Bagian 83 - Antara Hidup dan Mati

Dengan perasaan terkejut, keduanya pun melolos pedang untuk memotong jala itu. Namun tampaknya jala ini terbuat dari bahan istimewa, sampai-sampai pedang mereka tidak mampu untuk memotongnya.
Sesaat kemudian kembali sebuah jala menyambar dari atas sehingga tubuh mereka terbungkus semakin rapat. Menyusul dari atas gua melompat turun seseorang sambil menarik tali jala itu kencang-kencang dengan sekuat tenaga.
“Hei, Guru!” seru Linghu Chong memanggil.
Ternyata yang melempar jala tersebut tidak lain memang Yue Buqun orangnya.
Setelah Yue Buqun menarik tali jala kencang-kencang, maka Linghu Chong dan Ren Yingying tampak seperti dua ekor ikan besar yang masuk jaring nelayan. Semula mereka masih meronta-ronta, tapi akhirnya sulit untuk bergerak lagi.
Dalam kegelisahannya, Ren Yingying bingung tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba dilihatnya bibir Linghu Chong tersenyum simpul, sikapnya sangat senang. Diam-diam ia pun merasa heran. “Jangan-jangan Kakak Chong mendapat akal untuk meloloskan diri?” pikirnya.
Terdengar Yue Buqun berkata bengis, “Bangsat cilik, dengan riang gembira kau keluar dari gua situ. Tentunya kau tidak mengira akan tertimpa bencana, bukan?”
“Bagiku ini bukan sesuatu bencana,” sahut Linghu Chong acuh tak acuh. “Pada akhirnya setiap manusia harus mati. Kini aku dapat mati bersama istriku tercinta, tentu hatiku merasa sangat senang.”
Baru sekarang Ren Yingying paham, ternyata senyum simpul di bibir Linghu Chong tadi adalah karena merasa bahagia dapat mati bersama dengannya. Seketika perasaan takut gadis itu langsung buyar dan berganti dengan perasaan bahagia.
“Bangsat cilik,” sahut Yue Buqun memaki, “kematian sudah di depan mata, tapi mulutmu masih saja melantur.” Usai berkata demikian ia lantas mengikat tubuh muda-mudi itu dengan tali jala lebih kencang lagi.
“Aku ingat, jala pusaka ini adalah milik Lao Touzi. Pasti kau mendapatkannya saat menyerbu Puncak Henshan dan Lembah Tong Yuan. Semoga kau tidak mencelakai sahabatku itu,” ujar Linghu Chong. “Tak kusangka sikapmu padaku ternyata sedemikian baik. Kau tahu kami berdua sudah bersumpah untuk sehidup semati sehingga kau sengaja membungkus kami berdua, suami istri ini bersama-sama. Kau telah membesarkan aku sejak kecil, sungguh pantas kalau kau mengetahui isi hatiku. Kaau memang sahabatku yang sangat baik, Tuan Yue.”
Sengaja Linghu Chong berbicara melantur dengan maksud hendak mengulur waktu, siapa tahu ia akan memperoleh akal untuk membebaskan diri. Selain itu ia pun berharap Feng Qingyang tiba-tiba muncul dan menolongnya.
Yue Buqun sangat gemas dan membentak, “Bangsat cilik, sejak kecil kau memang suka membual tak aturan. Sifat busukmu ternyata tidak berubah sampai sekarang. Biarlah kupotong dulu lidahmu agar nanti kalau kau masuk neraka kau tidak perlu disiksa potong lidah di sana.” Usai berkata demikian tiba-tiba kakinya langsung menendang ke pinggang Linghu Chong. Seketika titik bisu Linghu Chong pun tertotok sehingga pemuda itu tidak bisa bersuara lagi.
Yue Buqun lantas berkata kepada Ren Yingying, “Nona Ren, kau ingin aku membunuhnya lebih dulu atau membunuhmu lebih dulu?”
Ren Yingying menjawab, “Terserah kau lebih suka membunuh siapa lebih dulu, apa urusannya denganku? Yang pasti, obat penawar Pil Pembusuk Otak yang kusimpan hanya tinggal tiga butir.”
