Bagian 4 - Tuan Muda Hidup Mengemis

Diam-diam Lin Zhennan berpikir, “Konon Jurus Pedang Cemara Angin dari Perguruan Qingcheng merupakan gabungan dari ulet dan ringan; ulet seperti pohon cemara, dan ringan seperti angin. Harapanku untuk menang hanyalah dengan cara mendahului serangan.” Tanpa segan lagi, pedang Lin Zhennan pun bergerak menebas dari samping memainkan jurus Menghalau Kawanan Iblis.
Melihat serangan lawan cukup dahsyat, Yu Renhao mengambil langkah menghindar. Lin Zhennan langsung mengubah serangannya dengan memainkan jurus Zhong Kui Menyolok Mata. Ujung pedangnya bergerak mengincar mata lawan. Ketika Yu Renhao kembali menghindar dengan melompat mundur, serangan ketiga Lin Zhennan sudah memburu pula. Terpaksa Yu Renhao pun menangkisnya dengan keras. Tangan kedua orang itu sama-sama bergetar menahan pedang masing-masing.
Dalam hati Lin Zhennan kembali merenung, “Ternyata ilmu silat Perguruan Qingcheng tidak sehebat dugaanku. Dengan kemampuannya yang sepeti ini, mana mungkin ia menguasai Tapak Penghancur Jantung? Aku yakin ada tokoh hebat lainnya yang telah membantai para pegawaiku.”
Yu Renhao membalas serangan dengan menusuk ke arah tujuh titik berbeda di tubuh lawan. Serangan ini begitu cepat bagaikan hujan meteor menghiasi angkasa. Lin Zhennan mundur untuk kemudian melancarkan jurus baru yang tidak kalah cepatnya. Pertarungan antara keduanya berlangsung semakin seru. Setelah dua puluh jurus berlalu belum terlihat pihak mana yang lebih unggul.
Di sisi lain, pertarungan antara Nyonya Wang melawan Fang Renzhi berlangsung tidak seimbang. Golok emas Nyonya Wang tampaknya bukan tandingan pedang laki-laki bertubuh kurus itu. Meskipun demikian, beberapa kali Nyonya Wang berhasil lolos dari ujung senjata lawan. Melihat sang ibu terdesak, Lin Pingzhi segera menerjang ke depan sambil mengayunkan pedangnya. Fang Renzhi berhasil menghindari pedang pemuda itu yang hampir saja mengenai kepalanya.
Dengan penuh kemarahan Lin Pingzhi menyerang Fang Renzhi seperti orang gila. Tiba-tiba ia merasa kakinya tersandung sesuatu. Tanpa ampun, tubuh pemuda itu pun terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh tersungkur dengan muka mencium tanah.
Sesaat kemudian, terdengar suara seorang laki-laki berseru mengancam, “Jangan bergerak!”
Lin Pingzhi tidak dapat melihat ke belakang. Ia hanya merasakan punggungnya telah diinjak seseorang dan suatu benda lancip menempel pula di kulitnya. Sekali benda lancip itu ditekan, tentu akan langsung menembus jantung pemuda itu. Sesaat kemudian Lin Pingzhi juga mendengar ibunya berteriak, “Jangan bunuh anakku! Jangan bunuh anakku!”
Rupanya sewaktu Lin Pingzhi memburu Fang Renzhi tadi, muncul seseorang lainnya yang lantas menjegal kaki pemuda itu dari belakang. Begitu Lin Pingzhi roboh, orang itu langsung menginjak punggungnya dan mengancam dengan sebilah pedang.
Nyonya Wang sendiri bingung harus berbuat apa. Dalam keadaan panik, tahu-tahu Fang Renzhi telah menyerang tulang rusuknya dengan keras menggunakan siku tangan. Disusul kemudian, kaki Fang Renzhi bekerja pula menendang lutut Nyonya Wang sehingga wanita itu jatuh ke tanah.
Orang yang telah menjegal Lin Pingzhi tidak lain adalah si marga Jia yang tempo hari menjadi saksi kematian putra Pendeta Yu Canghai. Nama lengkapnya adalah Jia Renda. Setelah peristiwa di kedai arak itu ia melarikan diri dan bergabung dengan Fang Renzhi dan Yu Renhao.
Tangan Fang Renzhi telah bekerja cepat menotok titik nadi Nyonya Wang dan Lin Pingzhi sehingga ibu dan anak itu tidak mampu bergerak lagi. Dengan tetap menghunus pedang ia pun bergerak mendekati pertarungan Lin Zhennan dan Yu Renhao.
Melihat anak dan istrinya tertangkap, perhatian Lin Zhennan menjadi agak terganggu. Serangannya tidak lagi gencar dan lebih mudah dipatahkan. Yu Renhao merasa senang dan bergelak tawa. Seketika pedangnya pun bergerak melancarkan serangan yang ternyata sangat mengejutkan Lin Zhennan.
“Bagaimana… bagaimana kau bisa memainkan Jurus Pendang Penakluk Iblis?” seru Lin Zhennan tak percaya.
“Bagaimana menurutmu permainanku ini?” jawab Yu Renhao dengan terus menyerang.
“Dari mana kau... kau mempelajarinya?” sahut Lin Zhennan dengan tergagap-gagap.
“Apa hebatnya jurus pedang seperti ini?” seru Fang Renzhi yang ikut menyerang. “Aku juga bisa memainkannya.” Laki-laki bertubuh kurus itu melancarkan jurus Menghalau Kawanan Iblis, Zhong Kui Menyolok Mata, dan Burung Walet Hinggap di Cabang; yang kesemuanya adalah bagian dari Jurus Pedang Penakluk Iblis kebanggan Keluarga Lin.
Lin Zhennan sama sekali tidak menyangka ilmu pedang leluhurnya yang diwariskan turun-temurun ternyata dapat dimainkan orang lain. Pikirannya yang dilanda kebingungan membuat permainan pedangnya semakin lemah dan kacau.
“Kena kau!” bentak Yu Renhao tiba-tiba, sambil pedangnya bergerak menusuk lutut lawan. Lin Zhennan kehilangan keseimbangan dan langsung jatuh dalam keadaan berlutut di tanah. Walaupun ia dapat bangkit kembali, namun ujung pedang Yu Renhao telah mengancam di depan dadanya.
“Adik Yu, jurus Bintang Jatuh Menghantam Bulan yang kau mainkan benar-benar hebat,” seru Jia Renda memuji. Serangan tersebut juga bagian dari Jurus Pedang Penakluk Iblis.
“Kalian... kalian ternyata menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis,” sahut Lin Zhennan sambil menghela napas. “Bailkah, lekas bunuh kami bertiga secepatnya!” Sambil berkata demikian pedangnya pun jatuh ke tanah. Tiba-tiba ia merasa punggungnya kesemutan dan tubuhnya tidak bisa digerakkan lagi. Rupanya Fang Renzhi telah menotoknya dari belakang.
