Bagian 59 - Di Antara Dua Pilihan

Melihat pertandingan antara Yue Buqun dan Linghu Chong, yang paling merasa sedih adalah Ning Zhongze. Ketika melihat sang suami mengerahkan Tiga Jurus Pencabut Nyawa, ia merenung, “Dahulu, kedua kelompok berusaha saling menghancurkan karena perselisihan mana yang lebih penting, antara tenaga dalam atau jurus pedang. Dia berasal dari Kelompok Tenaga Dalam, mengapa menggunakan ilmu silat Kelompok Pedang? Kalau hal ini sampai diketahui orang lain tentu akan menjadi bahan ejekan. Aih, dia menggunakan tiga jurus itu tentu juga karena terpaksa. Padahal sudah jelas dia bukan tandingan Chong-er, kenapa masih juga nekad?” Ia berniat melerai kedua orang yang sedang bertanding itu, namun urusan sudah terlanjur melebar, bukan melulu menyangkut kepentingan Perguruan Huashan saja. Maka itu, ia pun merasa serbasusah dan sedih.
Sementara itu Yue Buqun telah mencabut kembali pedangnya, sedangkan Linghu Chong tetap berdiri di balik tiang dan tidak berputar keluar. Yue Buqun berpikir pemuda itu bersembunyi di balik tiang dan tidak melawannya lagi sebagai tanda takut. Dengan demikian ia merasa kehormatannya dapat ditegakkan kembali.
Kedua orang itu kemudian saling berhadapan. Dengan rendah hati Linghu Chong berkata, “Guru, aku bukan tandinganmu. Kita tak perlu meneruskan pertandingan ini.”
Yue Buqun hanya mendengus, tidak menjawab sedikit pun.
Ren Woxing lantas ikut bicara, “Pertarungan mereka berdua sukar ditentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Linghu Chong sengaja mengalah kepada gurunya. Setiap orang asalkan tidak buta tentu dapat melihatnya. Nah, Biksu Ketua, maukah pertandingan tiga babak ini kita anggap seri saja? Aku bersedia minta maaf kepadamu, lalu angkat kaki dari sini.”
Mendengar ini, dalam hati Ning Zhongze merasa senang dan lega. Ia berkata dalam hati, “Padahal sudah jelas mereka berada di pihak yang menang, namun ucapan Ketua Ren itu dapat dianggap mau mengalah. Cara menyudahi pertarungan ini benar-benar paling baik.”
“Amitabha!” kata Biksu Fangzheng. “Usul Ketua Ren sangat bijaksana. Sudah tentu aku sependa….”
Belum selesai kata-kata itu diucapkan, tiba-tiba Zuo Lengchan menyela, “Lalu keempat orang ini apa harus kita biarkan pergi begitu saja dan membantai banyak orang lagi? Apakah kita biarkan tangan-tangan mereka berlumuran darah ribuan orang yang tidak berdosa? Lalu, untuk selanjutnya apakah Adik Yue masih bisa disebut ketua Perguruan Huashan?”
“Hal ini….” belum selesai kata-kata Fangzheng, tiba-tiba Yue Buqun terlihat sudah memutar ke belakang tiang dan mulai menyerang lagi. Dengan gesit Linghu Chong mengelak. Maka dalam beberapa jurus mereka sudah kembali berada di tengah kalangan. Segera Yue Buqun melancarkan serangan-serangan kilat, tapi selalu dapat dihindari atau ditangkis oleh Linghu Chong dengan mudah. Pertarungan bertele-tele pun berlangsung kembali.
Tiba-tiba Ren Woxing tertawa, “Hahaha, untuk mengetahui siapa yang menang dalam pertandingan ini, kita harus menunggu selama tujuh atau delapan hari. Kita lihat saja siapa yang mati kelaparan lebih dulu.” Ucapannya ini hanya melebih-lebihkan saja. Maksudnya, jika keduanya terus bertarung seperti ini, maka akan sulit mendapatkan hasilnya selama beberapa jam ke dapan.
Ren Woxing kemudian berpikir, “Si Tua Yue ini benar-benar tidak tahu malu. Sudah jelas-jelas ilmu silatnya di bawah Chong-er, tapi masih tetap nekad saja. Sebaliknya, Chong-er sama sekali tidak mau membalas. Meskipun ia lebih unggul, tapi kalau lengah sedikit saja tentu akan sangat berbahaya. Hm, aku harus mengacaukan perhatian si tua itu.”
Maka, ia pun mencoba mengolok-olok Yue Buqun, “Adik Xiang, kedatangan kita ke biara Shaolin ini benar-benar menambah banyak pengalaman.”
“Benar,” jawab Xiang Wentian. “Di sini berkumpul tokoh-tokoh persilatan dari papan atas….”
“Satu di antaranya benar-benar tokoh mahasakti,” sambung Ren Woxing.
“Siapakah dia itu?” tanya Xiang Wentian.
“Orang ini telah berhasil menguasai sejenis ilmu sakti yang luar biasa.”
“Ilmu sakti macam apakah itu?”
“Ilmu sakti orang ini disebut Jurus Kulit Muka Besi.”
“Wah, sungguh hebat!” ujar Xiang Wentian. “Selama ini hamba hanya mendengar adanya ilmu sakti Jurus Jubah Besi, tapi tidak pernah tahu tentang Jurus Muka Besi segala. Entah ilmu sakti demikian berasal dari aliran mana?”
“Jurus Jubah Besi adalah ilmu kebal yang membuat sekujur tubuh tidak mempan senjata. Tapi Jurus Muka Besi orang ini hanya khusus membuat kulit mukanya menjadi setebal badak,” kata Ren Woxing. “Tentang asal usul ilmu sakti ini sungguh luar biasa, tidak lain ciptaan Tuan Yue Buqun, ketua Perguruan Huashan yang termasyhur di dunia persilatan pada masa ini.”
“Wah, jika demikian, sejak kini Tuan Yue pasti akan lebih terkenal dan lebih termasyhur di seluruh jagat. Namanya akan tetap terkumandang abadi sepanjang masa,” kata Xiang Wentian.
“Itu sudah pasti,” sambung Ren Woxing. “Kita harus berhati-hati terhadap ilmu sakti ini.”
“Hamba akan menyimpan petuah Ketua di lubuk hati yang paling dalam,” ujar Xiang Wentian sambil membungkuk.
Begitulah, seperti pelawak saja mereka bertanya-jawab untuk mengolok-olok Yue Buqun. Mendengar itu Yu Canghai ikut tertawa terkekeh-kekeh karena antara dirinya dan Yue Buqun sama-sama saling tidak menyukai. Sebaliknya, muka Ning Zhongze merah padam menahan gusar. Sementara itu, Yue Buqun seperti tidak tahu dan tidak mendengar saja. Ia masih saja sibuk melancarkan serangan terhadap Linghu Chong.
Tiba-tiba Yue Buqun menusuk keras. Ketika Linghu Chong mengelak ke kiri, mendadak Yue Buqun menoleh sambil memutar balik ujung pedangnya dan kembali menusuk pula. Ini merupakan jurus Perguruan Huashan yang terkenal dengan nama Kembalinya Si Anak Hilang. Sewaktu Linghu Chong menangkis, dengan cepat Yue Buqun memutar pedangnya lagi dan menebas dari atas ke bawah. Ini merupakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Linghu Chong kembali menangkis jurus ini.
Tiba-tiba Yue Buqun menyerang dengan dua tusukan yang membuat Linghu Chong terkesiap dan terpaksa mundur dua langkah dengan wajah merah merona. Ia hanya berseru, “Guru!”
Yue Buqun mendengus dan menusuk lagi. Kembali Linghu Chong mundur satu langkah. Melihat itu semua orang menjadi heran. Mereka berpikir, “Serangan-serangan gurunya itu hanya biasa saja. Kenapa dia merasa takut dan tidak mampu menangkis?” Mereka tidak tahu bahwa ketiga jurus serangan Yue Buqun yang terakhir itu adalah Jurus Pedang Chong Ling, yakni ilmu pedang ciptaan Linghu Chong dan Yue Lingshan sewaktu latihan bersama dahulu.
