Bagian 3 - Tapak Penghancur Jantung

Setelah suami dan putranya ikut masuk, Nyonya Wang segera menutup pintu dan berkata, “Musuh terlalu kuat. Kita tidak bisa menandinginya. Apa... apa yang harus kita lakukan?”
Lin Zhennan menjawab, “Terpaksa kita harus meminta bantuan para sahabat. Sudah sewajarnya dalam hidup ini kita saling membantu dan meminta bantuan kepada pihak lain.”
“Kita memang memiliki banyak sahabat. Namun dari sekian banyak jumlah mereka, memangnya berapa orang yang berkepandaian di atas kita?” ujar Nyonya Wang. “Jika kita mendatangkan para sahabat yang berkepandaian biasa saja atau bahkan di bawah kita, tentu mereka tidak akan banyak membantu.”
“Pendapatmu memang tidak salah,” jawab Lin Zhennan. “Tapi dengan adanya banyak orang tentu akan menghasilkan banyak pikiran. Tiada salahnya kalau kita mendatangkan mereka untuk berunding bersama.”
“Benar juga! Kalau begitu, siapa saja yang menurutmu pantas untuk kita undang?” tanya sang istri.
“Kita bisa mengundang yang paling dekat dulu,” jawab Lin Zhennan. “Tentu saja kita datangkan para jago yang bergabung di cabang Hangzhou, Nanchang, dan Guangzhou. Kemudian kita undang pula para pendekar dari luar perusahaan yang berasal dari Fujian sini, serta tiga provinsi terdekat lainnya.”
Nyonya Wang mengerutkan kening dan bertanya, “Tapi apakah kau tidak takut, dengan mendatangkan sedemikian banyak bala bantuan justru akan menjatuhkan nama besar Biro Pengawalan Fuwei?”
“Istriku, bukankah saat ini kau berusia tiga puluh sembilan tahun?” tiba-tiba Lin Zhennan bertanya masalah lainnya.
“Dalam keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya kau bertanya soal umur segala!” gerutu sang istri. “Aku lahir di tahun macan, memangnya kau sudah lupa?”
Lin Zhennan menjawab, “Tentu saja tidak. Aku berniat mengirimkan kartu undangan perayaan ulang tahunmu yang keempat puluh kepada para sahabat....”
“Apa? Kenapa ulang tahunku dimajukan? Apa aku sudah kelihatan tua?” sahut sang istri menukas.
“Bukan, bukan itu maksudku. Rambutmu masih hitam dan belum beruban, mana mungkin orang menganggapmu sudah tua?” ujar Lin Zhennan sambil menggeleng. “Aku hanya menjadikan ulang tahunmu sebagai alasan untuk mendatangkan bala bantuan. Kalau mereka sudah berkumpul, barulah kita ceritakan maksud yang sebenarnya secara diam-diam. Nah, dengan demikian nama baik perusahaan kita tidak akan tercemar.”
Nyonya Wang terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Bagus juga. Terserah bagaimana pendapatmu. Kalau begitu, hadiah macam apa yang akan kau berikan kepadaku?”
“Sudah pasti hadiah yang paling berharga,” jawab Lin Zhennan dengan berbisik di telinga istrinya. “Tahun depan kita akan memiliki bayi yang gemuk dan lucu.”
“Huh, dasar bandot tua! Keadaan sudah seperti ini masih juga bercanda!” gerutu Nyonya Wang dengan muka merah.
Lin Zhennan tertawa sambil melangkah menuju kantor untuk menyuruh kasir menyiapkan kartu undangan. Ia sengaja bergurau demi mengurangi kegelisahan istrinya, meskipun perasaannya sendiri sangat tertekan. Diam-diam ia merasa bimbang juga dengan keputusannya itu. “Air dari tempat jauh susah memadamkan kebakaran di tempat dekat. Malam ini tentu akan terjadi peristiwa lagi. Bila harus menunggu datangnya bala bantuan, aku khawatir saat mereka datang, perusahaan ini sudah tinggal nama,” katanya dalam hati.
Begitu tiba di depan pintu kantor, tiba-tiba Lin Zhennan disambut dua orang pegawainya yang terlihat sangat pucat karena ketakutan. Mereka berkata, “Celaka... celaka, Ketua!”
“Ada apa lagi ini?” tanya Lin Zhennan dengan jantung berdebar-debar.
“Tadi... Kasir Dong menyuruh Lin Fu pergi membeli peti mati. Tapi... tapi baru saja sampai di ujung Jalan Timur, mendadak Lin Fu roboh dan meninggal,” jawab salah seorang di antara mereka.
“Di mana? Di mana mayatnya sekarang?” tanya Lin Zhennan mendesak kedua pegawainya itu.
“Masih... masih di tempat dia terbunuh,” jawab si pegawai.
“Kenapa masih di sana? Lekas kalian bawa kemari!” seru Lin Zhennan memberi perintah. Dalam hati ia semakin geram karena si pembunuh kini berani menghabisi nyawa anak buahnya di siang hari.
Kedua pegawai pun menyahut, “Baik! Baik, Ketua!” Meskipun menjawab demikian, namun kaki mereka tidak bergeser sedikit pun.
“Ada apa lagi ini? Lekas pergi!” bentak Lin Zhennan.
Salah seorang kembali menjawab dengan suara gemetar, “Sebaiknya... sebaiknya Ketua pergi sendiri untuk melihatnya.”
Lin Zhennan yakin telah terjadi lagi suatu peristiwa aneh. Ia pun mendengus dan bergegas melangkah ke luar kantor. Di dekat pintu utama gedung telah berdiri tiga pengawal dan lima pengiring yang masing-masing memandang ke luar dengan wajah pucat.
“Ada apa ini?” tanya Lin Zhennan kepada mereka.
Belum sampai ada yang menjawab, ia menyaksikan sendiri altar batu di depan pintu kantornya telah ditulisi seseorang dengan menggunakan darah. Tulisan tersebut terdiri atas enam kata yang berbunyi: “Keluar pintu lebih sepuluh langkah, mati!”
Selain tulisan di altar, juga ditemukan garis panjang melintang yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari pintu gedung. Garis ini juga dibuat dari darah dengan lebar sekitar dua atau tiga senti, disertai tulisan: “Lewati garis ini dan kau akan mati”.
“Sejak kapan tulisan dan garis itu dibuat? Apa ada di antara kalian yang melihatnya?” tanya Lin Zhennan segera.
