Bagian 64 - Menyusup ke Tebing Kayu Hitam

Tebing Kayu Hitam terletak di wilayah Hebei, arah ke timur dari Gunung Henshan. Setelah beberapa hari perjalanan sampailah mereka di wilayah tersebut. Di sepanjang jalan Linghu Chong dan Ren Yingying menumpang di dalam kereta dengan tirai tertutup untuk menghindari mata-mata Dongfang Bubai. Malam itu mereka menginap di Kota Dingzhou yang sudah tidak jauh lagi dari markas Partai Mentari dan Bulan. Di dalam kota itu banyak anggota aliran sesat berlalu-lalang. Shangguan Yun menugasi empat anak buahnya menjaga di sekitar penginapan. Siapa pun yang tidak berkepentingan dilarang keras mendekat.
Sewaktu makan malam, Ren Yingying mengiringi Linghu Chong minum arak. Cahaya lilin yang berkedip-kedip makin menambah kecantikan gadis itu. Setelah meneguk tiga mangkuk arak, Linghu Chong berkata, “Yingying, saat di Biara Shaolin tempo hari ayahmu berkata hanya mengagumi tiga setengah tokoh besar pada zaman ini, dan Dongfang Bubai adalah yang nomor satu. Kalau orang ini mampu merampas kedudukan ketua partai dari tangan ayahmu, sudah tentu ia seorang yang mahapintar. Menurut cerita orang persilatan, konon ilmu silatnya juga nomor satu di dunia ini, apa betul demikian?”
“Dongfang Bubai seorang yang mahacerdik dan banyak tipu muslihat memang tidak perlu disangsikan lagi,” jawab Ren Yingying. “Tapi mengenai sampai di mana ilmu silatnya, aku tidak mengetahuinya dengan begitu jelas, karena beberapa tahun terakhir ini aku sangat jarang berjumpa dengannya.”
“Ya, tentunya kau lebih sering tinggal di Kota Luoyang sehingga jarang berjumpa dengannya,” ujar Linghu Chong.
“Bukan begitu. Meski aku tinggal di Luoyang, tapi setiap tahun aku pulang ke Tebing Kayu Hitam satu atau dua kali. Meskipun demikian tetap saja aku jarang bertemu Dongfang Bubai. Menurut cerita para sesepuh akhir-akhir ini makin sulit untuk bertemu dengan sang ketua.”
“Orang yang berkedudukan tinggi seperti dia sengaja jual mahal agar lebih diagungkan orang,” kata Linghu Chong.
“Itu memang salah satu alasan tepat. Tapi kuduga tentu dia sedang giat melatih ilmu di dalam Kitab Bunga Mentari sehingga tidak ingin pemusatan pikirannya terganggu,” jawab Ren Yingying
“Ayahmu pernah bercerita padaku, dulu karena terlalu asyik melatih cara-cara memusnahkan bergolaknya hawa murni yang dihisap oleh Jurus Penyedot Bintang membuat urusan partai sehari-hari kurang menjadi perhatiannya. Kesempatan ini digunakan Dongfang Bubai untuk merebut kekuasaan. Apakah mungkin Dongfang Bubai akan mengulangi kesalahan ayahmu itu?” Linghu Chong bertanya.
“Sejak Dongfang Bubai tidak banyak memegang urusan partai, akhir-akhir ini semua kekuasaan boleh dikata jatuh ke tangan bocah bermarga Yang itu. Bocah itu tidak akan merampas kedudukan Dongfang Bubai, maka tentang terulangnya peristiwa dahulu tidak perlu dikhawatirkannya,” jawab Ren Yingying.
“Bocah bermarga Yang katamu? Siapa dia? Mengapa selama ini belum pernah kudengar?” tanya Linghu Chong lagi.
Tiba-tiba wajah Ren Yingying menunjukkan perasaan rikuh. Dengan tersenyum ia menjawab, “Kalau bicara tentang dia hanya mengotori mulut saja. Orang di dalam partai kami yang tahu seluk-beluknya tak ada yang sudi membicarakannya, apalagi orang di luar partai jelas tak ada yang tahu tentang dia.”
Linghu Chong semakin penasaran dibuatnya. Ia pun bergaya merengek, “Adik manis, coba ceritakanlah padaku.”
Ren Yingying menjawab, “Bocah bermarga Yang itu bernama lengkap Yang Lianting. Usianya belum genap tiga puluh. Ilmu silatnya rendah, tidak mampu bekerja pula. Tapi akhir-akhir ini Dongfang Bubai justru sangat sayang dan percaya padanya, sungguh sukar dimengerti.” Wajah Ren Yingying kembali bersemu merah, mulutnya mencibir dengan sikap yang menghina.
Linghu Chong menanggapi, “Ah, barangkali bocah bermarga Yang itu simpanan Dongfang Bubai. Sungguh tidak kusangka, Dongfang Bubai sangat hebat ilmu silatnya, tapi dia… tapi dia suka bermain begituan dengan bocah.”
Ren Yingying risih dan menyahut, “Sudahlah, sudahlah! Tak perlu dibicarakan lagi. Aku pun tidak tahu apa yang dipikirkan Dongfang Bubai. Yang jelas segala urusan hampir dia serahkan kepada Yang Lianting sehingga banyak kawan-kawan dalam partai kami yang menjadi korban keculasan orang bermarga Yang itu. Sungguh, bocah itu pantas dibinasakan.”
Tiba-tiba dari luar jendela terdengar suara orang tertawa dan berseru, “Ucapanmu itu salah. Sebaliknya, kita harus banyak berterima kasih kepada bocah bermarga Yang itu.”
“Ayah!” seru Ren Yingying gembira. Segera ia pun membuka pintu.
Ren Woxing dan Xiang Wentian melangkah masuk. Keduanya sama-sama berdandan sebagai kaum petani berbaju kasar, memakai caping besar menutupi wajah pula. Kalau tidak mendengar suaranya tentu sukar mengenali kedua orang tua itu. Segera Linghu Chong memberi hormat dan menyuruh pelayan menambah makanan.
Ren Woxing berkata dengan penuh semangat “Akhir-akhir ini aku dan Adik Xiang menghubungi kawan-kawan lama di dalam partai, hasilnya ternyata sangat memuaskan. Sebagian besar di antara mereka menyambut kemunculanku dengan gembira. Mereka berkata, akhir-akhir ini Dongfang Bubai sudah mendekati kebangkrutan karena dijauhi pengikut-pengikutnya. Terutama karena bocah bermarga Yang itu, asalnya cuma seorang keroco, lantaran bisa memikat Dongfang Bubai sehingga memegang kekuasaan. Kemudian dengan banyak gaya, tidak sedikit tokoh-tokoh terkemuka dan berjasa di dalam partai yang menjadi korbannya. Disingkirkan atau dibunuh. Perbuatan bocah bermarga Yang itu bukankah sangat menguntungkan kita? Bukankah seharusnya kita malah berterima kasih kepadanya?”
Ren Yingying mengangguk, lalu bertanya, “Dari mana kalian mengetahui kedatangan kami, Ayah?”
“Adik Xiang sempat berkelahi dengan Shangguan Yun, kemudian baru kami tahu kalau dia telah tunduk kepadamu,” kata Ren Woxing dengan tertawa.
“Paman Xiang tidak melukai dia, bukan?” tanya Ren Yingying.
