Fei Bin kembali berseru lantang, “Ketua Zuo berkata bahwa Liu Zhengfeng seorang tokoh istimewa yang memiliki kepandaian luar biasa di dalam Perguruan Hengshan. Hanya karena sedikit khilaf ia bergaul dengan orang jahat. Sebagai sesama anggota golongan putih dalam dunia persilatan, sudah tentu Ketua Zuo memberi Liu Zhengfeng kesempatan untuk memperbaiki diri. Jika Liu Zhengfeng setuju dengan jalan ini, maka dalam waktu sebulan yang akan datang ia harus bisa membawakan kepala gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Dengan demikian, semua kesalahan Liu Zhengfeng tidak akan diungkit-ungkit lagi, dan kita masih tetap bersaudara dalam Serikat Pedang Lima Gunung.”
Para hadirin merasa persyaratan tersebut tidak terlalu berlebihan. Aliran lurus dan aliran sesat adalah musuh bebuyutan. Sangat wajar apabila Zuo Lengchan selaku ketua Serikat Pedang Lima Gunung menghendaki kematian seorang gembong aliran sesat.
Sebaliknya, Liu Zhengfeng justru terlihat sedih. Dengan tersenyum hambar ia menjawab, “Antara Kakak Qu dan diriku sudah merasa cocok satu sama lain sejak pertama kali berkenalan. Kami pun menjalin persahabatan yang sangat akrab. Sampai saat ini, kami sudah belasan kali bertemu. Kami sering tidur di atas ranjang yang sama, atau bercakap-cakap semalaman. Terkadang kami juga menyinggung perselisihan di dunia persilatan. Kakak Qu sangat prihatin atas pertengkaran di antara kedua golongan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Persahabatan kami hanya mengutamakan seputar kegemaran kami dalam bermain musik. Kakak Qu pandai memetik kecapi, sedangkan aku suka meniup seruling. Pada saat bertemu, sebagian besar waktu kami habis untuk bermain musik bersama-sama. Mengenai ilmu silat, kami sama sekali tidak pernah membicarakannya.” Setelah berhenti sejenak dan tersenyum gembira, ia melanjutkan, “Para hadirin boleh tidak percaya, bahwa aku berani menjamin dalam abad ini tidak ada seorang pun yang bisa bermain kecapi melebihi Kakak Qu. Meskipun Kakak Qu seorang anggota aliran sesat, namun dari alunan musiknya aku bisa merasakan kalau ia berhati baik dan berbudi luhur. Perasaannya sangat halus. Oleh sebab itu aku, Liu Zhengfeng, sangat mengagumi laki-laki sejati seperti dirinya. Bagaimanapun juga aku tidak bersedia mencelakai seorang hebat bernama Qu Yang.”
Para hadirin sama sekali tidak menduga kalau persahabatan di antara Liu Zhengfeng dan Qu Yang berawal dari musik. Namun mereka segera memaklumi karena tokoh-tokoh Perguruan Hengshan pada umumnya memang suka bermain musik. Misalnya, sang ketua yaitu Tuan Besar Mo terkenal pandai memainkan rebab, dan ke mana-mana tidak pernah berpisah dengan alat musik gesek tersebut. Bahkan ia sampai mendapat julukan “dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab”.
Fei Bin kembali berkata, “Ketua Zuo sudah menyelidiki tentang persahabatanmu dengan si iblis Qu Yang memang berawal dari musik. Beliau berpesan kepada kita supaya berhati-hati terhadap tipu muslihat aliran sesat yang licik. Mereka suka melakukan berbagai macam cara untuk memecah belah kekuatan kita. Misalnya, kaum muda dipancing dengan harta kekayaan atau wanita-wanita cantik; sedangkan golongan tua yang berkecukupan seperti Saudara Liu ini dipancing menggunakan kegemarannya, yaitu bermain musik. Kami harap Saudara Liu sudi berpikir jernih. Coba diingat, berapa banyak saudara-saudara kita yang menjadi korban keganasan aliran sesat? Sungguh sayang, mengapa kau bisa sampai jatuh ke dalam tipu daya mereka?”
Biksuni Dingyi yang semula tidak suka kepada sikap orang-orang Songshan kini ikut bicara, “Apa yang dikatakan Adik Fei sangat benar. Kita semua tidak takut terhadap ilmu silat aliran sesat. Yang harus kita khawatirkan justru tipu muslihat mereka. Mengenai Adik Liu yang sudah terlanjur jatuh ke dalam perangkap aliran sesat rasanya tidak menjadi persoalan. Yang penting marilah kita bersama-sama membunuh penjahat bernama Qu Yang tersebut. Serikat Pedang Lima Gunung sudah sejak lama senapas seirama. Sungguh tidak baik kalau kita harus bertengkar sendiri karena adu domba pihak lawan.”
“Benar, Adik Liu,” sahut Pendeta Tianmen ikut bicara. “Seorang laki-laki sejati apabila menyadari kesalahannya maka ia akan segera memperbaiki diri. Hal seperti ini tidak perlu diributkan. Asalkan dalam sekali tebas kau bisa membinasakan gembong aliran sesat bermarga Qu itu, maka kawan-kawan golongan putih di dunia persilatan akan tetap menghormatimu sebagai seorang yang tegas dan bijaksana. Sudah pasti kami ikut merasa bangga.”
Liu Zhengfeng tidak menjawab. Ia lantas berpaling ke arah Yue Buqun dan bertanya, “Kakak Yue, kau seorang laki-laki budiman yang bijaksana. Para hadirin yang terhormat di sini banyak yang mendesak diriku supaya menjual kawan untuk menyelamatkan diri sendiri. Kalau menurut Kakak Yue, bagaimana aku harus bertindak?”
“Adik Liu,” sahut Yue Buqun, “dalam dunia persilatan mati membela sahabat adalah suatu hal yang biasa. Namun gembong aliran sesat bermarga Qu itu sangat licik. Mulutnya palsu dan hatinya berbisa. Di balik senyumnya yang manis, dia menyembunyikan tangan jahat untuk menghancurkan keluargamu. Dia sengaja mendekati Adik Liu dengan memanfaatkan kegemaranmu dalam bermain musik. Setelah itu, barulah dia melancarkan tipu muslihatnya yang keji. Bila manusia licik seperti itu kau anggap sebagai sahabat, maka istilah ‘sahabat’ dengan sendirinya akan tercemar. Manusia iblis seperti dia sungguh tidak pantas kau sebut sebagai sahabat karib. Adik Liu, di dunia ini sudah sering kita dengar bagaimana para kesatria rela mengorbankan keluarganya demi menegakkan kebenaran. Jika keluarga sendiri saja bisa dikorbankan, mangapa kau tidak dapat mengorbankan seorang penjahat yang berpura-pura baik seperti dia?”
“Benar! Benar!” sahut beberapa hadirin. “Apa yang dikatakan Tuan Yue sangat benar. Kita harus bisa membedakan mana kawan, mana lawan. Terhadap kawan kita harus setia, tapi terhadap lawan kita tidak boleh mengenal ampun.”
Liu Zhengfeng menghela napas panjang. Setelah para hadirin agak tenang, ia pun kembali bicara, “Sejak awal aku sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Aku yakin cepat atau lambat antara Serikat Pedang Lima Gunung dan aliran sesat akan terjadi pertempuran habis-habisan. Jika itu sampai terjadi, maka aku akan berada di posisi serbasulit. Di satu pihak terdapat para saudara seperguruan, sementara di pihak lain terdapat seorang sahabat karib. Tidak mungkin bagiku untuk berada di kedua pihak. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk melangsungkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Aku sengaja mengundang para hadirin sekalian sebagai saksi bahwa mulai hari ini Liu Zhengfeng mengundurkan diri dari dunia persilatan dan segala perselisihan di dalamnya. Aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia, tidak lagi tersangkut permusuhan atau bunuh-membunuh.” Ia lalu menoleh ke arah Fei Bin dan melanjutkan, “Tujuanku membeli pangkat sersan hanya sebagai alasan palsu untuk menutupi ini semua. Tak disangka, Ketua Zuo sungguh cerdik, berhasil membongkar semuanya.”
Para hadirin akhirnya mengetahui alasan sebenarnya mengapa Liu Zhengfeng mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sejak tadi sebagian dari mereka mencemooh tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut sebagai seorang yang serakah dan gila jabatan. Sebagian lagi bertanya-tanya dan merasa curiga, mengapa seorang kaya raya seperti Liu Zhengfeng mengundurkan diri hanya demi sebuah pangkat rendahan saja. Tentu ada maksud tersembunyi di balik hal ini.
Fei Bin, Ding Mian, dan Lu Bai saling pandang. Masing-masing berpikiran sama bahwa terbongkarnya maksud pengunduran diri Liu Zhengfeng semata-mata karena kecerdikan Zuo Lengchan, kakak seperguruan mereka.
Terdengar Liu Zhengfeng kembali berkata, “Permusuhan golongan kita dengan aliran sesat sudah berlangsung lama dan berlarut-larut. Siapa yang benar dan siapa yang salah juga tidak mudah untuk ditentukan. Aku hanya berharap bisa membebaskan diri dari perselisihan yang berdarah-darah ini, untuk selanjutnya hidup sebagai rakyat biasa yang patuh terhadap peraturan negara. Untuk menghibur diri cukup dengan meniup seruling. Kurasa cita-citaku ini tidak melanggar peraturan Perguruan Hengshan, atau juga Serikat Pedang Lima Gunung.”
“Huh, enak saja kau bicara!” sahut Fei Bin. “Jika setiap orang meniru perbuatanmu – melarikan diri saat menghadapi musuh – maka dunia ini pasti akan celaka dan dikuasai kaum iblis. Kau ingin mengundurkan diri dari dunia persilatan, lalu apakah penjahat bermarga Qu itu juga mau melakukan hal serupa?”
Liu Zhengfeng tersenyum, lalu menjawab, “Di hadapanku Kakak Qu telah bersumpah atas nama para leluhur agamanya bahwa ia tidak akan melibatkan diri dalam perselisihan antara kedua golongan yang bertikai. Asalkan orang lain tidak mengusiknya, maka dia pun tidak akan mengganggu orang lain.”
“Hahaha! Sungguh bagus istilah ‘asalkan orang lain tidak mengusiknya, maka dia pun tidak akan mengganggu orang lain’. Lalu bagaimana kalau golongan kita yang mengusiknya?” tanya Fei Bin sambil tertawa.
“Kakak Qu sudah menyatakan bahwa dia akan berusaha mengalah,” sahut Liu Zhengfeng. “Kakak Qu bertekad akan selalu menghindarkan diri dari perselisihan dan kesalahpahaman.” Sambil memandang tajam ke arah para hadirin, ia melanjutkan, “Pagi ini Kakak Qu mengirim berita bahwa dirinya telah menolong seorang murid Huashan bernama Linghu Chong yang terluka parah. Kakak Qu telah memberikan pertolongan seperlunya sehingga nyawa Keponakan Linghu bisa diselamatkan.”
Ucapan Liu Zhengfeng kali ini sangat mengejutkan para hadirin, terutama rombongan Perguruan Huashan, Henshan, dan Qingcheng. Si gadis Yue Lingshan tidak dapat menahan diri untuk bertanya, “Paman Liu, sekarang kakak pertama kami ada di mana? Apa benar iblis... maksudku, apa benar sesepuh bermarga Qu itu telah menolongnya?”
“Kakak Qu tidak pernah berkata dusta,” jawab Liu Zhengfeng. “Jika ingin tahu lebih jelas, silakan kau tanyakan langsung kepada Linghu Chong.”
“Huh, aku rasa itu bukan hal yang istimewa,” sahut Fei Bin mencibir. “Aliran sesat terkenal suka memecah belah dan mengadu domba. Segala macam akal licik dan tipu muslihat dapat mereka lakukan. Pertolongan Qu Yang kepada Linghu Chong menurutku hanya sandiwara belaka. Mungkin saat ini Linghu Chong sudah masuk pula ke dalam perangkap mereka. Bisa dikatakan, saat ini di dalam Serikat Pedang Lima Gunung sudah bertambah seorang pengkhianat lagi.” Usai berkata demikian buru-buru ia berpaling ke arah Yue Buqun dan berkata, “Kakak Yue, aku hanya menggunakan menduga-duga saja. Tolong kau jangan tersinggung.”
“Tidak masalah,” jawab Yue Buqun tenang.
Liu Zhengfeng terlihat sangat tersinggung mendengar kalimat Fei Bin yang terakhir itu. Ia pun bertanya dengan nada keras, “Saudara Fei, apa maksudmu dengan mengatakan ‘bertambah seorang lagi’? Apa kau bisa menjelaskan?”
“Kau yang berbuat, harusnya kau sendiri yang bisa menjawabnya,” ujar Fei Bin.
