Bagian 61 - Upacara Pelantikan

Esok paginya ia berunding dengan Yiqing, Yu Sao, dan yang lain tentang bagaimana menyambut kedatangan abu jenazah Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi serta cara menuntut balas kematian ketiga biksuni sepuh itu.
Yiqing berkata, “Ketua menjadi ketua baru, hal ini harus diumumkan kepada sesama teman dunia persilatan. Juga harus mengirim utusan untuk memberi tahu Paman Zuo selaku ketua Serikat Pedang Lima Gunung.”
“Huh, justru keparat-keparat dari Songshan itulah yang mencelakai guru dan bibi kita. Untuk apa kita memberi tahu mereka segala?” gerutu Yihe gusar.
“Kita tidak boleh meninggalkan adat istiadat,” ujar Yiqing. “Bila kelak kita sudah menyelidiki dengan jelas, dan terbukti ketiga guru kita dicelakai oleh Perguruan Songshan, maka kita tentu bersama-sama di bawah pimpinan Ketua membuat perhitungan dengan mereka.”
“Ucapan Kakak Yiqing memang benar,” kata Linghu Chong. “Mengenai jabatan ketua ini, jelas pasti kuterima, untuk apa pakai adat resmi segala?” Ia masih ingat ketika dulu gurunya dilantik sebagai ketua Perguruan Huashan, upacara yang diselenggarakan sungguh sangat ramai. Kawan-kawan persilatan yang datang memberi selamat tak terhitung banyaknya. Ia juga teringat pada peristiwa Liu Zhengfeng ketika mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, waktu itu Kota Hengshan juga penuh dengan orang-orang persilatan. Sekarang dirinya diangkat menjadi ketua Perguruan Henshan, kalau yang datang memberi selamat hanya sedikit tentu berarti kehilangan muka, sebaliknya kalau yang datang terlalu banyak, tentu mereka bermaksud menertawakan dirinya sebagai seorang laki-laki diangkat menjadi ketua kaum biksuni.
Rupanya Yiqing paham perasaan Linghu Chong, “Kalau Ketua segan mengundang teman-teman dunia persilatan, maka kita tidak perlu mengundang mereka. Namun kita harus tetap memberi tahu mereka tentang hari peresmianmu sebagai ketua.”
Linghu Chong berpikir Perguruan Henshan adalah satu di antara Serikat Pedang Lima Gunung. Kalau upacara peresmian ketua baru dilaksanakan dengan terlalu sederhana rasanya akan merugikan pamor Perguruan Henshan sendiri. Maka, ia pun menerima saran Yiqing itu. Hanya saja, ia meminta agar Yiqing memilih satu hari baik dalam waktu yang tidak lama lagi.
Yiqing segera mengambil kitab primbon dan memelajarinya beberapa saat, kemudian berkata, “Tanggal 19 bulan kedua, tanggal 8 bulan ketiga, tanggal 27 bulan ketiga, adalah hari-hari yang membawa peruntungan. Ketua silakan memilih, tanggal berapa yang paling cocok.” Sebenarnya Linghu Chong tidak memercayai hari baik atau hari buruk. Menurutnya, makin cepat diresmikan tentu semakin sedikit pula tamu yang datang, sehingga keadaan yang memalukan dapat dihindari. Maka, ia pun berkata, “Apakah tidak ada hari yang baik di bulan ini?”
Yiqing menjawab, “Sebenarnya ada beberapa hari baik dalam bulan ini, namun lebih cocok untuk bepergian, membuka usaha, atau pernikahan. Namun hari yang baik untuk menerima lencana adalah tanggal enam belas bulan dua.”
Linghu Chong tersenyum, “Aku tidak akan menjadi pejabat pemerintahan, jadi tidak perlu menerima lencana.”
Yiqing menjawab, “Tapi bukankah sebelumnya kau pernah menjadi jenderal? Menjadi ketua perguruan juga perlu menerima lencana.”
Linghu Chong tidak mau berdebat lebih lama. Ia pun menjawab, “Baiklah, aku setuju tanggal enam belas bulan dua sebagai hari peresmianku.”
Setelah itu ia lantas membagi para murid untuk menjalankan tugas masing-masing. Antara lain ada yang dikirim ke Biara Shaolin untuk menjemput abu jenazah kedua biksuni sepuh, ada pula yang dikirim ke perguruan-perguruan lain untuk memberitahukan tanggal upacara peresmian dirinya sebagai ketua Perguruan Henshan. Kepada mereka ia berpesan, “Kalian kabarkan pada semua ketua perguruan yang kalian datangi bahwa untuk sementara ini kami belum memikirkan urusan balas dendam. Kami sedang berduka cita. Untuk itu, upacara peresmianku sebagai ketua juga akan dilangsungkan dengan cara yang sederhana. Katakan pada mereka, tidak perlu mengirimkan orang untuk menghadiri upacara kita.”
Setelah mengirimkan para murid itu, Linghu Chong berpikir, “Sebagai ketua Perguruan Henshan, seharusnya aku memahami ilmu pedang Henshan dengan lebih baik.” Maka ia pun mengumpulkan murid-murid untuk mengetahui ilmu pedang yang telah mereka pelajari, mulai dari tingkat dasar sampai yang paling tinggi. Yang memeragakan di hadapan Linghu Chong adalah dua murid tertua, yaitu Yiqing dan Yihe.
Linghu Chong dapat melihat bahwa ilmu pedang Perguruan Henshan memang bagus, tapi lebih mengutamakan pertahanan. Hanya pada saat-saat tertentu mendadak mereka mampu melancarkan serangan maut yang tidak terduga sebelumnya. Meskipun jurus serangan tersebut kurang bertenaga, namun memang itulah ilmu pedang yang cocok untuk kaum wanita.
Linghu Chong memaklumi, karena dari generasi ke generasi murid-murid Perguruan Henshan semuanya dari kaum wanita. Pantas saja jika jurus serangan mereka tidak sekuat serangan yang biasa digunakan kaum pria. Akan tetapi, jurus pertahanan Perguruan Henshan sangat bagus, hanya sedikit di bawah ilmu Pedang Taichi. Akan tetapi dibandingkan dengan ilmu pedang dari Perguruan Wudang tersebut, ilmu pedang Henshan lebih unggul dalam hal serangan mendadak yang tidak terduga-duga.
Teringat olehnya pada dinding gua di puncak Huashan dahulu terdapat ukiran-ukiran jurus pedang Henshan yang sangat bagus dan jauh lebih ampuh daripada ilmu pedang yang diperlihatkan Yiqing dan Yihe sekarang. Walaupun begitu jurus pedang yang bagus itu telah dipatahkan juga oleh lawan menurut ukiran pada dinding gua tersebut. Maka untuk perkembangan Perguruan Henshan di masa depan rasanya perlu diadakan perbaikan dasar-dasar ilmu pedangnya supaya lebih kuat.
Ia juga teringat kepada ilmu pedang Biksuni Dingjing ketika bertempur melawan musuh menjelang kematiannya dulu. Waktu itu jurus pedang dan tenaga dalam yang dipakai Dingjing jauh lebih hebat daripada Yihe atau lainnya. Bahkan, konon kabarnya tenaga dalam Biksuni Dingxian juga lebih hebat daripada kakak seperguruannya itu. Tampaknya kepandaian ketiga biksuni sepuh masih belum semuanya mereka wariskan kepada para murid. Kini ketiganya telah meninggal berturut-turut dalam waktu beberapa bulan saja. Tentu bermacam-macam ilmu silat Henshan yang bagus juga ikut punah.
Melihat Linghu Chong termangu-mangu tidak menanggapi permainan pedangnya, Yihe pun berkata, “Kakak Ketua, kepandaian kami tentu masih sangat hijau dan membuatmu memandang rendah kepada kami. Maka itu, kami mengharapkan petunjuk-petunjukmu yang berharga.”
Linghu Chong melangkah maju dan mengambil pedang dari tangan Yihe sambil berkata, “Aku punya satu jurus ilmu pedang Henshan, entah ketiga biksuni sepuh pernah mengajarkan ini kepada kalian atau belum?” Ia kemudian memainkan ilmu pedang yang pernah dilihatnya pada dinding gua dahulu itu.
