Suasana malam mulai sepi. Khawatir kedua murid Qingcheng itu mendengarnya melangkah pergi, Lin Pingzhi pun menunggu sampai mereka benar-benar tertidur lelap. Selang agak lama, terdengar suara dengkuran dari dalam kamar. Perlahan-lahan Lin Pingzhi berdiri. Namun seketika ia terkejut dan langsung berjongkok kembali begitu melihat bayangan orang bergerak-gerak di dalam kamar. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata itu adalah bayangan yang terjadi akibat api pelita bergoyang-goyang tertiup angin malam. Sepertinya si marga Ji lupa mengunci jendela kamar setelah membuang air bekas cucian kaki tadi.
“Ini adalah kesempatan emas untuk membalas dendam,” pikirnya. Pemuda itu lantas menghunus pedang milik ayahnya dan perlahan-lahan masuk ke dalam kamar melalui jendela yang tidak terkunci itu.
Di bawah cahaya rembulan yang menerobos masuk, Lin Pingzhi melihat dua orang tertidur pulas di atas ranjang masing-masing. Yang satu berkepala botak, tidur menghadap dinding; sementara yang satunya lagi tidur terlentang dengan alis tebal dan janggut kasar.
Di antara kedua ranjang itu terdapat sebuah meja di mana lima buah bungkusan serta dua bilah pedang tertaruh di atasnya. Lin Pingzhi mengangkat pedangnya dan mendekati si janggut sambil berpikir, “Dengan sekali tusuk aku bisa membunuh mereka seperti memotong sayur.” Namun, baru saja hendak mengayunkan pedangnya, tiba-tiba ia berpikir, “Tunggu dulu! Membunuh mereka yang sedang tidur adalah perbuatan manusia rendah. Ini bukan perbuatan seorang kesatria. Lebih baik aku memperdalam ilmu silatku lebih dulu, baru kemudian menantang mereka bertarung secara jantan.”
Berpikir demikian, Lin Pingzhi pun menyarungkan kembali pedangnya di pinggang. Perlahan ia mengambil kelima bungkusan di atas meja, kemudian melangkah keluar melalui jendela. Setelah mengikat tiga bungkus harta Biro Fuwei itu di punggung, serta membawa kedua sisanya di tangan kiri dan kanan, ia lalu berjalan dengan sangat hati-hati menuju pekarangan belakang.
Takut menimbulkan suara berisik yang akan membangunkan kedua murid Qingcheng tadi, Lin Pingzhi mendorong pintu belakang dengan sangat perlahan dan keluar meninggalkan gedung kantor cabang perusahaan keluarganya tersebut. Setelah berpikir sejenak untuk membedakan arah, ia lalu berlari menuju gerbang kota sisi selatan.
Saat itu gerbang belum dibuka karena masih tengah malam. Lin Pingzhi terpaksa bersembunyi di balik gundukan tanah sambil beristirahat menunggu fajar tiba. Meskipun demikian, ia tidak bisa memejamkan mata karena jantungnya berdebar kencang, takut kedua murid Qingcheng tadi tiba-tiba muncul mengejar dirinya.
Akhirnya fajar pun menyingsing di ufuk timur. Begitu para petugas membuka gerbang, Lin Pingzhi langsung berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Kota Changsa tersebut. Setelah berlari sejauh belasan kilo, ia mulai yakin telah terlepas dari bahaya sehingga memperlambat langkah kakinya. Sejak meninggalkan Fuzhou, baru kali ini hatinya merasa lega; karena selain mengetahui keberadaan ayah dan ibunya, ia juga mendapatkan cukup banyak uang sebagai bekal perjalanan.
Pagi itu ia singgah di sebuah kedai tepi jalan untuk mengisi perut. Di sana ia hanya makan semangkuk bakmi karena khawatir pihak Qingcheng datang mengejarnya. Untuk membayar makanannya, Lin Pingzhi merogoh salah satu bungkusan yang ia bawa dan mengeluarkan sepotong perak. Pemilik kedai segera mengumpulkan semua uang miliknya untuk membayar kembalian namun tetap saja tidak mencukupi. Lin Pingzhi pun berkata, “Sudahlah, ambil saja semuanya!” Selama masa pelarian itu ia sudah kenyang dihina orang. Baru kali ini sifatnya sebagai seorang majikan muda yang dermawan pulih kembali.
Setelah melewati belasan kilo selanjutnya, Lin Pingzhi sampai di sebuah kota besar. Ia mencari penginapan dan memesan sebuah kamar yang paling mewah. Di dalam kamar itu ia membuka kelima bungkusan yang diambilnya dari cabang Changsa tadi. Ternyata keempat bungkusan yang pertama berisi emas, perak, perhiasan, dan batu permata; sementara bungkusan yang satunya lagi berisi sebuah kotak yang dilapisi kain beludru. Di dalam kotak itu terdapat sepasang patung kuda yang terbuat dari zamrud.
“Hanya dari satu cabang saja sudah terkumpul harta karun sebanyak ini. Tidak heran kalau Perguruan Qingcheng begitu serakah ingin menguasai Biro Pengawalan Fuwei,” demikian pikirnya.
Lin Pingzhi memasukkan beberapa potong perak ke dalam saku sebagai bekal perjalanan, kemudian membungkus sisanya menjadi satu bungkusan besar, untuk kemudian digendongnya di punggung. Setelah meninggalkan penginapan, ia pergi ke pasar membeli dua ekor kuda. Dengan cara menunggangi kedua kuda itu secara bergantian, ia pun melaju sekencang-kencangnya. Setiap hari pemuda ini hanya beristirahat sekitar empat atau lima jam saja.
Setelah melalui perjalanan panjang dan memakan waktu berhari-hari, Lin Pingzhi akhirnya sampai juga di Kota Hengshan. Di sana ia menjumpai begitu banyak kaum persilatan berlalu-lalang di jalan. Khawatir bertemu Fang Renzhi atau murid Qingcheng lainnya, ia pun berjalan menunduk dan berusaha mencari penginapan untuk memperbaiki penyamaran. Tak disangka, penginapan-penginapan di kota itu telah penuh oleh pengunjung.
Salah seorang pemilik penginapan yang ditemuinya berkata, “Tiga hari lagi Tuan Liu Zhengfeng akan mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Tidak heran kalau semua kamar di penginapan kami telah habis ditempati para tamu Beliau.”
Tanpa kenal menyerah Lin Pingzhi mencari penginapan di pinggiran kota. Akhirnya ia pun menemukan sebuah penginapan kecil yang menyediakan kamar-kamar sederhana.
Setelah menutup pintu dan jendela kamar yang disewanya, pemuda itu berpikir, “Meskipun wajahku kukotori dengan debu dan lumpur, namun bajingan bermarga Fang itu sangat cerdik. Sudah pasti ia dapat mengetahui penyamaranku.”
Berpikir demikian, Lin Pingzhi bergegas pergi membeli tiga lembar koyo di toko obat dan segera kembali ke penginapan. Dua lembar koyo itu lantas ditempelkannya di ujung dahi kiri dan kanan sehingga kedua alisnya tertarik ke bawah. Selembar lainnya ditempelkan di pipi kiri sehingga tepi mulutnya ikut tertarik ke atas dan giginya pun kelihatan. Ketika bercermin, wajahnya terlihat begitu jelek, sampai-sampai ia sendiri muak melihat wajahnya itu.
Kemudian Lin Pingzhi membungkus semua emas dan perak yang ia bawa menjadi satu dan mengikatnya di punggung. Bungkusan tersebut lantas ditutupinya dengan baju luar sehingga wujudnya kini terlihat seperti seorang bungkuk.
“Penampilanku sungguh mengerikan. Jangankan orang-orang Qingcheng, bahkan Ayah dan Ibu mungkin tidak bisa mengenaliku lagi,” demikian pikirnya.
Setelah menghabiskan semangkuk bakmi, Lin Pingzhi keluar untuk mencari informasi tentang keberadaan ayah dan ibunya, atau paling tidak mengenai orang-orang Perguruan Qingcheng. Berita apapun tentang mereka sungguh berharga baginya. Setengah hari lamanya ia berjalan ke sana kemari mencari kabar, sampai akhirnya gerimis pun turun pula.
Lin Pingzhi segera membeli sebuah caping dari bambu di tepi jalan untuk dipakainya sambil terus melangkah. Namun mendung semakin gelap dan hujan bertambah deras; sepertinya tidak akan segera berhenti. Di ujung jalan ia melihat sebuah kedai teh yang cukup besar, dan tampak penuh oleh pengunjung.Lin Pingzhi masuk ke dalam kedai itu, untuk kemudian memesan sepoci teh hangat dan sepiring kuaci. Sambil beristirahat ia mencoba mendengarkan pembicaraan orang-orang di sana. Tiba-tiba terdengar suara orang berkata, “Hei, bungkuk! Apa boleh kami duduk di sini?”
Belum sempat Lin Pingzhi menjawab, orang itu sudah duduk di sampingnya. Menyusul kemudian dua orang duduk pula di samping orang itu. Rupanya Lin Pingzhi belum terbiasa dengan sebutan “bungkuk” sehingga sempat tidak mendengar perkataan tadi. Begitu sadar akan penyamarannya, ia pun menyahut, “Silakan, silakan!”
Ketiga orang yang duduk semeja dengan Lin Pingzhi itu berpakaian serbahitam dan masing-masing membawa sebilah golok. Ketiganya langsung saja bercakap-cakap satu sama lain tanpa sedikit pun memedulikan Lin Pingzhi.
“Kakak Peng,” kata salah seorang yang paling muda dari mereka. “Tampaknya upacara Cuci Tangan Baskom Emas Tuan Liu akan diselenggarakan besar-besaran. Coba lihat, padahal acaranya masih kurang tiga hari lagi tapi para pendekar yang datang sudah memenuhi kota ini.”
“Tentu saja!” jawab rekannya yang bermata satu. “Perguruan Hengshan memiliki nama besar di dunia persilatan, apalagi ditambah dengan keberadaannya sebagai anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Siapa orangnya yang tidak ingin bersahabat dengan mereka? Tuan Liu Zhengfeng sendiri juga seorang tokoh terkemuka yang berilmu tinggi. Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis andalannya sangat lihai, hanya sedikit di bawah Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan. Banyak orang yang ingin bersahabat dengannya namun sulit memperoleh kesempatan. Ia tidak pernah mengadakan perayaan ulang tahun, pernikahan anaknya, atau acara-acara lainnya. Tidak heran, begitu mendengar ia hendak mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, serentak orang-orang persilatan berbondong-bondong kemari. Aku yakin, besok atau lusa suasana Kota Hengshan akan semakin ramai.”
“Tidak semua orang datang kemari untuk tujuan itu. Misalnya, kita bertiga ini,” sahut rekannya yang berjanggut putih dengan nada dingin. “Liu Zhengfeng mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, yang berarti ia mengundurkan diri dari dunia persilatan. Ia tidak lagi peduli dengan permasalahan para pesilat seperti kita. Sehebat apapun ilmu silatnya, tetap saja tidak ada gunanya lagi. Jadi, untuk apa mereka menjalin persahabatan dengannya?”
“Masalahnya bukan seperti itu, Kakak Peng,” kata yang paling muda. “Walaupun Tuan Liu mengundurkan diri dari dunia persilatan, tetap saja ia adalah orang nomor dua di Perguruan Hengshan. Siapa yang bersahabat dengannya berarti bersahabat pula dengan Perguruan Hengshan, dan ini bisa berarti bersahabat pula dengan Serikat Pedang Lima Gunung.”
“Serikat Pedang Lima Gunung?” sahut si janggut putih. “Memangnya kau pantas bersahabat dengan mereka?”
“Bukan begitu, Kakak Peng,” jawab si mata satu membela si pemuda. “Kita hidup di dunia persilatan; mempunyai banyak sahabat adalah bermanfaat, mempunyai sedikit musuh adalah menguntungkan. Meskipun orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung memiliki kepandaian tinggi, namun mereka sama sekali tidak suka memandang rendah pihak lain. Andaikata mereka itu angkuh dan sombong, mana mungkin begitu banyak orang sudi datang ke Kota Hengshan sini untuk mengucapkan selamat kepada Tuan Liu?”
“Huh,” si janggut putih mendengus. “Sebagian besar dari mereka hanya datang untuk menjilat. Hatiku muak melihatnya.”
Meskipun keberadaannya tidak dianggap, Lin Pingzhi diam-diam menyimak pembicaraan mereka bertiga. Sebenarnya ia berharap mereka menyinggung tentang Perguruan Qingcheng, namun ketiganya lantas menghentikan pembicaraan dan memilih minum karena tidak sepaham lagi.