Begitu mendengar “Pil Pembusuk Otak”, seketika raut muka Yue Buqun berubah pucat. Sejak dipaksa menelan pil beracun itu Yue Buqun sangat tertekan. Siang malam ia mencari akal untuk bisa mendapatkan obat penawarnya. Maka bergitu datang kesempatan segera ia melemparkan jala pusaka milik Lao Touzi yang terbuat dari benang logam untuk meringkus kedua muda-mudi itu. Menurut rencana sebenarnya ia hendak membunuh Linghu Chong dan Ren Yingying lebih dulu, baru kemudian menggeledah tubuh si nona untuk mencari obat penawar pil beracun yang pernah ditelannya waktu itu.
Begitu mendengar Ren Yingying menyatakan bahwa ia hanya menyimpan tiga butir obat penawar Pil Pembusuk Otak, perasaan Yue Buqun kembali gelisah. Dengan demikian apabila ia membunuh kedua muda-mudi itu, maka ia sendiri hanya dapat bertahan hidup selama tiga tahun lagi. Sesudah tiga tahun terlewati, maka racun pada pil mulai bekerja dan menyerang otak. Mula-mula ia akan menjadi gila, dan akhirnya mati pelan-pelan dalam keadaan tersiksa.
Meskipun terkenal pandai menyembunyikan perasaan, tetap saja tangan Yue Buqun terlihat gemetar membayangkan hal itu. Akhirnya ia pun berkata, “Baiklah, mari kita mengadakan kesepakatan. Nyawa kalian berdua akan kuampuni, asalkan kau mengatakan kepadaku cara meracik obat penawar itu.”
Ren Yingying tertawa dan menjawab, “Haha, biarpun usiaku masih muda dan pengalamanku dangkal, tapi aku cukup mengenal kepribadian Tuan Yue dari Huashan yang termasyhur. Kalau ucapanmu dapat dipercaya, tentu kau tidak akan lagi dijuluki sebagai Si Pedang Budiman.”
“Pintar bicara! Rupanya ini hasil pergaulanmu dengan Linghu Chong?” sahut Yue Buqun. “Kau tidak perlu banyak bicara lagi! Cukup katakan kepadaku bagaimana cara meracik obat penawar pil iblis itu!”
“Sudah tentu takkan kukatakan,” jawab Ren Yingying tegas. “Kelak tiga tahun lagi aku dan Kakak Chong akan menyambut kedatanganmu di pintu akhirat. Namun waktu itu wajahmu tentu sudah berbeda dengan sekarang ini. Jangan-jangan aku tidak bisa mengenalimu lagi.”
Yue Buqun merinding mendengarnya. Ia paham, begitu kuman dalam pil bekerja menyerang otak, maka pikirannya akan langsung menjadi gila. Setelah itu lantas muncul dorongan untuk merusak tubuh sendiri. Tangannya akan bergerak mencakari wajah hingga hancur tak berbentuk.
“Baiklah,” sahut Yue Buqun kemudian. Rupanya perasaan takut di hatinya telah berubah menjadi gusar. “Meskipun wajahku kelak akan hancur, tapi paling tidak wajahmu akan hancur pula lebih dulu. Aku tidak akan membunuhmu, melainkan hanya merusak wajahmu yang cantik ini. Akan kupotong hidung dan telingamu, akan kusayat-sayat pipimu yang halus. Coba lihat, apakah Kakak Chong-mu yang tercinta ini masih tetap menyukai siluman seperti dirimu atau tidak?” Usai berkata ia langsung melolos pedang di tangan kanan.
Ren Yingying menjerit ngeri. Meskipun tidak takut mati, namun kalau wajahnya sampai disayat-sayat hingga rusak, lantas terlihat oleh Linghu Chong, maka hal ini sungguh sangat mengerikan baginya.
Meskipun titik bisu Linghu Chong sedang tertotok sehingga mulutnya tidak bisa bersuara, namun tangan dan kakinya masih dapat bergerak. Ia pun memahami perasaan Ren Yingying. Dengan sikunya ia menyinggung si nona, lalu kedua jarinya bergerak hendak mencolok kedua mata sendiri.
Kembali Ren Yingying menjerit kaget. “Kakak Chong, jangan!” teriaknya khawatir.