Salah seorang pegawai menjawab, “Ketika Lin Fu terbunuh, kami beramai-ramai langsung menuju ke tempat ia ditemukan. Akibatnya, tidak seorang pun dari kami yang melihat ke arah sini. Entah siapa pula yang berani bercanda membuat tulisan itu.”
Lin Zhennan semakin geram dan penasaran. Ia pun berteriak lantang, “Aku yang bermarga Lin sudah bosan hidup! Bunuh saja aku karena berani melewati garis yang kau buat! Aku ingin tahu seperti apa kau membunuhku!” Usai berteriak, ia pun melangkah dengan yakin mendekati garis darah tersebut.
“Ketua! Ketua!” seru dua orang pengawal mencoba mencegah sang majikan.
Namun Lin Zhennan tidak peduli. Ia sudah melangkah melewati garis darah yang masih basah tersebut. Dengan sepatunya ia berusaha menghapus tulisan darah di atas altar sambil berkata kepada para pegawainya, “Bajingan itu hanya menggertak saja. Kalian tidak perlu takut. Segeralah pergi membeli peti mati, sekalian mampir ke Biara Langit Damai di sisi barat kota untuk mengundang para biksu. Minta kepada mereka untuk mengadakan upacara doa besar-besaran selama beberapa hari di sini. Biarlah mereka yang mengusir semua pengaruh jahat dan arwah gentayangan di gedung ini.”
Tiga orang pengawal bergegas merapikan pakaian dan mengambil senjata, untuk kemudian melaksanakan perintah sang majikan. Keberanian mereka timbul setelah menyaksikan sendiri bagaimana Lin Zhennan melewati garis darah itu tanpa mendapat celaka. Dengan berjalan berdampingan mereka bertiga melewati garis itu pula. Setelah melihat ketiganya menghilang di ujung jalan, barulah Lin Zhennan masuk kembali ke dalam gedung.
Kepada jurutulisnya yang bermarga Huang, ia lantas berkata, “Jurutulis Huang, tolong kau tuliskan beberapa undangan kepada para sahabat dan pegawai kita di beberapa cabang untuk minum arak di sini, merayakan ulang tahun istriku.”
“Baik, Ketua! Lalu, tanggal berapa mereka harus datang kemari?” sahut Jurutulis Huang bertanya.
Belum sempat Lin Zhennan menjawab, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di luar ruangan. Lin Zhennan memiringkan kepala agar dapat mendengar lebih jelas. Terdengar suara seseorang roboh di lantai. Ia pun bergegas keluar dan melihat Pengawal Di, salah satu dari tiga orang pegawai yang tadi berangkat membeli peti mati telah tergeletak tak berdaya.
“Adik Di, bagaimana keadaanmu?” tanya Lin Zhennan sambil memapah bangun pegawainya itu.
“Mereka... mereka sudah mati semua. Hanya... hanya saya yang bisa berlari pulang,” jawab Pengawal Di dengan suara lemah.
“Apa kau mengenali para penyerang itu?” tanya Lin Zhennan mendesak.
“Sa... saya... tidak... tidak... ta...” jawab Pengawal Di dengan suara terputus-putus. Akhirnya ia pun menghembuskan napas terakhir pula menyusul kawan-kawannya yang lain.
Dalam waktu singkat peristiwa ini langsung tersebar. Lin Pingzhi dan ibunya bergegas keluar untuk melihat bagaimana wujud garis darah ancaman dari musuh tersebut. Tidak seorang pun pegawai yang berani keluar untuk mengambil mayat dua orang rekan Pengawal Di.
“Biarlah aku sendiri yang mengambil mayat mereka,” ujar Lin Zhennan dengan suara lantang.
“Jangan, Ketua! Ketua tidak boleh pergi!” sahut Jurutulis Huang mencegah. Ia lalu berseru kepada para pegawai, “Hei, semuanya! Barangsiapa bersedia mengambil jenazah kedua kawan kita di luar itu, maka dia akan mendapat hadiah tiga puluh tael perak.”
Meskipun Jurutulis Huang mengulangi pengumumannya sampai dua kali, namun tidak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu. Tiba-tiba terdengar suara Nyonya Wang mencari-cari anaknya. “Mana Pingzhi? Ke mana perginya Pingzhi? Ping-er!... Ping-er!” teriak perempuan itu dengan suara penuh kecemasan.
“Tuan Muda! Tuan Muda!” seru para pegawai ikut berteriak-teriak memanggil. Mereka ikut panik karena sang majikan muda tiba-tiba menghilang entah ke mana.
“Aku di sini!” seru Lin Pingzhi dari luar gedung.
Semua orang gembira mendengarnya dan beramai-ramai menuju ke luar gedung. Terlihat Lin Pingzhi muncul dari ujung jalan sambil memanggul mayat kedua pegawainya masing-masing di bahu kiri dan kanan. Lin Zhennan dan istrinya pun menyambut dengan senjata di tangan demi melindungi putra mereka itu. Serentak para pegawai bersorak memuji, “Tuan Muda memang seorang pemberani! Sungguh tidak kenal takut!”
Lin Zhennan dan Nyonya Wang juga merasa bangga melihat keberanian putra mereka itu. Terdengar Nyonya Wang menegur, “Nak, kau sangat gegabah. Kedua pengawal ini memang orang baik. Tapi usahamu untuk mengambil jasad mereka sungguh terlalu berbahaya.”
Lin Pingzhi hanya tersenyum. Dalam hati ia berpikir sedih, “Gara-gara perbuatanku membunuh satu orang, sekarang banyak pegawai yang menjadi korban balas dendam. Kalau aku tidak berani bertanggung jawab, sungguh tidak pantas aku disebut manusia.”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah belakang, “Hah!... Kakek... Kakek Hua juga meninggal!” Seorang pesuruh dengan muka pucat berlari-lari melapor kepada Lin Zhennan, “Ketua, Kakek Hua telah keluar melalui pintu belakang hendak pergi ke pasar berbelanja sayuran. Tahu-tahu ia sudah ditemukan mati pada jarak belasan langkah dari pintu. Ternyata... ternyata di belakang juga ada garis darah dengan kalimat ancaman yang sama!”
Kakek Hua yang dimaksudkan itu adalah jurumasak Keluarga Lin. Kepandaiannya dalam menciptakan masakan lezat menjadi daya tarik tersendiri untuk memikat para pejabat sehingga menggunakan jasa layanan Biro Pengawalan Fuwei. Bisa dikatakan Kakek Hua ini adalah senjata rahasia andalan Lin Zhennan untuk menarik perhatian para tamu dari kalangan terhormat.