“Tidak mudah melukai Si Pendekar Rajawali,” ujar Xiang Wentian dengan tersenyum.
Tiba-tiba terdengar suara suitan melengking tajam dari luar, sampai-sampai mendirikan bulu roma di malam sunyi itu.
“Apakah Dongfang Bubai mengetahui kedatangan kita?” kata Ren Yingying. Lalu ia berpaling dan menjelaskan kepada Linghu Chong, “Suara suitan ramai itu adalah tanda untuk menggerebek musuh atau menangkap kaum pengkhianat. Bila mendengar tanda-tanda itu serentak para anggota dalam partai harus bersiap siaga.”
Sejenak kemudian, terdengar suara empat ekor kuda melaju dengan cepat melintas di depan penginapan. Salah seorang penunggang kuda itu berseru, “Titah Ketua, pemimpin Balai Angin Guntur, Tong Baixiong, bersekongkol dengan musuh dan bermaksud memberontak. Diperintahkan kepada segenap anggota untuk membantu menangkapnya segera, bila melawan boleh dibunuh tanpa bertanya.”
“Paman Tong memberontak? Mana mungkin?” ujar Ren Yingying lirih. Sayup-sayup terdengar suara deru laju kuda itu semakin lama semakin menjauh. Kejadian tadi menunjukkan kalau wilayah di kota itu sudah berada dalam kekuasaan Partai Mentari dan Bulan, sementara pemerintah resmi sama sekali tidak berdaya.
“Tajam juga sumber berita Dongfang Bubai. Baru kemarin kami bertemu dengan si tua Tong dan sekarang hal ini sudah diketahui olehnya,” kata Ren Woxing.
Ren Yingying merasa lega, “Jadi Paman Tong juga sanggup membantu kita?”
“Mana mau dia mengkhianati Dongfang Bubai,” jawab Ren Woxing. “Lama sekali aku dan Adik Xiang bicara dengannya, namun sukar sekali mengubah pendiriannya. Akhirnya dia berkata: ‘Hubunganku dengan Ketua Dongfang boleh dikata sehidup-semati, hal ini pun sudah kalian ketahui. Tapi sekarang kalian sengaja membujuk aku, jelas kalian memandang rendah kepadaku dan menganggapku sebagai pengecut yang suka menjual kawan. Memang akhir-akhir ini Ketua Dongfang tidak sedikit berbuat kesalahan karena dipengaruhi penjilat busuk itu. Namun, andai nanti Ketua Dongfang hancur lebur juga aku yang bermarga Tong ini tak akan berbuat sesuatu pun yang tidak baik kepadanya. Aku mengaku bukan tandingan kalian berdua, jika mau bunuh, silakan bunuh saja diriku.’ – Si tua Tong itu makin tua makin berapi.”
“Sungguh seorang kesatria sejati, seorang kawan yang setia,” ujar Linghu Chong.
“Jika dia sudah menolak bujukan Ayah, kenapa sekarang Dongfang Bubai justru hendak menangkap dia?” tanya Ren Yingying.
“Ini namanya dunia sudah berbalik,” ujar Xiang Wentian. “Umur Dongfang Bubai belum terlalu tua, tapi tindak tanduknya sudah pikun. Kawan karib yang setia seperti Tong Baixiong itu ke mana lagi hendak dicari?”
“Tapi dengan adanya perselisihan antara Dongfang Bubai dengan Tong Baixiong, itu berarti malah menguntungkan usaha kita,” kata Ren Woxing tertawa. “Mari kita sama-sama mengeringkan satu cawan.”
Mereka berempat lantas mengangkat cawan sebagai tanda ucapan selamat dan bersyukur.
Ren Yingying lalu menjelaskan kepada Linghu Chong, “Paman Tong itu seorang tokoh angkatan tua partai kami. Dahulu ia banyak berbuat jasa sehingga sangat dihormati. Biasanya ia tidak begitu cocok dengan Ayah, tapi sangat karib dengan Dongfang Bubai. Bagaimanapun kesalahan yang ia perbuat seharusnya Dongfang Bubai dapat mengampuninya.”
Ren Woxing menyahut, “Dongfang Bubai hendak menangkap Tong Baixiong, sudah tentu di Tebing Kayu Hitam saat ini dalam keadaan kacau. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk kita naik ke sana.”
“Bagaimana kalau kita undang pula Shangguan Yun untuk diajak berunding?” tanya Xiang Wentian.
“Boleh,” jawab Ren Woxing.
Xiang Wentian melangkah keluar, dan tidak lama kemudian masuk lagi bersama Shangguan Yun. Begitu melihat Ren Woxing, segera Shangguan Yun menyembah penuh hormat, “Hamba Shangguan Yun menyampaikan hormat kepada Ketua, semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan.”
Dengan tertawa Ren Woxing menjawab, “Adik Shangguan, kudengar kau ini seorang laki-laki yang keras, mengapa dalam pertemuan pertama ini kau sudah mengucapkan kata-kata demikian?”
Shangguan Yun merasa bingung, kemudian berkata, “Hamba tidak paham, mohon Ketua sudi memberi petunjuk.”
Ren Yingying menyela, “Ayah, barangkali engkau merasa heran terhadap pujian-pujian yang diucapkan Paman Shangguan tadi?”
“Ya, aku merasa seperti menjadi raja dengan sanjung puji yang luar biasa itu,” kata Ren Woxing.
“Semua itu sengaja ditetapkan Dongfang Bubai agar anak buahnya selalu mengucapkan sanjung puji demikian bila berhadapan dengannya,” tutur Ren Yingying dengan tersenyum. “Rupanya Paman Shangguan sudah terbiasa memakai pujian-pujian seperti itu sehingga kepada Ayah pun ia menggunakan kata-kata yang sama.”
“O, kiranya demikian,” kata Ren Woxing. “Adik Shangguan, kabarnya Dongfang Bubai memerintahkan untuk menangkap Tong Baixiong. Kukira saat ini suasana di Tebing Kayu Hitam sedang kacau-balau. Bagaimana kalau malam ini juga kita naik ke atas sana?”
Shangguan Yun menjawab, “Ketua sangat bijaksana. Ini adalah siasat sederhana namun bisa membuka mata banyak orang. Siasat ini demi kebaikan banyak orang di dunia. Siasat ini tidak mungin bisa dikalahkan, dan kemenangan akan berada dalam genggaman Ketua. Hamba akan melaksanakan perintah ini dengan baik, dan akan selalu setia kepada Ketua. Jika hamba berani membantah biarlah hamba mati seribu kali.”
Ren Woxing terperanjat mendengarnya. Ia mendengar nama besar Shangguan Yun di dunia persilatan sebagai sosok yang keras dan jujur. Tapi mengapa ia begitu pandai mengucapkan kata-kata sanjungan yang menjijikkan macam itu? Apakah berita di dunia persilatan itu keliru, ataukah nama besar Shangguan Yun yang salah alamat?
“Ayah,” ujar Ren Yingying menyela, “untuk menyusup ke dalam Tebing Kayu Hitam sebaiknya kita menyamar saja supaya tidak dikenali musuh. Yang lebih penting lagi adalah kita harus menghafal istilah-istilah yang lazim digunakan di sana saat ini, yaitu sanjung puji sebagaimana yang diucapkan Paman Shangguan tadi. Istilah-istilah demikian sebenarnya buatan Yang Lianting untuk menjilat Dongfang Bubai. Rupanya Dongfang Bubai sangat senang menerima pujian-pujian semacam itu. Kalau bawahannya tidak mengucapkan kata-kata pujian seperti itu lantas dianggap berdosa dan dijatuhi hukuman, bahkan dibinasakan.”