Linghu Chong pun teringat kenangan masa lalu, saat hubungannya dengan Yue Lingshan masih hangat dan akrab. Dalam pikiran mereka yang masih kekanak-kanakan, mereka menciptakan ilmu pedang yang hanya mereka berdua saja yang mampu memainkannya. Maka terciptalah Jurus Pedang Chong Ling tersebut.
Linghu Chong sama sekali tidak menduga kalau Yue Buqun ternyata mampu memainkan tiga jurus pedang ciptaannya. Kontan ia merasa serbasalah, malu, dan sedih pula. Dalam hati ia berkata, “Hubunganku dengan Adik Kecil sudah kandas. Sekarang Guru sengaja mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang itu agar aku tersinggung dan berduka sehingga pikiranku menjadi kacau. Ya, kalau mau bunuh aku silakan bunuh saja!” Saat itu Linghu Chong merasa daripada hidup merana di dunia ini lebih baik mati saja sehingga habis perkara.
Menyusul kemudian Yue Buqun menusuk lagi dengan suatu jurus Perguruan Huashan yang disebut Nong Yu Meniup Seruling. Jurus tersebut sangat dihafal oleh Linghu Chong sehingga tanpa sadar ia menangkis begitu saja. Disusul kemudian Yue Buqun mengerahkan jurus Xiao Shi Menunggang Naga. Kedua jurus tersebut saling berkaitan membentuk suatu gerakan indah dan gemulai. Terutama saat memainkan jurus kedua, pedang Yue Buqun bergerak bagaikan naga yang meliuk-liuk di angkasa.
Kedua jurus ciptaan Perguruan Huashan itu diilhami oleh sebuah dongeng kuno tentang seseorang bernama Qin Mukong, yang memiliki putri bernama Nong Yu. Putrinya itu sangat gemar meniup seruling. Kemudian datang seorang perjaka yang juga pandai meniup seruling bernama Xiao Shi yang menunggang seekor naga. Perjaka itu lalu mengajarkan seni musik kepada si gadis. Qin Mukong berkenan mengambil Xiao Shi sebagai menantu untuk dinikahkan dengan Nong Yu. Konon, pasangan suami-istri tersebut kemudian menjadi dewa dan bersemayam di puncak tengah Gunung Huashan.
Kini jurus Xiao Shi Menunggang Naga digunakan Yue Buqun untuk menyerang Linghu Chong. Perasaan Linghu Chong menjadi bingung sementara tangannya menangkis sebisa-bisanya. “Kenapa Guru menggunakan jurus ini? Apakah ia sengaja hendak membuat pikiranku kacau, kemudian membunuhku?”
Dilihatnya Yue Buqun kembali memainkan jurus Kembalinya Si Anak Hilang, kemudian Cemara Tua Menyambut Tamu, kemudian tiga jurus Pedang Chong Ling, lalu jurus Nong Yu Meniup Seruling, dan Xiao Shi Menunggang Naga. Biasanya, jika seorang jago silat bertarung tidak mungkin ia menggunakan rangkaian jurus yang sama lebih dari sekali. Hal itu tentu akan memudahkan musuh untuk mematahkan serangannya. Akan tetapi Yue Buqun benar-benar aneh. Ia sengaja mengulangi rangkaian jurusnya sehingga membuat para penonton terheran-heran.
Tiba-tiba seberkas pikiran terbayang dalam benak Linghu Chong, “Ternyata Guru menggunakan jurus-jurus itu untuk mengingatkan diriku. Aku dimintanya untuk meninggalkan kaum iblis dan kembali ke jalan yang benar. Hm, jadi jurus Kembalinya Si Anak Hilang merupakan isyarat bahwa aku akan diterima kembali di Perguruan Huashan.”
Di Gunung Huashan terdapat banyak pohon cemara tua yang penuh dengan daun-daun menggantung pada rantingnya. Pohon-pohon tersebut berdaun lebat dan cabangnya melengkung seperti menyambut para pendatang yang berkunjung ke puncak gunung. Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu merupakan perwujudan dari pepohonan cemara tersebut. Ketika Yue Buqun kembali menggunakan jurus itu, Linghu Chong berpikir, “Melalui jurus ini Guru seolah memberi tahu bahwa jika aku pulang ke Huashan, bukan hanya keluarga yang menyambutku, tapi pepohonan di puncak gunung juga menginginkanku kembali.”
Sejenak kemudian hatinya kembali bicara, “Guru seolah berkata, aku tidak hanya diterima kembali di perguruan, tapi juga akan dinikahkan dengan Adik Kecil. Guru memainkan tiga jurus Pedang Chong Ling membuatku paham akan maksudnya. Karena aku masih bingung, maka Guru kembali menggunakan jurus Nong Yu Meniup Seruling dan Xiao Shi Menunggang Naga.”
Kembali diterima di Perguruan Huashan merupakan keinginan terbesar Linghu Chong. Melalui rangkaian jurus-jurus tersebut, sang guru menjanjikan dua hal kepadanya, yaitu diterima kembali di perguruan dan dinikahkan dengan Yue Lingshan. Linghu Chong paham sifat gurunya yang tidak pernah ingkar janji. Membayangkan itu semua, hati pemuda itu langsung berbunga-bunga.
Linghu Chong juga sadar kalau Yue Lingshan telah berpaling kepada pemuda lain, yaitu Lin Pingzhi. Gadis itu sudah tidak mencintainya lagi, bahkan sangat benci kepadanya. Namun sesuai adat yang berlaku ribuan tahun, perjodohan ditentukan oleh orang tua, sementara si gadis tidak memiliki hak untuk menolak. Di hadapan para tokoh persilatan, Yue Buqun telah berjanji melalui jurus-jurusnya untuk mengambil Linghu Chong sebagai menantu, dan Yue Lingshan tidak mungkin bisa membantah. Dengan hati gembira pemuda itu berpikir, “Jika aku bisa kembali diterima di Huashan, aku pasti sangat bersyukur. Apalagi jika bisa menikah dengan Adik Kecil, tentu hal ini merupakan karunia dari langit. Adik Kecil mungkin tidak bahagia pada awalnya, tapi aku akan berusaha menyesuaikan diri. Sedikit demi sedikit akan kuubah perasaannya dari benci menjadi sayang kepadaku.”
Wajah Linghu Chong tampak berseri-seri membayangkan kedua janji sang guru menjadi kenyataan. Dilihatnya Yue Buqun kembali melancarkan jurus Kembalinya Si Anak Hilang, disusul Cemara Tua Menyambut Tamu. Namun kali ini gerak pedangnya lebih cepat dan mendesak. Linghu Chong memahami maksudnya, “Guru semakin mendesakku. Ia ingin aku segera meletakkan senjata dan menyerah kalah untuk bisa diterima kembali di perguruan. Jika aku menurut, maka aku pasti segera diterima kembali. Hidupku akan kembali seperti dulu, berbahagia bersama keluargaku di Huashan. Apalagi yang harus kutunggu?” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Tapi, bagaimana dengan Yingying, Ketua Ren, dan Kakak Xiang? Jika aku menyerah kalah, tentu mereka akan dikurung di Biara Shaolin ini. Bisa jadi mereka akan dihukum mati pula. Aku sungguh kejam, memikirkan kesenangan diri sendiri tanpa peduli dengan penderitaan orang lain. Manusia macam apa aku ini?”
Berpikir demikian tubuh Linghu Chong basah oleh keringat dingin dan pandangannya menjadi kabur. Ia sempat melihat Yue Buqun menusuknya dengan jurus Nong Yu Meniup Seruling. Ujung pedang sang guru bergerak cepat dan semakin dekat dengan wajahnya. Kembali ia berpikir, “Yingying sangat pandai meniup seruling. Gadis itu telah berkorban jiwa dan raga demi keselamatanku. Namun, aku sama sekali tidak peduli dengannya. Apakah di dunia ini ada manusia yang lebih rendah dibanding Linghu Chong? Aku tidak pantas disebut sebagai manusia jika tidak membalas kebaikan Yingying.”
