Bagian 72 - Perburuan Balas Dendam

Lin Pingzhi tidak mengeluarkan senjatanya, namun maju dua langkah sehingga jaraknya dengan Yu Canghai hanya tinggal dua-tiga meter saja. Dengan kepala agak miring ia melotot ke arah pendeta pendek itu.
Sungguh gusar hati Yu Canghai melihat lawannya belum juga melolos senjata. Ia berpikir, “Berani sekali kau memandang rendah padaku? Sebentar lagi asal pedangku bergerak, sedikitnya akan kurobek perutmu hingga ke tenggorokan. Masalahnya kau terhitung angkatan muda, tidak enak bagiku untuk menyerang lebih dulu.” Maka ia pun segera membentak, “Hayo, keluarkan pedangmu!” Sambil berteriak demikian Yu Canghai bersiap-siap pula. Rencananya begitu Lin Pingzhi menyentuh gagang pedang dan menariknya, maka ia akan mendahului membedah perut pemuda itu dengan segera.
Melihat gelagat seperti itu, dengan segera Linghu Chong memperingatkan Lin Pingzhi, “Awas, Adik Lin, dia akan menusuk perutmu!”
Namun Lin Pingzhi hanya tertawa dingin. Tiba-tiba ia menerjang ke depan, hanya dalam waktu sekejap jaraknya dengan Yu Canghai tinggal satu kaki saja. Begitu dekat jarak mereka sehingga hidung keduanya hampir-hampir saling bersentuhan.
Gerakan Lin Pingzhi ini sungguh sukar dibayangkan. Betapa cepat dan ringan tubuhnya sukar pula untuk dilukiskan. Karena terjangan Lin Pingzhi yang merapat itu kedua tangan dan pedang yang dipegang Yu Canghai sekarang ini malah berada di belakang lawan.
Tentu saja Yu Canghai tidak dapat menekuk pedangnya membalik untuk menusuk punggung Lin Pingzhi. Pada saat itu juga tahu-tahu tangan kiri Lin Pingzhi sudah mencengkeram pundak kanannya dan tangan kanan menahan di ulu hatinya. Seketika Yu Canghai merasa titik di pundaknya lemas linu, lengan kanan pun terasa lumpuh tak bertenaga. Hampir-hampir pedangnya terlepas dari genggaman. Hanya sekali gebrak saja Lin Pingzhi sudah menguasai lawan. Gerakannya yang aneh terlihat sama persis dengan gaya serangan Yue Buqun sewaktu mengalahkan Zuo Lengchan.
“Dongfang Bubai!” tanpa terasa Linghu Chong dan Ren Yingying mengucap bersama dan saling berpandangan. Keduanya sama-sama melihat sorot mata masing-masing memancarkan rasa terkejut dan bingung luar biasa. Jelas jurus yang dipakai Lin Pingzhi tadi sama persis dengan ilmu silat yang digunakan Dongfang Bubai di Tebing Kayu Hitam tempo hari.
Sepertinya Lin Pingzhi tidak mengerahkan tenaga pada telapak tangannya yang menahan di depan dada lawan itu. Di bawah sinar bulan dilihatnya sorot mata Yu Canghai memperlihatkan rasa terkejut dan ngeri luar biasa. Alangkah senang rasa hati Lin Pingzhi melihatnya. Ia merasa apabila musuh dibunuh begitu saja tentu akan terlalu murah baginya.
Pada saat itulah dari jauh terdengar suara Yue Lingshan memanggil-manggil, “Adik Ping, Adik Ping! Ayah menyuruhmu untuk mengampuninya sekali ini!” Sambil berseru ia pun berlari-lari menuju ke atas puncak.
Ketika tiba-tiba melihat Lin Pingzhi berdiri berhadapan dengan Yu Canghai dalam jarak begitu dekat, Yue Lingshan tertegun. Dengan khawatir ia memburu maju, namun seketika menjadi lega setelah melihat sebelah tangan Lin Pingzhi memegangi titik penting di tubuh Yu Canghai, sementara tangan yang lain menahan di depan dada musuhnya itu.
“Ayah berkata, bagaimanapun juga hari ini Pendeta Yu adalah tamu kita. Maka itu, janganlah kita membuat susah kepadanya,” kata Yue Lingshan pula.
Lin Pingzhi hanya mendengus saja. Tangan kirinya yang memegangi titik di pundak Yu Canghai itu mencengkeram lebih kuat dengan segenap tenaga dalamnya.
Yu Canghai bertambah kesakitan dan linu pada pundaknya itu. Namun ia lantas dapat merasakan tenaga dalam lawan ternyata hanya sebegitu saja. Sialnya titik penting di pundaknya terpegang sehingga tak bisa berkutik. Kalau tidak, dirinya jelas jauh lebih kuat dalam hal tenaga dalam. Seketika ia pun menjadi gemas dan sedih pula. Sudah jelas ilmu silat lawan sangat rendah, meski berlatih sepuluh tahun lagi juga bukan tandingannya. Namun, hanya karena sedikit lengah saja dirinya dapat dibekuk lebih dulu. Hancur sudah nama baiknya selama ini, bahkan kemungkinan besar lawan takkan tunduk kepada perintah Yue Buqun lantaran ingin menuntut balas kematian ayah-ibunya.
Untung terdengar Yue Lingshan melanjutkan, “Ayah menyuruhmu mengampuni jiwanya hari ini. Untuk menuntut balas bisa lain waktu. Tak perlu khawatir dia bisa terbang ke langit.”
Mendadak Lin Pingzhi mengangkat tangan kiri dan kemudain menampar Yu Canghai dua kali. Sungguh gusar hati Yu Canghai tidak kepalang. Namun apa daya, sebelah tangan Lin Pingzhi masih menempel di ulu hatinya. Meskipun tenaga dalam pemuda ini tidak seberapa, tapi dengan sedikit mengerahkan tenaga saja sudah cukup untuk membuat jantungnya tergetar pecah. Bila langsung mati rasanya lebih baik. Yang dikhawatirkan Yu Canghai adalah tenaga Lin Pingzhi yang tanggung itu hanya membuat dirinya setengah mati dan setengah hidup. Lantaran berpikir demikian maka sedikit pun Yu Canghai tidak berani meronta.
Setelah menampar dua kali, sambil tertawa panjang Lin Pingzhi lantas melompat mundur beberapa meter jauhnya. Matanya tetap melotot ke arah Yu Canghai, namun mulutnya tidak berbicara lagi.
Sebenarnya Yu Canghai bermaksud melabrak pemuda itu. Namun mengingat sekali gebrak saja dirinya sudah kalah, dan kejadian ini juga disaksikan banyak orang, mau tidak mau ia harus mengurungkan niatnya tersebut. Kalau sekarang dirinya melabrak lagi, ini berarti tidak mengakui kekalahannya tadi. Cara memalukan seperti ini bagaimanapun juga tidak boleh dilakukannya.
Di lain pihak tampak Lin Pingzhi hanya mendengus saja, lalu memutar tubuh dan melangkah pergi tanpa memperhatikan sang istri. Yue Lingshan membanting kaki pertanda hatinya sangat kesal. Sekilas dilihatnya Linghu Chong duduk di pinggir Panggung Pemujaan. Segera ia pun melangkah mendekat dan menyapa, “Kakak Pertama, apakah lukamu sudah… sudah lebih baik?”
“Aku… aku….” begitu melihat sang adik kecil, seketika jantung Linghu Chong berdebar kencang sehingga sukar untuk bicara.
“Jangan khawatir, dia takkan mati!” sahut Yihe dingin.
Yue Lingshan pura-pura tidak mendengar itu. Matanya memandang Linghu Chong sambil berkata lirih, ”Ketika pedangku terlempar, tanpa sengaja... aku telah melukaimu.”
”Ya,” jawab Linghu Chong. ”Tentu saja aku tahu... aku tahu...” Biasanya ia selalu periang namun kini di hadapan sang adik kecil seketika menjadi salah tingkah dan tergagap-gagap.
