Bagian 75 - Akhir Hayat Sang Adik Kecil

Lin Pingzhi melanjutkan, “Beberapa kali ayahmu bermaksud menyela, namun hanya satu-dua kata saja langsung terhenti. Sebaliknya suara ibumu terdengar semakin lembut, berkata: ‘Kakak, ilmu pedang Perguruan Huashan memiliki keistimewaan tersendiri. Pelangi Ungu juga merupakan ilmu tenaga dalam yang sukar dicari tandingannya. Ilmu silat Perguruaan Huashan memiliki nama harum di dunia persilatan, maka kita tidak perlu mencuri belajar ilmu perguruan lain. Hanya saja, Zuo Lengchan memang sangat bernafsu mencaplok keempat perguruan lain. Bagaimanapun juga Perguruan Huashan yang berada di bawah kepemimpinanmu tidak boleh sampai jatuh ke dalam cengkeraman Zuo Lengchan. Mari kita bersekutu dengan Perguruan Taishan, Hengshan, dan Henshan, empat lawan satu kurasa pihak kita tetap lebih kuat. Seandainya kita pada akhirnya tidak bisa menang, namun kita harus tetap melawan mereka habis-habisan, sehingga di akhirat nanti kita tidak malu bertemu leluhur Perguruan Huashan.’”
Mendengar sampai di sini, Ren Yingying memuji, “Nyonya Yue memang benar-benar seorang kesatria wanita yang hebat, jauh lebih terhormat dan terpuji daripada suaminya.”
Terdengar Yue Lingshan berkata, “Apa yang dikatakan Ibu memang tidak salah.”
Lin Pingzhi mendengus, “Huh, tapi waktu itu ayahmu sudah mendapatkan kitab pusakaku dan sudah mulai mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, mana mau dia mendengar nasihat Ibu Guru?” Tiba-tiba saja ia menyebut “Ibu Guru”, pertanda dalam hatinya masih menghormati Ning Zhongze alias Nyonya Yue.
Kemudian ia melanjutkan cerita, “Waktu itu ayahmu menjawab: ‘Kau hanyalah melihat dari sudut pandang kaum wanita saja. Apabila kita mati dalam pertempuran tetap saja Perguruan Huashan jatuh ke tangan Zuo Lengchan. Apa dengan demikian kita masih berani bertemu muka dengan para leluhur di akhirat?’
Ibumu terdiam beberapa saat, lalu berkata: ‘Sebenarnya tujuanmu menyelamatkan Perguruan Huashan dengan segala daya upaya adalah sangat mulia. Hanya saja, Jurus Pedang Penakluk Iblis lebih banyak... lebih banyak merugikan jika dipelajari. Bukankah anak cucu keluarga Lin tidak ada yang mendalami ilmu pedang tersebut? Saaranku sebaiknya kau jangan melanjutkan berlatih ilmu pedang itu.’
Dengan suara keras ayahmu menjawab: ‘Dari mana kau tahu? Apa kau selalu mengintip gerak-gerikku?’
Ibumu menjawab: ‘Untuk apa susah payah mengintip kalau memang aku sudah tahu?’
Ayahmu berkata gusar: ‘Katakan, katakan padaku!’ Suaranya ini keras sekali sampai menggema di pegunungan yang sunyi itu. Meskipun keraas, namun suara bentakannya ini terkesan agak gemetar.
Ibumu tetap tenang menjawab: ‘Akhir-akhir ini suaramu banyak berubah, hal ini dapat dilihat jelas oleh siapa pun juga. Memangnya kau sendiri tidak sadar?’
Ayahmu masih saja mendebat: ‘Selamanya suaraku juga seperti ini.’
Ibumu berkata: ‘Setiap pagi di atas bantalmu selalu terdapat kumis dan janggut rontok...’
‘Kau melihatnya?’ sahut ayahmu.
Ibumu berkata: ‘Sudah lama aku melihatnya, namun aku diam saja. Kumis dan janggut palsu yang kau tempelkan mungkin dapat mengelabui orang lain, tapi mana bisa mengelabui adik seperguruan sekaligus istrimu yang telah mendampingimu selama puluhan tahun ini?’
Karena merasa rahasianya terbongkar, ayahmu tidak membantah lagi. Selang sejenak barulah ia bertanya: ‘Apakah orang lain ada yang tahu?’
Ibumu menjawab: ‘Tidak.’
Ayahmu bertanya lagi: ‘Bagaimana dengan Shan-er dan Ping-er?’
‘Mereka juga tidak tahu,’ kata ibumu.
Lalu ayahmu berkata: ‘Baik, aku menuruti nasihatmu. Jubah biksu ini akan kita carikan jalan agar kembali ke tangan Lin Pingzhi. Kemudian kita berusaha pula mencuci bersih nama baik Chong-er. Mulai malam ini aku pun takkan mendalami ilmu pedang yang menyesatkan ini lagi.’
Ibumu menjadi senang dan berkata: ‘Begitulah sebaiknya. Namun ilmu pedang keluarga Lin ini jelas-jelas merugikan siapa pun yang melatihnya, mana boleh kita mengembalikannya kepada Pingzhi? Kurasa lebih baik dimusnahkan saja.’”
Yue Lingshan menyahut, “Tentunya Ayah tidak setuju. Kalau Ayah setuju memusnahkan kitab pusaka itu tentu… tentu kau takkan berubah menjadi seperti ini.”
“Kau salah duga. Ayahmu ternyata setuju untuk memusnahkan kitab pusaka tersebut,” kata Lin Pingzhi. “Aku sendiri pun terkejut. Aku bermaksud bersuara untuk mencegahnya, sebab kitab pusaka itu adalah milik keluarga Lin kami. Ayahmu tidak punya hak untuk memusnahkannya. Pada saat itulah kudengar daun jendela dibuka. Seketika aku pun menunduk ke bawah. Tiba-tiba suatu benda dilemparkan keluar, ternyata jubah biksu merah tersebut yang dibuang, menyusul kemudian jendela lantas ditutup kembali. Melihat jubah biksu itu melayang ke bawah di sebelahku, kalau kubiarkan tentu akan jatuh ke dalam jurang. Aku berusaha menangkapnya namun meleset. Waktu itu aku merasa jubah itu adalah satu-satunya sarana untuk membalaskan kematian Ayah dan Ibu. Maka, tanpa pikir panjang aku segera menangkapnya dengan kaki sambil tanganku berpegangan pada batuan tebing. Hampir saja aku jatuh ke dasar jurang bersama jubah itu.”
Di tempat persembunyiannya Ren Yingying berpikir, “Kau akan lebih beruntung kalau membiarkan jubah itu hilang di dasar jurang.”
Tiba-tiba Yue Lingshan menyahut, “Ibu mengira Ayah telah membuang jubah biksu yang berisi salinan kitab pusaka keluargamu itu ke dalam jurang, padahal sebenarnya Ayah telah hafal semuanya di luar kepala. Dengan demikian jubah biksu tersebut jadi tidak berguna lagi, dan karena itu kau bisa mempelajarinya dengan tenang.”
“Benar,” sahut Lin Pingzhi.
“Rupanya sudah suratan takdir,” kata Yue Lingshan. “Sepertinya semua sudah diatur oleh Kehendak Langit agar kau dapat membalas sakit hati Ayah dan Ibu Mertua. Benar-benar... bagus.”
“Akan tetapi masih ada satu hal yang membuatku bingung. Beberapa hari ini aku selalu pusing jika memikirkannya. Masalahnya adalah, kenapa Zuo Lengchan juga mampu memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis?” ujar Lin Pingzhi.
“O,” sahut Yue Lingshan acuh tak acuh. Tampaknya ia tidak terlalu peduli apakah Zuo Lengchan benar-benar mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis atau tidak.
