Bagian 69 - Bertanding Merebut Kedudukan

Dewa Bunga Persik malah terbahak-bahak sambil melangkah maju membusungkan dada. “Dengan keji dan licik kau telah membunuh ketua perguruan kalian sendiri, sekarang kau hendak mencelakai orang lagi? Kalau memang berani cobalah membuatku mandi darah di sini. Pendeta Tianmen sudah kau sembelih, dan sekarang hendak membunuhku pula. Rupanya membunuh anggota perguruan sendiri memang keahlianmu yang istimewa. Sekarang kau bisa mencoba cara yang sama kepadaku,” ujarnya kemudian. Sambil berbicara ia terus saja mendekati Yujizi.
“Berhenti!” bentak Yujizi sambil mengacungkan pedangnya ke depan. “Satu langkah lagi kau tetap maju maka akan segera kuserang dirimu!”
“Haha, untuk menyerang saja apa harus permisi dulu?” ejek Dewa Bunga Persik. “Puncak Songshan ini bukan milikmu. Ke mana aku suka, ke sana pula aku bebas melangkah pergi. Memangnya kau ada hak apa bisa merintangi aku?” Usai berkata demikian kembali ia melangkah maju sehingga jaraknya dengan Yujizi hanya tinggal beberapa kaki saja.
Melihat wajah Dewa Bunga Persik yang buruk dengan gigi yang kuning menyeringai, membuat rasa muak Yujizi bertambah hebat. Tanpa pikir panjang pedangnya lantas menusuk ke dada orang tua aneh itu.
Segera Dewa Bunga Persik mengelak sambil memaki, “Pengkhianat busuk, kau ben… benar-benar ingin berkelahi?”
Yujizi telah menguasai ilmu pedang Taishan dengan sempurna. Serangan pertamanya tadi langsung disusul serangan kedua yang lebih cepat dan lihai. Dalam sekejap saja Dewa Bunga Persik terpaksa harus menghindari empat kali serangannya. Semakin menyerang semakin cepat pula gerak pedang Yujizi. Dewa Bunga Persik hanya mampu berteriak-teriak. Ketika tangannya hendak meraih tongkat besi yang tergantung di pinggang, pedang Yujizi ternyata lebih dulu menusuk bahu kirinya. Namun pada saat yang hampir bersamaan tiba-tiba pedang Yujizi terpental ke udara, menyusul tubuhnya terangkat ke atas. Kedua tangan dan kedua kakinya masing-masing telah dipegang oleh Dewa Akar Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, dan Dewa Daun Persik. Keadaannya kali ini bagaikan seekor kelinci yang ditangkap empat ekor elang.
Apa yang terjadi sungguh teramat cepat. Peristiwa itu langsung disusul sekelebat bayangan kuning yang datang pula disertai kilatan sinar pedang. Rupanya seseorang telah mengayunkan pedangnya ke arah kepala Dewa Ranting Persik. Namun Dewa Buah Persik yang sudah berjaga di samping saudaranya itu, segera menangkis dengan tongkat besi di tangannya. Orang berbaju kuning itu lantas mengalihkan serangannya ke dada Dewa Akar Persik. Tapi Dewa Bunga Persik juga sudah bersiaga dan menangkis serangannya itu. Begitu diperhatikan, ternyata si penyerang berbaju kuning tidak lain adalah Zuo Lengchan, ketua Perguruan Songshan.
Sejak tadi Zuo Lengchan sudah tahu kalau Enam Dewa Lembah Persik memiliki kepandaian yang tinggi meski ucapan mereka angin-anginan dan ugal-ugalan. Sekitar setahun yang lalu salah seorang sekutunya yang bernama Cheng Buyou dari Kelompok Pedang telah tewas dirobek keenam orang aneh itu menjadi empat bagian di Gunung Huashan. Maka begitu melihat Yujizi tertangkap pula, ia berpikir harus segera menolongnya karena terlambat sedikit saja tentu sangat berbahaya bagi nyawa sekutunya ini. Sebagai tuan rumah sebenarnya Zuo Lengchan tidak pantas turun tangan. Namun menghadapi detik-detik berbahaya itu terpaksa ia harus menyelamatkan nyawa Yujizi. Dua kali ia menyerang Dewa Ranting Persik dan Dewa Akar Persik dengan tujuan memaksa kedua orang itu melepaskan Yujizi, namun dapat ditangkis oleh Dewa Bunga Persik dan Dewa Buah Persik. Sungguh rapih cara kerja sama Enam Dewa Lembah Persik. Empat orang menangkap Yujizi, sementara dua orang sisanya berjaga di samping menangkis serangan Zuo Lengchan.
Sementara itu, nyawa Yujizi bagaikan telur di ujung tanduk. Zuo Lengchan harus mendesak mundur Dewa Bunga Persik dan Dewa Buah Persik dan untuk itu sedikitnya harus melancarkan lebih dari lima-enam jurus, dan selama itu pula tubuh Yujizi tentu sudah dirobek-robek keempat orang yang lainnya.
Berpikir demikian, Zuo Lengchan segera mengambil keputusan. Pedangnya pun berputar secepat kilat. Sekejap kemudian terdengar Yujizi menjerit keras-keras dan tubuhnya terbanting ke tanah dengan kepala di bawah. Tampak Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik masing-masing memegang sepotong lengan putus, Dewa Dahan Persik memegang sepotong kaki putus, sedangkan Dewa Daun Persik memegang sebelah kaki yang masih bersatu dengan tubuh Yujizi.
Rupanya Zuo Lengchan merasa tidak mampu memaksa Enam Dewa Lembah Persik melepaskan Yujizi dalam waktu sesingkat itu. Terpaksa ia harus mengambil tindakan tegas dengan cara memotong kedua lengan dan sebelah kaki sekutunya itu sehingga Enam Dewa Lembah Persik tidak dapat merobeknya menjadi empat potong. Meski terpaksa harus kehilangan anggota badan, namun setidaknya nyawa Yujizi dapat diselamatkan, karena Enam Dewa Lembah Persik pasti takkan mengganggu seorang yang sudah cacad.
Selesai melaksanakan tindakan mahacepat itu, Zuo Lengchan mengundurkan diri ke tepi sambil mendengus.
“Hei, Zuo Lengchan,” seru Dewa Ranting Persik, “kau telah memberi suap berupa emas dan perempuan kepada Yujizi dan menyuruhnya untuk mendukungmu sebagai ketua Partai Lima Gunung. Tapi kenapa sekarang kau berbalik membuntungi kaki dan kedua tangannya? Apakah kau bermaksud melenyapkan saksi hidup, hah?”
“Hahaha, ia khawatir kita akan merobek Yujizi menjadi empat potong, maka itu ia lebih dulu memotong anggota badan Yujizi. Padahal dia telah salah duga,” ujar Dewa Akar Persik.
“Berlagak pintar sendiri, haha, sungguh lucu dan menggelikan,” kata Dewa Buah Persik. “Kami memegang Yujizi dengan maksud untuk bercanda dengannya. Hanya untuk menakut-nakuti saja. Padahal hari ini adalah hari bahagia berdirinya Partai Lima Gunung, mana mungkin kami berani main bunuh-membunuh segala?”
“Walaupun Yujizi berniat membunuhku, tapi mengingat kami adalah sesama anggota Partai Lima Gunung, jelas kami tidak tega membunuhnya?” sambung Dewa Bunga Persik. “Kami hanya menakut-nakuti dia saja dengan cara menangkap dan melemparkan tubuhnya ke udara, lalu kami akan menangkapnya kembali. Sebaliknya Zuo Lengchan ternyata bertindak secara begitu kejam dan gegabah, sungguh tolol.”
Dewa Daun Persik menarik kaki Yujizi dan menyeret tubuh pendeta tua malang itu, lantas melemparkannya ke depan Zuo Lengchan. Dengan menggeleng-geleng Dewa Daun Persik berkata, “Zuo Lengchan, kau benar-benar sangat kejam. Orang baik-baik seperti Yujizi ini mengapa kau tega membuntungi kaki dan kedua lengannya? Sekarang dia hanya memiliki satu kaki saja, lantas bagaimana caranya bisa bertahan hidup?”
