Bagian 84 - Wakil Ketua Aliran Sesat

Linghu Chong menjawab dengan gembira, “Hei, Kakak Xiang, kau juga baik-baik saja? Sungguh aku sangat rindu padamu.”
“Di Tebing Kayu Hitam aku sering mendengar keharuman namamu di dunia persilatan. Sungguh aku ikut gembira dan mengangkat cawan sebagai pujianku untukmu. Selama ini entah sudah berapa banyak guci arak yang kuhabiskan demi merayakan kejayaanmu,” kata Xiang Wentian dengan tertawa. “Marilah, kita harus lekas-lekas menghadap Ketua!” Usai berkata ia langsung menggandeng tangan Linghu Chong dan mengajak pemuda itu menuju ke suatu panggung batu yang menjulang tinggi di atas puncak tersebut.
Di sebelah timur panggung batu terdapat lima tiang batu yang berjajar bagaikan telapak tangan raksasa. Orang-orang menyebut tiang batu itu dengan nama Telapak Dewa. Kelima tiang batu tersebut menjulang tinggi ke angkasa, dan yang paling tengah adalah yang paling tinggi. Di atas tiang batu paling tinggi itu terdapat sebuah kursi megah, di mana seseorang tampak sedang duduk di atasnya. Orang itu tidak lain adalah Ren Woxing.
Ren Yingying melangkah mendekati telapak tangan batu raksasa itu. Sambil menengadah ia menyapa, “Ayah!”
Linghu Chong juga memberi hormat dan menyapa, “Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Ketua!”
Ren Woxing bergelak tawa dan berkata, “Adik Kecil, kau datang pada saat yang tepat. Kita adalah keluarga sendiri, tidak perlu banyak adat. Hari ini aku hendak menemui para kesatria di seluruh jagad. Pertama kita bicara urusan resmi, baru kemudian kita bicara urusan keluarga. Nah, silakan duduk wahai... wahai adikku sayang.”
Mula-mula Linghu Chong mengira Ren Woxing hendak memanggil “wahai menantu sayang” kepadanya. Namun karena belum resmi, maka ia langsung mengganti panggilannya menjadi “wahai adikku sayang”. Meskipun demikian, Linghu Chong melihat gelagat baik bahwa Ren Woxing jelas sangat merestui perjodohan dirinya dengan Ren Yingying. Apalagi ucapannya yang pertama tadi menyebutkan “kita adalah keluarga sendiri” serta “pertama kita bicara urusan resmi, baru kemudian kita bicara urusan keluarga”, jelas dirinya tidak lagi dianggap sebagai orang lain.
Tentu saja hati Linghu Chong merasa sangat senang. Ia lantas berdiri tegak kembali. Namun tiba-tiba pada titik dantian di sekitar perutnya bergolak suatu hawa dingin yang langsung menerjang ke atas. Seketika seluruh tubuhnya pun menggigil bagaikan tercebur ke dalam sungai es.
Ren Yingying terkejut melihatnya. Segera ia melangkah maju dan bertanya, “Ada apa denganmu?”
“Aku… aku….” ternyata sukar bagi Linghu Chong untuk membuka suara.
Meskipun duduk di atas tempat yang begitu tinggi, namun pandangan Ren Woxing sungguh sangat tajam. Segera ia bertanya, “Apakah kau baru saja bertarung melawan Zuo Lengchan?”
Linghu Chong hanya bisa mengangguk.
“Tidak masalah,” ujar Ren Woxing. “Kau telah menyedot hawa dingin beracun darinya. Sebentar lagi kalau hawa dingin itu sudah buyar, tentu kau akan sehat kembali. Tapi, mengapa Zuo Lengchan belum juga tiba?”
“Zuo Lengchan memasang perangkap keji hendak mencelakai Kakak Linghu dan aku,” jawab Ren Yingying. “Dia akhirnya dapat dibinasakan oleh Kakak Linghu.”
“Oh!” sahut Ren Woxing. Karena ia duduk di tempat yang tinggi maka raut mukanya tidak jelas terlihat. Namun demikian nada suaranya terdengar penuh rasa kecewa yang tak terhingga.
Ren Yingying memahami perasaan sang ayah. Hari ini secara besar-besaran ayahnya telah mengerahkan segenap kekuatan menuju Gunung Huashan dengan maksud untuk menaklukkan Serikat Pedang Lima Gunung secara keseluruhan. Zuo Lengchan merupakan musuh bebuyutan ayahnya selama ini, dan kini telah mati di tangan orang lain. Padahal Ren Woxing ingin sekali melihatnya bertekuk lutut dan mengaku kalah disaksikan banyak orang.
Segera Ren Yingying menggenggam tangan kanan Linghu Chong dan menyalurkan tenaga dalam untuk membantu pemuda itu menolak hawa dingin beracun milik Zuo Lengchan. Sementara itu tangan Linghu Chong yang kiri dipegang oleh Xiang Wentian. Kedua orang itu mengerahkan tenaga bersama-sama sehingga Linghu Chong merasa hawa dingin dalam tubuhnya pun musnah sedikit demi sedikit.
Ketika bertempur di Biara Shaolin dahulu, Zuo Lengchan sengaja membiarkan tenaga dalamnya yang mahadingin dihisap sekian banyak oleh Ren Woxing. Akibatnya, setelah meninggalkan biara tersebut Ren Woxing hampir mati kedinginan di tanah bersalju. Waktu itu Linghu Chong, Xiang Wentian, dan Ren Yingying berusaha menyalurkan tenaga dalam kepadanya dan ikut membeku menjadi manusia salju. Akan tetapi saat ini Linghu Chong hanya sedikit menghisap hawa dingin Zuo Lengchan melalui persentuhan pedang dalam waktu singkat pula. Maka itu dalam sebentar saja ia sudah tidak menggigil lagi.
“Sudah, sudah, terima kasih untuk kalian berdua,” katanya kemudian.
“Adik cilik,” sahut Ren Woxing kemudian. “Begitu mendengar panggilanku, kau langsung naik ke sini, sungguh bagus sekali! Bagus sekali!” Ia lalu berpaling kepada Xiang Wentian dan berkata, “Mengapa orang-orang keempat perguruan yang lain hingga kini masih belum datang?”
“Hamba akan mendesaknya lagi!” jawab Xiang Wentian. Ia lantas memberi isyarat dengan mengangkat tangan kiri. Segera delapan orang tua berseragam kuning berbaris ke depan puncak tersebut dan berteriak bersama, “Ketua Ren dari Partai Mentari dan Bulan yang perkasa dan mahabijaksana memberi perintah agar semua orang Perguruan Taishan, Hengshan, Huashan, dan Songshan segera menghadap ke puncak ini. Para ketua balai diperintahkan untuk mendesak mereka secepatnya, jangan lengah!”
Kedelapan orang tua itu masing-masing memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Suara mereka serentak berkumandang hingga jauh dan terdengar di setiap puncak gunung sekitarnya. Maka terdengarlah dari berbagai penjuru berpuluh-puluh orang menjawab bersamaan, “Kami menerima perintah! Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan sepanjang masa!” Suara jawaban ini jelas berasal dari para ketua balai tersebut.
Ren Woxing berkata pula dengan tersenyum, “Ketua Linghu, silakan duduk di sebelahku sini.”