Sebaliknya Lin Pingzhi lantas berkata, “Kau tidak pernah belajar Jurus Pedang Penakluk Iblis, maka itu tidak mengetahui di mana letak keistimewaan ilmu pedang tersebut. Tempo hari sewaktu Zuo Lengchan bertempur melawan ayahmu di Panggung Pemujaan, ketika pertarungan mereka sudah memuncak, ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata sama-sama Jurus Pedang Penakluk Iblis. Hanya saja permainan Zuo Lengchan mula-mula tampak teratur dan hebat, namun pada akhirnya menjadi kacau. Setiap jurus seakan-akan sengaja mengalah kepada ayahmu. Untung saja ilmu pedangnya memiliki dasar yang kuat sehingga pada detik-detik paling berbahaya ia masih sanggup mengelak. Akan tetapi, tetap saja ia harus terjebak ke dalam lingkaran kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis ayahmu dan akhirnya kehilangan kedua mata. Kalau waktu itu ia menggunakan jurus pedang Perguruan Songshan dan dikalahkan oleh ayahmu, maka hal ini cukup masuk akal karena Jurus Pedang Penakluk Iblis memang tiada tandingannya di dunia ini. Namun Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan hanya setengah-setengah, dan sepertinya ia juga tidak mengebiri diri sendiri. Entah dari mana Zuo Lengchan mempelajari jurus pedang keluargaku itu?” Kata-katanya yang terakhir itu mencerminkan suasana hatinya yang dirundung kebingungan mendalam.
Ren Yingying berpikir, “Sepertinya sudah cukup aku mendengarkan percakapan mereka. Mungkin Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan adalah hasil curian sehingga ia hanya menguasai beberapa gerakan saja. Andai saja kau tahu, ilmu silat Dongfang Bubai jauh lebih hebat daripada Yue Buqun. Tentu kau akan semakin bingung memikirkannya dan bisa-bisa kepalamu pecah.
Ren Yingying kemudian melangkah mundur perlahan-lahan. Tiba-tiba terdengar suara derap kaki beberapa ekor kuda dari jauh menuju ke tempat itu. Sepertinya ada lebih dari dua puluh orang penunggang kuda yang datang. Khawatir terjadi sesuatu atas diri Linghu Chong, ia pun lekas-lekas melangkah pergi menuju ke tempat keretanya sendiri.
“Kakak Chong, ada orang datang!” katanya lirih.
“Eh, apa kau mencuri dengar lagi tentang orang membawa daging sebagai umpan anjing di rumah si gadis? Kenapa kau mendengarkan sekian lama?” sahut Linghu Chong sambil tertawa mengolok-olok.
“Cih!” sahut Ren Yingying dengan wajah merah karena teringat ajakan Yue Lingshan yang ingin melakukan hubungan suami-istri dengan Lin Pingzhi di dalam kereta tadi. “Mereka… mereka sedang berbicara tentang… tentang Jurus Pedang Penakluk Iblis.”
“Ah, cara bicaramu gelagapan, tentu ada sesuatu yang menarik. Ayo naik ke sini dan ceritakan kepadaku dengan lebih jelas,” pinta Linghu Chong.
“Tidak mau, aku tidak mau!” sahut Ren Yingying.
“Kenapa tidak mau?” Linghu Chong memaksa.
“Tidak mau ya tidak mau,” kata Ren Yingying.
Sementara itu suara derap kaki kuda yang riuh tersebut terdengar sudah makin mendekat. Ren Yingying berkata, “Dari jumlahnya tentu mereka adalah murid-murid Perguruan Qingcheng yang selamat. Rupanya mereka benar-benar menyusul kemari untuk menuntut balas.”
Segera Linghu Chong bangkit untuk duduk. “Mari kita maju perlahan-lahan. Masih ada cukup waktu,” ajaknya.
Ren Yingying memahami perasaan Linghu Chong yang khawatir terhadap keselamatan sang adik kecil dan ingin melindunginya apapun yang terjadi. Ia sendiri siap melaksanakan keinginan Linghu Chong itu namun tidak tega pula jika meninggalkannya seorang diri. Maka perlahan-lahan ia pun menurunkan tubuh pemuda itu dari atas kereta.
Ketika kaki Linghu Chong menyentuh tanah, lukanya kembali terasa sakit dan ia pun terhuyung-terhuyung. Segera tangannya memegang roda kereta. Sejak tadi keledai-keledai penarik kereta itu diam saja. Kini begitu kereta sedikit bergerak, segera hewan-hewan itu mengira perjalanan hendak dilanjutkan. Masing-masing pun menegakkan kepala bermaksud hendak meringkik.
Namun gerakan Ren Yingying sangat cepat. Pedangnya lantas menebas sehingga kepala semua keledai itu terpenggal dan berjatuhan di tanah sebelum sempat bersuara. Diam-diam Linghu Chong memuji kehebatan Ren Yingying, bukan karena gerak pedangnya, tapi karena tindakannya yang tegas. Mengenai bagaimana kereta mereka untuk selanjutnya dapat berjalan itu urusan nanti.
Linghu Chong buru-buru melangkah ke depan karena mendengar derap kaki kuda-kuda itu semakin dekat. Melihat langkahnya yang tertatih-tatih Ren Yingying berpikir, “Kakak Chong ingin secepatnya mendekati tempat Nona Yue sebelum musuh datang. Tapi ini bisa membuat lukanya bertambah buruk. Namun jika aku membantunya, apakah ia tidak merasa malu?”
Sementara itu terdengar suara derap kuda sudah makin mendekat. Ren Yingying akhirnya berseru, “Maaf, Kakak Chong!” Tanpa menunggu jawaban ia lantas memegang punggung dan pinggang pemuda itu lalu mengangkatnya dengan mengerahkan tenaga dalam. Secepat kilat keduanya pun masuk dan menelusuri ladang jagung yang lebat itu.
Linghu Chong bersyukur namun juga merasa geli. Ia seorang ketua Perguruan Henshan, namun digendong oleh seorang gadis bagaikan bayi. Andai kejadian ini dilihat orang lain tentu bisa runyam. Namun kalau Ren Yingying tidak cepat mengambil tindakan, bisa jadi orang-orang Perguruan Qingcheng tiba lebih dulu, tentu sang adik kecil akan celaka. Linghu Chong merasa Ren Yingying memang benar-benar bisa menyelami isi hatinya sehingga berbuat demikian.
Tidak lama kemudian jarak kedua pihak sudah semakin dekat. Ren Yingying mencoba melongok keluar. Dalam kegelapan tampak satu barisan obor datang dari jurusan lain jalan raya tersebut.
“Berani benar mereka mengejar musuh dengan membawa obor,” kata Ren Yingying.
“Mereka sudah gelap mata. Setelah kematian guru mereka, rupanya orang-orang Qingcheng ini ingin bertempur habis-habisan. Aduh, ini sungguh mengerikan,” jawab Linghu Chong.
Tiba-tiba Ren Yingying menyahut, “Celaka! Jangan-jangan mereka hendak membakar kereta Nona Yue!”
“Lekas kita hadang mereka agar tidak sampai kemari,” kata Linghu Chong.
“Jangan khawatir. Kita masih mampu untuk menolong mereka,” ujar Ren Yingying.
Linghu Chong sadar kepandaian Ren Yingying cukup tinggi. Yu Canghai juga sudah mati, maka sisa orang-orang Perguruan Qingcheng yang datang itu tentu tidak perlu ditakuti lagi.
Ren Yingying menggendong tubuh Linghu Chong sampai pada jarak belasan meter dari kereta Yue Lingshan, kemudian perlahan-lahan ia pun menurunkan pemuda itu. “Duduklah yang tenang dan jangan bergerak,” ujarnya.