Tiba-tiba terdengar suara benturan dua buah pedang yang sangat keras, disusul kemudian sebatang pedang jatuh terbanting di atas lantai. Semua orang menjerit terkejut.
Tubuh Linghu Chong terhuyung-huyung ke belakang. Ketika membuka mata, dilihatnya Yue Buqun juga melompat mundur dengan wajah gusar. Tampak pergelangan lengan kanan sang guru mengucurkan darah. Sewaktu Linghu Chong memeriksa senjatanya sendiri, ternyata ujung pedangnya juga meneteskan darah.
Kontan ia terkejut. Ternyata ketika pikirannya sedang kacau tadi, tangannya sempat menangkis serangan Yue Buqun sekenanya. Entah bagaimana. tanpa terasa yang keluar adalah Sembilan Jurus Pedang Dugu sehingga melukai pergelangan tangan Yue Buqun. Pedang sang guru juga terbanting di lantai.
Dengan cepat Linghu Chong membuang senjatanya, lalu mendekat dan berlutut di hadapan Yue Buqun, sambil berkata, “Guru, saya berdosa besar. Saya pantas dihukum mati.”
Yue Buqun diam saja. Tiba-tiba ia mengangkat sebelah kakinya, lalu menendang dada Linghu Chong dengan tepat. Keras sekali tendangan itu, sehingga tubuh Linghu Chong sampai terlempar ke atas dengan darah segar menyembur dari mulutnya. Seketika itu pula pandangan pemuda itu menjadi gelap. Tubuhnya terbanting sekeras-kerasnya di lantai, namun ia tidak merasakan apa-apa lagi. Ia telah pingsan tak sadarkan diri.
Entah sudah berapa lama dirinya pingsan, perlahan-lahan Linghu Chong membuka mata dan merasa keadaan begitu dingin. Terasa ada sinar api menyilaukan, membuatnya kembali memejamkan mata.
Terdengar suara Ren Yingying berseru gembira, “Kau… kau sudah siuman.”
Linghu Chong pun kembali membuka mata. Dilihatnya sepasang mata indah Ren Yingying sedang menatap kepadanya. Wajah gadis itu berseri-seri tampak sangat gembira. Segera Linghu Chong bermaksud bangun, tapi Ren Yingying mencegahnya dan berkata, “Jangan bangun dulu! Istirahatlah sebentar lagi.”
Linghu Chong memandang sekitarnya. Ternyata ia berada di dalam sebuah gua. Di luar tampak menyala suatu gundukan api unggun. Baru sekarang ia ingat kalau dirinya jatuh pingsan akibat tendangan sang guru. Segera ia bertanya, “Di manakah Guru dan Ibu Guru?”
“Kenapa kau masih memanggil guru padanya?” ujar Ren Yingying. “Di dunia ini mungkin cuma ada seorang guru yang tidak tahu malu seperti dia. Kau banyak mengalah padanya, tapi dia tetap tidak tahu diri, malah tega menendang dadamu dengan sangat keras. Bagus juga tulang kakinya ikut patah.”
“Hah, tulang kaki guruku patah?” seru Linghu Chong terkejut.
“Masih untung dia tidak mati,” sahut Ren Yingying tertawa. “Kata Ayah, kau belum bisa menggunakan Jurus Penyedot Bintang dengan sempurna. Bila tidak, tentu kau takkan terluka.”
“Aku telah melukai pergelangan Guru, lalu mematahkan kakinya… ah, aku ini….” ujar Linghu Chong menggumam.
“Apakah kau menyesal?” tanya Ren Yingying.
“Perbuatanku benar-benar tidak pantas,” sahut Linghu Chong. “Kalau Guru dan Ibu Guru tidak merawat dan membesarkan diriku, bisa jadi aku sudah mati sejak dulu kala. Aku telah membalas kebaikan dengan kejahatan, sungguh lebih rendah daripada binatang.”
“Berulang kali dia bermaksud membunuhmu, apa kau tidak sadar?” sahut Ren Yingying. “Kau telah mengalah padanya sedemikian rupa dan boleh dikata sudah membalas budi kebaikannya. Orang macam dirimu ke mana pun takkan mati. Seandainya keluarga Yue tidak memungutmu, biarpun jadi pengemis juga takkan mati kelaparan. Dia sudah mengusirmu dari Perguruan Huashan. Hubungan antara guru dan murid sudah lama putus, untuk apa lagi kau memikirkan dia?”
Sampai di sini Ren Yingying menahan suaranya dan menyambung lagi, “Kakak Chong, demi diriku kau terpaksa berseberangan dengan guru dan ibu gurumu, sungguh hatiku merasa….” tiba-tiba ia menunduk dengan kedua pipi merona merah.
Linghu Chong melihat wajah gadis itu tersorot sinar api unggun membuatnya bertambah cantik luar biasa. Seketika perasaannya terguncang. Perlahan ia memegang tangan kiri si nona, tapi sampai sekian lama kemudian tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Ia hanya terdengar menghela napas panjang.
“Kenapa kau menghela napas?” tanya Ren Yingying dengan suara halus. “Apakah kau menyesal karena berkenalan denganku?”
“Tidak, tidak!” sahut Linghu Chong cepat. “Mana mungkin aku menyesal? Demi diriku kau rela mengorbankan jiwa ragamu di Biara Shaolin. Biarpun kelak badanku hancur… hancur lebur juga tidak cukup untuk membalas kebaikanmu.”
“Kenapa kau bicara seperti itu?” tanya Ren Yingying sambil menatap tajam. “Jadi sampai detik ini kau masih tetap menganggapku sebagai orang luar.”
Linghu Chong merasa malu dalam hati. Memang selama ini ia merasa masih terpisah oleh sesuatu dengan Ren Yingying. Segera ia berkata, “Aku yang salah bicara. Sejak kini aku akan baik kepadamu dengan sepenuh hati.” Meskipun demikian, Linghu Chong masih saja berpikir, “Lalu bagaimana dengan Adik Kecil? Apakah aku bisa melupakan Adik Kecil?”
Sorot mata Ren Yingying memancarkan rasa bahagia. “Kakak Chong, apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh atau hanya untuk membohongi aku?” ujarnya.
Linghu Chong tersentak dari lamunannya, lalu menjawab segera, “Jika aku membohongi dirimu, biarlah aku mati disambar petir.”
Perlahan-lahan Ren Yingying menggenggam tangan Linghu Chong dengan erat. Sejak lahir sampai sekarang ia merasa detik inilah saat yang paling berharga. Sekujur badan gadis itu terasa hangat. Ia berharap keadaan demikian akan kekal abadi sepanjang masa. Selang agak lama barulah ia berkata lirih, “Orang persilatan seperti kita mungkin ditakdirkan mati dengan cara kurang baik. Kelak jika kau ingkar janji, aku tidak ingin kau mati disambar petir, tapi aku lebih suka… lebih suka menusukmu dengan pedangku sendiri sampai mati.”
Linghu Chong tersentak, sama sekali tidak menduga bahwa si nona akan berkata demikian. Setelah termangu-mangu sejenak, ia kemudian berkata sambil tertawa, “Jiwaku ini telah diselamatkan olehmu dan sejak itu sudah menjadi milikmu. Maka itu, setiap saat kau boleh ambil nyawaku ini kapan saja.”
Ren Yingying tersenyum dan berkata, “Semua orang menyebutmu sebagai pemuda nakal. Nyatanya, kata-katamu memang nakal. Entah mengapa, aku justru me… menyukai pemuda nakal seperti dirimu?”
Linghu Chong tertawa, “Hahaha, Kapan aku pernah berbuat nakal padamu? Karena kau berkata demikian, maka aku akan menjadi pemuda nakal untukmu.”