Mendengar laporan tersebut Lin Zhennan menggigil dan berpikir, “Kakek Hua hanya seorang jurumasak. Dia bukan pengawal, juga bukan pengiring kereta. Dalam tata krama perampokan sekalipun hanya para pengawal yang boleh dibunuh, sedangkan kusir kereta dan kuli angkut biasanya dibiarkan hidup. Tapi kali ini, mengapa semua penghuni gedung seolah hendak dibinasakan semua?”
Kematian Kakek Hua membuat semua pegawai bertambah panik. Lin Zhennan pun berseru, “Tetap tenang, jangan gelisah! Kawanan bangsat itu hanya berani main sergap secara sembunyi-sembunyi. Bukankah kalian melihat sendiri bagaimana aku tadi bersama istri dan anakku tidak diserang meskipun berani melewati garis darah di halaman depan? Mereka tidak berani berbuat apa-apa.”
Semua pegawai mengangguk membenarkan ucapan Lin Zhennan. Namun, tetap saja tiada seorang pun dari mereka yang berani melangkah keluar. Lin Zhennan dan Nyonya Wang hanya bisa saling pandang. Pasangan suami-istri itu kini benar-benar merasa lemah dan terdesak.
Malam harinya Lin Zhennan menunjuk dua puluh orang pegawainya untuk menjaga keamanan. Namun ketika ia keluar untuk memeriksa, ternyata para pegawai itu tidak melakukan ronda sebagaimana mestinya. Mereka terlihat hanya duduk bergerombol di ruang tengah. Tidak seorang pun yang berani berjaga di luar; bahkan, untuk ke kamar kecil saja setiap orang minta ditemani.
Ketika melihat sang majikan muncul, para pegawai itu merasa malu, namun tetap saja tidak seorang pun lantas keluar untuk meronda. Lin Zhennan sendiri merasa maklum karena musuh memang benar-benar ganas dan berilmu tinggi; sementara ia sendiri merasa tidak memiliki jalan keluar yang lebih baik. Maka itu, ia pun tidak memarahi mereka, bahkan mengambilkan arak dan makanan untuk dinikmati bersama. Karena dicekam ketakutan, mereka makan dan minum tanpa bersuara. Tidak lama kemudian, sebagian besar dari mereka sudah tertidur pulas karena mabuk.
Hari berikutnya lima orang pegawai biro tampak memacu kuda masing-masing meninggalkan gedung kantor. Setelah diselidiki ternyata mereka memutuskan untuk mengungsi daripada menderita tekanan batin seperti itu. Lin Zhennan hanya menggelengkan kepala dan menghela napas panjang, lalu berkata, “Ketika datang gangguan, burung-burung beterbangan ke segala arah. Kami dari Keluarga Lin tidak mampu melindungi kalian. Saudara-saudara silakan pergi kalau kalian merasa lebih aman jika meninggalkan gedung ini!”
Para pegawai tidak menjawab. Beberapa pengawal tampak mencaci maki kelima rekan mereka yang dianggap pengecut dan tidak setia kawan itu. Beberapa pegawai lainnya hanya terdiam dan menghela napas panjang. Dalam hati mereka pun ingin secepatnya terbebas dari ancaman maut yang mengintai setiap saat itu.
Tiba-tiba pada sore harinya datang lima ekor kuda mengangkut mayat kelima pegawai yang kabur tadi siang. Kelima orang itu berusaha kabur dengan harapan bisa menyelamatkan diri namun justru mengantarkan nyawa lebih cepat kepada si pembunuh.
Melihat ini, perasaan dendam Lin Pingzhi semakin menjadi-jadi. Dengan menghunus pedang ia menerjang keluar dan berdiri beberapa langkah di luar garis darah sambil berteriak menantang si pembunuh, “Hei, kau yang ada di sana! Aku, Lin Pingzhi, adalah orang yang telah membunuh si marga Yu dari Szechwan. Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Jika kau ingin membalas dendam, maka tusukkan pedangmu ke jantungku! Aku tidak akan menolak! Tapi kau telah membantai orang-orang yang tidak bersalah. Mereka tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Huh, kaum pengecut macam apa pula kalian ini? Selama kalian tidak berani menampakkan diri, maka kalian pantas disebut sebagai kawanan anjing busuk!”
Lin Pingzhi berteriak semakin keras dan lantang; bahkan, sambil membuka baju dan menepuk-nepuk dada. “Lekas kalian keluar dan bawa golokmu kemari! Aku seorang laki-laki sejati, tidak takut mati! Apakah kalian takut berdiri di hadapanku dan bertarung secara jantan? Dasar kalian memang pengecut busuk! Binatang rendah!”
Orang-orang yang lewat di jalanan hanya memandang dengan heran tanpa berani mendekat karena telah tersiar kabar bahwa Biro Pengawalan Fuwei adalah perusahaan maut. Lin Zhennan dan sang istri bergegas keluar pula untuk melindungi putra tunggal mereka itu. Kemarahan mereka bertiga yang sudah tertumpuk selama beberapa hari ini akhirnya meledak sudah. Dengan sangat gusar ketiganya berteriak-teriak menantang musuh yang tak terlihat itu.
Para pegawai biro hanya menyaksikan dari dalam gedung dengan perasaan sangat kagum terhadap ketiga majikan tersebut. Mereka mengetahui bahwa Lin Zhennan seorang yang berkepandaian tinggi, sementara Nyonya Wang terkenal sebagai wanita pemberani. Akan tetapi perbuatan Lin Pingzhi benar-benar menarik perhatian. Biasanya, sang majikan muda bersikap lemah lembut seperti perempuan, namun kali ini terlihat begitu gagah dan tidak kenal takut.
“Garis kematian apa pula ini? Aku telah melangkahinya dan aku ingin tahu bagaimana kalian membunuhku,” lanjut Lin Pingzhi sambil melangkah lebih jauh lagi melewati garis tersebut sambil mengacungkan pedang.
“Benar, benar!” sahut sang ibu. “Para pengecut itu hanyalah kaum rendahan. Kalian takut berhadapan muka dengan putraku.” Usai berkata ia pun maju dan menggandeng tangan Lin Pingzhi, kemudian mengajak putranya itu kembali ke dalam gedung.
Lin Pingzhi terlihat gemetar karena kemarahannya sudah memuncak. Begitu masuk ke dalam kamar ia langsung merebahkan diri di atas ranjang dan menangis keras-keras.