Sebenarnya Yue Buqun tidak sungguh-sungguh hendak merusak wajah Ren Yingying. Hal ini hanya digunakan untuk mendesak si nona agar mau mengajarkan cara membuat obat penawar Pil Pembusuk Otak. Sehingga begitu melihat Linghu Chong hendak membutakan mata sendiri, maka rencananya yang jitu itu menjadi tidak berguna lagi. Dengan kecepatan luar biasa sebelah tangannya lantas menjulur. Dari luar jala ia memegang pergelangan tangan Linghu Chong sambil membentak, “Berhenti!”
Begitu kedua tangan mereka bertemu segera Jurus Penyedot Bintang pun bekerja. Yue Buqun merasa tenaga dalamnya membanjir keluar dengan sangat deras. Ia menjerit kaget dan berusaha meronta untuk melepaskan cengkeramannya, namun sudah terlambat. Tangan kirinya itu terasa sudah melekat kuat pada pergelangan tangan Linghu Chong.
Tanpa pikir panjang Linghu Chong lantas membalik tangannya. Kini ia berbalik mencengkeram tangan Yue Buqun dan mengerahkan Jurus Penyedot Bintang lebih keras lagi. Berangsur-angsur ia menghisap tenaga dalam Yue Buqun ke dalam tubuhnya dengan lebih kencang.
Yue Buqun sangat gugup dan segera mengayunkan pedang di tangan kanan untuk menebas tubuh Linghu Chong. Akan tetapi Linghu Chong lebih dulu menarik tangannya sehingga tubuh Yue Buqun ikut terseret maju. Akibatnya, tebasan pedang tersebut meleset dan mengenai tanah.
Tenaga dalam Yue Buqun masih terus membanjir keluar. Ketika bermaksud menyerang lagi, ternyata tangan kanannya sudah semakin lemah lunglai. Lengannya itu bahkan susah untuk digerakkan. Dengan sisa tenaga ia berusaha mengangkat pedang dan mengarahkan ujungnya ke dahi Linghu Chong. Lengan dan pedang itu tampak gemetar, namun perlahan-lahan menusuk ke depan.
Ren Yingying menjadi khawatir. Ia bermaksud menggunakan jari untuk menyentil batang pedang Yue Buqun, namun kedua lengannya tertindih oleh badan Linghu Chong. Jala pusaka itu terikat dengan kencang pula. Meskipun sudah meronta sekuat tenaga namun tetap sukar menarik tangannya yang tertindih itu.
Tangan kiri Linghu Chong sendiri juga terjepit oleh Ren Yingying dan tidak dapat digeser. Tampak ujung pedang Yue Buqun sudah semakin mendekati dahinya. Tiba-tiba ia pun merenung, “Aku telah membunuh Zuo Lengchan dan melukai Lin Pingzhi dengan tusukan pedang perlahan-lahan. Kini Guru juga hendak membunuhku dengan cara yang sama. Sungguh cepat sekali datangnya hukum karma.”
Yue Buqun merasakan tenaga dalamnya semakin habis terkuras, namun ujung pedangnya juga tinggal beberapa senti saja dari kening Linghu Chong. Perasaan cemas dan senang bercampur aduk. Ia berharap tusukan pedangnya ini dapat membinasakan Linghu Chong. Sekalipun tenaga dalamnya terkuras habis, asalkan ia tetap hidup tentu masih ada harapan untuk berlatih kembali.
Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang terdengar suara teriakan seorang gadis muda, “Hei, apa yang kau lakukan? Cepat lepaskan pedangmu!”
Setelah itu terdengar suara langkah kaki seseorang berlari-lari mendekati tempat itu. Yue Buqun tidak peduli dan terus saja menusukkan pedangnya ke depan. Ujung pedangnya kini hanya tinggal dua senti saja untuk dapat membinasakan Linghu Chong. Hidup atau mati benar-benar tergantung pada hasil tusukannya ini.
Dengan sisa-sisa tenaga ia berusaha terus mendorong pedangnya ke depan. Akhirnya, ujung pedangnya sudah menyentuh dahi Linghu Chong. Namun pada saat itu juga punggungnya terasa dingin. Tiba-tiba sebilah pedang sudah menusuk punggungnya hingga tembus ke dada. Seketika tubuh Yue Buqun pun lemas dan langsung roboh di tanah.
“Kakak Linghu, apa kau baik-baik saja?” terdengar suara gadis itu menyapa. Ternyata ia adalah Yilin, si biksuni muda dari Henshan.