Zuo Lengchan sudah tentu sangat gemas. Gusar hatinya tiada terkira. Padahal kalau tadi ia tidak mengambil tindakan tegas, tentu tubuh Yujizi sudah tersobek menjadi empat potong. Tapi sekarang malah dirinya yang dianggap kejam. Tapi untuk membela diri juga tidak ada dasarnya, terpaksa ia hanya mendengus dan tidak menjawab.
Melihat Zuo Lengchan diam saja, Dewa Akar Persik segera menyambung, “Kalau Zuo Lengchan mau membunuh harusnya sekali tebas ia memenggal kepala Yujizi saja. Tapi ia justru ingin menyiksanya dengan cara membuntungi lengan dan kakinya. Kini Yujizi mati susah, hidup pun berat. Cara yang dipakai Zuo Lengchan sungguh keji dan tidak berbudi.”
Dewa Dahan Persik menambahkan, “Memang, kita sama-sama anggota Partai Lima Gunung. Ada persoalan apa pun dapat dirundingkan secara baik-baik. Mengapa harus memakai cara sekejam ini? Sedikit pun tidak punya rasa setia kawan.”
Mendengar itu Ding Mian berteriak membela kakak seperguruannya, “Kalian berenam terkenal suka merobek badan orang. Tindakan Ketua Zuo tadi justru bermaksud menyelamatkan jiwa Pendeta Yuji. Tapi mengapa kalian malah memutarbalikkan persoalan?”
Dewa Ranting Persik menanggapi, “Jelas sekali kami hanya bercanda dengan Yujizi, tapi Zuo Lengchan justru salah sangka. Kenapa dia tidak bisa membedakan orang yang sedang bercanda dengan yang sungguh-sungguh? Betapa bodohnya Zuo Lengchan ini!”
“Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab,” sambung Dewa Daun Persik. “Zuo Lengchan sudah membuntungi Yujizi maka harus berani mengakui perbuatannya. Tapi dia sengaja pakai macam-macam alasan untuk menutupi niat kejinya itu. Sedikit pun tidak punya keberanian untuk bertanggung jawab. Sungguh pengecut! Padahal setiap orang yang hadir di sini telah menyaksikan apa yang kau lakukan, bagaimana kau dapat menyangkal?”
Dewa Bunga Persik berseru, “Manusia tak berbudi, tidak setia kawan, goblok juga pengecut. Apakah mungkin jabatan ketua Partai Lima Gunung kita boleh diduduki orang seperti ini? Huh, Zuo Lengchan, kau jangan bermimpi di siang bolong.” Begitu selesai berbicara, kelima saudaranya serentak mengangguk bersama.
Sebenarnya banyak di antara para hadirin yang memaklumi maksud baik Zuo Lengchan. Kalau tadi ketua Songshan itu tidak bertindak cepat tentu jiwa Yujizi sudah melayang. Namun karena apa yang dikatakan Enam Dewa Lembah Persik cukup berdasar, sulit juga bagi orang lain untuk menyanggahnya.
Yang paling hafal watak Enam Dewa Lembah Persik tentu saja Linghu Chong. “Aneh, mengapa enam bersaudara ini tiba-tiba berubah pintar dan setiap kata-kata mereka selalu tepat mengenai titik kelemahan Zuo Lengchan? Padahal biasanya mereka suka gila-gilaan dan mengoceh omong kosong. Siapa sebenarnya orang pintar yang berdiri di balik mereka berenam?”
Usai berpikir demikian Linghu Chong perlahan-lahan mendekati Enam Dewa Lembah Persik untuk memeriksa apakah di sekitar mereka ada orang pintar yang bersembunyi. Namun dilihatnya keenam bersaudara itu berkumpul menjadi satu dan di sekeliling mereka tak ada orang lain lagi. Malah orang-orang dungu itu sedang sibuk membalut luka di bahu kiri Dewa Bunga Persik.
Ketika berpaling lagi, tiba-tiba Linghu Chong mendengar suara bisikan yang sangat lirih, “Kakak Chong, apakah kau sedang mencari diriku?”
Mendengar suara itu, hati Linghu Chong terkejut bercampur senang. Meski sangat lirih, tapi ia langsung mengenali suara tersebut yang tidak lain adalah suara Ren Yingying. Begitu memandang ke arah datangnya suara, tampak seorang laki-laki berewok dengan badan agak gemuk berdiri bersandar pada sepotong batu besar sambil menggaruk-garuk kepala bermalas-malasan.
Laki-laki berewok macam ini sedikitnya ada beratus-ratus orang di antara para hadirin yang berjumlah ribuan itu, sehingga cenderung tidak menarik perhatian. Namun mendadak dari sorot mata laki-laki ini Linghu Chong melihat kilasan senyuman yang manis dan menggiurkan. Begitu senangnya ia lantas mendekati orang itu.
Seketika suara Ren Yingying kembali terdengar, “Jangan kemari, nanti penyamaranku tersingkap!” Begitu lirih suara ini, tapi cukup jelas Linghu Chong dapat mendengarnya. Jelas Ren Yingying menguasai ilmu menyalurkan suara ke dalam pikiran orang lain tanpa harus membuka mulut.
Linghu Chong tersenyum paham. “Ternyata kata-kata Enam Dewa Lembah Persik tadi adalah hasil bisikanmu. Pantas saja keenam orang dungu itu mampu berbicara tentang budi dan kesetiaan segala. Entah ilmu apa yang kau pergunakan untuk menyalurkan suaramu ke dalam pikiran mereka, namun yang pasti ini adalah ilmu rahasia hasil ajaran ayahmu,” pikirnya.
Usai berpikir demikian Linghu Chong berteriak senang, “Kata-kata Tujuh Dewa Lembah Persik memang benar dan beralasan. Yang aku tahu para Dewa Lembah Persik hanya memiliki enam anggota saja, tapi siapa sangka ternyata ada seorang lagi anggota yang paling pintar dan cerdik di antara mereka. Seorang anggota yang paling cantik pula. Ia adalah Dewi Kuntum Persik.”
Mendengar ucapan Linghu Chong itu beberapa di antara para hadirin terkejut dan tidak paham atas apa yang baru saja ia katakan.
Terdengar Ren Yingying kembali menyalurkan suaranya, “Ini adalah saat-saat yang sangat gawat. Kau adalah ketua Perguruan Henshan, sehingga tidak pantas bicara seenaknya seperti dulu lagi. Zuo Lengchan sedang terdesak. Ini adalah kesempatan yang sangat bagus untukmu merebut jabatan ketua Partai Lima Gunung.”
Linghu Chong terkesiap sadar. Ia kemudian merenung, “Yingying nekad menyamar untuk bisa datang ke Gunung Songshan ini demi untuk membantuku menjadi ketua Partai Lima Gunung. Padahal ia adalah putri ketua Partai Mentari dan Bulan yang merupakan musuh bebuyutan kaum lurus bersih. Jika karena kebodohanku penyamarannya sampai terbongkar, aku takkan bisa memaafkan diri sendiri. Ia telah menempuh bahaya sedemikian besar hanya demi kemenanganku. Perasaannya kepadaku begitu dalam, entah bagaimana… bagaimana aku bisa membalas budi kebaikannya ini?”
Kemudian terdengar Dewa Akar Persik berkata, “Tokoh besar seperti Mahabiksu Fangzheng tidak bisa kalian terima sebagai ketua. Yujizi sekarang hanya tinggal memiliki satu kaki. Zuo Lengchan sendiri jelas tidak berbudi dan pengecut, sehingga tak pantas pula menduduki tempat terhormat itu. Maka itu, biarlah kita memilih seorang kesatria muda yang hebat untuk menjadi pimpinan kita. Kalau ada yang tidak setuju boleh silakan maju untuk berkenalan dengan ilmu pedangnya.” Bicara sampai di sini sebelah tangannya lantas menunjuk ke arah Linghu Chong.