Linghu Chong melihat di sebelah barat telapak tangan batu itu berbaris lima buah kursi, dan pada setiap kursi tampak dilapisi dengan kain sutra dengan warna-warna yang berbeda, yaitu hitam, putih, hijau, merah, dan kuning. Masing-masing kain sutra tersebut bersulamkan gambar sebuah puncak gunung. Kursi yang disediakan untuk Linghu Chong dilapisi dengan kain sutra berwarna hitam dan bersulamkan gambar Puncak Xianxing, yaitu puncak utama Gunung Henshan. Ini menunjukkan betapa rapi Partai Mentari dan Bulan mempersiapkan segala sesuatunya.
Dalam urutan Serikat Pedang Lima Gunung, yang biasanya disebut pertama kali adalah Perguruan Songshan, sedangkan Perguruan Henshan selalu disebut paling akhir. Namun kini tempat duduk ketua Perguruan Henshan justru diputar balik menjadi yang paling dekat dengan Ren Woxing, kemudian disusul Perguruan Huashan, sedangkan Perguruan Songshan terletak pada urutan paling akhir. Jelas Ren Woxing sengaja hendak menghina Zuo Lengchan.
Mengingat Zuo Lengchan, Yue Buqun, Tuan Besar Mo, dan Pendeta Tianmen sudah meninggal semuanya, maka Linghu Chong merasa tidak perlu segan-segan lagi. Ia pun membungkukkan badan dan menjawab, “Baik, aku akan duduk di sana.” Usai berkata demikian pemuda itu lantas duduk di kursi berlapis sutra hitam.
Suasana di Puncak Menyongsong Mentari sunyi senyap. Tidak seorang pun yang datang ke tempat itu. Selang agak lama Xiang Wentian kembali memberi perintah agar kedelapan orang tua tadi berteriak sekali lagi. Namun demikian tetap saja tiada seorang pun yang datang.
Xiang Wentian berkata, “Orang-orang ini benar-benar tidak tahu diri. Sudah sekian lama mereka masih juga belum datang memberi sembah kepada Ketua. Lekas perintahkan orang-orang kita lebih dulu naik ke sini!”
Kedelapan orang tua berseragam kuning tadi lantas berseru serentak, “Saudara-saudara dari pulau-pulau, gua-gua, gunung-gunung, dan berbagai perkumpulan sungai dan laut, dipersilakan naik ke atas Puncak Menyongsong Mentari untuk menghadap Ketua!”
Baru saja kata “Ketua” selesai diucapkan, serentak di sekitar puncak gunung itu bergema suara jawaban, “Kami menerima perintah!” Begitu dahsyat suara ini hingga bergemuruh dan menggetarkan lembah pegunungan tersebut.
Linghu Chong terperanjat mendengar suara yang riuh ramai itu. Dari suara gemuruh tersebut dapat diperkirakan paling tidak diteriakkan oleh dua-tiga puluh ribu orang. Padahal tadinya suasana sunyi senyap, tahu-tahu bergema suara orang sebanyak itu. Jelas sebelumnya mereka sengaja disembunyikan oleh Ren Woxing dengan tujuan hendak membuat gentar pihak Serikat Pedang Lima Gunung supaya tidak berani melakukan perlawanan.
Dalam sekejap saja ribuan orang telah muncul dan membanjir menuju Puncak Menyongsong Mentari dari berbagai penjuru. Meski jumlah orang itu sangat banyak, namun sama sekali tidak mengeluarkan suara berisik. Setiap orang berdiri di tempat masing-masing secara rapi dan teratur. Sepertinya mereka sudah terlatih dengan baik sebelumnya. Yang naik ke atas puncak itu hanya dua-tiga ribu orang saja, dan masing-masing memiliki kedudukan semacam ketua perkumpulan, ketua pulau, ketua gunung, dan sebagainya. Sementara itu anak buah mereka tetap menunggu di lereng gunung.
Sekilas pandang Linghu Chong melihat dalam barisan itu terdapat Lan Fenghuang, Zu Qianqiu, Lao Touzi, Ji Wushi, dan Huang Boliu. Meskipun tidak tinggal di Tebing Kayu Hitam, namun mereka berada di bawah pengaruh Partai Mentari dan Bulan. Sewaktu Linghu Chong memimpin para jagoan silat golongan hitam menyerbu Biara Shaolin waktu itu, orang-orang ini ikut mengambil bagian, bahkan menjadi orang-orang penting yang ikut mengatur siasat. Begitu melihat Linghu Chong duduk di kursi kehormatan, orang-orang itu memandang sekilas dengan sedikit tersenyum. Sedikit pun mereka tidak berani bersuara apalagi menyapa.
Xiang Wentian lantas mengangkat tangan kanan dan menggambar lingkaran di udara. Serentak beribu-ribu orang itu pun berlutut dan berteriak, “Hamba sekalian menyampaikan sembah bakti kepada Ketua Ren, pemimpin Partai Mentari dan Bulan, sang juruselamat yang mahabijaksana. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya!”
Orang-orang ini masing-masing memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga teriakan mereka pun disertai tenaga dalam pula. Teriakan satu orang saja bagaikan teriakan sepuluh manusia biasa. Begitu mereka mengucapkan “semoga Ketua panjang umur dan seterusnya” serentak anak buah masing-masing yang tersebar di segenap penjuru ikut berteriak. Akibatnya tentu luar biasa. Suasana di tempat itu pun bergemuruh seakan-akan menggetarkan langit dan mengguncangkan bumi.
Ren Woxing duduk diam dengan tenang di tempatnya. Setelah sanjung puji yang diteriakkan orang-orang itu benar-benar selesai, barulah ia mengangkat sebelah tangan dan berkata, “Saudara-saudaraku telah bekerja keras semuanya, sekarang silakan bangun!”
“Terima kasih, Ketua Agung!” seru beribu-ribu orang itu sambil bangkit bersama-sama.
Melihat ini Linghu Chong berpikir, “Sewaktu datang ke Tebing Kayu Hitam dulu aku benar-benar ingin muntah melihat sanjung puji anggota Partai Mentari dan Bulan terhadap Dongfang Bubai. Tak kusangka, setelah Ren Woxing menjadi ketua, keadaan benar-benar semakin buruk. Mereka bahkan menambahkan sebutan “ketua agung” segala. Aku seperti melihat para sarjana dan perwira kerajaan datang menhadap dan merendahkan diri demi menyembah kaisar. Aku hanyalah seorang pendekar biasa. Kalau aku sampai melakukan perbuatan menjijikkan seperti ini, apakah aku masih pantas disebut laki-laki sejati?”
Saat berpikir demikian tiba-tiba perutnya merasa kesakitan, pandangan menjadi gelap, kepala pun pusing, dan hampir saja ia jatuh pingsan. Lekas-lekas ia memegang tepi kursi dengan kencang sambil menggigit bibir hingga berdarah demi menahan rasa sakit yang luar biasa itu. Sejak mempelajari Jurus Penyedot Bintang, ia telah bersumpah tidak akan menggunakan ilmu kejam tersebut. Namun ketika terperangkap di dalam jala yang dilemparkan Yue Buqun, terpaksa ia menggunakan ilmu itu untuk menghisap tenaga dalam sang guru. Akibatnya justru menyiksa diri sendiri secara besar-besaran.
Sekuat tenaga ia menahan rasa sakit agar mulut tidak sampai mengeluarkan suara merintih. Tampak butir-butir keringat berjatuhan di keningnya, sekujur tubuh gemetar, otot wajahnya berkerut-kerut, pertanda betapa berat penderitaan yang ia rasakan. Setiap orang dapat melihat hal ini dengan jelas. Zu Qianqiu dan yang lain tampak memandangnya dengan penuh perhatian dan rasa khawatir.