Sementara itu terdengar Yue Lingshan sedang berkata di dalam keretanya, “Musuh sudah datang secepat ini. Mereka pasti kawanan tikus dari Perguruan Qingcheng.”
“Dari mana kau tahu?” tanya Lin Pingzhi.
“Mereka tahu kita terluka sehingga berani datang dengan membawa obor,” ujar Yue Lingshan.
“Mereka membawa obor?” sahut Lin Pingzhi menegas.
“Benar,” jawab Yue Lingshan.
Penderitaan Lin Pingzhi yang sudah lama membuat pikirannya jauh lebih tajam dan waspada daripada Yue Lingshan. Segera ia pun berkata, “Lekas turun ke bawah. Kawanan tikus itu hendak membakar kereta ini!”
“Baik,” sahut Yue Lingshan. Dengan cepat ia melompat turun dari kereta, lalu memegang tangan Lin Pingzhi untuk membantu suaminya itu melompat turun pula. Keduanya lantas menyingkir ke tepi jalan dan menyusup ke tengah tanaman jagung. Tempat mereka kini hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat Ren Yingying dan Linghu Chong bersembunyi.
Sementara itu orang-orang Perguruan Qingcheng sudah tiba dan mengepung kereta kosong tersebut. Seorang di antaranya lantas berteriak, “Lin Pingzhi, anjing kau! Apa kau ingin menjadi kura-kura? Mengapa kau tidak menongolkan kepalamu keluar?”
Namun keadaan kereta itu sunyi senyap tiada jawaban terdengar. Segera seorang di antara mereka kembali berkata, “Mungkin dia sudah melarikan diri dan meninggalkan kereta ini.”
Tiba-tiba api obor memecah kegelapan. Tampak sebuah obor dilemparkan ke arah kereta. Tapi mendadak dari dalam kereta menjulur keluar sebuah tangan yang langsung menangkap obor itu dan melemparkannya kembali.
Kontan orang-orang Perguruan Qingcheng menjadi panik dan berteriak, “Bangsat! Anjing itu berada di dalam kereta!”
Melihat dari dalam kereta tiba-tiba menjulur keluar tangan seseorang, tentu saja membuat Ren Yingying dan Linghu Chong terheran-heran. Mereka tidak menyangka ada orang lain yang juga bersembunyi dan bermaksud menolong Lin Pingzhi. Sementara itu Yue Lingshan jelas lebih terkejut lagi. Sekian lama ia berbicara dengan Lin Pingzhi, sama sekali tak terduga bahwa di dalam keretanya bersembunyi orang lain. Kalau dilihat dari cara orang itu melemparkan kembali obor kepada musuh, sepertinya ia memiliki ilmu silat yang tidak rendah.
Murid-murid Perguruan Qingcheng berturut-turut melemparkan obor di tangan masing-masing ke arah kereta, namun semuanya dapat ditangkap dan dilemparkan kembali oleh orang itu. Jumlah obor yang dilempar dan dikembalikan mencapai lebih dari delapan buah. Meskipun obor-obor itu tidak sampai melukai seorang pun di antara mereka, namun sudah cukup untuk membuat orang-orang Qingcheng tidak berani melempar lagi. Mereka lantas mengelilingi kereta itu sambil memaki-maki, “Anak kura-kura itu tidak berani keluar. Mungkin dia terluka parah dan hampir mampus!”
Di bawah cahaya obor yang masih tersisa tampak dengan jelas bahwa orang yang bersembunyi di dalam kereta itu memiliki lengan yang kurus kering dan keriput, jelas merupakan lengan seorang tua.
“Dia bukan Lin Pingzhi,” seru salah seorang.
“Dia juga bukan istrinya,” seru yang lain.
Orang-orang Qingcheng itu menjadi ragu dan tidak berani sembarangan bergerak. Tiba-tiba sekitar dua puluhan di antara mereka serentak menusukkan pedang masing-masing ke dalam kereta. Maka muncullah sesosok laki-laki meloncat keluar menembus atap kereta dengan sinar pedang gemerlapan. Tahu-tahu orang itu sudah melompat ke belakang barisan orang-orang Qingcheng tersebut. Begitu pedangnya bergerak, seketika dua orang lawan jatuh terkapar.
Orang itu memakai baju kuning seperti seragam Perguruan Songshan. Hanya saja wajahnya memakai kedok kain hijau, sehingga tidak bisa dikenali, kecuali sepasang matanya yang bersinar tajam. Perawakan orang itu sangat tinggi, pedangnya pun bergerak begitu cepat. Hanya beberapa jurus saja kembali dua murid Qingcheng yang lain roboh pula.
Melihat pertempuran itu tangan Linghu Chong menggenggam erat tangan Ren Yingying. Keduanya sama-sama berpikir, “Dia memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis.”
Ditinjau dari bentuk tubuhnya, orang itu jelas bukan Yue Buqun, apalagi Zuo Lengchan yang sudah buta. Kembali mereka berdua berpikiran sama, “Ternyata selain Yue Buqun, Lin Pingzhi, dan Zuo Lengchan, masih ada orang keempat yang bisa memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis.”
Sementara itu Yue Lingshan berkata lirih kepada Lin Pingzhi, “Adik Ping, orang itu memainkan jurus pedang yang mirip denganmu.”
“Apa?” sahut Lin Pingzhi tidak percaya. “Dia… dia juga dapat memainkan ilmu pedangku? Apa kau tidak… tidak keliru?”
Dalam pertempuran tersebut kembali tiga orang murid Qingcheng roboh terkena pedang lawan. Kini Linghu Chong dan Ren Yingying sudah dapat melihat dengan jelas. Meski jurus yang dimainkan orang itu adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis, namun kecepatannya masih kalah jauh dibandingkan Yue Buqun dan Lin Pingzhi, apalagi jika dibandingkan dengan Dongfang Bubai. Hanya saja ilmu silat orang itu cukup tinggi, ditambah jurus-jurus yang ia gunakan memang mengagumkan, sehingga masih lebih unggul menghadapi orang-orang Qingcheng yang jauh lebih banyak.
“Ilmu pedangnya mirip denganmu, tapi gerakannya masih tidak secepat dirimu,” kata Yue Lingshan lagi.
“Gerakannya masih kurang cepat? Ini jelas tidak sesuai dengan intisari ilmu pedang keluargaku,” ujar Lin Pingzhi. “Akan tetapi siapa… siapa dia? Mengapa dapat memainkan jurus pedang kami?”
Di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba seorang murid Perguruan Qingcheng dadanya tembus oleh pedang orang itu. Menyusul kemudian orang bercadar itu menggertak keras, pedangnya lantas ditarik dan menebas pula. Kontan seorang di belakangnya terpotong dua sebatas pinggang. Orang-orang Perguruan Qingcheng yang lain menjadi ngeri dan sama-sama melompat mundur.
Kembali orang itu menggertak keras dan menerjang maju. Tiba-tiba seorang murid Qingcheng menjerit ketakutan dan kemudian memutar tubuh melarikan diri. Kawan-kawannya menjadi takut pula dan beramai-ramai mereka menyusul kabur.
Dari napasnya yang memburu, Linghu Chong dan Ren Yingying dapat menduga bahwa dalam pertempuran sengit tadi orang itu cukup banyak membuang tenaga, bahkan mungkin juga terluka dalam.
