Bagian 65 - Kematian Jago Silat Nomor Satu

Linghu Chong lantas melompat bangun. Dari dalam kain pembalutnya ia menarik keluar sebilah pedang panjang. Xiang Wentian juga mengeluarkan senjata-senjata yang disembunyikan di atas usungan dan membagikannya kepada Ren Yingying serta Ren Woxing. Kemudian ia menarik tali usungan sekuatnya sampai lepas. Ternyata tali yang dipakai untuk mengikat kerangka usungan tersebut adalah sebuah cambuk. Dengan ilmu meringankan tubuh masing-masing keempatnya lantas menyerbu maju.
Terdengar Dongfang Bubai menjerit. Dahinya terluka dan mengucurkan darah akibat terkena uang logam yang dilemparkan Ren Woxing tadi. Untungnya, jarak lemparan tadi cukup jauh sehingga tidak terlalu keras mengenai dahi Dongfang Bubai, hanya membuat kulit kepalanya sedikit terkelupas. Hal ini cukup aneh karena Dongfang Bubai terkenal memiliki ilmu silat tak terkalahkan, tapi mengapa sekeping uang logam saja tidak mampu ia hindari.
Ren Woxing tertawa berteriak, “Hahaha, Dongfang Bubai ini adalah palsu!”
Pada saat yang sama Xiang Wentian menyabetkan cambuknya membelit kedua kaki Yang Lianting. Sekali tarik orang itu lantas terguling tanpa ampun.
Sementara itu Dongfang Bubai masih terus berlari ke depan sambil mendekap dahinya yang terluka. Dengan cepat Linghu Chong melompat ke depannya. Sambil menodongkan ujung pedang ia membentak, “Berhenti!”
Namun Dongfang Bubai yang sedang berlari cepat itu tidak sempat lagi menahan tubuhnya, bahkan terus saja menerjang ke ujung pedang. Serentak Linghu Chong menarik kembali pedangnya itu. Ren Woxing sendiri sudah menerjang pula. Sekali cengkeram ia menangkap tengkuk Dongfang Bubai dan menyeret laki-laki tua itu ke tengah balairung.
“Dengarkan semua orang!” teriak Ren Woxing. “Keparat ini memalsukan Dongfang Bubai dan merusak Partai Mentari dan Bulan kita. Hendaknya kalian semua memeriksa dengan jelas cecunguk keparat ini.”
Ternyata muka orang itu memang sangat mirip dengan Dongfang Bubai yang asli. Namun wajahnya yang pucat ketakutan jelas berbeda dengan sifat Dongfang Bubai yang tenang dan percaya diri. Kontan para penjaga pun saling pandang dengan mulut ternganga.
“Siapa kau? Kalau tidak mengaku terus terang biar kuhancurkan sekalian batok kepalamu,” bentak Ren Woxing.
Orang itu gemetar seluruh badannya. Giginya berkerutan karena menahan takut. Dengan suara terputus-putus ia menjawab, “Ham… ham… ba… ber… na… ma….” tapi sampai sekian lamanya ia tetap tidak mampu menyambung ucapannya itu.
Xiang Wentian telah menotok beberapa titik di tubuh Yang Lianting dan menyeret laki-laki itu ke tengah balairung pula. Ia lalu membentak, “Sebenarnya siapa nama orang ini?”
Dengan angkuh Yang Lianting menjawab, “Hm, kau ini cuma seekor kutu, ada hak apa untuk bertanya padaku? Aku mengenalmu sebagai pengkhianat besar Xiang Wentian. Sudah lama kau dipecat. Berdasarkan apa kau berani pulang lagi ke Tebing Kayu Hitam ini?”
“Tujuanku ke Tebing Kayu Hitam ini justru hendak membereskanmu, keparat!” ejek Xiang Wentian sambil mengayunkan sebelah tangannya. Kontan tulang betis kiri Yang Lianting patah dibuatnya.
Tak disangka, meskipun ilmu silat Yang Lianting tidak tinggi, tapi sifatnya sangat keras kepala. Ia tidak menjerit kesakitan, sebaliknya malah membentak, “Jika berani, hayo bunuh saja aku! Main siksa seperti ini terhitung perbuatan kaum gagah macam apa?”
“Membunuhmu? Hm, apa benar begitu enak?” ejek Xiang Wentian. Kembali ia memukul tulang betis kaki Yang Lianting yang lain sampai patah. Menyusul kemudian Xiang Wentian menurunkan tubuh Yang Lianting sehingga berdiri tegak.
Kedua tulang betis Yang Lianting sudah patah, sehingga ketika berdiri tulang kakinya itu menusuk kulit. Bagaimana rasa sakitnya tentu tidak bisa dibayangkan. Namun demikian, orang itu sama sekali tidak bersuara sepatah kata pun meski wajahnya pucat pasi.
“Laki-laki hebat, aku takkan menyiksamu lagi,” kata Xiang Wentian sambil mengacungkan ibu jari ke muka Yang Lianting. Sebagai gantinya ia meninju perut Dongfang Bubai palsu sambil bertanya, “Siapa namamu?”
Orang itu menjerit kesakitan, kemudian menjawab dengan gemetar, “Hamba… hamba ber… bernama Bao… Bao… Bao….”
“Jadi kau bermarga Bao?” sahut Xiang Wentian menegas.
“Iya… ya! Hamba bermarga… bermarga… Bao… Bao….” namun ia tetap tidak sanggup mengatakan nama lengkapnya sampai sekian lama.
Tiba-tiba Linghu Chong dan yang lain mencium bau busuk. Ternyata dari bawah celana orang bermarga Bao itu mengalir cairan berwarna kekuning-kuningan. Begitulah, karena sangat ketakutan Dongfang Bubai palsu itu sampai terkencing-kencing di celana.
“Kita tidak boleh menunda lagi. Sekarang yang paling penting adalah mencari Dongfang Bubai asli,” kata Ren Woxing. Segera ia mengangkat orang bermarga Bao itu dan berseru kepada para anggota partai, “Kalian sudah menyaksikan sendiri, orang ini adalah Dongfang Bubai palsu. Dia telah merusak agama kita. Sekarang juga kita harus menyelidiki duduk perkaranya sampai jelas. Aku adalah Ren Woxing, ketua kalian yang terdahulu. Apakah kalian masih kenal padaku?”
Para penjaga yang berada di situ adalah pemuda-pemuda berumur dua puluhan. Selama ini mereka belum pernah melihat Ren Woxing, sehingga wajar kalau tidak kenal kepadanya.
Sejak Dongfang Bubai menjabat sebagai ketua, orang-orang kepercayaannya dapat meraba isi hatinya, sehingga masing-masing saling memperingatkan agar tidak menyebut-nyebut nama Ketua Ren lagi. Oleh sebab itulah nama Ren Woxing pun tidak pernah didengar oleh para anggota muda.
Kini para penjaga itu hanya ternganga dan saling pandang mendengar ucapan Ren Woxing tadi. Tidak seorang pun yang berani menjawab. Melihat itu Shangguan Yun berseru, “Kemungkinan besar Dongfang Bubai sudah dibunuh Yang Lianting dan para begundalnya. Ketua Ren ini adalah ketua kita. Mulai sekarang kita harus setia mengabdi kepada Ketua Ren.” Usai berkata ia segera mendahului berlutut kepada Ren Woxing, dan berseru, “Terimalah sembah bakti hamba, semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan!”