”Lukamu sangat parah. Aku benar-benar meminta maaf. Tapi tolong, jangan dendam kepadaku,” ujar Yue Lingshan memohon.
”Tidak mungkin... tidak mungkin aku menaruh dendam kepadamu,” jawab Linghu Chong seketika.
Yue Lingshan menghirup napas panjang dan kemudian menunduk. Perlahan ia berkata, ”Aku pergi dulu.”
”Kau mau pergi?” sahut Linghu Chong seperti kehilangan sesuatu.
Dengan kepala tetap menunduk, perlahan-lahan Yue Lingshan melangkah pergi. Ketika hendak turun ke bawah, tiba-tiba ia menoleh dan berkata, “Kakak Pertama, kedua kakak utusan Perguruan Henshan yang tertahan di Huashan akan segera kami antar pulang. Ayah mengatakan perbuatan kami memang kurang sopan. Untuk itu harap dimaafkan.”
“Ya, baik, baik!” sahut Linghu Chong tergagap-gagap. Seketika ia teringat saat menjalani masa hukuman di Puncak Huashan dulu. Setiap hari Yue Lingshan datang dan pergi mengantarkan makanan untuknya. Sampai akhirnya perasaan sang adik kecil berpindah kepada Lin Pingzhi.
Tiba-tiba terdengar Yihe mengejek, “Huh, di mana letak kebaikan perempuan seperti dia? Dibandingkan Nona Ren kita masih selisih jauh. Ia bahkan tidak pantas menjadi tukang gosok sepatu Nona Ren.”
Linghu Chong terkejut dan baru sekarang ia ingat kalau Ren Yingying saat itu berada di sampingnya. Tentu saja si nona dapat menyaksikan betapa dirinya menjadi linglung ketika berhadapan dengan Yue Lingshan tadi. Seketika wajah Linghu Chong menjadi merah. Dilihatnya Ren Yingying bersandar pada dinding Panggung Pemujaan seperti sedang mengantuk. Diam-diam ia berharap semoga gadis itu benar-benar tertidur sehingga tidak menyaksikan kejadian-kejadian tadi.
Namun Ren Yingying seorang gadis yang cerdik dan cermat, dalam keadaan seperti ini mana mungkin ia tertidur? Dengan pikirannya itu Linghu Chong juga sadar kalau ia sedang membohongi diri sendiri. Ia bermaksud mengada-ada untuk mengajak Ren Yingying bicara, tapi bingung juga sebab tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
Kalau menghadapi sang adik kecil ia menjadi gugup, tapi menghadapi Ren Yingying seketika Linghu Chong menjadi pintar. Jika tiada sesuatu yang dapat dibicarakan, maka cara yang paling baik adalah tidak berbicara apa-apa, atau dengan membelokkan perhatian Ren Yingying ke urusan lain. Maka perlahan-lahan Linghu Chong pun merebahkan dirinya. Sesudah berbaring mendadak ia merintih perlahan seakan-akan lukanya kembali menimbulkan rasa sakit.
Benar juga, Ren Yingying menjadi khawatir seketika. Ia lantas mendekat dan bertanya dengan suara perlahan, “Apakah lukamu kembali sakit?”
“Tidak apa, tidak apa-apa,” sahut Linghu Chong sambil memegangi tangan si nona. Ren Yingying bermaksud melepaskan tangannya tapi genggaman Linghu Chong terasa sangat kencang. Khawatir kalau gerak tangannya justru membuat luka Linghu Chong kambuh, terpaksa Ren Yingying membiarkan tangannya digenggam erat-erat.
Rupanya Linghu Chong sangat lelah karena terlalu banyak kehilangan darah. Tidak lama kemudian ia pun tertidur pulas. Esok paginya ketika terjaga bangun, ternyata sinar mentari sudah memenuhi puncak pegunungan itu. Linghu Chong perlahan bangkit untuk duduk. Ternyata tangan Ren Yingying masih tergenggam olehnya. Begitu ia tersenyum kepada si nona, dengan wajah merah Ren Yingying segera menarik tangannya.
“Marilah kita pulang ke Henshan saja!” seru Linghu Chong.
Sementara itu Tian Boguang telah menyiapkan sebuah usungan kayu. Linghu Chong lantas digotongnya bersama dengan Biksu Bujie turun dari Puncak Songshan tersebut.
Ketika melewati kuil induk kediaman orang-orang Songshan, tampak Yue Buqun dan murid-muridnya berdiri di depan pintu. Dengan muka berseri-seri ia mengantarkan keberangkatan Linghu Chong dan para pengiringnya itu. Hanya Yue Lingshan dan ibunya yang tidak tampak berada di antara mereka.
“Maaf, murid tidak dapat memberi hormat kepada Guru untuk mohon diri,” ujar Linghu Chong.
“Ah, tidak masalah,” jawab Yue Buqun. “Nanti kalau lukamu sudah sembuh barulah kita berunding lebih jauh. Dengan menjabat sebagai ketua Partai Lima Gunung ini aku memerlukan pembantu-pembantu yang dapat dipercaya. Kelak aku pasti banyak membutuhkan bantuanmu.”
Linghu Chong hanya tersenyum tanpa menjawab. Rombongan Henshan kembali melanjutkan perjalanan. Tian Boguang dan Biksu Bujie mengusung sang ketua dengan langkah yang sangat cepat. Dalam sekejap saja mereka sudah jauh meninggalkan Puncak Songshan itu. Sesampainya di kaki gunung barulah mereka menyewa beberapa kereta keledai dan mempersilakan Linghu Chong serta Ren Yingying masuk ke dalamnya. Masing-masing duduk dalam kereta yang berbeda. Ren Yingying sendiri telah melepas penyamarannya dan kembali berpenampilan wanita.
Ketika malam tiba sampailah mereka di suatu kota kecil. Di sana mereka melihat sebuah kedai minuman beratap bambu yang penuh dengan tamu sedang beristirahat. Para tamu itu ternyata orang-orang Perguruan Qingcheng semua. Yu Canghai tampak berada di antara mereka.
Melihat kedatangan rombongan Henshan itu, raut muka Yu Canghai berubah seketika. Ia sengaja berpaling ke arah lain dan pura-pura tidak tahu.
Karena di kota kecil itu tiada kedai lain, terpaksa orang-orang Henshan pun mencari tempat duduk di teras rumah penduduk di seberang jalan. Zheng E dan Qin Juan lantas masuk ke dalam kedai untuk memesan beberapa poci teh hangat, terutama untuk Linghu Chong.
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda melaju dari kejauhan. Debu mengepul tinggi dan tak lama kemudian terlihat dua penunggang kuda tiba dengan sangat cepat. Sesampainya di depan kedai, tiba-tiba keduanya menarik tali kendali untuk menghentikan laju kuda masing-masing. Ternyata kedua penunggang itu tidak lain adalah Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.
“Yu Canghai, kau pasti tahu kalau aku takkan memberimu kesempatan untuk beristirahat lagi. Tapi kenapa kau tidak lekas-lekas melarikan diri?” teriak Lin Pingzhi.
Linghu Chong yang masih berada di dalam kereta dapat mengenali suara itu. Ia pun berkata, “Apakah Adik Lin yang datang?”
Qin Juan yang duduk di sampingnya sambil menghidangkan teh segera menggulung tirai kereta agar Linghu Chong dapat melihat keadaan di luar. Tampak Yu Canghai duduk di atas bangku sedang menghirup secangkir teh panas. Mula-mula ia berlagak tidak memerhatikan, dan setelah habis isi cawannya barulah ia menjawab, “Hm, aku memang sedang menunggumu di sini kalau-kalau kau ingin mengantarkan nyawa.”
“Baik!” sahut Lin Pingzhi. Begitu tercetus ucapannya itu, tahu-tahu pedangnya sudah terhunus dan ia pun melompat turun dari kudanya. Pedangnya sekali menusuk ke samping, dan menyusul ia hinggap kembali ke atas punggung kudanya. Sekali membentak, ia melarikan kudanya bersama Yue Lingshan dengan cepat. Tahu-tahu seorang murid Qingcheng yang berdiri di tepi jalan perlahan-lahan roboh terkulai. Darah segar pun mengucur keluar dari dadanya.
