Chong.
“Kau sudah mengalah tiga jurus kepadaku, dan kau boleh anggap itu sebagai rasa hormat kepadaku, bekas gurumu. Sekarang cepat kau lolos pedangmu!” kata Yue Buqun.
Ren Woxing juga berseru, “Chong-er, jika kau tidak balas menyerang, apakah jiwamu sengaja kau korbankan di sini?”
“Baik,” sahut Linghu Chong sambil melolos pedangnya.
Meskipun senjata sudah di tangan, namun pikiran Linghu Chong masih melayang-layang. Ia merasa bingung dalam pertandingan ini siapa yang harus mendapat kemenangan. Ilmu pedangnya memang lebih hebat daripada Yue Buqun. Tapi jika ia sampai mengalah, maka Ren Woxing, Xiang Wentian, dan Ren Yingying harus terkurung selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi, dan tidak ada jaminan apakah Zuo Lengchan akan menyakiti mereka atau tidak. Sebaliknya jika ia memenangkan pertandingan ini, itu sama artinya mempermalukan sang guru di depan umum. Padahal, Yue Buqun dan istri sudah merawatnya sejak kecil bagaikan orang tua kandung sendiri.
Dalam keadaan yang membingungkan itu, Yue Buqun terus saja melancarkan serangan dengan gencar. Jumlahnya sudah lebih dari dua puluh jurus. Namun Linghu Chong hanya menangkis dengan menggunakan jurus-jurus pedang Huashan. Sama sekali ia tidak berani mengerahkan Sembilan Jurus Pedang Dugu, karena setiap gerakan dalam ilmu tersebut selalu mengincar titik mematikan pada tubuh lawan.
Sejak menguasai ilmu sakti tersebut, kehebatan Linghu Chong dapat dikatakan maju pesat. Meskipun memainkan jurus-jurus pedang Perguruan Huashan, namun kekuatan serangannya sangat berbeda dibanding dahulu. Meski berulang-ulang Yue Buqun menyerang dengan segala kemahirannya namun tetap tidak bisa menembus pertahanan Linghu Chong.
Semua yang menyaksikan pertandingan ini tegolong jago papan atas di dunia persilatan. Mereka menyadari bahwa Linghu Chong sengaja mengalah dan tidak menghadapi Yue Buqun dengan sepenuh hati. Ren Woxing dan Xiang Wentian saling pandang dengan sorot mata memancarkan rasa khawatir. Mereka sama-sama teringat pada kejadian di Perkampungan Buah Plum tempo hari. Waktu itu Ren Woxing mengajak Linghu Chong masuk Partai Mentari dan Bulan dan memberikan kedudukan Pengawal Kanan untuknya. Kedudukan tersebut juga sekaligus sebagai ahli waris ketua di kemudian hari. Selain itu ia juga menyanggupi akan mengajari pemuda itu ilmu pemusnah pengaruh buruk Jurus Penyedot Bintang. Namun semua janji tersebut tidak menggoyahkan pendirian Linghu Chong. Ini menunjukkan betapa ia setia kepada perguruannya sendiri.
Kali ini terlihat jelas betapa Linghu Chong sangat menghormati Yue Buqun. Bahkan, dalam pertandingan ini andai saja jantungnya tertusuk oleh pedang sang guru juga takkan membuatnya menyesal. Sejak tadi ia hanya sibuk bertahan dan bertahan, tanpa membalas sedikit pun. Ren Woxing dan Xiang Wentian tidak berdaya menyaksikan keadaan ini. Kepandaian Linghu Chong memang lebih tinggi daripada lawannya, namun ini menyangkut masalah kekeluargaan. Kalau melihat watak Linghu Chong pasti ia tak mau mengalahkan sang guru, lebih-lebih mempermalukan Yue Buqun di hadapan orang lain. Ren Woxing dan Xiang Wentian kembali saling pandang dengan perasaan bingung. Sorot mata mereka seolah saling bertanya, “Apa yang harus kita lakukan?”
Tiba-tiba Ren Woxing berpaling kepada Ren Yingying dan berbisik, “Berdirilah di depan sana!”
Ren Yingying mengerti maksud sang ayah menyuruh agar berdiri di depan sana supaya Linghu Chong dapat melihatnya, sehingga teringat kembali pada pengorbanan dan kebaikannya. Dengan demikian Linghu Chong tentu akan bertempur dengan sungguh-sungguh demi mencapai kemenangan.
Maka Ren Yingying pun mengangguk perlahan, tapi kakinya tetap diam tidak melangkah.
Sebentar kemudian Ren Woxing melihat Linghu Chong masih tetap bertahan tanpa mau membalas sedikit pun. Dengan perasaan semakin gelisah ia kembali berbisik kepada putrinya, “Lekas kau ke depan sana!”