“Kalau bertemu Dongfang Bubai, apa kau sendiri juga menggunakan sanjung puji sialan seperti itu?” tanya Ren Woxing.
“Kalau tinggal di Tebing Kayu Hitam, mau tidak mau terpaksa harus mengikuti peraturan di sana,” jawab Ren Yingying. “Oleh karena itu aku lebih sering tinggal di Luoyang, untuk menghindari rasa muak terhadap tingkah laku menjijikkan mereka itu.”
“Adik Shangguan,” kata Ren Woxing kemudian, “untuk selanjutnya kita tidak perlu memakai cara-cara seperti tadi.”
“Baik,” jawab Shangguan Yun, namun ia melanjutkan, “Ketua bijaksana dan mahaadil. Perintah Ketua bagaikan sinar mentari yang menghangatkan bumi, tentu akan hamba patuhi. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi.”
Ren Yingying geli mendengarnya dan menutup mulut supaya tidak mengeluarkan suara tawa.
“Bagaimana pendapatmu agar kita dapat naik ke Tebing Kayu Hitam dengan lancar?” tanya Ren Woxing.
“Tentu Ketua sudah memiliki rencana dan perhitungan yang bagus,” jawab Shangguan Yun. “Pada zaman ini siapa orangnya yang bisa menandingi kepandaian Ketua? Di hadapan Ketua mana berani hamba ikut bicara?”
“Apakah di waktu Dongfang Bubai mengadakan perundingan urusan penting juga tidak seorang pun yang berani angkat bicara?” tanya Ren Woxing.
“Ayah,” Ren Yingying menyela, “Dongfang Bubai seorang mahacerdik, orang lain sukar menandingi kepandaiannya. Maka biasanya memang tidak seorang pun yang berani sembarangan mengemukakan pendapat untuk menghindari bencana yang tak terduga.”
“O, ternyata demikian,” kata Ren Woxing. “Adik Shangguan, ketika Dongfang Bubai menyuruhmu pergi menangkap Linghu Chong, perintah apa yang dia berikan padamu?”
“Dia mengatakan akan ada hadiah besar bila Pendekar Linghu dapat ditangkap. Bila tidak bisa menangkapnya, kami harus kembali membawa kepala kami sendiri,” tutur Shangguan Yun.
“Baik, sekarang juga kau boleh meringkus Linghu Chong untuk menerima hadiahnya nanti,” kata Ren Woxing dengan tertawa.
Shangguan Yun tergetar mundur, dan berkata, “Pendekar Linghu adalah menantu kesayangan Ketua. Beliau berjasa besar pula bagi partai kita. Mana berani hamba kurang sopan kepada Beliau?”
“Bukankah tempat kediaman Dongfang Bubai sangat sulit didatangi?” ujar Ren Woxing, “dengan meringkus Linghu Chong, tentu dia akan menerima kedatanganmu,”
“Siasat ini sangat bagus,” seru Ren Yingying gembira. “Kita bisa menyamar sebagai anak buah Paman Shangguan untuk menemui Dongfang Bubai. Setelah berhadapan dengan dia serentak kita mengerubutnya. Tidak peduli apakah dia sudah berhasil menguasai semua ilmu dalam Kitab Bunga Mentari atau belum, yang pasti dia tentu sulit menandingi serangan empat orang sekaligus.”
Xiang Wentian menambahkan, “Sebaiknya Adik Linghu pura-pura terluka parah dengan tangan dan kaki dibalut, dinodai dengan darah pula, lalu kita menggotongnya dalam usungan. Dengan demikian, Dongfang Bubai pasti tidak akan berjaga-jaga. Di dalam usungan itu dapat pula kita sembunyikan senjata,”
“Bagus, bagus!” seru Ren Woxing setuju.
Sementara itu dari ujung jalan raya kembali terdengar suara deru laju kuda dan teriakan seorang penunggangnya, “Ketua Balai Angin Guntur sudah tertangkap! Ketua Balai Angin Guntur sudah tertangkap!”
Ren Yingying mengajak Linghu Chong keluar penginapan. Mereka melihat beberapa puluh penunggang kuda memegang obor, menggiring seorang tua lewat dengan cepat. Seluruh rambut dan jenggot orang tua itu sudah beruban, wajahnya pun berlumuran darah. Sepertinya sebelum tertangkap ia sempat melawan dengan pertarungan sengit lebih dulu. Kedua tangan orang tua itu tampak terikat di belakang. Sorot matanya berkilat-kilat, seperti menanggung kemarahan yang sangat besar.
Dengan suara perlahan Ren Yingying berbisik kepada Linghu Chong, “Beberapa tahun yang lalu bila bertemu dengan kakek itu, biasanya Dongfang Bubai suka memanggilnya dengan sangat akrab. Siapa sangka sekarang dia sudah melupakan hubungan baik di masa lalu.”
Tidak lama kemudian Shangguan Yun telah menyediakan usungan dan sebagainya. Ren Yingying membalut lengan Linghu Chong dengan kain putih dan menggantungkannya di depan dada pemuda itu. Seekor kambing disembelih pula dan darahnya dipakai untuk melumuri badan Linghu Chong.
Ren Woxing dan Xiang Wentian lantas berganti pakaian, menyamar sebagai anak buah Shangguan Yun. Ren Yingying juga menyamar sebagai laki-laki. Wajah mereka sengaja dikotori supaya sulit untuk dikenali lagi. Setelah makan kenyang, mereka pun berangkat menuju Tebing Kayu Hitam.
Kira-kira empat puluh li di sebelah barat laut Kota Dingzhou terdapat sebuah batu tebing berwarna merah darah di tepi sebuah teluk panjang. Air di teluk itu mengalir sangat deras. Teluk tersebut terkenal dengan nama Teluk Monyet. Lebih ke utara lagi dari teluk panjang itu hampir kedua tepinya hanya berupa tebing-tebing licin. Di situ hanya terdapat sebuah jalanan batu selebar satu meteran. Sepanjang jalan dijaga dengan ketat oleh anggota Partai Mentari dan Bulan. Namun begitu melihat Shangguan Yun yang lewat para penjaga itu sangat segan dan langsung memberi hormat.
Setelah menyusuri tiga jalan pegunungan, akhirnya mereka sampai juga di tepi teluk. Shangguan Yun melepaskan panah bersuara. Dari seberang muncul tiga buah sampan datang menyambut mereka ke seberang sana. Dalam hati Linghu Chong mengagumi betapa hebat penjagaan yang dibangun Partai Mentari dan Bulan selama ratusan tahun itu. Andai saja bukan karena Shangguan Yun, jangan harap orang luar mampu masuk ke dalam markas partai yang ketat itu.
Sampai di seberang, jalanan bertambah curam. Semua orang harus meninggalkan kuda dan berjalan kaki untuk melaluinya. Beberapa orang memegang obor untuk menerangi jalan. Ren Yingying selalu berjaga di samping usungan. Senjata pun siap di tangannya. Linghu Chong sendiri merasa ngeri melewati jalanan curam itu. Ia tidak takut diserang musuh. Yang ia khawatirkan justru apabila anak buah Shangguan Yun yang sedang mengusungnya itu tiba-tiba memberontak dan melemparkannya ke dasar jurang. Tentu ia akan mati seketika di tangan mereka.