Serangan Lin Pingzhi tadi sungguh tak terduga sebelumnya. Ia melolos pedang dan melompat turun dari kuda, tujuannya jelas hendak melabrak Yu Canghai. Hal ini sebenarnya sangat kebetulan bagi ketua Qingcheng itu, sebab ia tahu kalau ilmu silat maupun tenaga dalam pemuda ini sangat rendah. Diam-diam Yu Canghai gembira. Ia yakin dalam sekali bergebrak, nyawa Lin Pingzhi pasti akan melayang dengan mudah sehingga terbalas sudah rasa malunya di Panggung Pemujaan tadi malam. Bahwasanya kelak Yue Buqun mungkin akan menuntut balas padanya adalah urusan belakang, demikian pikirnya.
Namun siapa sangka serangan Lin Pingzhi itu ternyata tidak ditujukan kepadanya, tapi di tengah jalan mendadak ganti sasaran. Seorang murid Qingcheng pun ditusuk mati, lalu ia kembali hinggap di atas punggung kudanya dan pergi begitu saja. Sungguh terkejut dan gusar bukan kepalang perasaan Yu Canghai. Dengan cepat ia bangkit dari duduk untuk mengejar, namun laju kuda Lin Pingzhi dan Yue Lingshan terlalu cepat baginya.
Serangan Lin Pingzhi yang luar biasa tadi membuat Linghu Chong tercengang juga. ”Kalau serangan demikian tadi ditujukan padaku mungkin juga sukar kutangkis jika kebetulan aku tidak bersenjata. Maka tiada pilihan lain kecuali tertusuk mati,” pikirnya. Sebenarnya ilmu pedang Linghu Chong masih jauh di atas Lin Pingzhi, namun terhadap tipu serangan semacam tadi benar-benar membuat Linghu Chong bingung juga mencari bagaimana cara yang baik untuk mematahkannya.
Saat itu Yu Canghai sedang mencaci maki sambil menunjuk-nunjuk Lin Pingzhi yang sudah kabur jauh itu. Tentu saja caci makinya tak terdengar oleh lawan. Dengan penuh rasa murka yang tak terlampiaskan, tiba-tiba Yu Canghai memutar balik lantas memaki orang-orang Henshan, “Kalian kawanan biksuni busuk! Pasti kalian sudah tahu anak sial bermarga Lin itu mau datang ke sini. Maka itu kalian datang lebih dulu menunggu di sini. Baik, binatang kecil itu sudah lari, kalau berani marilah kita saja yang bertempur!”
Di antara murid-murid Henshan, Yihe adalah yang paling berangasan. Segera ia pun melolos pedang dan menjawab, “Kalau mau berkelahi hayo maju saja! Siapa juga yang takut padamu?”
Jumlah orang-orang Henshan jauh lebih banyak daripada pihak Qingcheng. Apalagi di dalam rombongan itu ada Biksu Bujie, Tian Boguang, Ren Yingying, dan Enam Dewa Lembah Persik. Kalau benar-benar terjadi pertempuran jelas pihak Qingcheng akan kalah telak. Menyadari hal itu Yu Canghai segera mengurungkan niatnya. Tantangannya tadi disebabkan karena amarah yang memenuhi dada, padahal biasanya ia dapat berpikir panjang dan memiliki banyak tipu muslihat.
Untungnya Linghu Chong segera mencegah, “Kakak Yihe, jangan hiraukan dia!”
Ren Yingying lantas berbisik kepada Enam Dewa Lembah Persik. Secepat kilat Dewa Akar Persik, Dewa Daun Persik, Dewa Dahan Persik, dan Dewa Bunga Persik melompat dan menubruk seekor kuda yang tertambat di tepi kedai sana. Kuda itu adalah kuda tunggangan Yu Canghai. Sekejap kemudian terdengar suara meringkik ngeri, tahu-tahu kuda itu telah robek menjadi empat bagian dengan isi perut berceceran dan darah berhamburan.
Badan kuda itu tinggi besar, tapi dengan bertangan kosong keempat orang tua aneh itu telah merobeknya menjadi empat dengan menarik keempat kakinya. Betapa hebat tenaga mereka sungguh luar biasa. Seketika murid-murid Qingcheng terkejut ngeri, bahkan murid-murid Henshan juga merasa gemetar, sampai-sampai jantung mereka berdebar kencang.
“Pendeta Yu, orang bermarga Lin bermusuhan denganmu, tapi kami tidak memihak siapa-siapa dan hanya menonton di pinggir saja. Jangan lantas kau membawa-bawa kami! Kalau kami benar-benar mau berkelahi jelas kalian tidak bisa menang. Sebaiknya kau tahu diri sedikit,” kata Ren Yingying.
Setelah menyaksikan kehebatan empat Dewa Lembah Persik tadi, seketika lagak garang Yu Canghai berangsur lenyap. Pedangnya kembali disimpan dan ia berkata, “Jika kita tidak saling mengganggu, maka kita bisa mengambil jalan masing-masing. Silakan kalian jalan lebih dulu!”
“Itu tidak bisa. Kami harus mengikuti kalian,” kata Ren Yingying.
“Mengapa?” Yu Canghai bertanya dengan mengerutkan kening.
“Terus terang, karena ilmu pedang orang bermarga Lin itu sungguh aneh. Kami jadi ingin melihatnya secara jelas,” ujar Ren Yingying.
Linghu Chong terkesiap mendengarnya. Apa yang dikatakan Ren Yingying ternyata sama persis dengan isi hatinya. Begitu aneh ilmu pedang Lin Pingzhi sampai-sampai Sembilan Jurus Pedang Dugu juga sukar untuk mematahkannya. Maka itu, ingin sekali ia mengetahui gerak ilmu pedang Lin Pingzhi dengan jelas.
Terdengar Yu Canghai menjawab, “Kau ingin tahu ilmu pedang bocah bermarga Lin itu, tapi ada sangkut paut apa denganku?” Namun segera ia merasa ucapannya itu keliru. Ia sendiri cukup sadar bahwa permusuhan dirinya dengan keluarga Lin terlalu mendalam. Tidak mungkin Lin Pingzhi akan puas hanya dengan membunuh satu-dua orang muridnya saja. Tentu pemuda itu masih akan mencari perkara lagi padanya. Dan orang-orang Henshan justru ingin tahu bagaimana cara Lin Pingzhi memainkan ilmu pedangnya dan bagaimana orang-orang Qingcheng mati dibunuh.
Merupakan hal yang wajar dan tidak aneh apabila setiap jago silat ingin mengetahui ilmu silat orang lain yang lihai. Namun cara orang-orang Henshan mengikuti rombongan Qingcheng, seakan-akan orang-orang Qingcheng itu sudah menjadi hewan yang sedang digiring ke pejagalan untuk disembelih, dan cara penjagal menyembelih itulah yang akan dilihat, sungguh ini suatu perbuatan yang terlalu menghina.
Yu Canghai gusar dan bermaksud mencaci-maki Ren Yingying. Untungnya ia masih sanggup menguasai perasaan, sehingga hanya mendengus sekali saja. Ia lantas berpikir, “Bocah bermarga Lin itu menyerangku secara licik. Sepertinya dia tidak punya kepandaian yang luar biasa. Baik, kalian boleh mengikuti aku agar kalian bisa melihat dengan jelas bagaimana aku mencincang anjing kecil itu hingga luluh.”
Usai berpikir demikian ia kembali ke dalam kedai untuk minum lagi. Tapi mendadak poci teh yang dipegangnya berbunyi, ternyata tutup poci itu tergetar oleh tangannya yang gemetar. Murid-muridnya menyangka tangan sang guru itu gemetar karena terlalu gusar, padahal dalam hati Yu Canghai sebenarnya takut luar biasa. Ia sadar bahwa serangan Lin Pingzhi yang aneh itu kalau ditujukan kepadanya tentu ia tidak mampu menangkisnya.