Ren Yingying berjalan mendekati dan berkata lirih, “Kakak Chong, aku ada di sisimu!”
Andaikan mereka berada di tempat yang sepi tentu ia sudah memegang tangan sang kekasih untuk memberikan semangat. Namun di bawah tatapan beribu-ribu pasang mata, terpaksa ia hanya dapat mengucapkan kata-kata dengan wajah bersemu merah.
Linghu Chong lantas menoleh dan memandang Ren Yingying sekejap. Ia merasa agak terhibur dan rasa sakitnya sedikit berkurang. Teringat olehnya apa yang pernah dikatakan Ren Woxing di Hangzhou dahulu, bahwa setelah mempelajari Jurus Penyedot Bintang dan menghisap bermacam-macam tenaga dalam milik orang lain ke dalam tubuh sendiri, maka pada suatu hari kelak himpunan hawa murni tersebut pasti akan bergolak hebat. Setiap kali penyakit ini kambuh tentu akan semakin hebat daripada sebelumnya, dan ini berarti tubuh pun akan semakin tersiksa.
Itulah sebabnya mengapa Ren Woxing menyerahkan urusan partai kepada Dongfang Bubai. Ia merasa penyakitnya itu sering kambuh dan sangat menyiksa. Dengan mengambil cuti dari jabatannya, ia berusaha mencari cara untuk bisa memusnahkan gangguan berbagai macam hawa murni tersebut. Akibatnya, kesempatan ini justru dimanfaatkan Dongfang Bubai untuk memberontak dan mengurungnya di bawah Danau Barat.
Selama terpenjara di dasar Danau Barat di daerah Hangzhou itulah, akhirnya Ren Woxing berhasil melatih cara memusnahkan gabungan hawa murni yang mengamuk di dalam tubuhnya. Ia lantas menawarkan diri kepada Linghu Chong untuk mengajarkan ilmu tersebut dengan syarat pemuda itu harus masuk ke dalam Partai Mentari dan Bulan. Namun dengan tegas Linghu Chong menolak tawaran Ren Woxing, karena sejak kecil ia telah dididik untuk membenci Partai Mentari dan Bulan sebagai aliran sesat dan tidak boleh bergaul dengan agama iblis tersebut.
Seiring berjalannya waktu, Linghu Chong menyaksikan sendiri bagaimana Zuo Lengchan dan Yue Buqun yang selama ini menamakan diri sebagai guru besar dari aliran lurus bersih, namun perbuatan mereka ternyata jauh lebih culas dan keji daripada orang-orang aliran sesat. Kini baginya, perbedaan antara golongan hitam dan golongan putih menjadi rancu dan tidak jelas lagi. Terkadang timbul pula pikiran dalam benaknya, andaikan Ren Woxing kembali mengharuskannya masuk partai sebagai syarat untuk menikahi Ren Yingying, tentu ajakan tersebut akan diterimanya tanpa membantah.
Dasar watak Linghu Chong memang suka apa adanya, segala macam persoalan tidak pernah dianggapnya sungguh-sungguh. Baginya apakah harus masuk agama atau tidak sama sekali bukan persoalan penting. Namun tempo hari sewaktu ia menyaksikan secara langsung bagaimana para anggota aliran sesat menjilat dan memuja Dongfang Bubai serta Ren Woxing secara berlebihan, seketika timbul rasa muak di dalam hatinya. Sebagai seorang merdeka, ia sama sekali tidak sudi diperbudak dan mengucapkan sanjung puji dengan merendahkan diri seperti itu.
Hari ini, ia pun melihat betapa Ren Woxing mengagungkan diri sendiri. Lagaknya jauh lebih hebat dan berkuasa daripada seorang kaisar maharaja. Padahal dulu ia sangat menderita sewaktu terkurung di dasar Danau Barat. Kini setelah berkuasa, ia memperlakukan segenap kaum kesatria dunia persilatan dengan sedemikian hina, sedemikian rendahnya, seolah-olah mereka bukan manusia.
Ketika Linghu Chong larut dalam lamunannya, tiba-tiba ia mendengar suara seseorang berseru, “Lapor kepada Ketua Agung, murid-murid Perguruan Henshan telah tiba!”
Linghu Chong terkejut seketika. Ia melihat Yihe, Yiqing, Yilin, dan yang lain bahu-membahu naik ke atas puncak tersebut. Biksu Bujie dan istrinya, serta Tian Boguang juga ikut di belakang mereka.
Segera seorang pemuka Partai Mentari dan Bulan berseru, “Kawan-kawan sekalian, silakan memberi hormat kepada Ketua Agung!” Yang bicara ini tidak lain adalah Bao Dachu.
Melihat Linghu Chong juga duduk di tempat itu, Yiqing sadar bahwa Ren Woxing adalah calon mertua sang ketua. Meskipun ia berpikir bahwa golongan hitam dan putih tidak seharusnya berdampingan, namun demi menghargai sang ketua, tiada salahnya sebagai kaum muda memberi hormat kepada kaum tua.
Maka itu Yiqing pun memimpin saudara-saudaranya berjalan mendekati telapak tangan batu raksasa tersebut, lantas membungkukkan tubuh dan berkata, “Kami dari Perguruan Henshan memberi salam hormat kepada Ketua Ren!”
“Berlutut dan menyembah!” bentak Bao Dachu.
“Kaum biarawati seperti kami ini hanya menyembah kepada Sang Buddha, menyembah kepada Boddhisatwa, dan menyembah kepada guru,” sahut Yiqing lantang. “Kami sama sekali tidak menyembah manusia biasa.”
“Ketua Agung bukan manusia biasa,” seru Bao Dachu. “Beliau seorang nabi, seorang dewa, seorang buddha!”
Yiqing lantas berpaling ke arah Linghu Chong. Tampak pemuda itu menggeleng kepala. Maka Yiqing pun kembali berkata lantang, “Kalau mau bunuh silakan bunuh saja kami semua. Yang pasti murid-murid Perguruan Henshan tidak menyembah manusia biasa!”
“Ucapan bagus, ucapan bagus!” seru Biksu Bujie sambil bergelak tawa.
Xiang Wentian langsung membentak gusar, “Kau berasal dari perguruan mana? Untuk apa kau datang kemari?”
Rupanya Xiang Wentian melihat adanya bibit keributan karena murid-murid Perguruan Henshan tidak mau menyembah kepada Ren Woxing. Apabila orang-orang Henshan itu diperlakukan kasar, tentu rasanya tidak enak kepada Linghu Chong. Oleh karena itu ia sengaja membentak Biksu Bujie untuk mengalihkan perhatian Ren Woxing sehingga melupakan sikap membantah murid-murid Henshan itu.
Maka terdengarlah Bujie menjawab dengan tertawa, “Biara besar ataupun kecil tidak sudi menerima biksu liar seperti aku ini. Maka itu, aku tidak memiliki aliran atau perguruan yang jelas. Hanya saja aku mendengar di Gunung Huashan ini sedang berkumpul banyak orang. Kedatanganku kemari hanya untuk melihat keramaian.”