Tiba-tiba Ren Yingying meloncat mundur. Dengan muka cemberut ia berkata, “Aku menyukai dirimu, tapi kita harus pakai aturan. Jika kau anggap aku ini perempuan murahan, maka kau telah salah sangka.”
“Mana berani aku menganggapmu sebagai perempuan murahan?” sahut Linghu Chong. “Kau adalah nenek agung yang melarangku berpaling memandang padamu.”
Ren Yingying tertawa. Ia teringat pertama kali berkenalan dengan Linghu Chong memang pemuda itu selalu memanggilnya “nenek” dengan penuh hormat. Dengan tertawa geli ia lantas duduk kembali dalam jarak agak jauh.
Linghu Chong ikut tertawa dan berkata, “Kau melarangku berbuat nakal padamu, biarlah selanjutnya aku tetap memanggilmu ‘nenek’ saja.”
“Baik, cucuku yang baik,” sahut Ren Yingying tertawa geli.
“Nenek, aku….”
“Sudahlah, jangan panggil nenek lagi! Nanti saja enam puluh tahun lagi baru kau boleh panggil demikian.”
“Jika kupanggil ‘nenek’ mulai sekarang sampai enam puluh tahun lagi, maka hidupku ini tidak sia-sia,” ujar Linghu Chong.
Terguncang perasaan Ren Yingying mendengarnya. Ia merenung andai saja benar bisa hidup bersanding dengan pemuda itu selama enam puluh tahun, maka hidupnya tentu bahagia seperti naik ke surga.
Dari samping Linghu Chong melihat hidung gadis itu mancung, alisnya panjang, mukanya pun sangat halus. Ia berpikir, “Nona secantik ini kenapa ditakuti dan dihormati oleh tokoh-tokoh persilatan yang kasar dan liar itu? Kenapa juga mereka rela berbuat apa saja untuknya?” Sebenarnya ia hendak menanyakan hal itu kepada si nona, tapi batal.
“Kau ingin bicara apa, silakan berkata saja,” ujar Ren Yingying.
“Selama ini aku tidak habis pikir, mengapa Lao Touzi, Zu Qianqiu, Ji Wushi ,dan yang lain begitu takut kepadamu?” kata Linghu Chong.
“Aku tahu bila persoalan ini tidak kujelaskan tentu hatimu tidak bisa tenteram. Mungkin dalam hatimu kau akan mengira aku ini siluman.”
“Tidak, tidak, aku menganggapmu sebagai dewi kahyangan yang berilmu mahasakti.”
“Dasar mulutmu memang suka bicara melantur. Pantas saja orang mengatakan kau ini pemuda nakal.”
“Jika kau anggap mulutku nakal, biarlah selamanya kau menanak nasi dan masak sayur yang enak-enak untuk menyumbat mulutku saja.”
“Aku tidak pintar memasak. Memanggang kodok saja sampai hangus.”
Linghu Chong terkenang saat memanggang kodok di tepi kali beberapa bulan yang lalu. Ia merasa saat ini seakan-akan kembali pada suasana masa silam itu.
Terdengar Ren Yingying bicara lagi, “Jika kau tidak takut dengan masakan hangusku, maka setiap hari aku akan memasak untukmu seumur hidup.”
“Kenapa tidak?” sahut Linghu Chong. “Jika kau memasak untukku setiap hari, aku akan menghabiskan tiga mangkuk besar setiap hari pula.”
Ren Yingying berkata, “Kau suka bercanda sesuka hatimu. Kau bicara seenaknya untuk menyenangkan hatiku. Aku memang merasa senang mendengarnya.”
Keduanya pun beradu pandang. Cukup lama mereka saling terdiam, sampai akhirnya Ren Yingying berkata lirih, “Kau sudah tahu, ayahku sebenarnya ketua Partai Mentari dan Bulan. Kemudian Paman Dongfang… Maksudku, Dongfang Bubai mengkhianati Ayah dengan perangkapnya yang licik itu. Ia menyekap Ayah di suatu tempat rahasia. Dongfang Bubai berdusta kepada semua orang. Ia mengatakan bahwa Ayah meninggal di tempat yang jauh dan berpesan agar dirinya menjabat sebagai ketua baru. Waktu itu aku masih kecil, sementara Dongfang Bubai teramat cerdik dan licin, sehingga apa yang ia perbuat sama sekali tidak membuatku curiga. Untuk mengelabui orang lain, Dongfang Bubai sengaja memperlakukan aku dengan sangat baik. Apa yang kukatakan selalu ia laksanakan. Sebab itulah di dalam aliran kami kedudukanku sangat dihormati.”
“Apakah semua orang persilatan itu adalah anggota Partai Mentari dan Bulan kalian?” tanya Linghu Chong.
“Tidak semuanya,” jawab Ren Yingying. “Hanya saja mereka di bawah pengaruh kami selamanya, karena sebagian besar pimpinan mereka sudah menelan Pil Penghancur Otak.”
Linghu Chong mendengus. Beberapa waktu yang lalu di Perkampungan Buah Plum, ketika para pemuka aliran sesat seperti Bao Dachu, Qin Weibang, dan yang lain melihat Pil Penghancur Otak di tangan Ren Woxing itu, mereka begitu takut mati. Linghu Chong saat itu ingin membantu namun tidak tahu harus bagaimana.
“Sesudah menelan obat itu,” sambung Ren Yingying, “setiap satu tahun sekali mereka harus menelan obat penawarnya. Kalau tidak, mereka tentu akan mati konyol bila racun yang terkandung dalam obat itu mulai bekerja. Dongfang Bubai memperlakukan orang-orang persilatan itu dengan sangat bengis. Sedikit saja tidak menyenangkan hatinya langsung tidak diberi obat penawar. Selalu saja aku yang harus memintakan ampun serta memintakan obat penawar untuk mereka.”
“O, ternyata demikian. Jadi kau adalah penyelamat jiwa mereka,” ujar Linghu Chong.
“Sebenarnya aku bukan penyelamat apa-apa. Mereka yang menyembah-nyembah dan meminta-minta padaku. Terpaksa aku tidak tega dan tidak bisa tinggal diam. Ini juga bagian dari rencana Dongfang Bubai untuk menipu para anggota partai. Ia ingin menunjukkan betapa dirinya sangat peduli dan hormat kepadaku. Dengan demikian tidak ada yang akan curiga kalau ia telah merebut kedudukan Ayah dengan cara licik,” jawab Ren Yingying.
Linghu Chong manggut-manggut dan berkata, “Orang ini benar-benar ahli siasat yang cerdik.”
“Lama-lama aku merasa susah juga karena selalu memintakan pengampunan untuk mereka kepada Dongfang Bubai,” lanjut Ren Yingying. “Selain itu keadaan di dalam partai juga jauh berbeda dengan sebelumnya. Dongfang Bubai menghendaki dirinya disanjung puji tiap hari, dan itu terdengar sangat menjijikkan. Maka, musim semi tahun lalu aku mengajak keponakanku, Si Kakek Bambu Hijau untuk menemaniku keluar. Tak kusangka aku malah bertemu dirimu di luar kota Luoyang.” Gadis itu kemudian memandang ke arah Linghu Chong. Ia menghela napas dan dadanya terasa penuh dengan kehangatan. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Ribuan orang yang datang ke Biara Shaolin itu tidak semuanya pernah mendapat obat penawar dariku. Tapi bila salah seorang pimpinan mereka, atau keluarga mereka pernah menerima bantuanku, tentu mereka merasa ikut berhutang budi padaku. Lagipula kedatangan mereka ke Gunung Shaoshi ini juga belum tentu demi diriku. Bisa jadi mereka datang atas panggilan Pendekar Besar Linghu, dan mereka tidak berani mangkir.”
“Wah, baru setengah hari kau bergaul denganku sudah mahir memutar lidah,” kata Linghu Chong.