Tiba-tiba terdengar suara orang lain berkata perlahan dari arah belakang, “Paman Wang, kabarnya usia Tuan Liu baru sekitar lima puluhan, tapi mengapa ia tiba-tiba memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan? Padahal, bisa dikatakan ia sedang berada pada puncak kejayaan.”
“Banyak sekali alasan untuk mengundurkan diri,” jawab seorang yang lebih tua. “Misalnya, seorang penjahat melakukan upacara Cuci Tangan bisa jadi karena ia telah menyesali semua perbuatannya dan memutuskan untuk hidup secara baik-baik. Dengan demikian, ia dapat mewariskan nama baik kepada anak-cucunya; kedua, ia dapat menghindarkan diri dari tuduhan masyarakat sekitar apabila terjadi kejahatan di lingkungan tempat tinggalnya. Tapi Tuan Liu seorang terhormat dan memiliki kekayaan yang melimpah pula. Alasan seperti ini jelas tidak sesuai untuknya.”
“Tentu saja,” jawab rekannya yang lebih muda tadi.
Paman Wang melanjutkan, “Seseorang yang telah mempelajari ilmu silat, maka selamanya ia akan hidup di bawah senjata. Setiap orang persilatan pasti pernah melukai atau mengikat permusuhan dengan pihak lain. Semakin tua usia seseorang tentu kekuatannya akan semakin berkurang. Mungkin alasan Tuan Liu mengundang banyak orang dan mengundurkan diri dari dunia persilatan di depan umum agar ia bisa mengakhiri semua permusuhannya dengan pihak lain. Musuh-musuhnya tidak perlu takut lagi kepadanya; dan sebaliknya, ia tidak perlu takut lagi kalau ada orang yang hendak membuat perhitungan dengannya.”
“Tapi, Paman!” sahut yang lebih muda. “Bukankah cara seperti ini justru merugikan dirinya sendiri?”
“Merugikan bagaimana?” tanya Paman Wang.
“Bisa saja Tuan Liu menyatakan mundur dan melupakan semua permusuhannya,” ujar si keponakan. “Tapi bagaimana kalau orang lain yang memusuhinya tetap tidak peduli? Padahal Tuan Liu sudah berjanji untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatnya. Lantas, kalau musuhnya itu datang, apa dia menyerah begitu saja dan membiarkan dirinya dibunuh tanpa perlawanan?”
“Kau ini memang benar-benar masih hijau,” jawab Paman Wang. “Mengundurkan diri dari dunia persilatan bukan berarti melupakan semua ilmu silat begitu saja, atau menyerah kalah jika ada musuh yang datang. Bukan seperti itu. Lagipula siapa orangnya yang berani membuat masalah dengan Tuan Liu yang memiliki kedudukan tinggi di Perguruan Hengshan? Memangnya orang itu memiliki hati singa atau jantung macan, berani menantang Tuan Liu? Andaikata Tuan Liu tidak melayani serangan musuh, tetap saja ia memiliki banyak murid yang siap melindunginya setiap saat. Kau tidak perlu mengkhawatirkan yang tidak-tidak.”
Si janggut putih bermarga Peng yang duduk di samping Lin Pingzhi bergumam menanggapi percakapan tersebut, “Huh, di atas langit masih ada langit. Di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Memangnya di dunia ini tidak ada yang lebih hebat darinya?” Ucapannya ini sangat pelan sehingga tidak sampai terdengar oleh paman dan keponakan yang duduk di belakangnya itu.
Si paman bermarga Wang kembali berkata, “Seperti halnya seorang pengusaha biro pengawalan ternama yang telah banyak mengeruk keuntungan; kalau dia mengundurkan diri pada waktu yang tepat, tentu ia bisa hidup tenang menikmati masa tua daripada bertempur melawan para penjahat yang menaruh dendam kepadanya.”
Jantung Lin Pingzhi berdebar mendengar ucapan orang itu. “Apakah ia sedang membicarakan ayahku? Andai saja Ayah mengundurkan diri beberapa tahun yang lalu, tentu ia tidak akan bernasib sial seperti ini,” ujarnya dalam hati.
Si janggut putih bermarga Peng kembali menanggapi, “Seorang jenderal biasa mati di medan perang. Seorang pengamat lebih pandai bicara daripada pelaku. Memangnya mudah mengundurkan diri ketika berada di puncak kejayaan?”
Si mata satu menyahut, “Benar sekali. Beberapa hari ini aku mendengar banyak pujian untuk Tuan Liu. Katanya, Tuan Liu mengundurkan diri pada saat dirinya sedang berjaya, baik itu dalam ilmu silat maupun kedudukannya di perguruan. Sungguh mengagumkan!”
Seorang pria setengah tua berbaju sutra yang duduk di sudut ruangan tiba-tiba ikut bicara, “Dua hari yang lalu di kota Wuhan aku mendengar cerita dari kawan-kawan persilatan bahwa Tuan Liu mengundurkan diri karena suatu permasalahan yang sulit untuk dijelaskan.”
Si mata satu yang duduk di samping Lin Pingzhi langsung menoleh dan bertanya, “Memangnya mereka bercerita apa? Mengapa tidak kau sampaikan saja di sini?”
“Ah, mulut bisa menjadi sumber bencana,” jawab si baju sutra. “Cerita itu mungkin bisa disampaikan di Wuhan. Tapi kalau di Hengshan sini, mana aku berani?”
Seorang bertubuh pendek gemuk menanggapi dengan suara keras, “Meskipun kau tidak bercerita juga semua orang sudah tahu. Ini bukan suatu rahasia lagi. Tuan Liu menggelar upacara Cuci Tangan Baskom Emas adalah karena ilmu silatnya terlalu tinggi, serta memiliki banyak kawan.”
Semua mata langsung beralih memandang pria pendek yang bersuara keras itu. Beberapa di antara mereka bertanya, “Mana mungkin seorang berilmu tinggi dan punya banyak kawan memilih mengundurkan diri dari dunia persilatan? Memangnya ada persoalan apa di balik ini semua?”
“Orang-orang yang tidak mengetahui permasalahannya sudah pasti merasa bingung. Akan tetapi bagi mereka yang paham terhadap seluk beluk masalah ini tentu tidak merasa aneh lagi,” jawab si pendek gemuk dengan wajah bangga.
“Seluk beluk bagaimana?” desak salah seorang.
Si pendek gemuk tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum saja.
“Ah, untuk apa kalian bertanya kepadanya?” sahut seorang bertubuh kurus yang duduk di sudut ruangan. “Dia sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa-apa. Dia hanya asal menguap saja.”
“Siapa bilang aku tidak tahu?” sahut si pendek gemuk dengan suara keras dan kasar. “Alasan Tuan Liu mengundurkan diri adalah demi untuk menjaga perdamaian di dalam Perguruan Hengshan sendiri. Ia menjaga agar tidak terjadi pertengkaran di antara sesama saudara.”
Orang-orang pun bertanya, “Pertengkaran apa?”
“Memangnya ada perselisihan apa?”
“Pertengkaran sesama saudara bagaimana?”
“Apakah ada permasalahan dengan murid-murid Hengshan?
Si pendek gemuk menjawab sinis sambil melirik si kurus, “Orang luar mengatakan Tuan Liu adalah jago nomor dua dalam Perguruan Hengshan. Namun sebenarnya, orang-orang Hengshan sendiri mengetahui kalau Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis miliknya lebih hebat daripada sang kakak, yaitu Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan.”
Setelah terdiam sejenak, ia melanjutkan, “Konon dalam sekali tebas Tuan Besar Mo bisa menjatuhkan tiga ekor belibis, sementara Tuan Liu bisa menjatuhkan lima sekaligus. Tidak hanya itu, murid-murid Tuan Liu rata-rata lebih pandai daripada murid-murid Tuan Besar Mo. Kalau hal ini dibiarkan begitu saja, bisa jadi pada suatu saat nanti Tuan Besar Mo akan kehilangan wibawa dan pengaruh di dalam perguruan. Kabarnya, kedua pihak pernah bentrok di tempat rahasia. Meskipun Tuan Liu lebih kaya dan terpandang, namun ia memilih mundur daripada bertengkar melawan kakak seperguruan sendiri.”
“Sungguh mengagumkan!” sahut beberapa orang hampir bersamaan. “Tuan Liu mengetahui mana yang lebih penting. Manusia seperti dia jarang ada di dunia ini.”
“Kalau begitu ini merupakan kesalahan Tuan Besar Mo,” sahut seorang lagi. “Bukankah kalau Tuan Liu mengundurkan diri kekuatan Perguruan Hengshan banyak berkurang?”
“Huh, memangnya satu orang menentukan segalanya? Yang penting kedudukanku sebagai ketua Perguruan Hengshan tetap aman tanpa saingan. Peduli apa kalau perguruanku lebih kuat atau lemah?” sahut si baju sutra dengan gaya menirukan Tuan Besar Mo.
Si pendek gemuk menuang habis teh dalam pocinya, kemudian berseru, “Pelayan, aku minta teh lagi!” Setelah diam sejenak, ia kembali melanjutkan, “Coba lihat, padahal ini adalah acara besar yang diadakan seorang tokoh penting Perguruan Hengshan. Dari golongan lain sudah banyak yang berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada Tuan Liu, tapi dari Perguruan Hengshan sendiri....”
Belum habis perkataan si pendek gemuk tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi dari arah pintu dengan diiringi alunan suara rebab bernada panjang. “Sungguh miskin Keluarga Yang, namun mempersembahkan kesetiaan, melindungi Kerajaan Song....” demikian syair lagu yang ia nyanyikan; begitu memilukan dan menyayat hati.
Semua orang pun berpaling ke arah datangnya suara. Tampak seorang pria tua duduk di samping meja dekat pintu masuk. Tubuhnya kurus dan tinggi serta wajahnya terlihat cekung. Orang tua itu memakai baju panjang berwarna biru. Namun, warna biru ini sudah agak luntur dan terlihat sangat kusam.
Si pendek gemuk pun membentak, “Dasar pengamen miskin! Nyanyianmu seperti jeritan setan. Huh, mengganggu orang bicara saja!”
Pria tua itu merendahkan suara rebabnya namun tetap bersenandung meneruskan nyanyian. “Di Pantai Pasir Emas, kedua naga bertemu, kedua naga bertempur....”
“Sobat, bagaimana kelanjutan ceritamu tadi? Bagaimana dengan orang-orang Perguruan Hengshan?” sahut seseorang kepada si pendek gemuk.
Yang ditanya pun menjawab, “Coba lihat, murid-murid Hengshan yang sibuk menerima tamu hanyalah murid-murid Tuan Liu saja. Memangnya kalian melihat ada murid-murid Hengshan lainnya di kota ini?”
Sejenak semua orang saling pandang dan menjawab, “Benar juga! Tidak seorang pun dari mereka yang terlihat. Bukankah ini berarti mereka merendahkan kedudukan Tuan Liu?”
Si pendek gemuk hanya tertawa dingin dan melirik si baju sutra. Ia lalu berkata, “Maka itu, kita tidak perlu takut membicarakan urusan Perguruan Hengshan di sini. Untuk apa kita takut, kalau mereka sendiri tidak mungkin mendengarnya?”
Tiba-tiba suara rebab si pengamen tua kembali mengalun dengan keras dan nadanya pun berubah menjadi tinggi. Orang itu kembali bernyanyi, “Budak kecil menyebabkan bencana besar....”
“Berhenti mengganggu orang!” bentak seorang pemuda sambil melemparkan beberapa keping uang tembaga yang kemudian jatuh secara tepat di meja pengamen tua itu. Si pengamen pun memungut dan memasukkannya ke dalam saku sambil berterima kasih.
Si pendek gemuk berkata, “Rupanya sobat muda ini ahli melempar senjata rahasia. Lemparanmu benar-benar sempurna.”
“Ah, bukan apa-apa,” jawab si pemuda sambil tersenyum bangga. “Jadi, berdasarkan ceritamu tadi, Tuan Besar Mo tidak akan datang ke kota ini?”
“Mana mungkin ia datang?” sahut si pendek gemuk, “Hubungan Tuan Besar Mo dan Tuan Liu bagaikan air dan api. Bila bertemu sebentar saja pasti langsung bertengkar. Tuan Liu sudah mengalah kepadanya, harusnya dia senang.”
Tiba-tiba si pengamen tua bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan menghampiri si pendek gemuk dan memandanginya dari atas ke bawah dengan sorot mata tajam.
“Kurang ajar! Kau mau apa, tua bangka?” bentak si pendek gemuk gusar.
“Omong kosong!” jawab si pengamen tua sambil menggelengkan kepala. Kemudian ia berputar dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Si pendek gemuk tersinggung dan berniat mencengkeram bahu si pengamen tua dari belakang. Namun tiba-tiba matanya silau oleh kilatan pedang yang berkelebat dengan cepat ke arah meja tempat duduknya. Si pendek gemuk langsung melompat menghindar. Pedang itu ternyata milik si pengamen tua yang kemudian bersarang kembali ke dalam rebab. Semua orang terkejut begitu mengetahui ternyata si pengamen tua menyimpan pedang tipis di dalam alat musiknya.