Para penjaga mengenal Shangguan Yun sebagai tokoh terhormat dalam partai. Melihat tokoh setinggi itu menyembah kepada Ren Woxing, juga setelah menyaksikan ada orang memalsukan Dongfang Bubai, serta Yang Lianting yang biasanya berkuasa sekarang tidak berkutik dengan kedua kaki patah, maka tanpa ragu-ragu lagi para penjaga itu serentak berlutut dan berseru pula, “Semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan!”
Ren Woxing terbahak-bahak senang dan puas, kemudian berkata, “Kalian harus menjaga rapat setiap jalan di sekeliling Tebing Kayu Hitam ini. Siapa pun dilarang naik-turun!”
Para penjaga itu mengiakan dengan suara bergemuruh. Xiang Wentian sendiri sudah memerintahkan kawanan pelayan berbaju ungu untuk membuka borgol Tong Baixiong.
Tong Baixiong sangat mengkhawatirkan keselamatan Dongfang Bubai. Begitu bebas ia segera mencengkeram tengkuk Yang Lianting dan membentak, “Tentu kau telah membunuh Adik… Adik Dongfang, kau… kau….” karena sangat bernafsu sampai-sampai tenggorokannya seperti tersumbat, air mata pun berlinang-linang.
Yang Lianting benar-benar berkepala batu. Ia justru memejamkan mata tidak memedulikan pertanyaan itu. Kontan Tong Baixiong menjadi murka dan langsung menempeleng keras pelipis orang bermarga Yang itu sambil membentak, “Di mana Adik Dongfang?”
“Perlahan sedikit!” seru Xiang Wentian mengingatkan Tong Baixiong.
Namun sudah terlambat. Meskipun tempelengan itu tidak terlalu keras, namun Yang Lianting langsung pingsan dibuatnya. Tong Baixiong menghentak-hentakkan badan Yang Lianting, namun kedua mata pria itu tampak melotot seperti orang mati.
Ren Woxing berseru kepada para pelayan berbaju ungu, “Siapa di antara kalian yang tahu di mana keberadaan Dongfang Bubai? Siapa yang memberi laporan lebih dulu akan mendapat hadiah besar!” Namun meski ia mengulangi pertanyaan itu tetap saja tidak seorang pun yang bisa memberi keterangan. Seketika hatinya pun menjadi dingin.
Maklum saja, ia dikurung selama belasan tahun di bawah Danau Barat. Di situ siang dan malam ia tekun berlatih dengan tujuan bila kelak dapat meloloskan diri tentu akan balas menyiksa Dongfang Bubai habis-habisan. Siapa sangka setelah berada di Tebing Kayu Hitam ternyata Dongfang Bubai yang telah dibekuknya ini adalah palsu. Sepertinya Dongfang Bubai yang asli sudah tidak hidup lagi di dunia fana. Kalau tidak, dengan kecerdasan Dongfang Bubai yang luar biasa itu mana sudi ia membiarkan Yang Lianting berbuat sesuka hati, bahkan menggunakan orang lain sebagai duplikatnya?
Ren Woxing memandangi kawanan pelayan berbaju ungu yang berdiri di seputar balairung itu. Terlihat sebagian di antara mereka menunjukkan sikap ketakutan, tapi ada pula yang terlihat culas. Dalam keadaan kecewa perasaan Ren Woxing menjadi sangat berangasan. Tiba-tiba ia membentak, “Kalian sudah tahu Dongfang Bubai ini palsu, tapi kalian tetap saja bersekongkol dengan Yang Lianting untuk menipu saudara-saudara lain dalam agama. Dosa kalian ini sungguh besar dan tidak bisa diampuni!”
Usai berkata tubuhnya langsung melayang ke depan. Kemudian terdengar empat kali tangannya menampar kepala orang. Kontan empat orang pelayan berbaju ungu langsung roboh binasa. Melihat itu para pelayan yang lain menjadi ketakutan. Sambil menjerit mereka menyingkir ke belakang.
“Kalian hendak lari? Mau lari ke mana?” bentak Ren Woxing dengan menyeringai seram. Dipungutnya rantai borgol yang baru dilepaskan dari tubuh Tong Baixiong tadi, lalu dengan sekuat tenaga ia melemparkan rantai itu ke depan. Darah pun menyembur keluar. Kembali ada tujuh atau delapan pelayan yang binasa.
Ren Woxing terbahak-bahak dan berteriak, “Pengikut-pengikut Dongfang Bubai satu pun takkan kubiarkan hidup!”
Melihat kelakuan ayahnya yang mengerikan itu, Ren Yingying segera maju untuk memegangi tangan Ren Woxing sambil berkata, “Sabar, Ayah!”
Tiba-tiba di antara kawanan pelayan berbaju ungu itu maju satu orang dan berlutut, “Lapor Ketua, sebenarnya Dongfang… Dongfang Bubai belum mati!”
Ren Woxing senang bukan kepalang mendengarnya. Ia pun memburu maju dan memegang bahu pelayan itu sambil menegas, “Apa betul Dongfang Bubai belum mati?”
“Iya… Auuh!” orang itu berteriak kesakitan kemudian roboh tak sadarkan diri. Rupanya karena hatinya terguncang Ren Woxing terlalu keras mencengkeram bahu pelayan itu, sampai-sampai membuatnya pingsan.
Karena pelayan tersebut tidak juga siuman, terpaksa Ren Woxing berpaling kepada para pelayan yang lain dan bertanya, “Di mana Dongfang Bubai berada? Lekas tunjukkan jalannya! Sedikit terlambat saja kalian semua akan kubunuh!”
Seorang pelayan yang lain menyembah dan berkata, “Lapor Ketua, tempat tinggal Dongfang Bubai sangat rahasia, dan yang tahu hanya Yang Lianting seorang. Sebaiknya kita sadarkan pengkhianat bermarga Yang itu, tentu dia dapat membawa Ketua ke sana.”
“Lekas ambilkan air dingin,” bentak Ren Woxing.
Kawanan pelayan itu sudah terlatih dan sangat cekatan. Dalam sekejap saja air dingin yang diminta Ren Woxing sudah datang dan langsung disiramkan ke muka Yang Lianting. Perlahan-lahan laki-laki itu siuman dan membuka matanya.
“Orang bermarga Yang, aku menghargai dirimu sebagai laki-laki berhati keras. Maka itu, kau takkan kusiksa lagi,” kata Xiang Wentian. “Saat ini semua jalan keluar-masuk Tebing Kayu Hitam sudah ditutup. Bagaimanapun juga Dongfang Bubai takkan bisa lolos dari sini kecuali dia punya sayap. Maka itu lebih baik kau membawa kami pergi mencarinya. Seorang laki-laki sejati untuk apa harus main sembunyi? Bukankah lebih baik kalau kita bereskan urusan ini sehingga semua orang bisa tenang?”
Yang Lianting menyeringai, “Ketua Dongfang tiada tandingnya di muka bumi ini. Justru lebih bagus kalau kalian ingin mengantarkan nyawa dengan segera. Baiklah, akan kuantarkan kalian menemui Beliau.”
Xiang Wentian lantas berkata kepada Shangguan Yun, “Saudara Shangguan, mari kita gotong keparat ini menemui Dongfang Bubai.” Usai berkata ia lantas mengangkat tubuh Yang Lianting dan menaruhnya di atas usungan.
“Baik,” jawab Shangguan Yun. Keduanya pun mengangkat usungan itu.