Beberapa obor yang berserakan di tanah masih menyala sehingga dapat terlihat orang tua bercadar itu terengah-engah cukup lama. Setelah agak tenang, orang tua berbaju kuning itu menyarungkan kembali pedangnya, lalu berseru, “Pendekar Lin dan Nyonya Lin, aku dikirim Ketua Zuo dari Perguruan Songshan untuk datang memberi bantuan.” Dari suaranya yang bernada rendah dan serak itu sepertinya ia sedang mengulum sesuatu di mulutnya, seolah sedang menyamarkan suara agar tidak dikenali orang lain.
“Terima kasih banyak atas bantuan Anda. Kalau boleh tahu, siapakah nama Anda yang mulia ini?” sahut Lin Pingzhi sambil keluar dari tempat persembunyiannya bersama Yue Lingshan.
Orang tua itu berkata, “Ketua Zuo mendengar bahwa Pendekar Lin bersama Nyonya terluka parah setelah membasmi para penjahat. Kini Pendekar Lin berdua handak disergap musuh di tengah jalan. Aku diperintahkan Beliau untuk melindungi Pendekar Lin berdua dan mencari suatu tempat istirahat yang aman, supaya tidak bisa ditemukan oleh ayah-mertuamu.”
Baik Linghu Chong dan Ren Yingying maupun Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sama-sama heran dari mana Zuo Lengchan mendapat keterangan sejelas itu.
Lin Pingzhi lantas menjawab, “Maksud baik Ketua Zuo dan Tuan yang mulia sungguh sangat kuhargai. Mengenai luka ini bisa kupulihkan sendiri, dan aku tidak berani merepotkan Tuan.”
Orang tua itu kembali berkata, “Tapi kedua mata Pendekar Lin terkena racun si bungkuk, sungguh sukar kiranya untuk bisa melihat kembali. Kalau Pendekar Lin tidak diobati secara langsung oleh Ketua Zuo, bisa jadi… bisa jadi mata Pendekar Lin sukar untuk dipertahankan.”
Sejak kedua matanya terkena air beracun dari punggung Mu Gaofeng, baik mata maupun muka Lin Pingzhi terasa kaku dan gatal luar biasa. Bahkan karena gusarnya, hampir-hampir ia mencongkel kedua biji matanya sendiri. Syukur ia masih mampu bertahan sedapat mungkin.
Setelah termenung sejenak, Lin Pingzhi menjawab, “Aku bukan teman ataupun keluarga Ketua Zuo, tapi mengapa Ketua Zuo menaruh perhatian sedemikian rupa kepadaku? Silakan Tuan menjelaskan lebih dulu. Kalau tidak, sukar bagiku untuk menerima maksud baik Beliau.”
Orang itu tertawa terkekeh dan berkata, “Peribahasa mengatakan: ‘Musuh dari musuhku adalah teman’. Ketua Zuo kehilangan penglihatan karena dicelakai secara licik oleh Yue Buqun. Kalau Yue Buqun mendengar Pendekar Lin mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis, meski Pendekar Lin berusaha menyingkir ke ujung dunia sekalipun juga akan diburu olehnya. Kini dia sudah menjadi ketua Perguruan Lima Gunung. Kekuasaannya besar, pengaruhnya pun luas. Memangnya kau seorang diri hendak bersembunyi ke mana lagi? Hehe, apalagi putri kesayangan Yue Buqun senantiasa mendampingimu siang dan malam. Meski Pendekar Lin memiliki kepandaian setinggi langit, namun tetap sulit berjaga-jaga terhadap musuh di samping bantal….”
“Kakak Kedua, ternyata dirimu!” mendadak Yue Lingshan berteriak.
Seketika perasaan Linghu Chong tergetar mendengarnya. Suara orang tua yang samar-samar dan serak itu memang seperti sudah dikenalnya. Kini setelah Yue Lingshan berteriak, ia pun langsung sadar bahwa orang tua itu memang Lao Denuo, bekas adik seperguruannya. Namun dulu ia mendengar dari Yue Lingshan bahwa Lao Denuo terbunuh di Kota Fuzhou. Jika demikian, kabar tersebut bisa jadi tidak benar.
Terdengar orang tua itu berkata dingin, “Hm, bocah yang cukup cerdik. Kau dapat mengenali suaraku.” Kali ini ia bicara dengan menggunakan suara yang sebenarnya, sehingga semakin jelas bahwa orang itu memang benar-benar Lao Denuo.
Yue Lingshan berkata, “Kakak Kedua, di Kota Fuzhou dulu apakah kau pura-pura mati dibunuh musuh? Kalau begitu, tentu… tentunya kau juga yang telah membunuh Kakak Kedelapan, bukan?”
“Bukan,” sahut Lao Denuo. “Ying Bailuo hanya seorang bocah. Apa untungnya aku membunuh dia?”
“Kau masih juga menyangkal?” sahut Yue Lingshan gusar. “Luka di punggung Adik Ping waktu itu juga akibat perbuatanmu,” sahut Yue Lingshan. “Padahal selama ini... selama ini aku telah menuduh Kakak Pertama. Hm, perbuatanmu sungguh keji. Kau pura-pura mati dengan cara membunuh seorang tua dan merusak wajahnya hingga hancur, lalu kau dandani dia dengan pakaianmu. Akibatnya, kami semua mengira kau telah mati dibunuh musuh.”
“Dugaanmu memang tidak salah,” jawab Lao Denuo. “Kalau tidak begitu, mana mungkin Yue Buqun membiarkan aku lolos? Hanya saja, luka di punggung Pendekar Lin itu bukanlah hasil perbuatanku.”
“Bukan kau? Memangnya masih ada orang lain?” kata Yue Lingshan.
“Bukan orang lain, tapi pelakunya adalah ayahmu sendiri,” jawab Lao Denuo.
“Omong kosong!” teriak Yue Lingshan. “Kau sendiri yang berbuat, tapi masih memfitnah orang lain. Tanpa sebab yang jelas mengapa ayahku melukai Adik Ping?”
“Masalahnya waktu itu ayahmu baru saja mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis dari tubuh Linghu Chong,” jawab Lao Denuo. “Kitab pusaka itu adalah milik keluarga Lin, maka orang pertama yang harus dibunuh oleh ayahmu tentu saja Adik Ping-mu ini. Bila Lin Pingzhi masih hidup di dunia, mana mungkin ayahmu dapat mendalami ilmu tersebut dengan baik?”
Ucapan Lao Denuo ini membuat Yue Lingshan terdiam. Dalam hati kecilnya ia percaya apa yang dikatakan orang tua itu memang masuk akal. Namun bagaimana sang ayah tega menyergap Lin Pingzhi secara keji hal ini masih sukar untuk ia terima.
Maka setelah mengucap “omong kosong” beberapa kali, ia pun berkata lagi, “Jika ayahku hendak membunuh Adik Ping, mana mungkin dalam sekali serang tidak langsung membuatnya meninggal?”
Tiba-tiba Lin Pingzhi membuka suara, “Luka di punggungku waktu itu memang benar-benar hasil perbuatan Yue Buqun. Ucapan Kakak Kedua memang tidak salah.”
“Kau... kau juga percaya kepadanya?” ujar Yue Lingshan.
“Ketika terkena serangan itu, lukaku sangat parah. Aku sadar tidak mampu melawan. Maka begitu roboh, aku langsung berpura-pura mati tanpa bergerak lagi. Waktu itu aku belum tahu kalau si penyerang adalah Yue Buqun sendiri,” ujar Lin Pingzhi. “Dalam keadaan hampir tidak sadar, samar-samar kudengar suara Kakak Kedelapan memanggil ‘Guru!’. Namun kemudian ia kehilangan nyawa pula.”
“Jadi menurutmu... Kakak Kedelapan juga… juga dibunuh oleh ayahku?” sahut Yue Lingshan menegas.