“Dasar omong kosong!” ujar orang tua itu sambil kemudian melangkah pergi meninggalkan kedai teh tersebut. Semua mata memandanginya dengan heran sampai bayangan orang itu lenyap ditelan derasnya hujan. Samar-samar mereka hanya mendengar suara rebab si pengamen tua yang mengalun semakin lirih dan menjauh.
“Hei, coba kalian lihat!” seru salah seorang sambil menunjuk ke arah meja si pendek gemuk.
Semua orang serentak menoleh. Tampak tujuh buah cawan di meja itu semua telah terpotong setebal dua senti. Masing-masing potongan jatuh ke samping sedangkan badan cawan yang tersisa masih tegak berdiri, tidak bergeser atau terguling sedikit pun. Para tamu di kedai itu langsung berdatangan mengerumuni meja dan kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang si pengamen tua tadi.
Salah seorang menyahut, “Siapa dia sebenarnya? Ilmu pedangnya begitu hebat!”
“Sekali tebas, pedangnya memotong rata tujuh cawan tanpa merobohkannya sedikit pun.”
“Untungnya orang tua tadi masih bermurah hati. Kalau tidak, tentu kepalamu sudah menggelinding di lantai,” ujar seseorang kepada si pendek gemuk.
“Pengamen tua tadi tentu seorang jago silat papan atas.”
Si pendek gemuk hanya termangu-mangu tidak menjawab sedikit pun. Wajahnya pucat pasi seperti mayat. Kedua matanya melotot tanpa berkedip memandangi ketujuh cawan yang terpotong rapi di atas mejanya itu.
Si baju sutra tersenyum sambil berkata, “Apa kataku tadi? Mulut bisa menjadi sumber bencana. Di Hengshan sini banyak berkeliaran orang-orang sakti. Mungkin pengamen tua tadi adalah sahabat baik Tuan Besar Mo. Karena kau berani berbicara yang buruk-buruk tentang Tuan Besar Mo, maka dia pun memberimu sedikit pelajaran.”
“Siapa bilang dia sahabat Tuan Besar Mo?” sahut si janggut putih bermarga Peng. “Orang tua pembawa rebab tadi adalah Tuan Besar Mo sendiri, alias Si Malam Hujan di Xiaoxiang, ketua Perguruan Hengshan yang ternama!”“Hah! Jadi dia adalah Tuan Besar Mo?” sahut orang-orang bersamaan, “Dari mana... dari mana kau tahu kalau dia itu Tuan Besar Mo?”
Si janggut putih menjawab, “Mudah saja. Bukankah Tuan Besar Mo terkenal suka bermain rebab dan membawakan lagu Malam Hujan di Xiaoxiang? Permainan musiknya sangat bagus sampai-sampai bisa membuat orang yang mendengar mencucurkan air mata. ‘Di dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab’, kata-kata ini menggambarkan kehebatan ilmu silat Tuan Besar Mo. Kalian berada di Kota Hengshan, mengapa tidak mengetahui hal ini?”
Si janggut putih bermarga Peng itu lantas menoleh ke arah si pendek gemuk dan berkata, “Tadi kau bilang dalam sekali tebas Tuan Liu bisa menjatuhkan lima ekor burung belibis sedangkan Tuan Besar Mo hanya menjatuhkan tiga. Sekarang Tuan Besar Mo memotong rata tujuh cawan tanpa terguling sedikit pun hanya dalam sekali tebas. Coba pikir, mana yang lebih sulit, memotong tujuh cawan atau tiga belibis? Tidak heran kalau dia tadi menyebutmu tukang omong kosong.”
Si pendek gemuk hanya diam tanpa menjawab sepatah kata pun. Wajahnya tertunduk dan terlihat masih pucat seperti mayat. Si baju sutra segera membayar semua pesanan mereka berdua dan mengajak temannya itu pergi meninggalkan kedai teh tersebut.
Semua orang di tempat itu merasa ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pedang Tuan Besar Mo, si Malam Hujan di Xiaoxiang. Tadi ketika si pendek gemuk memuji-muji keunggulan ilmu silat Liu Zhengfeng dibandingkan Tuan Besar Mo, sedikit banyak mereka ikut membenarkannya. Takut tertimpa masalah, mereka pun beramai-ramai membayar dan meninggalkan kedai pula. Tempat yang tadinya ramai dan penuh sesak itu kini berubah sepi dalam waktu sekejap.
Di kedai teh itu kini hanya tinggal Lin Pingzhi serta dua orang lainnya yang tertidur di atas meja mereka. Lin Pingzhi sendiri masih termangu-mangu memandangi tujuh cawan yang terpotong rata tadi. Dalam hati ia berpikir, “Luar biasa ilmu orang itu. Dari luar terlihat buruk rupa, tak disangka ia menyimpan kepandaian yang mengagumkan. Jika aku tidak meninggalkan Kota Fuzhou, mungkin sampai saat ini aku masih beranggapan bahwa orang yang paling hebat di dunia adalah Ayah. Oh, aku benar-benar seperti katak dalam tempurung, tidak tahu luasnya jagad raya. Andai saja aku bisa menjadi muridnya, tentu dendam keluargaku dapat terbalaskan.”
Sejenak kemudian Lin Pingzhi kembali berpikir, “Hei, kenapa aku tidak mencari Tuan Besar Mo dan menjadi muridnya? Kenapa aku tidak mencarinya dan memohon kepadanya supaya membantuku membebaskan Ayah dan Ibu?”
Pemuda bermarga Lin yang sedang menyamar bungkuk itu pun bangkit hendak melangkah, namun tiba-tiba ia tersentak, “Tunggu dulu! Bukankah Tuan Besar Mo adalah ketua Perguruan Hengshan. Padahal, Serikat Pedang Lima Gunung memiliki hubungan baik dengan Perguruan Qingcheng. Ah, mana mungkin Tuan Besar Mo sudi bertengkar dengan kawan sendiri demi membela seorang asing macam aku ini?”
Seketika Lin Pingzhi duduk kembali dengan perasaan putus asa. Tiba-tiba ia mendengar suara seorang perempuan yang nyaring dan merdu berkata, “Kakak Kedua, hujan ini tidak juga berhenti. Bajuku sudah basah kuyup. Bagaimana kalau kita minum teh hangat lebih dulu?”
Lin Pingzhi terperanjat karena suara itu seolah tidak asing baginya. Suara merdu tersebut tidak lain adalah suara si gadis burik penjual arak di tepi kota Fuzhou dulu. Segera ia pun menundukkan kepala supaya tidak dikenali gadis itu.
Terdengar suara seorang pria tua menjawab, “Baiklah, kita bisa minum dulu.”
Sejenak kemudian Lin Pingzhi mendengar kedua orang itu melangkah masuk dan langsung duduk di belakangnya. Dengan sangat berhati-hati Lin Pingzhi melirik kedua orang yang baru datang itu. Tidak salah lagi, mereka adalah pasangan kakek dan cucu penjual arak yang dulu mengaku bernama Kakek Sa dan Wan-er.
Diam-diam Lin Pingzhi berpikir, “Ternyata hubungan kedua orang ini adalah saudara seperguruan. Tapi mengapa mereka menyelamatkan aku? Apa hanya karena balas budi karena aku sudah menolong gadis ini di kedai arak waktu itu? Lalu, apakah mereka juga mengetahui keberadaan Ayah dan Ibu?”
Pelayan kedai telah datang untuk membersihkan meja dan membawakan teh kepada mereka. Tiba-tiba Kakek Sa berkata, “Adik Kecil, coba lihat itu!”
Wan-er menoleh dan berseru kagum, “Hebat sekali! Siapa orangnya yang mampu memotong rata tujuh cawan ini? Sungguh ilmu pedang yang luar biasa!”
“Adik Kecil, aku ingin mengujimu,” ujar Kakek Sa, “Dalam sekali tebas tujuh cawan langsung terpotong semua dengan rapi. Menurutmu siapa yang bisa melakukan ini?”
“Aku tidak berada di sini dan melihat kejadiannya secara langsung. Bagaimana… bagaimana aku tahu siapa pelakunya....” gerutu Wan-er. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Aku ingat sekarang! Aku ingat sekarang! Cawan-cawan ini terpotong oleh jurus ketujuh belas dari Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis. Ah, ini pasti perbuatan Paman Liu!”
Kakek Sa menanggapi, “Aku ragu apakah Paman Liu bisa melakukannya? Aku rasa ilmu silatnya belum mencapai tingkatan ini. Tebakanmu nyaris benar.”
“Tunggu dulu!” sahut Wan-er. “Aku tahu sekarang. Ini adalah perbuatan Paman Mo, alias si Malam Hujan di Xiaoxiang!”
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dan gemuruh tawa beberapa orang yang tiba-tiba saja sudah muncul di tempat itu. Mereka berkata, “Sungguh tajam penglihatanmu, Adik Kecil!”
Lin Pingzhi terkejut dan berpikir, “Dari mana orang-orang ini muncul?”
Perlahan matanya melirik. Tampak tujuh orang sudah berdiri di dekat meja Kakek Sa dan Wan-er. Lima orang di antara mereka muncul dari balik dapur kedai, sedangkan dua lainnya adalah sepasang laki-laki yang tidur tertelungkup di atas meja tadi. Di antara ketujuh orang itu ada yang berdandan seperti kuli; ada yang membawa sempoa seperti pedagang; ada pula yang membawa seekor kera kecil di atas pundaknya.
“Huh, ternyata rombongan gelandangan bersembunyi di sini. Hampir saja kalian membuatku mati kaget,” sahut Wan-er, si gadis burik dengan tertawa. “Hei, di mana Kakak Pertama?”
“Ah, kau ini!” kata si pembawa kera. “Baru bertemu sudah menyebut kami sebagai gelandangan.”
Wan-er menjawab galak, “Siapa pula yang menyuruh kalian bersembunyi di dalam kedai seperti gelandangan? Hei, aku bertanya di mana Kakak Pertama?”
“Huh, lagi-lagi soal Kakak Pertama!” sahut si pembawa kera. “Mengapa kau tidak pernah menanyakan kabar kakak keenammu ini?”
“Kau sendiri ada di sini; tidak mati, juga tidak sekarat. Untuk apa aku bertanya keadaanmu?” kata Wan-er sambil menghentakkan kaki.
“Hahaha. Kakak Pertama tidak mati, juga tidak sekarat. Untuk apa kau bertanya keadaannya?” sahut si pembawa kera sambil tertawa.
“Sudahlah, aku tidak sudi bicara denganmu lagi! Aku tanya Kakak Keempat saja. Hanya dia satu-satunya orang baik di sini,” jawab Wan-er.
Belum sempat si kakak keempat menjawab, terdengar gemuruh tawa saudara-saudaranya yang lain. “Hahaha, cuma Kakak Keempat yang baik! Kami sisanya penjahat semua. Hei, Kakak Keempat, jangan katakan kepadanya!” ujar si pembawa kera.
“Kalau Kakak Keempat tidak boleh menjawab, aku juga tidak sudi bercerita kepada kalian tentang pengalaman hebat yang kualami bersama Kakak Kedua,” sahut Wan-er.
Laki-laki yang berdandan seperti kuli alias si kakak keempat sejak awal memang tidak ikut bergelak tawa bersama yang lain. Sepertinya ia memang seorang pendiam dan baik hati. Orang itu lantas berkata, “Kami berpisah di Kota Hengyang. Mungkin saat ini Kakak Pertama sudah sehat dan menyusul kemari.”
“Apa? Jadi, dia mabuk-mabukan lagi?” sahut Wan-er dengan mata melotot.
“Benar,” jawab si kakak keempat.
Rekannya yang membawa sempoa menyahut, “Kakak Pertama benar-benar mabuk berat. Ia minum dari pagi sampai siang, dari siang sampai petang. Aku rasa ia sudah menghabiskan sebanyak dua sampai tiga puluh liter arak bagus. Semua masuk ke dalam perutnya.”
“Ini tidak baik untuk kesehatannya!” kata Wan-er cemas. “Kenapa kalian tidak menasihatinya?”
Menasihati Kakak Pertama?” sahut si pembawa sempoa. “Memangnya ada yang bisa? Mungkin nanti kalau matahari sudah terbit dari barat. Entah kalau Adik Kecil yang menasihati, barangkali ia mau menurut dan mengurangi satu liter saja. Hahaha...” Rekan-rekannya yang lain pun ikut tertawa.
Si gadis burik terlihat semakin kesal, dan bertanya, “Kenapa dia minum sebanyak itu? Apa dia baru saja mengalami hal yang tidak menyenangkan lagi?”