“Oh, jadi kau menuduh si marga Liu ini sebagai pengkhianat?” bentak Liu Zhengfeng dengan nada keras. “Aku ingin berteman dengan siapa itu urusan pribadiku. Orang lain tidak perlu ikut campur. Selama ini Liu Zhengfeng merasa tidak pernah mengkhianati kawan dan mendurhakai Perguruan Hengshan. Sebaiknya istilah ‘pengkhianat’ aku kembalikan kepadamu.”
Pada mulanya Liu Zhengfeng masih berusaha bersikap ramah. Namun kini sorot matanya berubah tajam dan berkilat-kilat. Meskipun dalam keadaan terdesak ia justru terlihat semakin gagah berani, membuat sebagian hadirin kembali menaruh simpati kepadanya.
Fei Bin sendiri tidak kalah angkuh dibanding sang tuan rumah. Ia pun bertanya, “Kalau begitu, Saudara Liu sudah jelas menolak pilihan pertama, yaitu membunuh gembong aliran sesat bernama Qu Yang, begitu?”
“Bila memang itu sudah menjadi ketetapan Ketua Zuo,” jawab Liu Zhengfeng, “tidak ada lagi halangan untuk Saudara Fei membunuh Liu Zhengfeng sekeluarga.”
“Huh, jangan mentang-mentang di rumahmu sedang berkumpul banyak pendekar, kemudian kau pikir kami merasa gentar untuk melakukan pembersihan. Sama sekali tidak ada ampun untuk seorang pengkhianat,” ujar Fei Bin dengan mata melotot. Ia kemudian berseru kepada Shi Dengda, “Lekas kemari!”
Shi Dengda pun maju menghampiri sang paman. Panji Pancawarna di tangannya segera diambil alih oleh Fei Bin dan setelah itu diangkat tinggi-tinggi. Pendekar nomor empat dari Songshan itu langsung berseru lantang, “Dengarlah ini, Liu Zhengfeng! Atas perintah Ketua Serikat kalau kau tidak bersedia membunuh Qu Yang dalam waktu satu bulan, terpaksa Serikat Pedang Lima Gunung harus mengadakan pembersihan supaya tidak menimbulkan bencana di kemudian hari. Mencabut rumput harus sampai ke akar-akarnya. Untuk itu, hendaknya kau pertimbangkan lagi masak-masak keputusanmu ini!”
Liu Zhengfeng tersenyum pedih dan menjawab, “Aku yang bermarga Liu hidup di dunia hanya untuk mencari sahabat. Mana boleh aku mengorbankan sahabatku hanya demi keselamatan pribadi? Jika Ketua Serikat sudah tidak dapat memaafkan aku lagi, untuk apa aku harus melawan? Semua terserah kepadanya. Aku hanya orang kecil yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Memang, semuanya sudah diatur oleh Ketua Serikat. Bahkan, mungkin saat ini peti mati untukku sudah kalian persiapkan. Kalau mau menghabisi nyawa Liu Zhengfeng, silakan sekarang saja!”
Menanggapi itu Fei Bin mengibaskan panji di tangannya dan berteriak, “Pendeta Tianmen dari Taishan, Kakak Yue dari Huashan, Biksuni Dingyi dari Henshan, serta segenap murid-murid Hengshan, menurut Ketua Serikat antara kebaikan dan keburukan tidak akan pernah dapat hidup bersama. Aliran sesat dan Serikat Pedang Lima Gunung telah mengikat permusuhan yang dalam bagai lautan. Sekarang Liu Zhengfeng dari Hengshan telah menjalin persahabatan dengan pihak musuh. Setiap anggota perserikatan berhak membunuhnya bersama-sama. Siapa yang tunduk kepada perintah Ketua Serikat, silakan berdiri di sebelah kiri!”
Tampak yang pertama bangkit dan berjalan menuju ke sebelah kiri Fei Bin dengan langkah lebar adalah Pendeta Tianmen, diikuti murid-murid Perguruan Taishan. Hal ini dapat dimaklumi karena guru Tianmen dahulu telah tewas di tangan seorang wanita gembong aliran sesat. Tentu hal ini membuat kebenciannya bagaikan merasuk sampai ke dalam sumsum.
Orang kedua yang bangkit adalah Yue Buqun. Dengan tegas ia berkata, “Adik Liu, asal kau menganggukkan kepala sekali saja, maka si marga Yue ini akan langsung berangkat mewakili dirimu membunuh Qu Yang. Kau telah berkata bahwa seorang kesatria sejati pantang mengkhianati sahabat. Tapi, apakah di dunia ini hanya Qu Yang saja yang kau anggap sebagai sahabat? Apakah kami yang hadir di sini bukan sahabatmu? Jauh-jauh kami semua datang kemari hanya untuk mengucapkan selamat kepadamu, apakah tindakan seperti itu masih kurang untuk disebut sebagai sahabat? Meskipun Qu Yang pandai memetik kecapi, lantas apa karena itu kau harus mengorbankan nyawamu dan keluargamu, serta persaudaraanmu dengan Serikat Pedang Lima Gunung? Apa hanya karena itu persahabatanmu dengan kami semua jauh kurang berharga dibandingkan dengan Qu Yang seorang?”
Perlahan-lahan Liu Zhengfeng menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, “Kakak Yue, kau seorang terpelajar, tentu mengetahui mana yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan seorang laki-laki sejati. Nasihatmu sangat baik. Untuk itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi, untuk membunuh Kakak Qu sama sekali aku tidak sanggup melakukannya. Biarpun seluruh keluargaku tertimpa musibah, perbuatan seperti itu tidak akan pernah kulakukan. Baik dirimu ataupun Kakak Qu adalah sama-sama sahabat bagiku. Apabila Kakak Qu menyuruhku membunuh Kakak Yue tentu aku juga akan menolaknya mentah-mentah. Apabila dia sampai memintaku melakukan itu, maka aku tak akan sudi lagi bersahabat dengannya.”
Diam-diam sebagian hadirin terkesan mendengar ucapan Liu Zhengfeng yang tulus dan sungguh-sungguh itu. Begitu tegas ia membela persahabatannya dengan Qu Yang di atas keselamatan nyawa sendiri.
Yue Buqun mengangguk namun tetap berusaha membujuk, “Adik Liu, ucapanmu itu jelas kurang benar. Adik Liu mengutamakan setiakawan, hal itu sesuai dengan sifat kalangan persilatan. Akan tetapi, bersahabat dengan seorang gembong penjahat jelas perbuatan keliru. Kebaikan dan keburukan tidak akan pernah dapat bersatu. Selama ini sudah banyak saudara-saudara kita, bahkan rakyat jelata yang tidak berdosa menjadi korban keganasan aliran sesat. Adik Liu sendiri hanya karena merasa cocok sama-sama gemar bermain musik lantas mempertaruhkan nyawa seluruh keluargamu demi dirinya. Aku rasa kau telah salah mengartikan ‘setiakawan’ yang selama ini kau junjung tinggi itu.”
Liu Zhengfeng tersenyum, dan menjawab, “Kakak Yue, kau tidak suka terhadap seni musik, sehingga kurang memahami maksudku secara mendalam. Suara mulut masih bisa menipu, tapi suara musik tidak dapat berdusta. Musik merupakan ungkapan suara hati yang tidak dapat dipalsukan atau dibuat-buat. Jiwa kami telah terikat satu sama lain. Aku berani menjamin dengan segenap jiwa ragaku bahwa meskipun Kakak Qu seorang anggota aliran sesat, namun ia sedikit pun tidak bersifat jahat seperti yang kalian tuduhkan.”
Yue Buqun menghela napas panjang, kemudian bergabung di sebelah Pendeta Tianmen diikuti seluruh murid-murid Huashan yang hadir di tempat itu.
Sekarang giliran Biksuni Dingyi yang berbicara kepada Liu Zhengfeng. Dengan tatapan tajam ia hanya berkata singkat, “Mulai hari ini bagaimana aku harus memanggilmu, Adik Liu atau cukup Liu Zhengfeng saja?”
Liu Zhengfeng menjawab sambil tersenyum getir, “Nyawa orang bermarga Liu ini sudah di ujung tanduk. Nasibnya akan segera berakhir. Kelak Biksuni Dingyi tidak perlu repot-repot memanggil aku lagi.”
Biksuni Dingyi menguncupkan tangannya sambil berkata, “Buddha Welas Asih!” Ia kemudian bergabung di sebelah Yue Buqun diikuti segenap murid-murid Henshan.
Melihat ketiga perguruan sudah berkumpul, Fei Bin kembali berbicara, “Urusan ini hanya menyangkut Liu Zhengfeng seorang. Jadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Perguruan Hengshan. Kalian murid-murid Hengshan yang mau sadar tidak ikut membela kejahatan, silakan bergabung ke sebelah kiri.”
Suasana ruang utama tersebut mendadak sunyi senyap. Sejenak kemudian seorang pemuda berseru, “Paman Liu, maafkan kami!”
Pemuda itu lantas melangkah ke arah yang ditunjuk Fei Bin, diikuti sekitar tiga puluh murid-murid Hengshan lainnya. Dalam pertemuan tersebut memang tidak seorang pun saudara seperguruan Liu Zhengfeng yang hadir untuk memberi selamat, kecuali murid-murid mereka.
Fei Bin kembali berseru, “Murid-murid Liu Zhengfeng, silakan bergabung di sini pula.”
Xiang Danian menjawab dengan suara lantang, “Kami telah menerima budi baik dari guru kami. Guru kami sedang dilanda kesulitan, sudah seharusnya kami berada di sisinya. Kami siap sehidup semati dengan Guru.”
“Bagus sekali, bagus sekali!” ucap Liu Zhengfeng terharu. Baru kali ini ia meneteskan air mata meskipun sejak tadi didesak kelompok Fei Bin dengan gencar. “Danian, muridku. Ucapanmu tadi sudah cukup membuktikan kalau dirimu seorang murid yang berbakti. Sungguh, aku mengizinkan kalian menyeberang ke sana. Aku yang berbuat, biar aku sendiri yang menanggung akibatnya; sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kalian.”
Tiba-tiba Mi Weiyi si murid kedua melolos pedangnya dan berseru, “Kami memang bukan tandingan Serikat Pedang Lima Gunung. Tapi, barangsiapa berani menyakiti guru kami terlebih dahulu harus melangkahi mayat Mi Weiyi!” Usai berkata demikian, ia pun berdiri di hadapan Liu Zhengfeng dengan gagah berani.
“Mutiara sebesar beras mau coba-coba bersinar, hah?” sahut Ding Mian mengejek. Segera tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu yang memancarkan kilatan cahaya perak menyilaukan.
Liu Zhengfeng menyadari kalau Ding Mian telah melemparkan sebuah senjata rahasia. Dengan cepat ia mendorong bahu Mi Weiyi sehingga pemuda itu terlempar ke kanan. Namun hal ini justru membuat keselamatan dirinya terancam. Senjata rahasia itu bergerak cepat menuju ke arah dadanya. Tanpa banyak bicara, Xiang Danian melompat melindungi sang guru. Maka sekejap kemudian terdengarlah suara jeritan pemuda itu. Senjata rahasia Ding Mian telah menancap tepat di jantungnya.
Liu Zhengfeng merangkul tubuh Xiang Danian yang terkulai tak berdaya dengan tangan kirinya. Setelah diperiksa dengan seksama ternyata murid pertamanya itu sudah binasa. Ia pun menoleh ke arah Ding Mian dan berkata, “Kalian... kalian orang-orang Songshan yang lebih dulu membunuh muridku!”
“Benar,” sahut Ding Mian. “Memang kami yang menyerang lebih dulu. Lantas kau mau apa?”
Tiba-tiba Liu Zhengfeng mengangkat mayat Xiang Danian dan bersiap melemparkannya ke arah Ding Mian. Menyadari kehebatan tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut, Ding Mian tidak berani menganggap remeh. Ia pun menghimpun tenaga dalam bersiap-siap menyambut datangnya lemparan.
Tak disangka, ternyata itu semua hanya tipuan Liu Zhengfeng belaka. Seolah-olah ia bermaksud menyerang Ding Mian, padahal mayat tersebut justru dilemparkannya ke arah Fei Bin. Terpaksa Fei Bin pun menahan mayat Xiang Danian dengan kedua tangannya dalam keadaan mendadak. Akibatnya, ia menjadi lengah dan tidak sempat menghindar ketika Liu Zhengfeng tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya dan menotok titik nadi di bawah iga pendekar dari Songshan tersebut.