Akan tetapi Ren Yingying tidak juga melangkah, bahkan menjawab pun tidak. Gadis itu tampak merenung seolah berkata kepada Linghu Chong, “Bagaimana perasaanku kepadamu tentunya kau sudah tahu. Bila hatimu berat kepadaku dan bertekad menyelamatkan diriku, tentu kau akan mengalahkan gurumu. Tapi sebaliknya, jika kau lebih berat kepada gurumu, sekalipun aku menarik-narik lengan bajumu dan memohon-mohon belas kasihanmu juga tidak ada gunanya. Jadi, buat apa aku harus berdiri di depanmu untuk mengingatkan dirimu tentang perbuatanku dulu?” Ren Yingying seorang gadis yang tinggi hati. Ia merasa tidak berharga sama sekali bila harus meminta-minta dan mengingatkan Linghu Chong akan kebaikannya demi untuk memperoleh keselamatan.
Sementara itu Linghu Chong masih saja menangkis setiap serangan gurunya tanpa melawan sedikit pun. Kalau saja ia mau membalas mungkin sejak tadi Yue Buqun sudah tersungkur. Sebenarnya ia banyak menemukan celah di balik serangan sang guru namun sama sekali tidak mau menyerang titik-titik tersebut. Sebaliknya, Yue Buqun sendiri tahu kalau Linghu Chong sengaja tidak mau membalas dirinya. Maka, ia merasa tidak perlu memikirkan cara untuk menjaga diri, dan terus saja melancarkan serangan-serangan maut.
Meskipun demikian serangan-serangan Yue Buqun itu tetap tidak bisa mengenai sasaran, padahal Linghu Chong hanya menangkis dengan seenaknya saja. Setiap serangan yang datang selalu ia patahkan dengan mudah, sehingga makin lama makin membuat kagum semua orang yang melihatnya. Dalam hati mereka berkata, “Pantas saja Pendeta Chongxu mengaku ilmu pedangnya berada di bawah pemuda ini.”
Lama-lama Yue Buqun merasa serbasalah. Dalam hati ia berkata, “Huh, bila pertempuran yang bertele-tele ini diteruskan, maka yang mendapat pujian justru si bangsat cilik ini. Para penonton merupakan tokoh papan atas semua, tentu mengetahui kalau bangsat cilik ini sengaja mengalah padaku. Sebaliknya, aku masih bersikeras menyerangnya. Ketua Perguruan Huashan macam apa diriku ini? Jelas bangsat cilik ini sengaja hendak membuat aku kewalahan sendiri dan terpaksa menyerah kalah.” Berpikir sampai di sini Yue Buqun menjadi nekad. Ia mengumpulkan segenap tenaganya, lalu mengerahkan ilmu Pelangi Ungu melalui pedangnya. Dengan sepenuh hati ia lantas menebas kepala Linghu Chong.
Linghu Chong mengelak ke samping sehingga tebasan Yue Buqun meleset. Namun Yue Buqun segera memutar balik pedangnya lantas menebas ke pinggang lawan. Sekali loncat Linghu Chong dapat melangkahi pedang lawan yang menyambar itu. Mendadak Yue Buqun memutar lagi pedangnya, dan secepat kilat ia menusuk ke arah punggung Linghu Chong. Perubahan serangan yang cepat luar biasa ini tampaknya sukar dielakkan oleh pemuda itu, apalagi ia masih terapung di udara.
Semua orang menjerit khawatir. Untuk menghindar atau menangkis rasanya tidak sempat lagi. Namun tiba-tiba Linghu Chong menjulurkan pedangnya ke depan sehingga ujungnya menancap pada sebuah batang tiang kayu. Dengan tenaga loncatan tadi ia melayang ke balik tiang tersebut. Detik selanjutnya, tusukan Yue Buqun mengenai tiang kayu itu sampai tembus. Ujung pedang tersebut hanya selisih beberapa senti saja dengan badan Linghu Chong.
“Ah!” teriak semua orang bersyukur dan kagum atas kepandaian Linghu Chong lolos dari maut. Mereka juga kagum pemuda itu mampu menghindari Tiga Jurus Pencabut Nyawa yang dilancarkan Yue Buqun tadi. Sebaliknya, Yue Buqun merasa kesal karena para penonton bersorak memuji lawannya itu.
Tiga Jurus Pencabut Nyawa itu adalah ciptaan Kelompok Pedang cabang Perguruan Huashan. Dahulu, ketika kedua kelompok saling menghancurkan, murid-murid dari Kelompok Pedang banyak menggunakan jurus ini untuk menumpas murid-murid Kelompok Tenaga Dalam. Sebaliknya, pada saat yang sama murid-murid Kelompok Tenaga Dalam juga banyak membantai murid-murid Kelompok Pedang. Setelah Kelompok Tenaga Dalam menguasai perguruan, para pemuka mereka memelajari kehebatan Tiga Jurus Pencabut Nyawa tersebut. Setelah mengetahui rahasia kehebatan jurus tersebut, mereka merasa sangat takut di dalam hati. Selama memelajari jurus ini, mereka semakin terkesima. Mereka akhirnya lupa kepada prinsip utama ilmu silat Perguruan Huashan yaitu Tenaga Dalam Mendorong Pedang. Mulut mereka memuji keindahan jurus pedang tersebut, sementara dalam hati memuji kekuatannya.
(Bersambung)
Bagian 57 ; Bagian 58 ; Bagian 59