“Entahlah! Mungkin dia merasa senang karena akan bertemu Adik Kecil di Kota Hengshan sini. Jadi, dia pun merayakannya besar-besaran,” jawab si pembawa sempoa tersenyum.
“Omong kosong!” sahut Wan-er dengan muka tersipu malu.
Lin Pingzhi yang tertunduk di mejanya hanya bisa mendengarkan pembicaraan orang-orang itu tanpa berani menoleh. Dalam hati ia berpikir, “Rupanya gadis ini menaruh hati kepada kakak seperguruannya yang pertama. Padahal, kakak keduanya sudah setua ini, tentu si kakak pertama lebih tua lagi. Apakah gadis ini kurang waras? Usianya mungkin baru delapan belas tahun, tapi kenapa dia suka pada seorang tua?” Sejenak kemudian Lin Pingzhi seolah menyadari sesuatu dan kembali berpikir, “Ah, aku tahu! Gadis ini berwajah jelek, tentu tidak ada pemuda yang suka kepadanya. Jadi, dia pun menjalin hubungan dengan seorang kakek tua yang suka mabuk.”
Terdengar Wan-er kembali bertanya, “Jadi, Kakak Pertama sudah minum arak sejak pagi kemarin?”
“Kalau tidak diceritakan sampai lengkap, tentu kau tidak akan berhenti bertanya,” jawab si pembawa kera. “Begini, ketika kemarin kami berangkat bersama-sama, tiba-tiba di tengah jalan Kakak Pertama mencium bau arak yang sangat harum. Kami pun melihat ada seorang pengemis sedang asyik minum arak dari sebuah kendi besar. Kakak Pertama langsung tertarik dan mendekatinya. Ia bertanya apa nama arak itu. Si pengemis pun menjawab namanya ‘arak monyet’. Kakak Pertama bertanya: ‘Kenapa diberi nama arak monyet?’ Pengemis itu menjelaskan bahwa di hutan pegunungan sebelah barat Provinsi Hunan terdapat kawanan monyet yang pintar membuat arak dari buah-buahan. Monyet-monyet itu memilih buah-buahan yang harum dan manis untuk diperas sarinya menjadi arak. Kebetulan si pengemis menemukan simpanan arak tersebut dan mencurinya sebanyak tiga kendi. Ia juga menangkap seekor monyet kecil dan dibawanya pula. Nah, ini dia!”
Laki-laki muda itu lantas menunjuk seekor kera kecil yang hinggap di pundaknya. Seutas tali tampak mengikat pinggang kera sementara ujung lainnya terikat di lengan si pemuda. Kera kecil itu tampak menggaruk-garuk kepala dan terlihat sangat lucu.
“Kakak Keenam,” kata Wan-er memandangi kera kecil itu sambil tertawa. “Pantas saja kau dijuluki Si Monyet Keenam. Kau dan kera kecil ini begitu mirip seperti saudara kandung.”
“Bukan, kami bukan saudara kandung,” jawab si pemuda pembawa kera. “Kami ini saudara seperguruan. Dia kakak pertamaku, dan aku adik keenamnya.”
Serentak mereka semua tertawa, kecuali Wan-er. “Hei, awas kalau kau berani menyindir Kakak Pertama lagi! Akau kuadukan kepadanya biar kau tahu rasa!” sahut si gadis burik galak. Sejenak kemudian ia kembali bertanya, “Lalu, bagaimana ceritanya kau bisa bersatu dengan saudaramu ini?”
“Saudara?” sahut Monyet Keenam alias si pembawa kera. “Oh, maksudmu kera kecil ini? Panjang sekali ceritanya. Rumit kalau kukatakan dan membuat pusing kepala.”
“Kau tidak perlu bercerita pun aku sudah bisa menebaknya,” ujar Wan-er. “Pasti Kakak Pertama yang menyuruhmu menjaga kera ini dengan baik. Kakak Pertama ingin setiap saat kera ini bisa membuatkan arak untuknya, bukan begitu?”
“Iya... benar sekali tebakanmu,” jawab Monyet Keenam.
“Kakak Pertama memang suka berpikiran aneh,” kata Wan-er. “Kera kecil ini memang bisa membuat arak kalau berada di pegunungan. Tapi kalau sudah ditangkap begini tentu akan berbeda. Nah, kalau dia dilepaskan untuk mencari buah-buahan, apakah tidak akan kabur?” Setelah terdiam sejenak, ia melanjutkan, “Hei, kenapa Monyet Keenam kita tidak bisa membuat arak?”
“Adik Kecil, berani sekali kau kurang ajar kepada kakak seperguruanmu ini?” sahut Monyet Keenam pura-pura marah.
“Haha. Kau menakut-nakuti aku dengan kedudukanmu!” jawab Wan-er sambil tertawa. “Hei, kau belum menjawab pertanyaanku tadi; kenapa Kakak Pertama minum arak sepanjang hari? Apakah dia mendapat masalah besar lagi?”
“Baiklah, aku lanjutkan ceritanya,” ujar Monyet Keenam. “Kakak Pertama sama sekali tidak peduli dengan keadaan si pengemis. Padahal, tubuh pengemis itu sangat kotor dan dekil. Daki di kulitnya sampai setebal tiga senti; kutu merayap di rambut dan bajunya; keringat dan ingus meleleh di wajahnya; bahkan, mungkin arak di dalam kendinya sudah bercampur dengan air liur....”
“Sudah, sudah!” sahut Wan-er sambil menutup mulut. “Menjijikkan! Aku jadi muak mendengarnya!”
“Mungkin kau jijik, tapi Kakak Pertama tidak sama sekali,” ujar Monyet Keenam. “Kakak Pertama mendesak pengemis itu supaya diizinkan ikut mencicipi araknya. Namun, si pengemis berkata bahwa hanya kendi itu yang tersisa dan tidak akan diberikan kepada siapapun. Kakak Pertama lantas menawarkan satu tael perak untuk satu kali tegukan.”
“Dasar pemabuk!” gerutu Wan-er.
“Pengemis itu setuju dan menyerahkan kendinya,” lanjut Monyet Keenam. “Dia berkata: ‘Awas, cukup satu tegukan saja.’ – Kakak Pertama menjawab: ‘Kalau aku bilang satu teguk, ya satu teguk.’ Tak disangka Kakak Pertama sanggup menghabiskan seluruh isi kendi besar itu hanya dalam sekali teguk. Rupanya ia menggunakan ilmu pernapasan yang telah diajarkan Guru. Aku melihatnya seperti seekor naga langit menghisap air laut tanpa mengganti napas.”
Semua orang tertawa mendengar penuturan Monyet Keenam itu.
“Adik Kecil, kalau kau berada di Hengyang sana, tentu kau bisa menyaksikan sendiri kehebatan Kakak Pertama,” lanjut si pembawa kera. “Kau pasti akan memuji kepandaian Kakak Pertama. Semangatnya dipusatkan di batas dada; jiwanya bagai melayang di udara dan mendaki puncak gunung; tenaganya bagaikan mampu menjatuhkan bintang. Kehebatan tenaga dalam Kakak Pertama hampir mencapai puncak kesempurnaan, namun tidak terlihat dari luar.”
Wan-er tertawa dan hampir terjatuh dari bangkunya. “Dasar pembual! Kau menggambarkan Kakak Pertama secara berlebihan. Berani-beraninya kau mengejek rumus ilmu tenaga dalam perguruan kita,” ujarnya setengah memaki.
“Aku tidak membual,” jawab Monyet Keenam sambil tertawa pula. “Saudara-saudara yang lain ikut melihat sendiri, bagaimana Kakak Pertama menghabiskan isi kendi itu dalam sekali teguk. Bukankah dia menggunakan tenaga dalam?”
“Benar, Adik Kecil!” jawab yang lainnya mengiakan.
Wan-er tertegun mendengarnya. Sambil menghela napas ia berkata, “Ilmu pernapasan ini sangat sulit untuk dipelajari. Di antara kita semua, hanya Kakak Pertama saja yang sudah boleh mempelajarinya. Tapi sayang, ilmu sehebat itu justru digunakannya untuk merebut arak dari tangan pengemis.”
Monyet Keenam melanjutkan ceritanya, “Pengemis itu marah-marah karena Kakak Pertama menghabiskan isi kendi araknya. Ia menarik baju Kakak Pertama dan menuduhnya berbuat curang. Kakak Pertama menjawab: ‘Siapa yang curang? Bukankah aku hanya minum satu teguk saja? Bukankah aku tidak pernah mengganti napas? Tanpa mengganti napas itu artinya satu tegukan. Tidak peduli satu tegukan besar atau kecil, yang penting satu tegukan. Padahal, tadi aku baru setengah napas saja. Nah, ini berarti kau harus mengembalikan uangku setengah tael perak.’”
“Sudah menghabiskan arak orang, masih mau mengambil uangnya pula. Dasar gila!” ujar si Wan-er sambil tertawa.
Monyet Keenam melanjutkan, “Pengemis itu hampir saja menangis. Kakak Pertama lantas berkata: ‘Kawan, kau jangan khawatir. Sepertinya kau ini juga suka minum arak. Kalau begitu mari kita minum sepas-puasnya di sana. Aku yang bayar semua.’ Kakak Pertama lantas menarik tangan pengemis itu dan membawanya masuk ke dalam sebuah kedai arak di tepi jalan. Mereka berdua lalu minum bersama dengan gembira. Kekuatan pengemis itu lumayan juga. Kami terpaksa harus menunggu sampai siang. Karena senang, pengemis itu memberikan kera kecil miliknya saat diminta Kakak Pertama. Kera itu lalu diserahkan kepadaku agar dijaga dengan baik. Ketika siang berganti petang, si pengemis akhirnya roboh dan tak sanggup lagi. Sementara itu Kakak Pertama masih saja menenggak araknya. Bicaranya sudah mulai melantur. Kami disuruh berangkat lebih dulu dan dia akan menyusul kemudian.”
“Jadi seperti itu ceritanya. Dia minum hanya untuk bersenang-senang,” kata Wan-er. “Apakah orang itu anggota Partai Pengemis?”
“Tidak mungkin!” sahut si kakak keempat yang berdandan kuli. “Kami tidak melihatnya membawa kantong seperti anggota Partai Pengemis pada umumnya.”
Wan-er lantas memandang keluar dan menggumam sendiri, “Jika kemarin kau tidak tertinggal dan bisa datang ke sini bersama yang lain, tentu kau tidak akan kehujanan....”
Monyet Keenam kembali berkata, “Adik Kecil, kau bilang baru saja mengalami kejadian-kejadian aneh bersama Kakak Kedua. Nah, sekarang giliranmu yang bercerita kepada kami.”
“Kenapa harus buru-buru?” sahut Wan-er. “Nanti saja kalau Kakak Pertama sudah datang, baru aku ceritakan semuanya. Malas rasanya kalau aku harus mengulang-ulang cerita. Di mana kalian berjanji untuk bertemu?”
“Entahlah. Kota Hengshan ini sangat besar, dan sekarang begitu ramai,” jawab Monyet Keenam. “Hei, kau ini maunya menang sendiri. Kau memaksaku bercerita kenapa Kakak Pertama sampai tertinggal, tapi kau jual mahal tidak mau bercerita pengalamanmu dengan Kakak Kedua.”
Pikiran gadis itu rupanya sedang melayang entah ke mana. Ia hanya berkata, “Biar Kakak Kedua saja yang bercerita.” Sejenak ia menoleh ke arah Lin Pingzhi yang duduk membelakanginya, kemudian berkata, “Di sini terlalu banyak mata dan telinga. Sebaiknya nanti saja bercerita, di dalam penginapan.”
Saudara seperguruannya yang bertubuh jangkung sejak tadi hanya diam tanpa bicara, kini menyahut, “Semua penginapan di kota ini sudah penuh. Tidak enak juga kalau kita harus merepotkan keluarga Paman Liu. Nanti kalau Kakak Pertama datang, sebaiknya kita beristirahat di dalam kuil saja. Bagaimana menurutmu, Kakak Kedua?”
Si kakak kedua alias Kakek Sa mengangguk dan menjawab, “Tidak masalah. Kita tunggu Kakak Pertama di sini.” Selama si kakak pertama belum datang, orang tua ini menjadi pengambil keputusan di antara mereka.
Monyet Keenam merasa tidak sabar menunggu. Ia pun berbisik mendesak Kakek Sa, “Kakak Kedua, jangan pedulikan si bungkuk itu. Sejak tadi dia sudah duduk di sini tanpa bergerak sedikit pun. Mungkin dia ini seorang dungu. Bagaimana hasil penyelidikan kalian di Kota Fuzhou? Apakah Perguruan Qingcheng benar-benar menghancurkan Biro Pengawalan Fuwei? Lantas, apakah Keluarga Lin benar-benar tidak memiliki kepandaian sejati?”