Usai minum, perasaan Yu Canghai ternyata masih belum tenang. Segera murid-muridnya diperintahkan menggotong mayat anggotanya yang mati itu untuk dikubur di luar kota. Mereka lantas bermalam di depan kedai makan itu. Penduduk setempat sementara ini menjadi ketakutan melihat pertarungan dan pembunuhan tersebut. Sejak tadi warga sekitar sudah menutup pintu masing-masing tidak berani keluar lagi.
Sementara itu murid-murid Henshan beristirahat di teras rumah-rumah penduduk. Ren Yingying tampak kembali ke dalam keretanya dan seperti menjaga jarak dengan Linghu Chong di kereta lainnya. Meskipun semua orang telah mengetahui kisah cinta mendalam di antara mereka, namun Ren Yingying tetap saja merasa rikuh berada di dekat Linghu Chong. Bahkan ketika murid-murid Henshan mengobati sang ketua, ia tetap berpura-pura tidak melihat. Zheng E, Qin Juan, dan yang lain mengenal watak putri ketua aliran sesat itu. Mereka senantiasa memberitahukan keadaan luka Linghu Chong, sementara Ren Yingying hanya mengangguk saja tanpa memberi komentar.
Sementara itu Linghu Chong sedang sibuk memikirkan ilmu pedang yang dimainkan Lin Pingzhi tadi. Ia merasa jurus serangan tersebut biasa-biasa saja. Yang membuatnya istimewa hanyalah kecepatan serangan yang sangat luar biasa, serta sebelumnya juga tiada tanda-tanda ke mana serangannya akan menuju. Kalau serangan semacam itu dilancarkan, sekalipun tokoh paling lihai juga sukar untuk menahannya.
Sewaktu bertempur melawan Dongfang Bubai tempo hari, senjata yang dipakai orang itu hanya sebatang jarum sulam saja, tapi Linghu Chong dan ketiga lainnya tetap tidak bisa melawan. Kalau dipikir secara cermat ternyata itu semua bukan karena tenaga dalam atau jurus serangan Dongfang Bubai yang hebat, namun karena gerak-geriknya yang secepat kilat. Setiap serangannya dilakukan tanpa ada tanda-tanda sebelumnya sehingga selalu di luar perhitungan lawan.
Cara Lin Pingzhi membekuk Yu Canghai tadi malam serta bagaimana ia membunuh seorang murid Qingcheng juga benar-benar mirip dengan ilmu silat Dongfang Bubai. Sementara cara Yue Buqun membutakan kedua mata Zuo Lengchan jelas juga menggunakan ilmu silat yang sama. Apakah barangkali ilmu silat mertua dan menantu ini merupakan bagian dari Jurus Pedang Penakluk Iblis? Bukankah ilmu pedang ini memiliki asal-usul yang sama dengan Kitab Bunga Mentari?
“Orang yang mampu melayani ilmu pedang aneh ini pada zaman sekarang mungkin hanya Kakek Guru Feng seorang. Nanti kalau lukaku sudah sembuh rasanya aku perlu berkunjung ke Huashan untuk meminta pengajaran kepada Beliau tentang cara-cara mematahkan ilmu pedang yang aneh ini. Kakek Guru Feng memang bersumpah tidak ingin bertemu orang-orang Huashan, tapi aku sendiri bukankah sudah dikeluarkan dari sana?” Tapi lantas terpikir lagi olehnya, “Dongfang Bubai sudah mati, Yue Buqun adalah guruku, Lin Pingzhi adalah adik seperguruanku. Mereka berdua tentu takkan menggunakan ilmu pedang hebat itu terhadapku, lalu untuk apa aku harus mempelajari cara mematahkan ilmu pedang mereka?” Membayangkan itu tiba-tiba ia teringat pada sesuatu, sehingga tubuhnya pun gemetar. Segera ia bangkit untuk duduk. Karena gerakannya mendadak, lukanya pun terasa sakit kembali. Tanpa terasa ia merintih perlahan.
“Apakah kau haus?” sahut Qin Juan yang berdiri di samping keretanya.
“Tidak,” jawab Linghu Chong. “Adik, tolong kau undang Nona Ren ke sini.”
Qin Juan mengiakan kemudian pergi. Tidak lama kemudian ia kembali bersama Ren Yingying yang langsung bertanya. “Ada masalah apa?”
“Tiba-tiba aku teringat sesuatu,” jawab Linghu Chong. “Tempo hari ayahmu pernah mengatakan bahwa kitab Kitab Bunga Mentari milik kalian telah Beliau berikan kepada Dongfang Bubai. Waktu itu aku mengira ilmu silat yang terdapat dalam Kitab Bunga Mentari itu tidak lebih bagus daripada ilmu sakti yang dipelajari oleh ayahmu sendiri, maka itu ayahmu sudi menurunkan kitab pusaka tersebut kepada Dongfang Bubai, akan tetapi….”
“Kemudian ternyata ilmu silat ayahku tidak lebih tinggi daripada Dongfang Bubai, begitu bukan?” sela Ren Yingying.
“Benar,” jawab Linghu Chong. “Sebab musabab urusan ini benar-benar membuatku bingung sendiri.”
Pada umumnya setiap jago silat bila melihat suatu kitab yang hebat tentu mustahil kalau tidak ingin memilikinya sendiri. Namun dalam hal ini Ren Woxing justru sengaja memberikan kitab pusaka Bunga Mentari kepada Dongfang Bubai. Sungguh kejadian yang lain daripada yang lain.
“Aku pun pernah bertanya kepada Ayah tentang hal ini,” ujar Ren Yingying. “Ayah bilang, pertama, ilmu silat yang tertera dalam kitab itu tidak boleh dipelajari. Kalau memaksakan diri untuk mempelajarinya tentu akan mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Kedua, Ayah sendiri tidak tahu bahwa setelah berhasil mendalami ilmu silat dalam kitab itu ternyata Dongfang Bubai bisa sedemikian sakti.”
“Jadi menurut Beliau kitab tersebut tidak boleh dipelajari? Tidak boleh? Apa sebabnya?” sahut Linghu Chong menegas.
Tiba-tiba raut muka Ren Yingying berubah merah, kemudian ia menjawab, “Mengapa tidak boleh dipelajari, aku sendiri juga tidak tahu.” Setelah diam sejenak, ia lalu menyambung, “Apakah baik kalau bernasib seperti Dongfang Bubai itu?”
Linghu Chong sadar akan persoalannya. Dalam hati kecilnya samar-samar ia merasa bahwa jalan yang ditempuh oleh gurunya seolah sedang menuju ke arah yang sama dengan Dongfang Bubai. Kini Yue Buqun telah mengalahkan Zuo Lengchan dan menguasai Partai Lima Gunung. Linghu Chong khawatir jangan-jangan sang guru kelak juga akan memanjakan diri dengan sanjung puji menjijikkan seperti yang dilakukan orang-orang aliran sesat di Tebing Kayu Hitam.
“Kau harus merawat lukamu dengan tenang, jangan banyak berpikir,” kata Ren Yingying. “Aku akan pergi tidur dulu.”
”Silakan,” jawab Linghu Chong. Ia kemudian menyingkap tirai kereta sehingga sinar rembulan yang lembut menyoroti wajah Ren Yingying yang cantik itu. Seketika Linghu Chong merasa sangat bersalah karena belum bisa membalas cinta gadis itu kepadanya.
“Baju yang dipakai Adik Lin-mu itu bermotif gambar bunga,” ujar Ren Yingying tiba-tiba. Usai berkata ia lantas melangkah kembali ke dalam keretanya.