Tidak hanya itu, Liu Zhengfeng lantas merebut Panji Pancawarna dengan tangan kiri, dan juga pedang milik Fei Bin dengan tangan kanan. Pedang tersebut segera digunakannya untuk mengancam leher si pemilik. Sekejap kemudian, beberapa titik nadi Fei Bin juga ikut tertotok. Begitu cepat gerakan Liu Zhengfeng ini, bahkan semuanya terjadi sebelum mayat Xiang Danian jatuh ke lantai.Para hadirin terkesima melihatnya. Sudah lama mereka mendengar kehebatan ilmu Tiga Belas Jurus Hantu Kabut Hengshan, namun baru kali ini bisa melihat secara langsung. Yue Buqun pernah mendapat cerita dari gurunya bahwa ilmu tersebut diciptakan oleh seorang tokoh Perguruan Hengshan dari generasi sebelumnya yang mahir bermain sulap. Ketika sudah lanjut usia, tokoh tersebut lantas memadukan kehebatan ilmu silat dengan ilmu sulapnya. Maka itu, terciptalah sebuah jurus yang sangat cepat dan mengejutkan. Padahal, dulu ia menciptakan ilmu tersebut hanya sekadar iseng saja, tapi ternyata kini menjadi salah satu ilmu paling unik dalam Perguruan Hengshan.
Meskipun demikian, ilmu yang aneh dan penuh kejutan ini tidak sembarangan untuk diajarkan. Dalam pertarungan yang sebenarnya, ilmu ini tidak banyak berarti karena pihak lawan tentu akan lebih waspada dan melindungi semua bagian penting pada tubuhnya. Oleh sebab itu, para guru mengancam murid-muridnya akan berhenti mengajarkan ilmu Perguruan Hengshan sepenuhnya apabila ada murid yang mendalami ilmu ini. Mereka tidak ingin para murid hanya mengandalkan kehebatan berkelebat ke sana dan kemari sehingga melupakan ilmu silat yang sebenarnya. Namun, Liu Zhengfeng memakai cara lain. Ia lebih dulu menuntaskan semua pelajaran ilmu silat dari gurunya, baru kemudian mempelajari Tiga Belas Jurus Hantu Kabut Hengshan tersebut. Ilmu unik ini berhasil dipergunakannya untuk menyergap Fei Bin si Tapak Songyang Besar dengan gerakan tiba-tiba. Andai saja bertarung secara terang-terangan, belum tentu Fei Bin dapat tertangkap secepat itu.
Sambil mengancam leher Fei Bin dengan pedang dan mengangkat Panji Pancawarna di udara, Liu Zhengfeng berseru, “Saudara Ding dan Saudara Lu, maafkan aku yang lancang berani menawan Saudara Fei dan merebut Panji Pancawarna. Sebenarnya aku tidak berani melakukan ini semua. Tapi sungguh, aku hanya ingin meminta pengertian kalian.”
Melihat leher sang adik diancam pedang, mau tidak mau Ding Mian pun berkata, “Apa sebenarnya yang ingin kau katakan?”
“Mohon Saudara berdua sudi menyampaikan permintaanku ini kepada Ketua Zuo. Aku mohon diperbolehkan mengasingkan diri bersama seluruh anggota keluargaku, dan mulai saat ini tidak akan lagi mencampuri urusan dunia persilatan,” jawab Liu Zhengfeng. “Persahabatanku dengan Kakak Qu juga akan kuakhiri sampai di sini; begitu pula persahabatanku dengan para hadirin sekalian. Selama hidup... aku tidak akan menginjak Daratan Tengah ini lagi.”
Ding Mian terlihat ragu-ragu. Sejenak kemudian baru ia berkata, “Mengenai permintaanmu ini kami berdua tidak berani mengambil keputusan. Tentu ini semua harus dilaporkan lebih dulu kepada Ketua Zuo untuk meminta petunjuknya.”
Liu Zhengfeng menjawab, “Di sini sudah hadir ketua Perguruan Taishan dan Huashan. Biksuni Dingyi juga bisa bertindak mewakili ketua Perguruan Henshan. Selain itu, segenap para kesatria dan pendekar lainnya yang hadir di sini bisa menjadi saksi.” Setelah terdiam sejenak dan memandangi para hadirin, ia melanjutkan, “Aku hanya memohon kebaikan hati para sahabat sekalian untuk mengizinkan diriku untuk membawa pergi segenap keluargaku, juga murid-muridku.”
Biksuni Dingyi meskipun suka bersikap galak dan kasar, namun sesungguhnya berhati lembut dan welas asih. Mendengar permohonan itu ia menjadi orang pertama yang angkat bicara, “Cara seperti itu sungguh bijaksana dan tidak memberatkan kedua pihak. Sebaiknya Saudara Ding dan Saudara Lu mengabulkan permintaan Adik Liu ini. Dia sudah berjanji tidak akan bergaul lagi dengan gembong aliran sesat itu. Dia juga berjanji akan meninggalkan Daratan Tengah ini untuk selamanya. Itu berarti di dunia persilatan tidak akan ada lagi orang bernama Liu Zhengfeng. Jadi, untuk apa lagi pembunuhan terhadapnya kita lakukan?”
Pendeta Tianmen mengangguk setuju dan berkata, “Aku rasa cara seperti itu memang cukup baik. Bagaimana menurutmu, Adik Yue?”
Yue Buqun menjawab, “Adik Liu sudah menyatakan kesediaannya, jadi aku rasa kita boleh percaya kepadanya. Mari kita ubah pertengkaran ini menjadi pertemuan yang menggembirakan. Adik Liu bisa melepaskan Adik Fei dan kita minum bersama secawan arak sebagai tanda perdamaian. Besok pagi-pagi sekali, Adik Liu bisa membawa keluarganya meninggalkan Hengshan ini untuk selamanya.”
Menanggapi itu Lu Bai menjawab dengan suara dingin, “Jika ketua Taishan dan ketua Huashan sudah bicara demikian, ditambah lagi Biksuni Dingyi yang mewakili pihak Henshan, mana mungkin kami berani menentang? Akan tetapi, saat ini Adik Fei kami sedang berada di tangan Liu Zhengfeng. Jika kami menerima permintaan itu, kami khawatir kelak di kemudian hari dunia persilatan akan menuduh Perguruan Songshan terpaksa tunduk di bawah ancaman pedang Liu Zhengfeng. Jika hal itu sampai tersebar luas, ke mana lagi kami harus menyembunyikan wajah?”
Biksuni Dingyi menyahut, “Adik Liu hanya meminta kemurahan hati kepada Perguruan Songshan, bukan mengancam. Justru yang berada di bawah ancaman adalah Adik Liu, bukan Perguruan Songshan kalian. Bukankah kalian yang lebih dulu menawan dan membunuh seorang murid Adik Liu? Jadi, mana ada alasan untuk mengatakan pihak Songshan tunduk karena ancaman?”
Lu Bai tidak menanggapi, tapi berkata kepada salah seorang murid Songshan, “Bersiaplah, Di Xiu!”
“Baik!” jawab Di Xiu sambil menempelkan ujung pedangnya ke punggung putra sulung Liu Zhengfeng.
Kembali Lu Bai berkata, “Liu Zhengfeng, jika itu yang menjadi permintaanmu maka kau boleh ikut kami untuk menghadap Ketua Zuo di Gunung Songshan. Kami hanya sekadar menjalankan perintah dan sama sekali tidak berani mengambil keputusan apa-apa. Yang penting sekarang segera bebaskan Adik Fei dan kembalikan Panji Pancawarna kepada kami!”
Liu Zhengfeng tersenyum pedih, kemudian berkata lirih kepada putranya, “Nak, apakah kau takut mati?”
Putranya itu menjawab, “Saya hanya patuh kepada Ayah. Saya sama sekali tidak takut mati.”
“Anak baik,” ujar Liu Zhengfeng.
Mendengar itu Lu Bai tiba-tiba berseru, “Bunuh dia!”
Segera Di Xiu mendorong pedangnya menembus punggung putra sulung Liu Zhengfeng tersebut. Begitu pedang dicabut kembali, darah segar pun mengucur deras. Pemuda pemberani itu jatuh tersungkur kehilangan nyawa.
Nyonya Liu menjerit dan kemudian menubruk mayat putra sulungnya. Tanpa ampun, Lu Bai kembali berseru, “Bunuh dia juga!”
Sekali tusuk, pedang Di Xiu melenyapkan nyawa istri Liu Zhengfeng pula.“Dasar binatang!” bentak Dingyi dengan nada sangat marah. Biksuni tua itu pun menerjang ke arah Di Xiu, namun Ding Mian secepat kilat menghadang di depannya. Maka, kedua telapak tangan mereka pun beradu dengan sangat keras. Akibatnya, Biksuni Dingyi terhuyung mundur beberapa langkah. Dadanya terasa sesak dan darah segar naik ke dalam kerongkongan. Sebagai seorang yang beradat tinggi, pantang baginya memperlihatkan kelemahan di hadapan orang lain. Diam-diam ia pun menelan kembali darah tersebut ke dalam perutnya.
“Terima kasih, Kakak Biksuni sudi mengalah,” kata Ding Mian sambil tersenyum.
Biksuni Dingyi melangkah mundur dengan menahan sakit di dada. Pertarungan tangan kosong memang bukan keahliannya. Di samping itu, ia tadi juga berniat memukul Di Xiu hanya dengan setengah tenaga. Tak disangka, Ding Mian justru mengerahkan tenaga penuh untuk menghadang pukulan tersebut. Setelah terpukul mundur dan nyaris muntah darah, Dingyi berniat menghimpun tenaga untuk menghadapi Ding Mian. Tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit pertanda ia telah menderita luka dalam.
Sambil berkata dengan nada marah, biksuni tua itu lantas berkata kepada rombongannya, “Mari kita pulang saja!”
Dengan langkah lebar Dingyi pun bergegas meninggalkan rumah Liu Zhengfeng. Para murid Henshan beramai-ramai mengikuti di belakangnya.
“Bunuh mereka!” seru Lu Bai tanpa memedulikan kepergian rombongan Dingyi. Dengan segera dua orang murid Songshan menusuk punggung dua murid Liu Zhengfeng sampai mati.
“Dengarkanlah, wahai murid-murid Liu Zhengfeng!” seru Lu Bai. “Jika kalian masih ingin hidup, lekas berlutut memohon ampun kepada kami! Barangsiapa mengutuk perbuatan salah guru kalian, maka nyawanya akan diampuni!”
“Dasar keparat! Kalian benar-benar lebih kejam daripada aliran sesat,” bentak Liu Jing, putri Liu Zhengfeng.
“Bunuh dia!” seru Lu Bai.
Tanpa ampun, Wan Daping mengayunkan pedangnya ke bawah. Tubuh Liu Jing pun terbelah menjadi dua, memanjang dari bahu kanan sampai ke pinggang kiri.
Shi Dengda dan murid-murid Songshan lainnya juga ikut bertindak. Dengan ganas mereka membantai satu per satu murid-murid Liu Zhengfeng yang tidak bisa melawan karena telah ditotok sebelumnya.
Meskipun para hadirin sudah terbiasa melihat pertumpahan darah, namun pembantaian kejam tersebut mau tidak mau membuat mereka merasa ngeri juga. Beberapa tokoh sepuh ada yang berniat melerai namun pedang murid-murid Songshan berkelebat sangat cepat sehingga belum sempat mereka bersuara, tahu-tahu sudah banyak mayat yang bergelimpangan. Akhirnya, mereka pun berusaha memaklumi peristiwa itu dengan berpikir, “Kebaikan dan kejahatan tidak akan pernah bersatu. Perbuatan orang-orang Songshan ini sesungguhnya ditujukan untuk memerangi aliran sesat, bukan untuk menghancurkan Keluarga Liu. Meskipun perbuatan mereka sangat keji dan tidak berperasaan, namun pada kenyataannya tidak seorang pun berusaha melerai. Pihak Songshan telah menguasai keadaan, dan berhasil memukul mundur Biksuni Dingyi. Sementara itu, Pendeta Tianmen dan Tuan Yue hanya diam tidak bersuara. Ini hanyalah urusan internal Serikat Pedang Lima Gunung. Orang luar seperti kami jika berani ikut campur hanyalah mengundang bencana dan bisa-bisa ikut kehilangan nyawa.”
Akhirnya, semua anggota keluarga dan murid-murid Liu Zhengfeng sudah habis dibantai pihak Perguruan Songshan, kecuali si putra bungsu yang bernama Liu Qin. Anak itu berusia lima belas tahun dan merupakan putra kesayangan Liu Zhengfeng.
Lu Bai lantas berkata kepada Shi Dengda, “Coba kau tanya bocah itu apa dia masih ingin hidup atau tidak. Jika tidak, potong saja hidungnya, kemudian telinganya, lalu congkel biji matanya!”
“Baik!” jawab Shi Dengda. Ia lantas berjalan mendekati Liu Qin dan bertanya, “Kau mau minta ampun atau tidak?”
Wajah Liu Qin terlihat pucat pasi dan tubuhnya gemetar. Namun Liu Zhengfeng justru berkata, “Anakku yang baik, kakak-kakakmu telah mati dengan gagah berani. Semua orang juga akan mati, kenapa harus takut?”
“Tapi... tapi... mereka hendak memotong hidungku dan mencongkel mataku, Ayah,” sahut Liu Qin gugup.
Liu Zhengfeng tertawa dan menjawab, “Dalam keadaan seperti ini apa kau masih berharap mereka mengampunimu?”