Mendengar keluarganya disebut-sebut, Lin Pingzhi berusaha memusatkan perhatiannya dengan lebih baik.(Bersambung)
Bagian 4 ; Halaman muka ; Bagian 6
“Ini adalah kesempatan emas untuk membalas dendam,” pikirnya. Pemuda itu lantas menghunus pedang milik ayahnya dan perlahan-lahan masuk ke dalam kamar melalui jendela yang tidak terkunci itu.
Di bawah cahaya rembulan yang menerobos masuk, Lin Pingzhi melihat dua orang tertidur pulas di atas ranjang masing-masing. Yang satu berkepala botak, tidur menghadap dinding; sementara yang satunya lagi tidur terlentang dengan alis tebal dan janggut kasar.
Di antara kedua ranjang itu terdapat sebuah meja di mana lima buah bungkusan serta dua bilah pedang tertaruh di atasnya. Lin Pingzhi mengangkat pedangnya dan mendekati si janggut sambil berpikir, “Dengan sekali tusuk aku bisa membunuh mereka seperti memotong sayur.” Namun, baru saja hendak mengayunkan pedangnya, tiba-tiba ia berpikir, “Tunggu dulu! Membunuh mereka yang sedang tidur adalah perbuatan manusia rendah. Ini bukan perbuatan seorang kesatria. Lebih baik aku memperdalam ilmu silatku lebih dulu, baru kemudian menantang mereka bertarung secara jantan.”
Berpikir demikian, Lin Pingzhi pun menyarungkan kembali pedangnya di pinggang. Perlahan ia mengambil kelima bungkusan di atas meja, kemudian melangkah keluar melalui jendela. Setelah mengikat tiga bungkus harta Biro Fuwei itu di punggung, serta membawa kedua sisanya di tangan kiri dan kanan, ia lalu berjalan dengan sangat hati-hati menuju pekarangan belakang.
Takut menimbulkan suara berisik yang akan membangunkan kedua murid Qingcheng tadi, Lin Pingzhi mendorong pintu belakang dengan sangat perlahan dan keluar meninggalkan gedung kantor cabang perusahaan keluarganya tersebut. Setelah berpikir sejenak untuk membedakan arah, ia lalu berlari menuju gerbang kota sisi selatan.
Saat itu gerbang belum dibuka karena masih tengah malam. Lin Pingzhi terpaksa bersembunyi di balik gundukan tanah sambil beristirahat menunggu fajar tiba. Meskipun demikian, ia tidak bisa memejamkan mata karena jantungnya berdebar kencang, takut kedua murid Qingcheng tadi tiba-tiba muncul mengejar dirinya.
Akhirnya fajar pun menyingsing di ufuk timur. Begitu para petugas membuka gerbang, Lin Pingzhi langsung berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Kota Changsa tersebut. Setelah berlari sejauh belasan kilo, ia mulai yakin telah terlepas dari bahaya sehingga memperlambat langkah kakinya. Sejak meninggalkan Fuzhou, baru kali ini hatinya merasa lega; karena selain mengetahui keberadaan ayah dan ibunya, ia juga mendapatkan cukup banyak uang sebagai bekal perjalanan.
Pagi itu ia singgah di sebuah kedai tepi jalan untuk mengisi perut. Di sana ia hanya makan semangkuk bakmi karena khawatir pihak Qingcheng datang mengejarnya. Untuk membayar makanannya, Lin Pingzhi merogoh salah satu bungkusan yang ia bawa dan mengeluarkan sepotong perak. Pemilik kedai segera mengumpulkan semua uang miliknya untuk membayar kembalian namun tetap saja tidak mencukupi. Lin Pingzhi pun berkata, “Sudahlah, ambil saja semuanya!” Selama masa pelarian itu ia sudah kenyang dihina orang. Baru kali ini sifatnya sebagai seorang majikan muda yang dermawan pulih kembali.
Setelah melewati belasan kilo selanjutnya, Lin Pingzhi sampai di sebuah kota besar. Ia mencari penginapan dan memesan sebuah kamar yang paling mewah. Di dalam kamar itu ia membuka kelima bungkusan yang diambilnya dari cabang Changsa tadi. Ternyata keempat bungkusan yang pertama berisi emas, perak, perhiasan, dan batu permata; sementara bungkusan yang satunya lagi berisi sebuah kotak yang dilapisi kain beludru. Di dalam kotak itu terdapat sepasang patung kuda yang terbuat dari zamrud.
“Hanya dari satu cabang saja sudah terkumpul harta karun sebanyak ini. Tidak heran kalau Perguruan Qingcheng begitu serakah ingin menguasai Biro Pengawalan Fuwei,” demikian pikirnya.
Lin Pingzhi memasukkan beberapa potong perak ke dalam saku sebagai bekal perjalanan, kemudian membungkus sisanya menjadi satu bungkusan besar, untuk kemudian digendongnya di punggung. Setelah meninggalkan penginapan, ia pergi ke pasar membeli dua ekor kuda. Dengan cara menunggangi kedua kuda itu secara bergantian, ia pun melaju sekencang-kencangnya. Setiap hari pemuda ini hanya beristirahat sekitar empat atau lima jam saja.
Setelah melalui perjalanan panjang dan memakan waktu berhari-hari, Lin Pingzhi akhirnya sampai juga di Kota Hengshan. Di sana ia menjumpai begitu banyak kaum persilatan berlalu-lalang di jalan. Khawatir bertemu Fang Renzhi atau murid Qingcheng lainnya, ia pun berjalan menunduk dan berusaha mencari penginapan untuk memperbaiki penyamaran. Tak disangka, penginapan-penginapan di kota itu telah penuh oleh pengunjung.
Salah seorang pemilik penginapan yang ditemuinya berkata, “Tiga hari lagi Tuan Liu Zhengfeng akan mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Tidak heran kalau semua kamar di penginapan kami telah habis ditempati para tamu Beliau.”
Tanpa kenal menyerah Lin Pingzhi mencari penginapan di pinggiran kota. Akhirnya ia pun menemukan sebuah penginapan kecil yang menyediakan kamar-kamar sederhana.
Setelah menutup pintu dan jendela kamar yang disewanya, pemuda itu berpikir, “Meskipun wajahku kukotori dengan debu dan lumpur, namun bajingan bermarga Fang itu sangat cerdik. Sudah pasti ia dapat mengetahui penyamaranku.”
Berpikir demikian, Lin Pingzhi bergegas pergi membeli tiga lembar koyo di toko obat dan segera kembali ke penginapan. Dua lembar koyo itu lantas ditempelkannya di ujung dahi kiri dan kanan sehingga kedua alisnya tertarik ke bawah. Selembar lainnya ditempelkan di pipi kiri sehingga tepi mulutnya ikut tertarik ke atas dan giginya pun kelihatan. Ketika bercermin, wajahnya terlihat begitu jelek, sampai-sampai ia sendiri muak melihat wajahnya itu.
Kemudian Lin Pingzhi membungkus semua emas dan perak yang ia bawa menjadi satu dan mengikatnya di punggung. Bungkusan tersebut lantas ditutupinya dengan baju luar sehingga wujudnya kini terlihat seperti seorang bungkuk.
“Penampilanku sungguh mengerikan. Jangankan orang-orang Qingcheng, bahkan Ayah dan Ibu mungkin tidak bisa mengenaliku lagi,” demikian pikirnya.
Setelah menghabiskan semangkuk bakmi, Lin Pingzhi keluar untuk mencari informasi tentang keberadaan ayah dan ibunya, atau paling tidak mengenai orang-orang Perguruan Qingcheng. Berita apapun tentang mereka sungguh berharga baginya. Setengah hari lamanya ia berjalan ke sana kemari mencari kabar, sampai akhirnya gerimis pun turun pula.
Lin Pingzhi segera membeli sebuah caping dari bambu di tepi jalan untuk dipakainya sambil terus melangkah. Namun mendung semakin gelap dan hujan bertambah deras; sepertinya tidak akan segera berhenti. Di ujung jalan ia melihat sebuah kedai teh yang cukup besar, dan tampak penuh oleh pengunjung.Lin Pingzhi masuk ke dalam kedai itu, untuk kemudian memesan sepoci teh hangat dan sepiring kuaci. Sambil beristirahat ia mencoba mendengarkan pembicaraan orang-orang di sana. Tiba-tiba terdengar suara orang berkata, “Hei, bungkuk! Apa boleh kami duduk di sini?”
Belum sempat Lin Pingzhi menjawab, orang itu sudah duduk di sampingnya. Menyusul kemudian dua orang duduk pula di samping orang itu. Rupanya Lin Pingzhi belum terbiasa dengan sebutan “bungkuk” sehingga sempat tidak mendengar perkataan tadi. Begitu sadar akan penyamarannya, ia pun menyahut, “Silakan, silakan!”
Ketiga orang yang duduk semeja dengan Lin Pingzhi itu berpakaian serbahitam dan masing-masing membawa sebilah golok. Ketiganya langsung saja bercakap-cakap satu sama lain tanpa sedikit pun memedulikan Lin Pingzhi.
“Kakak Peng,” kata salah seorang yang paling muda dari mereka. “Tampaknya upacara Cuci Tangan Baskom Emas Tuan Liu akan diselenggarakan besar-besaran. Coba lihat, padahal acaranya masih kurang tiga hari lagi tapi para pendekar yang datang sudah memenuhi kota ini.”
“Tentu saja!” jawab rekannya yang bermata satu. “Perguruan Hengshan memiliki nama besar di dunia persilatan, apalagi ditambah dengan keberadaannya sebagai anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Siapa orangnya yang tidak ingin bersahabat dengan mereka? Tuan Liu Zhengfeng sendiri juga seorang tokoh terkemuka yang berilmu tinggi. Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis andalannya sangat lihai, hanya sedikit di bawah Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan. Banyak orang yang ingin bersahabat dengannya namun sulit memperoleh kesempatan. Ia tidak pernah mengadakan perayaan ulang tahun, pernikahan anaknya, atau acara-acara lainnya. Tidak heran, begitu mendengar ia hendak mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, serentak orang-orang persilatan berbondong-bondong kemari. Aku yakin, besok atau lusa suasana Kota Hengshan akan semakin ramai.”
“Tidak semua orang datang kemari untuk tujuan itu. Misalnya, kita bertiga ini,” sahut rekannya yang berjanggut putih dengan nada dingin. “Liu Zhengfeng mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, yang berarti ia mengundurkan diri dari dunia persilatan. Ia tidak lagi peduli dengan permasalahan para pesilat seperti kita. Sehebat apapun ilmu silatnya, tetap saja tidak ada gunanya lagi. Jadi, untuk apa mereka menjalin persahabatan dengannya?”
“Masalahnya bukan seperti itu, Kakak Peng,” kata yang paling muda. “Walaupun Tuan Liu mengundurkan diri dari dunia persilatan, tetap saja ia adalah orang nomor dua di Perguruan Hengshan. Siapa yang bersahabat dengannya berarti bersahabat pula dengan Perguruan Hengshan, dan ini bisa berarti bersahabat pula dengan Serikat Pedang Lima Gunung.”
“Serikat Pedang Lima Gunung?” sahut si janggut putih. “Memangnya kau pantas bersahabat dengan mereka?”
“Bukan begitu, Kakak Peng,” jawab si mata satu membela si pemuda. “Kita hidup di dunia persilatan; mempunyai banyak sahabat adalah bermanfaat, mempunyai sedikit musuh adalah menguntungkan. Meskipun orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung memiliki kepandaian tinggi, namun mereka sama sekali tidak suka memandang rendah pihak lain. Andaikata mereka itu angkuh dan sombong, mana mungkin begitu banyak orang sudi datang ke Kota Hengshan sini untuk mengucapkan selamat kepada Tuan Liu?”
“Huh,” si janggut putih mendengus. “Sebagian besar dari mereka hanya datang untuk menjilat. Hatiku muak melihatnya.”
Meskipun keberadaannya tidak dianggap, Lin Pingzhi diam-diam menyimak pembicaraan mereka bertiga. Sebenarnya ia berharap mereka menyinggung tentang Perguruan Qingcheng, namun ketiganya lantas menghentikan pembicaraan dan memilih minum karena tidak sepaham lagi.
Tiba-tiba terdengar suara orang lain berkata perlahan dari arah belakang, “Paman Wang, kabarnya usia Tuan Liu baru sekitar lima puluhan, tapi mengapa ia tiba-tiba memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan? Padahal, bisa dikatakan ia sedang berada pada puncak kejayaan.”