Ketika rombongan itu sampai di gerbang markas Partai Mentari dan Bulan hari masih sangat gelap. Shangguan Yun mengirim orang untuk melaporkan secara kilat bahwa perintah sang ketua telah dilaksanakan dengan baik. Tidak lama kemudian terdengar suara gong yang cukup nyaring. Serentak Shangguan Yun berdiri tegak penuh hormat.
Ren Yingying memberi isyarat kepada ayahnya dan berbisik, “Lekas berdiri tegak, ada titah sang Ketua.”
Ren Woxing merasa heran, tapi ia pun menurut dan segera berdiri tegak. Dilihatnya segenap anggota juga mendadak berdiri tegak. Suara gong tadi terus bergema dari atas menuju ke bawah dengan sangat cepat. Ketika suara itu berhenti sejenak barulah semua orang berani bergerak. Seorang berbaju kuning tampak masuk ke ruangan tunggu dan membentangkan sepotong kain berwarna kuning pula. Ia membaca tulisan pada kain itu, “Ketua Dongfang pemimpin Partai Mentari dan Bulan yang mahabijak dan mahaagung memberikan titah sebagai berikut: Jia Bu dan Shangguan Yun telah melaksanakan perintah dan pulang dengan hasil yang baik. Jasa mereka patut mendapat pujian. Diperintahkan sekarang juga boleh menghadap ke atas dengan membawa serta tawanan.”
Shangguan Yun membungkuk dengan penuh hormat, “Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.”
Diam-diam Linghu Chong merasa geli karena kelakuan mereka itu seperti permainan sandiwara di atas panggung. Seperti kasim istana pula.
Sementara itu Shangguan Yun berseru pula, “Ketua sudi menerima hamba, budi baik mahabesar ini takkan hamba lupakan seumur hidup.” Serentak anak buahnya juga berseru menirukan ucapan itu. Sudah tentu Ren Woxing dan Xiang Wentian tidak sudi menirukan kata-kata tersebut. Mereka hanya komat-kamit saja, sambil menggerutu di dalam hati.
Begitulah, rombongan itu lantas naik ke atas tebing melalui undak-undakan batu. Mereka melintasi tiga buah pintu terali besi dan setiap kali selalu ditegur oleh para penjaga menggunakan kata sandi rahasia dan digeledah barang bawaan masing-masing. Akhirnya mereka sampai juga di depan sebuah pintu batu besar. Pada kedua sisi pintu itu terpahat tulisan-tulisan besar yang artinya mengagungkan penghuni di situ, antara lain “Pelajar Berbudi Luhur, Kesatria Rendah Hati” di pintu kiri, dan “Adil Bijaksana” pada pintu kanan. Selain itu terdapat pula papan nama tergantung bertuliskan: “Mentari dan Bulan Cemerlang”.
Setelah melewati pintu batu itu, terlihat sebuah keranjang bambu besar di atas tanah. Begitu besar keranjang bambu itu sehingga cukup untuk memuat belasan orang sekaligus.
“Angkat tawanan ke dalam situ,” seru Shangguan Yun.
Linghu Chong segera digotong oleh Ren Woxing, Xiang Wentian, dan Ren Yingying bertiga ke dalam keranjang raksasa tersebut. Ketika terdengar bunyi gong tiga kali, keranjang itu mulai naik ke atas. Rupanya di atas terdapat suatu kerekan untuk menarik keranjang itu menaiki tebing. Sewaktu Linghu Chong memandang ke sekelilingnya, terlihat beberapa titik sinar bintang, jelas menunjukkan Tebing Kayu Hitam ini memang luar biasa tingginya.
Ren Yingying menggenggam tangan Linghu Chong. Dalam kegelapan tampak pula gumpalan-gumpalan mega melayang lewat di atas kepala mereka. Sejenak kemudian mereka semua sudah ditelan oleh lautan awan. Kali ini titik-titik sinar tadi sudah tidak terlihat lagi, yang ada hanya kegelapan menyelimuti mereka.
Beberapa waktu kemudian barulah keranjang raksasa itu berhenti. Linghu Chong diusung keluar dan dipindahkan lagi ke sebuah keranjang lain yang terletak belasan meter di sebelah kiri sana. Rupanya puncak Tebing Kayu Hitam itu terlalu tinggi sehingga kerekan-kerekan yang dipasang itu terbagi dalam empat tingkat. Empat kali mereka harus dikerek barulah mencapai puncak tebing tersebut. Melewati itu semua Linghu Chong merenung, “Sedemikian tinggi tempat tinggal Dongfang Bubai, pantas sukar sekali bawahannya hendak menemui dia.”
Akhirnya sampai juga mereka di puncak tebing. Sementara itu matahari telah terbit pula di ufuk timur dan memancarkan sinarnya yang gemilang. Sebuah gapura batu marmer megah gemerlapan terkena cahaya matahari. Pada batu itu tertulis sebuah kalimat dalam huruf-huruf berwarna kuning keemasan: “Demi Kebahagiaan Rakyat Jelata”.
Linghu Chong kembali berpikir, “Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi kemegahan Dongfang Bubai? Bahkan, Shaolin dan Wudang juga belum tentu mampu, apalagi Huashan dan Henshan. Dongfang Bubai memang manusia luar biasa, yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Sebaliknya, Ren Woxing menggerutu membaca tulisan pada gapura marmer tersebut, “Demi kebahagiaan rakyat jelata? Huh.”
Shangguan Yun kemudian berseru, “Hamba Shangguan Yun, pemimpin Balai Macan Putih mohon bertemu sesuai izin Ketua.”
Dari sebuah rumah batu kecil di sebelah kiri muncul empat orang, semuanya berbaju ungu. Seorang di antaranya berkata, “Selamat atas jasa besar yang telah dicapai Sesepuh Shangguan. Mengapa Sesepuh Jia tidak ikut datang?”
“Sesepuh Jia telah gugur melawan musuh sebagai wujud pengabdiannya kepada Ketua yang mahabijak,” jawab Shangguan Yun.
“O, kiranya demikian,” kata orang itu. “Jika begitu Sesepuh Shangguan tentu akan segera naik pangkat.”
“Bila mendapat anugerah Ketua tentu kebaikan Saudara takkan kulupakan,” ujar Shangguan Yun.
Mendengar ucapan Shangguan Yun yang menjanjikan hendak memberi persen kepadanya, orang itu terlihat senang, kemudian berkata, “Terima kasih sebelumnya.”
Ia kemudian melirik ke arah Linghu Chong yang telentang di atas usungan. Sambil tertawa ia berkata, “Apakah bocah ini yang digandrungi Nona Ren? Tadinya aku kira dia setampan Pan An atau Song Yu dalam cerita dongeng, tak tahunya cuma begini saja. Ketua Balai Naga Hijau Shangguan, silakan ikut denganku.”
Shangguan Yun menjawab, “Ketua belum mengangkat derajatku, janganlah Saudara buru-buru memanggil demikian padaku. Kalau sampai Ketua atau Pengurus Yang mendengar ini, mungkin aku bisa celaka.”