Jurus pedang itu dimainkannya sangat lamban agar dapat diikuti dengan jelas oleh para murid. Setelah beberapa gerakan para murid bersorak memuji. Mereka melihat dasar-dasar ilmu pedang Henshan namun dikembangkan dengan berbagai perubahan yang aneh. Mereka tidak dapat mengukur entah jurus tersebut berapa kali lebih hebat daripada ilmu pedang yang telah mereka pelajari. Sungguh ilmu pedang tersebut telah membangkitkan semangat dan kebanggaan mereka. Sebenarnya ukiran-ukiran tersebut hanya benda mati, namun menjadi hidup berkat kepandaian Linghu Chong merangkai satu per satu. Selesai Linghu Chong memainkan pedangnya, serentak para murid menyembah ke hadapannya dengan penuh kekaguman.
Yihe berkata, “Kakak Ketua, ilmu pedang yang kau mainkan tadi jelas merupakan ilmu pedang Perguruan Henshan kita. Tapi mengapa selama ini kami belum pernah melihatnya? Mungkin saja ketiga biksuni sepuh juga belum mengetahuinya. Kalau boleh tahu, dari mana engkau memelajarinya?”
“Aku memelajarinya dari ukiran yang berada di suatu gua,” sahut Linghu Chong. “Jika kalian ingin belajar, aku bisa mengajarkannya pada kalian.”
Para murid sangat gembira. Beramai-ramai mereka mengucapkan terima kasih. Seharian itu Linghu Chong mengajarkan tiga jurus kepada mereka dengan memberikan penjelasan di mana letak kehebatan ketiga jurus tersebut, kemudian para murid disuruh berlatih sendiri.
Meski hanya tiga jurus, namun ternyata cukup luas dan dalam untuk dipahami. Sekalipun murid-murid terpandai seperti Yihe atau Yiqing butuh waktu tujuh sampai delapan hari untuk memahaminya, apalagi murid-murid muda seperti Zheng E, Qin Juan, dan lain-lain, tentu butuh waktu lebih lama lagi. Pada hari kesepuluh, Linghu Chong kembali mengajarkan dua jurus lanjutannya. Begitulah, meski ilmu pedang itu hanya terdiri dari beberapa jurus saja, tapi diperlukan waktu hampir sebulan barulah murid-murid Henshan itu dapat memelajarinya dengan baik.
Selama sebulan itu utusan-utusan yang dikirim ke berbagai perguruan berturut-turut sudah pulang ke Henshan. Semuanya kembali dengan memperlihatkan wajah suram. Sewaktu melapor kepada Linghu Chong juga tergagap-gagap seolah takut untuk menceritakan yang sebenarnya. Namun Linghu Chong juga tidak bertanya secara mendalam. Ia tahu para utusan tersebut tentu telah banyak mendapat cemooh dan ejekan, misalnya kaum biksuni muda mengangkat seorang laki-laki muda sebagai ketua atau bermacam-macam ejekan lainnya. Linghu Chong lantas menghibur mereka dengan kata-kata halus dan menyuruh mereka belajar ilmu pedang baru kepada teman-teman yang lain. Kalau kurang jelas mereka boleh bertanya langsung kepadanya.
Utusan yang dikirim ke Perguruan Huashan adalah Yu Sao dan Yiwen yang cukup berpengalaman. Jarak Huashan dan Henshan tidak terlalu jauh, seharusnya mereka dapat pulang lebih dulu daripada utusan yang lain. Tapi kenyatannnya, keduanya malah belum kembali sedangkan yang lain sudah tiba. Sementara itu tanggal 16 bulan dua juga sudah semakin dekat tapi Yu Sao dan Yiwen tetap belum juga pulang. Maka, Linghu Chong lantas mengirim lagi dua murid yang lain, yaitu Yiguang dan Yishi untuk menyusul ke Huashan.
Para murid Henshan menduga tamu yang akan datang pasti tidak banyak sehingga tidak menyiapkan tempat pondokan dan makanan. Mereka hanya sibuk menggosok lantai, mengapur dinding, dan melakukan pembersihan seperlunya. Masing-masing dari mereka juga membuat baju dan sepatu baru. Zheng E dan yang lain juga membuatkan satu setel jubah hitam untuk dipakai Linghu Chong pada hari upacara nanti.
Tanggal 16 bulan dua akhirnya tiba juga. Pagi-pagi sekali sewaktu bangun tidur, Linghu Chong melihat suasana puncak Xianxing di Gunung Henshan itu benar-benar meriah. Murid-murid Henshan ternyata sangat rajin mengatur perayaan yang akan dilangsungkan tersebut. Linghu Chong merasa terharu, “Kedua biksuni sepuh mengalami nasib malang karena diriku, namun murid-muridnya tidak menyalahkan aku. Mereka justru menghargai diriku sedemikian rupa. Kalau aku tidak dapat membalaskan sakit hati ketiga biksuni sepuh, percuma aku menjadi manusia.”
Tiba-tiba ia mendengar teriakan seseorang dari balik salah satu sisi gunung, “Lin-er, Lin-er, Ayah datang menjengukmu. Apa kau sehat-sehat saja? Lin-er, aku di sini.” Suara orang itu sangat keras dan menggelegar. Sebelum gema suaranya berakhir, ia sudah berteriak kembali, “Lin-er… Lin-er…”
Yilin yang mendengar panggilan itu segera muncul dan berseru, “Ayah, Ayah!”
Dari balik gunung muncul seorang biksu bertubuh tinggi besar. Ia tidak lain ayah dari Yilin, yaitu Biksu Bujie. Tampak pula seorang biksu yang lebih muda berdiri di belakangnya. Keduanya melangkah dengan cepat dan sekejap saja sudah tiba di depan bangunan biara.Biksu Bujie bersuara lantang, “Selamat, Tuan Muda Linghu! Kau tidak mati oleh lukamu yang sangat parah dulu, dan kini malah menjadi ketua perguruan tempat putriku berada. Bagus sekali, bagus sekali!”
Linghu Chong tersenyum, “Ini semua berkat Tuan Biksu.”
Yilin mendekati Biksu Bujie dan menarik lengan ayahnya itu dengan lembut, “Ayah ternyata mendengar hari ini Kakak Linghu dilantik menjadi ketua Perguruan Henshan. Apakah kau datang untuk memberi ucapan selamat kepadanya?”
Bujie tertawa, “Hahaha. Aku tidak datang untuk memberi selamat. Aku ke sini untuk bergabung dengan Perguruan Henshan. Kita sama-sama dari satu perguruan, untuk apa saling memberi selamat?”
Linghu Chong terkesiap dan bertanya, “Tuan Biksu hendak menjadi anggota Perguruan Henshan?”
Bujie menjawab, “Ya. Anakku anggota Perguruan Henshan. Aku adalah orang tuanya, dengan sendirinya, aku pun anggota Perguruan Henshan. Huh, aku mendengar orang-orang di luar sana mengolok-olok dirimu. Mereka berkata bahwa kau seorang laki-laki tapi suka memanfaatkan kesempatan menjadi pemimpin para biksuni dan nona-nona muda. Huh, mereka tahu apa? Mereka tidak tahu kalau kau seorang manusia berbudi luhur dan menjaga kebenaran.”
Wajahnya lantas berubah dari marah menjadi gembira, “Aku lalu memukul mulut orang itu sehingga beberapa giginya lepas. Aku juga berteriak kepadanya: ‘Kau ini tahu apa? Apa Henshan hanya untuk kaum biksuni saja? Aku berasal dari Perguruan Henshan, meski kepalaku gundul, lantas apa aku ini seorang biksuni? Jika kau tidak percaya, ini akan kubukakan celanaku.’ Aku lantas membuka celanaku, tapi orang itu ketakutan dan lari. Hahahaha.”
Linghu Chong dan Yilin ikut tertawa mendengarnya.
“Ayah sungguh kasar,” sahut Yilin. “Kau sama sekali tidak takut ditertawai orang lain.”