Lin Zhennan memahami perasaan putra tunggalnya itu. Sambil membelai kepala Lin Pingzhi, ia berkata, “Nak, kau tadi sungguh berani. Keluarga Lin bangga kepadamu. Tapi apa boleh buat? Musuh tetap tidak mau menampakkan batang hidungnya. Sebaiknya kita beristirahat saja untuk saat ini.”
Lin Pingzhi terus saja menangis sampai akhirnya tertidur karena letih.
Malam harinya setelah makan bersama, Lin Pingzhi mendengar pembicaraan ayah dan ibunya tentang rencana beberapa orang pengawal yang hendak membuat jalur rahasia berupa terowongan di bawah tanah. Dengan cara ini mereka bisa meloloskan diri tanpa harus melangkahi garis ancaman. Jika mereka tetap berada di dalam gedung kantor, cepat atau lambat, kematian akan mendatangi mereka.
Nyonya Wang berkata, “Biarkan saja kalau mereka hendak menggali terowongan rahasia. Tapi, aku takut... aku takut....”
Lin Zhennan menyadari perasaan sang istri. Rupanya Nyonya Wang khawatir jangan-jangan rencana kabur melalui terowongan ini juga akan mengalami kegagalan seperti yang dilakukan lima pengawal siang tadi.
“Sebaiknya aku pergi memeriksa,” ujar Lin Zhennan. “Jika terowongan bawah tanah itu selesai digali, tentu ini bisa menjadi jalan keluar yang aman untuk semua pegawai kita.”
Usai berbicara, ia pun melangkah pergi dan sejenak kemudian kembali lagi sambil berkata, “Rencana hanya tinggal rencana. Tidak seorang pun yang berani turun tangan untuk mulai menggali.”
Malam itu, Lin Pingzhi dan kedua orang tuanya merasa sangat letih. Ketiganya pun tertidur pulas sejak makan malam berakhir. Sementara itu para pegawai biro seolah sudah berputus asa. Mereka hanya pasrah menunggu nasib sehingga tidak seorang pun yang menjalankan tugas meronda sebagaimana yang telah dijadwalkan.
Tepat tengah malam Lin Pingzhi dibangunkan seseorang. Seketika ia pun mengambil pedang yang terselip di bawah bantal. Namun hal itu segera dibatalkannya karena yang datang tidak lain adalah sang ibu sendiri.
“Ping-er, ini Ibu. Tolong jangan bersuara!” Setelah melihat anaknya tenang, Nyonya Wang melanjutkan, “Ayahmu sudah pergi sejak tadi namun sampai kini belum juga kembali. Mari kita cari bersama-sama!”
“Ayah ke mana?” tanya Lin Pingzhi dengan perasaan khawatir.
“Entahlah,” jawab sang ibu.
Sambil memegang senjata masing-masing, Lin Pingzhi dan Nyonya Wang melangkah ke luar kamar. Mula-mula mereka mencari Lin Zhennan ke ruang depan, namun yang ada hanya para pegawai saja. Di bawah cahaya lilin, tampak belasan pegawai sedang sibuk bermain kartu. Rupanya mereka sudah sangat putus asa sehingga tidak peduli lagi dengan ancaman si pembunuh. Nyonya Wang mengajak Lin Pingzhi mencari ke tempat lain. Sengaja mereka tidak menceritakan tentang hilangnya Lin Zhennan karena khawatir para pegawai menjadi panik dan keadaan pun bertambah rumit.
Lin Pingzhi dan ibunya mencari ke berbagai tempat namun tidak juga menemukan di mana sang ayah berada. Keduanya sama-sama gelisah memikirkan keselamatan Lin Zhennan. Pikiran buruk pun datang menghantui.
Tiba-tiba terdengar suara-suara aneh dari arah ruang senjata. Lin Pingzhi pun menghampiri dan mengintip ke dalam. Betapa gembira hati pemuda itu ketika mengetahui Lin Zhennan ternyata berada di dalam sana.
“Rupanya Ayah ada di sini!” serunya perlahan.
Lin Zhennan tampak sedang mengerjakan sesuatu dan langsung menoleh ketika putranya itu memanggil. Lin Pingzhi sendiri langsung terdiam melihat raut muka sang ayah tampak tegang dan menyeramkan, seolah baru saja menemukan sesuatu yang aneh. Rasa gembiranya seketika berubah menjadi ngeri.
Nyonya Wang segera masuk ke dalam untuk memeriksa. Tampak darah berceceran di lantai. Lin Zhennan sendiri sedang sibuk mengamati sesosok mayat yang terbaring di atas tiga bangku berjajar. Mayat tersebut adalah Pengawal Huo yang tadi siang mencoba kabur bersama keempat rekannya, namun kembali dalam keadaan tewas. Perlahan-lahan, Lin Pingzhi ikut masuk pula dan menutup pintu, kemudian berdiri di belakang sang ayah.
Lin Zhennan telah membedah dada Pengawal Huo dan mengeluarkan jantungnya. Tampak jantung itu sudah hancur menjadi beberapa bagian. Dengan suara gugup Lin Zhennan pun berkata, “Tidak salah lagi! Ini adalah... ini adalah...”
“Tapak Penghancur Jantung!” seru istrinya. “Ini adalah ilmu kebanggaan Perguruan Qingcheng.”
Lin Zhennan mengangguk dan terdiam. Kepalanya menunduk untuk sekian lama.
Lin Pingzhi baru sadar kalau ayahnya sejak tadi menghilang karena sibuk meneliti mayat Pengawal Huo dengan tujuan mencari tahu penyebab kematiannya.
Setelah membungkus mayat tersebut dan meletakkannya di sudut ruangan, Lin Zhennan mengajak istri dan anaknya kembali ke kamar tidur. Di sana ia melanjutkan pembicaraannya, “Kali ini aku sudah tidak ragu lagi. Pelaku pembunuhan terhadap para pegawai kita adalah tokoh terkemuka dari Perguruan Qingcheng. Istriku, menurutmu apa yang harus kita perbuat?”
Tiba-tiba Lin Pingzhi menyela, “Sekarang kita sudah tahu siapa musuh kita. Semua ini terjadi akibat ulahku. Besok aku akan datang untuk menantangnya. Jika aku kalah biarlah aku mati di tangan mereka.”