Orang itu meringis dan menjulurkan lidah, kemudian tidak bicara lagi. Ia lantas mendahului berjalan di depan sebagai pengantar. Dari gapura itu menuju ke pintu gerbang harus melalui sebuah jalan balok batu yang lurus. Setelah memasuki pintu gerbang, dua orang berbaju ungu yang lain mengantar mereka ke ruang belakang. Kepada Shangguan Yun ia berkata, “Pengurus Yang berkenan menemuimu, silakan tunggu di sini.”
“Baik,” jawab Shangguan Yun dengan berdiri tegak dan tangan lurus ke bawah.
Cukup lama mereka menunggu tapi orang yang disebut “Pengurus Yang” itu belum juga terlihat datang. Selama itu pula Shangguan Yun tetap berdiri tegak dan tidak berani mengambil tempat duduk.
Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Kedudukan Tuan Shangguan di dalam partai cukup tinggi, boleh dikata hanya satu-dua tingkat saja di bawah sang ketua. Namun di atas Tebing Kayu Hitam ini ternyata hampir setiap orang tidak menghargainya, seakan-akan seorang pelayan juga lebih terhormat dari dia. Lalu siapa pula Pengurus Yang itu? Kemungkinan besar pasti Yang Lianting. Padahal dia hanya seorang ‘pengurus rumah tangga’ saja, tetapi ketua Balai Macan Putih yang termasyhur ternyata harus berdiri menunggunya dengan penuh hormat. Peraturan yang dibuat Dongfang Bubai sungguh keterlaluan.”
Selang agak lama barulah terdengar suara langkah orang datang ke tempat itu. Dari suara kakinya yang cepat tapi ringan menunjukkan orang ini tidak memiliki tenaga dalam yang kuat. Kemudian terdengar orang itu berdehem satu kali, lalu muncul dari balik pintu.
Ketika Linghu Chong melirik, dilihatnya pria itu berusia sekitar tiga puluhan. Ia memakai jubah satin berwarna merah gelap, badannya kekar, mukanya penuh berewok, sikapnya pun terlihat gagah. Jika orang awam yang melihat tentu mengira dia menguasai ilmu silat tinggi.
Kembali Linghu Chong merenung, “Menurut cerita Yingying, orang ini sangat disayang oleh Dongfang Bubai, mungkin pula keduanya mempunyai hubungan yang istimewa. Tadinya kukira dia pasti seorang bocah berwajah manis, siapa tahu ternyata seorang laki-laki kekar. Mungkin orang ini bukan Yang Lianting.”
Terdengar orang itu berkata, “Sesepuh Shangguan, engkau telah berjasa besar dengan berhasil menangkap Linghu Chong, untuk ini Ketua merasa sangat senang.” Orang itu bertubuh gagah tapi ternyata bersuara sangat merdu dan enak didengar.
Shangguan Yun membungkuk dan menjawab, “Semua ini berkat restu dari Ketua yang mahaagung dan bimbingan Pengurus Yang yang bijaksana. Hamba hanya sekadar menjalankan titah Ketua.”
Linghu Chong terkejut dalam hati, “Hah, orang ini benar-benar Yang Lianting!”
Yang Lianting berjalan mendekati usungan dan memandangi Linghu Chong. Dengan sengaja Linghu Chong membuka mulutnya setengah menganga dan sorot mata buram sehingga mirip seperti orang yang benar-benar terluka parah.
“Orang ini tampaknya setengah sekarat. Apa benar dia ini Linghu Chong? Kau tidak keliru?” tanya Yang Lianting.
“Tidak mungkin keliru, hamba menyaksikan sendiri dia diangkat sebagai ketua Perguruan Henshan,” jawab Shangguan Yun. “Hanya saja dia telah tertotok tiga kali oleh Sesepuh Jia dan terkena dua kali pukulanku pula. Lukanya memang parah, dalam waktu setahun belum tentu bisa pulih.”
“Bagus, bagus!” puji Yang Lianting. “Kau telah memukul kekasih Nona Ren sampai seperti ini. Hati-hati, dia akan datang dan membunuhmu.”
“Hamba hanya setia kepada Ketua,” jawab Shangguan Yun. “Hamba tidak peduli meskipun harus celaka di tangan orang, asalkan hamba bisa tetap setia sampai mati. Hamba hanya ingin keluarga hamba hidup aman.’
“Tentu saja,” jawab Yang Lianting. “Jasamu ini tentu akan kulaporkan kepada Ketua dan kau akan mendapatkan ganjaran semestinya. Ketua Balai Angin Guntur telah berkhianat. Apakah kau sudah mengetahui urusan ini?”
“Hamba tidak jelas duduk persoalannya dan berencana meminta petunjuk Pengurus Yang. Apabila Ketua dan Pengurus Yang memberikan perintah, hamba siap mengorbankan jiwa raga demi terlaksananya tugas tersebut. Sedikit pun hamba tidak akan membantah meski harus mati seribu kali,” jawab Shangguan Yun.
Yang Lianting lantas duduk di atas kursi sambil menghela napas, lalu berkata, “Si tua Tong Baixiong makin tua makin menjadi. Dia suka berlagak sebagai orang kepercayaan Ketua dan memandang sebelah mata kepada orang lain. Akhir-akhir ini dia bahkan bersekongkol dan berkomplot dengan maksud memberontak kepada Ketua. Memang sudah lama kulihat tingkahnya yang mencurigakan itu, tapi siapa sangka dia malah tambah berani. Akhir-akhir ini bahkan bersekongkol dengan pengkhianat besar Ren Woxing.”
“Dia… dia berkomplot dengan… dengan orang bermarga Ren itu?” Shangguan Yun menegas dengan suara agak gemetar.
“Sesepuh Shangguan, kenapa kau jadi ketakutan begini?” tanya Yang Lianting. “Ren Woxing itu bukan manusia yang bertangan enam dan berkepala tiga. Dahulu Ketua pernah membuatnya tak berdaya. Jika dia masih tetap hidup sampai sekarang, itu semua karena kebaikan hati Ketua. Kalau sekarang dia berani datang lagi ke Tebing Kayu Hitam ini, hm, apa dia tidak takut disembelih seperti ayam?”
“Ya, ya. Entah bagaimana Tong Baixiong itu bersekongkol dengan dia?” Shangguan Yun bertanya dengan tergagap-gagap.
“Tong Baixiong telah mengadakan pertemuan rahasia dengan Ren Woxing. Selain mereka hadir pula seorang pengkhianat lain, yaitu Xiang Wentian. Ketika dia kembali ke sini dan kutanyakan perbuatannya itu, ternyata Tong Baixiong mengaku dengan terus terang.”
“Dia mengaku terus terang, jelas tuduhan padanya bukanlah fitnah,” ujar Shangguan Yun.
“Kutegur dia mengapa tidak memberi laporan kepada Ketua tentang pertemuannya dengan Ren Woxing dan Xiang Wentian, dia menjawab katanya mereka hanya mengadakan pertemuan persahabatan saja. Kukatakan padanya: ‘Munculnya Ren Woxing jelas hendak memusuhi Ketua, hal ini tentu kau sudah tahu. Tapi mengapa kau anggap musuh sebagai sahabat?’ – Dia menjawab: ‘Mungkin Ketua yang salah dan bukan orang lain yang salah terhadap Ketua!’”