“Pertemuan ini hanya untuk dihadiri orang-orang Partai Mentari dan Bulan dan Serikat Pedang Lima Gunung. Orang luar tidak boleh ikut mengacau di sini. Lekas kau pergi saja dan segera turun gunung,” kata Xiang Wentian. Ucapannya ini boleh dikata sangat halus demi untuk menjaga perasaan Linghu Chong. Ia sadar kedatangan Biksu Bujie adalah bersama dengan orang-orang Perguruan Henshan, tentu sedikit-banyak memiliki hubungan baik dengan mereka. Maka, ia pun tidak mau mempersulit biksu besar tersebut.
Tak disangka Bujie malah menjawab, “Gunung Huashan ini bukan milik aliran sesat macam kalian. Aku mau datang ke sini, peduli apa dengan kalian? Kecuali orang-orang Perguruan Henshan, tidak seorang pun berhak mengusir aku.”
Istilah “aliran sesat” merupakan kata penghinaan bagi Partai Mentari dan Bulan. Kaum persilatan pada umumnya tidak berani mengucapkan istilah itu secara terang-terangan di hadapan anggota partai, kecuali kalau memang sengaja mencari permusuhan.
Namun pada dasarnya sifat Biksu Bujie memang tidak memiliki pantangan. Apa yang ia pikirkan, itu pula yang ia ucapkan. Apalagi ketika Xiang Wentian mengusirnya, seketika hatinya menjadi kesal. Tanpa pikir panjang ia langsung membantah tanpa menghiraukan siapa yang sedang dihadapinya. Sedikit pun tidak merasa gentar.
Dengan menahan gusar Xiang Wentian berpaling kepada Linghu Chong dan bertanya, “Adik Linghu, siapa sebenarnya biksu gila ini? Ada hubungan apa dengan perguruan kalian?”
Linghu Chong sendiri sedang merasa kesakitan. Perutnya terasa seperti disayat-sayat puluhan pisau. Dengan suara terputus-putus ia menjawab, “Biksu Bujie… biksu ini….”
Sementara itu Ren Woxing benar-benar murka begitu mendengar Bujie berani menyebut “aliran sesat” tadi. Ia khawatir Linghu Chong lebih dulu mengatakan bahwa biksu besar tersebut memiliki hubungan baik dengan Perguruan Henshan. Jika itu sampai terjadi tentu akan sukar untuk membunuhnya. Maka sebelum Linghu Chong selesai menjawab, segera ia membentak, “Bunuh saja biksu gila itu!”
Delapan orang tua berseragam kuning menjawab, “Kami menerima perintah!” Serentak mereka menerjang maju dan mengerubut Bujie.
“Hei, kalian hendak main keroyok rupanya?” teriak Bujie. Ia hanya sempat berkata itu saja karena harus langsung menghadapi serangan kedelapan orang itu.
“Tidak tahu malu!” teriak si nenek, ibu Yilin. Segera ia pun melompat maju menggabungkan diri dengan sang suami. Dengan punggung menempel punggung mereka melayani serangan musuh.
Kedelapan orang tua berseragam kuning itu adalah delapan pemuka partai yang rata-rata berilmu tinggi. Salah satu dari mereka adalah Bao Dachu sendiri. Sebenarnya jumlah mereka adalah sepuluh, namun beberapa orang sudah meninggal, antara lain Qu Yang, si pencipta lagu Menertawakan Dunia Persilatan.
Masing-masing ilmu silat kedelapan pemuka tersebut setara dengan Bujie atau istrinya. Namun karena jumlah yang tidak seimbang yaitu delapan melawan dua, maka dalam waktu singkat saja mereka sudah di atas angin. Melihat ini Tian Boguang tidak bisa tinggal diam. Segera ia mengangkat golok dan ikut menerjang ke dalam pertempuran. Sementara itu Yilin juga melolos pedang dan membantu ayah-ibunya. Dua di antara kedelapan pemuka itu lantas memisahkan diri untuk menghadapi mereka. Dengan ilmu goloknya yang cepat Tian Boguang masih cukup lumayan mempertahankan diri, namun Yilin dalam waktu singkat sudah terdesak kewalahan menghadapi serangan lawan yang gencar. Andai saja si pemuka itu tidak menghormati Linghu Chong, tentu Yilin sudah tewas sejak tadi.
Linghu Chong semakin merasa kesakitan melihat kejadian ini. Ia menunduk dan mendekap perut dengan tangan kiri sementara tangan kanan melolos pedang sambil berseru, “Hentikan… hentikan!”
Dengan menahan sakit ia menerjang maju ke dalam pertempuran. Begitu pedangnya berkelebat, sekaligus delapan gerakan dilancarkan. Serentak empat orang pemuka terpaksa mundur. Kembali ia melancarkan delapan serangan dan memaksa keempat lainnya mundur pula. Semua gerakan ini berasal dari Sembilan Jurus Pedang Dugu yang selalu mengarah ke tempat mematikan di tubuh lawan. Bagaimanapun hebatnya kedelapan pemuka itu, namun masing-masing sudah mendengar betapa lihai ilmu pedang Linghu Chong sehingga mereka tidak berani menyerang lebih lanjut.
Sambil setengah berjongkok, Linghu Chong berkata dengan suara terputus-putus, “Ketua… Ketua Ren, harap sudi memandang diriku dan... membiarkan mereka….” Karena terlalu sakit pada bagian perutnya, sehingga kata “pergi” pun tidak sanggup ia ucapkan.
Ren Woxing paham saat itu berbaagai macam hawa murni dalam tubuh Linghu Chong sedang kambuh dan bergolak lagi. Ia sadar pemuda ini adalah kekasih idaman putrinya, dan ia sendiri juga suka dan sayang kepadanya. Selain itu dirinya tidak mempunyai anak laki-laki. Kelak, ia bahkan mengharapkan Linghu Chong bisa mewarisi jabatan ketua partai darinya.
Berpikir demikian Ren Woxing lantas mengangguk dan berkata, “Baiklah, karena Ketua Linghu yang memintakan ampun bagi kalian, maka aku memberi kelonggaran.”
Segera Xiang Wentian melompat maju. Kedua tangannya bekerja cepat. Berturut-turut ia menotok Biksu Bujie dan istrinya, serta Tian Boguang dan Yilin. Betapa cepat gerakan tangannya sungguh luar biasa. Meskipun si nenek terkenal gesit ternyata tidak dapat meloloskan diri dari tangan Xiang Wentian itu.
Linghu Chong terkejut dan berseru, “Kakak… Kakak Xiang….”
“Jangan khawatir,” segera Xiang Wentian menjawab dengan tertawa. “Ketua sudah menyatakan memberi ampun kepada mereka.” Ia lalu berpaling kepada anak buahnya dan berseru, “Majulah ke sini delapan orang!”
“Kami menerima perintah Pelindung Kiri Xiang!” sahut delapan orang laki-laki berseragam hijau sambil kemudian maju ke depan.
“Empat laki-laki dan empat perempuan!” kata Xiang Wentian.
Empat orang di antaranya segera mengundurkan diri dan empat orang anggota perempuan ganti maju ke depan.
Xiang Wentian lantas berkata, “Keempat orang ini berbicara tidak pantas. Dosa mereka sungguh besar dan seharusnya dihukum mati. Tapi Ketua Agung sangat bijaksana dan bermurah hati. Mengingat permintaan Ketua Linghu, mereka pun tidak diberi hukuman. Maka itu gotong saja mereka turun gunung. Sesampainya di bawah lepaskan totokan mereka dan bebaskan semua.”
Kedelapan orang itu membungkuk hormat dan berkata, “Kami siap melaksanakan perintah!”