Bujie menjawab, “Kalau aku tidak menunjukkan dengan jelas, tentu dia tidak bisa membedakan mana biksu mana biksuni. Saudara Linghu, aku akan bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Bahkan, aku juga mengajak cucu muridku ikut serta. Nah, Bubujie, lekas kau beri salam kepada Ketua Linghu.”
Ketika Biksu Bujie bercerita tadi, biksu yang mengikuti di belakangnya hanya menunduk saja. Sama sekali ia tidak pernah menatap wajah Linghu Chong atau Yilin. Seolah-olah ia sedang menyembunyikan rasa malu yang begitu besar. Begitu Bujie memberi perintah, biksu tersebut langsung memandang Linghu Chong dengan senyuman tipis. Linghu Chong merasa mengenal wajah biksu tersebut namun entah siapa. Akhirnya, ia pun sangat terkejut begitu menyadari kalau biksu tersebut adalah Si Pengelana Tunggal Ribuan Li alias Tian Boguang. Dengan tergagap-gagap Linghu Chong berkata, “Kau… kau Saudara Tian?”
Biksu tersebut memang si maling cabul Tian Boguang. Ia tersenyum dan membungkuk hormat ke arah Yilin, “Salam… salam hormat, Guru.”
Yilin juga sangat terkejut. “Bagaimana… bagaimana kau bisa menjadi biksu? Apa kau sedang menyamar?”
Biksu Bujie menjawab dengan lagak angkuh, “Ini benar-benar nyata dan ia sama sekali tidak sedang menipu siapa-siapa. Ia benar-benar menjadi seorang biksu. Gelar kebudhaannya adalah Biksu Bubujie.”
Tian Boguang kembali tersenyum, “Guru, Kakek Guru memang memberiku nama Bubujie.”
Yilin bertanya, “Bubujie? Apa maksudnya?”
Ayahnya menjawab, “Namaku adalah Bujie, artinya ‘tanpa pantangan’. Sementara dia mantan penjahat cabul, jadi harus selalu mengekang diri. Maka itu, nama yang tepat untuknya adalah Bubujie, artinya ‘tidak tanpa pantangan’.”
Yilin manggut-manggut, “Jadi begitu. Lalu, bagaimana dia bisa menjadi seorang biksu? Apakah kau telah mangangkatnya sebagai murid?”
Bujie menjawab, “Tidak. Dia ini muridmu. Aku adalah kakek gurunya. Tapi kau hanya seorang biksuni kecil dan selamanya ia tidak pernah menghormatimu sebagai guru. Jika dia tidak menjadi biksu maka pasti akan merusak nama baik Perguruan Henshan. Oleh karena itu, dia menerima saranku untuk menjadi seorang biksu.”
Yilin tertawa mendengarnya, “Apa maksudmu dengan saran? Ayah pasti telah memaksanya menjadi biksu, bukan?”
Sang ayah menjawab, “Dia melakukannya dengan sukarela. Kita tidak baik memaksa seseorang menjadi biksu.”
Muka Yilin bersemu merah mendengar penuturan ayahnya. Tian Boguang ini memang seorang cabul yang entah kenapa bisa jatuh ke tangan Biksu Bujie. Memang sampai saat ini jiwanya masih selamat, namun berbagai macam penderitaan dan hukuman sudah ia rasakan. Kali ini pun ia seperti dipaksa menjadi seorang biksu.”
Biksu Bujie melanjutkan, “Gelarku adalah Bujie, karena aku tidak patuh terhadap semua pantangan. Sebaliknya, si Tian Boguang telah melakukan banyak kejahatan di dunia persilatan. Kalau dia masih suka melakukan pelanggaran, bagaimana dia bisa menjadi murid perguruanmu? Bagaimana pula dia bisa menjadi muridmu? Ketua Linghu tentu berpikiran sama. Kelak, dia akan menerima warisan mangkuk sedekahku. Maka itu, ia harus memakai nama yang mengandung unsur Bujie, yaitu Bubujie.”
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, “Biksu Bujie dan Biksu Bubujie telah bergabung dengan Perguruan Henshan. Kami Enam Dewa Lembah Persik juga akan bergabung dengan Henshan.” Ternyata yang berseru adalah Dewa Dahan Persik. Ia datang bersama kelima saudaranya.
Dewa Akar Persik berkata, “Kami yang lebih dulu datang ke sini bertemu Linghu Chong. Maka, kami berhak disebut sebagai saudara tua, sedangkan Biksu Bujie menjadi saudara muda.
Linghu Chong merenung, “Dengan bergabungnya Biksu Bujie dan Tian Boguang ke dalam Perguruan Henshan, maka tidak ada salahnya pula jika aku menerima Enam Dewa Lembah Persik. Sebaliknya, ini justru akan menghapus pembicaraan orang bahwa Linghu Chong adalah satu-satunya laki-laki di dalam kalangan biksuni.” Maka ia lantas berkata, “Enam Saudara Persik bersedia masuk Perguruan Henshan, ini sungguh berita menggembirakan. Tapi tidak penting menentukan siapa yang lebih tua di antara kalian dan Biksu Bujie.”
Dewa Daun Persik tiba-tiba berkata, “Murid Bujie Si Tanpa Pantangan bernama Bubujie, artinya Tidak Tanpa Pantangan. Kelak, jika Si Tidak Tanpa Pantangan punya murid, diberi gelar apa?”
Dewa Buah Persik menjawab, “Tentu saja harus memiliki unsur nama yang sama. Beri saja nama Tanpa Ragu Tidak Tanpa Pantangan.”
Dewa Ranting Persik berkata, “Lalu jika murid Si Tanpa Ragu Tidak Tanpa Pantangan memiliki murid, ia lantas diberi nama apa?”
Linghu Chong melihat Tian Boguang tampak bersedih, segera menggandeng tangannya dan mengajaknya pergi. “Ada yang ingin kutanyakan padamu.”
“Baik,” jawab Tian Boguang.
Keduanya melangkah menjauhi keenam kakek tua aneh yang masih berdebat persoalan tidak penting itu. Sayup-sayup terdengar Dewa Dahan Persik berkata, “Tentu saja namanya Tanpa Membantah Tanpa Ragu Tidak Tanpa Pantangan.”
Dewa Bunga Persik bertanya, “Lantas, kalau Si Tanpa Membantah Tanpa Ragu Tidak Tanpa Pantangan memiliki murid, diberi gelar apa?”
Tian Boguang tersenyum pahit dan berkata, “Ketua Linghu, hari itu aku datang menemui dirimu di puncak Huashan atas perintah Kakek Guru Bujie. Namun sebenarnya masih ada banyak cerita di balik itu semua.”
Linghu Chong berkata, “Aku tahu dia memaksamu menggunakan racun. Dia juga menipu dirimu dengan menggunakan totokan pada titik mematikan.”
“Benar, itu juga sudah kuceritakan padamu,” jawab Tian Boguang. “Waktu itu ketika kau terluka parah dan disembunyikan di Wisma Giok, aku bertarung melawan si pendek Yu Canghai. Aku khawatir para pendekar golongan lurus bersih akan semakin banyak yang berdatangan. Maka, aku memutuskan untuk meloloskan diri dari si cebol itu. Perjalananku akhirnya sampai ke Hunan. Sebenarnya aku malu untuk menceritakan apa yang terjadi hari-hari itu. Kelemahanku akhirnya ketahuan tidak lama setelahnya. Di wilayah Kaifeng, aku menyelinap ke dalam rumah seorang perempuan muda dari keluarga kaya. Ketika kusingkap kelambu di kamar tidurnya, dan kuraba ranjangnya, ternyata yang kutemukan adalah kepala gundul seseorang.”
Linghu Chong tertawa, “Hahaha. Tentu dia seorang biksuni. Kau takut dengan biksuni, bukan?”
Tian Boguang tersenyum hambar, “Kau salah. Dia seorang biksu.”
Linghu Chong tertawa semakin keras dan berkata, “Seorang wanita muda di dalam kamar bersama biksu? Aku sama sekali tidak pernah membayangkan seorang wanita terhormat memasukkan pria ke dalam kamarnya, apalagi memasukkan seorang biksu.”