“Kurang ajar!” gerutu Shangguan Yun. “Keluhuran budi Ketua setinggi langit. Beliau sangat baik terhadap sesama kawan, mana bisa berbuat salah kepada orang lain?” Bagi pendengaran Yang Lianting, ucapan Shangguan Yun ini tentu ditujukan kepada Dongfang Bubai, tapi bagi Linghu Chong dan yang lain, ucapan itu sengaja untuk mengambil hati Ren Woxing.
Terdengar Shangguan Yun melanjutkan, “Hamba sudah bertekad akan mengabdi sepenuh jiwa raga kepada Ketua. Bila ada orang yang berani berbuat kurang sopan kepada Ketua baik dalam kata maupun dalam tindakan, maka Shangguan Yun yang pertama-tama akan menghadapinya.”
Kata-kata Shangguan Yun itu jelas menyindir Yang Lianting, namun ia tidak mengetahui sama sekali, sebaliknya malah menanggapi dengan tertawa, “Bagus, bila semua saudara dalam partai bisa meniru kesetiaan Sesepuh Shangguan ini tentu tidak ada hal yang tidak bisa diatasi. Tentunya Sesepuh Shangguan sudah lelah, silakan beristirahat saja.”
“Tapi, tapi hamba ingin menghadap Ketua,” kata Shangguan Yun dengan bingung.
“Ketua sangat sibuk, mungkin tidak ada waktu untuk menerima dirimu,” ujar Yang Lianting.
Shangguan Yun lantas merogoh sakunya dan mengeluarkan belasan butir mutiara. Kepada Yang Lianting ia mendekat dan berbisik, “Pengurus Yang, delapan belas butir mutiara ini adalah hasil yang kuperoleh dalam dinas luar kali ini. Semuanya kupersembahkan kepada Pengurus Yang dengan harapan Pengurus Yang sudi menghadapkan hamba kepada Ketua. Bila Ketua senang hati, bisa jadi Beliau akan menaikkan pangkat hamba. Jika demikian tentu bantuan Pengurus Yang takkan kulupakan pula.”
“Ah, kita ini orang sendiri, mengapa harus banyak adat begini,” ujar Yang Lianting meringis. “Baiklah, aku terima. Terima kasih banyak.” Tiba-tiba ia pun berbisik pula, “Di hadapan Ketua nanti tentu Beliau akan kubujuk agar mengangkatmu sebagai ketua Balai Naga Hijau.”
Shangguan Yun membungkuk berkali-kali, kemudian berkata, “Bila hamba mendapatkan kedudukan itu, selama hidup tentu takkan lupa kepada budi baik Pengurus Yang.”
“Silakan kau tunggu sebentar di sini, bila Ketua sudah longgar kesibukannya, kau akan segera dipanggil masuk,” kata Yang Lianting sambil memasukkan mutiara-mutiara tadi ke sakunya.
Shangguan Yun menjawab, “Baik, baik, baik.” Ia lalu merunduk-runduk beberapa langkah ke belakang. Yang Lianting sendiri lantas bangkit dari kursi dan melangkah ke dalam dengan lagak seperti tuan besar.
Selang agak lama, seorang pelayan berbaju ungu tampak keluar, lalu berseru lantang, “Ketua mahaagung, mahabijaksana, memerintahkan Shangguan Yun menghadap dengan membawa tawanannya.”
Shangguan Yun menjawab, “Terima kasih atas kesediaan Ketua. Semoga Ketua panjang umur, merajai dunia persilatan.” Ia kemudian berjalan mengikuti dayang itu ke ruangan dalam dengan disusul oleh Ren Woxing bertiga yang mengusung Linghu Chong.
Di sepanjang jalan di serambi samping tampak berbaris para penjaga dengan bersenjata tombak. Perjalanan rombongan itu seluruhnya melintasi tiga buah pintu besi, kemudian menyusuri lagi sebuah serambi panjang yang dijaga oleh beberapa ratus penjaga yang berbaris di kanan-kiri dengan senjata golok disilangkan ke atas. Rombongan Shangguan Yun itu menerobos lewat di bawah barisan golok tersebut. Kalau saja para penjaga itu serentak mengayunkan goloknya, maka mereka semua bisa kehilangan kepala. Tokoh-tokoh yang sudah kenyang pengalaman seperti Ren Woxing dan Xiang Wentian sudah tentu memandang sebelah mata terhadap barisan penjaga seperti itu. Mereka hanya kesal karena harus merendahkan diri demi bisa berhadapan dengan Dongfang Bubai. Linghu Chong berpikir, “Dongfang Bubai benar-benar ketat dalam menjaga dirinya. Sanjung puji yang disampaikan anak buahnya jelas bukan karena hormat kepadanya, tapi hanya karena takut belaka.”
Setelah menerobos barisan golok itu, sampailah mereka di depan sebuah pintu yang bertirai tebal. Shangguan Yun menyingkap tirai tebal itu lantas melangkah ke dalam. Tiba-tiba muncul sinar putih berkilatan. Ternyata ada delapan batang tombak dari kanan-kiri menusuk ke arahnya.
Linghu Chong terkejut dan segera meraba pedang yang tersembunyi di bawahnya. Tapi dilihatnya Shangguan Yun berdiri diam saja tanpa melawan, sebaliknya lantas berseru lantang, “Hamba Shangguan Yun ketua Balai Macan Putih mohon bertemu Ketua yang mahaagung dan mahabijaksana!”
Terdengar suara orang berseru dari dalam istana, “Masuk!”
Serentak kedelapan penjaga bertombak itu lantas menyingkir. Baru sekarang Linghu Chong paham. Sebenarnya tusukan tombak-tombak tadi hanya untuk menakut-nakuti saja. Bila yang datang memang orang bermaksud jahat tentu akan langsung menangkis tusukan-tusukan itu dan kedoknya pun terbuka.
Setelah memasuki balairung, Linghu Chong terkesiap menyaksikan ruangan yang luar biasa panjangnya itu. Lebar balairung itu paling-paling cuma sepuluh meter, tapi panjangnya mencapai ratusan meter. Di ujung balairung terdapat sebuah panggung dan di atasnya duduk seorang pria tua berjenggot. Tentu orang itu yang bernama Dongfang Bubai.
Balairung itu tidak berjendela, dan hanya diterangi lilin-lilin besar di dinding samping. Sementara itu di samping panggung yang diduduki Dongfang Bubai terdapat dua api unggun yang sebentar terang sebentar gelap. Karena jaraknya cukup jauh, cahaya yang remang-remang itu membuat orang sukar melihat dengan jelas wajah sang ketua.
Tampak Shangguan Yun berlutut dan menyampaikan sembah, “Ketua seorang terpelajar berbudi luhur, kesatria rendah hati, adil dan bijaksana, cahaya agama suci kita, pelindung rakyat jelata. Hamba Shangguan Yun menghaturkan sembah untuk Ketua.”
Tiba-tiba pelayan berbaju ungu di samping Dongfang Bubai membentak, “Di hadapan Ketua mengapa anak buahmu itu tidak berlutut?”
Ren Woxing merenung, “Saat yang tepat belum datang. Kalau aku harus berlutut sekarang apa salahnya? Tunggu sampai aku membetot dagingmu dan membeset kulitmu!” Sejenak kemudian ia pun berlutut diikuti Xiang Wentian dan Ren Yingying.