“Ayah... sebaiknya kau... sebaiknya kau menyanggupi saja... membunuh Paman Qu,” kata Liu Qin.
“Keparat!” bentak Liu Zhengfeng sebelum putra bungsunya itu berbicara lebih lanjut. “Dasar binatang! Kau bilang apa?”
Shi Dengda mengayun-ayunkan pedangnya di depan hidung Liu Qin sambil berkata, “Lekas berlutut dan minta ampun! Kalau tidak, hidungmu akan segera lenyap. Satu... dua....”
Belum sampai Shi Dengda menghitung sampai tiga, Liu Qin dengan cepat menekuk lutut memohon ampun. “Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!” ujarnya meratap.
Lu Bai tertawa dan berkata, “Kami akan mengampuni asalkan kau mengutuk kesalahan ayahmu di hadapan para kesatria ini.”
Meskipun keluarga dan murid-muridnya dibantai, Liu Zhengfeng sejak tadi terlihat tenang-tenang saja. Namun kini begitu menyaksikan sepasang mata putra bungsunya berkaca-kaca memohon belas kasihan, ia menjadi sangat gusar. “Dasar binatang! Apa kau tidak melihat bagaimana ibu dan kedua kakakmu mati di tangan mereka? Apa kau tidak malu?” bentaknya kemudian.
Mendengar itu Liu Qin justru semakin takut. Ia tidak berani memandang mayat ibu dan kedua kakaknya yang berlumuran darah. Apalagi pedang Shi Dengda masih terus berkelebatan mengancam dirinya. Ia pun memohon kepada Lu Bai, “Aku mohon... aku mohon ampunilah ayahku!”
“Ayahmu telah bersekongkol dengan penjahat dari aliran sesat,” sahut Lu Bai. “Menurutmu, perbuatannya itu salah atau benar?”
“Sa... salah,” jawab Liu Qin dengan suara lemah.
“Kalau begitu, ayahmu pantas dibunuh atau tidak?” tanya Lu Bai lagi.
Liu Qin tidak berani menjawab, hanya menunduk ke bawah.
“Bocah ini tidak mau bicara,” ujar Lu Bai. “Kau boleh membunuhnya.”
“Baik!” jawab Shi Dengda mengiakan. Ia berpura-pura mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah karena tahu Lu Bai sebenarnya hanya menggertak saja.
Liu Qin semakin ketakutan dan buru-buru menjawab, “Ya... ya, ayahku pantas dibunuh!”
“Bagus!” ujar Lu Bai dengan tertawa. “Mulai sekarang kau bukan lagi anggota Perguruan Hengshan, juga bukan anak Liu Zhengfeng. Aku mengampuni nyawamu.”
Karena perasaan takutnya sudah memuncak, kaki Liu Qin sampai-sampai lemas tidak bisa dipakai untuk berdiri. Melihat itu para hadirin merasa kesal dan memandang hina terhadap putra bungsu Liu Zhengfeng tersebut. Bahkan, ada yang memalingkan muka tidak sudi memandang wajah Liu Qin pula.
Liu Zhengfeng sendiri hanya menghela napas panjang dan berkata, “Orang bermarga Lu, kau sudah menang.” Usai berkata demikian ia lantas melemparkan Panji Pancawarna ke arah Lu Bai dan dengan cepat mendepak Fei Bin hingga jatuh terguling di lantai. Kemudian ia berseru lantang, “Aku yang bermarga Liu telah mengaku kalah. Urusan ini akan kuakhiri dengan caraku sendiri. Kalian tidak perlu membunuh lebih banyak lagi.”
Segera Liu Zhengfeng menempelkan pedang di lehernya bersiap melakukan bunuh diri. Pada saat itulah tiba-tiba dari atap teras rumah melayang turun seseorang berpakaian hitam. Tangannya bergerak secepat kilat memegang lengan Liu Zhengfeng. “Seorang laki-laki harus membalas dendam. Meskipun harus tertunda sepuluh tahun juga belum terlambat. Ayo, kita pergi!” ujarnya dengan suara lantang.
Liu Zhengfeng terkejut dan menyapa, “Kakak Qu, kau... kau....”
Begitu mendengar marga orang berbaju hitam tersebut, para hadirin seketika langsung menyimpulkan bahwa dia tidak lain adalah si gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Beberapa di antara mereka langsung gemetar; entah karena takut atau gusar.
“Benar, ini aku!” sahut Qu Yang sambil menarik lengan Liu Zhengfeng. “Tidak ada waktu lagi untuk menyapa. Ayo kita pergi!”
Namun baru beberapa langkah keduanya sudah diserang Ding Mian dan Lu Bai dengan sekuat tenaga. Kedua pasang telapak tangan mereka serentak menghantam punggung Qu Yang dan Liu Zhengfeng.
“Lekas lari!” bentak Qu Yang sambil mendorong tubuh Liu Zhengfeng sampai keluar rumah. Pada saat yang sama, ia mengerahkan tenaga pula untuk menahan pukulan kedua jagoan Songshan tersebut. Suara benturan keras terdengar menggelegar. Disusul kemudian terlihat tubuh Qu Yang terlempar ke atas.
Para hadirin melihat gembong aliran sesat tersebut memuntahkan darah segar. Namun secepat kilat ia mengibaskan tangan, melemparkan sesuatu berjumlah banyak saat tubuhnya masih melayang di udara.
“Awas, itu Jarum Darah Hitam!” seru Ding Mian sambil berkelit ke samping untuk menghindar.
Para hadirin terkejut mendengar nama senjata rahasia yang disebarkan Qu Yang tersebut. Seketika suasana menjadi kacau karena Jarum Darah Hitam adalah senjata rahasia aliran sesat yang sangat beracun. Mereka berusaha menghindar namun karena ruangan sudah terlanjur penuh sesak, mau tidak mau beberapa di antaranya menjerit menjadi korban.
Di tengah keributan itu, para hadirin tidak menyadari kalau Qu Yang dan Liu Zhengfeng sudah menghilang entah ke mana.
Sementara itu, suasana yang berbeda tengah dirasakan oleh Linghu Chong dan Yilin. Di tengah lembah pegunungan, di dekat derasnya air terjun, keduanya merasakan kedamaian luar biasa. Saat itu luka Linghu Chong bisa dikatakan sudah jauh lebih baik. Berkat obat mujarab Salep Penghubung Kahyangan dan Pil Empedu Beruang Putih buatan Perguruan Henshan, ditambah dengan tenaga dalam Linghu Chong yang terhitung paling tinggi di antara murid-murid Huashan lainnya, serta suasana di sekitar air tejun yang sejuk dan menyenangkan membuat pemuda itu berangsur-angsur pulih kembali.
Selama sehari dua malam itu Linghu Chong hanya memakan semangka untuk mengisi perutnya. Pernah ia meminta Yilin menangkap ikan atau kelinci sebagai lauk, namun biksuni muda itu menolaknya. Meskipun berkali-kali mencuri semangka, namun Yilin tidak berani melanggar pantangan lainnya yaitu membunuh sesama makhluk hidup. Lagipula Linghu Chong baru saja lolos dari kematian, sehingga tidak ada salahnya kalau berhenti memakan daging untuk beberapa hari sebagai ungkapan puji syukur terhadap Sang Buddha, demikian menurut pendapatnya.
Menanggapi itu Linghu Chong hanya tertawa dan menerima saran Yilin.
Malam itu, mereka berdua duduk termenung sambil menyandarkan diri pada tebing batu. Di udara terlihat banyak kunang-kunang terbang kian-kemari dengan memancarkan cahaya berkelap-kelip. Melihat itu Linghu Chong membuka suara, “Musim panas tahun lalu aku pernah menangkap ribuan kunang-kunang dan kumasukkan ke dalam puluhan kantong tipis. Kemudian kantong-kantong itu kugantung di dalam kamar. Indah sekali. Sinarnya berkelap-kelip sungguh menarik.”
Yilin pun menyahut, “Pasti adik kecilmu yang menyuruhmu menangkap kunang-kunang itu.”
“Kau ini sungguh pintar. Sekali tebak langsung benar,” ujar Linghu Chong tertawa. “Dari mana kau tahu kalau Adik Kecil yang menyuruhku menangkap kunang-kunang itu?”
“Sifatmu tidak sabaran. Jadi, mana mungkin kau bisa sedemikian tekun menangkap ribuan kunang-kunang dan memasukkannya ke dalam puluhan kantong?” ujar Yilin sambil tersenyum pula. Biksuni muda itu terdiam sejenak kemudian melanjutkan, “Kantong-kantong itu dipajang di dalam kamar untuk apa?”
“Adik Kecil menggantung kantong-kantong itu di dalam kelambu tempat tidurnya,” jawab Linghu Chong. “Menurutnya, sinar kunang-kunang itu bagaikan ribuan bintang di langit sewaktu pelita dalam kamar dipadamkan. Ia merasa seperti tidur di awang-awang. Setiap kali membuka mata, ia bagaikan melihat ribuan bintang mengelilingi dirinya.”
Yilin menanggapi, “Adik kecilmu memang pandai mencari kesenangan. Untungnya, dia memiliki kakak seperguruan yang sangat baik seperti dirimu. Begitu dia meminta bintang di langit, tentu kau akan segera mengambilkannya.”
“Ya, pada awalnya dia memang meminta demikian,” jawab Linghu Chong. “Malam itu kami berdua menikmati indahnya bintang-bintang di langit. Adik Kecil berkata: ‘Sayang sekali sebentar lagi aku harus tidur. Ingin rasanya aku tidur di luar rumah biar sewaktu-waktu aku bangun, aku bisa melihat bintang-bintang itu. Tapi, Ibu tidak akan pernah mengizinkanku.’ – Saat itu aku mendapat akal. Aku menawarkan diri untuk menangkap ribuan kunang-kunang dan memasukkannya ke dalam kelambu tempat tidurnya sebagai pengganti bintang-bintang tersebut.”
“Oh, jadi itu hasil gagasanmu?” ujar Yilin dengan suara lirih.
“Benar. Tapi Adik Kecil berkata bahwa kunang-kunang itu akan terbang kian-kemari dan mengganggu tidurnya,” lanjut Linghu Chong. “Ia lantas mendapat akal untuk mengurung ribuan kunang-kunang itu dalam kantong-kantong tipis. Maka, aku lantas menangkap kunang-kunang sementara dia membuat kantong-kantong dari kain saringan. Kami mulai bekerja keesokan paginya sampai malam. Malam harinya, Adik Kecil sangat gembira menikmati pemandangan di dalam kelambu tempat tidurnya. Namun pada malam berikutnya, kunang-kunang itu mati semua.”
“Hah? Mati semua?” sahut Yilin dengan badan gemetar. “Mengapa kalian bisa sedemikian... sedemikian....”
“Sedemikian kejam maksudmu?” tukas Linghu Chong dengan tertawa. “Kau ini sungguh bersifat welas asih. Meskipun tidak kutangkap, udara dingin akan membuat kunang-kunang itu mati dengan sendirinya dua atau tiga hari kemudian.”
“Sebenarnya hewan tidak berbeda dengan manusia,” sahut Yilin. Setelah terdiam agak lama, barulah ia menyambung, “Sebagian manusia mati muda, sebagian lagi mati tua. Namun pada dasarnya semua manusia akan mati. Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak seorang pun bisa lolos dari kematian, baik itu akibat penyakit atau karena usia tua. Namun, hanya beberapa saja yang mampu mengetahui rahasia kebenaran sejati di balik lingkaran hidup dan mati.”
Linghu Chong menanggapi dengan santai, “Maka itu kau jangan terlalu sibuk mematuhi peraturan dan larangan. Jika Sang Buddha selalu mengawasi dirimu saat berbuat apa saja, tentu dia akan sangat letih.”
Yilin terdiam, tidak tahu harus bicara apa lagi. Beberapa menit kemudian ia melihat sebuah bintang jatuh di angkasa. “Kakakku Yiqing pernah berkata, jika ada orang melihat bintang jatuh dan segera membuat simpul pada tali bajunya sendiri sambil memikirkan suatu permintaan, maka permintaan itu pasti akan terkabul. Apa kau pernah mendengar hal itu? Apa benar demikian?”
“Entahlah, aku tidak tahu,” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Tapi tidak ada jeleknya kalau kita mencoba-coba. Lebih baik kita bersiap-siap, siapa tahu ada bintang jatuh lagi. Sedikit saja terlambat, kita tidak akan mendapat apa-apa.”
Yilin segera memegangi tali pinggangnya sambil memandang ke angkasa. Saat itu langit sedang cerah dan bintang jatuh cukup sering terlihat. Sesuai dugaan, sebuah bintang jatuh kembali terlihat. Yilin buru-buru membuat simpul namun tidak berhasil. Sesaat kemudian, kembali sebuah bintang jatuh terlihat di angkasa. Kali ini gerakan tangan Yilin lebih cepat sehingga ia berhasil menyelesaikan simpulnya.