“Jalan ke dalam!” kata Yang Lianting.
Xiang Wentian dan Shangguan Yun mendahului berjalan di depan dengan menggotong Yang Lianting. Ren Woxing, Linghu Chong, Ren Yingying, dan Tong Baixiong mengikuti dari belakang.
Rombongan itu masuk ke belakang balairung dan melalui sebuah serambi yang panjang. Kemudian mereka sampai di sebuah taman bunga dan memasuki sebuah rumah batu kecil di ujung kiri.
“Dorong dinding sebelah kiri!” seru Yang Lianting.
Ketika Tong Baixiong mendorong dengan tangannya, ternyata dinding itu bisa bergerak sehingga berwujud sebagai daun pintu. Di dalamnya terdapat pula sebuah pintu besi. Dari bajunya Yang Lianting mengeluarkan sebentuk anak kunci dan menyerahkannya kepada Tong Baixiong. Pintu besi itu pun dibuka. Di dalamnya ternyata ada sebuah lorong bawah tanah.
Lorong itu terus menurun ke bawah. Dalam hati Ren Woxing berpikir, “Dongfang Bubai telah mengurung aku di dasar danau. Siapa sangka dia pun terkena karma sehingga dikurung pula di bawah tanah. Tampaknya lorong ini pun tidak lebih baik daripada tempat kurunganku dulu.”
Tidak disangka, setelah melalui beberapa tikungan, tiba-tiba di ujung depan sana memancar suasana terang benderang. Semua orang pun mencium bau harum bunga semerbak. Seketika napas mereka terasa segar.
Keluar dari lorong di bawah tanah itu ternyata mereka sudah berada di dalam sebuah taman bunga kecil yang sangat indah. Bunga mekar beraneka warna, pepohonan bambu dan cemara tumbuh menghijau segar. Di tengah taman terdapat sebuah kolam dengan beberapa pasang belibis sedang berenang kian-kemari dan beberapa ekor bangau putih berdiri di tepi.
Tidak seorang pun yang menduga bahwa di balik lorong yang gelap tadi ternyata ada kediaman seindah ini. Sungguh mereka tidak habis pikir. Setelah mengitari sebuah gunung-gunungan, tampak di depan terbentang sebidang kebun bunga yang keseluruhannya dipenuhi bunga mawar berwarna merah tua dan merah muda sedang mekar-mekarnya, seakan-akan berlomba memamerkan kecantikan masing-masing.
Ren Yingying melirik ke arah Linghu Chong. Dilihatnya pemuda itu tersenyum simpul, tampaknya sangat senang. “Bagus tidak tempat ini?” katanya dengan suara tertahan.
Linghu Chong menjawab, “Setelah kita mendepak Dongfang Bubai, mari kita tinggal beberapa bulan di sini. Nanti kau ajari aku memetik kecapi. Betapa bahagia jika bisa seperti itu.”
“Apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh?” tanya Ren Yingying.
“Tentu saja sungguh-sungguh,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja aku khawatir tidak mampu menerima pengajaran kecapimu sehingga membuat Nenek marah-marah nanti.”
Ren Yingying tertawa cekikikan karena teringat masa lalu ketika Linghu Chong mengira dirinya seorang nenek tua.
Sementara itu Xiang Wentian dan Shangguan Yun sedang mengusung Yang Lianting ke dalam sebuah pondok kecil yang indah. Segera Linghu Chong dan Ren Yingying ikut masuk ke situ. Begitu melangkah ke dalam, seketika mereka mencium bau harum bunga menusuk hidung. Dilihatnya pada dinding kamar tergantung sebuah lukisan seorang wanita sedang menyulam. Linghu Chong heran dan berpikir, “Ini adalah kamar perempuan. Apakah Dongfang Bubai tinggal di kamar seperti ini? Atau mungkin ini tempat tinggal gundik kesayangannya sehingga ia senantiasa tenggelam di tempat seperti ini dan lupa mengurusi pekerjaan partai.”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang di dalam kamar bertanya, “Adik Lian, siapakah yang kau bawa kemari?” Suara itu seperti suara lelaki, tapi juga mirip suara wanita. Suaranya terdengar nyaring tajam, mendirikan bulu roma bagi siapa saja yang mendengarnya.
Yang Lianting menjawab, “Aku membawa sobat lamamu ke sini. Dia ingin bertemu denganmu.”
“Mengapa kau membawanya kemari?” ujar suara di dalam itu. “Tempat ini hanya boleh didatangi seorang saja. Selain dirimu, siapa pun tidak akan kutemui.” Beberapa kata yang terakhir ini diucapkan dengan nada manja seperti ucapan kaum wanita, namun jelas suaranya adalah suara seorang laki-laki.
Ren Woxing, Xiang Wentian, Ren Yingying, Tong Baixiong, dan Shangguan Yun sudah sangat mengenal Dongfang Bubai. Suara itu jelas suara sang ketua, namun nadanya sangat aneh, seperti pemain sandiwara wanita yang diperankan oleh kaum lelaki dengan suara yang dibuat-buat. Kontan mereka saling pandang dengan mulut ternganga.
“Apa daya, kalau aku tidak membawanya kemari, maka aku yang akan dibunuh olehnya,” jawab Yang Lianting menghela napas. “Sebelum mati biarkan aku melihatmu sekali lagi. Jika tidak, tentu aku akan menyesal selamanya.”
“Hah, siapa yang berani mati membuat susah dirimu? Apakah dia Ren Woxing? Cepat suruh dia masuk ke sini!” seru orang di dalam kamar itu dengan suara melengking.
Ren Woxing memuji kecerdasan Dongfang Bubai di dalam hati. Ia memberi tanda agar semua orang masuk ke dalam dengan berhati-hati. Lebih dulu Shangguan Yun menyingkap tirai yang bersulam bunga indah, lalu menggotong Yang Lianting ke dalam. Yang lain berjalan pelan di belakangnya.
Ternyata kamar tersebut tertata sangat rajin dan indah dengan hiasan berwarna-warni. Bau harum semerbak menusuk hidung mereka semua. Pada sudut timur kamar terdapat sebuah meja rias, di sampingnya duduk seseorang dengan baju berwarna merah muda. Tangan kirinya memegang bingkai sulaman, sedangkan tangan kanan memegang sebatang jarum. Melihat orang-orang sebanyak itu masuk, ia mengangkat kepala dengan perasaan heran. Namun rasa heran orang itu masih kalah besar dibanding perasaan Ren Woxing dan yang lainnya.
Kecuali Linghu Chong, semua orang jelas mengenali orang berbaju merah muda itu tak lain dan tak bukan adalah Dongfang Bubai sendiri, yang selama belasan tahun ini menduduki jabatan ketua Partai Mentari dan Bulan dengan gelar “jago silat nomor satu di dunia”. Hanya saja sekarang ini kumis dan jenggotnya sudah dicukur bersih. Yang luar biasa mengherankan adalah ia memakai bedak dan gincu segala. Baju yang dipakainya pun bentuknya tidak laki-laki juga tidak perempuan. Warnanya juga terlalu mencolok sekalipun dipakai oleh gadis jelita semacam Ren Yingying. Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang kesatria yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, seorang tokoh mahaagung, ternyata hidupnya bersembunyi di dalam kamar wanita dan pekerjaannya menyulam. Benar-benar luar biasa kalau tidak menyaksikannya sendiri.