“Banyak sekali alasan untuk mengundurkan diri,” jawab seorang yang lebih tua. “Misalnya, seorang penjahat melakukan upacara Cuci Tangan bisa jadi karena ia telah menyesali semua perbuatannya dan memutuskan untuk hidup secara baik-baik. Dengan demikian, ia dapat mewariskan nama baik kepada anak-cucunya; kedua, ia dapat menghindarkan diri dari tuduhan masyarakat sekitar apabila terjadi kejahatan di lingkungan tempat tinggalnya. Tapi Tuan Liu seorang terhormat dan memiliki kekayaan yang melimpah pula. Alasan seperti ini jelas tidak sesuai untuknya.”
“Tentu saja,” jawab rekannya yang lebih muda tadi.
Paman Wang melanjutkan, “Seseorang yang telah mempelajari ilmu silat, maka selamanya ia akan hidup di bawah senjata. Setiap orang persilatan pasti pernah melukai atau mengikat permusuhan dengan pihak lain. Semakin tua usia seseorang tentu kekuatannya akan semakin berkurang. Mungkin alasan Tuan Liu mengundang banyak orang dan mengundurkan diri dari dunia persilatan di depan umum agar ia bisa mengakhiri semua permusuhannya dengan pihak lain. Musuh-musuhnya tidak perlu takut lagi kepadanya; dan sebaliknya, ia tidak perlu takut lagi kalau ada orang yang hendak membuat perhitungan dengannya.”
“Tapi, Paman!” sahut yang lebih muda. “Bukankah cara seperti ini justru merugikan dirinya sendiri?”
“Merugikan bagaimana?” tanya Paman Wang.
“Bisa saja Tuan Liu menyatakan mundur dan melupakan semua permusuhannya,” ujar si keponakan. “Tapi bagaimana kalau orang lain yang memusuhinya tetap tidak peduli? Padahal Tuan Liu sudah berjanji untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatnya. Lantas, kalau musuhnya itu datang, apa dia menyerah begitu saja dan membiarkan dirinya dibunuh tanpa perlawanan?”
“Kau ini memang benar-benar masih hijau,” jawab Paman Wang. “Mengundurkan diri dari dunia persilatan bukan berarti melupakan semua ilmu silat begitu saja, atau menyerah kalah jika ada musuh yang datang. Bukan seperti itu. Lagipula siapa orangnya yang berani membuat masalah dengan Tuan Liu yang memiliki kedudukan tinggi di Perguruan Hengshan? Memangnya orang itu memiliki hati singa atau jantung macan, berani menantang Tuan Liu? Andaikata Tuan Liu tidak melayani serangan musuh, tetap saja ia memiliki banyak murid yang siap melindunginya setiap saat. Kau tidak perlu mengkhawatirkan yang tidak-tidak.”
Si janggut putih bermarga Peng yang duduk di samping Lin Pingzhi bergumam menanggapi percakapan tersebut, “Huh, di atas langit masih ada langit. Di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Memangnya di dunia ini tidak ada yang lebih hebat darinya?” Ucapannya ini sangat pelan sehingga tidak sampai terdengar oleh paman dan keponakan yang duduk di belakangnya itu.
Si paman bermarga Wang kembali berkata, “Seperti halnya seorang pengusaha biro pengawalan ternama yang telah banyak mengeruk keuntungan; kalau dia mengundurkan diri pada waktu yang tepat, tentu ia bisa hidup tenang menikmati masa tua daripada bertempur melawan para penjahat yang menaruh dendam kepadanya.”
Jantung Lin Pingzhi berdebar mendengar ucapan orang itu. “Apakah ia sedang membicarakan ayahku? Andai saja Ayah mengundurkan diri beberapa tahun yang lalu, tentu ia tidak akan bernasib sial seperti ini,” ujarnya dalam hati.
Si janggut putih bermarga Peng kembali menanggapi, “Seorang jenderal biasa mati di medan perang. Seorang pengamat lebih pandai bicara daripada pelaku. Memangnya mudah mengundurkan diri ketika berada di puncak kejayaan?”
Si mata satu menyahut, “Benar sekali. Beberapa hari ini aku mendengar banyak pujian untuk Tuan Liu. Katanya, Tuan Liu mengundurkan diri pada saat dirinya sedang berjaya, baik itu dalam ilmu silat maupun kedudukannya di perguruan. Sungguh mengagumkan!”
Seorang pria setengah tua berbaju sutra yang duduk di sudut ruangan tiba-tiba ikut bicara, “Dua hari yang lalu di kota Wuhan aku mendengar cerita dari kawan-kawan persilatan bahwa Tuan Liu mengundurkan diri karena suatu permasalahan yang sulit untuk dijelaskan.”
Si mata satu yang duduk di samping Lin Pingzhi langsung menoleh dan bertanya, “Memangnya mereka bercerita apa? Mengapa tidak kau sampaikan saja di sini?”
“Ah, mulut bisa menjadi sumber bencana,” jawab si baju sutra. “Cerita itu mungkin bisa disampaikan di Wuhan. Tapi kalau di Hengshan sini, mana aku berani?”
Seorang bertubuh pendek gemuk menanggapi dengan suara keras, “Meskipun kau tidak bercerita juga semua orang sudah tahu. Ini bukan suatu rahasia lagi. Tuan Liu menggelar upacara Cuci Tangan Baskom Emas adalah karena ilmu silatnya terlalu tinggi, serta memiliki banyak kawan.”
Semua mata langsung beralih memandang pria pendek yang bersuara keras itu. Beberapa di antara mereka bertanya, “Mana mungkin seorang berilmu tinggi dan punya banyak kawan memilih mengundurkan diri dari dunia persilatan? Memangnya ada persoalan apa di balik ini semua?”
“Orang-orang yang tidak mengetahui permasalahannya sudah pasti merasa bingung. Akan tetapi bagi mereka yang paham terhadap seluk beluk masalah ini tentu tidak merasa aneh lagi,” jawab si pendek gemuk dengan wajah bangga.
“Seluk beluk bagaimana?” desak salah seorang.
Si pendek gemuk tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum saja.
“Ah, untuk apa kalian bertanya kepadanya?” sahut seorang bertubuh kurus yang duduk di sudut ruangan. “Dia sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa-apa. Dia hanya asal menguap saja.”
“Siapa bilang aku tidak tahu?” sahut si pendek gemuk dengan suara keras dan kasar. “Alasan Tuan Liu mengundurkan diri adalah demi untuk menjaga perdamaian di dalam Perguruan Hengshan sendiri. Ia menjaga agar tidak terjadi pertengkaran di antara sesama saudara.”
Orang-orang pun bertanya, “Pertengkaran apa?”
“Memangnya ada perselisihan apa?”
“Pertengkaran sesama saudara bagaimana?”
“Apakah ada permasalahan dengan murid-murid Hengshan?
Si pendek gemuk menjawab sinis sambil melirik si kurus, “Orang luar mengatakan Tuan Liu adalah jago nomor dua dalam Perguruan Hengshan. Namun sebenarnya, orang-orang Hengshan sendiri mengetahui kalau Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis miliknya lebih hebat daripada sang kakak, yaitu Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan.”
Setelah terdiam sejenak, ia melanjutkan, “Konon dalam sekali tebas Tuan Besar Mo bisa menjatuhkan tiga ekor belibis, sementara Tuan Liu bisa menjatuhkan lima sekaligus. Tidak hanya itu, murid-murid Tuan Liu rata-rata lebih pandai daripada murid-murid Tuan Besar Mo. Kalau hal ini dibiarkan begitu saja, bisa jadi pada suatu saat nanti Tuan Besar Mo akan kehilangan wibawa dan pengaruh di dalam perguruan. Kabarnya, kedua pihak pernah bentrok di tempat rahasia. Meskipun Tuan Liu lebih kaya dan terpandang, namun ia memilih mundur daripada bertengkar melawan kakak seperguruan sendiri.”
“Sungguh mengagumkan!” sahut beberapa orang hampir bersamaan. “Tuan Liu mengetahui mana yang lebih penting. Manusia seperti dia jarang ada di dunia ini.”
“Kalau begitu ini merupakan kesalahan Tuan Besar Mo,” sahut seorang lagi. “Bukankah kalau Tuan Liu mengundurkan diri kekuatan Perguruan Hengshan banyak berkurang?”
“Huh, memangnya satu orang menentukan segalanya? Yang penting kedudukanku sebagai ketua Perguruan Hengshan tetap aman tanpa saingan. Peduli apa kalau perguruanku lebih kuat atau lemah?” sahut si baju sutra dengan gaya menirukan Tuan Besar Mo.
Si pendek gemuk menuang habis teh dalam pocinya, kemudian berseru, “Pelayan, aku minta teh lagi!” Setelah diam sejenak, ia kembali melanjutkan, “Coba lihat, padahal ini adalah acara besar yang diadakan seorang tokoh penting Perguruan Hengshan. Dari golongan lain sudah banyak yang berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada Tuan Liu, tapi dari Perguruan Hengshan sendiri....”
Belum habis perkataan si pendek gemuk tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi dari arah pintu dengan diiringi alunan suara rebab bernada panjang. “Sungguh miskin Keluarga Yang, namun mempersembahkan kesetiaan, melindungi Kerajaan Song....” demikian syair lagu yang ia nyanyikan; begitu memilukan dan menyayat hati.
Semua orang pun berpaling ke arah datangnya suara. Tampak seorang pria tua duduk di samping meja dekat pintu masuk. Tubuhnya kurus dan tinggi serta wajahnya terlihat cekung. Orang tua itu memakai baju panjang berwarna biru. Namun, warna biru ini sudah agak luntur dan terlihat sangat kusam.
Si pendek gemuk pun membentak, “Dasar pengamen miskin! Nyanyianmu seperti jeritan setan. Huh, mengganggu orang bicara saja!”
Pria tua itu merendahkan suara rebabnya namun tetap bersenandung meneruskan nyanyian. “Di Pantai Pasir Emas, kedua naga bertemu, kedua naga bertempur....”
“Sobat, bagaimana kelanjutan ceritamu tadi? Bagaimana dengan orang-orang Perguruan Hengshan?” sahut seseorang kepada si pendek gemuk.
Yang ditanya pun menjawab, “Coba lihat, murid-murid Hengshan yang sibuk menerima tamu hanyalah murid-murid Tuan Liu saja. Memangnya kalian melihat ada murid-murid Hengshan lainnya di kota ini?”
Sejenak semua orang saling pandang dan menjawab, “Benar juga! Tidak seorang pun dari mereka yang terlihat. Bukankah ini berarti mereka merendahkan kedudukan Tuan Liu?”
Si pendek gemuk hanya tertawa dingin dan melirik si baju sutra. Ia lalu berkata, “Maka itu, kita tidak perlu takut membicarakan urusan Perguruan Hengshan di sini. Untuk apa kita takut, kalau mereka sendiri tidak mungkin mendengarnya?”
Tiba-tiba suara rebab si pengamen tua kembali mengalun dengan keras dan nadanya pun berubah menjadi tinggi. Orang itu kembali bernyanyi, “Budak kecil menyebabkan bencana besar....”
“Berhenti mengganggu orang!” bentak seorang pemuda sambil melemparkan beberapa keping uang tembaga yang kemudian jatuh secara tepat di meja pengamen tua itu. Si pengamen pun memungut dan memasukkannya ke dalam saku sambil berterima kasih.
Si pendek gemuk berkata, “Rupanya sobat muda ini ahli melempar senjata rahasia. Lemparanmu benar-benar sempurna.”
“Ah, bukan apa-apa,” jawab si pemuda sambil tersenyum bangga. “Jadi, berdasarkan ceritamu tadi, Tuan Besar Mo tidak akan datang ke kota ini?”
“Mana mungkin ia datang?” sahut si pendek gemuk, “Hubungan Tuan Besar Mo dan Tuan Liu bagaikan air dan api. Bila bertemu sebentar saja pasti langsung bertengkar. Tuan Liu sudah mengalah kepadanya, harusnya dia senang.”
Tiba-tiba si pengamen tua bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan menghampiri si pendek gemuk dan memandanginya dari atas ke bawah dengan sorot mata tajam.
“Kurang ajar! Kau mau apa, tua bangka?” bentak si pendek gemuk gusar.
“Omong kosong!” jawab si pengamen tua sambil menggelengkan kepala. Kemudian ia berputar dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Si pendek gemuk tersinggung dan berniat mencengkeram bahu si pengamen tua dari belakang. Namun tiba-tiba matanya silau oleh kilatan pedang yang berkelebat dengan cepat ke arah meja tempat duduknya. Si pendek gemuk langsung melompat menghindar. Pedang itu ternyata milik si pengamen tua yang kemudian bersarang kembali ke dalam rebab. Semua orang terkejut begitu mengetahui ternyata si pengamen tua menyimpan pedang tipis di dalam alat musiknya.