Kontan Linghu Chong merasa heran dan berpikir, “Dia berkata baju Adik Lin terdiri dari kain bermotif bunga belaka? Apa yang aneh? Adik Lin baru saja menjadi pengantin, tidak heran kalau dia memakai baju-baju baru yang mewah. Dasar anak perempuan, bukannya memerhatikan ilmu pedang, tapi malah baju yang dipakai, sungguh lucu.” Sambil memejamkan mata ia membayangkan keadaan Lin Pingzhi sewaktu melabrak Yu Canghai, tapi baju kembang apa yang dipakai pemuda itu sudah dilupakan olehnya.
Sampai tengah malam, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derap laju kaki kuda. Dua orang penunggang kuda kembali datang. Linghu Chong lantas bangkit dari tidur dan menyingkap tirai kereta. Dilihatnya murid-murid Henshan dan Qingcheng juga sudah bangun semua. Murid-murid Henshan segera mengambil tempat masing-masing dalam bentuk formasi pedang untuk menjaga segala kemungkinan. Sementara itu murid-murid Qingcheng juga sudah mengeluarkan senjata masing-masing. Ada yang berjaga di tepi jalan, ada pula yang bersandar pada tembok rumah. Keadaan mereka jauh lebih tegang dan gelisah daripada murid-murid Henshan.
Tak lama kemudian tampak dua penunggang kuda sedang melaju dengan cepat. Di bawah sinar rembulan dapat terlihat dengan jelas, siapa lagi yang datang itu kalau bukan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.
Begitu mendekat Lin Pingzhi segera berteriak, “Yu Canghai, karena kau ingin mencuri Jurus Pedang Penakluk Iblis keluarga kami, maka ayah dan ibuku telah kau bunuh. Sekarang biarlah aku memperlihatkan ilmu pedang yang kau cari itu sejurus demi sejurus. Hendaknya kau mengikuti dengan jelas.” Ia lantas menahan kudanya, lalu melompat turun. Sebilah pedang tampak tersandang di balik punggungnya. Dengan langkah cepat ia lantas mendekati orang-orang Qingcheng.
Linghu Chong memerhatikan dengan seksama. Tampak Lin Pingzhi mengenakan baju berwarna hijau kemala, dengan ujung dan lengan bajunya bersulam bunga-bunga kuning tua. Pinggiran baju tampak dilapisi dengan renda kuning pula, sementara pinggangnya memakai sabuk berwarna kuning emas. Penampilannya begitu mewah. Menyaksikan itu Linghu Chong berpikir, “Biasanya Adik Lin sangat sederhana, tapi sesudah menjadi pengantin sifatnya lantas berubah seketika. Tapi aku juga tak bisa menyalahkan dia. Seorang pemuda tampan mendapatkan jodoh yang serasi sudah tentu merasa gembira. Pantas kalau dia berdandan secakap mungkin.”
Semalam ketika Lin Pingzhi membekuk Yu Canghai dengan tangan kosong di samping Panggung Pemujaan, lagaknya sama seperti saat ini. Sudah tentu pihak Qingcheng tidak mau memberi kesempatan lagi kepadanya untuk mengulangi serangan yang licik itu. Sekali Yu Canghai membentak, seketika empat muridnya menerjang maju dengan pedang terhunus. Dua pedang menusuk dada Lin Pingzhi dari kanan dan kiri, serta dua pedang yang lain menebas pula kedua kakinya.
Enam Dewa Lembah Persik ikut khawatir melihatnya. Seketika mereka berteriak untuk Lin Pingzhi, “Awas, Nak!” seru tiga di antaranya, dan ”Nak, awas!” seru tiga yang lain.
Tak disangka Lin Pingzhi tetap tenang-tenang saja. Dengan kecepatan luar biasa mendadak kedua tangannya menjulur ke depan, menyusul tangannya lantas mengibas ke samping sehingga tangan kedua orang yang menusuk dadanya itu terdorong. Maka kemudian terdengarlah suara jeritan ngeri empat orang. Dua orang seketika roboh terkulai, sedangkan dua orang yang bermaksud menusuk dada Lin Pingzhi itu berputar balik karena tangan mereka terkena kibasan lengan pemuda itu. Akibatnya, mereka pun saling menusuk ke dalam perut teman sendiri.
“Itu tadi adalah jurus kedua dan ketiga ilmu Pedang Penakluk Iblis. Apa kau sudah melihatnya dengan jelas?” seru Lin Pingzhi. Usai berkata ia lantas memutar tubuh dan hinggap di atas kudanya, lantas kembali melaju pergi.
Orang-orang Qingcheng sampai terkesima sehingga tiada seorang pun yang berangkat mengejar. Ketika mereka mengawasi kedua kawannya yang lain, ternyata kedua orang itu terkena oleh senjata kawan sendiri yang menebas dari kanan kiri tadi. Sepertinya mereka masih berdiri tegak, padahal sebenarnya sudah mati.
Cara Lin Pingzhi menjulurkan tangan dan mengibas sambil mendorong tadi telah dilihat dengan jelas oleh Linghu Chong. Hal itu membuatnya terkejut sekaligus kagum pula. “Sungguh bagus, sungguh bagus. Yang ia lakukan tadi jelas ilmu pedang, bukan ilmu silat tangan kosong meski tanpa senjata di tangannya,” demikian pikirnya.
Di bawah sinar bulan tampak bayangan Yu Canghai yang pendek itu berdiri terkesima di samping keempat mayat muridnya. Murid-murid Qingcheng berkeliling di sekitar sang guru, tapi dari jarak yang agak jauh. Tiada seorang pun yang berani membuka suara.
Selang waktu yang agak lama, Linghu Chong kembali memandang ke luar kereta. Dilihatnya Yu Canghai masih tetap berdiri tegak tak bergerak sedikit pun, sementara bayangannya sudah bertambah panjang. Ini merupakan tanda bahwa sudah sekian lama ia termangu-mangu di situ. Sebagian murid-murid Qingcheng juga terpaku di tempatnya, sebagian sudah menyingkir pergi, sebagian lagi sudah mengambil duduk. Namun Yu Canghai sendiri masih juga tetap berdiri kaku di situ.
Dalam hati Linghu Chong merasa kasihan juga kepada Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng yang terkenal itu ternyata sama sekali tak berdaya menghadapi seorang lawan muda.
Karena sudah mengantuk, Linghu Chong lantas memejamkan mata untuk tidur. Dalam lelapnya itu tiba-tiba terasa keretanya seperti berguncang, menyusul terdengar suara bentakan sang kusir. Ternyata hari sudah terang, sementara rombongan telah berangkat kembali.
Ia kemudian melongok keluar. Dilihatnya pada jalan besar yang lurus itu banyak orang berlalu lalang. Rombongan Perguruan Qingcheng berjalan di depan. Ada yang menunggang kuda, ada yang berjalan kaki. Memandangi bayangan belakang mereka terasa seperti ada perasaan haru yang sukar untuk dikatakan, seolah-olah menyaksikan serombongan hewan sedang digiring ke tempat pejagalan.
Kembali Linghu Chong berpikir, “Mereka cukup sadar bahwa Lin Pingzhi pasti akan datang lagi. Mereka pun tahu bahwa mereka sama sekali tidak sanggup untuk melawan. Kalau mereka melarikan diri dengan cara berpencar, maka itu berarti tamat sudah nama besar Perguruan Qingcheng. Tapi kalau Lin Pingzhi sampai datang ke Gunung Qingcheng, apakah di Kuil Angin Cemara sana tiada tokoh lagi yang sanggup melawannya?”
Menjelang tengah hari sampailah rombongan dua perguruan itu di suatu kota agak besar. Rombongan Qingcheng lantas memasuki sebuah rumah makan besar untuk makan minum sepuasnya di dalam. Sementara itu orang-orang Henshan hanya beristirahat di kedai sederhana di depan rumah makan besar itu. Menyaksikan orang-orang Qingcheng menikmati makan minum di rumah makan depan itu, para biksuni Henshan hanya terdiam. Mereka tahu orang-orang Qingcheng sedang menghadapi maut. Maka, mumpung masih hidup, sedapat mungkin mereka ingin menikmati segala kesenangan di dunia ini.
Sore harinya sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kembali Lin Pingzhi dan Yue Lingshan memburu tiba.