Xiang Wentian lantas melanjutkan dengan suara lirih, “Mereka adalah teman baik Ketua Linghu, jadi kalian jangan berbuat kasar.”
“Baik!” jawab mereka serentak. Kedelapan orang itu lantas bekerja cepat. Setiap dua orang menggotong satu orang meninggalkan puncak tersebut.
Melihat Bujie sekeluarga sudah lolos dari maut, Linghu Chong dan Ren Yingying merasa lega. Masing-masing menghela napas panjang dan bersyukur dalam hati.
Segera Linghu Chong berkata, “Terima... terima kasih!” Namun setelah itu ia tidak mampu berdiri tegak. Karena sakit di perutnya bertambah parah tanpa kuasa ia pun jatuh terjongkok di atas tanah.
Demi untuk memukul mundur kedelapan pemuka tadi, Linghu Chong telah melancarkan enam belas serangan dalam sekejap mata. Tentu saja hal ini membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Akibatnya, penderitaannya semakin bertambah parah. Kini bukan hanya perut yang terasa seperti ditusuk-tusuk pisau, bagian dada juga terasa ikut sakit.
Diam-diam Xiang Wentian merasa khawatir, namun wajahnya biasa-biasa saja. Sambil pura-pura tertawa ia bertanya, “Adik Linghu, apakah kau sedang tidak enak badan?”
Hampir setahun yang lalu Linghu Chong pernah membantu Xiang Wentian bertempur menghadapi gabungan para kesatria dari golongan hitam dan putih. Setelah lolos dari maut, keduanya pun saling mengangkat saudara. Meskipun untuk selanjutnya kedua orang itu jarang bertemu, namun hubungan batin di antara mereka tetap abadi.
Segera Xiang Wentian memegang tangan Linghu Chong dan memapahnya duduk kembali di atas kursi tadi. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam untuk membantu Linghu Chong menolak pergolakan hawa murni di dalam tubuh pemuda itu. Padahal Linghu Chong jelas-jelas memiliki Jurus Penyedot Bintang. Ini berarti Xiang Wentian membiarkan tenaga dalamnya terhisap keluar. Jika hal ini diteruskan bisa-bisa Xiang Wentian kehilangan semua ilmu silatnya. Maka itu Linghu Chong pun mengibaskan tangannya sambil berkata, “Jangan, Kakak Xiang! Aku… aku sudah sembuh!”
Sementara itu Ren Woxing sedang bertanya kepada anak buahnya, “Di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya Perguruan Henshan saja yang hadir dalam pertemuan ini. Para anggota dari keempat perguruan yang lain ternyata berani membangkang perintah. Maka itu kita tak perlu segan lagi kepada mereka!”
Pada saat itulah, Shangguan Yun datang dengan langkah cepat ke atas puncak tersebut. Setibanya di depan telapak tangan batu raksasa itu ia lantas menyembah dan berkata, “Lapor kepada Ketua Agung, di dalam gua Tebing Perenungan, hamba menemukan sekitar dua ratus mayat. Di antaranya terdapat pula ketua Perguruan Songshan, Zuo Lengchan. Selain itu banyak pula tokoh-tokoh penting Perguruan Songshan, Hengshan, dan Taishan ikut menjadi korban. Sepertinya mereka mati karena saling bunuh satu sama lain.”
“Hah?” sahut Ren Woxing terkejut. “Bagaimana dengan ketua Hengshan? Apakah Tuan Besar Mo juga terbunuh?”
“Hamba telah memeriksa semuanya dengan teliti,” jawab Shangguan Yun. “Namun hamba tidak menemukan Tuan Besar Mo di sana. Hamba juga tidak menemukan jejaknya di segenap penjuru Gunung Huashan.”
Linghu Chong dan Ren Yingying sama-sama terkejut sekaligus senang. Keduanya saling pandang dan berpikir, “Paman Mo biasa datang dan menghilang secara tiba-tiba, tentu Beliau bisa menghindarkan diri dari marabahaya. Kemungkinan besar ketika kekacauan itu terjadi, Beliau membaur bersama mayat dan menahan napas, kemudian keluar dari gua setelah keadaan benar-benar aman.”
Terdengar Shangguan Yun melanjutkan, “Dua orang pejabat sementara ketua Perguruan Taishan, yaitu Yuqingzi dan Yuyinzi juga tewas pula.”
Ren Woxing merasa kurang senang mendengarnya. Ia bertanya, “Siapa... siapa lagi?”
“Bahkan di luar gua juga ditemukan sesosok mayat,” lanjut Shangguan Yun.
“Mayat siapa?” tanya Ren Woxing dengan cepat.
“Setelah hamba periksa dengan teliti, akhirnya dapat diketahui dengan pasti bahwa mayat itu adalah ketua Perguruan Huashan,” jawab Shangguan Yun. “Dia adalah Yue Buqun, eh, Tuan Yue alias Si Pedang Budiman yang baru-baru ini terpilih sebagai ketua Perguruan Lima Gunung.”
Shangguan Yun sadar bahwa kelak Linghu Chong akan menjadi ahli waris sang ketua. Oleh karena itu, ia tidak berani sembarangan menyebut nama Yue Buqun dengan kasar, mengingat pemuda itu pernah menjadi murid Perguruan Huashan.
Begitu Ren Woxing mendengar Yue Buqun juga mati, perasaannya semakin kecewa. Ia lantas bertanya, “Siapa… siapakah yang telah membunuh dia?”
Shangguan Yun menjawab, “Ketika sedang memeriksa keadaan di dalam gua, hamba mendengar ada suara orang bertempur di luar. Begitu hamba keluar, ternyata ada sekelompok murid-murid Huashan sedang bertempur mati-matian melawan sekelompok murid Taishan. Kedua pihak saling mencaci maki menuduh pihak lawan telah membunuh guru mereka. Kedua pihak tersebut bertempur dengan sengit dan sama-sama kehilangan banyak korban. Hamba berhasil menawan sisa-sisa dari mereka dan membawa orang-orang itu kemari untuk menunggu keputusan Ketua Agung.”
“Jadi Yue Buqun dibunuh oleh orang Perguruan Taishan?” kata Ren Woxing setengah bergumam. “Memangnya di dalam Perguruan Taishan ada jago sehebat itu yang mampu membunuh Yue Buqun?”
Dari kalangan murid-murid Henshan tiba-tiba Yiqing berseru lantang, “Tidak benar! Yue Buqun telah dibunuh oleh adik seperguruan kami dari Henshan!”
“Siapa adikmu itu?” tanya Ren Woxing.
“Dia adalah Adik Yilin, salah seorang yang baru saja dibawa turun gunung,” jawab Yiqing. “Yue Buqun telah menewaskan Biksuni Ketua dan Bibi Dingyi. Setiap murid dalam perguruan kami membencinya sampai ke tulang sumsum. Hari ini, atas berkah Sang Buddha, arwah kedua biksuni sepuh telah meminjam tangan Adik Yilin untuk menghukum penjahat itu.”
“Oh, ternyata begitu!” kata Ren Woxing. “Takdir begitu luas, seorang pun tak akan lolos. Dosa tak berampun, hutang harus dibayar.” Nada ucapannya ini terdengar sangat hambar dan penuh rasa kecewa.
Xiang Wentian dan para pemuka partai juga saling pandang dengan perasaan kurang senang.