“Inilah dia Pendekar Linghu,” sambung Dewa Bunga Persik, “Dia adalah ketua Perguruan Henshan, dan juga memiliki hubungan dekat dengan Tuan Yue dari Perguruan Huashan. Dengan Tuan Besar Mo dari Perguruan Hengshan juga bersahabat akrab. Di antara Serikat Pedang Lima Gunung jelas ada tiga perguruan yang pasti akan mendukungnya.”
Dewa Ranting Persik menambahkan, “Para pendeta dari Perguruan Taishan juga tidak bodoh semua. Sebagian besar di antara mereka pasti juga akan mendukung Pendekar Linghu.”
Dewa Buah Persik menyambung, “Partai Lima Gunung terdiri atas gabungan lima perguruan pedang. Barangsiapa memiliki ilmu pedang paling hebat maka ia berhak menjadi ketua.”
“Nah, Zuo Lengchan, jika kau terima, silakan maju untuk mencoba ilmu pedang Pendekar Linghu. Yang menang, dialah yang berhak menjadi ketua Partai Lima Gunung. Ini namanya bertanding untuk merebut kedudukan!” seru Dewa Daun Persik.
Di antara para hadirin selain para anggota Serikat Pedang Lima Gunung dan tamu-tamu kehormatan seperti Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, sisanya adalah orang-orang persilatan yang datang untuk menonton keributan. Sebenarnya mereka tidak suka dengan perdebatan panjang lebar dan bertele-tele. Hanya saja ucapan-ucapan Enam Dewa Lembah Persik yang jenaka dan menggelikan membuat mereka bisa menerima perdebatan itu dan mengikutinya dengan senang. Namun andai semua orang berbicara seperti Yue Buqun tadi, tentu mereka semua akan bosan dan pulang sebelum acara selesai. Maka begitu mendengar Dewa Daun Persik mengemukakan “bertanding untuk merebut kedudukan” serentak para hadirin bersorak gembira menyatakan setuju. Mereka berpikir kini saatnya untuk menyaksikan pertandingan sengit di antara tokoh-tokoh tertinggi yang dijagokan oleh pihak masing-masing.
Sementara itu Linghu Chong berpikir, “Aku telah berjanji kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu untuk merintangi ambisi Zuo Lengchan menjadi ketua Partai Lima Gunung. Maka sebaiknya Guru saja yang menjadi ketua. Beliau terkenal baik budi dan bijaksana tentu akan dapat diterima oleh semua pihak. Padahal selain Beliau rasanya tiada lagi tokoh dalam Serikat Pedang Lima Gunung yang sesuai untuk menjabat kedudukan penting ini.”
Karena berpikiran demikian, segera Linghu Chong berseru, “Di hadapan kita sudah tersedia seorang tokoh yang paling cocok untuk menjadi ketua Partai Lima Gunung, mengapa kalian lupa semua? Siapa lagi di antara kita yang bisa menandingi Tuan Yue si Pedang Budiman dari Perguruan Huashan? Ilmu silat Tuan Yue tinggi, pengetahuannya luas, orangnya berbudi dan bijaksana. Semua ini telah cukup kita ketahui. Maka segenap anggota Perguruan Henshan kami dengan tulus menyarankan agar Tuan Yue diangkat sebagai ketua Partai Lima Gunung.”
Serentak murid-murid Huashan bersorak gembira dan menyatakan setuju.
Seorang tokoh Songshan menanggapi, “Ilmu silat Tuan Yue memang tinggi. Tapi kalau dibandingkan dengan Ketua Zuo masih kalah setingkat. Maka menurut pendapatku hanya Ketua Zuo yang paling tepat untuk menjadi pimpinan. Di samping itu bisa disediakan empat kursi wakil ketua yang masing-masing dijabat oleh Tuan Yue, Tuan Besar Mo, Pendekar Linghu, dan Pendeta… Pendeta Yuqingzi atau Pendeta Yuyinzi, terserah kepada pilihan orang Taishan sendiri.”
Dewa Ranting Persik menyahut, “Yujizi belum mati, hanya kehilangan dua lengan dan sebelah kaki saja. Lantas mengapa kalian menyingkirkan dia begitu saja?”
Dewa Daun Persik berkata, “Lebih baik bertanding saja untuk merebut jabatan ketua. Pertandingan pedang adalah cara yang paling adil. Siapa yang menang, dia yang menjadi ketua!”
Beribu-ribu hadirin serentak ikut-ikutan berteriak, “Benar, benar! Bertanding saja untuk menentukan ketua!”
Linghu Chong berpikir Zuo Lengchan harus dijatuhkan lebih dulu supaya pihak Songshan putus harapan dan sukar untuk mencalonkan diri lagi sebagai ketua Partai Lima Gunung. Maka dengan pedang terhunus ia lantas maju ke tengah dan berseru, “Tuan Zuo, sesuai kehendak banyak orang, marilah kita berdua mulai pertandingan ini!”
Menurut perhitungan Linghu Chong, ilmu pedangnya masih sanggup mengatasi Zuo Lengchan. Namun kalau bertanding pukulan, maka dirinya sukar melawan Jurus Tapak Es Mahadingin milik ketua Songshan itu. Terbukti, Ren Woxing saja hampir kehilangan nyawa saat melawannya di Biara Shaolin tempo hari. Setelah berhasil mengalahkan Zuo Lengchan, maka ia akan mengalah dalam pertandingan melawan Yue Buqun. Sang guru juga pasti akan menang bertanding melawan Tuan Besar Mo. Sementara dari pihak Taishan sudah tidak ada lagi ketua yang akan mewakili mereka bertanding. Namun seandainya dalam ilmu pedang ia tidak bisa mengalahkan Zuo Lengchan, paling tidak ia bisa memeras tenaga lawan sehingga dalam pertandingan selanjutnya, kemungkinan Yue Buqun menjadi juara akan terbuka lebar.
Maka Linghu Chong segera mengayunkan pedangnya dan berseru, “Tuan Zuo, setiap anggota Serikat Pedang Lima Gunung mahir memainkan pedang. Marilah kita menentukan kalah dan menang melalui adu senjata ini!” Dengan ucapan ini ia sudah menutup jalan Zuo Lengchan agar tidak mengajaknya bertanding ilmu pukulan.
Mendengar itu para hadirin semakin ramai bersorak-sorak menyatakan setuju dan berteriak-teriak minta pertandingan lekas dimulai.
Karena mendapat dukungan banyak orang, Linghu Chong merasa senang dan melanjutkan, “Tuan Zuo, lekaslah maju! Jika kau enggan bertanding pedang denganku, boleh juga apabila kau mengumumkan di depan umum bahwa kau mengundurkan diri dari pencalonan ketua Partai Lima Gunung ini!”
“Hayo maju! Hayo bertanding!!” demikian suara para hadirin berteriak-teriak. “Yang tidak berani bertanding bukanlah kesatria, tapi babi, anjing!” sambung yang lain.
Zuo Lengchan dan orang-orang Songshan lainnya terdiam tidak menjawab sepatah kata pun. Mereka sadar kalau ilmu pedang Linghu Chong sangat tinggi, namun tidak pantas juga jika menolak tantangannya. Di tengah keadaan yang menegangkan itu tiba-tiba terdengar suara seseorang nyaring berkumandang, “Jika para hadirin sudah menghendaki pemilihan ketua Partai Lima Gunung ditentukan melalui pertandingan, maka kita tidak dapat mengabaikan harapan banyak orang.” Orang yang berbicara ini ternyata Yue Buqun.
“Ucapan Tuan Yue tidak salah!” sambut banyak orang. “Hayo bertanding! Lekas dimulai!”