Tian Boguang menggeleng, “Kau salah lagi. Biksu itu Kakek Guru. Sebenarnya Kakek Guru sedang memburuku. Dia akhirnya menemukan jejakku di daerah Kaifeng itu. Dia mengetahui rencanaku untuk menculik perempuan tersebut. Maka, ia mendahului pergi memberi tahu keluarganya, dan mendapat izin untuk bersembunyi di tempat tidur perempuan itu untuk menyergapku.”
Linghu Chong berkata, “Saudara Tian tentu sangat menderita waktu itu.”
Tian Boguang berkata, “Apa perlu diceritakan? Ketika aku meraba kepala Kakek Guru waktu itu, aku merasa ada yang tidak beres. Tiba-tiba perutku terasa sakit karena ia telah menotok titik nadi pentingku. Kakek Guru melompat dari ranjang dan menyalakan lampu. Ia bertanya apakah aku memilih hidup atau mati. Aku tahu dia pasti ingin memperalat diriku. Maka, aku pun menjawab: ‘Aku pilih mati.’ Kakek Guru merasa aneh.
Dia bertanya: ‘Kenapa kau pilih mati?’
Aku menjawab: ‘Aku kurang berhati-hati dan tertangkap olehmu. Kenapa aku masih berharap hidup?’
Kakek Guru memandangku hambar lalu berkata: ‘Kau bilang karena kurang berhati-hati lantas tertangkap olehku? Bagus sekali, bagus sekali!’ Ia kemudian membuka totokanku.
Aku duduk dan bertanya padanya: ‘Apa tujuanmu?’
Dia berkata: ‘Kau memiliki sebilah golok di pinggangmu. Kenapa tidak menggunakannya untuk menebas tubuhku? Kau juga punya kaki yang lincah. Kenapa tidak segera melompat keluar jendela untuk melarikan diri?’
Aku menjawab: ‘Aku ini seorang laki-laki sejati. Bagaimana aku bisa berbuat seperti pengecut?’
Dia hanya tertawa dan berkata: ‘Apa kau bukan seorang pengecut? Kau sudah berjanji untuk menjadi murid putriku, tapi kenapa kau masih mengingkarinya?’
Aku merasa heran dan bertanya: ‘Putrimu?’ Ia berkata: ‘Di loteng rumah makan, bukankah kau mengadakan perjanjian melawan seorang murid Perguruan Huashan? Kau berkata jika kalah bertarung melawannya, maka kau akan menjadi murid putriku? Aku telah menemui putriku di Henshan dan dia telah menceritakan semuanya padaku.’
Aku pun berkata: ‘Oh, jadi biksuni kecil itu putrimu? Sungguh aneh, sungguh aneh!’
Ia berkata: ‘Apanya yang aneh?’”
Linghu Chong tertawa, “Hahahaha, masalah ini memang sangat aneh. Orang lain menjadi biksu setelah punya anak. Tapi Biksu Bujie punya anak setelah menjadi biksu. Nama gelarnya berarti Tanpa Pantangan. Ia memang benar-benar tidak peduli dengan pantangan.”
Tian Boguang berkata, “Kau benar. Saat itu aku berkata: ‘Perjanjian itu hanya akal-akalan. Untuk apa aku menganggapnya sungguhan? Kau benar, aku memang kalah bertaruh. Oleh karena itu aku tidak akan mengganggu putrimu lagi.’
Kakek Guru berkata: ‘Kau tidak akan mengganggu putriku? Malah sebaliknya, aku ingin kau menjadi murid putriku. Kau harus menghormatinya sebagai guru. Aku tidak akan membiarkan seorang pun melecehkan putriku. Aku menghabiskan banyak waktu untuk mencari dirimu. Jika tidak memanfaatkan niat jahatmu kepada perempuan yang tinggal di kamar ini, tentu akan sulit menangkapmu seperti ini.’
Aku melihatnya sedang lengah, maka segera kukerahkan Jurus Tiga Langkah Bayangan untuk melarikan diri. Aku yakin dengan kemampuanku meringankan tubuh, dia tentu tidak mampu menangkapku lagi. Namun ternyata ia mampu menyusulku. Aku pun berteriak: ‘Biksu besar, jika kau masih mengejarku, maka aku akan bertindak lebih kejam lagi.’ Aku lantas mencabut golok dan berbalik menebas ke arahnya. Tak disangka, ilmu silat Kakek Guru sangat tinggi. Dengan tangan kosong ia mampu melayani jurus-jurusku yang sangat cepat. Aku tidak bisa menandingi kecepatannya. Bahkan setelah empat puluh jurus, ia dapat menangkap leherku dan membuang golokku jauh-jauh.
Ia lantas berkata kepadaku: ‘Apa kau menyerah?’
Aku berkata: ‘Kau sudah menang. Silakan bunuh saja!’
Ia berkata: ‘Untuk apa aku membunuhmu? Apa itu bisa membuat putriku hidup kembali?’
Aku terkejut dan bertanya: ‘Apakah biksuni kecil telah mati?’
Ia menjawab: ‘Putriku belum mati. Tapi kelakuannya seperti orang mati. Sewaktu menemuinya di Gunung Henshan, ia tampak begitu kurus dan tidak bersemangat. Aku menangis melihat keadaannya. Dan ia pun menceritakan semua yang telah menimpa dirinya. Ini semua karena perbuatanmu.’
Aku pun berkata: ‘Jika mau membunuhku, bunuh saja. Tian Boguang seorang laki-laki jujur dan pantang berbohong. Aku memang yang pertama kali menangkapnya. Tapi dia kemudian ditolong oleh murid Huashan bernama Linghu Chong. Aku tidak pernah menjamahnya. Putrimu masih suci bagaikan permata.’
Kakek Guru berkata: ‘Nenekmu, apa maksudmu dengan mengatakan putriku masih suci? Dia kurus karena sakit rindu. Jika Linghu Chong tidak mengambilnya sebagai istri, maka ia bisa bunuh diri. Ketika aku mengatakan padanya akan membawa pemuda itu, dia malah memaki diriku. Katanya seorang biksuni tidak pantas menyimpan hasrat terpendam. Jika tidak, Sang Buddha tidak akan menerima dirinya, dan akan menempatkan dirinya kelak di dasar neraka.’
Tiba-tiba ia mencekik leherku dan mengancam: ‘Bocah sial, ini semua karena ulahmu. Jika kau tidak menculiknya, maka ia tidak akan kenal dengan Linghu Chong. Dengan demikian putriku tidak akan menjadi kurus.’
Aku berkata: ‘Tidak juga. Putrimu cantik seperti bidadari. Meskipun aku tidak menculiknya, tetap saja suatu hari Linghu Chong akan datang untuk melamarnya.’”
Linghu Chong kesal dan berkata, “Saudara Tian jangan melantur lagi!”
Tian Boguang tertawa menjawab, “Maaf jika aku membuatmu tersenggung. Saat itu keadaanku serbasulit. Jika aku tidak berkata demikian, Kakek Guru tentu tidak akan melepaskanku. Benar juga, mendengar ucapanku itu ia menjadi senang. Ia berkata: ‘Bocah sial, coba kau pikir berapa banyak dosa yang kau perbuat selama hidupmu? Andai saja bukan karena menculik putriku, sejak dulu aku sudah memenggal kepalamu.’”
Linghu Chong merasa aneh. Ia pun bertanya, “Kenapa dia malah senang kau menculik putrinya?”
Tian Boguang menjawab, “Dia bukan senang, dia hanya memuji kosong saja.”
Linghu Chong tidak dapat menahan senyum. Tian Boguang melanjutkan, “Kakek Guru mengangkat tubuhku ke atas dengan tanan kiri dan memukuli telingaku dengan tangan kanan sebanyak tujuh belas atau delapan belas kali. Aku sampai pingsan dibuatnya. Ia lalu merendam tubuhku dalam selokan. Ketika aku bangun, ia berkata: ‘Kuberi kau kesempatan satu bulan untuk membawa Linghu Chong ke Gunung Henshan menemui putriku. Meskipun ia tidak menikahi putriku, tapi paling tidak mereka bisa saling berbicara. Nyawa putriku bisa terselamatkan. Gurumu sedang dalam masalah, tapi kenapa kau tidak datang membantu sebagai murid yang baik?’