“Memang begitulah adanya,” jawab Lin Pingzhi. “Aku mendengar Kakak Kedelapan menjerit dan kemudian roboh. Aku sendiri lantas jatuh pingsan. Kakak Kedelapan telah menolongku dengan mengorbankan nyawanya sendiri.”
Lao Denuo menyambung, “Sebenarnya Yue Buqun hendak menambah satu tusukan lagi kepadamu. Waktu itu aku baru saja menaruh mayat orang lain pengganti diriku di halaman rumahmu. Aku sempat mengintai perbuatan Yue Buqun tersebut. Di tempat persembunyianku perlahan aku berdehem sehingga membuat Yue Buqun gentar, dan lekas-lekas kembali ke kamarnya. Ternyata suara dehemku itulah yang menyelamatkan nyawamu, Pendekar Lin?”
Yue Lingshan semakin gugup dan berkata, “Kalau... kalau Ayah benar berniat membunuhmu, kesempatan selanjutnya bukankah cukup banyak? Mengapa Ayah tidak turun tangan lagi?”
“Hm, setelah kejadian itu aku menjadi lebih waspada, sehingga tiada lagi kesempatan Yue Buqun untuk turun tangan,” ujar Lin Pingzhi. “Keberadaanmu juga sangat menguntungkan. Setiap hari kita selalu bersama, sehingga membuatnya tidak leluasa untuk membunuhku.”
“Ternyata… ternyata kau menikah denganku selain untuk mengelabui banyak orang, juga untuk... untuk menjadikanku sebagai tameng belaka,” kata Yue Lingshan sambil menangis tersedu-sedu.
Lin Pingzhi tidak peduli dengan tangisan istrinya itu. Ia lalu berkata, “Saudara Lao, sejak kapan kau berhubungan dengan Ketua Zuo?”
Lao Denuo menjawab, “Ketua Zuo adalah guruku yang terhormat. Aku adalah muridnya yang nomor tiga.”
“O, ternyata kau sudah berganti perguruan,” kata Lin Pingzhi.
“Aku tidak pindah perguruan,” jawab Lao Denuo. “Sejak dulu aku memang murid Perguruan Songshan. Hanya saja selama ini aku ditugasi guruku untuk menyusup ke dalam Perguruan Huashan. Tujuannya adalah untuk menyelidiki ilmu silat Yue Buqun serta gerak-gerik setiap orang Huashan.”
Baru sekarang Linghu Chong paham permasalahannya. Ketika Lao Denuo masuk Perguruan Huashan memang ia sudah mahir ilmu silat. Hanya saja yang diperlihatkannya adalah ilmu silat campuran dari berbagai golongan. Sungguh tak disangka kalau ia sebenarnya murid Perguruan Songshan. Rupanya memang sudah lama Zuo Lengchan merencanakan pencaplokan terhadap keempat perguruan yang lain. Ia pasti telah menaruh mata-matanya di mana ia merasa perlu. Maka, kenapa Lao Denuo tega membunuh Lu Dayou serta mencuri kitab Pelangi Ungu telah terjawab sudah. Hanya saja, bagaimana mungkin seorang cerdik seperti Yue Buqun, ternyata dapat dikelabui juga oleh Lao Denuo.
Kembali terdengar Lin Pingzhi berkata, “Saudara Lao telah berhasil membawa kitab Pelangi Ungu dan Jurus Pedang Penakluk Iblis ke Gunung Songshan sehingga Ketua Zuo berhasil mendalami ilmu sakti tersebut. Jasa Saudara Lao terhadap perguruan sungguh besar.”
Linghu Chong dan Ren Yingying manggut-manggut sependapat dengan ucapan Lin Pingzhi itu. Kini terjawab pula mengapa Zuo Lengchan dan Lao Denuo dapat memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis, meski tidak sempurna. Ternyata pikiran Lin Pingzhi dapat bekerja dengan cepat untuk menarik kesimpulan yang tepat pula.
Lao Denuo menjawab, “Saudara Lim, kita berdua, juga guruku yang berbudi telah sama-sama ditipu mentah-mentah oleh si keparat Yue Buqun. Orang itu benar-benar culas dan keji. Kita semua telah diperdaya olehnya.”
“Hm, aku paham,” ujar Lin Pingzhi. “Tentu Kitab Pedang Penakluk Iblis yang dicuri Saudara Lao adalah palsu, yaitu hasil tulisan tangan Yue Buqun. Maka dari itu….”
“Maka dari itu dalam pertandingan di Panggung Pemujaan si bangsat Yue Buqun mampu mengalahkan guruku, begitu?” sahut Lao Denuo sambil mengertakkan gigi.
Lin Pingzhi mengangguk. Dalam hati ia membayangkan bagian yang dihapus dalam kitab palsu tersebut antara lain pasti mengenai syarat untuk meningkatkan tenaga dalam, yaitu dengan cara mengebiri diri sendiri. Pantas saja Zuo Lengchan dan Lao Denuo masih tetap menjadi laki-laki asli meski mempelajari ilmu pedang tersebut.
Lao Denuo berkata dengan gemas, “Rupanya sudah sejak lama Yue Buqun menaruh curiga kepadaku. Maka begitu mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis, lekas-lekas ia menulis salinannya dengan banyak pengurangan di sana-sini. Kitab pusaka yang kuperoleh itu ternyata banyak bagiannya yang kurang. Terutama… terutama bagian-bagian yang penting, sehingga jurus pedang yang kami latih meskipun bagus, ternyata tidak secepat Yue Buqun dan Saudara Lin. Kemudian pada pertarungan yang menentukan itu dia memancing guruku untuk memainkan ilmu pedang palsu tersebut. Akibatnya, dia pun memenangkan pertandingan dan merebut jabatan ketua Perguruan Lima Gunung.”
“Benar, Yue Buqun memang benar-benar licik dan culas. Kita sama-sama telah masuk ke dalam perangkapnya,” ujar Lin Pingzhi menghela napas.
“Namun guruku seorang yang bijaksana. Meski aku telah membuat urusannya menjadi runyam, namun tidak sepatah kata pun Beliau menegur diriku,” kata Lao Denuo kemudian. “Namun sebagai seorang murid jelas hatiku merasa tidak tenteram. Biarpun masuk lautan api atau mendaki gunung pedang juga aku akan berusaha membinasakan keparat Yue Buqun untuk membalaskan sakit hati Guru.” Ucapan yang terakhir ini dilontarkannya dengan tegas dan gemas. Sepertinya ia memang benar-benar sangat dendam luar biasa terhadap Yue Buqun.
Lin Pingzhi tidak menanggapi. Ia sendiri sedang merenungkan kata-kata orang tua itu.
Lao Denuo pun melanjutkan, “Kedua mata guruku telah rusak. Saat ini Beliau tinggal di puncak barat Gunung Songshan bersama belasan orang yang juga rusak matanya karena perbuatan Linghu Chong. Bila Pendekar Lin sudi ikut aku ke sana sebagai satu-satunya ahli waris Jurus Pedang Penakluk Iblis, tentu Beliau akan menyambutmu dengan segala kehormatan. Syukur kalau kedua matamu dapat disembuhkan, kalau tidak, tinggal saja di sana bersama guruku untuk bersama-sama memikirkan bagaimana cara menuntut balas sakit hati kita yang mahabesar ini. Bukankah ini adalah jalan yang terbaik?”