Ren Yingying tertawa riang. Selama hidupnya di dalam Partai Mentari dan Bulan hanya mendapatkan sanjung puji belaka. Siapa pun tidak berani membangkang perintahnya, apalagi berani bergurau dengannya. Namun sekarang Linghu Chong bisa bercanda di hadapannya, tentu saja sangat membuat hati gadis itu gembira.
Selang sejenak Ren Yingying menunduk dan berkata, “Aku sangat senang mendengarmu memimpin orang sebanyak itu datang ke Biara Shaolin untuk menjemputku pulang. Tadinya orang-orang persilatan itu suka membicarakan diriku, bahwa aku jatuh hati padamu. Sementara kau adalah pemuda yang suka bermain cinta di sembarang tempat, yang sama sekali tidak menaruh perhatian padaku…” sampai di sini suaranya menjadi lirih, “tapi setelah keributan di biara itu, paling tidak kau telah mengembalikan kehormatanku dalam pandangan mereka. Andai aku mati juga takkan… takkan menanggung tuduhan jelek lagi.”
Linghu Chong menjawab, “Ketika kau membawaku ke Biara Shaolin dan meminta pengobatan untukku, aku benar-benar tidak tahu sama sekali. Kemudian aku lama terkurung di bawah Danau Barat. Setelah bebas dan mengetahui duduk perkaranya, aku pun datang menjemputmu, tapi kau sendiri sudah cukup banyak menderita.”
“Sebenarnya aku tidak menderita kesulitan apapun selama dikurung di belakang Biara Shaolin. Aku disekap sendirian di suatu rumah batu, dan setiap sepuluh hari datang seorang biksu tua mengantarkan bekal makanan untukku. Selain itu aku tidak pernah melihat siapa-siapa lagi,” ujar Ren Yingying. “Sampai akhirnya Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi datang ke Biara Shaolin. Aku telah dikeluarkan untuk menemui mereka. Saat itu aku baru mengetahui kalau ketua biara ternyata tidak pernah mengajarkan Ilmu Pengubah Otot padamu, juga tidak pernah mengobati penyakitmu. Aku marah karena merasa telah tertipu, dan kucaci maki biksu tua itu. Biksuni Dingxian lantas menghiburku, katanya kau dalam keadaan sehat walafiat. Katanya pula engkau yang telah menyuruh mereka datang ke Biara Shaolin untuk memintakan pembebasanku.”
“Sesudah mendengar demikian barulah kau tidak mencaci maki dia lagi, begitu?” tanya Linghu Chong.
“Ketua Biara Shaolin itu hanya tersenyum saja meski aku telah mencaci maki dia. Ia berkata: ‘Nona, waktu itu saya berjanji akan mengajarkan Ilmu Pengubah Otot kepada Pendekar Linghu untuk memusnahkan bermacam-macam hawa murni kacau di dalam tubuhnya, yaitu apabila dia mau memasuki Perguruan Shaolin dan dapat kuterima sebagai murid. Namun Pendekar Linghu menolak anjuranku, sehingga aku pun tidak dapat memaksanya. Lagipula sewaktu kau memanggul dia ke sini, saat itu keadaannya sangat payah. Namun ketika dia meninggalkan pegunungan ini, biarpun penyakitnya belum sembuh, namun sudah bisa berjalan seperti biasa. Dalam hal ini sedikit-banyak Biara Shaolin juga berjasa baginya.’ Kupikir ucapannya benar juga. Aku lantas berkata: ‘Lalu, kenapa kau menahan aku di sini? Kenapa seorang biksu berkata bohong?’”
“Ya, dia memang tidak seharusnya mendustai dirimu,” ujar Linghu Chong.
“Tapi ada juga alasannya yang masuk akal,” jawab Ren Yingying. “Biksu tua itu mengatakan bahwa aku ditahan di Biara Shaolin supaya dapat melenyapkan sifat jahatku. Huh, omong kosong!”
“Memangnya kau punya sifat jahat apa?” ujar Linghu Chong bertanya.
“Kau tidak perlu berkata-kata manis untuk menyenangkan diriku. Tentu saja aku memiliki sifat jahat. Bahkan, sifatku ini sangat jahat,” kata Ren Yingying. “Tapi kau tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menggunakan sifat jahatku ini padamu.”
“Terima kasih banyak,” jawab Linghu Chong tersenyum.
Ren Yingying melanjutkan, “Aku berkata pada biksu tua itu: ‘Kau sudah begini tua, tapi suka membohongi kaum muda. Sungguh memalukan!’ Biksu tua itu tertawa dan menjawab: ‘Waktu itu kau sendiri yang rela berkorban jiwa raga demi keselamatan Pendekar Linghu. Meskipun kami urung menyembuhkan Pendekar Linghu, tapi jiwamu juga tidak kami usik. Dari kedua biksuni kami mendengar keadaan Pendekar Linghu kini baik-baik saja, bahkan ia telah melakukan banyak perbuatan kesatria di dunia persilatan. Saya sungguh berbahagia mendengarnya. Sekarang demi mengingat nama besar Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi, kau boleh pergi dari sini.’ Begitulah, aku lantas dibebaskan dan turun gunung bersama kedua tokoh Perguruan Henshan itu. Di bawah gunung kami ketemu Tian Boguang Si Pengelana Tunggal Ribuan Li. Dia memberi tahu kami bahwa kau sedang dalam perjalanan bersama ribuan orang menuju Biara Shaolin untuk menjemputku. Kedua biksuni merasa khawatir dan segera kembali ke atas gunung untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah di kedua pihak. Tak disangka, maksud luhur kedua biksuni yang berkepandaian tinggi itu justru harus berakhir di dalam Biara Shaolin.” Usai berkata demikian Ren Yingying menghela napas panjang penuh penyesalan.
Linghu Chong ikut menghela napas dan berkata, “Benar, entah siapakah yang berbuat keji kepada Beliau berdua itu? Pada tubuh kedua biksuni itu sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda luka. Bagaimana cara mereka tewas juga tidak diketahui.”
“Siapa yang bilang tidak ada tanda luka?” sahut Ren Yingying. “Usai pertandingan tiga babak itu, sebelum meninggalkan biara, aku diizinkan melihat jenazah kedua biksuni. Aku sempat membuka baju mereka dan memeriksa jenazah mereka. Kulihat pada bagian ulu hati masing-masing terdapat suatu titik merah bekas tusukan jarum. Jelas mereka tewas tertusuk jarum.”
“Hah!” seru Linghu Chong melonjak kaget. “Jarum beracun? Di dunia persilatan saat ini, siapa yang memakai senjata jarum beracun?”
“Ayah dan Paman Xiang yang berwawasan luas juga tidak tahu. Menurut Ayah, itu bukan jarum beracun, tapi sejenis senjata yang ditusukkan ke titik penting sehingga korbannya mati seketika. Hanya saja tusukan ke ulu hati Biksuni Dingxian agak sedikit melenceng.”
“Benar. Sewaktu aku menemukan Biksuni Dingxian, Beliau belum meninggal. Jika tusukan jarum itu mengarah ke ulu hati, maka jelas ini bukan serangan gelap, tapi pertarungan berhadapan. Tentu pembunuh kedua biksuni itu seorang sakti yang luar biasa.”
“Ya, ayahku pun berkata demikian. Dengan sedikit bukti-bukti itu rasanya tidak sulit menemukan pembunuhnya kelak.”
Tiba-tiba Linghu Chong memukul dinding gua, dan berkata, “Yingying, selama kita masih bernapas, kita harus menuntut balas untuk kedua biksuni yang baik hati itu.”
“Tentu,” sahut Ren Yingying mantap.
Sambil duduk bersandar pada dinding gua, Linghu Chong merasa kaki dan tangannya dapat bergerak leluasa. Dadanya juga tidak terasa sakit, membuatnya menjadi heran, “Aneh, dadaku telah ditendang begitu keras oleh Guru, kenapa sepertinya tidak terluka sama sekali.”