Shangguan Yun berkata, “Anak buah hamba ini selalu mendambakan kapan bisa melihat wajah emas Ketua. Hari ini Ketua sudi berbaik hati mengizinkan hamba menghadap, dan ini merupakan berkah bagi anak buah hamba dan para leluhurnya selama delapan belas angkatan. Akibatnya, anak buah hamba menjadi lupa daratan sehingga tidak segera berlutut, mohon Ketua memberi ampun.”
Yang Lianting yang berdiri di samping Dongfang Bubai berkata, “Bagaimana kisah pertempuran Sesepuh Jia melawan musuh sampai akhirnya gugur, coba ceritakan!”
Shangguan Yun menjawab, “Sesepuh Jia dan hamba merasa berhutang budi kepada Ketua. Kini kami diberi kepercayaan mengemban tugas penting, bagaimanapun kami telah bertekad akan melaksanakannya dengan sebaik….”
Mendengar ocehan Shangguan Yun itu, dalam hati Linghu Chong menggerutu, “Menjijikkan, menjijikkan! Julukan Shangguan Yun adalah Pendekar Rajawali. Tapi kenapa dia bisa menjilat seperti ini? Hm, aku baru sadar ada orang yang memalukan seperti ini di dunia.”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berteriak keras di belakang mereka, “Adik Dongfang, apakah benar kau memerintahkan orang-orang ini untuk merangkap diriku?” Suara orang ini serak-serak tua, tapi disertai tenaga dalam bagus sehingga terdengar berkumandang dan memekakkan telinga. Linghu Chong menduga orang ini tentu Tong Baixiong ketua Balai Angin Guntur.
Benar juga, segera terdengar Yang Lianting menanggapi, “Tong Baixiong, di Balairung Budi Luhur ini mana boleh kau berteriak-teriak sesukamu? Di hadapan Ketua mengapa pula kau berdiri tanpa berlutut? Berani pula kau tidak menyebutkan keagungan Ketua?”
Tong Baixiong mendongak dan bergelak tertawa, “Hahaha, sewaktu aku bersahabat dengan Adik Dongfang engkau masih di mana, bocah? Ketika aku dan Adik Dongfang bersama-sama merasakan pahit getir dalam perjuangan mungkin orang semacam kau ini bahkan belum dilahirkan. Beraninya kau bicara begitu denganku?”
Linghu Chong mencoba melirik ke arah Tong Baixiong. Dilihatnya orang tua itu melotot dengan beringas. Sikapnya menakutkan. Kaki dan tangannya diborgol dengan rantai yang sangat panjang. Karena perasaan gusarnya itu dia bicara sehingga kedua tangannya ikut bergerak, dan rantai yang diseretnya itu menimbulkan suara gemerincing.
Tadinya Ren Woxing hanya berlutut di tempatnya tanpa bergerak. Kini begitu mendengar suara gemerencingnya rantai, seketika terbayang kembali pengalaman ketika disiksa di kamar tahanan di bawah Danau Barat dulu. Darahnya bergolak hebat, badannya sampai gemetar. Segera ia bermaksud mengambil tindakan.
Namun lantas terdengar Yang Lianting berkata, “Di hadapan Ketua berani berkata demikian, kau benar-benar kurang ajar. Diam-diam kau bersekongkol dengan pengkhianat besar Ren Woxing, apakah kau masih tidak menyadari dosamu ini?”
“Ketua Ren adalah ketua partai kita terdahulu,” jawab Tong Baixiong, “Beliau mendapat penyakit berat sehingga terpaksa harus mengundurkan diri dan segala tugas kepemimpinan diserahkan kepada Adik Dongfang. Mana boleh kau mengatakan Ketua Ren adalah pengkhianat besar? Adik Dongfang, coba kau katakan sendiri yang tegas, apa benar Ketua Ren mengkhianati partai kita? Apa dasarnya?”
“Setelah penyakit Ren Woxing sembuh, seharusnya dia cepat kembali ke dalam partai, tapi malah mendatangi Biara Shaolin, dan berkomplot dengan ketua Shaolin, Wudang, Songshan, dan lain-lain. Apakah perbuatannya ini bukan pengkhianatan namanya?” sahut Yang Lianting. “Kenapa dia tidak lantas menghadap Ketua serta menerima petunjuk-petunjuk Beliau?”
“Hahahaha!” Tong Baixiong terbahak-bahak. “Ketua Ren adalah bekas atasan Adik Dongfang, baik ilmu silatnya maupun pengetahuannya belum tentu di bawah Adik Dongfang. Betul tidak, Adik Dongfang?”
Tapi Yang Lianting menyela, “Kau jangan berlagak tua di sini! Jika kau mau mengakui dosa-dosamu, besok di hadapan sidang terbuka mungkin Ketua masih mau mengampunimu. Kalau tidak, hm, bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri.”
“Haha, orang bermarga Tong sudah mendekati usia delapan puluh tahun. Hidupku sudah cukup lama, mengapa harus takut menanggung akibat segala?” jawab Tong Baixiong dengan tertawa.
Linghu Chong melirik ke arah Dongfang Bubai. Samar-samar ia melihat orang itu menggeleng saat mendengar teriakan Tong Baixiong. “Orang ini ternyata masih punya perasaan juga.”
Tiba-tiba Yang Lianting berteriak, “Bawa mereka keluar!”
Pelayan berbaju ungu menjawab, “Baik!” dan kemudian terdengar suara gemerencing yang ramai. Tampak belasan orang digiring ke dalam balairung. Ada laki-laki, ada perempuan, ada orang tua, ada anak-anak pula.
Begitu melihat orang-orang itu, seketika air muka Tong Baixiong berubah hebat. Ia membentak dengan murka, “Yang Lianting, kenapa kau menangkap anak-cucuku?” Suaranya yang keras menggelegar itu memekakkan telinga semua orang sampai mendengung-dengung.
“Tong Baixiong, coba kau sebut bagaimana bunyi pasal ketiga petuah Ketua?” kata Yang Lianting.
“Cih!” Tong Baixiong meludah, tapi tidak menjawab.
“Coba siapa di antara anggota keluarga Tong yang mengetahui pasal ketiga petuah Ketua? Coba uraikan!” seru Yang Lianting.
Seorang anak laki-laki lantas berkata, “Pasal ketiga petuah Ketua yang mahaagung berbunyi: Terhadap musuh harus kejam, babat rumput harus sampai ke akar-akarnya. Laki-perempuan, tua-muda, tidak seorang pun boleh disisakan hidup.”
“Bagus, bagus! Anak manis, apakah kesepuluh pasal petuah Ketua dapat kau hafal di luar kepala?” tanya Yang Lianting.
“Dapat!” jawab anak kecil itu. “Satu hari saja tidak menghafalkan petuah Ketua rasanya tidak dapat tidur, tidak enak makan. Setelah membaca petuah Ketua seketika bersemangat dan giat belajar.”
“Bagus. Siapa yang mengajarkan hal-hal demikian padamu?”
“Ayah!” jawab si anak sambil menunjuk laki-laki di sampingnya.
“Kalau yang itu siapa?” tanya Yang Lianting sambil menunjuk Tong Baixiong.
“Kakek!”
“Kakekmu tidak mau membaca petuah Ketua, tidak mau menurut perintah Ketua, malah membangkang pada Ketua. Bagaimana menurutmu?”
“Kakek bersalah,” jawab bocah itu. “Setiap orang harus memahami ajaran Ketua dan menurut segala perintah Ketua.”