Tadinya hati Ren Woxing dipenuhi perasaan dendam yang menyala-nyala. Namun begitu melihat keadaan Dongfang Bubai itu, mau tidak mau ia merasa geli juga. “Dongfang Bubai, apa kau pura-pura gila?” bentaknya.
“O, Ketua Ren rupanya!” jawab Dongfang Bubai dengan suara melengking. “Memang sudah kuduga yang datang tentu dirimu. Eh, Adik Lian, kenapa… kenapa kau ini? Apa dia yang melukai dirimu?” Segera ia melesat ke samping Yang Lianting kemudian mengangkat pria itu dan perlahan-lahan membaringkannya di atas tempat tidur.
Seprei tempat tidur itu bersulam indah dan berbau sangat wangi. Dengan wajah penuh kasih sayang Dongfang Bubai bertanya, “Ah, kau tentu sangat kesakitan? O, cuma tulang kaki yang patah, tidak apa-apa, jangan khawatir. Segera akan kusambungkan untukmu.” Dengan hati-hati ia membukakan sepatu Yang Lianting, lalu mencopot kaus kakinya, kemudian menyelimutinya pula. Pemandangan ini mirip sekali seorang istri setia melayani sang suami.
Ren Woxing dan yang lain ternganga heran bercampur geli. Semuanya ingin tertawa. Namun membayangkan kehebatan ilmu silat Dongfang Bubai membuat rasa geli mereka tertahan di dalam perut.
Sementara itu Dongfang Bubai telah mengeluarkan sepotong saputangan sutra berwarna hijau. Perlahan-lahan ia mengusap keringat dan kotoran di wajah Yang Lianting. Dilayani semanis itu, bukannya berterima kasih, Yang Lianting justru marah-marah dan mendamprat, “Musuh besar di depan mata, buat apa kau masih mengurusi aku segala? Kalau kau sudah membereskan mereka barulah kita bermesra-mesraan.”
Dongfang Bubai hanya tersenyum dan menjawab, “Baik, baik! Kau jangan marah, tentu kakimu terlalu sakit bukan? Aih, hatiku pun ikut pedih!”
Ren Woxing dan yang lain terhitung sudah kenyang makan asam garam kehidupan, namun pemandangan aneh yang mereka hadapi saat ini sungguh sukar dimengerti. Di dunia ini memang banyak terjadi hubungan kelamin tidak sehat karena perubahan kejiwaan, misalnya seorang pria suka meniduri bocah laki-laki tanggung, ataupun hubungan seksual antara sesama jenis kelamin. Namun seorang ketua partai yang mahaagung semacam Dongfang Bubai rela berdandan wanita, jelas dia tentu sudah gila. Bahkan Yang Lianting menghardik dan membentaknya dengan kasar, namun ia tetap melayani dengan sangat halus dan penuh kasih sayang seperti layaknya seorang istri melayani suami. Kontan hal ini membuat semua orang terheran-heran dan merasa mual pula.
Tong Baixiong tidak tahan melihatnya. Ia melangkah maju dan berseru, “Adik Dongfang, kau… sesungguhnya kau ini sedang apa?”
Tiba-tiba Dongfang Bubai mengangkat kepalanya dan bertanya dengan wajah cemberut, “Apakah orang yang mencelakai Adik Lian juga termasuk dirimu?”
“Adik Dongfang, mengapa kau terima dipermainkan orang bermarga Yang ini? Dia telah menyuruh seseorang untuk memalsukan dirimu. Dia juga memberi perintah serta main kuasa sesukanya. Apakah kau sudah mengetahui hal-hal itu?”
“Tentu saja aku tahu,” jawab Dongfang Bubai. “Justru demi kebaikanku inilah Adik Lian sedemikian rajin padaku. Dia tahu aku segan mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang membosankan itu, maka dia yang mengerjakannya untukku. Lantas, apa jeleknya?”
“Orang ini hendak membunuhku, apakah kau pun tahu?” tanya Tong Baixiong sambil menuding Yang Lianting.
“Aku tidak tahu,” sahut Dongfang Bubai sambil menggeleng perlahan. “Tapi kalau Adik Lian mau membunuhmu, tentu kau yang bersalah. Lalu mengapa kau tidak membiarkan dirimu dibunuh saja olehnya?”
Tong Baixiong tercengang bingung. Namun ia lantas mendongak dan bergelak tawa. Suara tawanya penuh rasa penasaran dan sedih. Ia kemudian berkata, “Jadi, kalau dia ingin membunuhku, maka kau lantas membiarkan dia membunuh sesukanya, begitu?”
“Benar. Apa yang ingin dilakukan oleh Adik Lian tentu akan kuusahakan agar keinginannya tercapai. Di dunia ini hanya dia seorang yang benar-benar baik padaku, maka aku pun akan selalu berbuat baik kepadanya,” kata Dongfang Bubai. “Kakak Tong, kita pernah hidup bersama senasib dan sepenanggungan. Selamanya kita bersahabat dengan akrab. Hanya saja tidak seharusnya kau membuat susah Adik Lian.”
Dengan wajah merah padam Tong Baixiong berteriak, “Tadinya kukira kau sedang kurang waras. Ternyata kau cukup sadar dan masih ingat kalau kita adalah sahabat karib dan punya hubungan akrab di masa lampau.”
“Ya. Jika kau bersalah padaku takkan menjadi soal. Tapi kalau kau bersalah kepada Adik Lian, hal ini yang tidak boleh terjadi,” kata Dongfang Bubai.
“Dan sekarang aku sudah menyalahi dia, lantas kau mau apa?” teriak Tong Baixiong. “Keparat ini hendak membunuhku. Hm, kukira dia tidak akan mampu.”
Perlahan-lahan Dongfang Bubai membelai rambut Yang Lianting dan bertanya dengan suara halus, “Adik Lian, apakah kau ingin membunuhnya?”
Yang Lianting marah dan membentak, “Lekas kerjakan! Jangan banyak tanya, membuat kesal saja!”
“Baik,” sahut Dongfang Bubai dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Tong Baixiong dan berkata, “Kakak Tong, mulai hari ini kita putus hubungan dan putus persaudaraan. Jangan kau salahkan tindakanku ini!”
Ketika berangkat dari balairung tadi Tong Baixiong sempat merampas sebilah golok dari seorang penjaga. Kini mendengar ucapan Dongfang Bubai itu, tanpa terasa ia mundur dua langkah dan bersiap siaga. Ia cukup kenal betapa lihai ilmu silat sang ketua. Meski sekarang penampilannya aneh, namun tetap tidak boleh dipandang ringan.
Dongfang Bubai menyeringai dan berkata, “Hal ini sungguh sulit bagiku. Kakak Tong, aku masih ingat kejadian dahulu ketika kau menyelamatkan diriku dari keroyokan Tujuh Macan Ludong di Gunung Taiheng. Waktu itu aku sudah terluka parah. Bila kau tidak datang membantu tentu aku takkan hidup lagi sampai hari ini.”
“Hm, rupanya kau belum lupa akan peristiwa lama itu,” sahut Tong Baixiong.
“Mana bisa lupa? Bahkan hal-hal lain pun aku masih ingat dengan baik,” ujar Dongfang Bubai. “Misalnya, ketika dahulu aku merobohkan Ketua Ren dengan obat tidur, perbuatanku itu diketahui oleh Sesepuh Luo. Untung engkau telah membinasakan orang bermarga Luo itu sehingga usahaku dapat terlaksana dengan lancar. Kau benar-benar saudaraku yang paling baik.”