“Tidak semudah itu,” jawab Fang Renzhi. “Kalian bertiga anak-anak bulus, mendapat kehormatan untuk menemui guru kami di Kuil Cemara Angin!”
Jia Renda tidak membuang kesempatan untuk membalas sakit hatinya. Ia mencengkeram bahu Lin Pingzhi dan mengangkatnya ke atas. Tangannya lalu bergerak menampar pipi pemuda itu dengan sangat keras. “Bajingan cilik! Mulai hari ini sampai nanti di Gunung Qingcheng kau akan kusiksa delapan belas kali sehari. Wajahmu yang cantik ini akan kubuat belang-belang!” bentaknya memaki-maki.
Dengan penuh kebencian, Lin Pingzhi meludahi wajah Jia Renda. Karena jarak mereka sangat dekat, tanpa ampun hidung Jia Renda langsung basah dibuatnya. Dengan sangat gusar, Jia Renda pun membanting tubuh Lin Pingzhi di tanah. Merasa belum puas, kakinya pun mendendang iga pemuda itu sekeras-kerasnya.
“Cukup, cukup!” sahut Fang Renzhi melerai sambil tersenyum lebar. “Kalau kau hajar dia sampai mati, bagaimana kau akan bertanggung jawab di hadapan Guru? Bocah ini cantik seperti perempuan; sudah pasti ia tidak tahan menerima tendanganmu.”
Dibandingkan dengan yang lain, sebenarnya ilmu silat Jia Renda tergolong biasa saja. Ditambah lagi dengan kelakuannya yang buruk membuat ia tidak disukai murid-murid Qingcheng yang lain, kecuali putra bungsu gurunya yang telah meninggal tempo hari. Itulah sebabnya mengapa ia sangat membenci Lin Pingzhi setengah mati. Namun demikian, karena takut terhadap Fang Renzhi dan Yu Renhao, ia hanya balas meludahi wajah Lin Pingzhi beberapa kali.
Mereka bertiga lalu membawa masuk tubuh Lin Zhennan, Nyonya Wang, dan Lin Pingzhi ke dalam kedai kecil tadi. Setelah itu Fang Renzhi berkata, “Sebelum perjalanan pulang sebaiknya kita makan dulu. Adik Jia, coba kau memasak sesuatu untuk kita.”
“Baik!” jawab Jia Renda tanpa membantah dan langsung masuk ke dapur.
Yu Renhao termenung sejenak kemudian berkata, “Kakak Fang, kita harus berhati-hati. Tiga orang ini jangan sampai mendapat kesempatan untuk kabur. Apalagi si tua ini, ilmu silatnya lumayan hebat.”
“Apa susahnya?” jawab Fang Renzhi. “Setelah makan nanti kita putuskan saja urat syaraf tangan dan kaki mereka. Setelah itu, kita tembus tulang pundak mereka menggunakan tali, dan kita ikat mereka menjadi satu seperti kepiting. Dengan demikian, tidak mungkin mereka bisa kabur.”
Kepala Lin Zhennan langsung pusing mendengar rencana keji Fang Renzhi. Lin Pingzhi yang tidak sabar segera memaki dengan kasar, “Tidak tahu malu! Bunuh saja kami bertiga daripada kau perlakukan kami dengan cara hina seperti itu! Perbuatan kalian sama seperti bajingan rendah yang kotor dan tercela!”
Fang Renzhi tersenyum menyeringai dan berkata, “Sekali lagi kau berkata tidak sopan, aku segera mencari tahi kerbau atau anjing untuk kujejalkan ke dalam mulutmu itu.”
Ancaman ini ternyata sangat manjur. Lin Pingzhi langsung terdiam menutup mulutnya rapat-rapat. Namun demikian dalam hati ia tetap saja mengutuk laki-laki bertubuh kurus itu.
“Adik Yu,” kata Fang Renzhi selanjutnya, “Guru telah mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis dan kita berhasil memainkannya dengan baik. Kau buat Ketua Lin tidak berdaya menghadapi jurus kebanggaan keluarganya sendiri.” Kemudian ia berpaling kepada Lin Zhennan dan melanjutkan, “Ketua Lin, aku yakin saat ini kau pasti sedang berpikir: dari mana Perguruan Qingcheng memperoleh Jurus Pedang Penakluk Iblis, bukan begitu?”
Ucapan Fang Renzhi benar-benar sesuai dengan pikiran Lin Zhennan. Majikan Biro Fuwei itu memang sedang merenung, “Dari mana orang-orang Qingcheng busuk ini mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis keluarga kami?”
Sementara itu Lin Pingzhi dalam hati berharap memperoleh kekuatan untuk bangkit dan menyerang kedua orang itu sampai tewas. Akan tetapi, karena tubuhnya sedang tertotok, ia sama sekali tidak mampu bergerak apalagi bangkit dan bertarung. Lebih-lebih ketika merenungkan ancaman Fang Renzhi yang mengerikan tadi – yang akan memutus urat syarafnya dan mengikat tubuhnya seperti kepiting – tentu baginya lebih baik mati daripada menderita begitu.
Sungguh tak disangka tiba-tiba terdengar suara Jia Renda menjerit, “Aaaah...! Aaaah...!”
Fang Renzhi dan Yu Renhao segera melompat dan berlari ke dapur sambil menghunus pedang masing-masing. Begitu keduanya pergi, dari pintu depan muncul sesosok bayangan berkelebat memasuki kedai dan langsung mendekati Lin Pingzhi. Orang itu menarik kerah baju Lin Pingzhi dan mengangkat tubuh pemuda itu dengan kedua tangan. Lin Pingzhi sendiri menjerit kaget karena orang yang baru datang ini tidak lain adalah si gadis burik penjual arak di luar Kota Fuzhou tempo hari.
Gadis burik itu membawa tubuh Lin Pingzhi keluar melalui pintu depan menuju pepohonan di mana kuda-kuda ditambatkan. Tubuh pemuda itu segera dinaikkannya ke punggung salah satu kuda. Ketika Lin Pingzhi masih dilanda kebingungan, tahu-tahu si gadis burik sudah memotong tali kendali yang tertambat di pohon, kemudian memukul paha belakang kuda dengan keras. Merasa kesakitan, kuda itu pun berlari kencang membawa tubuh Lin Pingzhi yang terangkut di punggungnya.
“Ayah! Ibu!” teriak Lin Pingzhi dengan perasaan kacau. Karena mengkhawatirkan keadaan kedua orang tuanya serta tidak ingin kabur seorang diri, ia pun menghentak keras sehingga tubuhnya jatuh ke bawah. Setelah terguling-guling beberapa kali, ia akhirnya masuk ke dalam semak belukar yang cukup lebat. Sementara itu kuda yang telah membawanya terus saja berlari dan masuk ke dalam hutan.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi mencoba bangkit, namun totokan pada tubuhnya belum terbuka sehingga kakinya terasa kaku untuk bergerak. Akibatnya, ia pun kembali terjatuh dan masuk ke dalam semak yang lebih lebat. Sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit akibat jatuh dari punggung kuda tadi serta terbentur bebatuan hutan.