Lin Pingzhi tertarik juga mendengarnya. Kedua matanya yang telah rusak itu tentu sukar untuk bisa sembuh kembali. Namun kalau bisa berkumpul dengan orang-orang senasib yang sama-sama buta, maka manfaatnya dapat saling bertukar pikiran untuk menuntut balas. Ini memang jalan yang paling baik. Hanya saja ia pun kenal sifat Zuo Lengchan, bila tidak menyimpan maksud dan tujuan tertentu mustahil tiba-tiba begitu baik kepadanya. Maka ia lantas menjawab, “Terhadap maksud baik Ketua Zuo sungguh aku sangat berterima kasih. Tapi apakah Saudara Lao dapat memberi penjelasan yang lebih lengkap?”
Lao Denuo paham maksud pertanyaan Lin Pingzhi. Dengan bergelak tawa ia pun berkata, “Pendekar Lin ternyata seorang yang suka berpikir secara terbuka. Baiklah, agar kelak kita dapat bekerja sama dengan lebih baik, tentu akan kujelaskan secara terus terang. Kami, guru dan murid telah tertipu karena mendaapatkan kitab palsu. Di sepanjang jalan telah kusaksikan bagaimana Pendekar Lin memperlihatkan kesaktian ilmu pedang yang hebat itu untuk membunuh Mu Gaofeng, Yu Canghai, dan para begundalnya. Jelas sekali kau telah memperoleh ajaran asli dari Jurus Pedang Penakluk Iblis yang asli. Sungguh aku sangat kagum dan juga… dan juga sangat tertarik….”
Lin Pingzhi dapat menangkap maksud orang tua itu. Ia kemudian menjawab, “Apakah maksud Saudara Lao hendak memintaku untuk memperlihatkan kitab pusaka yang asli kepada kalian?”
“Sebenarnya orang luar tidaklah pantas mengincar harta pusaka milik keluargamu itu,” jawab Lao Denuo. “Tapi hendaklah Pendekar Lin maklum, keadaan Guru dan Pendekar Lin saat ini jelas tidak mampu untuk membunuh keparat Yue Buqun itu, kecuali kalau Guru dan aku dapat mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis yang asli.”
Sesungguhnya Lin Pingzhi memang sedang bingung bagaimana hidup selanjutnya dalam keadaan buta seperti itu. Apalagi sekarang kalau dirinya menolak tentu Lao Denuo akan menggunakan kekerasan untuk membunuhnya dan juga Yue Lingshan.
Tiba-tiba ia mendapat akal dan segera berkata, “Ketua Zuo sudi bersatu denganku, sungguh aku merasa mendapat kehormatan besar. Keluarga Lin kami hancur dan aku menjadi cacad adalah gara-gara perbuatan Yu Canghai dan Mu Gaofeng, tapi tipu muslihat yang dirancang Yue Buqun terhitung pula sebagai penyebab utama. Sudah tentu, keinginanku membunuh Yue Buqun tidak ubahnya seperti kalian berdua, guru dan murid. Maka itu jika kita bersatu padu, Jurus Pedang Penakluk Iblis akan kuperlihatkan kepada kalian semuanya.”
Lao Denuo sangat senang dan berkata, “Pendekar Lin ternyata sudi berbaik hati, sungguh kami sangat berterima kasih bila dapat melihat secara langsung Kitab Pedang Penakluk Iblis yang asli. Untuk selanjutnya, Adik Lin tak ubahnya seperti saudara sendiri bagi kami.”
“Terima kasih,” kata Lin Pingzhi. “Setelah sampai di Gunung Songshan, segera Kitab Pedang Penakluk Iblis yang asli itu akan kuuraikan seluruhnya di luar kepala.”
“Menguraikannya di luar kepala?” Lao Denuo menegas.
“Ya,” jawab Lin Pingzhi. “Hendaknya Saudara Lao maklum bahwa kitab pusaka asli itu oleh leluhurku telah ditulis pada sebuah jubah biksu. Jubah itu telah dikangkangi oleh Yue Buqun, dan dari situ dia dapat mencuri ilmu pedang keluargaku. Namun kemudian secara kebetulan jubah biksu itu jatuh kembali ke tanganku. Karena aku khawatir Yue Buqun mengetahuinya, maka aku pun menghafalkan isi kitab pusaka itu di luar kepala, lalu jubah biksu itu kumusnahkan. Bila masih kusimpan jubah tersebut, sementara aku selalu didampingi seorang istri setia seperti dia, mana mungkin aku dapat hidup sampai sekarang?”
Sejak tadi Yue Lingshan hanya diam tanpa bicara. Kini begitu mendengar sindiran itu, kembali ia menangis sedih. Dengan suara terputus-putus ia berkata, “Kau… kau kenapa….” Namun ia tidak sanggup melanjutkan lagi.
Karena Lao Denuo sejak tadi bersembunyi di dalam kereta, maka ia mendengar semua percakapan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan. Ia pun percaya apa yang dikatakan Lin Pingzhi itu memang bukan omong kosong belaka. “Baiklah, apakah sekarang juga kita bisa berangkat ke Songshan?” ujarnya kemudian.
Tanpa pikir panjang Lin Pingzhi manjawab, “Baik!”.
“Kita harus membuang kereta keledai ini dan menunggang kuda dengan mengambil jalan kecil. Aku khawatir bertemu Yue Buqun jika tetap melewati jalan raya, karena kita bukan tandingannya,” kata Lao Denuo. Kemudian ia berpaling kepada Yue Lingshan dan bertanya, “Adik Kecil, apakah kau akan membantu ayah atau membantu suami?”
“Aku tidak akan membantu siapa pun juga!” sahut Yue Lingshan tegas. “Aku… aku memang bernasib buruk. Esok hari aku akan langsung mencukur rambut dan menjadi biarawati. Apakah dia ayah atau suami, selanjutnya aku takkan berjumpa lagi dengan mereka.”
“Sungguh tepat kalau kau menjadi biksuni di Henshan,” sahut Lin Pingzhi.
“Lin Pingzhi!” teriak Yue Lingshan gusar. “Apakah kau sudah lupa, dulu kau hampir mampus di Kota Hengshan. Kalau bukan karena ditolong Ayah tentu jiwamu sudah melayang di tangan Mu Gaofeng? Andaikan ayahku berbuat suatu kesalahan, aku, Yue Lingshan tetap saja tidak berbuat suatu hal yang keliru padamu. Apa maksudmu dengan berkata seperti itu?”
“Apa maksudku? Aku hanya ingin membuktikan tekadku kepada Ketua Zuo,” sahut Lin Pingzhi. Suaranya terdengar bengis dan kejam.
Tiba-tiba terdengar Yue Lingshan menjerit ngeri. Tanpa pikir panjang Linghu Chong dan Ren Yingying melompat keluar dari tempat persembunyian. Linghu Chong lantas berteriak, “Lin Pingzhi, jangan kau sakiti Adik Kecil!”
Keduanya dalam keadaan menyamar serta suasana masih gelap tengah malam pula. Sebenarnya Lao Denuo tidak mengenali mereka. Namun begitu mendengar suara Linghu Chong seketika dirinya pun sangat terkejut. Hampir-hampir sukmanya lepas meninggalkan raga.
Saat ini yang paling ditakuti Lao Denuo selain Yue Buqun hanyalah Linghu Chong seorang. Maka tanpa pikir lagi segera ia mencengkeram bahu Lin Pingzhi lantas melompat hinggap di atas kuda tinggalan orang-orang Perguruan Qingcheng tadi dan segera melarikan hewan itu sekencang-kencangnya.
Karena mengkhawatirkan keselamatan Yue Lingshan, Linghu Chong tidak sempat berpikir untuk mengejar musuh. Dilihatnya Yue Lingshan tergeletak di tempat kusir keretanya. Pada dada nyonya muda itu tampak tertancap sebatang pedang. Keadaannya begitu parah, pernapasannya sudah sangat lemah, begitu pula denyut nadinya.
“Adik Kecil! Adik Kecil!” Linghu Chong berseru.