Lin Zhennan menggeleng dan berkata, “Orang ini menguasai Tapak Penghancur Jantung. Dengan jurus ini dia bisa menghancurkan jantung seseorang tanpa harus melukai kulitnya. Tentu dia seorang tokoh terkemuka dalam Perguruan Qingcheng. Jika dia mau, tentu sejak kemarin-kemarin kau sudah mati di tangannya. Aku rasa Perguruan Qingcheng ingin mempermainkan kita secara keji terlebih dahulu.”
“Kalau begitu apa tujuannya mempermainkan kita?” sahut Lin Pingzhi bertanya.
“Keparat dari Qingcheng ini memperlakukan kita seperti kucing sedang mempermainkan tikus. Kita dibuat mati perlahan-lahan karena ketakutan, dengan demikian barulah ia merasa puas.” jawab Lin Zhennan.
“Berani-beraninya dia memandang rendah terhadap Biro Pengawalan Fuwei,” sahut Lin Pingzhi kesal. “Mungkin dia takut kepada Jurus Pedang Penakluk Iblis sehingga tidak berani menghadapi Ayah secara terang-terangan. Jika tidak, kenapa dia hanya berani membunuh dengan sembunyi-sembunyi?”
“Ping-er, Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Ayah memang cukup ampuh untuk menghadapi para penjahat dan perampok jalanan. Namun jika dibandingkan dengan Tapak Penghancur Jantung sudah pasti Ayah kalah jauh,” jawab Lin Zhennan. “Selama ini Ayah tidak pernah takut kepada siapa pun. Tapi setelah melihat jantung Pengawal Huo yang hancur itu, Ayah... Ayah sungguh merasa ngeri.”
Melihat ayahnya sudah menyerah, Lin Pingzhi pun terdiam tidak berani lagi berpendapat. Ibunya ganti berbicara, “Meskipun musuh sangat kuat, kita tidak boleh menyerah begitu saja. Untuk saat ini lebih baik kita menghindar.”
“Aku juga berpikir demikian,” sahut Lin Zhennan.
“Suamiku, sebaiknya malam ini kita berangkat ke Luoyang meminta bantuan Ayah. Yang penting kita sudah tahu siapa musuh kita sebenarnya. Balas dendam lain kali juga belum terlambat,” lanjut Nyonya Wang.
Lin Zhennan menjawab, “Benar! Ayah Mertua sangat luas pergaulannya. Tentu Beliau bisa memberi saran dan pertimbangan kepada kita. Mari kita berbenah dan berangkat malam ini juga!”
Mendengar ajakan sang ayah, Lin Pingzhi menyahut, “Kalau begitu kita akan meninggalkan para pegawai begitu saja, tanpa pemimpin?”
“Musuh tidak ada urusan dengan mereka. Jika kita sudah pergi, tentu orang dari Qingcheng itu tidak mau buang-buang tenaga hanya untuk membunuh para pegawai yang tidak bersalah,” jawab Lin Zhennan.
Lin Pingzhi terdiam mendengar jawaban ayahnya yang cukup beralasan itu. Ia sadar kalau kematian para pegawai merupakan akibat dari perbuatannya, yaitu membunuh orang Szechwan bermarga Yu. Jika dirinya sudah pergi tentu si pelaku tidak mau repot-repot lagi membunuh yang masih tersisa.
Berpikir demikian, Lin Pingzhi kemudian bergegas menuju kamarnya untuk berbenah. Selama ini ia belum pernah melakukan perjalanan jauh. Perjalanan ke Luoyang membuatnya khawatir pihak musuh akan datang dan membakar habis rumah yang ditinggalkan. Maka, ia pun membungkus semua benda kesayangannya termasuk patung kuda dari batu permata dan lembaran kulit macan tutul hasil perburuannya dahulu. Benda-benda tersebut dijadikan satu dengan pakaian-pakaiannya, sehingga tercipta dua bungkusan yang cukup besar.
Dengan memanggul perbekalan tersebut, Lin Pingzhi kembali ke kamar orang tuanya. Melihat itu Nyonya Wang tertawa geli dan berkata, “Kita ini hendak mengungsi, bukannya pindah rumah. Mengapa kau membawa barang begitu banyak?”
Lin Zhennan hanya menggeleng dan menghela napas panjang. Ia merasa maklum karena sejak kecil Lin Pingzhi hidup mewah dan berkecukupan. Wajar saja jika kali ini putranya itu merasa bingung hendak berbuat apa ketika tiba-tiba harus pergi meninggalkan rumah. Dengan perasaan haru ia pun berkata, “Di rumah Kakek nanti kau tidak akan menderita kekurangan. Yang perlu kita bawa hanya uang dan perhiasan secukupnya. Lagipula kita nanti akan melewati kantor-kantor cabang di Jiangxi, Hunan, dan Hubei. Semakin sedikit barang yang kita bawa akan semakin baik. Dengan demikian kita bisa berjalan lebih cepat.”
Dengan berat hati Lin Pingzhi terpaksa meninggalkan sebagian besar isi bungkusannya itu.
Nyonya Wang ganti mengajukan pertanyaan kepada sang suami, “Kita nanti menunggang kuda secara terang-terangan melewati pintu depan, ataukah sembunyi-sembunyi lewat pintu belakang?”
Lin Zhennan tidak menjawab. Ia hanya merebahkan diri di atas kursi malas sambil menghisap pipa cangklongnya dan memejamkan mata. Selang agak lama, barulah ia membuka mata dan berbicara, “Ping-er, beri tahu semua pegawai supaya ikut berbenah dan mengungsi besok pagi. Sampaikan pula kepada kasir untuk membagi-bagikan uang perusahaan kepada mereka. Bilang saja, kita mengungsi untuk menghindari wabah penyakit menular, dan setelah keadaan aman barulah kita kembali lagi ke sini.”
“Baik, Ayah!” jawab Lin Pingzhi. Ia pun melangkah pergi dengan perasaan bercampur aduk.
Nyonya Wang bingung mendengar ucapan suaminya itu. Ia pun bertanya, “Jadi, kita semua akan meninggalkan perusahaan? Lalu, siapa nanti yang akan bertugas menjaga gedung ini?”
“Tidak ada,” jawab Lin Zhennan. “Rumah ini sudah terkenal sebagai tempat angker, yang dihuni setan jahat pencabut nyawa. Meskipun kita biarkan tanpa penjaga, tidak mungkin ada orang lain yang berani masuk kemari. Lagipula kalau kita pergi, tentu tidak ada pegawai yang sudi berjaga di sini.”
Lin Pingzhi telah mengumumkan perintah ayahnya di hadapan para pegawai. Seketika suasana gedung menjadi ribut dan bergemuruh. Perasaan gembira dan takut bercampur aduk menjadi satu di dalam hati mereka.