“Bertanding untuk merebut kedudukan memang suatu cara yang lazim,” kata Yue Buqun, “hanya saja asas peleburan Serikat Pedang Lima Gunung ini sebenarnya untuk mengurangi pertengkaran serta mencari kedamaian di antara sesama kawan persilatan. Sebab itu kalau pertandingan dilangsungkan, sebaiknya cukup dibatasi hanya pada persentuhan saja. Begitu sudah jelas siapa yang menang siapa yang kalah harus segera dihentikan. Sama sekali tidak boleh melukai apalagi mencelakai jiwa lawan. Seperti meninggalnya Pendeta Tianmen dan terlukanya Pendeta Yuji tadi sungguh sangat kusesalkan.”
Karena apa yang dikatakan Yue Buqun cukup beralasan, seketika suasana menjadi sunyi hening. Sejenak kemudian barulah seorang hadirin berteriak, “Pertandingan dibatasi memang baik, namun senjata tak punya mata. Bila ada yang terluka atau binasa, anggap saja dirinya sedang sial dan jangan menyalahkan pihak lain!”
“Benar!” sambung seorang lagi. “Kalau takut mati dan khawatir luka, lebih baik tinggal di rumah dan meniduri istrinya saja. Untuk apa susah-susah hadir ke sini?”
Maka bergemuruhlah suara tawa banyak orang.
“Namun demikian, aku rasa pertandingan tetap berlangsung secara persahabatan saja,” lanjut Yue Buqun. “Aku mempunyai beberapa pendapat dan akan kuminta pertimbangan para hadirin.”
“Ah, lekas mulai berhantam saja, mau bicara apa lagi?” teriak seorang hadirin.
“Jangan sembarangan! Dengarkan dulu apa yang hendak diuraikan Tuan Yue!” seru seorang lain.
“Siapa yang mengacau? Kau pulang saja, tidur dengan ibumu sana!” jawab orang yang pertama tadi.
Kontan terjadilah perang mulut dengan kata-kata dan istilah-istilah yang kotor di antara kedua pihak tersebut.
“Bahwasanya siapa-siapa yang memenuhi syarat untuk ikut bertanding perlu diadakan suatu ketentuan….” seru Yue Buqun lantang sehingga perang mulut di antara para hadirin berhenti seketika. Yue Buqun kemudian melanjutkan, “Bertanding untuk menentukan juara, jelas ini bukan gelar ‘juara nomor satu di dunia’, tapi juara untuk menjadi ketua Partai Lima Gunung kelak. Oleh sebab itu yang berhak bertanding hanya terbatas anggota-anggota Serikat Pedang Lima Gunung saja. Orang luar biarpun memiliki kepandaian setinggi langit dilarang ikut serta.”
“Betul, betul! Kalau bukan anggota Partai Lima Gunung dilarang ikut bertanding!” seru banyak orang.
“Adapun mengenai bagaimana cara pertandingan harus dilakukan dalam suasana persahabatan, untuk ini silakan Tuan Zuo memberi tanggapan,” kata Yue Buqun kemudian.
“Kukira Tuan Yue tentu sudah punya cara-cara yang baik. Silakan bicara saja,” sahut Zuo Lengchan dengan nada kaku.
Yue Buqun berkata, “Akan sangat baik jika kita meminta Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Ketua Xie dari Partai Pengemis, Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng, dan para tamu kehormatan lainnya agar sudi menjadi juri. Siapa yang menang dan siapa yang kalah kita percayakan kepada para juri. Kita hanya menentukan kalah dan menang saja, bukan menentukan hidup dan mati.”
“Shanzhai, sanzhai!” ujar Mahabiksu Fangzheng bersabda. “Hanya menentukan kalah dan menang, bukan menentukan mati dan hidup. Kalimat ini saja sudah menghapuskan banyak kemungkinan banjir darah yang akan menimpa. Entah bagaimana dengan pendapat Tuan Zuo?”
“Aku rasa dari setiap perguruan dalam Serikat Pedang Lima Gunung masing-masing hanya boleh menampilkan seorang jago saja,” kata Zuo Lengchan. “Kalau tidak, nanti beratus-ratus orang ingin bertanding semua, lalu akan bertanding sampai kapan baru dapat selesai?”
Di antara hadirin itu tentu saja banyak yang ingin menonton keributan. Kalau pertandingan hanya dilakukan di antara lima jago saja dari kelima perguruan tentu kurang seru. Tapi murid-murid Songshan sudah bersorak mendukung pendirian ketuanya. Terpaksa para hadirin juga berteriak setuju.
Namun tiba-tiba Dewa Ranting Persik berseru, “Nanti dulu! Ketua Perguruan Taishan adalah Yujizi, apakah kita membiarkan seorang yang sudah buntung seperti dia ikut dalam pertandingan?”
Dewa Daun Persik menyahut, “Biarpun sudah buntung dan hanya tinggal memiliki satu kaki saja, bukankah dia masih bisa meloncat dan menyepak-nyepak?”.
Maka kembali terdengar suara tertawa banyak orang bergemuruh keras.
Yuyinzi menjadi gusar mendengarnya, “Kalian berenam setan alas yang membuat cacad kakak seperguruanku. Sekarang kalian malah berani mengolok-oloknya pula. Kukira kalian pantas dibuntungi pula semuanya. Hayolah, kalau berani coba maju untuk bertanding dengan tuanmu ini!” Usai berkata ia terus maju ke depan dengan pedang terhunus.
“Apakah kau mewakili Perguruan Taishan dalam perebutan juara ini?” tanya Dewa Ranting Persik.
“Apakah kau dipilih oleh kawan-kawanmu atau kau sendiri yang ingin tampil ke muka?” Dewa Daun Persik menambahkan.
“Peduli apa denganmu?” sahut Yuyinzi dengan gusar.
“Tentu saja peduli,” jawab Dewa Daun Persik. “Tidak saja peduli, bahkan sangat peduli. Sebab kalau kau yang mewakili Perguruan Taishan dalam pertandingan ini, bila nanti kau kalah, maka Perguruan Taishan tidak boleh mengajukan jago lain.”
Yuyinzi menyahut, ”Kalau orang kedua dari perguruan kami tampil untuk bertanding, lantas kalian mau apa?”
Tiba-tiba seorang tokoh Taishan yang lain berseru, “Kami belum menerima syarat pertandingan dengan jago tunggal. Kalau Adik Yuyin kalah, dengan sendirinya Perguruan Taishan masih bisa mengajukan jago pilihan lain.” Yang berbicara ini adalah Yuqingzi, kakak seperguruan Yuyinzi.
“Haha, tentu jago Perguruan Taishan yang lain itu adalah kau, bukan?” kata Dewa Bunga Persik setengah mengejek.
“Benar, memangnya kakekmu yang akan maju?” jawab Yuqingzi ketus.
“Nah, nah, coba lihatlah, para hadirin! Kembali orang-orang Taishan ribut-ribut sendiri!” seru Dewa Buah Persik. “Baru saja Pendeta Tianmen tewas, kemudian Pendeta Yujizi terluka parah, sekarang Pendeta Yuqingzi dan Pendeta Yuyinzi ini sudah saling bertengkar dan berebut menjadi pemimpin Perguruan Taishan selanjutnya.”
“Omong kosong!” bentak Yuyinzi. Sementara Yuqingzi hanya tertawa dingin saja tanpa bicara.
“Sebenarnya pihak Perguruan Taishan akan diwakili oleh siapa dalam pertandingan ini?” tanya Dewa Bunga Persik selanjutnya.
“Aku!” seru Yuyinzi dan Yuqingzi bersamaan.
“Aneh, kenapa kalian tidak mau saling mengalah?” ujar Dewa Akar Persik. “Baiklah, kalian bisa saling gebrak lebih dulu, biar kita tahu siapa yang lebih tangguh. Percuma bertengkar dengan mulut, tentukan saja dengan berkelahi!”
Dengan perasaan gusar Yuqingzi melangkah maju dan berseru kepada Yuyinzi, “Adik, kau mundur saja! Jangan menjadi bahan tertawaan orang!”