“Bagus sekali! Sempurna!” seru Linghu Chong memuji. “Dewi Guanyin memberkatimu, dan permohonanmu pasti menjadi kenyataan.”
“Tapi aku tidak tahu harus meminta apa,” jawab Yilin. “Aku hanya sibuk memikirkan bagaimana membuat simpul dengan cepat sehingga lupa harus meminta apa.”(Bersambung)
Bagian 15 ; Halaman muka ; Bagian 17
Para hadirin merasa persyaratan tersebut tidak terlalu berlebihan. Aliran lurus dan aliran sesat adalah musuh bebuyutan. Sangat wajar apabila Zuo Lengchan selaku ketua Serikat Pedang Lima Gunung menghendaki kematian seorang gembong aliran sesat.
Sebaliknya, Liu Zhengfeng justru terlihat sedih. Dengan tersenyum hambar ia menjawab, “Antara Kakak Qu dan diriku sudah merasa cocok satu sama lain sejak pertama kali berkenalan. Kami pun menjalin persahabatan yang sangat akrab. Sampai saat ini, kami sudah belasan kali bertemu. Kami sering tidur di atas ranjang yang sama, atau bercakap-cakap semalaman. Terkadang kami juga menyinggung perselisihan di dunia persilatan. Kakak Qu sangat prihatin atas pertengkaran di antara kedua golongan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Persahabatan kami hanya mengutamakan seputar kegemaran kami dalam bermain musik. Kakak Qu pandai memetik kecapi, sedangkan aku suka meniup seruling. Pada saat bertemu, sebagian besar waktu kami habis untuk bermain musik bersama-sama. Mengenai ilmu silat, kami sama sekali tidak pernah membicarakannya.” Setelah berhenti sejenak dan tersenyum gembira, ia melanjutkan, “Para hadirin boleh tidak percaya, bahwa aku berani menjamin dalam abad ini tidak ada seorang pun yang bisa bermain kecapi melebihi Kakak Qu. Meskipun Kakak Qu seorang anggota aliran sesat, namun dari alunan musiknya aku bisa merasakan kalau ia berhati baik dan berbudi luhur. Perasaannya sangat halus. Oleh sebab itu aku, Liu Zhengfeng, sangat mengagumi laki-laki sejati seperti dirinya. Bagaimanapun juga aku tidak bersedia mencelakai seorang hebat bernama Qu Yang.”
Para hadirin sama sekali tidak menduga kalau persahabatan di antara Liu Zhengfeng dan Qu Yang berawal dari musik. Namun mereka segera memaklumi karena tokoh-tokoh Perguruan Hengshan pada umumnya memang suka bermain musik. Misalnya, sang ketua yaitu Tuan Besar Mo terkenal pandai memainkan rebab, dan ke mana-mana tidak pernah berpisah dengan alat musik gesek tersebut. Bahkan ia sampai mendapat julukan “dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab”.
Fei Bin kembali berkata, “Ketua Zuo sudah menyelidiki tentang persahabatanmu dengan si iblis Qu Yang memang berawal dari musik. Beliau berpesan kepada kita supaya berhati-hati terhadap tipu muslihat aliran sesat yang licik. Mereka suka melakukan berbagai macam cara untuk memecah belah kekuatan kita. Misalnya, kaum muda dipancing dengan harta kekayaan atau wanita-wanita cantik; sedangkan golongan tua yang berkecukupan seperti Saudara Liu ini dipancing menggunakan kegemarannya, yaitu bermain musik. Kami harap Saudara Liu sudi berpikir jernih. Coba diingat, berapa banyak saudara-saudara kita yang menjadi korban keganasan aliran sesat? Sungguh sayang, mengapa kau bisa sampai jatuh ke dalam tipu daya mereka?”
Biksuni Dingyi yang semula tidak suka kepada sikap orang-orang Songshan kini ikut bicara, “Apa yang dikatakan Adik Fei sangat benar. Kita semua tidak takut terhadap ilmu silat aliran sesat. Yang harus kita khawatirkan justru tipu muslihat mereka. Mengenai Adik Liu yang sudah terlanjur jatuh ke dalam perangkap aliran sesat rasanya tidak menjadi persoalan. Yang penting marilah kita bersama-sama membunuh penjahat bernama Qu Yang tersebut. Serikat Pedang Lima Gunung sudah sejak lama senapas seirama. Sungguh tidak baik kalau kita harus bertengkar sendiri karena adu domba pihak lawan.”
“Benar, Adik Liu,” sahut Pendeta Tianmen ikut bicara. “Seorang laki-laki sejati apabila menyadari kesalahannya maka ia akan segera memperbaiki diri. Hal seperti ini tidak perlu diributkan. Asalkan dalam sekali tebas kau bisa membinasakan gembong aliran sesat bermarga Qu itu, maka kawan-kawan golongan putih di dunia persilatan akan tetap menghormatimu sebagai seorang yang tegas dan bijaksana. Sudah pasti kami ikut merasa bangga.”
Liu Zhengfeng tidak menjawab. Ia lantas berpaling ke arah Yue Buqun dan bertanya, “Kakak Yue, kau seorang laki-laki budiman yang bijaksana. Para hadirin yang terhormat di sini banyak yang mendesak diriku supaya menjual kawan untuk menyelamatkan diri sendiri. Kalau menurut Kakak Yue, bagaimana aku harus bertindak?”
“Adik Liu,” sahut Yue Buqun, “dalam dunia persilatan mati membela sahabat adalah suatu hal yang biasa. Namun gembong aliran sesat bermarga Qu itu sangat licik. Mulutnya palsu dan hatinya berbisa. Di balik senyumnya yang manis, dia menyembunyikan tangan jahat untuk menghancurkan keluargamu. Dia sengaja mendekati Adik Liu dengan memanfaatkan kegemaranmu dalam bermain musik. Setelah itu, barulah dia melancarkan tipu muslihatnya yang keji. Bila manusia licik seperti itu kau anggap sebagai sahabat, maka istilah ‘sahabat’ dengan sendirinya akan tercemar. Manusia iblis seperti dia sungguh tidak pantas kau sebut sebagai sahabat karib. Adik Liu, di dunia ini sudah sering kita dengar bagaimana para kesatria rela mengorbankan keluarganya demi menegakkan kebenaran. Jika keluarga sendiri saja bisa dikorbankan, mangapa kau tidak dapat mengorbankan seorang penjahat yang berpura-pura baik seperti dia?”
“Benar! Benar!” sahut beberapa hadirin. “Apa yang dikatakan Tuan Yue sangat benar. Kita harus bisa membedakan mana kawan, mana lawan. Terhadap kawan kita harus setia, tapi terhadap lawan kita tidak boleh mengenal ampun.”
Liu Zhengfeng menghela napas panjang. Setelah para hadirin agak tenang, ia pun kembali bicara, “Sejak awal aku sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Aku yakin cepat atau lambat antara Serikat Pedang Lima Gunung dan aliran sesat akan terjadi pertempuran habis-habisan. Jika itu sampai terjadi, maka aku akan berada di posisi serbasulit. Di satu pihak terdapat para saudara seperguruan, sementara di pihak lain terdapat seorang sahabat karib. Tidak mungkin bagiku untuk berada di kedua pihak. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk melangsungkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Aku sengaja mengundang para hadirin sekalian sebagai saksi bahwa mulai hari ini Liu Zhengfeng mengundurkan diri dari dunia persilatan dan segala perselisihan di dalamnya. Aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia, tidak lagi tersangkut permusuhan atau bunuh-membunuh.” Ia lalu menoleh ke arah Fei Bin dan melanjutkan, “Tujuanku membeli pangkat sersan hanya sebagai alasan palsu untuk menutupi ini semua. Tak disangka, Ketua Zuo sungguh cerdik, berhasil membongkar semuanya.”
Para hadirin akhirnya mengetahui alasan sebenarnya mengapa Liu Zhengfeng mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sejak tadi sebagian dari mereka mencemooh tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut sebagai seorang yang serakah dan gila jabatan. Sebagian lagi bertanya-tanya dan merasa curiga, mengapa seorang kaya raya seperti Liu Zhengfeng mengundurkan diri hanya demi sebuah pangkat rendahan saja. Tentu ada maksud tersembunyi di balik hal ini.
Fei Bin, Ding Mian, dan Lu Bai saling pandang. Masing-masing berpikiran sama bahwa terbongkarnya maksud pengunduran diri Liu Zhengfeng semata-mata karena kecerdikan Zuo Lengchan, kakak seperguruan mereka.
Terdengar Liu Zhengfeng kembali berkata, “Permusuhan golongan kita dengan aliran sesat sudah berlangsung lama dan berlarut-larut. Siapa yang benar dan siapa yang salah juga tidak mudah untuk ditentukan. Aku hanya berharap bisa membebaskan diri dari perselisihan yang berdarah-darah ini, untuk selanjutnya hidup sebagai rakyat biasa yang patuh terhadap peraturan negara. Untuk menghibur diri cukup dengan meniup seruling. Kurasa cita-citaku ini tidak melanggar peraturan Perguruan Hengshan, atau juga Serikat Pedang Lima Gunung.”
“Huh, enak saja kau bicara!” sahut Fei Bin. “Jika setiap orang meniru perbuatanmu – melarikan diri saat menghadapi musuh – maka dunia ini pasti akan celaka dan dikuasai kaum iblis. Kau ingin mengundurkan diri dari dunia persilatan, lalu apakah penjahat bermarga Qu itu juga mau melakukan hal serupa?”
Liu Zhengfeng tersenyum, lalu menjawab, “Di hadapanku Kakak Qu telah bersumpah atas nama para leluhur agamanya bahwa ia tidak akan melibatkan diri dalam perselisihan antara kedua golongan yang bertikai. Asalkan orang lain tidak mengusiknya, maka dia pun tidak akan mengganggu orang lain.”
“Hahaha! Sungguh bagus istilah ‘asalkan orang lain tidak mengusiknya, maka dia pun tidak akan mengganggu orang lain’. Lalu bagaimana kalau golongan kita yang mengusiknya?” tanya Fei Bin sambil tertawa.
“Kakak Qu sudah menyatakan bahwa dia akan berusaha mengalah,” sahut Liu Zhengfeng. “Kakak Qu bertekad akan selalu menghindarkan diri dari perselisihan dan kesalahpahaman.” Sambil memandang tajam ke arah para hadirin, ia melanjutkan, “Pagi ini Kakak Qu mengirim berita bahwa dirinya telah menolong seorang murid Huashan bernama Linghu Chong yang terluka parah. Kakak Qu telah memberikan pertolongan seperlunya sehingga nyawa Keponakan Linghu bisa diselamatkan.”
Ucapan Liu Zhengfeng kali ini sangat mengejutkan para hadirin, terutama rombongan Perguruan Huashan, Henshan, dan Qingcheng. Si gadis Yue Lingshan tidak dapat menahan diri untuk bertanya, “Paman Liu, sekarang kakak pertama kami ada di mana? Apa benar iblis... maksudku, apa benar sesepuh bermarga Qu itu telah menolongnya?”
“Kakak Qu tidak pernah berkata dusta,” jawab Liu Zhengfeng. “Jika ingin tahu lebih jelas, silakan kau tanyakan langsung kepada Linghu Chong.”
“Huh, aku rasa itu bukan hal yang istimewa,” sahut Fei Bin mencibir. “Aliran sesat terkenal suka memecah belah dan mengadu domba. Segala macam akal licik dan tipu muslihat dapat mereka lakukan. Pertolongan Qu Yang kepada Linghu Chong menurutku hanya sandiwara belaka. Mungkin saat ini Linghu Chong sudah masuk pula ke dalam perangkap mereka. Bisa dikatakan, saat ini di dalam Serikat Pedang Lima Gunung sudah bertambah seorang pengkhianat lagi.” Usai berkata demikian buru-buru ia berpaling ke arah Yue Buqun dan berkata, “Kakak Yue, aku hanya menggunakan menduga-duga saja. Tolong kau jangan tersinggung.”
“Tidak masalah,” jawab Yue Buqun tenang.
Liu Zhengfeng terlihat sangat tersinggung mendengar kalimat Fei Bin yang terakhir itu. Ia pun bertanya dengan nada keras, “Saudara Fei, apa maksudmu dengan mengatakan ‘bertambah seorang lagi’? Apa kau bisa menjelaskan?”
“Kau yang berbuat, harusnya kau sendiri yang bisa menjawabnya,” ujar Fei Bin.
“Oh, jadi kau menuduh si marga Liu ini sebagai pengkhianat?” bentak Liu Zhengfeng dengan nada keras. “Aku ingin berteman dengan siapa itu urusan pribadiku. Orang lain tidak perlu ikut campur. Selama ini Liu Zhengfeng merasa tidak pernah mengkhianati kawan dan mendurhakai Perguruan Hengshan. Sebaiknya istilah ‘pengkhianat’ aku kembalikan kepadamu.”