Kedatangan Partai Mentari dan Bulan ke Gunung Huashan kali ini memang telah dipersiapkan dengan rencana matang dan pengaturan sangat rapi. Semua jago-jago terkemuka dalam agama beserta anak buah masing-masing, serta segenap perkumpulan yang tersebar di berbagai tempat juga dikerahkan seluruhnya. Tujuannya adalah menaklukkan Serikat Pedang Lima Gunung dalam sekaligus. Apabila kelima perguruan tersebut berani melawan, maka mereka harus ditumpas dan dimusnahkan semuanya. Sasaran selanjutnya tentu saja menyerang Perguruan Shaolin dan Wudang. Maka setelah itu Partai Mentari dan Bulan akan berjaya dan menggetarkan dunia persilatan. Tentu tidak ada lagi suatu golongan atau perguruan yang mengaku sebagai aliran lurus bersih berani melawannya lagi. Semboyan “merajai dunia persilatan” akan terbangun kuat melalui pertemuan di Puncak Menyongsong Mentari di Gunung Huashan ini.
Tak disangka ternyata tokoh-tokoh terkemuka dari keempat perguruan, yaitu Zuo Lengchan, Yue Buqun, Yuqingzi, dan Yuyinzi telah mati, sementara Tuan Besar Mo menghilang entah ke mana. Selain itu, murid-murid keempat perguruan tersebut yang tersisa juga tinggal sedikit. Ini berarti rencana mahabesar yang telah diatur rapi oleh Ren Woxing tidak berguna lagi.
Semakin dipikir semakin gusar rasa hati Ren Woxing. Ia pun berseru, “Bawa ke sini kawanan anjing Perguruan Lima Gunung yang masih tersisa itu!”
“Baik!” jawab Shangguan Yun. Ia lantas berbalik dan melangkah cepat ke bawah puncak untuk memanggil mereka.
Sementara itu pergolakan hawa murni di dalam tubuh Linghu Chong sudah mulai reda. Ketika mendengar Ren Woxing menyebut “kawanan anjing Perguruan Lima Gunung yang masih tersisa”, hatinya merasa kurang senang. Meskipun Ren Woxing tidak bermaksud memakinya, namun bagaimanapun juga Perguruan Henshan adalah bagian dari Perguruan Lima Gunung tersebut.
Tidak lama kemudian, terdengar suara bentakan dan makian. Tampak dua orang pemuka partai sedang memimpin anak buahnya menggiring sekitar tiga puluh orang murid Perguruan Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan naik ke puncak tersebut.
Di antara kelima perguruan, Huashan memiliki jumlah murid yang paling sedikit. Kini jumlah itu semakin banyak berkurang. Sementara itu sebagian besar para kesatria terkemuka dari Perguruan Songshan, Hengshan, dan Taishan juga sudah mati terbunuh di dalam gua. Dengan demikian ketiga puluh orang yang tersisa ini adalah jago-jago kelas bawah, dan sama sekali tidak terkenal, bahkan sebagian tampak sedang terluka. Kalau saja bukan karena dibimbing orang-orang Partai Mentari dan Bulan, tentu mereka akan kesulitan naik ke puncak tersebut.
Melihat ini Ren Woxing sangat kesal. Tanpa menunggu rombongan itu mendekati tempatnya, ia pun membentak gusar, “Untuk apa aku menginginkan kawanan anjing ini dibawa kemari? Sudah, bawa saja mereka turun ke sana! Bawa mereka turun!”
“Baik, Ketua Agung!” jawab kedua pemuka tadi serentak. Mereka lantas menggiring kembali rombongan tawanan tersebut menuju ke bawah.
Ren Woxing terus saja mencaci maki untuk beberapa saat. Tiba-tiba ia bergelak tawa dan berkata, “Serikat Pedang Lima Gunung telah banyak melakukan kejahatan di dunia persilatan. Langit tidak mengampuni dosa mereka. Lihatlah, kita tidak perlu keluar tenaga, kita tidak perlu turun tangan, tahu-tahu mereka sudah saling bunuh dan mampus semua. Mulai hari ini nama Serikat Pedang Lima Gunung sudah punah di dunia persilatan.”
Serentak para pemuka Partai Mentari dan Bulan membungkuk dan berseru, “Berkat perbawa Ketua Agung yang bersinar terang, kawanan tikus celurut itu musnah dengan sendirinya.”
Xiang Wentian berkata pula, “Di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya tinggal Perguruan Henshan saja yang berdiri tegak. Semua ini berkat kepemimpinan Ketua Linghu yang bijaksana. Untuk selanjutnya Perguruan Henshan dan partai suci kita menjadi sahabat, senapas seirama. Saling merasakan kebahagiaan bersama-sama. Untuk itu, selamat kepada Ketua Agung karena telah mendapatkan seorang kesatria muda yang berbakat tiada bandingannya sebagai pembantu utama.”
Ren Woxing bergelak tawa dan berkata, “Benar sekali, benar sekali. Ucapan Saudara Xiang sama sekali tidak salah. Nah, Adik Linghu, mulai hari ini Perguruan Henshan kalian bisa dibubarkan saja. Para biksuni dan murid perempuan dari perguruanmu itu kalau mau ikut ke Tebing Kayu Hitam tentu akan kami sambut dengan tangan terbuka. Namun kalau mereka ingin tetap tinggal di Gunung Henshan juga tidak menjadi masalah. Para jagoan yang pernah tinggal di Gunung Henshan juga boleh dianggap sebagai pasukan pribadi Wakil Ketua bagimu. Hahahahaha!” Dengan terbahak-bahak ia menengadah ke langit. Suara gelak tawanya itu terasa menggetarkan lembah pegunungan dan menimbulkan gema yang tidak ada habisnya.
Mendengar istilah “wakil ketua” serentak semua orang tekesiap. Namun sejenak kemudian mereka lantas bersorak-sorai dengan suara riuh bergemuruh. Dari segenap penjuru, berkumandanglah seruan, “Pendekar Linghu menjadi wakil ketua partai suci kita, sungguh bagus sekali! Sungguh bagus sekali!”
“Selamat untuk Ketua Agung yang mendapatkan seorang pembantu hebat!”
“Selamat untuk Ketua Agung! Selamat untuk Wakil Ketua!”
“Hidup Ketua Agung! Hidup Wakil Ketua!”
Rupanya para anggota Partai Mentari dan Bulan yang bersorak gembira itu terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah anggota partai yang tinggal di Tebing kayu Hitam. Mereka mengetahui bahwa Linghu Chong adalah calon menantu sang ketua agung dan kini ditunjuk pula sebagai wakil ketua. Kelak dapat dipastikan pemuda itu akan menggantikan kedudukan Ren Woxing sebagai pemimpin partai. Mereka kenal watak Linghu Chong sangat ramah dan mudah bergaul. Kelak bila ia naik takhta menjadi ketua tentu semua anak buahnya akan merasa lebih aman. Saat ini setiap saat mereka selalu khawatir jangan-jangan ada yang main fitnah untuk saling menjatuhkan, atau takut membuat marah Ketua Ren dan dihukum mati.
Golongan kedua adalah para jago silat yang dahulu pernah dipimpin Linghu Chong menyerbu Biara Shaolin, dan juga pernah tinggal di Lembah Tong Yuan di Gunung Henshan. Bisa dikatakan mereka telah memiliki ikatan batin cukup kuat dengan pemuda itu.
Sementara itu golongan ketiga adalah mereka yang pernah menerima budi baik Ren Yingying. Dengan diangkatnya calon suami sang putri suci sebagai wakil ketua tentu saja mereka merasa senang dan ikut bersorak. Dengan latar belakang yang berbeda ketiga golongan tersebut sama-sama bergembira merayakan pengangkatan Linghu Chong sebagai wakil ketua dengan setulus hati.