“Kenapa aku akan ditertawakan orang?” jawab Yuyinzi. “Kakak Yuji terluka parah. Aku hanya ingin menuntut balas untuknya.”
“Tujuanmu hendak menuntut balas atau ingin berebut kedudukan ketua?” sahut Yuqingzi menegas.
“Apa? Hanya dengan sedikit kepandaian kita ini mana mungkin pantas menjadi ketua Partai Lima Gunung?” ujar Yuyinzi. “Kukira kau hanya mimpi di siang bolong. Segenap anggota Perguruan Taishan kita sudah jelas mendukung Ketua Zuo dari Songshan sebagai calon ketua. Untuk apa kita berdua ikut-ikut mempermalukan diri sendiri depan umum?”
“Jika demikian silakan kau mundur saja. Sebagai yang paling tua saat ini, pimpinan Perguruan Taishan aku yang pegang,” kata Yuqingzi.
“Meski kau terhitung paling tua di antara orang-orang Taishan saat ini, tapi segala perbuatan dan tingkah lakumu sukar diterima orang. Apakah kau kira anggota-anggota perguruan kita mau tunduk begitu saja kepadamu?” tanya Yuyinzi.
“Apa artinya ucapanmu ini?” bentak Yuqingzi bengis. “Kau berani kurang ajar kepada orang yang lebih tua, apakah kau lupa pada pasal pertama dari undang-undang perguruan kita?”
“Hahaha, apa kau lupa bahwa saat ini kita adalah sama-sama anggota Partai Lima Gunung?” ujar Yuyinzi. “Kita masuk Partai Lima Gunung pada hari, bulan, tahun, dan waktu yang sama. Atas dasar apa kau anggap dirimu lebih tua daripada aku? Undang-undang perguruan Partai Lima Gunung belum juga disusun, atas dasar apa pula kau tunjuk pasal satu atau pasal berapa segala? Sedikit-sedikit kau suka menonjolkan undang-undang Perguruan Taishan untuk menindas kawan sendiri. Namun sayang, sekarang ini Perguruan Taishan sudah dihapus, yang ada hanyalah Partai Lima Gunung.”
Yuqingzi tidak bisa membantah lagi. Karena gusarnya ia hanya berjingkrak sambil menunjuk Yuyinzi dan berkata, “Kau… kau… kau….”
“Hayolah maju, labrak saja! Kenapa bicara melulu? Habis berhantam baru jelas siapa yang tertua!” teriak para penonton yang ingin melihat perkelahian.
Ribuan penonton berteriak-teriak memanasi, “Lekas bertarung, biar kita tahu siapa yang lebih unggul!”
Pedang yang ada di tangan Yuqingzi tampak bergetar karena terdorong rasa gusar di hatinya. Meskipun Yuqingzi terhitung lebih tua, namun ia biasa tenggelam dalam minuman keras dan gemar main perempuan. Oleh sebab itu ilmu pedangnya masih kalah bagus dibandingkan dengan Yuyinzi.
Dengan dileburnya Serikat Pedang Lima Gunung menjadi Partai Lima Gunung, baik Yuqingzi maupun Yuyinzi sama-sama tidak berani bermimpi untuk menjadi ketua, sebab mereka sadar kepandaian mereka masih kalah jauh dibandingkan Zuo Lengchan. Mereka merasa sudah puas bila sekembalinya ke Gunung Taishan nanti dapat diangkat menjadi wakil pemimpin pusat di sana menggantikan Tianmen yang sudah tewas, atau Yujizi yang sudah cacad itu. Namun sekarang di bawah hasutan banyak orang mereka berdua sampai-sampai bertengkar sendiri. Yuqingzi tidak berani sembarangan menyerang, juga tidak rela menyerah kepada sang adik di depan umum. Karena itu seketika ia menjadi serbasalah dan terlihat rikuh. Lebih dari itu, Zuo Lengchan tampaknya juga lebih menyukai Yuyinzi dan menghendaki adik seperguruannya itu yang menjadi pemimpin Taishan. Ia membayangkan bagaimana malunya jika nanti ada di bawah perintah Yuyinzi. Oleh karena itu, ia semakin bersikukuh untuk tidak mundur selangkah pun juga.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang melengking tajam berkata, “Huh, kalian berdua sama sekali belum menguasai intisari ilmu silat Perguruan Taishan sedikit pun, tapi kulit muka kalian begitu tebal untuk bertengkar di sini. Hanya buang-buang waktu saja.”
Begitu semua orang berpaling ke arah datangnya suara, tampak seorang pemuda berbadan tinggi dan berwajah tampan agak pucat. Salah seorang yang mengenalnya lantas berseru, “Itu menantu baru Tuan Yue dari Perguruan Huashan!”
Pemuda berwajah tampan yang berseru tajam tadi memang benar Lin Pingzhi.
Linghu Chong terkejut melihatnya, karena sifat pemuda ini biasanya sangat pendiam, tidak suka banyak bicara. Tak disangka entah kenapa sekarang ini ia berani mengolok-olok orang lain di depan umum. Namun Linghu Chong sendiri juga tidak suka kepada Yuyinzi dan Yuqingzi yang bersama dengan Yujizi tadi telah mengakibatkan kematian Pendeta Tianmen. Maka itu, ia pun merasa senang atas sindiran Lin Pingzhi tadi terhadap kedua jago Taishan tersebut.
Terdengar Yuyinzi menjawab, “Kalau aku belum menguasai sama sekali intisari ilmu silat Perguruan Taishan kami, memangnya Saudara menguasainya? Kalau begitu Saudara boleh coba-coba memainkan beberapa jurus ilmu silat Taishan agar disaksikan oleh para kesatria yang hadir di sini.” Berulang-ulang ia sengaja mengucapkan kata-kata “Perguruan Taishan” dengan nada keras. Tujuannya ialah hendak mengolok-olok Lin Pingzhi yang merupakan murid Perguruan Huashan tapi berani ikut campur menanggapi ilmu silat dari perguruan lain.
Tak disangka Lin Pingzhi malah menyeringai, “Ilmu silat Perguruan Taishan sangat luas dan dalam, mana bisa dipahami oleh murid pengkhianat seperti dirimu, yang tega mencelakai saudara seperguruan sendiri dengan bersekongkol dengan orang luar….”
“Ping-er!” bentak Yue Buqun tiba-tiba. “Pendeta Yuyin adalah kaum sesepuh, kau jangan kurang ajar!”
“Baik,” jawab Lin Pingzhi lantas berhenti bicara.
Dengan gusar Yuyinzi berkata kepada Yue Buqun, “Tuan Yue, bagus sekali murid didikanmu dan menantu kesayanganmu ini! Sampai-sampai dia berani sembarangan mengoceh dan menilai ilmu silat Perguruan Taishan kami.”
“Dari mana kau tahu dia sembarangan mengoceh?” tiba-tiba seorang perempuan ikut menyela. Begitu melangkah ke depan tampak seorang nyonya muda dengan gaun yang panjang muncul di samping Lin Pingzhi. Perempuan muda ini memakai sanggul berhiaskan setangkai bunga kecil berwarna merah. Siapa lagi kalau bukan Yue Lingshan putri tunggal Yue Buqun.
“Dengan ilmu pedang Taishan aku ingin mencoba kepandaianmu dan meminta petunjuk darimu,” ujar Yue Lingshan sambil memegang gagang pedangnya yang melintang di balik punggung.
Yuyinzi yang mengenal dari mana perempuan muda ini berasal, serta teringat bahwa Yue Buqun juga menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung dan cukup dihormati oleh Zuo Lengchan, maka ia pun tidak berani sembarangan bertindak kasar. Dengan tersenyum ia menjawab, “Aku sungguh menyesal karena tidak sempat hadir untuk menyampaikan selamat kepada Nona Yue. Apakah karena ini Nona Yue marah kepadaku? Tentang ilmu pedang Huashan kalian memang sangat kukagumi. Tapi mengenai murid Huashan juga mahir ilmu pedang Taishan, wah, sungguh baru kali ini aku mendengarnya.”