“Apakah… apakah Kakak Pertama?” jawab Yue Lingshan lemah.
“Ya… ya, ini aku!” sahut Linghu Chong senang.
Segera ia bermaksud mencabut pedang yang menancap di dada Yue Lingshan itu, tapi Ren Yingying lebih dulu mencegahnya. Ternyata hampir separuh batang pedang itu telah masuk ke dalam tubuh Yue Lingshan sampai tembus ke punggung. Kalau pedang itu dicabut pasti akan mempercepat kematiannya. Jelas Yue Lingshan sukar diselamatkan lagi.
Linghu Chong sangat berduka. Sambil menangis ia menyebut, “Adik… Adik Kecil!”
“Kakak Pertama, kau berada di sampingku, sungguh baik sekali,” kata Yue Lingshan dengan suara lemah. “Adik Ping, apakah… apakah ia sudah pergi?”
“Jangan khawatir, aku pasti membunuhnya untuk membalas sakit hatimu,” kata Linghu Chong gemas.
“Tidak, jangan!” sahut Yue Lingshan. “Matanya sudah buta. Kalau kau hendak membunuhnya, tentu dia tidak sanggup melawan. Aku… aku ingin kembali ke tempat Ibu.”
“Baik, akan kubawa kau menemui Ibu Guru,” kata Linghu Chong.
Melihat keadaan Yue Lingshan yang semakin lemah itu, jelas jiwanya akan melayang dalam waktu singkat, tanpa terasa Ren Yingying juga ikut mengucurkan air mata.
“Kakak Pertama,” kata Yue Lingshan lirih. “Kau senantiasa sangat baik padaku, tapi aku… aku bersalah padamu. Aku… akan meninggal dengan segera. Aku ingin memohon se… sesuatu padamu, hendaknya kau dapat… dapat meluluskan permintaanku ini.”
“Kau takkan meninggal. Aku akan berusaha menyembuhkanmu,” ujar Linghu Chong. “Silakan bicara, aku pasti akan memenuhi permintaanmu.”
“Tetapi… tapi kau tentu tak dapat menerimanya. Hal ini akan membuatmu…” suaranya semakin lirih, napasnya juga makin lemah.
“Aku pasti meluluskan permintaanku, katakan saja,” jawab Linghu Chong.
“Kakak Pertama, suamiku… Adik Ping, dia… dia sudah buta. Kas… kasihan dia,” kata Yue Lingshan terputus-putus.
“Ya, aku tahu,” jawab Linghu Chong.
“Dia sebatang kara di dunia ini,” lanjut Yue Lingshan. “Semua… semua orang me… memusuhinya. Kakak Pertama… sesudah aku mati, harap… harap kau menjaganya baik-baik. Jangan… jangan sampai dia dianiaya orang lagi….”
Linghu Chong tercengang. Sama sekali tak disangka bahwa Yue Lingshan yang sudah dekat ajalnya itu tetap tidak melupakan cintanya terhadap Lin Pingzhi, seorang suami yang tega membunuh istri sendiri. Padahal kalau bisa Linghu Chong malah ingin membekuk Lin Pingzhi pada saat itu juga untuk mencincangnya hingga hancur luluh. Bagaimanapun juga tidak mungkin ia sudi mengampuni jiwa manusia rendah bermarga Lin itu. Namun Yue Lingshan malah memintanya untuk mengampuni pemuda tersebut, mana mungkin ia sudi mengabulkannya?
“Kakak Pertama,” kata Yue Lingshan, “dia… dia tidak sengaja hendak membunuhku. Dia hanya… karena takut pada Ayah, dia terpaksa… terpaksa memihak Zuo Lengchan dan aku… aku ditusuknya sekali… Kakak Pertama, aku mohon… mohon padamu… agar men… menjaganya dengan baik….”
Dengan gusar Linghu Chong menjawab, “Manusia rendah yang mementingkan diri sendiri dan tak berbudi itu, mengapa… mengapa kau masih memikirkannya?”
“Tidak... tidak,” sahut Yue Lingshan. “Dia hanya... tangannya hanya... hanya terdesak dan tidak sengaja... menusukku. Aku mohon... aku mohon jaga dia.”
Di bawah cahaya rembulan, wajah Yue Lingshan tampak pucat, sinar matanya suram, namun memancarkan permohonan sepenuh hati. Padahal sejak kecil permintaan apa pun juga dari Yue Lingshan belum pernah ditolak oleh Linghu Chong. Meskipun permintaan tersebut sangat sulit, Linghu Chong pasti berusaha sekuat tenaga memenuhinya. Apalagi permintaan Yue Lingshan sekarang ini adalah permintaan pada saat menjelang ajalnya, suatu permintaan terakhir dan juga permintaan yang paling sungguh-sungguh.
Seketika darah dalam rongga dada Linghu Chong menjadi bergolak. Ia sadar, sekali menerima permintaan Yue Lingshan itu, maka untuk selanjutnya pasti akan berakibat besar dan mungkin akan banyak memaksa dirinya berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya. Namun menghadapi wajah dan suara Yue Lingshan yang penuh rasa memohon itu, Linghu Chong tidak tega untuk menolak. Segera ia mengangguk dan berkata, “Baiklah, aku menerima permintaanmu. Jangan khawatir!”
Mendengar itu, tanpa terasa Ren Yingying menyela, “Mana… mana bisa kau menerimanya?”
Yue Lingshan menggenggam erat tangan Linghu Chong dan berkata, “Kakak Pertama, terima… terima kasih banyak… Aku tak perlu… tak perlu khawatir lagi….” Tiba-tiba sorot matanya memancarkan cahaya, mulutnya mengulum senyum pertanda puas. Linghu Chong juga merasa puas melihat kegembiraan Yue Lingshan itu. Ia merasa cukup berharga biarpun kelak harus menghadapi kesulitan-kesulitan yang maharumit.
Tiba-tiba terdengar Yue Lingshan bernyanyi perlahan. Seketika dada Linghu Chong seperti dipalu godam, karena lagu yang dinyanyikan Yue Lingshan itu ternyata lagu rakyat daerah Fujian. Lagu tersebut berjudul “Mendaki Gunung Memetik Teh” yang pernah diajarkan Lin Pingzhi kepadanya. Dahulu ketika Linghu Chong dihukum kurung di puncak Huashan, perasaannya sangat pedih ketika mendengar Yue Lingshan menyanyikan lagu tersebut. Kini sang adik kecil kembali menyanyikan lagu yang sama, jelas sedang mengenangkan masa percintaannya dengan Lin Pingzhi di Huashan dulu. Suara Yue Lingshan makin melemah, tangannya yang menggenggam tangan Linghu Chong juga semakin kendur dan akhirnya terbuka. Perlahan matanya terpejam, nyanyiannya berhenti pula. Akhirnya, ia pun berhenti bernapas.
Perasaan Linghu Chong serasa hancur. Seketika dunia seakan-akan runtuh pula. Dengan segala upaya ia berusaha melindungi Yue Lingshan dari serangan orang-orang Qingcheng, namun sang adik kecil justru meninggal di tangan suami sendiri. Ia ingin menangis sekeras-kerasnya, tapi tak dapat bersuara. Dipeluknya tubuh Yue Lingshan yang sudah tak bernyawa itu dan perlahan ia bergumam, “Adik Kecil, jangan khawatir, Adik Kecil! Akan kubawa kau ke tempat ibumu. Pasti tiada seorang pun yang berani menggenggumu.”
Ren Yingying melihat punggung Linghu Chong basah kuyup oleh darah. Baju pemuda itu semakin lama semakin basah, jelas lukanya kambuh kembali. Namun dalam keadaan demikian Ren Yingying tidak tahu bagaimana cara untuk menghiburnya.