Xiang Wentian juga lantas berkata, “Selamat untuk Wakil Ketua! Marilah kita minum satu cawan dahulu sebagai ucapan selamat atas bergabungnya dirimu ke dalam partai suci kita. Setelah itu kita minum lagi arak bahagia atas perkawinanmu dengan Nona Besar. Ini namanya kebahagiaan berganda! Kebahagiaan berganda!”
Akan tetapi perasaan Linghu Chong sendiri ternyata sedang bingung. Dalam hati ia memberontak dan berharap urusan ini tidak boleh sampai terjadi. Namun demikian ia tidak tahu bagaimana cara untuk menolaknya. Apabila ia sampai menolak kehendak Ren Woxing, itu berarti perjodohannya dengan Ren Yingying juga akan gagal dan berantakan. Bukan mustahil Ren Woxing akan sangat murka dan membunuhnya pula.
Sebenarnya ia sendiri tidak takut mati. Namun membayangkan murid-murid Perguruan Henshan ikut menjadi korban membuat hatinya menjadi bimbang. Ia merasa bingung apakah harus menolak dengan tegas atau menerima kedudukan itu untuk sementara sampai murid-murid Henshan terhindar dari bahaya.
Perlahan ia berpaling ke arah murid-murid Henshan tersebut. Tampak sebagian dari mereka ada yang berwajah gusar, ada yang menunduk lesu tak bersemangat, ada pula yang bingung kehilangan akal. Tidak seorang pun dari mereka yang tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba terdengar Shangguan Yun berseru lantang, “Di bawah kepemimpinan Ketua Agung dan dengan bantuan Wakil Ketua yang bijaksana, kita hancurkan Perguruan Shaolin, kita musnahkan Perguruan Wudang, Kunlun, dan Emei, kita basmi pula Partai Pengemis. Semuanya dapat kita lakukan dengan mudah. Hidup Ketua Agung, semoga panjang umur, merajai dunia persilatan selamanya! Hidup Wakil Ketua, bahagia untuk selamanya!”
Sebenarnya perasaan Linghu Chong sedang kusut dan sukar menentukan sikap. Namun begitu mendengar sanjung puji Shangguan Yun, seketika pikirannya menjadi terbuka. Ia merasa bila dirinya menerima kehendak Ren Woxing sebagai wakil ketua, maka setiap hari tentu akan mendengar sanjung puji muluk-muluk yang memuakkan itu. Meskipun sanjung puji untuknya tidak sebanyak yang diterima Ren Woxing tetap saja dalam hati ia merasa geli. Tanpa terasa ia pun tertawa sendiri.
Suara gelak tawanya itu terkesan menghina, penuh dengan nada mengolok-olok. Hal ini dapat dirasakan oleh setiap orang yang berpikiran jernih. Seketika suasana di puncak Puncak Menyongsong Mentari menjadi sunyi senyap.
“Ketua Linghu,” sahut Xiang Wentian membuka suara. “Ketua Agung telah mengangkatmu sebagai wakil ketua. Itu berarti kedudukanmu dalam dunia persilatan hanya di bawah seorang saja, dan di atas ratusan ribu orang. Atas kemurahan hati Ketua Agung tersebut, lekaslah berterima kasih kepada Beliau.”
Seketika pikiran Linghu Chong menjadi terang. Tanpa ragu-ragu ia pun bangkit dan berseru lantang menghadap ke atas, “Ketua Ren, ada dua persoalan ingin kusampaikan.”
“Silakan bicara,” sahut Ren Woxing dengan tersenyum.
“Yang pertama, aku telah menerima tugas berat untuk memimpin Perguruan Henshan berdasarkan wasiat ketua terdahulu, yaitu Biksuni Dingxian. Aku merasa tidak dapat membawa kemajuan apa-apa bagi Perguruan Henshan, namun yang pasti juga tidak mungkin membubarkan Perguruan Henshan dan membawanya masuk ke dalam Partai Mentari dan Bulan. Kalau sampai ini terjadi, tentu aku akan sangat malu bertemu muka dengan Biksuni Dingxian di alam sana. Yang kedua adalah urusan pribadi. Aku mohon Ketua Ren sudi merestui putri kesayanganmu sebagai istriku.”
Sewaktu mendengarkan Linghu Chong menguraikan persoalan pertama, setiap orang merasa khawatir jangan-jangan Ren Woxing murka dan urusan bisa menjadi runyam. Namun begitu mendengar persoalan kedua ternyata lamaran untuk Ren Yingying, seketika semua orang saling pandang dengan tersenyum.
Ren Woxing sendiri bergelak tawa dan berkata, “Masalah pertama mudah untuk diselesaikan. Kau bisa menyerahkan jabatan ketua Perguruan Henshan kepada salah seorang biksuni, dan setelah itu kau sendiri masuk ke dalam partai suci kami. Mengenai Perguruan Henshan untuk selanjutnya bergabung dengan partai suci kami atau tidak, bisa dirundingkan belakangan. Tentang persoalan kedua, bahwasanya kau dan Yingying sudah cocok satu sama lain, siapa pula yang tidak tahu akan hubungan kalian berdua ini? Baik, sudah tentu aku mengizinkan dia menjadi istrimu, kenapa kau masih sangsi? Hahahahaha!”
Serentak orang-orang Partai Mentari dan Bulan mengikuti sang ketua bergelak tawa sambil bersorak sorai dengan gembira.
Linghu Chong berpaling ke arah Ren Yingying. Dilihatnya kedua pipi si nona bersemu merah. Kebahagiaan terpancar dengan jelas di wajahnya. Setelah semua orang berhenti tertawa, barulah Linghu Chong melanjutkan dengan suara lantang, “Terima kasih banyak atas maksud baik Ketua yang telah mengajakku masuk ke dalam agama kalian, bahkan memberikan jabatan sedemikian tinggi dan terhormat. Namun aku sudah terbiasa hidup bebas, tidak taat kepada peraturan. Kalau masuk ke dalam agama kalian tentu akan banyak membuat runyam urusan penting Ketua. Maka setelah kupikirkan masak-masak, kukira lebih baik Ketua menarik kembali keputusan tadi.”
Ren Woxing gusar luar biasa dan berkata bengis, “Jadi kau menolak masuk ke dalam partai suci kami?”
“Benar sekali!” sahut Linghu Chong.
Jawaban ini diucapkannya dengan tegas tanpa ragu-ragu sedikit pun. Seketika semua orang tercengang mendengarnya. Sebagian dari mereka tampak berubah pucat membayangkan apa yang akan terjadi.
Kembali Ren Woxing berkata, “Dalam tubuhmu terhimpun bermacam-macam hawa murni milik orang lain. Baru saja penyakitmu itu kambuh. Kelak, setiap setengah tahun atau tiga bulan sekali tentu kau akan kambuh lagi, bahkan lebih hebat daripada yang kau rasakan saat ini. Adapun cara untuk memusnahkan pergolakan hawa murni yang menjadi penyakit dalam tubuhmu itu, hanya aku seorang di seluruh dunia yang mengetahuinya.”