Ia kemudian menotok beberapa titik nadiku, yang menurutnya adalah titik-titik kematian. Kemudian, ia memaksaku minum racun. Jika dalam sebulan aku bisa membawamu menemui si biksuni kecil, maka ia akan memberiku penawarnya. Tapi bila aku gagal, racun itu akan bekerja dan tidak seorang pun bisa menolongku.”
Linghu Chong mengangguk-angguk paham. Waktu itu ketika Tian Boguang datang ke puncak Huashan, ia tampak menyimpan suatu rahasia dan tidak mau berkata terus terang. Linghu Chong tidak mengira ia akan menceritakan semuanya hari ini.
Tian Boguang melanjutkan, “Aku naik ke Huashan untuk mengajakmu pergi, namun aku kalah bertanding melawanmu. Saat itu aku merasa ajalku segera tiba. Tidak kusangka, Kakek Guru merasa tidak enak hati dan ia datang sendiri ke Huashan bersama biksuni kecil untuk mencarimu. Seperti yang kau tahu, ia memberikan obat penawar kepadaku. Aku juga selalu melaksanakan pesanmu yaitu tidak boleh memerkosa wanita baik-baik lagi. Dasar sifatku yang suka main perempuan, maka begitu punya uang aku segera mencari pelacur. Ini tidak sulit. Setengah bulan yang lalu, Kakek Guru menemukanku lagi. Ia berkata bahwa dirimu telah diangkat sebagai ketua Perguruan Henshan, namun banyak mendapat cemoohan serta hinaan di dunia persilatan. Nama baikmu jadi tercemar. Kakek Guru sangat menyayangi putrinya, menyayangi calon menantunya….”
Linghu Chong menyela, “Saudara Tian, jangan bicara omong kosong lagi!”
Tian Boguang menjawab, “Ya, ya. Aku hanya mengulangi perkataan Kakek Guru. Dia bilang ingin bergabung dengan Perguruan Henshan dan menyuruhku mengikuti rencananya. Langkah pertama adalah menerimaku sebagai murid putrinya. Aku menolak sehingga dia pun memukulku. Tentu saja aku bukan tandingannya. Lari juga tidak bisa sehingga mau tidak mau aku terpaksa mengakui biksuni kecil sebagai guruku, dan dia sebagai kakek guru.”
Linghu Chong berkata, “Kau hanya perlu menghormat kepada gurumu. Kenapa harus menjadi biksu segala? Bukankah Biara Shaolin juga memiliki murid dari golongan bukan biksu?”
Tian Boguang menggeleng dan menjawab, “Kakek Guru memiliki pemikiran lain. Ia berkata: ‘Kau adalah lelaki bejat. Sekali kau memasuki Perguruan Henshan, tentu bibi-bibi gurumu berada dalam bahaya. Mereka adalah biksuni-biksuni cantik. Langkah yang paling tepat adalah memotong akar permasalahannya.’ Ia kemudian memukulku sampai jatuh, melepas celanaku, merebut golokku, dan memotong kemaluanku.”
“Hah,” seru Linghu Chong terkejut, sampai menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun ia menganggap hal itu terlalu kejam, namun ia juga sadar kalau Tian Boguang sendiri sudah terlalu banyak memerkosa wanita-wanita dari keluarga baik-baik. Jadi menurutnya, ini merupakan balasan yang setimpal.
Tian Boguang juga menggeleng, lalu melanjutkan, “Aku langsung pingsan dibuatnya. Ketika sadar, Kakek Guru sudah menaburkan obat dan membungkus lukaku. Ia berkata beberapa hari lagi lukaku akan sembuh. Ia kemudian memaksaku menggunduli rambut dan menjadi biksu. Kakek Guru berkata: ‘Mulai saat ini kau tidak bisa lagi memerkosa perempuan. Sebenarnya kau tidak harus menjadi biksu. Tapi aku menyuruhmu menjadi bisku dengan gelar Bubujie supaya semua orang mengetahuinya, dan dengan demikian kehormatan Perguruan Henshan bisa tetap terjaga. Umumnya, laki-laki tidak sepantasnya bergabung dalam kalangan kaum biksuni. Namun untuk seorang biksu bergelar Bubujie rasanya tidak ada masalah.’”
Linghu Chong tersenyum berkata, “Kakek Gurumu memang pintar.”
Tian Boguang menjawab, “Kakek Guru menyuruhku menceritakan ini semua kepadamu. Ia juga menyuruhku untuk memintamu supaya tidak menyalahkan guruku.”
Merasa bingung, Linghu Chong bertanya, “Kenapa aku harus menyalahkan gurumu? Ia tidak tahu apa-apa soal ini.”
Tian Boguang menjawab, “Kakek Guru berkata, tiap kali melihat guruku, ia merasa prihatin. Guru semakin hari semakin kurus. Jika Kakek Guru bertanya, guruku langsung meneteskan air mata dan tidak menjawab apa-apa. Kakek Guru berkata: ‘Ini semua gara-gara dia yang telah memarahi putriku.’”
Linghu Chong tersentak dan menjawab, “Bukan aku! Aku tidak pernah memarahi gurumu. Ia sangat baik hati, bagaimana aku tega memakinya?’”
Tian Boguang bertanya, “Kalau kau memang tidak pernah memakinya, lalu kenapa ia menangis?”
“Aku tidak tahu.”
“Kakek Guru memukulku saat menanyai diriku soal ini.”
Linghu Chong menggaruk kepala memikirkan ucapan Biksu Bujie yang kusut seperti obrolan Enam Dewa Lembah Persik itu.
Tian Boguang berkata, “Menurut Kakek Guru, setelah Beliau menikah dengan Nenek Guru, sepanjang waktu mereka selalu berselisih. Namun caci maki mereka justru memupuk rasa cinta di antara keduanya. Kau tidak pernah memaki guruku, itu berarti kau tidak akan menikah dengannya.”
“Ini… gurumu seorang biksuni. Aku tidak pernah memikirkan soal itu.”
“Aku juga bilang begitu, tapi Kakek Guru marah dan kembali memukulku beberapa kali. Beliau berkata, nenek guruku semula juga seorang biksuni, dan ketika Beliau ingin menikahinya, Beliau pun menjadi biksu. Jika seorang biksuni dan biksu tidak boleh menikah, bagaimana guruku bisa lahir ke dunia ini? Dan jika guruku tidak ada, lantas bagaimana aku bisa berada di dunia ini?”
Linghu Chong tidak habis pikir mendengar ucapan Tian Boguang yang aneh itu. Padahal, sudah jelas-jelas Tian Boguang jauh lebih tua daripada Yilin. Terdengar Tian Boguang melanjutkan, “Kakek Guru berkata, jika kau tidak menikahi guruku, lalu apa yang akan kau kerjakan selama menjadi ketua Perguruan Henshan? Murid-murid Henshan sebanyak itu tak seorang pun yang bisa menandingi kecantikan guruku. Jika kau tidak menikahi guruku, lantas biksuni mana yang akan kau nikahi?”
Diam-diam Linghu Chong merasa kasihan dan tidak menanggapi urusan ini lebih jauh. Ia berpikir, “Biksu Bujie menjadi biksu agar bisa menikahi seorang biksuni. Ia lantas berpikir semua laki-laki akan berbuat sama seperti dirinya. Ini bisa menjadi masalah besar.”
Tian Boguang tersenyum pahit. “Kakek Guru bertanya padaku, apakah guruku wanita tercantik di dunia. Aku pun menjawab: ‘Tentu saja. Meskipun Guru bukan wanita tercantik, tapi ia adalah wanita yang sangat cantik.’ Kakek Guru marah mendengarnya dan memukulku lagi sampai dua gigiku lepas. Beliau berkata: ‘Kenapa putriku bukan wanita tercantik? Kalau dia memang bukan wanita tercantik, kenapa kau dulu menculik hendak memerkosanya?’ Aku pun menjawab: ‘Tentu saja… tentu saja Guru adalah wanita tercantik di dunia.’ Mendengar itu Guru menjadi senang dan memuji ketajaman penglihatanku.”