Dengan menarik alisnya yang lentik, serta air muka yang menghina, Yue Lingshan berkata, “Ayahku ingin menjadi ketua Partai Lima Gunung. Maka dengan sendirinya setiap ilmu pedang dari kelima perguruan harus dipelajarinya. Kalau tidak, bagaimana Beliau bisa memimpin Partai Lima Gunung kelak?”
Ucapan Yue Lingshan ini seketika membuat para kesatria yang hadir menjadi gempar. Segera ada yang berteriak, ”Apa? Tuan Yue ingin menjadi ketua Partai Lima Gunung?” Lalu ada pula yang berseru, “Apakah mungkin Tuan Yue juga mahir ilmu pedang keempat perguruan lainnya?”
Yue Buqun berseru, “Ah, anak perempuanku suka membual saja. Omongan anak kecil janganlah dianggap sungguh-sungguh.”
Namun Yue Lingshan berkata lagi, “Paman Zuo, jika kau mampu mengalahkan kami dengan ilmu pedang keempat perguruan yang lain, dengan sendirinya kami akan tunduk dan mengangkatmu sebagai ketua Partai Lima Gunung. Sebaliknya, kalau kau hanya mampu mengandalkan ilmu pedang Perguruan Songshan melulu, sekalipun kau dapat mengalahkan seluruh sainganmu, paling-paling hanya ilmu pedang perguruanmu saja yang kemudian terkenal.”
Para hadirin berpikir apa yang dikatakan Yue Lingshan memang tidak salah. Kalau ada yang mahir memainkan ilmu pedang dari kelima perguruan, sudah tentu orang inilah yang paling cocok untuk menjadi ketua Partai Lima Gunung. Akan tetapi ilmu pedang setiap aliran adalah hasil ciptaan tokoh-tokoh perguruan masing-masing dari angkatan tua turun-temurun selama ratusan tahun. Jangankan mahir kesemua ilmu pedang aliran-aliran itu, mempelajari ilmu pedang aliran sendiri saja sangat sukar untuk sampai mendalam dan keseluruhan.
Namun Zuo Lengchan sendiri berpikir, ”Mengapa anak perempuan Yue Buqun ini berani bicara demikian? Di balik ini tentu ada maksud dan tujuan tertentu. Jangan-jangan Yue Buqun memang benar-benar ingin berebut jabatan ketua Partai Lima Gunung denganku.”
Terdengar Yuyinzi berkata, “Wah, ternyata Tuan Yue telah mahir menyelami intisari ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung. Ini benar-benar suatu peristiwa besar yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia persilatan. Maka biarlah aku saja yang meminta Nona Yue memberi petunjuk-petunjuk tentang ilmu pedang Perguruan Taishan.”
“Baik!” jawab Yue Lingshan yang kemudian segera melolos pedangnya.
Melihat itu Yuyinzi sangat gusar dan berpikir, “Dengan ayahmu saja aku lebih tua satu angkatan, kenapa anak perempuan sepertimu berani angkat senjata di depanku?” Semula ia menyangka Yue Buqun tentu akan mencegah perbuatan anak perempuannya itu, sebab di antara tokoh-tokoh Huashan hanya Yue Buqun dan istrinya saja yang pantas menjadi lawannya.
Tak disangka Yue Buqun hanya menggeleng-geleng saja, kemudian berkata dengan nada menyesal, “Benar-benar anak perempuan yang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi. Pendeta Yuyin dan Pendeta Yuqing adalah tokoh-tokoh kelas satu Perguruan Taishan. Apa kau hendak mencari penyakit jika bermaksud melawan dengan ilmu pedang Taishan mereka.”
Ketika Yuyinzi melirik, dilihatnya pedang di tangan kanan Yue Lingshan menuding miring ke bawah, sementara jari-jari tangan kiri perempuan itu bertekuk-tekuk seperti sedang menghitung. Kontan saja Yuyinzi terkejut dan heran melihatnya. Ia berpikir, ”Hei, darimana anak ini paham jurus Jalur Daizong?”
Jurus Jalur Daizong adalah salah satu ilmu pedang Taishan yang paling tinggi. Intisari jurus ini tidak terletak kepada serangan pedang, tapi dalam hal perhitungan letak tempat musuh, perawakan musuh, panjang atau pendek senjata yang digunakan musuh, serta bermacam-macam faktor lainnya pula. Perhitungannya sangat rumit, namun apabila tepat, sekali serang tentu mengenai sasaran dan sangat mematikan. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu Yuyinzi pernah berlatih jurus ini dari gurunya. Namun ia sadar bahwa dirinya tidak sanggup menyelami jurus yang memakai perhitungan rumit tersebut. Maka itu, sampai saat ini ia tidak pernah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, sebaliknya sang guru juga tidak terlalu memaksanya. Sepertinya gurunya sendiri juga tidak terlalu mahir menggunakan jurus Jalur Daizong ini.
Karena tidak diharuskan berlatih jurus yang sukar itu, tentu saja Yuyinzi merasa kebetulan. Sejak itu ia juga tidak pernah melihat ada orang Taishan memainkan jurus tersebut. Tak disangka setelah berlalu puluhan tahun, tiba-tiba jurus itu kini hendak dimainkan oleh seorang nyonya muda yang bukan anggota Perguruan Taishan. Kontan saja pemandangan ini membuat hatinya gelisah. Keringat dingin pun bercucuran.
Pada umumnya orang yang terdesak seketika timbul banyak akal. “Bila aku cepat berganti tempat, lalu lompat ke sini dan loncat ke sana, dengan sendirinya perhitungannya akan selalu meleset,” pikirnya dalam hati. Maka ia pun segera menggeser ke sana, lalu putar balik dan menyerang dengan jurus Terang Bulan Tanpa Mega. Namun ketika tusukannya belum mencapai sasaran segera ia menggeser dan menyerang pula dengan jurus Langit Gunung Tinggi secara cepat. Pola serangan Yuyinzi ini dikenal dengan sebutan Delapan Belas Gulungan Taishan. Gerakan ini diciptakan oleh seorang sesepuh Taishan pada masa dahulu. Semua serangan Yuyinzi ini seolah mengarah ke titik-titik berbahaya Yue Lingshan, namun kesemuanya tidak ada yang mematikan.
Delapan Belas Gulungan Taishan ini dibagi menjadi Delapan Belas Lambat, dan Delapan Belas Cepat. Setelah delapan belas gerakan menggulung secara lambat tiba-tiba berubah cepat dalam waktu singkat. Setiap langkah semakin cepat. Jurus ini diciptakan berdasarkan jalan setapak di Pegunungan Taishan yang berubah-ubah keadaannya. Sambil bergerak, yang diperhatikan Yuyinzi hanyalah jari-jari tangan kiri Yue Lingshan yang masih bergerak-gerak menghitung. Ia masih ingat ucapan gurunya dahulu bahwa jurus Jalur Daizong ini merupakan intisari ilmu pedang Taishan. Sekali serang pasti kena, membunuh orang tanpa terasa. Kalau sudah mencapai taraf demikian, boleh dikata sudah mencapai tingkat yang sempurna. Karena itu Yuyinzi tidak berani sembarangan melakukan serangan maut, sebab takut kalau-kalau pihak lawan juga melakukan serangan mematikan. Lama-lama ia bertambah khawatir dan mengucurkan keringat dingin.
Linghu Chong khawatir melihat Yue Lingshan tidak menangkis ataupun menghindari serangan Yuyinzi, namun tetap berdiri seperti sedang menghitung-hitung dengan tangan kirinya. Hampir-hampir ia berteriak, ”Adik Kecil, hati-hati!” Namun kata-katanya ini hanya tertahan di tenggorokan dan sulit diucapkan.
Sementara itu Yuyinzi telah menyelesaikan pola serangannya. Namun demikian, sejak awal ia sudah memutuskan untuk tidak bersungguh-sungguh menyerang Yue Lingshan, dan ujung pedangnya selalu berjarak beberapa senti saja dari kulit nyonya muda itu.