Samar-samar terdengar suara langkah kaki beberapa orang mendekati tempatnya. Lin Pingzhi pun mendekam di dalam semak tanpa bergerak sedikit pun. Ternyata orang-orang itu sedang terlibat pertempuran. Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan melihat dua pihak sedang bertarung seru. Tampak Fang Renzhi dan Yu Renhao di satu pihak melawan si gadis burik dan seorang pria di pihak lain. Pria itu memakai cadar berwarna hitam sehingga wajahnya sulit untuk dikenali. Hanya saja, orang itu terlihat memiliki rambut putih sehingga tanpa ragu lagi Lin Pingzhi pun yakin bahwa dia adalah Kakek Sa, si pemilik kedai arak di luar Kota Fuzhou.
Diam-diam Lin Pingzhi merenung, “Tadinya aku mengira Kakek Sa dan cucu perempuannya adalah anggota Perguruan Qingcheng yang telah membantai para pegawai Biro Fuwei. Tak disangka, mereka justru berusaha menolongku. Oh! Kalau saja aku tahu mereka mahir ilmu silat, tentu tempo hari aku tidak perlu repot-repot berlagak sebagai pahlawan. Huh, kini semuanya sudah terlambat dan malapetaka sudah terjadi.” Sesaat kemudian ia kembali berpikir, “Sebenarnya ini adalah kesempatanku untuk menolong Ayah dan Ibu. Tapi sayang, tubuhku tertotok sehingga tidak bisa bergerak sama sekali.”
Di tengah pertarungan itu terdengar Fang Renzhi berteriak, “Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau bisa memainkan jurus pedang Qingcheng milik kami?”
Kakek Sa tidak menjawab. Ia hanya mengayunkan pedangnya terus menerus. Serangan yang ia lancarkan memang menggunakan jurus pedang Perguruan Qingcheng. Fang Renzhi melompat mundur setelah pedang di tangannya terlempar ke udara. Melihat sang kakak terdesak, Yu Renhao meninggalkan si gadis burik dan bergerak melindungi Fang Renzhi. Namun, Kakek Sa dengan cepat dapat menangkis semua serangan pemuda bertubuh kekar itu.
“Kau! Kau!” seru Yu Renhao tertahan. Suaranya terdengar penuh dengan perasaan kejut bercampur ngeri. Sesaat kemudian pedangnya pun terlempar pula ke udara.
Si gadis burik menerjang ke depan hendak menusukkan pedangnya, namun Kakek Sa sempat mencegah, “Jangan bunuh mereka!”
“Tapi mereka sangat kejam dan banyak membantai orang,” jawab si gadis burik.
“Mari kita pergi!” sahut Kakek Sa. Melihat si gadis burik masih penasaran, ia kembali berkata,”Jangan lupakan perintah Guru!”
“Baiklah, kali ini kuampuni nyawa mereka,” jawab si gadis burik sambil mengangguk. Usai berkata, ia langsung melesat masuk ke dalam hutan, sementara Kakek Sa mengikuti di belakangnya. Sekejap kemudian kedua bayangan mereka sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
Fang Renzhi dan Yu Renhao terdiam sambil berusaha menenangkan diri. Mereka lantas memungut pedang masing-masing yang berserakan di tanah.
“Sungguh tidak masuk akal! Dari mana orang itu bisa memainkan jurus pedang perguruan kita?” ujar Yu Renhao tak percaya.
“Sebenarnya dia hanya mengetahui beberapa jurus saja,” sahut Fang Renzhi. “Namun, ketika memainkan gerakan Angsa Terbang ke Angkasa, oh... dia benar-benar sempurna!”
“Mereka berhasil menyelamatkan si bocah Lin,” kata Yu Renhao.
Fang Renzhi tersentak dan berkata, “Jangan-jangan ini semua hanya siasat mereka untuk menjauhkan kita dari suami-istri Lin”
“Sialan!” sahut Yu Renhao geram. Keduanya pun bergegas kembali menuju kedai kecil tadi.
Keadaan kini menjadi sunyi. Selang agak lama, Lin Pingzhi mendengar suara langkah kaki kuda sedang berjalan. Sesaat kemudian, dua ekor kuda yang masing-masing ditunggangi Fang Renzhi dan Yu Renhao lewat di jalanan hutan tersebut. Lin Zhennan dan Nyonya Wang tampak berjalan di belakang dengan tangan terikat pada pelana. Hampir saja Lin Pingzhi berteriak memanggil ayah dan ibunya itu namun berhasil menahan diri. Ia sadar, sedikit saja menimbulkan suara tentu akan segera tertangkap dan kehilangan kesempatan membebaskan kedua orang tuanya.
Di belakang Lin Zhennan dan istrinya terdapat seorang pria berjalan terpincang-pincang. Ia tidak lain adalah Jia Renda. Darah terlihat membasahi pembalut warna putih yang membungkus kepalanya. Rupanya sewaktu berada di dapur tadi ia telah dipukul seseorang sehingga Fang Renzhi dan Yu Renhao bergegas mendatanginya. Pada saat itulah si gadis burik masuk ke dalam kedai dan membawa Lin Pingzhi kabur.
“Bangsat! Kalian boleh senang bisa menyelamatkan si anak kelinci itu! Tapi aku masih memiliki dua kelinci tua ini. Setiap saat mereka akan kusiksa sesuka hati. Lihat saja, sampai di Gunung Qingcheng nanti apakah nyawa mereka masih ada!” seru Jia Renda memaki-maki Kakek Sa dan Wan-er yang sudah lama pergi.
Mendengar itu Fang Renzhi membentak, “Adik Jia, ingat baik-baik pesan Guru yang meminta kita menangkap Lin Zhennan suami-istri hidup-hidup! Kalau sampai kedua orang ini mati atau cacad, entah berapa banyak lembaran kulitmu yang dibeset nanti?”
Jia Renda mendengus dan langsung berhenti memaki.
Lin Pingzhi mendengar orang-orang Qingcheng itu berjalan semakin jauh dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan hutan. Ia merasa sedikit lega dengan apa yang baru saja didengarkannya. “Mereka harus membawa Ayah dan Ibu ke Gunung Qingcheng dalam keadaan hidup. Szechwan terletak sangat jauh di barat sana. Aku masih punya kesempatan untuk menolong Ayah dan Ibu.” Sejenak ia terdiam, kemudian berpikir lagi, “Setelah menemukan cabang Biro Fuwei yang paling dekat dari sini, aku harus segera mengirim surat kepada Kakek di Luoyang.”