Ren Yingying menjawab, “Ayahku berkata kau telah mempelajari Jurus Penyedot Bintang. Dalam badanmu mengalir berbagai jenis hawa murni orang lain. Maka, kekuatanmu kini sudah jauh lebih kuat daripada gurumu. Namun karena kau tidak mau mengerahkan tenaga untuk melawan tendangan gurumu, akibatnya kau pun muntah darah. Tanpa kau sadari tenaga dalammu yang mahakuat itu telah melindungi tubuhmu sehingga lukamu menjadi ringan. Setelah Paman Xiang mengurut-urut tubuhmu, untuk saat ini kesehatanmu sudah pulih kembali. Hanya saja, kenapa tulang kaki gurumu itu sampai patah benar-benar sangat aneh. Sudah cukup lama Ayah memikirkan hal itu namun tetap tidak tahu sebab musababnya.”
“Tenaga dalamku sangat kuat, sehingga menggetarkan kembali tendangan Guru itu dan mematahkan tulang kaki Beliau. Kenapa hal ini kau bilang aneh?” ujar Linghu Chong.
“Bukan begitu,” sahut Ren Yingying. “Kata Ayah, tenaga dalam yang berasal dari menghisap orang lain bisa untuk melindungi dirimu, namun tidak bisa untuk menyerang lawan kecuali dipergunakan dengan baik. Dibandingkan dengan tenaga dalam yang asli hasil latihanmu masih kalah setingkat.”
“Ternyata demikian,” kata Linghu Chong. Karena tidak paham permasalahannya, ia pun tidak mau banyak berpikir lagi. Ia hanya merasa bersalah karena telah mematahkan tulang kaki sang guru.
Untuk sekian lamanya mereka terdiam. Suasana sunyi senyap, hanya kadang-kadang terdengar suara letikan kayu api yang terbakar di luar gua itu. Tampak salju bertaburan dengan lebatnya, jauh lebih lebat daripada hujan salju di atas Gunung Shaoshi kemarin.
Tiba-tiba Linghu Chong mendengar suara orang bernapas dengan berat dari arah sebelah barat mulut gua. Segera ia memasang telinga untuk mendengarkan lebih cermat. Tenaga dalam Ren Yingying tidak setinggi Linghu Chong, sehingga tidak dapat mendengar suara itu. Namun begitu melihat gerak-gerik si pemuda ia lantas bertanya, “Kau mendengar suara apa?”
“Seperti suara orang bernapas, entah siapa yang datang?” sahut Linghu Chong. “Di mana ayahmu?”
“Ayah dan Paman Xiang bilang mau jalan-jalan keluar,” kata Ren Yingying dengan wajah merah. Ia tahu maksud ayahnya pergi adalah sengaja untuk memberi kesempatan padanya agar bisa bicara lebih leluasa dengan Linghu Chong jika sudah siuman dari pingsannya.
Sementara itu Linghu Chong kembali mendengar suara orang bernapas, “Mari kita keluar melihatnya!”
Keduanya pun keluar gua. Terlihat bekas telapak kaki Ren Woxing dan Xiang Wentian sudah hampir lenyap tertutup salju.
“Dari arah sana datangnya suara napas itu,” kata Linghu Chong sambil menunjuk ke arah jejak-jejak tersebut. Segera mereka mengikuti jejak kaki itu, kira-kira satu-dua li jauhnya. Setelah berbelok di suatu lintasan bukit, tiba-tiba di atas tanah bersalju terlihat Ren Woxing dan Xiang Wentian berdiri sejajar bergandeng tangan tanpa bergerak.
Ren Yingying berseru, “Ayah!” Ia pun menjulurkan tangan untuk memegang sebelah tangan Ren Woxing. Tak disangka, begitu menyentuh tangan sang ayah, seluruh tubuh Ren Yingying langsung tergetar. Terasa olehnya suatu arus hawa mahadingin mengalir keluar dari tangan sang ayah.
“Ayah, kau… kau kenapa….” belum habis ucapannya itu badannya sudah menggigil kedinginan. Tapi ia segera paham duduk permasalahannnya. Tentu keadaan ayahnya itu adalah akibat totokan maut Zuo Lengchan dalam pertandingan lalu. Kini Xiang Wentian sedang membantu Ren Woxing melawan serangan hawa dingin tersebut dengan segenap tenaga dalamnya.
Mula-mula Linghu Chong juga tidak paham. Dilihatnya wajah Ren Woxing dan Xiang Wentian sangat prihatin. Menyusul kemudian Ren Woxing bernapas lagi beberapa kali dengan berat. Baru sekarang ia paham suara napas yang didengarnya tadi ternyata berasal dari orang tua itu.
Ketika melihat tubuh Ren Yingying menggigil kedinginan, tanpa pikir panjang ia lantas memegang tangan si nona. Sekejap saja hawa dingin itu pun mengalir ke dalam tubuhnya. Seketika itu pahamlah Linghu Chong bahwa Ren Woxing telah terserang oleh hawa dingin musuh dan sekarang sedang mengerahkan tenaga untuk memusnahkan hawa dingin tersebut. Segera ia menggunakan cara yang pernah dipelajarinya dari ukiran tulisan pada dipan besi di penjara Danau Barat dulu. Perlahan-lahan ia pun membuyarkan hawa dingin yang mengalir ke dalam tubuhnya.
Begitu mendapat bantuan Linghu Chong, seketika hati Ren Woxing merasa lega. Maklum, Xiang Wentian dan Ren Yingying hanya bisa membantu melawan hawa dingin itu dengan tenaga dalam mereka, namun tidak mengetahui cara untuk membuyarkannya. Dengan bantuan Linghu Chong yang tepat waktu itu, sedikit demi sedikit hawa mahadingin Zuo Lengchan yang menyusup ke dalam tubuh Ren Woxing itu dapat dihisap dan dibuyarkan keluar.
Keempat orang itu pun berdiri kaku dan bergandeng tangan di tanah bersalju seperti patung. Hujan salju masih terus turun dengan lebatnya sehingga lambat laun dari kepala sampai kaki mereka tertutup semua oleh es.
Sambil mengerahkan tenaga Linghu Chong merasa heran kenapa bunga salju yang menimpa mukanya itu tidak mencair? Sebaliknya malah menempel dan membeku serta semakin tebal. Ia tidak tahu bahwa Hawa Murni Mahadingin yang dikuasai Zuo Lengchan itu sangat ampuh. Hawa dingin tersebut jauh lebih dingin daripada salju. Kini kulit badan mereka berempat sudah sedingin es, sementara hanya tubuh bagian dalam saja yang masih terasa hangat. Sebab itulah bunga salju yang menimpa mereka tidak mencair, sebaliknya makin tertimbun dan makin keras.
Selang agak lama, hari sudah mulai terang, tapi hujan salju masih turun dengan lebatnya. Linghu Chong khawatir badan Ren Yingying yang lemah itu tidak tahan terhadap hawa dingin dalam waktu lama. Namun ia merasa racun dingin di tubuh Ren Woxing juga belum terkuras bersih. Meski suara napas berat orang itu sudah tidak terdengar lagi, namun ia tidak berani menghentikan pertolongan karena khawatir akan terjadi hal yang membahayakan. Untungnya ia merasakan tubuh Ren Yingying sudah tidak menggigil lagi, serta dapat pula dirasakan denyut nadi pada telapak si nona.
Keempatnya terbungkus oleh salju yang tebal, serta bagian mata juga terlapis salju beberapa senti. Samar-samar Linghu Chong hanya bisa merasakan hari sudah pagi, namun tetap tak bisa melihat apa-apa. Tanpa menghiraukan urusan lain ia terus mengerahkan tenaganya, berharap racun dingin di tubuh Ren Woxing bisa lekas-lekas dimusnahkan seluruhnya.