Tong Baixiong melirik sekejap ke arah Ren Woxing, lalu menjawab, “Aku yang salah. Mungkin pada waktu itu aku sudah pikun.”
“Kau tidak salah, kau pun tidak pikun, tapi kau memang sangat baik padaku,” kata Dongfang Bubai. “Aku bertemu denganmu saat usiaku sebelas tahun. Waktu itu keluargaku sangat miskin, dan engkaulah yang selalu membantu kehidupan kami. Bahkan, engkau pula yang membayar ongkos pemakaman ayah dan ibuku ketika mereka meninggal berturut-turut.”
“Urusan-urusan yang sudah lalu untuk apa dibicarakan lagi?” ujar Tong Baixiong.
“Aih, Kakak Tong, bukannya aku ini tidak punya hati nurani dan melupakan kebaikanmu di masa lampau,” jawab Dongfang Bubai, “masalahnya kau telah bersalah kepada Adik Lian. Dia ingin membunuhmu, terpaksa aku tidak punya jalan lain.”
“Cukup, cukup!” seru Tong Baixiong.
Tiba-tiba sesosok bayangan merah muda berkelebat. Menyusul kemudian terdengar suara golok yang dipegang Tong Baixiong jatuh ke lantai. Tubuh orang tua itu lantas terhuyung-huyung, mulutnya terbuka lebar, tapi tidak mampu bersuara. Sekejap kemudian tubuhnya jatuh ke depan dan untuk selanjutnya tidak bergerak lagi.
Meskipun robohnya Tong Baixiong itu terjadi sangat cepat, namun Ren Woxing dan yang lain dapat melihat dengan jelas pada titik-titik di tengah kedua alis, kedua pelipis, dan di bawah hidungnya terdapat suatu titik merah kecil yang mengalirkan sedikit darah. Ternyata titik-titik itu akibat tusukan jarum sulam yang dipegang Dongfang Bubai tersebut. Gerakan Dongfang Bubai sendiri sangat cepat dan tidak terduga sebelumnya.
Menyaksikan kejadian luar biasa ini, mau tidak mau Ren Woxing dan yang lain tanpa terasa mundur dua-tiga langkah. Linghu Chong memegang tangan Ren Yingying dan menarik gadis itu di belakangnya. Seketika suasana menjadi sunyi dan bernapas pun mereka tidak berani keras-keras. Semua orang tahu ilmu silat Dongfang Bubai teramat tinggi, tapi sama sekali mereka tidak menduga sedemikian hebatnya. Hanya dengan sebatang jarum kecil saja dan dengan kecepatan luar biasa ia dapat sekaligus menusuk empat titik mematikan pada wajah Tong Baixiong. Padahal baru saja ia menguraikan bermacam-macam kebaikan orang tua itu, namun dalam sekejap pula sahabatnya di masa lampau itu sudah binasa di tangannya. Betapa culas dan keji perbuatan Dongfang Bubai sungguh membuat orang merinding.
Perlahan-lahan Ren Woxing mencabut pedangnya dan berkata, “Dongfang Bubai, aku mengucapkan selamat karena kau telah berhasil menguasai ilmu silat dalam Kitab Bunga Mentari.”
“Terima kasih, Ketua Ren. Kitab Bunga Mentari adalah pemberianmu. Senantiasa aku ingat kebaikanmu,” jawab Dongfang Bubai.
“Apa benar? Maka itu kau mengurung aku di bawah Danau Barat supaya tidak pernah melihat cahaya matahari lagi.”
“Aku tidak membinasakan dirimu, bukan? Coba kalau aku menyuruh Empat Sekawan dari Jiangnan itu tidak mengantar air dan makanan untukmu, dapatkah kau hidup sepuluh hari atau setengah bulan, apalagi hidup sampai sekarang?”
“O, jadi caramu memperlakukan diriku masih lumayan, begitu?” sahut Ren Woxing.
“Tentu saja,” jawab Dongfang Bubai. “Aku sengaja mengatur masa pensiunmu di Hangzhou. Bukankah menurut kata orang Danau Barat adalah tempat paling indah laksana surga dunia?”
“Hm, kau memberiku pensiun dalam penjara di dasar danau yang gelap gulita itu. Wah, aku malah harus berterima kasih padamu. Haha!!”
Dongfang Bubai menghela napas dan berkata, “Ketua Ren, aku tidak pernah melupakan semua kebaikanmu padaku. Tadinya aku hanya seorang pembantu ketua Balai Angin Guntur, bawahan Kakak Tong. Kemudian kau menaruh perhatian padaku dan setiap tahun menaikkan pangkatku. Bahkan, kau juga memberikan pusaka berharga, Kitab Bunga Mentari kepadaku, serta menunjuk diriku sebagai penggantimu kelak. Semua budi baikmu ini takkan kulupakan seumur hidup.”
Linghu Chong melirik mayat Tong Baixiong dan berpikir, “Tadi kau terus-menerus memuji kebaikan Sesepuh Tong kepadamu, namun mendadak kau membinasakannya. Sekarang kau hendak mengulangi kelicikanmu itu pada Ketua Ren, mana mungkin Beliau bisa kau tipu dengan cara yang sama?”
Meskipun gelagatnya seperti itu, namun gerakan Dongfang Bubai luar biasa cepat. Tadi ia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang sehingga Tong Baixiong juga tidak sempat menjaga diri. Maka, Linghu Chong terpaksa mengangkat dan mengarahkan pedangnya ke dada orang itu. Asalkan sedikit saja Dongfang Bubai bergerak, ia akan segera mendahului menusuk. Jika tidak, orang itu tentu akan menjatuhkan korban lagi di dalam kamar ini.
Menyadari keadaan yang gawat itu, Ren Woxing, Xiang Wentian, Shangguan Yun, dan Ren Yingying juga memusatkan seluruh perhatian terhadap gerak-gerik Dongfang Bubai untuk menghadapi kemungkinan serangannya yang sangat mendadak.
Terdengar Dongfang Bubai berkata lagi, “Saat itu hasratku hanya ingin menjadi ketua, ingin berumur panjang, dan merajai dunia persilatan. Siang malam aku memeras otak untuk memikirkan cara merebut kedudukanmu dan menumpas begundalmu. Saudara Xiang, rencanaku ini ternyata tidak luput dari pandangan matamu. Di dalam Partai Mentari dan Bulan, selain Ketua Ren dan aku, dirimu adalah tokoh istimewa pula.”
Xiang Wentian memegang cambuknya erat-erat. Ia menahan napas dengan tegang sehingga tidak berani menanggapi ucapan Dongfang Bubai itu.
Dongfang Bubai menghela napas, lalu melanjutkan, “Ketika awal menjadi ketua, aku pun merasa asyik dan ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat. Kemudian aku mempelajari ilmu dalam Kitab Bunga Mentari. Lambat laun dapatlah kurasakan makna kehidupan. Aku meramu dan minum obat, lalu akhirnya aku pun memahami kenikmatan orang hidup dan jalan penting menuju kehidupan abadi.”
Mendengarkan uraian Dongfang Bubai dengan suaranya yang melengking itu, apa yang dikatakannya cukup masuk di akal pula. Jelas hal ini menunjukkan otaknya dalam keadaan sehat. Namun demikian dengan dandanannya yang aneh itu mau tidak mau membuat orang lain merasa ngeri dan merinding.