Setelah berpikir demikian, Lin Pingzhi mencoba bangkit namun totokan pada tubuhnya ternyata belum terbuka. Terpaksa ia harus sabar menunggu meskipun banyak nyamuk dan serangga menggigit kulitnya. Setelah menahan gatal dan kesal selama beberapa jam, akhirnya ia bisa kembali bergerak. Saat itu matahari telah terbenam dan keadaan menjadi gelap gulita.
“Sebaiknya aku menyamar saja. Tiga bangsat dari Qingcheng itu sudah hafal dengan wajahku. Bagaimana aku bisa membebaskan Ayah dan Ibu kalau sampai terbunuh?” Berpikir demikian, Lin Pingzhi pun bergegas menuju kedai kecil tempat keluarganya tertangkap musuh tadi.
Begitu masuk ke dalam, ia langsung mencari pelita di dapur dan segera menyalakannya. Dicarinya pula pakaian lain untuk menyamar namun tidak juga mendapatkannya. Rupanya suami-istri pemilik kedai ini benar-benar sangat miskin. Mereka bahkan tidak memiliki pakaian ganti.
Merasa kecewa Lin Pingzhi pun berjalan keluar dan menemukan mayat kedua pemilik kedai itu yang dibiarkan tergeletak begitu saja di atas tanah. Terpaksa ia harus menelanjangi mayat si laki-laki dan mengambil pakaiannya. Tiba-tiba angin berhembus memadamkan pelita, sehingga ia merasa ngeri juga berada di dalam kegelapan bersama dua sosok mayat.
Dengan langkah berat, Lin Pingzhi menyeret mayat si suami menuju dapur. Setelah menyalakan pelitanya kembali, ia pun melucuti pakaian pria malang itu. Tak disangka, baunya sungguh memuakkan. Tadinya Lin Pingzhi berniat mencuci pakaian itu terlebih dahulu; namun, begitu teringat keadaan ayah dan ibunya yang harus segera ditolong, ia langsung mengurungkan niat tersebut.
“Jika aku sampai kehilangan kesempatan hanya karena mencuci pakaian kotor ini, aku pasti akan menyesal seumur hidup,” pikirnya.
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Lin Pingzhi pun mengganti pakaiannya dengan pakaian pria pemilik kedai tersebut sambil menggertakkan gigi. Mayat pasangan suami-istri itu lalu dikuburnya dalam satu liang. Setelah itu ia juga menemukan senjata ayah dan ibunya yang berserakan di tanah. Dipungutnya pedang dan golok tersebut lalu dibungkusnya menggunakan selembar kain untuk kemudian disembunyikannya di balik baju.
Keadaan malam itu sangat sunyi. Samar-samar hanya terdengar suara katak bertalu-talu. Lin Pingzhi merasa sangat pilu dan hampir saja menjerit keras-keras. Pelita di tangannya pun dilemparkan ke udara hingga akhirnya jatuh ke dalam sebuah kolam di depan kedai. Suasana pun kembali gelap gulita.
“Lin Pingzhi, Lin Pingzhi! Jika kau hanya menuruti amarahmu, maka kau akan lengah dan akhinya jatuh ke tangan Perguruan Qingcheng lagi. Nasibmu tentu tidak jauh berbeda dengan pelita yang tercebur kolam tadi,” ujarnya kepada diri sendiri.
Perlahan ia mengusap matanya yang hampir menangis menggunakan lengan baju. Seketika ia mencium bau busuk dan hampir saja muntah dibuatnya. Namun, hatinya kembali berkata, “Kalau aku tidak dapat menahan bau busuk ini, maka aku bukan laki-laki sejati.”
Dengan menahan rasa sakit akibat terjatuh dari kuda tadi, Lin Pingzhi melangkah sedikit demi sedikit. Ia terus saja berjalan tanpa kenal arah dan tujuan, naik dan turun menyusuri perbukitan sepanjang malam. Ketika pagi tiba, ia pun tersentak kaget karena matanya disilaukan cahaya matahari yang terbit di ufuk timur.
“Astaga! Bukankah bangsat-bangsat itu membawa Ayah dan Ibu menuju ke Gunung Qingcheng? Szechwan terletak di barat, tapi kenapa aku justru berjalan menuju timur?” Berpikir demikian ia pun berputar balik dan langsung berlari membelakangi matahari. “Ayah dan Ibu sudah berjalan sepanjang malam ke arah barat, sudah pasti aku tertinggal jauh. Tidak mungkin aku bisa mengejar mereka kalau hanya berjalan kaki. Aku harus membeli seekor kuda. Tapi, entah berapa harganya kira-kira?”
Lin Pingzhi meraba saku yang ternyata kosong melompong. Ketika meninggalkan Fuzhou, ayah dan ibunya membungkus sejumlah uang dan perhiasan sebagai bekal mereka dan mengikat bungkusan itu di pelana kuda. Kini kuda itu sudah dibawa serta oleh orang-orang Qingcheng. Lin Pingzhi benar-benar patah semangat. Ia tidak memiliki uang sedikit pun untuk membeli kuda baru.
“Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?” ujarnya bingung sambil mendongak ke langit. “Aku harus menolong Ayah dan Ibu. Entah bagaimana caranya, aku tidak boleh menyerah!”
Pemuda itu melanjutkan perjalanan menuruni bukit. Menjelang tengah hari ia merasa perutnya sangat lapar. Tiba-tiba matanya melihat beberapa pohon lengkeng sedang berbuah lebat. Meskipun belum matang benar, namun lumayan baginya untuk sekadar mengganjal perut.
Segera dihampirinya pohon itu lalu dijulurkannya lengan ke atas untuk meraih buahnya yang ranum. Hampir saja ujung jarinya menyentuh sasaran pada saat hatinya tiba-tiba berontak, “Buah lengkeng ini pasti ada yang memiliki. Mengambil tanpa izin sama artinya dengan mencuri. Keluarga Lin turun temurun melakukan pekerjaan mengawal dan menjaga harta benda milik orang lain; mana boleh sekarang aku mencuri hanya demi mengenyangkan perut sendiri? Jika sampai ada orang yang melihatku dan melapor kepada Ayah, tentu Ayah akan sangat malu. Nama baik Keluarga Lin dan Biro Pengawalan Fuwei akan tercemar oleh perbuatanku.”
Sejak kecil Lin Pingzhi sering mendapatkan nasihat dari Lin Zhennan bahwa segala kejahatan merampok sesungguhnya berasal dari mencuri. Mula-mula mereka mengambil harta orang lain secara kecil-kecilan, dan perbuatan ini lama-lama menjadi kebiasaan. Setelah kekuatannya bertambah besar, si pencuri akhirnya tidak malu lagi mengambil milik orang lain secara paksa.