“Nah, kau dengar sendiri,” kata Yang Lianting terhadap Tong Baixiong, “cucumu hanya bocah berusia sepuluh tahun saja bisa bilang begitu. Sebaliknya, kau sudah tua bangka, mengapa malah berbuat begitu bodoh?”
“Aku hanya bicara sebentar dengan orang bermarga Ren dan Xiang. Mereka memintaku melawan Ketua, tapi aku menolak ajakan mereka,” kata Tong Baixiong. “Selamanya Tong Baixiong bicara apa adanya dan tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.” Begitu menyaksikan belasan anggota keluarganya akan ikut menjadi korban, maka nada bicaranya terdengar agak lunak.
“Jika sejak tadi kau bicara demikian tentu urusan menjadi lebih mudah diselesaikan,” ujar Yang Lianting. “Dan sekarang kau sudah mengakui kesalahanmu?”
“Aku tidak bersalah, aku tidak mengkhianati aliran kita. Lebih-lebih aku tidak memberontak pada Ketua,” jawab Tong Baixiong.
“Kalau kau tetap tidak mau mengaku salah, terpaksa aku tidak bisa menolongmu,” ujar Yang Lianting dengan menghela napas. “Penjaga, bawa anggota keluarganya ke tempat tahanan! Mulai sekarang dilarang memberikan makanan dan minuman sedikit pun juga.”
Beberapa pelayan berbaju ungu menjawab, “Baik!” kemudian mereka hendak menggiring para tawanan itu.
“Nanti dulu!” teriak Tong Baixiong keras-keras, lalu berkata kepada Yang Lianting, “Baik, aku mengaku salah. Untuk itu aku mohon Ketua memberi ampun.” Meskipun mulutnya berkata demikian, namun tatapan matanya tetap berkilat-kilat menahan amarah.
“Hm, tadi kau bilang apa? Kau bilang pernah sehidup-semati dengan Ketua, saat aku saja belum dilahirkan. Betul, tidak?” tanya Yang Lianting.
Dengan menahan perasaannya Tong Baixiong menjawab, “Ya, aku salah bicara.”
“Kau salah bicara? Hanya begini saja persoalannya?” kata Yang Lianting mengejek. “Di hadapan Ketua mengapa kau tidak berlutut?”
“Ketua dan aku adalah saudara angkat. Selama puluhan tahun kami berdiri sama tinggi, duduk sama rendah,” jawab Tong Baixiong. Mendadak ia berseru pula, “Adik Dongfang, kau menyaksikan sendiri saudara tuamu ini disiksa habis-habisan. Mengapa kau tidak buka mulut, tidak bicara sepatah kata pun juga? Jika kau ingin saudara tuamu ini berlutut padamu, tentu akan kulakukan asal kau bicara sedikit saja. Kalau harus mati untukmu sedikit pun saudara tuamu ini takkan mengerutkan kening.”
Namun Dongfang Bubai masih saja duduk tak bergerak. Seketika suasana di balairung menjadi sunyi senyap. Pandangan semua orang dialihkan kepada Dongfang Bubai untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakannya. Akan tetapi sampai sekian lama dia tetap diam saja.
“Adik Dongfang,” Tong Baixiong berteriak lagi, “selama beberapa tahun ini betapa sukarnya aku ingin menemuimu. Kau telah mengasingkan diri untuk menyempurnakan pelatihan Kitab Bunga Mentari. Tapi apakah kau tahu para kawan lama di dalam partai telah banyak yang meninggalkan kita? Bencana besar sedang mengancam agama kita?”
Tetap saja Dongfang Bubai diam. Maka Tong Baixiong berseru lagi, “Asal kau sendiri yang bicara, segera aku akan berlutut padamu. Tidak menjadi soal kau menyiksa aku, bahkan membunuh aku sekalipun. Tapi Partai Mentari dan Bulan yang namanya mengguncangkan dunia persilatan selama ratusan tahun akan segera hancur. Untuk ini kau harus bertanggung jawab dan berdosa besar pula. Mengapa kau diam saja? Apakah kau kena penyakit akibat mempelajari ilmu sehingga tidak bisa bicara?”
“Omong kosong!” bentak Yang Lianting. “Berlutut!”
Dua pelayan berbaju ungu segera menendang belakang lutut Tong Baixiong untuk memaksanya bersimpuh. Tapi mendadak terdengar suara jeritan dua kali. Kedua pelayan itu terpental sendiri ke belakang dengan tulang kaki patah dan muntah darah. Sungguh hebat tenaga dalam Tong Baixiong itu.
“Adik Dongfang, aku ingin mendengar sepatah kata darimu saja, habis itu mati pun aku rela,” seru Tong Baixiong lagi. “Sudah lebih dari tiga tahun kau tidak pernah berbicara. Banyak kawan-kawan dalam partai kita yang curiga.”
Yang Lianting menjadi gusar, “Curiga apa?”
“Curiga kemungkinan Ketua telah dikerjai orang, dibuat bisu,” jawab Tong Baixiong dengan suara keras. “Kenapa dia tidak pernah bicara? Ya, kenapa dia tidak pernah bicara?”
“Mulut emas Ketua tidak sembarangan digunakan untuk kaum pengkhianat semacam kau?” ejek Yang Lianting. “Penjaga, bawa dia pergi!”
Delapan pelayan berbaju ungu serentak mengiakan dan berlari maju. Mendadak Tong Baixiong berteriak-teriak, “Adik Dongfang, aku ingin lihat siapa yang membuatmu tidak bisa bicara?” Bersama itu ia lantas memburu ke arah Dongfang Bubai sambil menyeret rantai borgol di kaki dan tangannya. Melihat sikap Tong Baixiong yang gagah berwibawa itu, para penjaga menjadi takut untuk mendekatinya.
“Bekuk dia! Bekuk dia!” teriak Yang Lianting.
Tapi para penjaga bertombak hanya berteriak-teriak saja di ambang pintu dan tidak seorang pun yang berani masuk ke dalam balairung. Maklum, menurut peraturan tidak seorang pun anggota Partai Mentari dan Bulan diperbolehkan masuk ke ruang tersebut dengan membawa senjata. Yang melanggar dihukum mati.
Melihat gelagat kurang baik itu, terlihat Dongfang Bubai berdiri dan bermaksud masuk ke ruang belakang.
“Jangan pergi dulu, Adik Dongfang, jangan pergi!” seru Tong Baixiong sambil memburu maju lebih cepat. Namun kedua kakinya terborgol, gerak-geriknya tidak leluasa. Karena terburu-buru ingin memburu maju, mendadak ia tersandung dan jatuh terguling. Namun tanpa menyerah ia terus saja menubruk ke depan sehingga jaraknya dengan Dongfang Bubai sekarang tinggal belasan meter saja.
Yang Lianting menjadi khawatir, dan berteriak, “Pengkhianat! Kurang ajar! Berani kau mencelakai Ketua?”
Melihat gerak-gerik Dongfang Bubai yang agak aneh dan sangat mencurigakan itu, Ren Woxing tidak tinggal diam. Ketika melihat Tong Baixiong tidak mampu memburu ke depan lagi, segera ia merogoh tiga keping uang logam dari sakunya, lantas melemparkannya ke arah Dongfang Bubai. Melihat itu Ren Yingying berkata pula kepada Xiang Wentian dan Linghu Chong, “Kita bergerak sekarang.”
(Bersambung)
Bagian 63 ; Bagian 64 ; Bagian 65