Linghu Chong menjawab, “Mengenai hal ini Ketua sudah menyinggungnya ketika berada di Perkampungan Buah Plum di Kota hangzhou dulu. Tadi aku memang sudah merasakan betapa sakitnya saat bermacam-macam hawa murni bergolak di dalam tubuh. Benar-benar sangat tersiksa dan lebih baik mati saja daripada menderita seperti tadi. Namun sebagai seorang pengelana di dunia persilatan, persoalan hidup atau mati, senang atau susah adalah hal yang biasa. Seharusnya ini tidak perlu banyak dipersoalkan lagi.”
“Hm, lancang benar mulutmu itu,” sahut Ren Woxing. “Hari ini segenap Perguruan Henshan kalian sudah berada dalam genggamanku. Bisa saja aku memerintahkan tidak seorang pun boleh turun gunung dalam keadaan hidup. Bagiku hal semudah ini bagaikan membalik telapak tanganku sendiri.”
“Dengan kepandaian Ketua Ren yang mahasakti, aku percaya apapun yang Ketua katakan pasti bisa terlaksana,” sahut Linghu Chong tegas. “Namun demikian, meskipun Perguruan Henshan terdiri dari kaum wanita secara keseluruhan, menghadapi segala sesuatu selamanya juga tidak pernah gentar. Jikalau Ketua hendak membunuh kami semua, biarlah kita berhadapan lebih dahulu. Sampai napas penghabisan Perguruan Henshan tetap pantang menyerah.”
Segera Yiqing mengangkat tangan sebagai isyarat. Serentak murid-murid Henshan yang lain langsung berbaris di belakang Linghu Chong.
“Kita semua hanya mematuhi perintah Ketua Linghu,” seru Yiqing. “Mati pun kami tidak gentar.”
“Benar, sampai mati tetap pantang menyerah!” sahut para murid yang lain bersama-sama.
Zheng E lantas berteriak, “Meskipun jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kami hanya sedikit, ditambah lagi kami sudah masuk perangkap, kami tetap tidak takut. Biarlah dunia persilatan mengetahui bagaimana Perguruan Henshan menghadapi musuh tanpa gentar. Meskipun tertumpas paling tidak kami meninggalkan nama yang harum.”
Ren Woxing menjadi gusar mendengar sindiran ini. Ia menengadah ke langit dan tertawa terbahak-bahak, kemudian berseru, “Jika aku membunuh kalian hari ini, tentu aku akan dituduh telah menjebak dan mencelakai kalian secara licik. Baiklah, Linghu Chong, kau boleh memimpin anak buahmu pulang ke Gunung Henshan. Satu bulan lagi aku pasti akan akan mendatangi kalian secara langsung. Apabila saat itu tiba, maka seorang pun tidak akan kuampuni. Kalau sampai di atas Gunung Henshan masih tersisa seekor ayam atau burung, anggap saja aku ini orang yang tidak becus!”
“Hidup Ketua Agung! Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya! Bunuh habis semua orang Perguruan Henshan. Bunuh pula semua ayam dan burung tanpa kecuali!” serentak orang-orang Partai Mentari dan Bulan bersorak riuh bergemuruh.
Dengan kekuatan dan kebesaran Partai Mentari dan Bulan saat ini, menyerbu Puncak Xianxing hanyalah persoalan mudah. Tidak peduli bagaimanapun persiapan dan pertahanan Perguruan Henshan kelak, semuanya pasti dapat dibasmi habis oleh partai besar tersebut.
Sejak dahulu kelima perguruan pedang telah bersatu membentuk Serikat Pedang Lima Gunung untuk menghadapi Partai Mentari dan Bulan yang disebut sebagai aliran sesat oleh mereka. Kelima perguruan selalu bahu-membahu dan saling membantu. Jika salah satu mendapat kesulitan, maka keempat perguruan yang lain segera memberi bantuan. Dalam seratus tahun terakhir ini permusuhan dengan Partai Mentari dan Bulan berjalan seimbang, tidak ada yang kalah juga tidak ada yang menang. Kini dari kelima perguruaan hanya tinggal Perguruan Henshan saja yang masih berdiri tegak, tentu saja sulit melawan kekuatan Partai Mentari dan Bulan. Mengenai hal ini jelas disadari oleh setiap murid Henshan.
Ancaman Ren Woxing hendak membabat habis orang-orang Henshan, bahkan seekor ayam pun tidak akan diampuni jelas bukan omong kosong belaka. Akan tetapi di dalam benak Ren Woxing sebenarnya ada maksud dan tujuan lain. Ia berpikir meskipun ilmu pedang Linghu Chong sangat lihai, namun seorang diri mana mungkin sanggup terus bertahan? Yang justru menjadi pertimbangan Ren Woxing sebenarnya adalah Perguruan Shaolin dan Wudang.
Menurut perhitungan Ren Woxing, setelah Linghu Chong pulang ke Henshan, tentu ia akan meminta bantuan kepada Shaolin dan Wudang. Kedua perguruan besar itu pasti akan mengirimkan jago-jago pilihan untuk membantunya. Dalam keadaan demikian Ren Woxing justru tidak langsung menyerang ke Henshan, melainkan secara mendadak ia berganti haluan menyerbu Wudang. Ia juga akan memasang tiga perangkap di antara jalur Gunung Shaoshi menuju Gunung Wudang.
Jarak antara kedua gunung tersebut hanya beberapa puluh kilo saja. Apabila Perguruan Wudang menderita kesulitan, tentu Biara Shaolin yang akan dimintai bantuan. Padahal saat itu sebagian jago pilihan dari Shaolin telah dikirim ke Henshan, maka sisanya pasti akan keluar semua untuk membantu Wudang. Dalam keadaan demikian pihak Partai Mentari dan Bulan akan memutar haluan untuk menyerbu Gunung Shaoshi lebih dulu dan membakar habis Biara Shaolin. Setelah itu perangkap yang telah dipasang di tengah jalan serentak dijalankan untuk memotong barisan musuh. Dengan digempur dari depan dan belakang, tentu para biarawan Shaolin yang hendak menolong Perguruan Wudang akan binasa seluruhnya.
Setelah itu barulah Gunung Wudang benar-benar dikepung, namun tidak langsung diserang. Ia sengaja menunggu jago-jago Shaolin dan Wudang yang sedang berkumpul di Henshan menerima berita buruk dan lekas-lekas berangkat ke Gunung Wudang. Perjalanan dari Henshan menuju Wudang menempuh jarak ribuan kilo dan tentu sangat melelahkan mereka. Dalam keadaan letih tersebut, mereka pun disergap oleh pihak partai di tengah jalan dan hasilnya pasti sangat memuaskan. Setelah para jago itu ditumpas, maka menyerang pusat Wudang dan Henshan bisa dikatakan hanyalah persoalan mudah.
Betapa tajam otak Ren Woxing yang penuh tipu muslihat ini sungguh jarang terdapat di dunia persilatan. Dalam sekejap saja ia sudah mengatur siasat cemerlang untuk menumpas Perguruan Shaolin dan Wudang, dua perguruan terbesar saat itu. Maka penolakan Linghu Chong terhadap tawarannya meskipun menimbulkan perasaan malu di hadapan anak buah sendiri ternyata ada manfaaatnya juga. Karena kejadian itulah Partai Mentari dan Bulan memiliki alasan untuk menyerang Henshan sekaligus menghancurkan Shaolin dan Wudang dalam waktu yang bersamaan. Dengan demikian semboyan “merajai dunia persilatan untuk selamanya” akan segera terwujud satu bulan yang akan datang.
(Bersambung)
Bagian 83 ; Bagian 84 ; Bagian 85