Teringat nasihat ayahnya itu, Lin Pingzhi berkeringat dingin. Mulutnya pun mengucapkan tekad, “Suatu hari nanti aku dan Ayah akan membangun kembali Biro Pengawalan Fuwei! Aku harus selalu bersikap kesatria dan melakukan perbuatan laki-laki sejati. Aku tidak akan mencuri. Lebih baik mengemis daripada mencuri.”
Dengan langkah cepat, Lin Pingzhi melanjutkan perjalanan dan membuang jauh-jauh keinginannya terhadap buah lengkeng tadi, atau buah-buah lain yang ditemuinya di jalan. Sampai akhirnya ia memasuki sebuah desa kecil. Dengan perasaan canggung, ia mulai meminta-minta di depan sebuah rumah. Selama ini ia selalu hidup berkecukupan dan dilayani para pembantu keluarganya; tentu sungguh aneh rasanya kalau sekarang harus mengisi perut dengan cara mengemis. Meskipun hanya mengucapkan satu-dua kata, seketika wajahnya langsung merah dan kepala pun tertunduk malu.
Istri si pemilik rumah muncul dengan wajah bengis. Rupanya ia baru saja dimarahi dan dipukul oleh suaminya yang seorang petani. Begitu melihat ada pengemis muda datang ke rumahnya, wanita itu langsung melampiaskan amarahnya habis-habisan.
“Dasar kau maling kecil!” bentaknya sambil mengacungkan sebatang sapu. “Pasti kau yang telah mencuri ayam-ayamku! Kau sudah sering mencuri di sini dan kini berani datang lagi. Gara-gara ulahmu suamiku marah dan memukuli tubuhku. Huh, sekalipun aku mempunyai nasi basi, juga tidak akan kuberikan kepada maling sialan sepertimu!”
Wanita itu mencaci-maki Lin Pingzhi sambil terus mendesak maju. Lin Pingzhi yang merasa serbasalah melangkah mundur sedikit demi sedikit. Wanita itu semakin kesal dan memukulkan sapunya ke wajah Lin Pingzhi. Pemuda itu menjadi gusar. Sambil mengelak ia berusaha membalas dengan sebuah pukulan. Akan tetapi hatinya lantas berbisik, “Sungguh memalukan! Aku berusaha memukul wanita desa ini hanya karena tidak diberi makan.”
Karena berusaha membatalkan pukulannya secara tiba-tiba, ditambah lagi dengan perutnya yang semakin lapar, Lin Pingzhi pun kehilangan keseimbangan. Ia akhirnya terpeleset dan jatuh tertelungkup dengan wajah menimpa kotoran kerbau. Tanpa ampun, sapu wanita itu pun mendarat pula berkali-kali di atas kepalanya.
Melihat keadaan Lin Pingzhi yang konyol, wanita itu tertawa geli dan berkata, “Hahaha. Dasar maling busuk! Kau pantas mendapatkan ini semua.” Usai berkata ia meludahi punggung pemuda itu dan kemudian masuk kembali ke dalam rumah.
Lin Pingzhi sangat gusar tak terkatakan. Dengan susah payah ia mencoba bangkit meskipun kembali jatuh berkali-kali. Wajah dan tangannya penuh dengan kotoran kerbau. Tiba-tiba wanita pemilik rumah itu keluar lagi dengan membawa empat batang jagung rebus yang masih panas.
“Pergilah, setan kecil! Bawa ini untukmu!” katanya sambil menyodorkan jagung itu ke tangan Lin Pingzhi. “Kau ini sebenarnya tampan, bahkan lebih cantik daripada menantu perempuanku. Tapi kau malas bekerja dan menjadi pengemis. Dasar tidak berguna!”
Lin Pingzhi semakin gusar. Hampir saja ia membanting jagung-jagung tersebut ke tanah. Tampak wanita itu tertawa dan berkata, “Bagus sekali! Silakan kau buang saja jagung-jagung ini! Buang saja kalau kau memang tidak takut mati kelaparan.”
Dalam hati Lin Pingzhi menyadari kesalahannya, “Demi menyelamatkan Ayah dan Ibu, demi membangun kembali kejayaan Biro Pengawalan Fuwei, aku harus kuat menahan segala penghinaan. Mulai hari ini aku harus tegar, tak peduli betapa berat penghinaan yang aku terima. Aku hanya perlu menggertakkan gigi dan menerima semuanya. Hanya dihina seorang istri petani rasanya bukan masalah besar.”
Usai berpikir demikian ia pun berkata, “Terima kasih banyak” Tanpa menunggu jawaban, ia segera menggerogoti jagung-jagung tersebut dengan lahap. Karena sangat lapar, keempat jagung rebus itu sudah habis dalam waktu singkat.
Si wanita desa tersenyum dan menyahut, “Aku tahu kau tidak akan membuang jagung-jagung ini.” Ia lantas masuk kembali ke dalam rumah sambil menggumam, “Bocah ini terlalu lapar. Sepertinya memang bukan dia yang telah mencuri ayam-ayamku. Huh, andai saja suamiku memiliki kesabaran seperti dia, tentu hidupku akan jauh lebih baik.”
Lin Pingzhi pun melanjutkan perjalanan dengan semangat baru. Di sepanjang jalan ia mengisi perut dengan cara mengemis atau kadang memakan buah-buahan liar di hutan. Untungnya saat itu Provinsi Fujian sedang mengalami kemakmuran. Panen melimpah ruah sehingga banyak penduduk yang kelebihan bahan pangan. Lagipula, meskipun Lin Pingzhi memoles mukanya dengan kotoran tetap saja tutur bahasanya lembut dan sopan sehingga banyak orang yang senang memberinya sedekah.
Sambil mengemis, pemuda itu juga berusaha mencari informasi tentang keberadaan ayah dan ibunya, meskipun sampai saat ini hasilnya tetap saja nihil. Delapan hari kemudian sampailah ia di wilayah Jiangxi. Ia kemudian bertanya di mana letak ibu kota daerah itu yang bernama Nancang. Ia berpikir di sana pasti terdapat kantor cabang Biro Pengawalan Fuwei yang dapat memberinya informasi, atau sekadar uang untuk membeli kuda.
Begitu memasuki Kota Nancang, ia langsung bertanya di mana alamat Biro Pengawalan Fuwei cabang Jiangxi. Seorang laki-laki menjawab, “Untuk apa kau bertanya soal Biro Fuwei? Perusahaan itu sudah habis terbakar dan rata dengan tanah. Bahkan, tidak sedikit rumah tetangga ikut dimakan api.”
Lin Pingzhi mengeluh dalam hati. Ia pun mendatangi kantor cabang perusahaan keluarganya itu dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa yang tersisa di sana hanya tinggal puing-puing reruntuhan saja. Cukup lama ia berdiri mematung sambil menggerutu dalam hati, “Huh, ini pasti perbuatan orang-orang Qingcheng pula. Aku tidak mau mati dulu sebelum bisa membalas sakit hati ini.”