“Dasar omong kosong!” ujar orang tua itu sambil kemudian melangkah pergi meninggalkan kedai teh tersebut. Semua mata memandanginya dengan heran sampai bayangan orang itu lenyap ditelan derasnya hujan. Samar-samar mereka hanya mendengar suara rebab si pengamen tua yang mengalun semakin lirih dan menjauh.
“Hei, coba kalian lihat!” seru salah seorang sambil menunjuk ke arah meja si pendek gemuk.
Semua orang serentak menoleh. Tampak tujuh buah cawan di meja itu semua telah terpotong setebal dua senti. Masing-masing potongan jatuh ke samping sedangkan badan cawan yang tersisa masih tegak berdiri, tidak bergeser atau terguling sedikit pun. Para tamu di kedai itu langsung berdatangan mengerumuni meja dan kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang si pengamen tua tadi.
Salah seorang menyahut, “Siapa dia sebenarnya? Ilmu pedangnya begitu hebat!”
“Sekali tebas, pedangnya memotong rata tujuh cawan tanpa merobohkannya sedikit pun.”
“Untungnya orang tua tadi masih bermurah hati. Kalau tidak, tentu kepalamu sudah menggelinding di lantai,” ujar seseorang kepada si pendek gemuk.
“Pengamen tua tadi tentu seorang jago silat papan atas.”
Si pendek gemuk hanya termangu-mangu tidak menjawab sedikit pun. Wajahnya pucat pasi seperti mayat. Kedua matanya melotot tanpa berkedip memandangi ketujuh cawan yang terpotong rapi di atas mejanya itu.
Si baju sutra tersenyum sambil berkata, “Apa kataku tadi? Mulut bisa menjadi sumber bencana. Di Hengshan sini banyak berkeliaran orang-orang sakti. Mungkin pengamen tua tadi adalah sahabat baik Tuan Besar Mo. Karena kau berani berbicara yang buruk-buruk tentang Tuan Besar Mo, maka dia pun memberimu sedikit pelajaran.”
“Siapa bilang dia sahabat Tuan Besar Mo?” sahut si janggut putih bermarga Peng. “Orang tua pembawa rebab tadi adalah Tuan Besar Mo sendiri, alias Si Malam Hujan di Xiaoxiang, ketua Perguruan Hengshan yang ternama!”“Hah! Jadi dia adalah Tuan Besar Mo?” sahut orang-orang bersamaan, “Dari mana... dari mana kau tahu kalau dia itu Tuan Besar Mo?”
Si janggut putih menjawab, “Mudah saja. Bukankah Tuan Besar Mo terkenal suka bermain rebab dan membawakan lagu Malam Hujan di Xiaoxiang? Permainan musiknya sangat bagus sampai-sampai bisa membuat orang yang mendengar mencucurkan air mata. ‘Di dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab’, kata-kata ini menggambarkan kehebatan ilmu silat Tuan Besar Mo. Kalian berada di Kota Hengshan, mengapa tidak mengetahui hal ini?”
Si janggut putih bermarga Peng itu lantas menoleh ke arah si pendek gemuk dan berkata, “Tadi kau bilang dalam sekali tebas Tuan Liu bisa menjatuhkan lima ekor burung belibis sedangkan Tuan Besar Mo hanya menjatuhkan tiga. Sekarang Tuan Besar Mo memotong rata tujuh cawan tanpa terguling sedikit pun hanya dalam sekali tebas. Coba pikir, mana yang lebih sulit, memotong tujuh cawan atau tiga belibis? Tidak heran kalau dia tadi menyebutmu tukang omong kosong.”
Si pendek gemuk hanya diam tanpa menjawab sepatah kata pun. Wajahnya tertunduk dan terlihat masih pucat seperti mayat. Si baju sutra segera membayar semua pesanan mereka berdua dan mengajak temannya itu pergi meninggalkan kedai teh tersebut.
Semua orang di tempat itu merasa ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pedang Tuan Besar Mo, si Malam Hujan di Xiaoxiang. Tadi ketika si pendek gemuk memuji-muji keunggulan ilmu silat Liu Zhengfeng dibandingkan Tuan Besar Mo, sedikit banyak mereka ikut membenarkannya. Takut tertimpa masalah, mereka pun beramai-ramai membayar dan meninggalkan kedai pula. Tempat yang tadinya ramai dan penuh sesak itu kini berubah sepi dalam waktu sekejap.
Di kedai teh itu kini hanya tinggal Lin Pingzhi serta dua orang lainnya yang tertidur di atas meja mereka. Lin Pingzhi sendiri masih termangu-mangu memandangi tujuh cawan yang terpotong rata tadi. Dalam hati ia berpikir, “Luar biasa ilmu orang itu. Dari luar terlihat buruk rupa, tak disangka ia menyimpan kepandaian yang mengagumkan. Jika aku tidak meninggalkan Kota Fuzhou, mungkin sampai saat ini aku masih beranggapan bahwa orang yang paling hebat di dunia adalah Ayah. Oh, aku benar-benar seperti katak dalam tempurung, tidak tahu luasnya jagad raya. Andai saja aku bisa menjadi muridnya, tentu dendam keluargaku dapat terbalaskan.”
Sejenak kemudian Lin Pingzhi kembali berpikir, “Hei, kenapa aku tidak mencari Tuan Besar Mo dan menjadi muridnya? Kenapa aku tidak mencarinya dan memohon kepadanya supaya membantuku membebaskan Ayah dan Ibu?”
Pemuda bermarga Lin yang sedang menyamar bungkuk itu pun bangkit hendak melangkah, namun tiba-tiba ia tersentak, “Tunggu dulu! Bukankah Tuan Besar Mo adalah ketua Perguruan Hengshan. Padahal, Serikat Pedang Lima Gunung memiliki hubungan baik dengan Perguruan Qingcheng. Ah, mana mungkin Tuan Besar Mo sudi bertengkar dengan kawan sendiri demi membela seorang asing macam aku ini?”
Seketika Lin Pingzhi duduk kembali dengan perasaan putus asa. Tiba-tiba ia mendengar suara seorang perempuan yang nyaring dan merdu berkata, “Kakak Kedua, hujan ini tidak juga berhenti. Bajuku sudah basah kuyup. Bagaimana kalau kita minum teh hangat lebih dulu?”
Lin Pingzhi terperanjat karena suara itu seolah tidak asing baginya. Suara merdu tersebut tidak lain adalah suara si gadis burik penjual arak di tepi kota Fuzhou dulu. Segera ia pun menundukkan kepala supaya tidak dikenali gadis itu.
Terdengar suara seorang pria tua menjawab, “Baiklah, kita bisa minum dulu.”
Sejenak kemudian Lin Pingzhi mendengar kedua orang itu melangkah masuk dan langsung duduk di belakangnya. Dengan sangat berhati-hati Lin Pingzhi melirik kedua orang yang baru datang itu. Tidak salah lagi, mereka adalah pasangan kakek dan cucu penjual arak yang dulu mengaku bernama Kakek Sa dan Wan-er.
Diam-diam Lin Pingzhi berpikir, “Ternyata hubungan kedua orang ini adalah saudara seperguruan. Tapi mengapa mereka menyelamatkan aku? Apa hanya karena balas budi karena aku sudah menolong gadis ini di kedai arak waktu itu? Lalu, apakah mereka juga mengetahui keberadaan Ayah dan Ibu?”
Pelayan kedai telah datang untuk membersihkan meja dan membawakan teh kepada mereka. Tiba-tiba Kakek Sa berkata, “Adik Kecil, coba lihat itu!”
Wan-er menoleh dan berseru kagum, “Hebat sekali! Siapa orangnya yang mampu memotong rata tujuh cawan ini? Sungguh ilmu pedang yang luar biasa!”
“Adik Kecil, aku ingin mengujimu,” ujar Kakek Sa, “Dalam sekali tebas tujuh cawan langsung terpotong semua dengan rapi. Menurutmu siapa yang bisa melakukan ini?”
“Aku tidak berada di sini dan melihat kejadiannya secara langsung. Bagaimana… bagaimana aku tahu siapa pelakunya....” gerutu Wan-er. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Aku ingat sekarang! Aku ingat sekarang! Cawan-cawan ini terpotong oleh jurus ketujuh belas dari Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis. Ah, ini pasti perbuatan Paman Liu!”
Kakek Sa menanggapi, “Aku ragu apakah Paman Liu bisa melakukannya? Aku rasa ilmu silatnya belum mencapai tingkatan ini. Tebakanmu nyaris benar.”
“Tunggu dulu!” sahut Wan-er. “Aku tahu sekarang. Ini adalah perbuatan Paman Mo, alias si Malam Hujan di Xiaoxiang!”
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dan gemuruh tawa beberapa orang yang tiba-tiba saja sudah muncul di tempat itu. Mereka berkata, “Sungguh tajam penglihatanmu, Adik Kecil!”
Lin Pingzhi terkejut dan berpikir, “Dari mana orang-orang ini muncul?”
Perlahan matanya melirik. Tampak tujuh orang sudah berdiri di dekat meja Kakek Sa dan Wan-er. Lima orang di antara mereka muncul dari balik dapur kedai, sedangkan dua lainnya adalah sepasang laki-laki yang tidur tertelungkup di atas meja tadi. Di antara ketujuh orang itu ada yang berdandan seperti kuli; ada yang membawa sempoa seperti pedagang; ada pula yang membawa seekor kera kecil di atas pundaknya.
“Huh, ternyata rombongan gelandangan bersembunyi di sini. Hampir saja kalian membuatku mati kaget,” sahut Wan-er, si gadis burik dengan tertawa. “Hei, di mana Kakak Pertama?”
“Ah, kau ini!” kata si pembawa kera. “Baru bertemu sudah menyebut kami sebagai gelandangan.”
Wan-er menjawab galak, “Siapa pula yang menyuruh kalian bersembunyi di dalam kedai seperti gelandangan? Hei, aku bertanya di mana Kakak Pertama?”
“Huh, lagi-lagi soal Kakak Pertama!” sahut si pembawa kera. “Mengapa kau tidak pernah menanyakan kabar kakak keenammu ini?”
“Kau sendiri ada di sini; tidak mati, juga tidak sekarat. Untuk apa aku bertanya keadaanmu?” kata Wan-er sambil menghentakkan kaki.
“Hahaha. Kakak Pertama tidak mati, juga tidak sekarat. Untuk apa kau bertanya keadaannya?” sahut si pembawa kera sambil tertawa.
“Sudahlah, aku tidak sudi bicara denganmu lagi! Aku tanya Kakak Keempat saja. Hanya dia satu-satunya orang baik di sini,” jawab Wan-er.
Belum sempat si kakak keempat menjawab, terdengar gemuruh tawa saudara-saudaranya yang lain. “Hahaha, cuma Kakak Keempat yang baik! Kami sisanya penjahat semua. Hei, Kakak Keempat, jangan katakan kepadanya!” ujar si pembawa kera.
“Kalau Kakak Keempat tidak boleh menjawab, aku juga tidak sudi bercerita kepada kalian tentang pengalaman hebat yang kualami bersama Kakak Kedua,” sahut Wan-er.
Laki-laki yang berdandan seperti kuli alias si kakak keempat sejak awal memang tidak ikut bergelak tawa bersama yang lain. Sepertinya ia memang seorang pendiam dan baik hati. Orang itu lantas berkata, “Kami berpisah di Kota Hengyang. Mungkin saat ini Kakak Pertama sudah sehat dan menyusul kemari.”
“Apa? Jadi, dia mabuk-mabukan lagi?” sahut Wan-er dengan mata melotot.
“Benar,” jawab si kakak keempat.
Rekannya yang membawa sempoa menyahut, “Kakak Pertama benar-benar mabuk berat. Ia minum dari pagi sampai siang, dari siang sampai petang. Aku rasa ia sudah menghabiskan sebanyak dua sampai tiga puluh liter arak bagus. Semua masuk ke dalam perutnya.”
“Ini tidak baik untuk kesehatannya!” kata Wan-er cemas. “Kenapa kalian tidak menasihatinya?”
Menasihati Kakak Pertama?” sahut si pembawa sempoa. “Memangnya ada yang bisa? Mungkin nanti kalau matahari sudah terbit dari barat. Entah kalau Adik Kecil yang menasihati, barangkali ia mau menurut dan mengurangi satu liter saja. Hahaha...” Rekan-rekannya yang lain pun ikut tertawa.
Si gadis burik terlihat semakin kesal, dan bertanya, “Kenapa dia minum sebanyak itu? Apa dia baru saja mengalami hal yang tidak menyenangkan lagi?”
“Entahlah! Mungkin dia merasa senang karena akan bertemu Adik Kecil di Kota Hengshan sini. Jadi, dia pun merayakannya besar-besaran,” jawab si pembawa sempoa tersenyum.
“Omong kosong!” sahut Wan-er dengan muka tersipu malu.