Sambil menggendong jenazah Yue Lingshan, dengan langkah sempoyongan Linghu Chong maju ke depan sembari menggumam, “Jangan khawatir, Adik Kecil, akan kubawa kau kepada ibumu!” Tapi mendadak kakinya menjadi lemas dan ia pun jatuh terguling tak sadarkan diri.
Entah sudah berapa lama, dalam keadaan samar-samar didengarnya suara denting kecapi yang membuat pikirannya terasa segar. Suara kecapi itu mengalun lembut berulang-ulang. Lagu yang dimainkan seperti sudah dikenalnya dengan baik. Sungguh nyaman sekali rasa hatinya. Seluruh tubuh terasa lemas sampai-sampai kelopak mata pun malas untuk dibuka. Ia berharap senantiasa dapat mendengarkan suara kecapi tersebut tanpa berhenti.
Dan suara kecapi itu ternyata benar-benar berbunyi terus tanpa berhenti. Tak lama kemudian, sayup-sayup Linghu Chong kembali tertidur pulas. Ketika untuk kedua kalinya ia terjaga, telinganya tetap mendengar suara denting kecapi yang merdu itu, malah hidungnya mencium semerbak bau wangi bunga. Sewaktu membuka mata, di depannya ternyata penuh dengan bunga beraneka warna. Ren Yingying sendiri tampak sedang duduk dan memainkan kecapi membawakan lagu “Penenang Jiwa”.
Linghu Chong menjumpai dirinya sedang terbaring dalam sebuah gua. Segera ia bermaksud bangun untuk duduk, tapi Ren Yingying lebih dulu menoleh dan mendekatinya dengan wajah gembira penuh kasih sayang. Saat itu Linghu Chong merasa sangat bahagia. Ia tahu Ren Yingying yang telah membawa tubuhnya ke dalam gua tersebut ketika dirinya jatuh pingsan lantaran kematian sang adik kecil yang mengenaskan itu. Kembali hatinya berduka, tapi lambat laun dari sorot mata Ren Yingying yang lembut dan mesra itu ia merasa terhibur. Mereka berdua saling pandang tanpa bicara sampai sekian lamanya.
Perlahan Linghu Chong mengelus tangan Ren Yingying. Tiba-tiba di tengah bau harum bunga itu tercium pula bau sedap daging panggang. Ren Yingying lantas mengangkat setangkai kayu, dan di atas tangkai itu tertusuk beberapa ekor kodok panggang. “Wah, hangus lagi!” katanya dengan tersenyum.
Linghu Chong bergelak tawa teringat kejadian dahulu ketika mereka sedang makan kodok panggang di tepi sungai. Kini mereka hendak memakan kodok panggang untuk yang kedua kalinya. Dalam selang waktu sekian lama itu mereka telah banyak mengalami bermacam-macam kejadian, namun masih tetap berkumpul menjadi satu.
Sejenak kemudian Linghu Chong kembali berduka karena teringat kepada Yue Lingshan. Ren Yingying memapahnya bangun. Sambil menunjuk sebuah kuburan baru di luar gua ia berkata, “Di situlah Nona Yue beristirahat untuk selamanya.”
“Terima kasih... terima kasih banyak padamu,” kata Linghu Chong dengan menahan air mata. Dalam hati ia merasa rikuh, lalu menyambung, “Yingying, aku tidak pernah bisa melupakan perasaanku kepada Adik Kecil, hendaknya kau jangan marah.”
“Sudah tentu aku takkan marah,” jawab Ren Yingying. “Masing-masing orang mempunyai jodoh sendiri-sendiri dan pengalaman suka-duka pula,” Lalu dengan suara lirih ia melanjutkan, “Pertama kali bertemu di luar Kota Luoyang dulu, aku jatuh hati kepadamu justru karena uraianmu tentang kisah cintamu terhadap adik kecilmu itu. Bila engkau seorang pemuda beriman tipis dan tak berbudi, tentu aku takkan menghargai dirimu.”
Setelah terdiam sejenak Ren Yingying melanjutkan, “Sebenarnya… sebenarnya Nona Yue seorang gadis yang baik, hanya saja ia tidak… tidak ada jodoh denganmu. Jika kau tidak dibesarkan bersamanya sejak kecil, kemungkinan besar dalam sekali lihat dia akan jatuh hati kepadamu.”
“Tidak mungkin,” sahut Linghu Chong setelah merenung sejenak. “Adik Kecil sangat kagum terhadap Guru. Laki-laki yang dia suka harus pendiam dan santun seperti ayahnya itu. Aku hanya teman bermain baginya. Selamanya dia tidak… tidak menghargai diriku.”
“Mungkin kau benar. Lin Pingzhi memang mirip gurumu,” jawab Ren Yingying. “Dari luar tampak alim, tapi jiwanya begitu kotor.”
“Tapi pada saat-saat terakhir Adik Kecil tetap tidak percaya bahwa Lin Pingzhi benar-benar sengaja membunuhnya. Dia masih tetap mencintai Lin Pingzhi sepenuh hati. Tapi juga ada… ada baiknya. Dia tidak meninggal dalam kesedihan. Aku ingin... aku ingin melihat kuburannya.”
Segera Ren Yingying memapahnya keluar gua. Terlihat sebuah kuburan yang bagian atasnya ditumpuki batu dengan rapi, pertanda Ren Yingying tidak sembarangan menguburkan jenazah Yue Lingshan. Dalam hati Linghu Chong sangat berterima kasih. Dilihatnya pula di depan kuburan terpancang sepotong dahan pohon yang telah dipangkas tangkai dan daunnya. Pada kulit dahan itu terukir tulisan, “Tempat istirahat pendekar wanita dari Huashan, Nona Yue Lingshan.”
Kembali Linghu Chong mencucurkan air mata. “Mungkin Adik Kecil lebih suka dipanggil Nyonya Lin,” katanya sedih.
“Lin Pingzhi manusia rendah dan tidak berbudi. Di alam baka Nona Yue pasti sadar dan tidak sudi disebut Nyonya Lin lagi,” ujar Ren Yingying. Dalam hati ia berpikir, “Sayang sekali kau tidak tahu bahwa dia dan Lin Pingzhi hanya sekadar menikah saja, tapi belum menjadi suami-istri yang sesungguhnya.”
Tempat di mana mereka berada adalah sebuah lembah yang dikelilingi oleh lereng bukit yang menghijau indah dengan bunga-bunga hutan yang harum mewangi. Suara burung berkicau merdu merayu, sungguh suatu tempat yang sangat permai.
“Biarlah sementara ini kita tinggal di sini sambil menyembuhkan lukamu. Kita juga bisa menemani kuburan Nona Yue,” kata Ren Yingying.
“Benar,” sahut Linghu Chong senang. “Adik Kecil sendirian di sini. Meskipun menjadi hantu tetap saja ia penakut.”
Ren Yingying hanya menghela napas menanggapi Linghu Chong yang bercanda di dalam kedukaan itu.
Begitulah, mereka berdua pun tinggal di lembah pegunungan yang indah itu dengan tenang dan bebas. Berkat obat-obatan manjur dari Perguruan Henshan, ditambah tenaga dalamnya yang bagus, luka Linghu Chong akhirnya benar-benar sembuh dalam waktu dua puluhan hari. Ren Yingying kemudian melanjutkan pelajaran memetik kecapi kepada Linghu Chong yang dulu pernah tertunda lama. Pada dasarnya Linghu Chong memang cerdas, serta tekun dan sabar pula, sehingga kemajuannya dalam seni musik cukup pesat.
(Bersambung)
Bagian 74 ; Bagian 75 ; Bagian 76