Tanpa menunggu lebih lama, ia pun melanjutkan perjalanan ke arah barat. Beberapa hari kemudian sampailah ia di Changsha, ibu kota Provinsi Hunan. Setelah bertanya kepada penduduk di sana, ternyata kantor Biro Pengawalan Fuwei di kota ini masih berdiri tegak dan tidak mengalami kebakaran. Seketika perasaannya lega dan ia pun bergegas menuju ke sana dengan langkah lebar.
Lin Pingzhi akhirnya menemukan di mana letak kantor cabang perusahaan keluarganya itu berada. Meskipun tidak semegah gedung pusat di Kota Fuzhou, kantor cabang di Kota Changsa ini terhitung lumayan besar. Tampak pintu utama gedung juga bercat warna merah, dengan dihiasi dua patung singa jantan di kanan-kiri gerbang.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi mengintip ke dalam, namun keadaan tampak sangat sepi. Untuk melangkah masuk ke dalam gedung ia merasa ragu-ragu karena keadaannya sangat kotor dan dekil; jangan-jangan para pegawai di situ tidak mengenalinya pula. Ketika mendongak ke atas, dilihatnya papan nama perusahaan tidak terpasang sebagaimana mestinya. Papan yang bertuliskan “Biro Pengawalan Fuwei Cabang Hunan” itu tampak terbalik cara memasangnya.
“Bagaimana mungkin para pegawai di sini sedemikian ceroboh?” katanya dalam hati.
Lin Pingzhi kemudian memandang ke arah tiang bendera di depan gedung. Betapa terkejut hatinya menyaksikan bukannya panji-panji kebesaran Biro Fuwei yang berkibar, melainkan sepasang sepatu rusak di tiang sebelah kiri, dan selembar celana wanita di tiang sebelah kanan. Celana wanita itu bermotif bunga-bunga dan terlihat robek di sana-sini.
Belum habis rasa herannya tiba-tiba dari dalam kantor keluar seorang laki-laki yang langsung membentak dirinya, “Hei, anak bulus! Apa yang kau lakukan di sini? Mau mencuri, hah?”
Mendengar logat bicara orang itu mirip dengan murid-murid Qingcheng, Lin Pingzhi buru-buru memutar badan untuk segera pergi. Akan tetapi, sebuah tendangan lebih dulu mendarat di punggungnya, membuat pemuda itu jatuh tersungkur.
Lin Pingzhi berniat bangun dan melawan, namun segera ia teringat bahwa menuruti amarah hanya akan merugikan dirinya. Justru ini adalah kesempatan yang baik untuk mendapatkan informasi di mana ayah dan ibunya berada. Maka itu, ia pun menenangkan diri dan pura-pura meringis kesakitan. Untungnya, murid Qingcheng tersebut kurang cermat sehingga hanya bergelak tawa sambil memaki, “Dasar anak bulus!”
Setelah orang itu kembali ke dalam, Lin Pingzhi bangun dan berjalan dengan gaya terpincang-pincang memasuki sebuah gang kecil. Di sana ia kembali mengemis dan mendapatkan semangkuk beras untuk mengisi perut.
“Di sekelilingku banyak musuh berkeliaran, aku harus berhati-hati!” katanya dalam hati. Ia kemudian mengusap wajahnya dengan debu dan jelaga sehingga terlihat hitam dan kotor. Sambil menunggu hari gelap, ia pun tidur di sudut gang tersebut.
Ketika malam tiba, Lin Pingzhi bergegas menyusup ke dalam gedung perusahaan. Dengan sebilah pedang disiapkan di pinggang, ia pun mengendap-endap menuju pintu belakang. Setelah yakin keadaan aman, pemuda itu lantas melompati pagar tembok, dan hinggap di pekarangan gedung yang ternyata berupa sebidang kebun sayur. Perlahan-lahan ia menyusuri tembok tersebut selangkah demi selangkah.
Suasana kantor cabang Changsa yang biasanya ramai itu kini telah sunyi sepi dan gelap gulita. Tidak terdengar suara seorang pun, juga tidak terdapat cahaya pelita sedikit pun. Sampai-sampai Lin Pingzhi dapat mendengar suara detak jantungnya sendiri. Dengan tangan meraba-raba tembok, ia terus berjalan perlahan-lahan. Kakinya sangat berhati-hati dalam melangkah jangan sampai tersandung batu atau menginjak ranting kecil agar tidak menimbulkan suara berisik sedikit pun.
Setelah melintasi pekarangan, Lin Pingzhi melihat seberkas cahaya pelita memancar dari jendela ruangan sisi timur. Dengan perasaan tegang ia pun merangkak mendekati jendela itu dan kemudian duduk meringkuk di bawah sambil menahan napas. Telinganya lantas mendengar suara orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan tersebut.
“Besok pagi kita bakar saja gedung pengawalan bulus ini supaya kita tidak perlu tinggal lebih lama di sini seperti orang tolol,” ujar seseorang kepada rekannya.
“Jangan! Tidak boleh!” jawab seorang lainnya. “Kakak Pi dan yang lain telah membakar gedung kantor cabang di Nancang. Konon belasan rumah penduduk di sana ikut terbakar pula. Kejadian seperti ini sudah tentu merugikan nama baik Perguruan Qingcheng kita. Guru pasti akan menghukum mereka.”
Lin Pingzhi merasa geram mendengarnya. Kini ia tidak ragu lagi kalau pelaku pembakaran kantor cabang Nancang adalah orang-orang Perguruan Qingcheng pula. Namun ia merasa heran mengapa setelah pembantaian besar-besaran itu mereka masih juga mempersoalkan nama baik.
Pembicaraan di dalam terus berlanjut. Terdengar orang yang pertama tadi berkata, “Kalau tidak dibakar, apa terus dibiarkan begini saja? Apa kita tinggalkan dalam keadaan utuh seperti ini?”
Rekannya menjawab, “Adik Ji, kau ini memang suka terburu nafsu. Kita sudah membalik papan nama biro ini; kita juga menggantung celana wanita dan sepatu rusak pada tiang bendera di depan. Nama baik Biro Pengawalan Fuwei Cabang Hunan sudah kita hancurkan. Jadi, untuk apa lagi kita bersusah payah membakar gedung bulus ini?”
“Kau benar, Kakak Shen,” kata orang pertama yang bermarga Ji sambil tertawa. “Celana wanita robek itu akan memberikan pengaruh buruk bagi Biro Fuwei. Bisa dijamin selama tiga ratus tahun mereka akan bernasib sial terus menerus. Hahahaha...”