Tiba-tiba dari arah timur laut terdengar suara derap kaki kuda makin lama makin mendekat. Kemudian terdengar jelas bahwa yang datang ada dua ekor kuda sedang berlari, yang satu di depan dan yang lain di belakang. Selanjutnya terdengar suara salah satu penunggangnya berteriak, “Adik, Adik, tunggu dulu! Dengarkan aku dulu!”
Meski kedua telinganya tertutup salju tebal, Linghu Chong dapat mendengar dengan jelas bahwa suara itu tidak lain adalah suara Yue Buqun, gurunya. Terdengar orang itu berseru lagi, “Kau tidak paham seluk-beluk permasalahannya langsung marah-marah. Hendaknya kau dengarkan ceritaku dulu.”
Lalu terdengar Ning Zhongze berkata, “Aku merasa kesal sendiri, peduli apa dengan urusanmu? Apa lagi yang perlu diceritakan?”
Suara seruan mereka serta derap kaki kedua ekor kuda itu semakin mendekat. Tampaknya Ning Zhongze berada di depan dan Yue Buqun menyusul di belakang istrinya itu. Linghu Chong menjadi heran. “Perangai Ibu Guru biasanya sangat halus dan tidak pernah ribut mulut dengan Guru. Entah apa sebabnya kali ini Guru membuatnya marah?”
Terdengar kuda sang ibu guru semakin mendekat. Tiba-tiba terdengar Ning Zhongze berseru heran, “Hah?” Menyusul kemudian kudanya meringkik panjang, mungkin karena mendadak ia menahan tali kendali sehingga kudanya itu berhenti dengan kedua kaki depan terangkat.
Selang sejenak Yue Buqun telah menyusul tiba dan berkata, “Di tanah pegunungan ini ternyata ada yang menimbun empat manusia salju. Adik, orang-orangan salju ini bagus sekali dan mirip manusia asli”
Ning Zhongze hanya mendengus tanpa menjawab. Mungkin rasa marahnya belum reda. Tapi yang jelas, dalam hati ia sangat tertarik pada empat manusia salju tersebut.
Linghu Chong merasa heran, “Bagaimana ada empat manusia salju di tanah pegunungan luas ini?” Tapi ia segera paham, “Benar juga, kami berempat tertimbun salju sedemikian tebalnya sehingga Guru dan Ibu Guru menyangka kami adalah empat manusia salju. Ini gawat. Kalau Guru mengetahui yang sesungguhnya, tentu ia akan langsung menusuk kami sampai mati.”
Terdengar Yue Buqun berkata, “Di sini tidak terdapat jejak kaki. Kukira orang-orangan salju ini sudah dibuat beberapa hari yang lalu. Adik, bukankah tiga di antaranya seperti lelaki dan yang satu perempuan?”
“Sepertinya sama saja. Bagaimana kau tahu itu laki-laki dan perempuan?” ujar Ning Zhongze. Ia lalu membentak kudanya hendak melaju kembali.
Namun Yue Buqun segera menahan tali kekang kuda istrinya dan berkata, “Adik, kenapa kau terburu-buru? Di sini tidak ada orang lain. Mari kita bicara panjang lebar!”
“Terburu-buru apa? Aku hanya ingin pulang ke Huashan. Kalau kau lebih suka mengekor kepada Zuo Lengchan, kau pergi sendiri saja ke Songshan,” sahut Ning Zhongze.
“Siapa bilang aku mengekor Zuo Lengchan? Sebagai ketua Perguruan Huashan yang terhormat, untuk apa aku harus tunduk kepada Perguruan Songshan?”
“Maka itu, aku justru tidak paham mengapa sebagai ketua Perguruan Huashan kau justru tunduk begitu saja pada setiap perintah Zuo Lengchan? Sekalipun dia adalah pimpinan dari Serikat Pedang Lima Gunung, tapi harusnya tidak boleh mencampuri urusan dalam Perguruan Huashan kita. Bila kelima perguruan dilebur menjadi satu, lalu nama Perguruan Huashan apa dapat dipertahankan lagi di dunia persilatan? Dahulu sewaktu Guru menyerahkan jabatan ketua padamu, wasiat apa yang Beliau tinggalkan kepadamu?”
“Guru menghendaki agar aku mengembangkan kejayaan Perguruan Huashan,” sahut Yue Buqun.
“Nah, itu dia. Sekarang bila kau menggabungkan Perguruan Huashan ke dalam Perguruan Songshan, lalu bagaimana kau akan bertanggung jawab kepada mendiang guru kita? Biarpun perguruan kita kecil lebih baik mandiri daripada bersandar kepada orang lain.”
Yue Buqun menghela napas, “Adik, menurut pendapatmu, bagaimana kepandaian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi dari Perguruan Henshan jika dibandingkan dengan kita?”
“Kita tidak pernah bertanding melawan mereka. Tapi kurasa setara. Untuk apa kau tanya soal ini?” sahut Ning Zhongze.
“Aku pun berpendapat demikian. Kedua biksuni itu tewas di Biara Shaolin. Jelas Zuo Lengchan yang telah membunuh mereka,” kata Yue Buqun.
Linghu Chong tergetar mendengarnya. Ia memang mencurigai Zuo Lengchan telah membunuh kedua pimpinan Perguruan Henshan tersebut. Orang lain rasanya tidak memiliki kepandaian setinggi itu. Meskipun ilmu silat Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu juga tinggi, namun mereka tidak mungkin membunuh kedua biksuni secara diam-diam. Sebaliknya, Zuo Lengchan sudah terkenal kelicikannya. Apalagi pihak Songshan sebelumnya sudah berselisih paham dengan pihak Henshan, dan menyebabkan kematian Biksuni Dingjing. Tentang kematian kedua biksuni tersebut semakin jelas sebagai perbuatan Zuo Lengchan.
“Lantas bagaimana jika itu memang perbuatan Zuo Lengchan?” ujar Ning Zhongze. “Bila kau punya bukti nyata, seharusnya kau undang seluruh kesatria dan bersama-sama mendatangi Zuo Lengchan untuk membalas sakit hati kedua biksuni.”
Kembali Yue Buqun menghela napas, “Pertama, kita tidak punya bukti. Kedua, kekuatan kita tidak cukup untuk bisa melawannya.”
“Mengapa tidak bisa melawannya? Kita dapat meminta bantuan Biksu Fangzheng dari Biara Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Apakah Zuo Lengchan masih berani?”
“Tapi sebelum Beliau berdua itu dapat kita undang, aku khawatir kita suami istri sudah mengalami nasib seperti kedua biksuni itu,” ujar Yue Buqun.
“Maksudmu kita akan dibunuh juga oleh Zuo Lengchan, begitu?” sahut Ning Zhongze. “Hm, sebagai orang persilatan kenapa harus takut menghadapi kematian? Kalau takut ini dan takut itu, bagaimana kau akan berkecimpung di dunia persilatan?”
Linghu Chong kagum luar biasa mendengar ucapan sang ibu-guru. Ia berpikir, “Meskipun kaum wanita, tapi jiwa kesatria Ibu Guru patut dipuji.”
Terdengar Yue Buqun menjawab, “Aku tidak takut mati, tapi apa untungnya kalau Zuo Lengchan membunuh kita secara licik? Kemudian kita mati dengan seluk-beluk tidak jelas. Akhirnya, dia tetap melebur Serikat Pedang Lima Gunung. Bukan mustahil dia malah menjatuhkan suatu fitnah keji atas diri kita.”
Ning Zhongze terdiam mendengarnya.
Yue Buqun melanjutkan, “Bila kita mati, maka murid-murid Perguruan Huashan tentu akan menjadi mangsa empuk Zuo Lengchan. Mana mungkin mereka sanggup melawannya? Pendek kata, bagaimanapun juga kita harus memikirkan nasib Shan-er.”
Ning Zhongze berdehem perlahan. Sepertinya ia mulai terpengaruh oleh kata-kata sang suami. Selang sejenak baru berkata, “Baiklah, sementara ini kita tidak perlu membongkar tipu muslihat Zuo Lengchan. Kita tetap berpura-pura menurut padanya, sambil menunggu kesempatan yang baik untuk bertindak.”