Linghu Chong tersenyum. “Adik Yilin memang cantik. Tentu saja Biksu Bujie sangat bangga kepadanya.”
Tian Boguang berkata gembira, “Kau setuju kalau guruku cantik? Bagus kalau begitu.”
Linghu Chong terkejut. “Bagus apa maksudmu?”
“Kakek Guru menyuruhku memanggilmu… memanggilmu….”
“Memanggilku apa?” sahut Linghu Chong penasaran.
Tian Boguang tersenyum. “Memanggilmu Bapak Guru.”
Linghu Chong merasa heran. Ia berkata, “Saudara Tian, Biksu Bujie memang sangat menyayangi putrinya. Tapi engkau seharusnya paham hal ini mustahil dilakukan.”
“Memang benar,” jawab Tian Boguang. “Aku menyampaikan kepada Kakek Guru bahwa hal ini sangat berat dan tidak mungkin terjadi. Aku katakan kepada Beliau bahwa engkau memimpin ribuan orang persilatan demi keselamatan Nona Ren dari Partai Mentari dan Bulan. Aku juga berkata: ‘Meskipun kecantikan Nona Ren tidak melebihi guruku, tapi Pendekar Linghu sudah ditakdirkan berjodoh dengannya. Ia tergila-gila kepada Putri Suci, dan orang lain tidak ada yang berani mencampuri urusannya.’ Waktu itu aku terpaksa berkata demikian. Aku takut tangannya kembali merontokkan dua gigiku. Tolong jangan marah padaku!”
Linghu Chong tersenyum berkata, “Tentu saja aku mengerti.”
Tian Boguang melanjutkan, “Kakek Guru lalu berkata bahwa Beliau mengetahui hal ini. Menurut Beliau, masalahnya cukup sederhana, yaitu bagaimana memikirkan cara untuk membunuh Nona Ren, itu saja. Aku langsung melarangnya karena jika Nona Ren terbunuh, maka Linghu Chong pasti akan bunuh diri. Kakek Guru berkata: ‘Apa yang kau katakan benar juga. Jika si bocah Linghu Chong mati, maka putriku akan menjadi janda, ini sama saja dengan nasib buruk. Bagaimana ini? Begini saja, katakan kepada Linghu Chong supaya tetap menikahi putriku dan menjadikannya istri kedua. Ini tentu lebih baik.’ – Aku berkata: ‘Kakek Guru, bagaimana kau bisa menyalahi putrimu sendiri seperti itu? – Ia menghela napas dan berkata: ‘Kau tidak tahu rupanya. Jika putriku tidak bisa menikah dengan Linghu Chong, cepat atau lambat ia tidak akan berumur panjang.’ – Berkata demikian, Beliau lantas meneteskan air mata. Aih, mereka ayah dan anak sungguh orang-orang yang polos. Sama sekali tidak bisa berbohong.”
Linghu Chong dan Tian Boguang saling pandang dan masing-masing merasa rikuh. Tian Boguang berkata, “Pendekar Linghu, aku telah mengatakan kepadamu semua hal yang dipesankan kakek guruku. Aku tahu beberapa di antaranya sulit untuk dilakukan, bahkan terkesan tabu, terutama sejak kau menjadi ketua Perguruan Henshan. Tapi aku menyarankan kepadamu supaya mengajak bicara lebih banyak kepada guruku. Buat ia bahagia.”
Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Baiklah.”
Yilin memang terlihat semakin kurus dan kurus. Baru sekarang ia tahu kalau Yilin menderita sakit asmara. Cinta gadis itu kepadanya begitu dalam, bagaimana ia tidak menyadarinya? Namun, Yilin seorang biksuni dan juga masih sangat muda belia. Linghu Chong berharap perasaan gadis itu kepadanya suatu hari nanti akan berkurang dan akhirnya musnah. Sejak bertemu di Pegunungan Xianxing, mulai dari Fujian sampai Jiangxi, sama sekali mereka berdua belum pernah bicara berdua. Selama berada di Perguruan Henshan, Linghu Chong selalu menghindari Yilin supaya tidak menimbulkan kecurigaan di antara murid-murid yang lain. Memang, ia tidak peduli dengan nama baiknya sendiri yang sudah tercemar. Yang ia jaga hanyalah nama baik Perguruan Henshan. Bahkan, ketika mengajarkan jurus pedang kepada murid-murid Henshan, ia sama sekali tidak pernah mengajak Yilin bicara. Kini apa yang disampaikan Tian Boguang benar-benar membuat hatinya terkejut.
Linghu Chong melamun memandang ke atas puncak gunung yang terselimuti salju putih itu. Tiba-tiba terdengar suara ramai rombongan banyak orang berjalan menuju puncak gunung. Hal ini sungguh aneh karena puncak tersebut biasanya tenang dan sunyi, selamanya tidak pernah terdengar suara ribut demikian. Ia merasa heran mengapa tiba-tiba datang ratusan orang menuju ke situ.
Tidak lama kemudian terdengar suara orang yang paling depan berteriak, “Terimalah ucapan selamat dari kami, Tuan Muda Linghu! Hari ini adalah hari bahagiamu!” Orang itu berbadan pendek juga gemuk, siapa lagi kalau bukan Lao Touzi. Di belakangnya tampak ikut pula Ji Wushi, Zu Qianqiu, Huang Boliu, Sima Besar, Lan Fenghuang, You Xun, Sepasang Beruang dari Gurun Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Sama sekali Linghu Chong tidak menduga kalau mereka semua akan datang.
Linghu Chong terkejut bercampur senang. Segera ia melangkah maju sambil berkata, “Aku menerima wasiat terakhir Biksuni Dingxian dan terpaksa mengetuai Perguruan Henshan. Sungguh, aku tidak berani merepotkan kawan-kawan semua. Mengapa kalian malah datang ke sini?”
Lao Touzi dan rombongannya ini pernah mengikuti Linghu Chong menyerang Biara Shaolin. Setelah mengalami pertempuran hidup dan mati di biara tersebut kini di antara mereka sudah terjalin persahabatan yang kekal. Mereka lantas beramai-ramai melangkah maju dan mengerumuni Linghu Chong sambil mengelu-elukan pemuda itu.
“Semua orang senang mendengar Tuan Muda Linghu telah berhasil menyelamatkan Putri Suci,” ujar Lao Touzi. “Tentang Tuan Muda akan menjabat sebagai ketua Perguruan Henshan, hal ini sudah tersiar di dunia persilatan. Maka itu, kami datang ke sini untuk mengucapkan selamat kepadamu.” Orang-orang ini memang lugas dan suka berterus terang. Sejenak kemudaian terdengar suara gelak tawa di antara rombongan besar itu.
Sejak tiba di Gunung Henshan, setiap hari Linghu Chong hanya bersama para biksuni dan perempuan-perempuan muda, tentu ia tidak berani mengumbar kata-kata kasar di hadapan mereka. Kini, tiba-tiba datang sekian banyak kawan mengerumuninya, sudah pasti hal ini membuat hatinya sangat senang. Terdengar Huang Boliu berkata, “Kami adalah tamu-tamu tak diundang, maka Perguruan Henshan tidak perlu bersusah payah menyediakan hidangan bagi orang-orang kasar seperti kami ini. Untuk urusan makanan dan arak kami telah membawa sendiri. Sebentar lagi juga datang.”
“Wah, bagus sekali!” seru Linghu Chong gembira. Ia berpikir suasana demikian ini mirip sekali dengan pertemuan besar di Bukit Lima Raja Kejam dahulu. Tak lama kemudian kembali beberapa ratus orang datang membanjir ke atas gunung.
“Tuan Muda Linghu,” kata Ji Wushi sambil tersenyum, “kita ini seperti keluarga, maka murid-murid perguruanmu tidak perlu melayani orang-orang kasar seperti kami dengan penuh tata krama. Biarlah kita pakai acara bebas saja. Kami akan melayani diri kami sendiri.”