Yihe bersuit menghentikan rombongannya. Saat itu sinar matahari masih memancar terang. Tampak dua penunggang kuda datang menyusur di tepi sungai. Sesudah dekat, Yue Lingshan menahan kudanya, sedangkan Lin Pingzhi terus saja maju ke depan. Mendadak Yu Canghai memberi tanda. Bersama murid-muridnya mereka lantas memutar tubuh dan lari menyusur di tepi sungai.
“Yu Pendek, hendak lari ke mana kau?” seru Lin Pingzhi sambil bergelak tawa. Segera ia pun memacu kudanya mengejar.
Tiba-tiba Yu Canghai berbalik. Secepat kilat pedangnya lantas menusuk muka Lin Pingzhi. Sama sekali Lin Pingzhi tidak menduga akan serangan lawan yang mendadak itu, namun dengan cepat ia melolos pedangnya untuk menangkis. Susul-menyusul Yu Canghai melancarkan serangan kilat. Mendadak ia melompat ke atas, dan di lain saat ia merendah ke bawah. Tidak disangka orang tua berusia enam puluhan seperti dia masih juga lincah seperti anak muda. Gerak pedangnya selalu mengambil jalan menyerang secara cepat. Bahkan delapan orang murid Qingcheng segera mengelilingi kuda Lin Pingzhi dan mengerubutnya pula. Namun demikian yang mereka serang bukan orangnya melainkan kudanya.
Hanya mengikuti beberapa saat saja Linghu Chong sudah tahu maksud dan tujuan Yu Canghai. Kehebatan Lin Pingzhi terletak pada ilmu pedangnya yang bergerak dan berubah dengan cepat dan sukar diduga. Sekarang pemuda itu berada di atas punggung kuda, dengan sendirinya keunggulannya pun menjadi berkurang. Sebab, kalau mau menyerang ia terpaksa harus mendoyongkan tubuhnya. Kuda tunggangnya tentu tidak selincah kalau ia menggunakan kaki sendiri. Maka itu, murid-murid Qingcheng pun sengaja mengepungnya di tengah agar ia tidak sempat turun dari kudanya. Asalkan Lin Pingzhi tetap berada di atas kuda belum tentu ia mampu melawan Yu Canghai.
Diam-diam Linghu Chong mengakui kecerdikan ketua Perguruan Qingcheng itu. Cara yang ia gunakan benar-benar cerdik. Kemudian ia memerhatikan pula ilmu pedang yang dimainkan Lin Pingzhi. Gerak perubahannya memang aneh dan bagus, namun Yu Canghai masih dapat menandinginya. Setelah mengikuti beberapa jurus lagi, tanpa terasa pandangannya beralih ke arah Yue Lingshan yang berada di tempat agak jauh. Seketika Linghu Chong tergetar kaget sebab dilihatnya ada beberapa murid-murid Qingcheng lainnya telah mengepung Yue Lingshan dan sedang mendesaknya ke tepi sungai.
Pada saat itu pula mendadak terdengar kuda tunggangan Yue Lingshan meringkik dan berjingkrak sehingga nyonya muda itu terbanting ke bawah. Rupanya kuda itu telah terkena tusukan pedang. Dengan cepat Yue Lingshan melompat bangun sambil mengelak untuk menghindari serangan seorang lawan. Namun murid-murid Qingcheng itu terus menyerangnya dengan mati-matian.
Enam murid Qingcheng itu terhitung jago-jago pilihan. Linghu Chong dapat melihat Hou Renying dan Hong Renxiong di antara mereka. Meskipun Yue Lingshan telah berhasil mempelajari ilmu pedang yang terukir di gua Puncak Huashan dan telah mengalahkan para ketua dari Perguruan Taishan, Hengshan, dan Henshan, namun ilmu pedang lihai itu ternyata tidak mempan digunakan terhadap jago-jago Qingcheng itu.
Linghu Chong dapat melihat sang adik kecil tidak mampu melawan serangan murid-murid Qingcheng yang nekad itu. Sementara ia khawatir dan cemas, tiba-tiba terdengar jeritan seorang murid Qingcheng yang sebelah lengannya tertebas buntung oleh Yue Lingshan menggunakan jurus pedang Hengshan.
Linghu Chong merasa gembira dan berharap orang-orang Qingcheng yang lain tentu akan ngeri dan mundur teratur. Tak disangka kelima orang yang lain tidak mundur selangkah pun, bahkan menyerang lebih kalap termasuk orang yang sudah buntung sebelah lengannya tadi. Melihat lawan yang bermandi darah dengan serangan kalap laksana kerbau gila itu, malah Yue Lingshan yang merasa ngeri sendiri. Ia pun terdesak mundur. Tiba-tiba sebelah kakinya terpeleset karena menginjak batu karang yang berlumut licin. Kontan ia pun jatuh ke dalam air.
“Celaka!” Linghu Chong berseru khawatir.
“Beginilah cara kita menghadapi Dongfang Bubai tempo hari,” tiba-tiba terdengar suara Ren Yingying menyahut.
Linghu Chong tidak sadar kapan gadis itu tiba di sampingnya. Ucapan si nona memang tidak salah. Pada pertempuran di Tebing Kayu Hitam tempo hari jelas-jelas ia dan ketiga lainnya tidak sanggup melawan Dongfang Bubai. Untung saja waktu itu Ren Yingying mengganti haluan dan menyerang Yang Lianting sehingga perhatian Dongfang Bubai pun terbagi. Akhirnya ia menjadi lengah dan binasa pula. Sekarang ini cara yang dipakai Yu Canghai memang mirip dengan siasat Ren Yingying waktu itu. Tentu saja Yu Canghai tidak menyaksikan bagaimana Linghu Chong dan Ren Woxing membunuh Dongfang Bubai, namun pikirannya yang cerdik membuatnya melakukan hal yang sama.
Linghu Chong menduga Lin Pingzhi tentu akan meninggalkan lawan-lawannya untuk menolong sang istri. Tak disangka pemuda itu masih terus bertempur melawan Yu Canghai, sama sekali ia tidak ambil pusing terhadap keadaan istrinya yang terancam bahaya itu. Rupanya murid-murid Qingcheng juga menyadari bahwa hidup-mati perguruan mereka dan keselamatan diri sendiri hanya tergantung pada pertempuran yang menentukan sekarang ini. Maka itu, mereka pun bertempur dengan nekad dan sekuat tenaga. Tiba-tiba murid yang buntung lengannya tadi telah membuang pedangnya dan kemudian menjatuhkan diri untuk menggelinding ke arah Yue Lingshan. Segera ia memeluk kaki nyonya muda itu dengan sekencang-kencangnya.
“Adik Ping, lekas bantu aku, lekas!” seru Yue Lingshan khawatir.
“Yu Pendek ingin melihat kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis, maka itu biar dia melihat secara jelas agar mati pun tidak menyesal,” kata Lin Pingzhi sambil menyerang lebih cepat sehingga Yu Canghai hampir-hampir tidak sempat bernapas. Sungguh hebat Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dimainkan Lin Pingzhi itu. Meski sambil duduk di atas kuda, namun ilmu pedangnya yang lihai itu sudah cukup untuk membuat Yu Canghai terdesak kelabakan.
Pada pertarungan sebelumnya, Yu Canghai melihat Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dimainkan Lin Pingzhi hanya biasa-biasa saja, tapi kini sungguh banyak gerak perubahan di sana-sini yang membuatnya kewalahan dan hanya bisa berteriak-teriak gusar. Harapan satu-satunya adalah menggetar jatuh pedang pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya yang jauh lebih tinggi. Akan tetapi, sejak jurus pertama tadi Yu Canghai sama sekali tidak sempat adu senjata dengan Lin Pingzhi. Sungguh cepat gerak pedang pemuda itu yang menerjang ke arahnya tanpa bisa ditangkis sedikit pun.