Perlahan-lahan sinar mata Dongfang Bubai beralih ke arah Ren Yingying, kemudian ia bertanya, “Nona Ren, selama ini bagaimana caraku memperlakukan dirimu?”
“Kau sangat baik padaku,” jawab Ren Yingying.
“Sangat baik kukira juga tidak. Hanya saja aku senantiasa sangat mengagumi dirimu,” ujar Dongfang Bubai dengan menghela napas. “Seseorang yang dilahirkan sebagai wanita seratus kali lebih beruntung daripada menjadi lelaki busuk. Apalagi kau begini cantik, begini molek, muda, dan lincah. Bila aku dapat bertukar tempat denganmu, hm, jangankan cuma jabatan ketua Partai Mentari dan Bulan, sekalipun menjadi kaisar juga aku lepaskan.”
Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Bila kau bertukar tempat dengan Nona Ren, itu berarti aku harus menikah dengan siluman tua semacam dirimu. Wah, untuk hal ini aku harus pikir-pikir dua belas kali lebih dulu,”
Ren Woxing dan yang lain terkejut mendengar ucapan Linghu Chong itu. Dongfang Bubai sendiri memandanginya dengan mata melotot, alisnya semakin menegak. Dengan wajah sangat gusar ia bertanya, “Siapa kau? Berani kau bicara begitu padaku? Apa kau ingin isi perutmu aku keluarkan?”
Dasar sifat Linghu Chong memang pemberani, meski sudah tahu keadaan begitu berbahaya juga tidak membuatnya gentar. Dengan tertawa ia malah mengolok-olok lagi, “Apakah kau ini seorang laki-laki gagah atau seorang perempuan cantik, entahlah. Tapi yang paling membuatku jijik adalah seorang laki-laki yang memakai baju perempuan.”
“Aku bertanya padamu, siapa kau?” jerit Dongfang Bubai dengan suara melengking.
“Aku bernama Linghu Chong!”
Mendengar itu Dongfang Bubai menjadi lebih lunak dan sambil tersenyum ia berkata, “Ah, ternyata kau ini yang bernama Linghu Chong. Sudah lama aku ingin melihatmu. Kabarnya Nona Ren sangat kasmaran kepadamu. Untukmu dia rela mengorbankan jiwa dan raganya. Tadinya kukira betapa gagah dan tampan kekasih idamannya itu. Tapi, hm, ternyata cuma begini saja. Dibandingkan Adik Lian-ku, masih terlalu jauh.”
“Aku memang orang biasa saja. Bagiku yang penting dapat mencintai dengan hati yang tulus dan murni,” jawab Linghu Chong tenang. “Mengenai anak tampan bermarga Yang ini, meski gagah dan ganteng, tapi sayang, dia terlalu liar. Suka memetik bunga di sini dan mencabut rumput di sana. Di mana-mana suka bermain cinta….”
“Keparat, apa katamu? Omong kosong!” mendadak Dongfang Bubai menggeram dengan wajah merah padam lantas menubruk maju pula. Dengan jarum sulam di tangan ia menusuk ke arah muka Linghu Chong.
Rupanya Linghu Chong dapat menerka ada hubungan istimewa antara Dongfang Bubai dan Yang Lianting, maka ia pun sengaja memanas-manasi musuhnya itu. Setiap jago silat yang meledak amarahnya tentu akan berkurang pula pemusatan perhatiannya, serta kepandaiannya pun akan terpengaruh pula.
Benar juga, karena kemarahannya itu tusukan jarum Dongfang Bubai menjadi agak kaku. Kontan pedang Linghu Chong juga bergerak menusuk ke arah tenggorokannya. Tusukan pedang ini sangat cepat, arahnya tepat pula. Kalau Dongfang Bubai tidak menarik diri berarti lehernya akan tertembus pedang. Namun pada saat itu tahu-tahu Linghu Chong merasa pipi kirinya terasa sakit seperti digigit nyamuk. Bersamaan itu pedangnya juga tergetar ke samping.
Ternyata gerak Dongfang Bubai benar-benar sukar dibayangkan kecepatannya. Pada detik secepat itu jarumnya telah menusuk satu kali di pipi Linghu Chong. Menyusul kemudian ia menarik kembali tangannya dan menangkis pedang Linghu Chong menggunakan jarum tersebut. Untung tusukan pedang Linghu Chong juga teramat cepat dengan arah yang tepat pula sehingga lawan terpaksa harus menyelamatkan diri lebih dulu. Akibatnya, tusukan jarum Dongfang Bubai tadi agak melenceng. Seharusnya yang dituju adalah titik Renzhong di bawah hidung Linghu Chong, namun yang terkena justru pipi pemuda itu.
Meskipun demikian, hanya dengan menggunakan sebatang jarum kecil saja Dongfang Bubai mampu menangkis pedang Linghu Chong sehingga tergetar ke samping. Hal ini membuat semua orang menjerit kagum. Betapa tinggi ilmu silat Dongfang Bubai sungguh sukar diperkirakan.
Linghu Chong juga terkesiap. Ia pun sadar hari ini telah berjumpa seorang lawan tangguh yang belum pernah ditemuinya selama hidup. Bila lawan diberi kesempatan menyerang lagi bisa berarti keselamatan jiwanya terancam. Maka tanpa pikir panjang, ia pun mendahului menyerang sebanyak empat kali, yang kesemuanya menusuk ke tempat mematikan di tubuh musuh.
“Hei, hebat juga ilmu pedangmu!” seru Dongfang Bubai heran sambil memuji pula. Bersamaan jarumnya juga bekerja empat kali. Semua serangan Linghu Chong itu dapat ditangkis olehnya.
Mendadak Linghu Chong menggertak. Pedangnya pun menebas dari atas. Namun Dongfang Bubai tetap mengacungkan jarumnya ke atas. Tebasan pedang itu pun tertahan oleh jarum sulam, tidak sanggup menyambar ke bawah.
Linghu Chong merasa tangannya linu dan pegal oleh getaran tenaga lawan. Tiba-tiba bayangan merah muda kembali berkelebat. Kali ini Dongfang Bubai menusukkan jarumnya ke arah mata kiri Linghu Chong. Dalam keadaan demikian Linghu Chong tidak sempat menghindar maupun menangkis. Sebisa-bisanya ia menusukkan pedangnya ke mata kiri Dongfang Bubai dengan tidak kalah cepat pula. Serangan semacam ini adalah serangan gugur bersama musuh.
Serangan yang dipakai Linghu Chong tersebut sebenarnya tidak lazim dalam ilmu silat mana pun juga. Namun Sembilan Jurus Pedang Dugu yang dipelajarinya memang tidak memiliki jurus serangan yang tetap. Semuanya tergantung keadaan dan menurut kemauan pemakainya. Lantaran sudah terdesak itulah, maka tanpa pikir Linghu Chong juga melancarkan serangan yang sama dengan musuhnya. Begitulah, ia segera merasa alis kirinya terasa sakit, sedangkan Dongfang Bubai juga melompat ke samping untuk menghindari tusukan pedangnya.
Ternyata alis kiri Linghu Chong telah terkena tusukan jarum lawan. Tadinya Dongfang Bubai mengincar mata kiri pemuda itu namun karena mata sendiri juga terancam, maka ia pun sedikit mengelak sehingga serangannya pun meleset hanya mengenai alis lawan. Karena kaget dan khawatir, Linghu Chong segera melancarkan serangan-serangan gencar pula. Meski tidak diberi kesempatan untuk melancarkan balasan, Dongfang Bubai mampu menghindar kian kemari dengan sangat gesit dan lincah. “Ilmu pedang bagus! Pendekar pedang hebat!” serunya.