Kedua murid Qingcheng itu pun tertawa terbahak-bahak. Si marga Ji kembali berkata, “Besok kita akan pergi ke Kota Hengshan untuk menghadiri upacara yang diadakan Liu Zhengfeng. Hadiah apa yang bisa kita berikan kepadanya? Huh, berita ini sangat mendadak. Kalau hadiah yang kita berikan kurang berharga, tentu akan merusak nama baik Perguruan Qingcheng.”
“Masalah hadiah sudah kupersiapkan dengan baik,” jawab si marga Shen sambil tersenyum. “Kau tidak perlu khawatir. Aku jamin, Perguruan Qingcheng tidak akan kehilangan muka dalam upacara Cuci Tangan Baskom Emas tersebut. Bahkan, hadiah dari perguruan kita pasti menjadi hadiah yang paling istimewa.”
“Hei, hadiah apa itu? Kenapa aku tidak tahu sama sekali?” sahut si marga Ji senang.
Si marga Shen tertawa bangga, lalu menjawab, “Hadiah ini sebenarnya kita ‘pinjam’ dari orang lain. Kita sama sekali tidak perlu keluar uang untuk membelinya. Coba lihat, apakah ini cukup bagus?”
Samar-samar Lin Pingzhi mendengar suara tangan membuka bungkusan atau sejenisnya. Sesaat kemudian terdengar si marga Ji berseru, “Wah, hebat! Kakak Shen, apa kau mempunyai ilmu sihir? Dari mana kau dapatkan benda-benda ini?”
Lin Pingzhi sangat penasaran dan ingin sekali mengetahui benda apa yang sedang dibicarakan kedua orang itu. Namun ia sadar, begitu mengangkat kepala untuk mengintip ke dalam, seketika bayangannya akan terlihat oleh mereka berdua. Maka itu, ia pun berusaha menahan diri dan terus bersabar.
“Memangnya kita menempati kantor Biro Fuwei ini dengan cuma-cuma?” sahut si marga Shen. “Sepasang kuda zamrud ini sebenarnya hendak kupersembahkan kepada Guru; namun sekarang sebaiknya si tua Liu Zhengfeng itu saja yang beruntung mendapatkannya.”
Perasaan Lin Pingzhi kembali bergolak mendengar ucapan si marga Shen. Ia pun menggerutu dalam hati, “Huh, kelakuan Perguruan Qingcheng tidak ada bedanya dengan perampok jalanan. Mereka merampas benda kawalan Biro Fuwei untuk mengambil hati orang lain. Mereka merugikan pihak lain demi mengangkat nama sendiri. Padahal, jika ada benda yang hilang, tentu Ayah yang harus bertanggung jawab mengganti kerugiannya. Dasar keparat!”
Si marga Ji terdengar berkata, “Kakak Shen, hubungan Guru dengan Liu Zhengfeng konon kurang begitu akrab. Apa tidak sebaiknya kita berikan sedikit hadiah saja, sementara sisanya kita bawa pulang?”
“Rupanya kau belum paham juga, Adik Ji,” jawab si marga Shen. “Liu Zhengfeng hendak menggelar upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Tentunya dalam acara tersebut banyak tokoh persilatan yang hadir. Sesungguhnya hadiah yang kita bawa ini hanya sekadar untuk pamer, supaya Perguruan Qingcheng tidak dipandang rendah oleh mereka.”
Si marga Ji menjawab, “Kakak Shen memang cerdik.” Ia diam sejenak kemudian melanjutkan, “Tapi, kalau kita... kalau kita pulang ke Szechwan dengan tangan hampa tentu rasanya tidak enak juga.”
“Jangan khawatir!” sahut si marga Shen tenang. “Guru mungkin tidak terlalu peduli dengan benda-benda seperti ini. Yang perlu kita pikirkan justru istri muda Beliau. Ini ada empat bungkusan sudah kupersiapkan. Satu untuk para istri Guru, terutama yang paling muda; satu untuk segenap saudara seperguruan; dan sisa dua bungkus untuk kita berdua. Terserah kau boleh pilih yang mana.”
“Terima kasih, Kakak Shen,” sahut si marga Ji. “Memangnya apa saja isi bungkusan ini?”
Lin Pingzhi kembali mendengar suara bungkusan dibuka. Disusul kemudian terdengar suara si marga Ji berseru kaget, “Wah, ternyata isinya emas dan permata! Dasar keparat! Kita sekarang kaya raya! Biro Fuwei memang pandai mengumpulkan harta. Kakak Shen, di mana kau menemukan ini semua? Padahal, sudah kucari belasan kali, sampai-sampai lantai juga kugali; namun tidak juga kutemukan harta benda apapun, selain seratus tael perak saja. Kakak Shen, di mana kau temukan harta karun ini?”
Si marga Shen tersenyum bangga dengan dirinya sendiri. “Harta kekayaan perusahaan ini tidak mungkin disimpan di sembarang tempat. Mungkin kau tidak tahu kalau selama ini aku mengamati kegiatanmu membongkar lemari, mencongkel dinding, dan membobol laci. Sungguh kesibukan yang sia-sia,” ujarnya. “Kita hidup di dunia persilatan tidak boleh hanya mengandalkan ilmu silat belaka, tapi juga ini...” katanya sambil menunjuk kepala sendiri.
Si marga Ji menjawab, “Aku tahu, tapi bagaimana caranya? Kakak Shen, tolong katakan padaku!”
“Coba pikir, apakah menurutmu ada yang aneh dengan tempat ini?” kata si marga Shen.
“Aneh? Banyak yang aneh menurutku,” sahut si marga Ji. “Perusahaan bulus ini memiliki ilmu silat rendah, tapi berani-beraninya memasang bendera bergambar singa gagah.”
“Maka itu kita menggantinya dengan celana perempuan,” kata si marga Sin sambil tertawa. “Coba kau ingat lagi, apakah ada yang aneh dengan perusahaan pengawalan ini?”
“Aku ingat sekarang,” ujar si marga Ji sambil menepuk pahanya. “Ketua cabang di sini, yaitu Pengawal Zhang telah meletakkan peti mati di dalam kamar tidurnya. Bukankah ini malah membawa kesialan? Hahaha.”
“Gunakan kepalamu!” sahut si marga Shen dengan suara tertahan. “Kenapa dia meletakkan peti mati di dalam kamar tidur? Apakah peti itu berisi jasad istrinya, ataukah anaknya, ataukah orang lain yang sangat dicintainya? Aku rasa tidak. Tentu peti mati itu digunakan untuk menyimpan....”
“Aha!” seru si marga Ji sampai melonjak dari kursinya. “Harta karun ini pasti disimpan di dalam peti mati itu. Keparat! Dasar anak bulus! Kakak Shen, dua bungkusan ini sama beratnya. Mana berani aku mengambil jumlah yang sama denganmu? Sudah seharusnya kau mendapatkan bagian lebih banyak.” Usai berkata, ia lantas membuka bungkusannya dan memindahkan sebagian isinya ke dalam bungkusan si marga Shen. Si marga Shen hanya tersenyum-senyum tanpa menolak sedikit pun.