“Hei, kau… kau….” bentak Linghu Chong gusar. Tadinya ia mengira Lin Pingzhi tidak mampu melepaskan diri dari kerubutan Yu Canghai dan murid-muridnya untuk menolong sang istri. Namun dari ucapannya itu sungguh jelas terkesan bahwa Lin Pingzhi sama sekali tidak menghiraukan keadaan Yue Lingshan. Yang dianggapnya penting hanyalah bagaimana cara mempermainkan Yu Canghai yang sudah tak berdaya itu.
Sementara itu matahari sudah mulai terbit. Linghu Chong dapat melihat wajah Lin Pingzhi menyeringai penuh rasa gembira di hatinya. Ia bagaikan seekor kucing yang berhasil menangkap tikus dan mempermainkan mangsanya itu sebelum dibunuh. Namun bedanya, Lin Pingzhi mempermainkan Yu Canghai dengan hati penuh dendam dan kebencian.
“Adik Ping, Adik Ping, lekas kemari tolong aku!” seru Yue Lingshan kembali memanggil suaminya. Suaranya terdengar sampai serak pertanda rasa takut dan ngeri dalam hatinya telah memuncak.
“Ya, aku datang! Tunggu sebentar lagi! Aku harus menuntaskan semua Jurus Pedang Penakluk Iblis. Sebenarnya antara keluargaku dengan Yu Pendek tidak ada permusuhan apa-apa. Dia membantai keluargaku hanya karena ingin menguasai ilmu pedang leluhur kami. Sekarang ini akan kuperagakan semua agar dia tidak mati penasaran. Bagaimana menurutmu, Yu Pendek?” Ucapannya ini terdengar tenang pertanda ia sama sekali memang tidak peduli lagi dengan keselamatan sang istri. Karena takut Yu Canghai tidak memahami maksud perkataannya, kembali pemuda itu bertanya, “Bagaimana menurutmu, Yu Pendek?”
Gerak serangan Lin Pingzhi ini sungguh anggun dan gemulai, mirip dengan Jurus Pedang Perawan Kemala andalan Ning Zhongze, istri Yue Buqun. Yang menjadi perbedaan adalah, gerak serangan Lin Pingzhi ini memancarkan hawa jahat luar biasa.
Sebenarnya Linghu Chong ingin sekali menyaksikan seluruh Jurus Pedang Penakluk Iblis dimainkan oleh Lin Pingzhi. Namun di satu sisi ia terganggu oleh keadaan Yue Lingshan yang sedang dalam bahaya itu. Maka begitu mendengar Yue Lingshan kembali berteriak-teriak minta tolong, ia pun tidak tahan lagi dan segera berkata, “Kakak Yihe dan Kakak Yiqing, harap kalian menolong Nona Yue. Dia… dia dalam bahaya!”
“Kita sudah menyatakan tidak akan membantu pihak mana pun juga. Rasanya tidak enak bila kita ikut turun tangan,” jawab Yiqing.
Kaum persilatan memang sangat mengutamakan “setia kawan” dan “pegang janji”. Apalagi sebagai kaum kesatria dari golongan perguruan ternama lurus bersih, bagaimanapun juga harus memegang teguh kepada apa yang telah diucapkan sebelumnya.
Mendengar jawaban Yiqing itu, Linghu Chong merasa apa yang dikatakannya memang benar. Malam sebelumnya Yihe sudah menyatakan dengan tegas kepada Yu Canghai bahwa Perguruan Henshan sama sekali tidak akan membantu pihak mana pun juga. Kalau sekarang mereka membantu Yue Lingshan, itu berarti merusak nama baik Perguruan Henshan. Menyadari ini Linghu Chong merasa sangat gelisah dan tak berdaya.
“Ini… ini…” ujarnya semakin cemas. Tiba-tiba ia berteriak, “Mana Biksu Bujie, Tian Boguang, dan Enam Dewa Lembah Persik? Di mana mereka?”
Qin Juan menjawab, “Mereka semua sudah pergi karena tidak tahan melihat Yu Canghai bermuram durja. Konon Biksu Bujie mengajak mereka untuk mencari arak. Lagipula… mereka berdelapan juga orang-orang Henshan.”
Tiba-tiba Ren Yingying melompat dengan kedua tangannya melolos sepasang pedang pendek dari balik pinggang. “Hei, lihatlah dengan jelas! Aku adalah Ren Yingying, putri kesayangan Ketua Ren dari Partai Mentari dan Bulan. Kalian berenam lelaki mengeroyok seorang perempuan, bagaimanapun juga membuat para penonton merasa muak. Karena melihat ketidakadilan ini, terpaksa Nona Ren harus ikut campur.”
Sungguh senang rasa hati Linghu Chong melihat Ren Yingying telah maju ke sana. Karena menghela napas lega, tiba-tiba lukanya kembali terasa sakit, dan ia pun jatuh terduduk di dalam kereta.
Meskipun keenam murid Qingcheng itu melihat kedatangan Ren Yingying, namun mereka seolah tidak peduli dan terus saja menyerang Yue Lingshan secara kalap. Sebelumnya Yue Lingshan telah terdesak mundur beberapa langkah. Tiba-tiba kakinya menginjak air sungai sebatas paha dalamnya. Karena tidak bisa berenang, nyonya muda itu menjadi gugup, permainan pedangnya pun ikut kacau. Pada saat itulah pundak kirinya terasa sakit, rupanya sebilah pedang musuh berhasil menusuknya. Kesempatan itu segera digunakan oleh si tangan buntung untuk menubruk maju untuk memeluk kakinya seperti diceritakan tadi. Segera Yue Lingshan mengayun pedangnya untuk membabat tepat mengenai punggung si buntung. Namun orang itu sudah nekad dan terus saja merangkul dengan kencang. Sedikit pun ia tidak mau melepas tangannya.
Yue Lingshan yang sangat cemas menjadi gelap. “Aku bisa mati di sini, aku bisa mati di sini,” keluhnya gugup. Samar-samar dilihatnya Lin Pingzhi sedang memperlihatkan ilmu pedangnya yang hebat kepada Yu Canghai. Gerakannya sangat teratur dan perlahan-lahan sejurus demi sejurus seakan-akan sengaja memamerkan ilmu pedang belaka. Terdesak oleh rasa kesal, hampir-hampir Yue Lingshan jatuh lunglai. Untung tiba-tiba serangan musuh menjadi kendur, dua pedang mereka pun terlempar ke atas, menyusul kemudian terdengar suara air mendebur. Rupanya dua orang murid Qingcheng telah terjungkal ke dalam sungai.
Karena pikirannya sudah kacau, Yue Lingshan juga ikut terbanting jatuh. Untung Ren Yingying telah memutar sepasang pedang pendeknya pula. Dalam beberapa jurus saja sisa tiga murid Qingcheng juga telah berhasil dilukainya. Senjata mereka pun terlepas dari pegangan, sehingga terpaksa para pengeroyok itu pun bergerak mundur. Kemudian dengan sekali tendang Ren Yingying membuat si lengan buntung terpental sehingga rangkulannya pada kaki Yue Lingshan terlepas. Segera ia menarik bangun Yue Lingshan yang sudah basah kuyup itu. Pakaian nyonya muda itu juga berlumuran darah. Perlahan-lahan Ren Yingying memapahnya ke tepi sungai.
Sementara itu terdengar Lin Pingzhi berseru, “Nah, Jurus Pedang Penakluk Iblis keluarga Lin kami sudah kau lihat dengan jelas, bukan?” Menyusul sinar pedangnya lantas berkelebat. Seketika seorang murid Qingcheng yang ikut mengerubut di samping kudanya pun jatuh terguling. Kepalanya terbelah di antara kedua mata.
Yang baru saja roboh itu tidak lain adalah Fang Renzhi, yang dulu berhasil menangkap Lin Zhennan beserta istri. Terdengar Lin Pingzhi berseru, “Fang Renzhi, kau manusia licik dan hina! Kematian seperti ini terlalu mudah bagimu.” Sekali menarik tali kendali, dengan cekatan kudanya pun melompat melintasi mayat Fang Renzhi. Keadaan Yu Canghai sendiri sudah sangat payah, tentu saja ia tidak berani mengejar.