Pada mulanya Liu Zhengfeng masih berusaha bersikap ramah. Namun kini sorot matanya berubah tajam dan berkilat-kilat. Meskipun dalam keadaan terdesak ia justru terlihat semakin gagah berani, membuat sebagian hadirin kembali menaruh simpati kepadanya.
Fei Bin sendiri tidak kalah angkuh dibanding sang tuan rumah. Ia pun bertanya, “Kalau begitu, Saudara Liu sudah jelas menolak pilihan pertama, yaitu membunuh gembong aliran sesat bernama Qu Yang, begitu?”
“Bila memang itu sudah menjadi ketetapan Ketua Zuo,” jawab Liu Zhengfeng, “tidak ada lagi halangan untuk Saudara Fei membunuh Liu Zhengfeng sekeluarga.”
“Huh, jangan mentang-mentang di rumahmu sedang berkumpul banyak pendekar, kemudian kau pikir kami merasa gentar untuk melakukan pembersihan. Sama sekali tidak ada ampun untuk seorang pengkhianat,” ujar Fei Bin dengan mata melotot. Ia kemudian berseru kepada Shi Dengda, “Lekas kemari!”
Shi Dengda pun maju menghampiri sang paman. Panji Pancawarna di tangannya segera diambil alih oleh Fei Bin dan setelah itu diangkat tinggi-tinggi. Pendekar nomor empat dari Songshan itu langsung berseru lantang, “Dengarlah ini, Liu Zhengfeng! Atas perintah Ketua Serikat kalau kau tidak bersedia membunuh Qu Yang dalam waktu satu bulan, terpaksa Serikat Pedang Lima Gunung harus mengadakan pembersihan supaya tidak menimbulkan bencana di kemudian hari. Mencabut rumput harus sampai ke akar-akarnya. Untuk itu, hendaknya kau pertimbangkan lagi masak-masak keputusanmu ini!”
Liu Zhengfeng tersenyum pedih dan menjawab, “Aku yang bermarga Liu hidup di dunia hanya untuk mencari sahabat. Mana boleh aku mengorbankan sahabatku hanya demi keselamatan pribadi? Jika Ketua Serikat sudah tidak dapat memaafkan aku lagi, untuk apa aku harus melawan? Semua terserah kepadanya. Aku hanya orang kecil yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Memang, semuanya sudah diatur oleh Ketua Serikat. Bahkan, mungkin saat ini peti mati untukku sudah kalian persiapkan. Kalau mau menghabisi nyawa Liu Zhengfeng, silakan sekarang saja!”
Menanggapi itu Fei Bin mengibaskan panji di tangannya dan berteriak, “Pendeta Tianmen dari Taishan, Kakak Yue dari Huashan, Biksuni Dingyi dari Henshan, serta segenap murid-murid Hengshan, menurut Ketua Serikat antara kebaikan dan keburukan tidak akan pernah dapat hidup bersama. Aliran sesat dan Serikat Pedang Lima Gunung telah mengikat permusuhan yang dalam bagai lautan. Sekarang Liu Zhengfeng dari Hengshan telah menjalin persahabatan dengan pihak musuh. Setiap anggota perserikatan berhak membunuhnya bersama-sama. Siapa yang tunduk kepada perintah Ketua Serikat, silakan berdiri di sebelah kiri!”
Tampak yang pertama bangkit dan berjalan menuju ke sebelah kiri Fei Bin dengan langkah lebar adalah Pendeta Tianmen, diikuti murid-murid Perguruan Taishan. Hal ini dapat dimaklumi karena guru Tianmen dahulu telah tewas di tangan seorang wanita gembong aliran sesat. Tentu hal ini membuat kebenciannya bagaikan merasuk sampai ke dalam sumsum.
Orang kedua yang bangkit adalah Yue Buqun. Dengan tegas ia berkata, “Adik Liu, asal kau menganggukkan kepala sekali saja, maka si marga Yue ini akan langsung berangkat mewakili dirimu membunuh Qu Yang. Kau telah berkata bahwa seorang kesatria sejati pantang mengkhianati sahabat. Tapi, apakah di dunia ini hanya Qu Yang saja yang kau anggap sebagai sahabat? Apakah kami yang hadir di sini bukan sahabatmu? Jauh-jauh kami semua datang kemari hanya untuk mengucapkan selamat kepadamu, apakah tindakan seperti itu masih kurang untuk disebut sebagai sahabat? Meskipun Qu Yang pandai memetik kecapi, lantas apa karena itu kau harus mengorbankan nyawamu dan keluargamu, serta persaudaraanmu dengan Serikat Pedang Lima Gunung? Apa hanya karena itu persahabatanmu dengan kami semua jauh kurang berharga dibandingkan dengan Qu Yang seorang?”
Perlahan-lahan Liu Zhengfeng menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, “Kakak Yue, kau seorang terpelajar, tentu mengetahui mana yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan seorang laki-laki sejati. Nasihatmu sangat baik. Untuk itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi, untuk membunuh Kakak Qu sama sekali aku tidak sanggup melakukannya. Biarpun seluruh keluargaku tertimpa musibah, perbuatan seperti itu tidak akan pernah kulakukan. Baik dirimu ataupun Kakak Qu adalah sama-sama sahabat bagiku. Apabila Kakak Qu menyuruhku membunuh Kakak Yue tentu aku juga akan menolaknya mentah-mentah. Apabila dia sampai memintaku melakukan itu, maka aku tak akan sudi lagi bersahabat dengannya.”
Diam-diam sebagian hadirin terkesan mendengar ucapan Liu Zhengfeng yang tulus dan sungguh-sungguh itu. Begitu tegas ia membela persahabatannya dengan Qu Yang di atas keselamatan nyawa sendiri.
Yue Buqun mengangguk namun tetap berusaha membujuk, “Adik Liu, ucapanmu itu jelas kurang benar. Adik Liu mengutamakan setiakawan, hal itu sesuai dengan sifat kalangan persilatan. Akan tetapi, bersahabat dengan seorang gembong penjahat jelas perbuatan keliru. Kebaikan dan keburukan tidak akan pernah dapat bersatu. Selama ini sudah banyak saudara-saudara kita, bahkan rakyat jelata yang tidak berdosa menjadi korban keganasan aliran sesat. Adik Liu sendiri hanya karena merasa cocok sama-sama gemar bermain musik lantas mempertaruhkan nyawa seluruh keluargamu demi dirinya. Aku rasa kau telah salah mengartikan ‘setiakawan’ yang selama ini kau junjung tinggi itu.”
Liu Zhengfeng tersenyum, dan menjawab, “Kakak Yue, kau tidak suka terhadap seni musik, sehingga kurang memahami maksudku secara mendalam. Suara mulut masih bisa menipu, tapi suara musik tidak dapat berdusta. Musik merupakan ungkapan suara hati yang tidak dapat dipalsukan atau dibuat-buat. Jiwa kami telah terikat satu sama lain. Aku berani menjamin dengan segenap jiwa ragaku bahwa meskipun Kakak Qu seorang anggota aliran sesat, namun ia sedikit pun tidak bersifat jahat seperti yang kalian tuduhkan.”
Yue Buqun menghela napas panjang, kemudian bergabung di sebelah Pendeta Tianmen diikuti seluruh murid-murid Huashan yang hadir di tempat itu.
Sekarang giliran Biksuni Dingyi yang berbicara kepada Liu Zhengfeng. Dengan tatapan tajam ia hanya berkata singkat, “Mulai hari ini bagaimana aku harus memanggilmu, Adik Liu atau cukup Liu Zhengfeng saja?”
Liu Zhengfeng menjawab sambil tersenyum getir, “Nyawa orang bermarga Liu ini sudah di ujung tanduk. Nasibnya akan segera berakhir. Kelak Biksuni Dingyi tidak perlu repot-repot memanggil aku lagi.”
Biksuni Dingyi menguncupkan tangannya sambil berkata, “Buddha Welas Asih!” Ia kemudian bergabung di sebelah Yue Buqun diikuti segenap murid-murid Henshan.
Melihat ketiga perguruan sudah berkumpul, Fei Bin kembali berbicara, “Urusan ini hanya menyangkut Liu Zhengfeng seorang. Jadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Perguruan Hengshan. Kalian murid-murid Hengshan yang mau sadar tidak ikut membela kejahatan, silakan bergabung ke sebelah kiri.”
Suasana ruang utama tersebut mendadak sunyi senyap. Sejenak kemudian seorang pemuda berseru, “Paman Liu, maafkan kami!”
Pemuda itu lantas melangkah ke arah yang ditunjuk Fei Bin, diikuti sekitar tiga puluh murid-murid Hengshan lainnya. Dalam pertemuan tersebut memang tidak seorang pun saudara seperguruan Liu Zhengfeng yang hadir untuk memberi selamat, kecuali murid-murid mereka.
Fei Bin kembali berseru, “Murid-murid Liu Zhengfeng, silakan bergabung di sini pula.”
Xiang Danian menjawab dengan suara lantang, “Kami telah menerima budi baik dari guru kami. Guru kami sedang dilanda kesulitan, sudah seharusnya kami berada di sisinya. Kami siap sehidup semati dengan Guru.”
“Bagus sekali, bagus sekali!” ucap Liu Zhengfeng terharu. Baru kali ini ia meneteskan air mata meskipun sejak tadi didesak kelompok Fei Bin dengan gencar. “Danian, muridku. Ucapanmu tadi sudah cukup membuktikan kalau dirimu seorang murid yang berbakti. Sungguh, aku mengizinkan kalian menyeberang ke sana. Aku yang berbuat, biar aku sendiri yang menanggung akibatnya; sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kalian.”
Tiba-tiba Mi Weiyi si murid kedua melolos pedangnya dan berseru, “Kami memang bukan tandingan Serikat Pedang Lima Gunung. Tapi, barangsiapa berani menyakiti guru kami terlebih dahulu harus melangkahi mayat Mi Weiyi!” Usai berkata demikian, ia pun berdiri di hadapan Liu Zhengfeng dengan gagah berani.
“Mutiara sebesar beras mau coba-coba bersinar, hah?” sahut Ding Mian mengejek. Segera tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu yang memancarkan kilatan cahaya perak menyilaukan.
Liu Zhengfeng menyadari kalau Ding Mian telah melemparkan sebuah senjata rahasia. Dengan cepat ia mendorong bahu Mi Weiyi sehingga pemuda itu terlempar ke kanan. Namun hal ini justru membuat keselamatan dirinya terancam. Senjata rahasia itu bergerak cepat menuju ke arah dadanya. Tanpa banyak bicara, Xiang Danian melompat melindungi sang guru. Maka sekejap kemudian terdengarlah suara jeritan pemuda itu. Senjata rahasia Ding Mian telah menancap tepat di jantungnya.
Liu Zhengfeng merangkul tubuh Xiang Danian yang terkulai tak berdaya dengan tangan kirinya. Setelah diperiksa dengan seksama ternyata murid pertamanya itu sudah binasa. Ia pun menoleh ke arah Ding Mian dan berkata, “Kalian... kalian orang-orang Songshan yang lebih dulu membunuh muridku!”
“Benar,” sahut Ding Mian. “Memang kami yang menyerang lebih dulu. Lantas kau mau apa?”
Tiba-tiba Liu Zhengfeng mengangkat mayat Xiang Danian dan bersiap melemparkannya ke arah Ding Mian. Menyadari kehebatan tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut, Ding Mian tidak berani menganggap remeh. Ia pun menghimpun tenaga dalam bersiap-siap menyambut datangnya lemparan.
Tak disangka, ternyata itu semua hanya tipuan Liu Zhengfeng belaka. Seolah-olah ia bermaksud menyerang Ding Mian, padahal mayat tersebut justru dilemparkannya ke arah Fei Bin. Terpaksa Fei Bin pun menahan mayat Xiang Danian dengan kedua tangannya dalam keadaan mendadak. Akibatnya, ia menjadi lengah dan tidak sempat menghindar ketika Liu Zhengfeng tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya dan menotok titik nadi di bawah iga pendekar dari Songshan tersebut.
Tidak hanya itu, Liu Zhengfeng lantas merebut Panji Pancawarna dengan tangan kiri, dan juga pedang milik Fei Bin dengan tangan kanan. Pedang tersebut segera digunakannya untuk mengancam leher si pemilik. Sekejap kemudian, beberapa titik nadi Fei Bin juga ikut tertotok. Begitu cepat gerakan Liu Zhengfeng ini, bahkan semuanya terjadi sebelum mayat Xiang Danian jatuh ke lantai.Para hadirin terkesima melihatnya. Sudah lama mereka mendengar kehebatan ilmu Tiga Belas Jurus Hantu Kabut Hengshan, namun baru kali ini bisa melihat secara langsung. Yue Buqun pernah mendapat cerita dari gurunya bahwa ilmu tersebut diciptakan oleh seorang tokoh Perguruan Hengshan dari generasi sebelumnya yang mahir bermain sulap. Ketika sudah lanjut usia, tokoh tersebut lantas memadukan kehebatan ilmu silat dengan ilmu sulapnya. Maka itu, terciptalah sebuah jurus yang sangat cepat dan mengejutkan. Padahal, dulu ia menciptakan ilmu tersebut hanya sekadar iseng saja, tapi ternyata kini menjadi salah satu ilmu paling unik dalam Perguruan Hengshan.