Si marga Ji kembali berkata, “Sekarang sudah larut malam. Aku akan mengambil air hangat untuk mencuci kaki kita sebelum tidur.” Sambil menguap ia pun mendorong pintu dan berjalan keluar kamar.
Lin Pingzhi memberanikan diri melirik ke dalam melalui celah jendela. Samar-samar ia melihat si marga Ji ternyata bertubuh pendek dan gemuk. Kemungkinan besar orang itulah yang menendangnya tadi siang. Tidak lama kemudian orang bermarga Ji itu telah kembali dengan membawa sebaskom air hangat.
“Kakak Shen,” katanya sambil menyodorkan baskom di tangan. “Kali ini Guru telah mengirim puluhan murid untuk menghancurkan Biro Pengawalan Fuwei. Namun, sepertinya kita berdua saja yang memperoleh harta rampasan paling banyak. Berkat dirimu kita bisa mendapatkan hasil seperti ini. Kelompok Kakak Jiang yang dikirim menyerang cabang Guangzhou, atau kelompok Kakak Ma yang menyerang cabang Hangzhou, mungkin mereka tidak menemukan apa-apa. Meskipun mereka melihat ada peti mati di sana, namun sudah pasti tidak ada yang menduga terdapat harta karun di dalamnya.”
Si marga Shen menjawab, “Kakak Fang dan Adik Yu, serta si bodoh Jia Renda kabarnya telah menklukkan kantor pusat Biro Fuwei di Fuzhou. Tentu mereka mendapatkan hasil yang lebih besar. Akan tetapi sayangnya, putra bungsu guru kita tewas di sana. Sepertinya mereka akan mendapat marah besar.”
“Sebenarnya bukan mereka yang menghancurkan kantor pusat Biro Fuwei di Fuzhou,” sahut si marga Ji. “Kakak Fang dan Adik Yu hanya bertugas mengintai. Guru tidak akan memarahi mereka atas kematian putra bungsu Beliau. Guru memang telah mempersiapkan serangan ini secara besar-besaran. Segenap murid-murid Qingcheng dikirim untuk menghancurkan Biro Pengawalan Fuwei baik itu pusat ataupun cabang-cabangnya sekaligus. Bahkan, Guru sendiri ikut datang ke Fuzhou untuk membantai para pegawai di sana. Dalam hal ini Guru terlalu berlebihan, karena ilmu silat Keluarga Lin ternyata tidak sehebat nama besarnya. Hanya tiga orang saudara kita saja sudah cukup untuk menangkap Lin Zhennan dan istrinya.”
Lin Pingzhi tergetar dan berkeringat dingin begitu mendengar percakapan yang terakhir ini. Ternyata Perguruan Qingcheng sejak awal memang sudah berniat untuk menghancurkan Biro Pengawalan Fuwei. Bahkan, Yu Canghai sendiri ikut datang ke Fuzhou dan turun tangan secara langsung. Dengan demikian, yang membantai para pegawai ayahnya dengan jurus Tapak Penghancur Jantung sudah pasti ketua Perguruan Qingcheng tersebut.
Lin Pingzhi pun bertanya-tanya dalam hati mengapa Perguruan Qingcheng menghancurkan Biro Fuwei? Memangnya ada dendam apa di antara kedua pihak? Ia merasa sedikit lega setelah mengetahui penyebab kehancuran Biro Fuwei ternyata bukan karena perbuatannya yang telah membunuh putra bungsu Yu Canghai. Sebaliknya, rasa dendamnya semakin berkobar-kobar. Andai saja ia tidak ingat kalau ilmu silat lawan lebih hebat, tentu ia sudah menerobos jendela dan mencincang habis kedua murid Qingcheng itu. Samar-samar terdengar mereka berdua sedang mencuci kaki masing-masing.
Si marga Shen berkata, “Guru tidak berlebihan, Adik Ji. Puluhan tahun yang lalu Biro Pengawalan Fuwei dan Jurus Pedang Penakluk Iblis pernah menggetarkan dunia persilatan. Mungkin keturunan mereka saja yang terlalu bodoh sehingga tidak becus mewarisi kepandaian leluhur.”
Raut muka Lin Pingzhi langsung berubah merah mendengarnya. Dalam hati ia mengakui kalau ilmu silatnya memang terlalu rendah.
Terdengar si marga Shen melanjutkan, “Sebelum kita berangkat bukankah Guru telah mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis? Memang sulit untuk mendalami semua jurus yang diajarkan Beliau itu dalam waktu dua bulan. Akan tetapi, aku bisa merasakan di dalam jurus pedang Keluarga Lin itu tersembunyi banyak kekuatan yang mengerikan. Kau sendiri sudah hafal berapa jurus, Adik Ji?”
Si marga Ji menjawab, “Guru pernah bilang bahwa jurus ini sangat istimewa, bahkan Lin Zhennan sendiri belum menguasainya dengan sempurna. Maka itu, aku jadi malas mempelajarinya. Kakak Shen, kabarnya Guru telah memberi perintah agar kita semua berkumpul di Kota Hengshan. Ini berarti, Kakak Fang akan membawa Lin Zhennan suami-istri ke sana pula, bukan begitu? Aku jadi penasaran ingin melihat seperti apa wajah ahli waris Jurus Pedang Penakluk Iblis yang luar biasa itu. Hahaha.”
Lin Pingzhi terkejut bercampur senang mendengar di mana keberadaan ayah dan ibunya.
“Beberapa hari lagi kau akan bertemu dengannya. Kau bisa belajar langsung kepadanya tentang kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis itu. Hahaha,” jawab si marga Shen sambil tertawa pula.
Tiba-tiba daun jendela terbuka. Lin Pingzhi terkejut mengira persembunyiannya telah diketahui oleh kedua orang itu. Ketika hendak beranjak pergi mendadak kepalanya sudah basah kuyup tersiram air hangat. Hampir saja ia menjerit kaget. Untungnya setelah itu jendela ditutup kembali dan pelita di dalam kamar dipadamkan pula. Keadaan kini menjadi gelap gulita tanpa cahaya.
Jantung Lin Pingzhi berdebar kencang setelah mengalami kejadian yang sangat mengejutkan itu. Ia baru sadar kalau si marga Ji baru saja membuang air kotor bekas cucian kaki melalui jendela dan tepat menyiram kepalanya. Meskipun demikian, ia merasa gembira karena baru saja memperoleh informasi tentang keberadaan kedua orang tuanya. Jangankan disiram air kotor, disiram air kencing sekalipun juga tidak menjadi masalah baginya.
(Bersambung)
Bagian 3 ; Halaman muka ; Bagian 5