Tanpa pikir panjang, Ren Woxing dan Xiang Wentian ikut menerjang maju. Tiga tokoh sakti bertempur bersama. Andaikata beribu-ribu prajurit menghadang mereka juga tidak akan mampu menandingi ketiga orang itu. Namun yang mereka hadapi kali ini adalah jago silat nomor satu di dunia. Dengan bersenjata sebatang jarum saja Dongfang Bubai dapat menyelinap ke sana ke mari di antara mereka bertiga secepat kilat. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda dirinya akan terdesak kalah.
Shangguan Yun segera mencabut goloknya dan maju membantu. Keadaan kini menjadi empat lawan satu. Pada saat paling sengit, tiba-tiba Shangguan Yun menjerit. Goloknya terpental jatuh, orangnya terjungkal sambil kedua tangan menutup mata kanannya. Rupanya sebelah matanya itu telah tertusuk buta oleh jarum Dongfang Bubai.
Ren Woxing dan Xiang Wentian tidak memberi kesempatan Dongfang Bubai untuk melakukan serangan balasan. Hal ini dimanfaatkan Linghu Chong untuk menghidupkan permainan pedangnya. Ia pun mengincar tempat-tempat mematikan di tubuh musuh. Akan tetapi Dongfang Bubai benar-benar gesit luar biasa. Ia bergerak ke sana dan melayang ke sini dengan enteng laksana hantu belaka. Meskipun tusukan Linghu Chong selalu mengarah ke titik kelemahannya, tapi gerak tubuh Dongfang Bubai terlalu cepat, sehingga pada detik-detik terakhir selalu saja ia dapat menghindarkan diri.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Xiang Wentian menjerit perlahan, menyusul kemudian Linghu Chong juga berteriak tertahan. Rupanya tubuh kedua orang itu sama-sama terkena tusukan jarum Dongfang Bubai.
Sementara itu meskipun Jurus Penyedot Bintang milik Ren Woxing sangat ampuh, namun gerak tubuh Dongfang Bubai terlalu cepat sehingga sukar untuk beradu tangan dengannya. Menghisap tenaga lawan melalui senjata juga tidak mungkin dilakukan, karena yang dipegang Dongfang Bubai adalah sebatang jarum sulam, tentu akan sangat sulit menyentuhnya.
Tidak lama kemudian, justru Ren Woxing yang berteriak perlahan. Dada dan tenggorokannya terkena tusukan jarum pula. Untung saat itu Linghu Chong sedang menyerang dengan gencar sehingga Dongfang Bubai terpaksa harus membela diri, maka tusukan jarumnya pun kurang tepat atau kurang bertenaga.
Tiga orang sakti mengerubut Dongfang Bubai sendirian, namun tidak ada yang mampu menyentuh baju orang itu sedikit pun. Justru ketiganya malah terkena tusukan jarum lawan. Menyaksikan itu, Ren Yingying menjadi khawatir. Bila jarum itu berbisa, tentu akibatnya sukar dibayangkan nanti. Ia berpikir, “Tampaknya pertempuran satu lawan tiga ini Dongfang Bubai tetap lebih unggul. Kalau aku ikut maju mungkin malah akan mengganggu belaka dan mempercepat kekalahan.”
Pertempuran semakin seru. Ren Woxing, Linghu Chong, dan Xiang Wentian semakin gusar. Ketiganya mengerahkan tenaga dalam pada senjata masing-masing. Akan tetapi Dongfang Bubai sama sekali tetap tidak tersentuh sedikit pun oleh serangan mereka.
Sekilas Ren Yingying melirik Yang Lianting yang telah bangun dan duduk di tepi ranjang sedang mengikuti pertarungan sengit itu. Tiba-tiba Ren Yingying mendapat akal. Perlahan-lahan ia menggeser ke sana, dan secara mendadak ia mengangkat pedang pendeknya untuk kemudian ditusukkan tepat di bahu kanan Yang Lianting.
“Aaah!” seru Yang Lianting kesakitan karena serangan tak terduga itu. Ren Yingying kembali menusukkan pedang pendeknya pada paha laki-laki itu. Rupanya Yang Lianting dapat meraba maksud dan tujuan Ren Yingying yaitu ingin ia menjerit untuk memecah perhatian Dongfang Bubai. Menyadari hal itu, maka ia pun tidak menjerit lagi dan menahan sakit sebisa-bisanya.
“Kau mau menjerit atau tidak? Akan kupotong jari tanganmu satu per satu!” ancam Ren Yingying sambil mengayunkan pedangnya. Dalam sekejap sepotong jari Yang Lianting putus seketika. Di luar dugaan, Yang Lianting memang keras kepala. Meskipun terluka di bahu dan paha, serta jarinya putus pula, namun sedikit pun ia tidak bersuara.
Namun demikian jeritan yang pertama tadi sudah terlanjur didengar oleh Dongfang Bubai. Ia sempat melirik dan melihat Ren Yingying mendekati dan sedang menyiksa Yang Lianting. Dengan perasaan khawatir dan hati gelisah, tanpa pikir panjang ia pun menerjang Ren Yingying sambil memaki, “Siluman betina!”
Ren Yingying segera mengelak ke samping. Ia tidak tahu apakah gerakan demikian dapat menghindarkan diri dari tusukan jarum Dongfang Bubai. Sementara itu dengan kecepatan luar biasa pula pedang Linghu Chong dan Ren Woxing menusuk ke punggung Dongfang Bubai.
Xiang Wentian menyabetkan cambuknya ke atas kepala Yang Lianting. Ternyata Dongfang Bubai sama sekali tidak memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Ia tidak peduli dengan tusukan pedang Linghu Chong dan Ren Woxing, sebaliknya malah menusukkan jarumnya ke dada Xiang Wentian demi untuk menyelamatkan nyawa Yang Lianting.
Kontan sekujur tubuh Xiang Wentian terasa kesemutan. Cambuk pun jatuh ke lantai. Pada saat itu pula pedang Linghu Chong dan Ren Woxing telah menusuk punggung Dongfang Bubai tembus ke dada. Dengan tubuh gemetar Dongfang Bubai jatuh menubruk badan Yang Lianting.
Ren Woxing sangat gembira. Ia menarik pedangnya, lalu menodong tengkuk Dongfang Bubai sambil membentak, “Dongfang Bubai, akhirnya sekarang kau jatuh di tanganku!”
Sementara itu Ren Yingying belum pulih dari rasa takut. Kedua kakinya terasa lemas, tubuh pun sempoyongan hendak roboh. Segera Linghu Chong memapah gadis itu. Dilihatnya satu titik di pipi kiri si nona meneteskan sedikit darah segar. Namun Ren Yingying justru berkata, “Kau terluka di sana-sini.” Usai berkata ia mengusap muka Linghu Chong dengan lengan bajunya. Terlihat bintik-bintik darah memenuhi lengan baju gadis itu. Meskipun tidak bercermin Linghu Chong sadar wajahnya penuh titik luka akibat tusukan jarum lawan.
Ia kemudian menoleh ke arah Xiang Wentian dan berkata, “Kakak, kau baik-baik saja?”
Dengan meringis menahan sakit Xiang Wentian menjawab, “Aku tidak akan… tidak akan mati semudah ini.”