Meskipun demikian, ilmu yang aneh dan penuh kejutan ini tidak sembarangan untuk diajarkan. Dalam pertarungan yang sebenarnya, ilmu ini tidak banyak berarti karena pihak lawan tentu akan lebih waspada dan melindungi semua bagian penting pada tubuhnya. Oleh sebab itu, para guru mengancam murid-muridnya akan berhenti mengajarkan ilmu Perguruan Hengshan sepenuhnya apabila ada murid yang mendalami ilmu ini. Mereka tidak ingin para murid hanya mengandalkan kehebatan berkelebat ke sana dan kemari sehingga melupakan ilmu silat yang sebenarnya. Namun, Liu Zhengfeng memakai cara lain. Ia lebih dulu menuntaskan semua pelajaran ilmu silat dari gurunya, baru kemudian mempelajari Tiga Belas Jurus Hantu Kabut Hengshan tersebut. Ilmu unik ini berhasil dipergunakannya untuk menyergap Fei Bin si Tapak Songyang Besar dengan gerakan tiba-tiba. Andai saja bertarung secara terang-terangan, belum tentu Fei Bin dapat tertangkap secepat itu.
Sambil mengancam leher Fei Bin dengan pedang dan mengangkat Panji Pancawarna di udara, Liu Zhengfeng berseru, “Saudara Ding dan Saudara Lu, maafkan aku yang lancang berani menawan Saudara Fei dan merebut Panji Pancawarna. Sebenarnya aku tidak berani melakukan ini semua. Tapi sungguh, aku hanya ingin meminta pengertian kalian.”
Melihat leher sang adik diancam pedang, mau tidak mau Ding Mian pun berkata, “Apa sebenarnya yang ingin kau katakan?”
“Mohon Saudara berdua sudi menyampaikan permintaanku ini kepada Ketua Zuo. Aku mohon diperbolehkan mengasingkan diri bersama seluruh anggota keluargaku, dan mulai saat ini tidak akan lagi mencampuri urusan dunia persilatan,” jawab Liu Zhengfeng. “Persahabatanku dengan Kakak Qu juga akan kuakhiri sampai di sini; begitu pula persahabatanku dengan para hadirin sekalian. Selama hidup... aku tidak akan menginjak Daratan Tengah ini lagi.”
Ding Mian terlihat ragu-ragu. Sejenak kemudian baru ia berkata, “Mengenai permintaanmu ini kami berdua tidak berani mengambil keputusan. Tentu ini semua harus dilaporkan lebih dulu kepada Ketua Zuo untuk meminta petunjuknya.”
Liu Zhengfeng menjawab, “Di sini sudah hadir ketua Perguruan Taishan dan Huashan. Biksuni Dingyi juga bisa bertindak mewakili ketua Perguruan Henshan. Selain itu, segenap para kesatria dan pendekar lainnya yang hadir di sini bisa menjadi saksi.” Setelah terdiam sejenak dan memandangi para hadirin, ia melanjutkan, “Aku hanya memohon kebaikan hati para sahabat sekalian untuk mengizinkan diriku untuk membawa pergi segenap keluargaku, juga murid-muridku.”
Biksuni Dingyi meskipun suka bersikap galak dan kasar, namun sesungguhnya berhati lembut dan welas asih. Mendengar permohonan itu ia menjadi orang pertama yang angkat bicara, “Cara seperti itu sungguh bijaksana dan tidak memberatkan kedua pihak. Sebaiknya Saudara Ding dan Saudara Lu mengabulkan permintaan Adik Liu ini. Dia sudah berjanji tidak akan bergaul lagi dengan gembong aliran sesat itu. Dia juga berjanji akan meninggalkan Daratan Tengah ini untuk selamanya. Itu berarti di dunia persilatan tidak akan ada lagi orang bernama Liu Zhengfeng. Jadi, untuk apa lagi pembunuhan terhadapnya kita lakukan?”
Pendeta Tianmen mengangguk setuju dan berkata, “Aku rasa cara seperti itu memang cukup baik. Bagaimana menurutmu, Adik Yue?”
Yue Buqun menjawab, “Adik Liu sudah menyatakan kesediaannya, jadi aku rasa kita boleh percaya kepadanya. Mari kita ubah pertengkaran ini menjadi pertemuan yang menggembirakan. Adik Liu bisa melepaskan Adik Fei dan kita minum bersama secawan arak sebagai tanda perdamaian. Besok pagi-pagi sekali, Adik Liu bisa membawa keluarganya meninggalkan Hengshan ini untuk selamanya.”
Menanggapi itu Lu Bai menjawab dengan suara dingin, “Jika ketua Taishan dan ketua Huashan sudah bicara demikian, ditambah lagi Biksuni Dingyi yang mewakili pihak Henshan, mana mungkin kami berani menentang? Akan tetapi, saat ini Adik Fei kami sedang berada di tangan Liu Zhengfeng. Jika kami menerima permintaan itu, kami khawatir kelak di kemudian hari dunia persilatan akan menuduh Perguruan Songshan terpaksa tunduk di bawah ancaman pedang Liu Zhengfeng. Jika hal itu sampai tersebar luas, ke mana lagi kami harus menyembunyikan wajah?”
Biksuni Dingyi menyahut, “Adik Liu hanya meminta kemurahan hati kepada Perguruan Songshan, bukan mengancam. Justru yang berada di bawah ancaman adalah Adik Liu, bukan Perguruan Songshan kalian. Bukankah kalian yang lebih dulu menawan dan membunuh seorang murid Adik Liu? Jadi, mana ada alasan untuk mengatakan pihak Songshan tunduk karena ancaman?”
Lu Bai tidak menanggapi, tapi berkata kepada salah seorang murid Songshan, “Bersiaplah, Di Xiu!”
“Baik!” jawab Di Xiu sambil menempelkan ujung pedangnya ke punggung putra sulung Liu Zhengfeng.
Kembali Lu Bai berkata, “Liu Zhengfeng, jika itu yang menjadi permintaanmu maka kau boleh ikut kami untuk menghadap Ketua Zuo di Gunung Songshan. Kami hanya sekadar menjalankan perintah dan sama sekali tidak berani mengambil keputusan apa-apa. Yang penting sekarang segera bebaskan Adik Fei dan kembalikan Panji Pancawarna kepada kami!”
Liu Zhengfeng tersenyum pedih, kemudian berkata lirih kepada putranya, “Nak, apakah kau takut mati?”
Putranya itu menjawab, “Saya hanya patuh kepada Ayah. Saya sama sekali tidak takut mati.”
“Anak baik,” ujar Liu Zhengfeng.
Mendengar itu Lu Bai tiba-tiba berseru, “Bunuh dia!”
Segera Di Xiu mendorong pedangnya menembus punggung putra sulung Liu Zhengfeng tersebut. Begitu pedang dicabut kembali, darah segar pun mengucur deras. Pemuda pemberani itu jatuh tersungkur kehilangan nyawa.
Nyonya Liu menjerit dan kemudian menubruk mayat putra sulungnya. Tanpa ampun, Lu Bai kembali berseru, “Bunuh dia juga!”
Sekali tusuk, pedang Di Xiu melenyapkan nyawa istri Liu Zhengfeng pula.“Dasar binatang!” bentak Dingyi dengan nada sangat marah. Biksuni tua itu pun menerjang ke arah Di Xiu, namun Ding Mian secepat kilat menghadang di depannya. Maka, kedua telapak tangan mereka pun beradu dengan sangat keras. Akibatnya, Biksuni Dingyi terhuyung mundur beberapa langkah. Dadanya terasa sesak dan darah segar naik ke dalam kerongkongan. Sebagai seorang yang beradat tinggi, pantang baginya memperlihatkan kelemahan di hadapan orang lain. Diam-diam ia pun menelan kembali darah tersebut ke dalam perutnya.
“Terima kasih, Kakak Biksuni sudi mengalah,” kata Ding Mian sambil tersenyum.
Biksuni Dingyi melangkah mundur dengan menahan sakit di dada. Pertarungan tangan kosong memang bukan keahliannya. Di samping itu, ia tadi juga berniat memukul Di Xiu hanya dengan setengah tenaga. Tak disangka, Ding Mian justru mengerahkan tenaga penuh untuk menghadang pukulan tersebut. Setelah terpukul mundur dan nyaris muntah darah, Dingyi berniat menghimpun tenaga untuk menghadapi Ding Mian. Tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit pertanda ia telah menderita luka dalam.
Sambil berkata dengan nada marah, biksuni tua itu lantas berkata kepada rombongannya, “Mari kita pulang saja!”
Dengan langkah lebar Dingyi pun bergegas meninggalkan rumah Liu Zhengfeng. Para murid Henshan beramai-ramai mengikuti di belakangnya.
“Bunuh mereka!” seru Lu Bai tanpa memedulikan kepergian rombongan Dingyi. Dengan segera dua orang murid Songshan menusuk punggung dua murid Liu Zhengfeng sampai mati.
“Dengarkanlah, wahai murid-murid Liu Zhengfeng!” seru Lu Bai. “Jika kalian masih ingin hidup, lekas berlutut memohon ampun kepada kami! Barangsiapa mengutuk perbuatan salah guru kalian, maka nyawanya akan diampuni!”
“Dasar keparat! Kalian benar-benar lebih kejam daripada aliran sesat,” bentak Liu Jing, putri Liu Zhengfeng.
“Bunuh dia!” seru Lu Bai.
Tanpa ampun, Wan Daping mengayunkan pedangnya ke bawah. Tubuh Liu Jing pun terbelah menjadi dua, memanjang dari bahu kanan sampai ke pinggang kiri.
Shi Dengda dan murid-murid Songshan lainnya juga ikut bertindak. Dengan ganas mereka membantai satu per satu murid-murid Liu Zhengfeng yang tidak bisa melawan karena telah ditotok sebelumnya.
Meskipun para hadirin sudah terbiasa melihat pertumpahan darah, namun pembantaian kejam tersebut mau tidak mau membuat mereka merasa ngeri juga. Beberapa tokoh sepuh ada yang berniat melerai namun pedang murid-murid Songshan berkelebat sangat cepat sehingga belum sempat mereka bersuara, tahu-tahu sudah banyak mayat yang bergelimpangan. Akhirnya, mereka pun berusaha memaklumi peristiwa itu dengan berpikir, “Kebaikan dan kejahatan tidak akan pernah bersatu. Perbuatan orang-orang Songshan ini sesungguhnya ditujukan untuk memerangi aliran sesat, bukan untuk menghancurkan Keluarga Liu. Meskipun perbuatan mereka sangat keji dan tidak berperasaan, namun pada kenyataannya tidak seorang pun berusaha melerai. Pihak Songshan telah menguasai keadaan, dan berhasil memukul mundur Biksuni Dingyi. Sementara itu, Pendeta Tianmen dan Tuan Yue hanya diam tidak bersuara. Ini hanyalah urusan internal Serikat Pedang Lima Gunung. Orang luar seperti kami jika berani ikut campur hanyalah mengundang bencana dan bisa-bisa ikut kehilangan nyawa.”
Akhirnya, semua anggota keluarga dan murid-murid Liu Zhengfeng sudah habis dibantai pihak Perguruan Songshan, kecuali si putra bungsu yang bernama Liu Qin. Anak itu berusia lima belas tahun dan merupakan putra kesayangan Liu Zhengfeng.
Lu Bai lantas berkata kepada Shi Dengda, “Coba kau tanya bocah itu apa dia masih ingin hidup atau tidak. Jika tidak, potong saja hidungnya, kemudian telinganya, lalu congkel biji matanya!”
“Baik!” jawab Shi Dengda. Ia lantas berjalan mendekati Liu Qin dan bertanya, “Kau mau minta ampun atau tidak?”
Wajah Liu Qin terlihat pucat pasi dan tubuhnya gemetar. Namun Liu Zhengfeng justru berkata, “Anakku yang baik, kakak-kakakmu telah mati dengan gagah berani. Semua orang juga akan mati, kenapa harus takut?”
“Tapi... tapi... mereka hendak memotong hidungku dan mencongkel mataku, Ayah,” sahut Liu Qin gugup.
Liu Zhengfeng tertawa dan menjawab, “Dalam keadaan seperti ini apa kau masih berharap mereka mengampunimu?”
“Ayah... sebaiknya kau... sebaiknya kau menyanggupi saja... membunuh Paman Qu,” kata Liu Qin.
“Keparat!” bentak Liu Zhengfeng sebelum putra bungsunya itu berbicara lebih lanjut. “Dasar binatang! Kau bilang apa?”
Shi Dengda mengayun-ayunkan pedangnya di depan hidung Liu Qin sambil berkata, “Lekas berlutut dan minta ampun! Kalau tidak, hidungmu akan segera lenyap. Satu... dua....”