Lin Pingzhi memacu kudanya dan ia melihat seorang murid Qingcheng yang dulu menyaksikannya membunuh anak Yu Canghai. “Kau pasti Jia Renda!” teriaknya kepada orang itu. Sejak tadi Jia Renda yang terkenal berjiwa pengecut memilih untuk berada jauh dari amukan Lin Pingzhi. Kini begitu melihat pemuda itu tiba-tiba memburunya, ia pun menjadi kalap dan berniat melarikan diri. Namun pedang Lin Pingzhi lebih dulu menusuk kaki kanannya. Jia Renda pun terbanting jatuh di tanah. Lin Pingzhi bergelak tawa seperti orang sinting. Ia lantas mengarahkan kudanya untuk menginjak-injak tubuh pria itu. Seketika terdengar jeritan ngeri dan memilukan, dan tak lama kemudian Jia Renda pun diam untuk selamanya.
Lin Pingzhi lantas memacu kudanya ke arah Yue Lingshan dan Ren Yingying. “Naik kemari!” serunya kepada sang istri.
Namun Yue Lingshan memandangnya dengan penuh rasa benci, kemudian berkata dengan gigi, gemertak, “Kau pergi sendiri saja.”
“Dan kau?” tanya Lin Pingzhi.
“Untuk apa kau mengurusi diriku?” jawab Yue Lingshan ketus.
Lin Pingzhi memandang sekejap ke arah murid-murid Henshan, lalu tertawa dingin. Ia kemudian memacu kudanya dan melarikan hewan tunggangannya itu secepat terbang.
Ren Yingying sama sekali tidak menduga bahwa Lin Pingzhi akan bersikap sedingin itu terhadap istrinya yang baru saja dinikahinya itu. “Nyonya Lin, silakan kau beristirahat ke dalam keretaku saja,” katanya kemudian.
Kelopak mata Yue Lingshan sudah penuh dengan air mata. Sedapat mungkin ia menahan agar air matanya itu tidak sampai menetes. Maka dengan terbata-bata ia menjawab, “Aku… aku tidak mau. Kena… kenapa kau menolong aku?”
“Bukan aku yang menolongmu, tapi kakak pertamamu, Linghu Chong yang ingin menolong,” jawab Ren Yingying jujur.
Yue Lingshan merasa hatinya sangat pilu. Tak tertahankan lagi air matanya pun jatuh bercucuran. “Dapatkah kau… me… meminjamkan seekor kuda padaku?” ujarnya kemudian.
“Baik,” jawab Ren Yingying lalu pergi membawakan seekor kuda.
“Terima kasih banyak. Kau sungguh… sungguh beruntung!” kata Yue Lingshan lirih. Segera ia melompat dan hinggap di atas punggung kuda itu kemudian memacunya kencang-kencang. Arah yang ditempuh Yue Lingshan ternyata berlawanan dengan Lin Pingzhi. Sepertinya ia memutuskan untuk kembali ke Gunung Songshan.
Yu Canghai juga heran melihat Yue Lingshan lewat di sebelahnya, tapi sedikit pun ia tidak merintangi. Dalam hati ketua Qingcheng itu berpikir, “Malam nanti atau esok tentu binatang bermarga Lin itu akan datang lagi membunuh kami. Aku yakin dia hendak membunuh habis muridku satu per satu agar tertinggal aku sebatang kara. Habis itu barulah giliranku dikerjai olehnya.”
Linghu Chong tidak tega menyaksikan keadaan Yu Canghai yang mengenaskan itu. Kepada Yihe dan yang lain ia pun berkata, “Marilah kita berangkat!”
Begitu kusir-kusir kereta membentak dan melecutkan cambuknya, segera keledai-keledai pun menarik keretanya ke depan.
Linghu Chong terperanjat heran ketika melihat Yue Lingshan ternyata menuju arah berlainan dengannya. Sebenarnya ia ingin mengikuti arah yang ditempuh sang adik kecil itu, namun keretanya ternyata berjalan menuju ke arah lain. Bimbang juga rasa hatinya. Rasanya tidak enak untuk memerintahkan kereta berputar haluan, hanya tirai bagian belakang saja disingkapnya untuk memandang ke luar. Namun bayangan Yue Lingshan sudah tidak tampak lagi. Seketika perasaannya sangat tertekan. “Adik Kecil sudah terluka. Sendirian dia menuju ke sana, apakah takkan terjadi sesuatu atas dirinya?”
Tiba-tiba terdengar Qin Juan berkata di sampingnya, “Dia tentu pulang ke Songshan. Dia tentu aman berada di samping ayah-ibunya. Kakak Ketua tidak perlu khawatir.”
Agak lega hati Linghu Chong mendengarnya. Ia pun mengiakan, kemudian berpikir, “Adik Qin sungguh cermat, Dia selalu dapat menerka apa yang menjadi pikiranku.”
Hari berikutnya ketika matahari sudah berada di atas kepala, mereka berhenti di sebuah rumah makan kecil. Sebenarnya tidak bisa dikatakan rumah makan, sebab hanya terdiri dari beberapa gubuk yang dibangun di tepi jalan. Gubuk-gubuk itu tanpa dinding, terdiri dari beberapa buah meja kasar dan bangku-bangku panjang sekadar tempat makan-minum orang yang berlalu-lalang. Maka, begitu dibanjiri oleh rombongan Perguruan Henshan, seketika rumah makan itu kewalahan, kurang beras dan kurang lauk. Untungnya rombongan ini membawa perbekalan yang cukup, sampai alat-alat masak pun dibawa pula. Segera mereka menanak nasi dan memasak sayur di samping gubuk-gubuk tersebut.
Terlalu lama duduk di dalam kereta membuat Linghu Chong merasa jemu. Untung lukanya sudah lumayan pulih setelah berkali-kali dibubuhi obat-obatan Henshan yang mujarab. Zheng E dan Qin Juan lantas memapahnya turun untuk kemudian duduk bersantai di bawah gubuk. Matanya memandang ke timur, dan hatinya berpikir, “Entah Adik Kecil akan datang kemari atau tidak?”
Ia lantas melihat debu mengepul tinggi dari jauh. Satu rombongan lagi sedang menuju ke tempat mereka. Ternyata rombongan Perguruan Qingcheng yang tiba. Sesampainya di kedai gubuk itu, mereka juga berhenti untuk menanak nasi. Yu Canghai tampak duduk sendiri menyanding meja, termangu-mangu tanpa bersuara.
Sepertinya Yu Canghai menyadari ajalnya sudah dekat, sehingga ia merasa tidak perlu sirik dan menghindari rombongan Perguruan Henshan lagi. “Hari ini aku paling-paling hanya mati saja. Jadi, apa sulitnya kalau orang-orang Henshan menyaksikan bagaimana dia akan membunuhku nanti?” pikirnya dalam hati.
Benar juga, tak lama kemudian dari arah barat terdengar derap kaki kuda. Tampak seorang pria muda memacu kudanya makin mendekat dengan perlahan. Penunggang kuda itu memakai baju sulam, siapa lagi kalau bukan Lin Pingzhi.
Sesampainya di depan gubuk, Lin Pingzhi lantas menghentikan kudanya. Orang-orang Qingcheng ternyata tidak ambil pusing kepadanya, bahkan melirik saja tidak. Semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Yang menanak nasi tetap menanak nasi, yang minum tetap enak-enak minum.
Hal ini benar-benar di luar dugaan Lin Pingzhi. Segera ia bergelak tawa dan berkata, “Kalian tidak mau menyerang lebih dulu, bukan berarti aku tidak jadi membunuh.” Usai berkata ia lantas melompat turun. Sekali menepuk pantat kuda, hewan itu pun menyingkir mencari rumput. Dilihatnya di samping meja sana masih terdapat bangku yang kosong. Segera ia pun melangkah dan duduk di situ.
(Bersambung)
Bagian 71 ; Bagian 72 ; Bagian 73