Linghu Chong tidak dapat membuka suara. Darahnya terasa sedang bergemuruh memenuhi rongga dada. Maka itu, Ren Yingying pun menjawab, “Adik Yilin, Kakak Linghu baik-baik saja.”
“Syukurlah kalau begitu,” seru Yilin senang. Tiba-tiba ia tercengang dan menjerit ketakutan, “Hah, bukankah dia ini Tuan Yue? Aku… aku telah membunuh Tuan Yue!”
“Benar,” sahut Ren Yingying. “Selamat untukmu! Kau telah berhasil membalaskan kematian gurumu. Sekarang tolong kau lepaskan tali pengikat jala ini untuk membebaskan kami berdua.”
“O, ya, ya!” jawab Yilin gemetar. “Jadi aku… aku telah mem… membunuh dia?”
Meskipun sudah lama belajar silat, namun pada dasarnya ia berhati kecil. Melihat Yue Buqun tengkurap di tanah bermandikan darah segar, seketika tangannya langsung gemetar. Ia bermaksud memegang tali jala untuk membukanya, namun kedua tangannya terasa tak bertenaga. Beberapa kali ia mencoba membuka ikatan tali jala tersebut, tapi tetap saja kesulitan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang membentak, “Biksuni cilik, kau berani membunuh ketua Perguruan Lima Gunung! Dosamu harus mendapat hukuman yang setimpal!” Tampak seorang tua berbaju kuning sedang menyerbu maju dengan pedang di tangan kanan. Ia tidak lain adalah Lao Denuo.
“Celaka!” seru Linghu Chong dalam hati.
Segera Ren Yingying berseru, “Adik, lekas ambil pedangmu untuk melawannya!”
Mula-mula Yilin tertegun, namun ia segera mencabut pedang di tubuh Yue Buqun. Sementara itu Lao Denuo sudah melancarkan tiga serangan berturut-turut. Yilin dapat menangkis kedua serangan, namun serangan ketiga telah menggores bahu kirinya hingga terluka.
Sebenarnya Lao Denuo bukan pendukung Yue Buqun. Tujuannya menyerang Yilin hanyalah untuk mencegah biksuni muda itu membebaskan Linghu Chong dan Ren Yingying. Serangan-serangan orang tua itu tampak semakin cepat. Yang ia mainkan adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis. Hanya saja karena latihannya belum sempurna, maka kecepatannya sangat jauh bila dibandingkan dengan Lin Pingzhi. Namun pada dasarnya kepandaian Lao Denuo memang cukup tinggi dan jauh lebih berpengalaman. Ia menguasai ilmu pedang Songshan dan Huashan dengan baik. Tentu saja Yilin bukan tandingannya.
Meskipun demikian, ilmu silat Yilin sendiri juga sudah maju pesat. Siang malam ia berada dalam bimbingan Yihe dan Yiqing untuk mempelajari ilmu pedang leluhur Perguruan Henshan yang diperoleh Linghu Chong dari dinding gua rahasia dulu. Di samping itu, karena Lao Denuo juga sedikit ragu-ragu dalam memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis, sehingga cenderung memainkan campuran ilmu pedang Songshan dan Huashan. Karena kedua ilmu pedang itu dicampur aduk, akibatnya malah kehilangan kesaktiannya. Maka itu, untuk sementara Yilin masih dapat menghadapi kepandaian Lao Denuo tersebut.
Pada mulanya Yilin agak gugup karena serangan lawan begitu mendadak sehingga bahunya pun terluka. Namun begitu teringat kalau dirinya sampai kalah, maka nasib Linghu Chong dan Ren Yingying tentu dalam bahaya. Dalam benaknya terlintas suatu pikiran, “Jika musuh hendak membunuh Kakak Linghu, maka dia harus melangkahi mayatku lebih dahulu.” Seketika ia pun tidak takut mati dan terus menyerang melancarkan jurus-jurus pedang Henshan dengan nekad.
Menghadapi perlawanan sengit yang tidak kenal takut itu, membuat Lao Denuo menjadi sukar untuk mengalahkan Yilin. Terpaksa ia bertarung sambil memaki, “Biksuni cilik, keparat kau! Persetan ibumu!”