Tiba-tiba Yue Lingshan memutar pedangnya dengan cepat dan kasar. Beruntun ia melancarkan lima kali serangan berturut-turut.
“Lima Jurus Pedang Raksasa!” seru Yuqingzi yang masih berdiri di samping.
Gunung Taishan memiliki lima pohon cemara tua. Konon, cemara-cemara tua itu sejak zaman Kerajaan Qin diberi nama Lima Cemara Raksasa. Kelima pohon tersebut memiliki cabang dan ranting yang terlihat saling lengket, dan dedaunan rimbun yang saling menutupi. Paman perguruan dari Yuqingzi dan Yuyinzi mendapat ilham dari pemandangan kelima cemara tua itu sehingga kemudian menciptakan Lima Jurus Pedang Raksasa. Gerakan-gerakan dalam jurus pedang ini tampak sederhana namun mengandung perubahan-perubahan yang menakjubkan. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu Yuqingzi pernah mempelajari jurus pedang tersebut sampai cukup mendalam. Maka, ketika Yue Lingshan tiba-tiba memainkan jurus tersebut ia dapat menilai gerak serangan nyonya muda itu. Apa yang dimainkan Yue Lingshan ternyata tidak sama persis dengan apa yang pernah ia pelajari, namun berada pada tingkatan yang lebih tinggi.
Sementara itu, mendengar jurus serangannya dikenali, seketika Yue Lingshan memiringkan tubuhnya ke samping, lantas pedangnya menusuk Yuqingzi sambil berseru, “Apakah ini juga ilmu pedang Perguruan Taishan kalian?”
Segera Yuqingzi menangkis dengan pedangnya sambil menjawab, “Kenapa tidak? Ini adalah jurus Bangau Hinggap di Mata Air. Tapi...” Meskipun dapat menangkis, tetap saja Yugingzi tergetar hatinya dan keringat dingin pun bercucuran pula. Apa yang dimainkan Yue Lingshan sedikit berbeda dengan yang pernah ia pelajari, namun tampak lebih mematikan.
Terdengar Yue Lingshan berseru, “Bagus jika kau pun mengetahuinya!” Sekejap kemudian pedangnya berbalik menebas ke arah Yuyinzi.
“Itu jurus Batu Menghadang Kuda,” seru Yuqingzi kembali. “Tapi, apa yang kau mainkan itu... agak keliru...”
“Ternyata kau hafal nama-nama jurus pedang ini,” ujar Yue Lingshan.
Tiba-tiba pedangnya bergerak dengan cepat sebanyak dua kali. Terdengar Yuyinzi menjerit, dadanya telah tertusuk. Pada saat yang sama Yuqingzi tertusuk pula pada bagian kaki kanannya. Pendeta tua itu tampak sempoyongan, akhirnya sebelah kakinya tertekuk dan berlutut ke bawah. Lekas-lekas ia menahan tubuhnya dengan batang pedang. Namun terlalu keras ia menggunakan tenaga sehingga ujung pedangnya menahan di atas sepotong batu pula dan akhirnya patah menjadi dua. Terdengar ia menggumam, “Jurus... Jurus Tiga Kebahagiaan!”
Yue Lingshan tertawa dingin dan menyarungkan kembali pedangnya di balik punggung.
Sementara itu para penonton sudah bersorak gemuruh. Sungguh luar biasa, seorang nyonya muda mengalahkan dua tokoh sepuh Perguruan Taishan hanya dalam beberapa jurus, bahkan menggunakan jurus pedang lawan-lawannya sendiri.
Zuo Lengchan saling pandang dengan beberapa kawannya dengan perasaan sangsi dan heran. Orang-orang Songshan itu berpikir, ”Yang dimainkan anak perempuan ini memang benar-benar ilmu pedang Taishan yang hebat dan jarang terlihat. Walaupun permainannya tampak kurang murni, namun jurus-jurus serangan yang ganas dan terlatih itu pasti bukan hasil pemikiran perempuan ini. Kemungkinan besar ini adalah hasil pendalaman Yue Buqun. Padahal untuk mendalami ilmu pedang setinggi ini entah memerlukan waktu berapa lama. Dari sini dapat dibayangkan betapa matang rencana dan maksud tujuan Yue Buqun dalam menghadapi persoalan ini.”
Yuyinzi tampak belum percaya dengan kekalahannya. Ia berteriak, ”Kau... kau... Ini bukan Jurus Daizong!”
Setelah terluka barulah Yuyinzi menyadari kalau yang dimainkan Yue Lingshan tadi bukan benar-benar Jurus Daizong. Namun demikian dapat dikatakan putri Yue Buqun ini dapat melukainya dalam sekali serang. Selain itu yang mengherankan ialah mengapa ia dapat memainkan jurus Lima Pedang Raksasa, Bangau Hinggap di Mata Air, Batu Menghadang Kuda, serta Tiga Kebahagiaan? Yang tidak kalah menyakitkan hati ialah kenapa nyonya muda ini dapat menambahkan beberapa perubahan penting dalam jurus-jurus pedang Taishan yang ia mainkan.
Yuqingzi dan Yuyinzi tidak sempat menandingi serangan pedang lawan menggunakan ilmu pedang yang mereka latih selama puluhan tahun. Selain itu gerakan Yue lingshan juga berbeda dengan yang biasa mereka pelajari, sehingga mereka dapat dikatakan terluka karena salah mengambil langkah. Mereka tidak mempermasalahkan andaikata terluka akibat serangan jurus pedang perguruan lain yang luar biasa indahnya. Akan tetapi kalah oleh jurus perguruan sendiri sungguh sangat memalukan kedua pendeta tua bersaudara ini. Malu, marah, kesal, dan kecewa bercampur menjadi satu.
Linghu Chong bingung melihat cara Yue Lingshan merobohkan lawan-lawannya itu. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berbisik dari belakang, “Tuan Muda Linghu, apakah kau yang telah mengajarkan jurus-jurus itu kepada Nona Yue?” Ketika berpaling, Linghu Chong melihat yang berbisik itu ternyata Tian Boguang. Menanggapi pertanyaan itu ia hanya menggeleng saja.
Tian Boguang tersenyum berkata, “Dahulu ketika kau bertarung denganku di Puncak Huashan, aku masih ingat kau pun pernah menggunakan jurus Bangau Hinggap… apa tadi, namun waktu itu kau belum menguasainya dengan baik.”
Linghu Chong diam tak menjawab karena sedang hanyut dalam kebingungan. Begitu Yue Lingshan mulai menyerang tadi segera ia sadar bahwa apa yang dimainkan adik kecilnya itu adalah ilmu pedang Taishan yang pernah dilihatnya di dalam gua di Puncak Huashan dulu. Meskipun begitu apa yang pernah dilihatnya itu tidak pernah diberitahukannya kepada orang lain. Ketika meninggalkan gua itu ia pun ingat benar bahwa dirinya telah menutup lubang gua itu dengan batu. ”Bagaimana cara Adik Kecil dapat menemukan gua itu? Ah, kalau aku bisa menemukan gua itu, mengapa Adik Kecil tidak dapat?” pikirnya.
Di dalam gua rahasia tersebut tersembunyi ukiran-ukiran pada dinding batu yang melukiskan bermacam-macam jurus dan ilmu silat Serikat Pedang Lima Gunung dan cara mematahkannya. Linghu Chong kembali berpikir, ”Aneh sekali. Meskipun aku hafal jurus-jurus yang terukir di dinding gua itu dengan baik, namun aku tidak mengenal nama-namanya. Tapi entah mengapa, Adik Kecil dapat mengenalnya dengan baik, serta mempergunakannya dengan bagus pula? Serangannya tadi berturut-turut, mengalir seperti air.”