Belum sampai Shi Dengda menghitung sampai tiga, Liu Qin dengan cepat menekuk lutut memohon ampun. “Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!” ujarnya meratap.
Lu Bai tertawa dan berkata, “Kami akan mengampuni asalkan kau mengutuk kesalahan ayahmu di hadapan para kesatria ini.”
Meskipun keluarga dan murid-muridnya dibantai, Liu Zhengfeng sejak tadi terlihat tenang-tenang saja. Namun kini begitu menyaksikan sepasang mata putra bungsunya berkaca-kaca memohon belas kasihan, ia menjadi sangat gusar. “Dasar binatang! Apa kau tidak melihat bagaimana ibu dan kedua kakakmu mati di tangan mereka? Apa kau tidak malu?” bentaknya kemudian.
Mendengar itu Liu Qin justru semakin takut. Ia tidak berani memandang mayat ibu dan kedua kakaknya yang berlumuran darah. Apalagi pedang Shi Dengda masih terus berkelebatan mengancam dirinya. Ia pun memohon kepada Lu Bai, “Aku mohon... aku mohon ampunilah ayahku!”
“Ayahmu telah bersekongkol dengan penjahat dari aliran sesat,” sahut Lu Bai. “Menurutmu, perbuatannya itu salah atau benar?”
“Sa... salah,” jawab Liu Qin dengan suara lemah.
“Kalau begitu, ayahmu pantas dibunuh atau tidak?” tanya Lu Bai lagi.
Liu Qin tidak berani menjawab, hanya menunduk ke bawah.
“Bocah ini tidak mau bicara,” ujar Lu Bai. “Kau boleh membunuhnya.”
“Baik!” jawab Shi Dengda mengiakan. Ia berpura-pura mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah karena tahu Lu Bai sebenarnya hanya menggertak saja.
Liu Qin semakin ketakutan dan buru-buru menjawab, “Ya... ya, ayahku pantas dibunuh!”
“Bagus!” ujar Lu Bai dengan tertawa. “Mulai sekarang kau bukan lagi anggota Perguruan Hengshan, juga bukan anak Liu Zhengfeng. Aku mengampuni nyawamu.”
Karena perasaan takutnya sudah memuncak, kaki Liu Qin sampai-sampai lemas tidak bisa dipakai untuk berdiri. Melihat itu para hadirin merasa kesal dan memandang hina terhadap putra bungsu Liu Zhengfeng tersebut. Bahkan, ada yang memalingkan muka tidak sudi memandang wajah Liu Qin pula.
Liu Zhengfeng sendiri hanya menghela napas panjang dan berkata, “Orang bermarga Lu, kau sudah menang.” Usai berkata demikian ia lantas melemparkan Panji Pancawarna ke arah Lu Bai dan dengan cepat mendepak Fei Bin hingga jatuh terguling di lantai. Kemudian ia berseru lantang, “Aku yang bermarga Liu telah mengaku kalah. Urusan ini akan kuakhiri dengan caraku sendiri. Kalian tidak perlu membunuh lebih banyak lagi.”
Segera Liu Zhengfeng menempelkan pedang di lehernya bersiap melakukan bunuh diri. Pada saat itulah tiba-tiba dari atap teras rumah melayang turun seseorang berpakaian hitam. Tangannya bergerak secepat kilat memegang lengan Liu Zhengfeng. “Seorang laki-laki harus membalas dendam. Meskipun harus tertunda sepuluh tahun juga belum terlambat. Ayo, kita pergi!” ujarnya dengan suara lantang.
Liu Zhengfeng terkejut dan menyapa, “Kakak Qu, kau... kau....”
Begitu mendengar marga orang berbaju hitam tersebut, para hadirin seketika langsung menyimpulkan bahwa dia tidak lain adalah si gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Beberapa di antara mereka langsung gemetar; entah karena takut atau gusar.
“Benar, ini aku!” sahut Qu Yang sambil menarik lengan Liu Zhengfeng. “Tidak ada waktu lagi untuk menyapa. Ayo kita pergi!”
Namun baru beberapa langkah keduanya sudah diserang Ding Mian dan Lu Bai dengan sekuat tenaga. Kedua pasang telapak tangan mereka serentak menghantam punggung Qu Yang dan Liu Zhengfeng.
“Lekas lari!” bentak Qu Yang sambil mendorong tubuh Liu Zhengfeng sampai keluar rumah. Pada saat yang sama, ia mengerahkan tenaga pula untuk menahan pukulan kedua jagoan Songshan tersebut. Suara benturan keras terdengar menggelegar. Disusul kemudian terlihat tubuh Qu Yang terlempar ke atas.
Para hadirin melihat gembong aliran sesat tersebut memuntahkan darah segar. Namun secepat kilat ia mengibaskan tangan, melemparkan sesuatu berjumlah banyak saat tubuhnya masih melayang di udara.
“Awas, itu Jarum Darah Hitam!” seru Ding Mian sambil berkelit ke samping untuk menghindar.
Para hadirin terkejut mendengar nama senjata rahasia yang disebarkan Qu Yang tersebut. Seketika suasana menjadi kacau karena Jarum Darah Hitam adalah senjata rahasia aliran sesat yang sangat beracun. Mereka berusaha menghindar namun karena ruangan sudah terlanjur penuh sesak, mau tidak mau beberapa di antaranya menjerit menjadi korban.
Di tengah keributan itu, para hadirin tidak menyadari kalau Qu Yang dan Liu Zhengfeng sudah menghilang entah ke mana.
Sementara itu, suasana yang berbeda tengah dirasakan oleh Linghu Chong dan Yilin. Di tengah lembah pegunungan, di dekat derasnya air terjun, keduanya merasakan kedamaian luar biasa. Saat itu luka Linghu Chong bisa dikatakan sudah jauh lebih baik. Berkat obat mujarab Salep Penghubung Kahyangan dan Pil Empedu Beruang Putih buatan Perguruan Henshan, ditambah dengan tenaga dalam Linghu Chong yang terhitung paling tinggi di antara murid-murid Huashan lainnya, serta suasana di sekitar air tejun yang sejuk dan menyenangkan membuat pemuda itu berangsur-angsur pulih kembali.
Selama sehari dua malam itu Linghu Chong hanya memakan semangka untuk mengisi perutnya. Pernah ia meminta Yilin menangkap ikan atau kelinci sebagai lauk, namun biksuni muda itu menolaknya. Meskipun berkali-kali mencuri semangka, namun Yilin tidak berani melanggar pantangan lainnya yaitu membunuh sesama makhluk hidup. Lagipula Linghu Chong baru saja lolos dari kematian, sehingga tidak ada salahnya kalau berhenti memakan daging untuk beberapa hari sebagai ungkapan puji syukur terhadap Sang Buddha, demikian menurut pendapatnya.
Menanggapi itu Linghu Chong hanya tertawa dan menerima saran Yilin.
Malam itu, mereka berdua duduk termenung sambil menyandarkan diri pada tebing batu. Di udara terlihat banyak kunang-kunang terbang kian-kemari dengan memancarkan cahaya berkelap-kelip. Melihat itu Linghu Chong membuka suara, “Musim panas tahun lalu aku pernah menangkap ribuan kunang-kunang dan kumasukkan ke dalam puluhan kantong tipis. Kemudian kantong-kantong itu kugantung di dalam kamar. Indah sekali. Sinarnya berkelap-kelip sungguh menarik.”
Yilin pun menyahut, “Pasti adik kecilmu yang menyuruhmu menangkap kunang-kunang itu.”
“Kau ini sungguh pintar. Sekali tebak langsung benar,” ujar Linghu Chong tertawa. “Dari mana kau tahu kalau Adik Kecil yang menyuruhku menangkap kunang-kunang itu?”
“Sifatmu tidak sabaran. Jadi, mana mungkin kau bisa sedemikian tekun menangkap ribuan kunang-kunang dan memasukkannya ke dalam puluhan kantong?” ujar Yilin sambil tersenyum pula. Biksuni muda itu terdiam sejenak kemudian melanjutkan, “Kantong-kantong itu dipajang di dalam kamar untuk apa?”
“Adik Kecil menggantung kantong-kantong itu di dalam kelambu tempat tidurnya,” jawab Linghu Chong. “Menurutnya, sinar kunang-kunang itu bagaikan ribuan bintang di langit sewaktu pelita dalam kamar dipadamkan. Ia merasa seperti tidur di awang-awang. Setiap kali membuka mata, ia bagaikan melihat ribuan bintang mengelilingi dirinya.”
Yilin menanggapi, “Adik kecilmu memang pandai mencari kesenangan. Untungnya, dia memiliki kakak seperguruan yang sangat baik seperti dirimu. Begitu dia meminta bintang di langit, tentu kau akan segera mengambilkannya.”
“Ya, pada awalnya dia memang meminta demikian,” jawab Linghu Chong. “Malam itu kami berdua menikmati indahnya bintang-bintang di langit. Adik Kecil berkata: ‘Sayang sekali sebentar lagi aku harus tidur. Ingin rasanya aku tidur di luar rumah biar sewaktu-waktu aku bangun, aku bisa melihat bintang-bintang itu. Tapi, Ibu tidak akan pernah mengizinkanku.’ – Saat itu aku mendapat akal. Aku menawarkan diri untuk menangkap ribuan kunang-kunang dan memasukkannya ke dalam kelambu tempat tidurnya sebagai pengganti bintang-bintang tersebut.”
“Oh, jadi itu hasil gagasanmu?” ujar Yilin dengan suara lirih.
“Benar. Tapi Adik Kecil berkata bahwa kunang-kunang itu akan terbang kian-kemari dan mengganggu tidurnya,” lanjut Linghu Chong. “Ia lantas mendapat akal untuk mengurung ribuan kunang-kunang itu dalam kantong-kantong tipis. Maka, aku lantas menangkap kunang-kunang sementara dia membuat kantong-kantong dari kain saringan. Kami mulai bekerja keesokan paginya sampai malam. Malam harinya, Adik Kecil sangat gembira menikmati pemandangan di dalam kelambu tempat tidurnya. Namun pada malam berikutnya, kunang-kunang itu mati semua.”
“Hah? Mati semua?” sahut Yilin dengan badan gemetar. “Mengapa kalian bisa sedemikian... sedemikian....”
“Sedemikian kejam maksudmu?” tukas Linghu Chong dengan tertawa. “Kau ini sungguh bersifat welas asih. Meskipun tidak kutangkap, udara dingin akan membuat kunang-kunang itu mati dengan sendirinya dua atau tiga hari kemudian.”
“Sebenarnya hewan tidak berbeda dengan manusia,” sahut Yilin. Setelah terdiam agak lama, barulah ia menyambung, “Sebagian manusia mati muda, sebagian lagi mati tua. Namun pada dasarnya semua manusia akan mati. Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak seorang pun bisa lolos dari kematian, baik itu akibat penyakit atau karena usia tua. Namun, hanya beberapa saja yang mampu mengetahui rahasia kebenaran sejati di balik lingkaran hidup dan mati.”
Linghu Chong menanggapi dengan santai, “Maka itu kau jangan terlalu sibuk mematuhi peraturan dan larangan. Jika Sang Buddha selalu mengawasi dirimu saat berbuat apa saja, tentu dia akan sangat letih.”
Yilin terdiam, tidak tahu harus bicara apa lagi. Beberapa menit kemudian ia melihat sebuah bintang jatuh di angkasa. “Kakakku Yiqing pernah berkata, jika ada orang melihat bintang jatuh dan segera membuat simpul pada tali bajunya sendiri sambil memikirkan suatu permintaan, maka permintaan itu pasti akan terkabul. Apa kau pernah mendengar hal itu? Apa benar demikian?”
“Entahlah, aku tidak tahu,” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Tapi tidak ada jeleknya kalau kita mencoba-coba. Lebih baik kita bersiap-siap, siapa tahu ada bintang jatuh lagi. Sedikit saja terlambat, kita tidak akan mendapat apa-apa.”
Yilin segera memegangi tali pinggangnya sambil memandang ke angkasa. Saat itu langit sedang cerah dan bintang jatuh cukup sering terlihat. Sesuai dugaan, sebuah bintang jatuh kembali terlihat. Yilin buru-buru membuat simpul namun tidak berhasil. Sesaat kemudian, kembali sebuah bintang jatuh terlihat di angkasa. Kali ini gerakan tangan Yilin lebih cepat sehingga ia berhasil menyelesaikan simpulnya.
“Bagus sekali! Sempurna!” seru Linghu Chong memuji. “Dewi Guanyin memberkatimu, dan permohonanmu pasti menjadi kenyataan.”
“Tapi aku tidak tahu harus meminta apa,” jawab Yilin. “Aku hanya sibuk memikirkan bagaimana membuat simpul dengan cepat sehingga lupa harus meminta apa.”(Bersambung)
Bagian 15 ; Halaman muka ; Bagian 17