Suasana di puncak gunung tersebut seketika menjadi ramai. Pihak Perguruan Henshan sangat terkejut karena tidak menduga akan kedatangan sekian banyak tamu yang berniat memberi selamat. Murid-murid yang berpengalaman ternyata mengenal orang-orang yang baru datang itu. Meskipun orang-orang itu banyak yang dikenal sebagai pendekar ternama, namun mereka berasal dari golongan hitam. Sebagian dari orang-orang itu berasal dari kaum penjahat pula. Peraturan Perguruan Henshan melarang murid-muridnya berdekatan apalagi bergaul dengan golongan hitam. Tidak disangka, orang-orang itu justru datang ke puncak Henshan untuk memberi selamat, sementara Linghu Chong menyambut mereka dengan sangat ramah.
Siang harinya, muncul beberapa laki-laki membawa ayam, itik, kambing, kerbau, sayur-mayur, beras, dan juga arak. Rupanya ini adalah rombongan pembawa bekal seperti yang dikatakan Huang Boliu tadi. Linghu Chong berpikir, “Puncak Henshan ini adalah tempat keramat untuk memuja Dewi Guanyin. Aku adalah ketua di sini, tapi lantas menyembelih dan menyantap daging kambing atau kerbau, rasanya terlalu mencolok dan tidak enak terhadap leluhur Perguruan Henshan.” Segera ia pun memerintahkan rombongan tukang masak itu memindah dapur mereka ke sisi gunung yang agak jauh. Meskipun demikian, tetap saja asap dan bau daging tercium juga ke puncak membuat para biksuni saling mengerutkan kening.
Setelah makan siang, para tamu duduk memenuhi pelataran di depan biara induk. Linghu Chong sendiri duduk di ujung barat sementara para murid Henshan berdiri di belakangnya menurut tingkatan masing-masing. Suasana hening menunggu datangnya waktu baik yang telah ditentukan.
Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang meniup seruling semakin dekat dan semakin dekat. Tampak dua orang tua berjubah hijau muncul diiringi banyak pengikut. Para tamu terkejut melihat kedatangan orang-orang itu dan banyak di antaranya yang langsung berdiri.
Salah satu orang tua yang memimpin rombongan itu berseru, “Ketua Dongfang dari Partai Mentari dan Bulan mengutus kami berdua, Jia Bu dan Shangguan Yun, untuk memberi selamat kepada Pendekar Linghu yang hari ini dilantik menjadi ketua Perguruan Henshan. Semoga Perguruan Henshan berkembang lebih jaya dan berwibawa, serta nama besar Pendekar Linghu lebih gemilang di dunia persilatan.”
Mendengar ucapan tersebut, semua orang berseru gempar. Hampir setengah dari orang-orang persilatan yang hadir di situ memiliki hubungan dengan aliran sesat, dan banyak pula di antara mereka telah menelan Tiga Pil Penghancur Otak pemberian Dongfang Bubai. Maka begitu mendengar nama “Ketua Dongfang” disebut, mereka menjadi sangat ketakutan.
Para hadirin tidak mengenal kedua utusan Dongfang Bubai itu, namun nama besar keduanya sudah lama mereka dengar. Yang berdiri di sebelah kiri, yaitu yang bicara tadi, bernama Jia Bu, bergelar Si Orang Agung Muka Kuning. Sementara itu yang berdiri di sebelah kanan bernama Shangguan Yun, bergelar Si Pendekar Rajawali. Ilmu silat mereka terkenal tinggi dan jauh di atas rata-rata tokoh-tokoh persilatan sebangsa ketua partai, misalnya Huang Boliu. Kesetiaan dan kesaktian kedua tokoh tersebut sangat mengagumkan. Kedudukan mereka mencapai puncak setelah Partai Mentari dan Bulan mengalami perubahan besar beberapa tahun yang lalu. Waktu itu para tokoh sepuh seperti Xiang Wentian telah diganti kedudukannya dan ada pula yang mengasingkan diri.
Saat ini, kedudukan Jia Bu dan Shangguan Yun hanya setingkat di bawah ketua. Mereka berdua bagaikan tangan kanan dan kiri Dongfang Bubai. Ini menunjukkan, Dongfang Bubai sangat menghargai pelantikan Linghu Chong sebagai ketua Perguruan Henshan.
Linghu Chong lantas melangkah ke depan dan berkata, “Selama ini saya dan Ketua Dongfang tidak saling kenal. Maka itu, saya tidak berani menerima penghormatan dari Tuan-tuan berdua.” Dilihatnya wajah Jia Bu kurus dan kuning seperti lilin, dengan tulang pelipis yang menonjol. Sementara itu Shangguan Yun memiliki lengan dan kaki yang panjang, serta rasa percaya diri yang sangat tinggi. Matanya tampak tajam berkilat-kilat. Linghu Chong dapat merasakan kedua utusan Dongfang Bubai ini pasti memiliki tenaga dalam yang sangat bagus.
Jia Bu lantas berkata, “Hari ini adalah hari bahagia Pendekar Linghu. Sebenarnya Ketua Dongfang bermaksud datang sendiri untuk memberi selamat secara pribadi. Namun Beliau sedang sibuk menghadapi bermacam-macam pekerjaan sehingga sukar berada di dua tempat sekaligus. Untuk ini, mohon Pendekar Linghu sudi memberi maaf.”
“Ah, aku tidak berani,” sahut Linghu Chong. Mendengar ucapan dan sikap kedua utusan itu, dalam hati ia berpikir tentu Ren Woxing belum berhasil merebut kedudukannya kembali. Ia berharap Ren Woxing, Ren Yingying, dan Xiang Wentian dalam keadaan baik-baik saja.
Sementara itu Jia Bu tampak memiringkan tubuhnya dan menggerakkan tangan kiri ke belakang sambil berkata, “Sedikit oleh-oleh ini adalah pemberian Ketua Dongfang. Mohon Ketua Linghu sudi menerimanya.” Tidak lama kemudian terlihat ratusan orang menggotong empat puluh peti berukuran besar ke depan. Setiap peti digotong oleh empat laki-laki kekar. Melihat para penggotong itu melangkah dengan berat, dapat dibayangkan isi peti tersebut tentu tidaklah ringan.
Dengan cepat Linghu Chong menolak, “Linghu Chong sudah mendapat suatu kehormatan besar atas kunjungan Tuan-tuan berdua yang mulia. Saya tidak berani menerima hadiah-hadiah ini. Harap disampaikan kepada Ketua Dongfang bahwa saya mengucapkan banyak terima kasih. Lagipula, murid-murid Perguruan Henshan hidup sederhana sehingga tidak terbiasa dengan barang-barang semewah dan sebanyak ini.”
“Jika Ketua Linghu tidak sudi menerima, maka saya dan Saudara Shangguan berada dalam masalah,” ujar Jia Bu. Ia lalu berpaling kepada Shangguan Yun dan bertanya, “Betul tidak perkataanku, Saudara Shangguan?”
“Betul!” jawab Shangguan Yun.
Linghu Chong menjadi serbasalah menghadapi persoalan ini. Dalam hati ia berpikir, “Perguruan Henshan adalah aliran lurus bersih yang tidak bisa hidup berdampingan dengan aliran sesat. Apalagi Ketua Ren dan Yingying hendak menyerbu dan membuat perhitungan dengan Dongfang Bubai. Jadi, mana boleh aku menerima sumbangan mereka?” Maka ia lantas berkata, “Saudara Jia harap menyampaikan kepada Tuan Dongfang bahwa hadiahnya ini sama sekali saya tidak berani menerima. Bila kalian tidak mau membawa pulang barang-barang ini, terpaksa saya menyuruh orang untuk mengantar ke sana.”
Jia Bu tersenyum menjawab, “Apakah Ketua Linghu mengetahui apa isi keempat puluh peti besar ini?”
“Sudah tentu tidak tahu,” sahut Linghu Chong.
“Bila Ketua Linghu sudah melihat isinya tentu takkan menolak lagi,” ujar Jia Bu dengan tertawa. “Sesungguhnya isi keempat puluh peti itu juga tidak seluruhnya sumbangan Ketua Dongfang. Justru sebagian adalah milik Ketua Linghu sendiri. Bisa dikatakan kami ini datang untuk mengembalikan barang kepada pemiliknya.”