Kemudian dilihatnya kedua luka di punggung Dongfang Bubai mengucurkan darah dengan deras. Jelas luka lawannya itu sangat parah. Namun demikian Dongfang Bubai tidak peduli dan berkata, “Adik Lian, Adik Lian, kawanan manusia jahat ini telah menganiaya dirimu. Kejam sekali mereka ini!”
Yang Lianting justru menjawab dengan marah-marah, “Biasanya kau suka sombong. Katanya ilmu silatmu tiada tandingannya di seluruh dunia. Tapi mengapa sekarang kau tidak mampu membunuh keparat-keparat ini?”
“Aku… aku…” sahut Dongfang Bubai lirih.
“Aku apa?” bentak Yang Lianting.
“Aku… aku sudah berbuat sekuat tenaga, namun ilmu silat me… mereka rata-rata sangat… sangat tinggi,” jawab Dongfang Bubai dengan suara lemah. Mendadak ia sempoyongan lalu terguling di tanah.
Khawatir lawan akan melompat bangun dan menyerang lagi, segera Ren Woxing mengayunkan pedangnya sehingga paha kiri Dongfang Bubai tertusuk.
“Ketua Ren,” kata Dongfang Bubai dengan menyeringai, “akhirnya kau yang menang. Aku sudah kalah.”
“Dan namamu yang hebat itu tentunya harus diganti, bukan?” sahut Ren Woxing dengan terbahak-bahak. Maksudnya ialah, nama “Bubai” bermakna “tak terkalahkan”.
“Aku tidak akan mengganti namaku,” ujar Dongfang Bubai sambil menggeleng. “Aku sudah kalah dan takkan hidup lagi di dunia ini. Coba… coba kalau bertempur satu lawan satu, pasti kau takkan bisa mengalahkan aku.”
Ren Woxing tertegun, kemudian menjawab, “Benar, ilmu silatmu memang lebih tinggi daripada aku. Aku kagum padamu.”
“Linghu Chong,” ujar Dongfang Bubai kepada pemuda itu, “ilmu pedangmu memang sangat tinggi. Tapi kalau satu lawan satu kau pun bukan tandinganku.”
“Betul,” jawab Linghu Chong. “Kami berempat mengeroyokmu sekaligus juga tidak dapat menang. Hanya karena rasa khawatirmu pada orang bermarga Yang itu sehingga perhatianmu terpecah. Akhirnya kami pun bisa merobohkanmu. Ilmu silatmu sungguh luar biasa dan kau pantas disebut sebagai ‘jago silat nomor satu di dunia ini’. Aku benar-benar sangat kagum padamu.”
“Kalian berdua bicara demikian, hal ini menunjukkan kalau kalian benar-benar kesatria sejati,” ujar Dongfang Bubai tersenyum. “Aih, sungguh menyebalkan. Aku telah menguasai ilmu dalam Kitab Bunga Mentari itu, aku juga meramu dan minum obatnya supaya awet muda dan berumur panjang. Selain itu aku juga menuruti resep rahasia di dalam kitab itu sehingga mengebiri diri sendiri demi untuk meningkatkan tenaga dalamku. Lambat laun kumis dan jenggotku menjadi rontok. Suaraku berubah, watakku pun berubah pula. Aku tidak suka pada perempuan lagi, dan… dan mencurahkan perhatian kepada laki-laki gagah macam Yang Lianting ini. Semua ini bukankah sangat aneh? Menguasai ilmu dalam Kitab Bunga Mentari entah mendatangkan kebahagiaan atau kemalangan. Andai aku lahir sebagai wanita tentu akan sangat baik. Ketua Ren, aku… aku akan segera mati. Aku ingin memohon se… sesuatu padamu, harap engkau sudi… sudi meluluskannya.”
“Permintaan apa?” tanya Ren Woxing.
“Tolong kau mengampuni jiwa Yang Lianting. Usir saja dia pergi dari Tebing Kayu Hitam ini,” jawab Dongfang Bubai.
“Mana bisa begitu?” jawab Ren Woxing. “Aku justru akan mengiris-iris dagingnya, akan kubinasakan dia dalam waktu seratus hari. Hari ini kupotong jari tangannya, esok pagi kutebas jari kakinya dan….”
“Ke… kejam sekali kau ini!” tiba-tiba Dongfang Bubai berteriak sambil melompat bangun dan menubruk ke arah Ren Woxing.
Walaupun dalam keadaan terluka parah, namun tubrukan ini tetap sangat dahsyat. Ren Woxing sempat menyongsong serangan itu dengan tusukan pedang sehingga menembus dada sampai ke punggung musuh. Namun pada saat yang sama Dongfang Bubai sempat menyentilkan jarinya. Jarum yang dipegangnya pun melesat ke depan dan menancap di tengah mata kanan Ren Woxing. Untung waktu itu kekuatan Dongfang Bubai sudah sangat lemah, kalau tidak bukan mustahil jarum itu akan terus menembus ke dalam otak dan jiwa Ren Woxing pun melayang sia-sia. Namun begitu mata kanan Ren Woxing ini jelas sudah rusak, sehingga ia pun akan buta sebelah.
Segera Ren Yingying mendekati sang ayah. Dilihatnya pangkal jarum itu tampak dari luar hanya sebagian kecil saja. Ternyata jarum tersebut hampir seluruhnya menancap ke dalam bola mata. Ia pun bergegas mencari bingkai sulam yang dibuang Dongfang Bubai tadi. Dari situ ia melolos seutas benang. Dengan hati-hati ia menyusupkan benang itu ke dalam lubang jarum, kemudian dengan memegang kedua ujung benang itu, jarum tersebut dapat dicabut. Ren Woxing menjerit. Jarum itu telah tercabut keluar dan tergantung di bawah benang dengan membawa beberapa tetes darah.
Dengan murka Ren Woxing mengayunkan sebelah kakinya. Tubuh Dongfang Bubai itu ditendang sekeras-kerasnya hingga terlempar dan tepat menabrak kepala Yang Lianting. Tendangan yang disertai kemarahan itu sungguh luar biasa. Kepala Dongfang Bubai dan kepala Yang Lianting beradu sampai pecah dan otak masing-masing hancur berhamburan.
Ren Woxing akhirnya dapat membalaskan dendamnya yang telah terpendam sekian lama dan merebut kembali kedudukan ketua Partai Mentari dan Bulan. Akan tetapi karena kehilangan sebelah matanya, rasa senang dan marah pun bercampur menjadi satu. Ia menengadah dan bergelak tawa sekeras-kerasnya. Suaranya menggelegar bernada marah.
Shangguan Yun yang juga kehilangan sebelah mata segera menyembah, “Selamat untuk Ketua yang telah berhasil membalas dendam. Sejak kini agama kita kembali di bawah pimpinan Ketua, tentu akan semakin berkembang. Semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan.”
“Hahaha, omong kosong! Apanya yang panjang umur?” ujar Ren Woxing mengejek. Tiba-tiba hatinya tergetar. Ia membayangkan jika dirinya benar-benar bisa panjang umur dan merajai dunia persilatan, tentu akan sangat menyenangkan. Ini sungguh suatu kebahagiaan dalam hidup. Membayangkan hal itu ia kembali bergelak tawa. Kali ini ia tertawa dengan puas dan senang.
(Bersambung)
Bagian 64 ; Bagian 65 ; Bagian 66