Lin Pingzhi yang tertunduk di mejanya hanya bisa mendengarkan pembicaraan orang-orang itu tanpa berani menoleh. Dalam hati ia berpikir, “Rupanya gadis ini menaruh hati kepada kakak seperguruannya yang pertama. Padahal, kakak keduanya sudah setua ini, tentu si kakak pertama lebih tua lagi. Apakah gadis ini kurang waras? Usianya mungkin baru delapan belas tahun, tapi kenapa dia suka pada seorang tua?” Sejenak kemudian Lin Pingzhi seolah menyadari sesuatu dan kembali berpikir, “Ah, aku tahu! Gadis ini berwajah jelek, tentu tidak ada pemuda yang suka kepadanya. Jadi, dia pun menjalin hubungan dengan seorang kakek tua yang suka mabuk.”
Terdengar Wan-er kembali bertanya, “Jadi, Kakak Pertama sudah minum arak sejak pagi kemarin?”
“Kalau tidak diceritakan sampai lengkap, tentu kau tidak akan berhenti bertanya,” jawab si pembawa kera. “Begini, ketika kemarin kami berangkat bersama-sama, tiba-tiba di tengah jalan Kakak Pertama mencium bau arak yang sangat harum. Kami pun melihat ada seorang pengemis sedang asyik minum arak dari sebuah kendi besar. Kakak Pertama langsung tertarik dan mendekatinya. Ia bertanya apa nama arak itu. Si pengemis pun menjawab namanya ‘arak monyet’. Kakak Pertama bertanya: ‘Kenapa diberi nama arak monyet?’ Pengemis itu menjelaskan bahwa di hutan pegunungan sebelah barat Provinsi Hunan terdapat kawanan monyet yang pintar membuat arak dari buah-buahan. Monyet-monyet itu memilih buah-buahan yang harum dan manis untuk diperas sarinya menjadi arak. Kebetulan si pengemis menemukan simpanan arak tersebut dan mencurinya sebanyak tiga kendi. Ia juga menangkap seekor monyet kecil dan dibawanya pula. Nah, ini dia!”
Laki-laki muda itu lantas menunjuk seekor kera kecil yang hinggap di pundaknya. Seutas tali tampak mengikat pinggang kera sementara ujung lainnya terikat di lengan si pemuda. Kera kecil itu tampak menggaruk-garuk kepala dan terlihat sangat lucu.
“Kakak Keenam,” kata Wan-er memandangi kera kecil itu sambil tertawa. “Pantas saja kau dijuluki Si Monyet Keenam. Kau dan kera kecil ini begitu mirip seperti saudara kandung.”
“Bukan, kami bukan saudara kandung,” jawab si pemuda pembawa kera. “Kami ini saudara seperguruan. Dia kakak pertamaku, dan aku adik keenamnya.”
Serentak mereka semua tertawa, kecuali Wan-er. “Hei, awas kalau kau berani menyindir Kakak Pertama lagi! Akau kuadukan kepadanya biar kau tahu rasa!” sahut si gadis burik galak. Sejenak kemudian ia kembali bertanya, “Lalu, bagaimana ceritanya kau bisa bersatu dengan saudaramu ini?”
“Saudara?” sahut Monyet Keenam alias si pembawa kera. “Oh, maksudmu kera kecil ini? Panjang sekali ceritanya. Rumit kalau kukatakan dan membuat pusing kepala.”
“Kau tidak perlu bercerita pun aku sudah bisa menebaknya,” ujar Wan-er. “Pasti Kakak Pertama yang menyuruhmu menjaga kera ini dengan baik. Kakak Pertama ingin setiap saat kera ini bisa membuatkan arak untuknya, bukan begitu?”
“Iya... benar sekali tebakanmu,” jawab Monyet Keenam.
“Kakak Pertama memang suka berpikiran aneh,” kata Wan-er. “Kera kecil ini memang bisa membuat arak kalau berada di pegunungan. Tapi kalau sudah ditangkap begini tentu akan berbeda. Nah, kalau dia dilepaskan untuk mencari buah-buahan, apakah tidak akan kabur?” Setelah terdiam sejenak, ia melanjutkan, “Hei, kenapa Monyet Keenam kita tidak bisa membuat arak?”
“Adik Kecil, berani sekali kau kurang ajar kepada kakak seperguruanmu ini?” sahut Monyet Keenam pura-pura marah.
“Haha. Kau menakut-nakuti aku dengan kedudukanmu!” jawab Wan-er sambil tertawa. “Hei, kau belum menjawab pertanyaanku tadi; kenapa Kakak Pertama minum arak sepanjang hari? Apakah dia mendapat masalah besar lagi?”
“Baiklah, aku lanjutkan ceritanya,” ujar Monyet Keenam. “Kakak Pertama sama sekali tidak peduli dengan keadaan si pengemis. Padahal, tubuh pengemis itu sangat kotor dan dekil. Daki di kulitnya sampai setebal tiga senti; kutu merayap di rambut dan bajunya; keringat dan ingus meleleh di wajahnya; bahkan, mungkin arak di dalam kendinya sudah bercampur dengan air liur....”
“Sudah, sudah!” sahut Wan-er sambil menutup mulut. “Menjijikkan! Aku jadi muak mendengarnya!”
“Mungkin kau jijik, tapi Kakak Pertama tidak sama sekali,” ujar Monyet Keenam. “Kakak Pertama mendesak pengemis itu supaya diizinkan ikut mencicipi araknya. Namun, si pengemis berkata bahwa hanya kendi itu yang tersisa dan tidak akan diberikan kepada siapapun. Kakak Pertama lantas menawarkan satu tael perak untuk satu kali tegukan.”
“Dasar pemabuk!” gerutu Wan-er.
“Pengemis itu setuju dan menyerahkan kendinya,” lanjut Monyet Keenam. “Dia berkata: ‘Awas, cukup satu tegukan saja.’ – Kakak Pertama menjawab: ‘Kalau aku bilang satu teguk, ya satu teguk.’ Tak disangka Kakak Pertama sanggup menghabiskan seluruh isi kendi besar itu hanya dalam sekali teguk. Rupanya ia menggunakan ilmu pernapasan yang telah diajarkan Guru. Aku melihatnya seperti seekor naga langit menghisap air laut tanpa mengganti napas.”
Semua orang tertawa mendengar penuturan Monyet Keenam itu.
“Adik Kecil, kalau kau berada di Hengyang sana, tentu kau bisa menyaksikan sendiri kehebatan Kakak Pertama,” lanjut si pembawa kera. “Kau pasti akan memuji kepandaian Kakak Pertama. Semangatnya dipusatkan di batas dada; jiwanya bagai melayang di udara dan mendaki puncak gunung; tenaganya bagaikan mampu menjatuhkan bintang. Kehebatan tenaga dalam Kakak Pertama hampir mencapai puncak kesempurnaan, namun tidak terlihat dari luar.”
Wan-er tertawa dan hampir terjatuh dari bangkunya. “Dasar pembual! Kau menggambarkan Kakak Pertama secara berlebihan. Berani-beraninya kau mengejek rumus ilmu tenaga dalam perguruan kita,” ujarnya setengah memaki.
“Aku tidak membual,” jawab Monyet Keenam sambil tertawa pula. “Saudara-saudara yang lain ikut melihat sendiri, bagaimana Kakak Pertama menghabiskan isi kendi itu dalam sekali teguk. Bukankah dia menggunakan tenaga dalam?”
“Benar, Adik Kecil!” jawab yang lainnya mengiakan.
Wan-er tertegun mendengarnya. Sambil menghela napas ia berkata, “Ilmu pernapasan ini sangat sulit untuk dipelajari. Di antara kita semua, hanya Kakak Pertama saja yang sudah boleh mempelajarinya. Tapi sayang, ilmu sehebat itu justru digunakannya untuk merebut arak dari tangan pengemis.”
Monyet Keenam melanjutkan ceritanya, “Pengemis itu marah-marah karena Kakak Pertama menghabiskan isi kendi araknya. Ia menarik baju Kakak Pertama dan menuduhnya berbuat curang. Kakak Pertama menjawab: ‘Siapa yang curang? Bukankah aku hanya minum satu teguk saja? Bukankah aku tidak pernah mengganti napas? Tanpa mengganti napas itu artinya satu tegukan. Tidak peduli satu tegukan besar atau kecil, yang penting satu tegukan. Padahal, tadi aku baru setengah napas saja. Nah, ini berarti kau harus mengembalikan uangku setengah tael perak.’”
“Sudah menghabiskan arak orang, masih mau mengambil uangnya pula. Dasar gila!” ujar si Wan-er sambil tertawa.
Monyet Keenam melanjutkan, “Pengemis itu hampir saja menangis. Kakak Pertama lantas berkata: ‘Kawan, kau jangan khawatir. Sepertinya kau ini juga suka minum arak. Kalau begitu mari kita minum sepas-puasnya di sana. Aku yang bayar semua.’ Kakak Pertama lantas menarik tangan pengemis itu dan membawanya masuk ke dalam sebuah kedai arak di tepi jalan. Mereka berdua lalu minum bersama dengan gembira. Kekuatan pengemis itu lumayan juga. Kami terpaksa harus menunggu sampai siang. Karena senang, pengemis itu memberikan kera kecil miliknya saat diminta Kakak Pertama. Kera itu lalu diserahkan kepadaku agar dijaga dengan baik. Ketika siang berganti petang, si pengemis akhirnya roboh dan tak sanggup lagi. Sementara itu Kakak Pertama masih saja menenggak araknya. Bicaranya sudah mulai melantur. Kami disuruh berangkat lebih dulu dan dia akan menyusul kemudian.”
“Jadi seperti itu ceritanya. Dia minum hanya untuk bersenang-senang,” kata Wan-er. “Apakah orang itu anggota Partai Pengemis?”
“Tidak mungkin!” sahut si kakak keempat yang berdandan kuli. “Kami tidak melihatnya membawa kantong seperti anggota Partai Pengemis pada umumnya.”
Wan-er lantas memandang keluar dan menggumam sendiri, “Jika kemarin kau tidak tertinggal dan bisa datang ke sini bersama yang lain, tentu kau tidak akan kehujanan....”
Monyet Keenam kembali berkata, “Adik Kecil, kau bilang baru saja mengalami kejadian-kejadian aneh bersama Kakak Kedua. Nah, sekarang giliranmu yang bercerita kepada kami.”
“Kenapa harus buru-buru?” sahut Wan-er. “Nanti saja kalau Kakak Pertama sudah datang, baru aku ceritakan semuanya. Malas rasanya kalau aku harus mengulang-ulang cerita. Di mana kalian berjanji untuk bertemu?”
“Entahlah. Kota Hengshan ini sangat besar, dan sekarang begitu ramai,” jawab Monyet Keenam. “Hei, kau ini maunya menang sendiri. Kau memaksaku bercerita kenapa Kakak Pertama sampai tertinggal, tapi kau jual mahal tidak mau bercerita pengalamanmu dengan Kakak Kedua.”
Pikiran gadis itu rupanya sedang melayang entah ke mana. Ia hanya berkata, “Biar Kakak Kedua saja yang bercerita.” Sejenak ia menoleh ke arah Lin Pingzhi yang duduk membelakanginya, kemudian berkata, “Di sini terlalu banyak mata dan telinga. Sebaiknya nanti saja bercerita, di dalam penginapan.”
Saudara seperguruannya yang bertubuh jangkung sejak tadi hanya diam tanpa bicara, kini menyahut, “Semua penginapan di kota ini sudah penuh. Tidak enak juga kalau kita harus merepotkan keluarga Paman Liu. Nanti kalau Kakak Pertama datang, sebaiknya kita beristirahat di dalam kuil saja. Bagaimana menurutmu, Kakak Kedua?”
Si kakak kedua alias Kakek Sa mengangguk dan menjawab, “Tidak masalah. Kita tunggu Kakak Pertama di sini.” Selama si kakak pertama belum datang, orang tua ini menjadi pengambil keputusan di antara mereka.
Monyet Keenam merasa tidak sabar menunggu. Ia pun berbisik mendesak Kakek Sa, “Kakak Kedua, jangan pedulikan si bungkuk itu. Sejak tadi dia sudah duduk di sini tanpa bergerak sedikit pun. Mungkin dia ini seorang dungu. Bagaimana hasil penyelidikan kalian di Kota Fuzhou? Apakah Perguruan Qingcheng benar-benar menghancurkan Biro Pengawalan Fuwei? Lantas, apakah Keluarga Lin benar-benar tidak memiliki kepandaian sejati?”
Mendengar keluarganya disebut-sebut, Lin Pingzhi berusaha memusatkan perhatiannya dengan lebih baik.(Bersambung)
Bagian 4 ; Halaman muka ; Bagian 6