Linghu Chong menjadi heran. “Apa maksudmu? Kau bilang barang-barang milikku? Barang apakah itu?”
Jia Bu maju selangkah dan berkata lirih, “Sebagian besar di antaranya adalah pakaian, perhiasan, dan barang-barang keperluan sehari-hari yang ditinggalkan Nona Ren di Bukit Kayu Hitam. Ketua Dongfang menyuruh kami mengantarkannya ke sini agar bisa dipakai oleh Nona Ren. Sebagian lagi di antaranya adalah hadiah Ketua Dongfang kepada Ketua Linghu dan Nona Ren. Ini sama sekali tidak ada maksud jahat dari kami, oleh sebab itu harap Ketua Linghu jangan segan-segan lagi untuk menerimanya. Hahaha!”
Watak Linghu Chong pada dasarnya terbuka dan tidak suka banyak pikiran. Melihat maksud sumbangan Dongfang Bubai itu memang sungguh-sungguh, apalagi sebagian barang-barang tersebut adalah milik Ren Yingying, maka ia pun tidak menolak lagi. Sambil bergelak tawa ia berkata, “Hahaha, baiklah. Dalam hal ini aku menerima hadiah dari Ketua Dongfang. Terima kasih banyak.”
Pada saat itulah seorang murid perempuan datang mendekat dan melapor, “Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang datang sendiri untuk memberi selamat.”
Linghu Chong terkejut dan segera memburu keluar biara untuk menyambut. Dilihatnya Pendeta Chongxu datang bersama delapan muridnya. Linghu Chong membungkuk untuk memberi hormat lalu menyapa, “Atas kunjungan Pendeta ini, Linghu Chong merasa sangat berterima kasih.”
“Adik Linghu diangkat sebagai ketua Perguruan Henshan, berita ini sungguh membuat hatiku gembira,” sahut Pendeta Chongxu. “Kabarnya Biksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng juga akan datang dari Biara Shaolin untuk memberi selamat. Entah mereka berdua sudah tiba atau belum?”
Kontan Linghu Chong bertambah terkejut. Ia menyahut, “Wah, ini… ini….”
Pada saat itulah di jalan pegunungan tampak muncul serombongan biksu. Dua orang yang paling depan jelas Biksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng.
“Pendeta Chongxu, langkahmu sungguh cepat sehingga mendahului kami di sini,” seru Fangzheng dari jauh.
Linghu Chong segera bergegas menuruni jalan menyongsong ke depan dan berseru, “Kedua Biksu Agung datang secara pribadi ke sini, sungguh Linghu Chong merasa tidak pantas menerima kehormatan besar ini.”
Dengan tertawa Fangzheng menjawab, “Pendekar Linghu, kau sendiri sudah tiga kali berkunjung ke Biara Shaolin, sementara kami baru berkunjung sekali ini ke Gunung Henshan. Anggap saja ini hanya sekadar kunjungan balasan saja.”
Linghu Chong lantas mengajak rombongan dari Shaolin dan Wudang itu ke atas. Melihat ketua-ketua dari dua perguruan nomor satu di dunia persilatan datang secara pribadi, hal ini sungguh membuat para hadirin terperanjat. Tidak ada lagi di antara mereka yang berani banyak bicara. Murid-murid Henshan saling berpikir dalam hati masing-masing, “Kakak Ketua sungguh memiliki nama besar di dunia persilatan.”
Sementara itu Jia Bu dan Shangguan Yun saling pandang seolah tidak percaya kalau Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu datang sendiri memberi selamat kepada Linghu Chong.
Linghu Chong kemudian mempersilakan Fangzheng dan Chongxu duduk di kursi kehormatan. Dalam hati ia berpikir, “Dulu sewaktu Guru dilantik sebagai ketua Perguruan Huashan, pihak Shaolin dan Wudang hanya mengirim utusan untuk mengucapkan selamat. Meskipun waktu itu aku masih kecil, namun aku tidak pernah lupa siapa saja para hadirin yang diceritakan oleh Guru dan Ibu Guru. Tapi sekarang ketua-ketua dari kedua aliran terbesar di dunia persilatan ini sudi berkunjung langsung ke sini. Apakah mereka benar-benar datang memberi selamat atau masih ada maksud tujuan lain?”
Sementara itu tamu-tamu yang berdatangan seolah tidak ada habis-habisnya. Kebanyakan dari mereka adalah jago-jago persilatan yang pernah ikut menggempur Biara Shaolin tempo hari. Menyusul kemudian utusan-utusan dari Perguruan Kunlun, Diancang, Emei, Kongtong, Partai Pengemis, dan lain-lain tiba dengan membawa sumbangan dan kartu ucapan selamat dari ketua masing-masing. Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Mereka sudi datang ke sini tentu karena nama besar Perguruan Henshan dan Biksuni Dingxian. Sama sekali bukan karena aku. Tapi, di antara sekian banyak orang ini, kenapa tidak ada utusan dari Perguruan Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan?”
Kemudian terdengar suara petasan ramai, pertanda sudah tiba waktunya upacara pelantikan dimulai. Linghu Chong bangkit dan memberikan hormat kepada para hadirin sambil mengucapkan kata pengantar, “Ketua Perguruan Henshan terdahulu, yaitu Biksuni Dingxian telah dicelakai orang secara licik. Bersama Biksuni Dingyi, Beliau akhirnya meninggal dunia. Aku, Linghu Chong, telah menerima wasiat terakhir dari Beliau supaya melanjutkan kepemimpinan di Perguruan Henshan. Kami selaku tuan rumah berterima kasih atas kunjungan dan doa restu dari para hadirin sekalian.”
Di tengah suara tetabuhan alat musik, murid-murid Perguruan Henshan mulai berbaris ke tengah pelataran dengan dipimpin oleh keempat murid tertua, yaitu Yihe, Yiqing, Yizhen, dan Yizhi. Mereka berempat menghadap Linghu Chong dan memberi hormat. Yihe berkata, “Keempat alat keagamaan ini adalah pusaka warisan dari Biksuni Xiaofeng, pendiri Perguruan Henshan. Benda-benda ini biasanya berada di bawah pengawasan ketua. Oleh karena itu, Kakak Linghu diharap sudi menerimanya.”
“Baik,” jawab Linghu Chong. Lalu keempat murid tertua itu menyerahkan alat-alat keagamaan yang mereka bawa masing-masing, yaitu sejilid kitab, sebuah kentungan kayu kecil, seuntai tasbih, dan sebatang pedang pendek. Agak rikuh juga Linghu Chong menerima kentungan kecil dan tasbih segala, karena dirinya tidak pernah bersembahyang dan membaca kitab. Terpaksa ia pun menerima benda-benda itu sambil menunduk.
Yiqing lalu membuka sebuah kitab dan berseru, “Perguruan Henshan memiliki lima pantangan. Yang pertama, dilarang melawan atasan atau saudara yang lebih tua. Yang Kedua dilarang menyakiti sesama anggota perguruan. Yang ketiga dilarang membunuh orang yang tidak berdosa. Keempat, selalu menjaga diri sebagai orang baik. Kelima, dilarang bergaul dengan golongan sesat dan kaum penjahat. Untuk ini hendaklah Kakak Ketua memberi teladan dan memimpin para murid dengan bijaksana.”
“Baik,” jawab Linghu Chong. Namun dalam hati ia berpikir pantangan kelima tentang larangan bergaul dengan golongan sesat dan kaum penjahat itu jelas sukar untuk dijalankan. Bagaimana tidak, para tamu yang hadir saat ini saja sebagian besar berasal dari golongan hitam.
Kemudian Yizhen berkata, “Sekarang silakan Kakak Ketua masuk ke dalam biara untuk bersembahyang kepada arwah para leluhur Perguruan Henshan kita.”
Belum sempat Linghu Chong melangkah, tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak, “Ketua Zuo dari Serikat Pedang Lima Gunung menyampaikan perintah: Linghu Chong tidak boleh menyerobot kedudukan ketua Perguruan Henshan.”
(Bersambung)
Bagian 60 ; Bagian 61 ; Bagian 62