Sementara itu Lin Zhennan berkata, “Istriku, besok aku dan Ping-er akan menyamar sebagai pengawal, sedangkan kau sebaiknya menyamar sebagai pelayan. Pagi-pagi sekali kita pergi dari sini. Dalam waktu serentak puluhan orang melaju bersama-sama. Tidak peduli bagaimanapun hebatnya musuh, tentu hanya mampu menyergap satu-dua orang saja dan kesulitan mengejar lebih lanjut.”
“Rencana bagus!” seru Nyonya Wang. Ia lantas keluar kamar dan sejenak kemudian sudah kembali dengan membawa sepasang pakaian pelayan dan dua pasang pakaian pengiring kereta.
Ketika Lin Pingzhi kembali ke kamar, ia segera mengambil pakaian itu dan bersama sang ayah lantas berdandan sebagai dua orang pegawai rendahan. Sementara itu Nyonya Wang juga telah berdandan sebagai kaum pelayan. Selembar saputangan digunakannya sebagai kerudung untuk menutup rambut pula. Lin Pingzhi sebenarnya sangat mual karena baju yang ia pakai menebarkan bau kurang sedap, bekas keringat pegawainya. Namun, pemuda itu merasa tidak mempunyai pilihan lain.
Pagi-pagi sekali Lin Zhennan membuka pintu utama gedungnya dan berkata di hadapan para pegawai, “Saudara-saudaraku, tahun ini kita kurang beruntung. Wabah penyakit menyerang perusahaan kita dan menjatuhkan banyak korban. Kita terpaksa harus menghindar untuk sementara. Jika kalian masih ingin bekerja di Biro Pengawalan Fuwei, maka pergilah ke cabang Hangzhou atau Jiangxi. Di sana kalian akan diterima dengan baik oleh Pengawal Liu dan Pengawal Yi. Nah, sekarang marilah kita berangkat bersama-sama!”
Usai berkata demikian, sejumlah hampir seratus orang pegawainya serentak memacu kuda masing-masing, meninggalkan gedung kantor pusat Biro Pengawalan Fuwei bersama-sama. Lin Zhennan menutup dan mengunci pintu, lalu memacu kuda pula bersama anak dan istrinya. Para pegawai tidak lagi takut melewati garis darah. Justru sebaliknya, mereka berpikir akan semakin aman jika secepat-cepatnya pergi menjauhi gedung maut tersebut. Rombongan itu bergerak menuju gerbang kota sebelah utara untuk keluar dari Fuzhou. Rupanya mereka tidak memiliki tujuan yang pasti. Masing-masing hanya mengikuti ke arah mana kuda yang paling depan berlari.
Lin Zhennan sendiri tiba-tiba memberi isyarat kepada istri dan anaknya supaya memperlambat kuda mereka, sehingga ketiganya kini berada di urutan paling belakang dalam rombongan. Ketika sampai di sebuah persimpangan, Lin Zhennan mengajak berhenti dan berkata, “Biarlah mereka menuju ke utara, sementara kita berputar kembali ke selatan.”
Bukankah kita menuju ke Luoyang? Mengapa sekarang harus kembali ke selatan?” tanya Nyonya Wang.
“Musuh tentu sudah mengira kalau kita akan pergi ke Luoyang, sehingga mereka pun bersiap-siap menghadang di utara. Untuk itu, sebaiknya kita mengambil jalan memutar lewat selatan. Dengan demikian keparat itu tidak akan memperoleh apa-apa,” jawab Lin Zhennan.
Lin Pingzhi tiba-tiba membuka suara, “Ayah!”
“Ada apa?” tanya Lin Zhennan.
Lin Pingzhi terdiam tidak menjawab, dan sejenak kemudian kembali berkata, “Ayah!”
Nyonya Wang menyahut, “Kau ingin bicara apa, lekas katakan!”
“Lebih baik kita tetap bersama mereka menuju ke utara,” jawab Lin Pingzhi. “Jika kita dihadang musuh, maka aku yang akan menghadapinya. Kematian sekian banyak pegawai kita adalah karena kesalahanku. Jika kita menghindar bagaimana bisa membalas dendam mereka?”
“Tentu saja kita harus membalas sakit hati ini,” sahut Nyonya Wang. “Tapi ilmu silatmu masih kalah jauh dibandingkan mereka; terutama untuk menghadapi Tapak Penghancur Jantung yang mengerikan itu.”
“Memangnya kenapa?” jawab Lin Pingzhi. “Lebih baik aku mati seperti Pengawal Huo daripada menghindari tanggung jawab. Paling-paling hanya jantungku ini yang hancur.”
Raut muka Lin Zhennan berubah merah mendengar ucapan putranya itu. Ia pun membentak dengan suara keras, “Jika Keluarga Lin dalam tiga atau empat generasi berikutnya suka bersifat gegabah seperti dirimu, maka Biro Pengawalan Fuwei akan bangkrut dengan sendirinya; tanpa harus menunggu gangguan dari luar.”
Melihat ayahnya marah Lin Pingzhi langsung terdiam. Tanpa banyak bicara ia pun mengikuti kedua orang tuanya bergerak menuju selatan. Begitu meninggalkan Kota Fuzhou, mereka lalu berbelok ke arah barat daya. Setelah menyeberangi Sungai Min, mereka sampai di sebuah kota kecil bernama Nanyu. Ketiganya terus saja berjalan tanpa beristirahat, sampai akhirnya merasa letih juga.
Saat itu matahari telah berada di atas kepala. Di tepi jalan yang sepi, mereka melihat sebuah kedai kecil dan memutuskan untuk makan di situ. Kepada pemilik kedai Lin Zhennan memesan makanan apapun yang tersedia, serta meminta untuk disiapkan secepat mungkin. Si pemilik kedai pun masuk ke dapur namun sampai lama tidak juga muncul kembali.
“Pelayan! Pelayan!” seru Lin Zhennan memanggil-manggil. Akan tetapi, tidak seorang pun yang muncul atau menjawab panggilan tersebut. Nyonya Wang ikut memanggil namun tetap saja tidak terdengar suara jawaban.
Menyadari gelagat yang tidak baik, Nyonya Wang segera menghunus goloknya dan berlari ke dalam. Dilihatnya si pemilik kedai sudah tergeletak tanpa nyawa. Di dekat pintu juga tergeletak mayat seorang wanita, yang tidak lain adalah istri si pemilik kedai. Perlahan Nyonya Wang menyentuh bibir kedua mayat tersebut dan ternyata masih hangat, jelas kematian mereka baru saja terjadi.