“Kau setuju dengan kata-kataku, itu bagus sekali,” ujar Yue Buqun. “Sayang sekali kitab Pedang Penakluk Iblis telah dicuri oleh bangsat cilik Linghu Chong. Andai saja ia mau mengembalikannya kepada Pingzhi, tentu semua murid Huashan dapat bersama-sama memelajarinya. Dengan demikian kita tidak perlu takut lagi kepada Zuo Lengchan. Perguruan Huashan kita sekarang dalam keadaan lemah. Bagaimana kita bisa bertahan?”
“Kenapa kau masih saja menuduh Chong-er sebagai pencuri, hanya karena ilmu pedangnya maju pesat?” sahut Ning Zhongze ketus. “Bukankah di Biara Shaolin kita mendengar Pendeta Chongxu berkata bahwa ilmu pedang Chong-er yang luar biasa adalah hasil didikan Paman Feng? Meskipun Paman Feng berasal dari Kelompok Pedang, namun Beliau tetap orang Perguruan Huashan. Tentu saja Chong-er patut kita salahkan karena bergaul dengan aliran sesat. Tapi bagaimanapun juga kita juga salah telah menuduhnya mencuri kitab Pedang Penakluk Iblis. Jika kau tidak pervaya kepada Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, lantas siapa lagi di dunia ini yang bisa kau percaya?”
Linghu Chong sangat bersyukur mendengar ucapan sang ibu guru yang terus menerus membelanya. Rasanya ingin sekali ia keluar dan menyembah wanita itu. Namun tiba-tiba ia merasa kepalanya ditepuk oleh seseorang beberapa kali. “Celaka, mungkin kami sudah ketahuan oleh mereka. Selagi racun dingin pada tubuh Ketua Ren belum musnah sama sekali, apa yang harus kulakukan jika Guru dan Ibu Guru menyerangku?” pikirnya. Ia merasa tenaga dalam yang tersalur dari tangan Ren Yingying juga tergetar beberapa kali. Sepertinya Ren Woxing juga merasa tidak tenteram. Tapi sesudah kepalanya ditepuk orang, ternyata tidak ada kejadian lain lagi.
Terdengar Ning Zhongze berkata, “Kemarin sewaktu kau bertanding dengan Chong-er, berulang-ulang kau memainkan jurus-jurus Kembalinya Si Anak Hilang, Cemara Tua Menyambut Tamu, Nong Yu Meniup Seruling, dan Xiao Shi Menunggang Naga. Apa maksud semua itu?”
“Hehe, meski kelakuan bangsat cilik itu tidak senonoh, tapi bagaimanapun juga dia adalah anak yang kita pungut sejak kecil, rasanya sayang juga jika melihat dia sampai tersesat,” jawab Yue Buqun. “Bila dia mau kembali ke jalan yang benar, aku bersedia menerimanya ke dalam Perguruan Huashan.”
“Lalu bagaimana dengan tiga jurus yang lainnya?” tanya Ning Zhongze.
“Kau sudah tahu, mengapa masih bertanya?” balas Yue Buqun.
“Jika Chong-er kembali ke Huashan, kau akan menjodohkannya dengan Shan-er, bukan?” tanya Ning Zhongze.
“Ya, memang,” sahut Yue Buqun.
“Isyarat yang kau berikan waktu itu hanya sebagai siasat atau memang benar-benar berniat begitu?” Ning Zhongze kembali bertanya.
Yue Buqun terdiam. Segera Linghu Chong merasa kepalanya diketuk-ketuk perlahan lagi oleh seseorang. Maka ia pun paham itu pasti tangan sang guru yang menepuk-nepuk kepala manusia salju sambil berpikir. “Jadi keberadaan kami berempat belum diketahui Guru,” pikirnya.
Sejenak kemudian baru terdengar Yue Buqun menjawab, “Seorang laki-laki harus pegang janji. Sekali aku sudah menyanggupi tentu tidak akan kuingkari.”
“Dia jatuh hati kepada perempuan siluman aliran sesat itu. Apa kau tidak tahu?” ujar Ning Zhongze.
“Tidak, terhadap perempuan siluman itu ia hanya segan dan takut,” ujar Yue Buqun. “Apa kau tidak dapat membandingkan bagaimana sikapnya terhadap Shan-er dan terhadap perempuan siluman itu?”
“Sudah tentu aku dapat melihatnya. Jadi kau yakin dia masih belum bisa melupakan Shan-er?”
“Bukan hanya tidak bisa lupa, bahkan boleh dikata sangat merindukannya,” kata Yue Buqun.
“Tidakkah kau menyaksikan betapa ia bahagia begitu mengetahui makna dari jurus-jurus seranganku itu?”
“Justru karena itu, maka kau menggunakan Shan-er sebagai umpan untuk memancingnya agar sengaja mengalah padamu, bukan?”
Meski telinganya tertutup salju, namun Linghu Chong dapat mendengar kata-kata sang ibu guru yang bernada marah itu. Padahal nada demikian selamanya tak pernah diucapkan oleh Ning Zhongze terhadap suaminya. Bagaimanapun juga ia selalu menghormati kedudukan sang suami sebagai ketua suatu perguruan ternama. Tapi sekarang ia sampai mengucapkan kata-kata bernada menyindir, hal ini menandakan betapa rasa tidak senangnya terhadap sang suami sudah terlalu besar.
Terdengar Yue Buqun menghela napas panjang, “Sampai-sampai kau pun tidak paham maksud tujuanku, apalagi orang luar? Padahal itu semua bukan untuk kepentingan diriku pribadi, tapi demi kehormatan Perguruan Huashan kita. Jika aku dapat menyadarkan Linghu Chong sehingga dia kembali ke dalam Perguruan Huashan, maka ini berarti satu usaha empat keuntungan. Suatu hal yang sangat bagus.”
“Satu usaha empat keuntungan bagaimana?” tanya Ning Zhongze.
“Ilmu pedang Linghu Chong sangat bagus melebihi diriku. Entah ia mendapatkannya dari kitab Pedang Penakluk Iblis, entah ia mendapatkannya dari Paman Feng. Jika dia kembali ke Huashan, itu berarti wibawa Perguruan Huashan kita akan bertambah cemerlang, ini adalah keuntungan pertama. Tipu muslihat Zuo Lengchan untuk mencaplok Perguruan Huashan tentu sukar terlaksana. Bahkan Taishan, Hengshan, dan Henshan juga bisa diselamatkan, ini adalah keuntungan kedua. Jika dia kembali ke Huashan, itu berarti golongan lurus bersih akan bertambah satu jago kelas satu, sebaliknya pihak aliran sesat akan menjadi lemah karena kehilangan seorang pembantu yang diandalkan, ini adalah keuntungan ketiga. Betul tidak, Adik?”
Sepertinya Ning Zhongze tertarik oleh uraian sang suami. Ia lalu bertanya, “Lalu, apa keuntungan yang keempat?”
“Keuntungan keempat ini lebih meyakinkan lagi. Chong-er adalah anak pungut kita. Kita membesarkannya sejak kecil seperti anak kandung sendiri. Melihatnya tersesat ke jalan yang salah sesungguhnya aku merasa sangat sedih. Usiaku sudah lanjut, apa artinya nama besar bagiku di dunia fana ini? Asalkan dia bisa kembali ke jalan yang benar, kita sekeluarga dapat berkumpul kembali dengan bahagia. Bukankah ini suatu peristiwa yang menggembirakan?”
Mendengar sampai di sini, Linghu Chong sangat terharu sehingga air matanya berlinang-linang. Hampir saja ia berteriak, “Guru, Ibu Guru!” Namun untungnya tangan Ren Yingying yang digenggamnya itu agak bergetar sehingga suaranya itu tidak sampai keluar.
(Bersambung)
Bagian 58 ; Bagian 59 ; Bagian 60