Ketika mendengar Yuqingzi menyebut jurus pamungkas yang dipakai Yue Lingshan tadi dengan nama ”Tiga Kebahagiaan”, seketika Linghu Chong teringat perjalanannya bersama sang guru mengunjungi Gunung Taishan beberapa tahun yang lalu. Setelah melewati Gua Air, mereka berjumpa jalanan pegunungan yang curam dan diberi nama Jalur Tiga Kebahagiaan. Artinya ialah, jalur ini memiliki panjang tiga li, dan setelah melewatinya tentu hati akan merasa begitu bahagia. Tak disangka jalur curam ini menjadi ilham untuk seorang tokoh Taishan menciptakan ilmu pedang yang cukup ampuh.
Lamunan Linghu Chong seketika buyar begitu melihat seorang tua kurus maju ke tengah dan berkata, “Kiranya Tuan Yue telah mahir dalam mendalami setiap ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung, sungguh suatu peristiwa besar yang belum pernah terjadi di dunia persilatan. Selama aku mendalami ilmu pedang aliran sendiri, ada beberapa titik sulit yang belum dapat kupecahkan. Sungguh kebetulan kalau hari ini aku dapat meminta petunjuk-petunjuk dari Tuan Yue.” Usai berkata demikian ia melolos sebilah pedang pendek tipis keluar dari dalam rebab yang dipegangnya di tangan kiri. Orang tua dekil ini tidak lain adalah Tuan Besar Mo ketua Perguruan Hengshan.
Dengan memberi hormat Yue Lingshan berkata, “Harap Paman Mo maklum, Keponakan hanya belajar beberapa jurus ilmu pedang Hengshan yang paling mudah. Mohon Paman Mo sudi memberi petunjuk-petunjuk seperlunya.”
Padahal Tuan Besar Mo tadi mengatakan, “Sungguh kebetulan kalau hari ini aku dapat meminta petunjuk-petunjuk dari Tuan Yue.”, jadi yang ia tantang sebenarnya adalah Yue Buqun. Siapa sangka ternyata Yue Lingshan yang menerima tantangan itu, bahkan malah menyatakan hendak menggunakan ilmu pedang Hengshan pula.
Tuan Besar Mo memiliki nama besar cukup bagus di dunia persilatan. Apalagi Zuo Lengchan tadi sempat menyebutkan bahwa salah seorang adik seperguruannya, yaitu Fei Bin si Tapak Songyang Besar telah tewas di tangan orang tua kurus ini. Kontan sebagian para hadirin berpikir, ”Yue Lingshan berhasil mengalahkan dua jago Taishan sekaligus menggunakan jurus pedang mereka. Apakah ia juga mampu mengalahkan Tuan Besar Mo menggunakan jurus pedang Hengshan?”
Tampak Tuan Besar Mo menjawab dengan tersenyum, “Bagus sekali, bagus sekali! Hebat, hebat!”
”Jika aku bukan tandingan Paman Mo, maka Ayah yang akan maju,” jawab Yue Lingshan.
Tuan Besar Mo menjawab, ”Kau ini tandinganku, kau ini tandinganku.”
Usai berkata demikian pedangnya yang pendek dan tipis itu perlahan-lahan menjulur ke depan. Tiba-tiba ia sedikit menyendal pedangnya dan seketika terdengar suara mendengung-dengung. Menyusul kemudian pedangnya kembali bergerak menimbulkan dengung dua kali.
Segera Yue Lingshan menangkis. Namun pedang Tuan Besar Mo itu berkelebat secepat kilat, tahu-tahu ia pun sudah mengitar ke belakang Yue Lingshan. Lekas-lekas Yue Lingshan memutar tubuh, terdengar suara mendengung lagi dua kali. Tampak beberapa helai rambutnya melayang jatuh ke tanah akibat terpotong oleh pedang Tuan Besar Mo.
Yue Lingshan sangat terkejut dibuatnya, namun ia segera sadar bahwa Tuan Besar Mo tidak bermaksud mencelakainya. Kalau Tuan Besar Mo bersungguh-sungguh tentu serangan tadi sudah membinasakannya. Mengetahui lawan tidak mau mencelakainya, tentu hal ini menjadi kebetulan baginya. Segera Yue Lingshan melancarkan serangan dua kali ke dahi dan perut Tuan Besar Mo tanpa menghiraukan lagi serangan lawan.
Tuan Besar Mo terkesiap juga oleh serangan Yue Lingshan itu. Ia berpikir, ”Ia melancarkan Jurus Quan Ming Furong dan Jurus Bangau Membumbung Zige. Dua jurus itu memang milik Perguruan Hengshan. Darimana anak perempuan ini dapat mempelajarinya?”
Gunung Hengshan memiliki dua puluh tujuh puncak, dan lima di antaranya yang paling besar adalah Furong, Zige, Shilin, Tianzhu, dan Zhurong. Jurus-jurus pedang Hengshan kebanyakan dikelompokkan dengan menggunakan nama-nama puncak tersebut. Misalnya Jurus Pedang Furong mengandung tiga puluh enam jurus, sementara Jurus Pedang Zige mengandung empat puluh empat jurus. Dengan memadukan jurus pedang dari kelompok yang berbeda tersebut akan tercipta suatu kekuatan yang dahsyat dan mengerikan.
Pedang kedua orang itu sama-sama berkelebat dengan cepatnya, dan menimbulkan suara mendengung berulang-ulang. Para penonton sampai-sampai tidak tahu siapa yang menyerang dan siapa yang bertahan, serta tidak tahu pula berapa jurus yang sudah dilewati kedua orang itu.
Sebenarnya Tuan Besar Mo telah memperhitungkan segala langkahnya di Puncak Songshan ini. Sedikit pun ia tidak berhasrat untuk menjadi ketua Partai Lima Gunung. Apalagi jika bertanding melawan Zuo Lengchan atau Linghu Chong sudah tentu ia pasti kalah. Akan tetapi sebagai ketua Perguruan Hengshan ia merasa tidak boleh tunduk begitu saja dan harus tetap menjaga kehormatan perguruannya. Maka itu, ia pun tampil dalam pertandingan di atas Panggung Pemujaan ini setidaknya untuk mengalahkan jago Perguruan Huashan dan Taishan.
Dalam hal kematian Pendeta Tianmen ia juga marah terhadap perbuatan kejam kelompok Yujizi. Sebenarnya ia berniat memberi pelajaran kepada tiga pendeta tua itu. Namun ternyata ketiganya sudah terluka oleh pihak lain. Mau tidak mau, lawannya yang tersisa tinggal Yue Buqun saja.
Ketika pertandingan tiga babak di Biara Shaolin dulu, Tuan Besar Mo dapat melihat dengan jelas kehebatan ilmu pedang Yue Buqun saat menghadapi Linghu Chong. Dibandingkan dengan dirinya, Yue Buqun sepertinya tidak lebih hebat sehingga dalam pertandingan kali ini ia yakin tidak akan kalah melawan ketua Huashan itu. Akan tetapi yang maju ternyata putri Yue Buqun yang ternyata mampu memainkan jurus pedang Perguruan Hengshan. Dan yang lebih mengerikan lagi, ternyata Yue Lingshan mampu memainkan salah satu intisari jurus pedang Hengshan, yaitu satu jurus mengandung satu kelompok jurus.
Dahulu kala ketika kelima perguruan bergabung menghadapi serangan sepuluh gembong aliran sesat di Puncak Huashan, saat itu guru Tuan Besar Mo masih sangat muda namun telah mempelajari semua kelompok jurus ilmu pedang Hengshan. Namun apa yang ia pelajari hanya jurus yang mencakup kesemuanya, misalnya jurus Quan Ming Furong dan jurus Bangau Naik ke Zige. Pada dasarnya, Tuan Besar Mo tidak mendapatkan penjelasan rinci dari gurunya mengenai jurus tersebut. Tapi anehnya, mengapa Yue Lingshan yang berasal dari perguruan lain menguasai kedua jurus tersebut dengan baik? Dari mana sebenarnya nyonya muda ini mendapatkan pelajaran?
(Bersambung)
Bagian 68 ; Bagian 69 ; Bagian 70