Lin Zhennan dan Lin Pingzhi segera melolos pedang masing-masing dan bergerak mengitari kedai kecil itu untuk memeriksa. Kedai ini berdiri di tengah perbukitan dan dekat dengan hutan sehingga keadaannya begitu sunyi. Nyonya Wang kembali bergabung dengan suami dan putranya. Bertiga mereka melihat ke sekeliling namun tidak menemukan tanda-tanda kehadiran seseorang.
Dengan tetap menghunus pedangnya, Lin Zhennan berteriak menantang, “Saudara dari Perguruan Qingcheng, Lin Zhennan berdiri di sini siap menyambut takdir. Silakan keluar untuk bertemu muka!”
Beberapa kali Lin Zhennan mengulangi teriakannya, namun yang terdengar hanyalah gema suaranya sendiri yang terpantul di lembah bukit tersebut. Ketiganya menyadari kalau musuh sedang mengintai di balik persembunyiannya. Dengan perasaan gelisah mereka menanti si pembunuh itu keluar untuk melancarkan serangan.
Sejenak kemudian ganti Lin Pingzhi yang berteriak menantang, “Lin Pingzhi ada di sini! Keluarlah dan bertarung denganku! Aku tahu kalian terlalu pengecut untuk menampakkan diri. Kalian hanya berani main sembunyi-sembunyi seperti maling rendahan.”
Tiba-tiba dari dalam hutan di sebelah kedai terdengar suara gelak tawa seseorang. Sekilas Lin Pingzhi melihat sesosok bayangan berkelebat ke arahnya. Sekejap kemudian di hadapannya sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh gagah. Tanpa pikir lagi ia pun menyerang menggunakan pedang di tangannya. Laki-laki itu bergerak ke samping untuk menghindar. Lin Pingzhi pun mengganti serangan dengan menebaskan pedangnya ke samping. Si laki-laki menyeringai sambil melangkah ke sebelah kiri. Dengan cepat Lin Pingzhi memukul menggunakan tangan kiri, lalu menusukkan pedangnya kembali.
Lin Zhennan dan Nyonya Wang berniat maju untuk membantu putra mereka. Namun, melihat Lin Pingzhi memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis dengan tenang dan teratur, keduanya pun menahan diri. Lin Zhennan melihat laki-laki yang bertarung melawan putranya itu tampak memakai baju berwarna ungu dengan pedang tergantung di pinggangnya. Usianya diperkirakan sekitar dua puluh empat tahun, dan wajahnya berulangkali tersenyum menyeringai.
Kesabaran Lin Pingzhi akhirnya goyah juga. Jurus-jurus pedangnya menjadi tidak terarah lagi karena tak kuasa menahan amarah menyaksikan wajah musuhnya yang terus-menerus menghina. Padahal, laki-laki itu masih menghadapinya dengan tangan kosong saja. Tanpa menyerang, ia hanya menghindar ke sana dan kemari.
Setelah melewati dua puluh jurus, orang itu tertawa dingin sambil berkata, “Ternyata Jurus Pedang Penakluk Iblis hanya begini saja! Sungguh menyedihkan!” Tiba-tiba tangannya menyentil senjata Lin Pingzhi dengan keras.
Seketika Lin Pingzhi merasa tangannya kesemutan dan pedangnya pun terpental jatuh. Menyusul kemudian kaki pria itu menyepak tubuhnya sampai jatuh dan terguling-guling di tanah.
Lin Zhennan dan Nyonya Wang segera melompat maju untuk melindungi putra mereka. Keduanya pun berdiri berdampingan dengan membelakangi tubuh Lin Pingzhi.
Lin Zhennan bertanya, “Siapakah nama Saudara ini? Apakah Saudara berasal dari Perguruan Qingcheng?”
Laki-laki itu menjawab dengan angkuh, “Melihat permainan pedang anakmu yang payah, rasanya kalian tidak pantas mengetahui siapa namaku. Hanya saja, memang benar kalau aku berasal dari Perguruan Qingcheng.”
Lin Zhennan menancapkan pedangnya di atas tanah, kemudian berkata sambil kedua tangan memberi hormat, “Selama ini kami selalu menghormati Pendeta Yu dari Kuil Cemara Angin. Setiap tahun kami selalu mengirimkan bingkisan hadiah kepada Beliau. Untuk tahun ini, Beliau juga membalas kunjungan dengan mengirimkan empat orang murid Qingcheng ke Fuzhou. Namun, entah apa sebabnya Saudara berusaha mempersulit kami?”
Pemuda dari Qingcheng itu tertawa dingin, kemudian menjawab, “Kau benar. Guruku memang telah mengirimkan empat orang muridnya menuju Fuzhou, dan salah satunya adalah aku.”
“Bagus sekali kalau begitu!” seru Lin Zhennan. “Kalau boleh saya tahu, siapakah nama Saudara yang mulia?”
Pemuda itu menunjukkan sikap enggan. Setelah terdiam beberapa saat, ia pun mendengus dan berkata, “Namaku Yu Renhao!”
“Oh!” sahut Lin Zhennan sambil menganggukkan kepala. “Ternyata Saudara adalah salah satu dari Ying Xiong Hao Jie, yaitu Empat Jagoan Qingcheng. Aku benar-benar kagum menyaksikan kehebatan Tapak Penghancur Jantung yang Saudara miliki. Luar biasa! Bisa membunuh tanpa mengeluarkan darah korban.” Setelah terdiam sejenak, Lin Zhennan melanjutkan, “Pendekar Yu sudah jauh-jauh datang kemari, seharusnya mendapatkan sambutan yang pantas dari kami. Dalam hal ini Lin Zhennan merasa bersalah dan pantas mendapatkan hukuman.”
Diam-diam Yu Renhao kagum dan bangga karena Lin Zhennan ternyata mengenal dirinya. Namun ia kemudian menjawab dengan sinis, “Mengenai Tapak Penghancur Jantung... eh, putramu yang tampan dan berkepandaian tinggi itulah yang sudah mengadakan penyambutan. Sampai-sampai putra kesayangan guru kami tewas di tangannya.”
Lin Zhennan langsung gemetar mendengar pernyataan Yu Renhao. Keringat dingin pun mengalir di punggungnya. Sejak awal ia sudah menduga kalau si marga Yu yang dibunuh Lin Pingzhi adalah murid Perguruan Qingcheng. Ia berniat meminta bantuan ayah mertuanya yang sangat dihormati di dunia persilatan untuk memintakan maaf secara sopan ke Kuil Cemara Angin. Akan tetapi, ternyata kejadiannya lebih rumit lagi. Pemuda Szechwan yang mati di tangan putranya itu ternyata putra kesayangan Pendeta Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.
Karena masalah sudah seperti ini, maka tiada lagi pilihan untuknya selain bertarung habis-habisan. Dengan tetap berusaha tenang, Lin Zhennan menjawab sambil tertawa, “Ah, lucu sekali! Pendekar Yu benar-benar pandai bercanda!”
“Bercanda bagaimana?” sahut Yu Renhao dengan mata melotot.
“Siapa orangnya di dunia persilatan ini yang belum pernah mendengar kehebatan Pendeta Yu dan betapa ketat peraturan di Perguruan Qingcheng?” sahut Lin Zhennan. “Padahal, yang dibunuh anakku hanya seorang berandal muda yang telah menggoda anak gadis orang di sebuah kedai arak. Putraku yang berilmu rendah bisa membunuhnya, sehingga dapat dibayangkan betapa rendah ilmu silat bajingan itu. Nah, dengan demikian bagaimana mungkin kalau dia adalah putra kesayangan Pendeta Yu? Pendekar Yu memang pandai bercanda.”
Kata-kata Lin Zhennan sungguh beralasan sehingga Yu Renhao tidak bisa menjawab sama sekali. Pemuda bertubuh gagah itu hanya terdiam tanpa bicara sedikit pun.
Tiba-tiba dari balik hutan kembali terdengar suara seseorang berseru lantang, “Pepatah mengatakan: ‘Dua tangan tentu sulit melawan delapan tangan’. Kejadian di kedai arak yang sebenarnya adalah Tuan Muda Lin telah mengeroyok Adik Yu kami secara licik.”
Sesaat kemudian muncul seorang bertubuh kurus dengan membawa kipas di tangannya. Orang itu melanjutkan, “Andai saja pertarungan tersebut berlangsung secara adil, tentu Adik Yu tidak akan tewas. Tuan Muda Lin telah meracuni arak yang diminum Adik Yu. Tidak hanya itu, ia juga menyerang Adik Yu dengan tujuh belas buah senjata rahasia beracun. Anak bulus ini sungguh kejam! Kunjungan persahabatan kami telah disambut dengan cara yang kurang ramah.”
Lin Zhennan bertanya dengan suara datar, “Siapakah nama Saudara yang mulia?”
“Namaku adalah Fang Renzhi,” jawab si orang kurus.
Sementara itu, Lin Pingzhi yang tadi terguling akibat tendangan Yu Renhao telah bangkit kembali dan berdiri di samping ayahnya. Ia menghunus pedangnya dan bersiap melanjutkan pertarungan. Akan tetapi, ucapan Fang Renzhi benar-benar di luar dugaannya. Dengan perasaan sangat gusar ia pun berteriak, “Omong kosong! Dasar kau manusia rendah tak berbudi! Aku sama sekali tidak mengenal Adik Yu-mu itu. Aku juga tidak tahu apakah dia berasal dari Perguruan Qingcheng atau bukan. Apa untungnya aku meracuni bajingan itu?”
“Oh, benar-benar kebohongan busuk!” ujar Fang Renzhi sambil menggelengkan kepala. “Kalau kau mengaku tidak mengenal Adik Yu, lalu untuk apa kau menyiapkan anak buahmu yang berjumlah tiga puluh orang di luar kedai? Adik Yu kami melihatmu menggoda gadis penjual arak tersebut, dan ia memukulmu satu kali sekadar untuk memberimu pelajaran. Sebenarnya Adik Yu bermaksud mengampuni jiwamu. Akan tetapi, kau justru memerintahkan para pengawalmu untuk mengeroyoknya seperti anjing!”
Lin Pingzhi merasa dadanya panas, seolah hendak meledak mendengar ocehan Fang Renzhi. Ia pun membentak, “Bedebah kalian orang-orang Qingcheng! Apakah semua orang Qingcheng adalah penjahat tengik yang suka berkata bohong?”
“Anak bulus, kau berani memaki kami, hah?” sahut Fang Renzhi sambil menyeringai.
“Ya, kau mau apa?” teriak Lin Pingzhi gusar.
“Silakan saja kau lanjutkan makianmu itu. Tidak masalah bagiku,” ujar Fang Renzhi sambil mengangguk.
Lin Pingzhi memalingkan muka dengan perasaan heran. Tiba-tiba ia merasakan hembusan angin datang menyambar dan tahu-tahu Fang Renzhi sudah berkelebat ke arahnya. Tanpa pikir lagi, Lin Pingzhi pun menghantam orang kurus itu namun pihak lawan bekerja lebih cepat. Telapak tangan Fang Renzhi lebih dulu menampar pipi pemuda itu. Lin Pingzhi merasa kesakitan luar biasa. Matanya berkunang-kunang dan hampir saja ia jatuh pingsan.
Dalam waktu singkat Fang Renzhi sudah kembali ke tempat semula sambil meraba-raba pipinya dan berkata, “Anak bulus, kenapa kau memukul wajahku? Sakit sekali ini! Hahaha...”
Melihat putranya dihina, Nyonya Wang segera mengayunkan goloknya disertai jurus Api Liar Membakar Langit ke arah Fang Renzhi. Serangan ini sungguh dahsyat dan tidak terduga sebelumnya. Namun Fang Renzhi sempat berkelit ke samping. Apabila ia terlambat sedetik saja, tentu lengan kanannya sudah buntung tertebas golok Nyonya Wang.
“Perempuan sial!” bentak Fang Renzhi. Menyadari ilmu silat Nyonya Wang ternyata tidak bisa dianggap remeh, ia pun melolos pedang yang tergantung di pinggangnya. Dalam sekejap saja keduanya sudah terlibat pertarungan seru.
Sementara itu Lin Zhennan masih berhadapan dengan Yu Renhao. Ia mengangkat pedangnya dan berkata, “Perguruan Qingcheng boleh saja menghancurkan Biro Pengawalan Fuwei. Salah atau benar biarlah dunia persilatan yang menentukan. Nah, Pendekar Yu, silakan maju!”
Yu Renhao pun mencabut pedangnya dan berkata, “Silakan menyerang lebih dulu, Ketua Lin!”
(Bersambung)
Bagian 2 ; Halaman muka ; Bagian 4