Ren Yingying melihat cara bertempur Yilin yang nekad itu sebenarnya hanya bisa bertahan untuk sementara saja. Segera ia pun meronta berusaha membebaskan diri. Setelah menggeser tubuhnya akhirnya ia bisa menggerakkan tangan kiri dan membuka totokan Linghu Chong. Setelah itu ia lantas melolos pedang pendeknya yang terselip di pinggang.
“Hei, Lao Denuo, siapa itu yang ada di belakangmu?” seru Linghu Chong begitu mulutnya bisa kembali bersuara.
Namun Lao Denuo cukup berpengalaman. Dalam pertempuran mati-matian seperti itu tentu saja ia tidak mau tertipu oleh seruan Linghu Chong tersebut. Ia memilih tidak peduli terhadap teriakan Linghu Chong, sebaliknya malah mempergencar serangan-serangannya.
Sementara itu diam-diam Ren Yingying bermaksud melemparkan pedang pendeknya dari dalam jala. Namun jarak pertarungan antara Yilin dan Lao Denuo sangat dekat. Ia takut kalau lemparannya sedikit melenceng tentu malah mengenai tubuh Yilin.
Tiba-tiba terdengar Yilin kembali menjerit. Ternyata bahunya terkena senjata musuh. Kalau luka yang pertama tadi hanya tergores sedikit, maka luka yang kedua ini agak parah sehingga darah pun bercucuran.
“Eh, ada monyet!” kembali Linghu Chong berseru pula. “Ah, aku kenal monyet itu. Itu monyet piaraan Adik Keenam dulu. Hei, monyet yang baik, cepat kau tubruk keparat itu! Gigit orang itu sampai mampus! Dia adalah bajingan yang membunuh majikanmu!”
Waktu itu demi mencuri kitab pusaka Pelangi Ungu milik Yue Buqun, maka Lao Denuo telah membunuh Lu Dayou, murid keenam Perguruan Huashan. Lu Dayou memang memiliki seekor kera yang selalu hinggap di atas pundaknya. Setelah ia terbunuh, kera kecil itu pun menghilang entah ke mana.
Kini mendengar Linghu Chong berseru tentang monyet, mau tidak mau Lao Denuo merinding juga. Ia berpikir, “Entah dia bohong atau tidak, tapi kalau binatang itu benar-benar menubruk ke tubuhku dan menggigit diriku, rasanya repot juga untuk mengusirnya.” Maka tanpa pikir lagi pedangnya lantas menebas ke belakang. Padahal kalau dipikir dengan jernih, mana ada seekor monyet berani mendekati dua manusia yang sedang bertarung?
Pada saat itulah Ren Yingying segera melemparkan pedang pendeknya melalui bagian bawah jala yang sedikit terbuka. Pedang pendek itu melesat secepat kilat menyambar ke arah tengkuk Lao Denuo. Namun Lao Denuo sangat cekatan dan berhasil mengelak. Dengan sedikit menunduk ke bawah, pedang Ren Yingying itu hanya lewat di atas kepalanya. Tapi mendadak pergelangan kaki kirinya terasa kencang karena terjerat oleh seutas tali, bahkan tali itu lantas tertarik sehingga tubuhnya pun jatuh tersungkur.
Ternyata dalam keadaan gawat tersebut, Linghu Chong tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sewaktu Lao Denuo mendekam ke bawah untuk menghindari sambaran pedang pendek tadi, Linghu Chong mempersiapkan serangan kedua. Meskipun tidak mampu membebaskan diri, namun tali jala yang cukup panjang itu dapat diayunkannya untuk menjerat kaki Lao Denuo dan menariknya hingga jatuh.
“Bunuh dia! Lekas bunuh dia!” seru Linghu Chong dan Ren Yingying bersama-sama.
Yilin lantas mengangkat pedangnya hendak memenggal kepala Lao Denuo. Namun pada dasarnya ia bersifat welas asih dan berhati kecil pula. Sewaktu membunuh Yue Buqun tadi ia hanya terdorong oleh perasaan ingin menolong Linghu Chong, maka tanpa pikir ia langsung saja menusuk. Namun sekarang ketika pedangnya hampir mengenai leher Lao Denuo, tiba-tiba timbul perasaan tidak tega. Akibatnya, serangannya itu sedikit melenceng dan hanya mengenai pundak kanan Lao Denuo.
Tulang pundak Lao Denuo putus seketika. Pedangnya pun terlepas dari genggaman. Khawatir Yilin kembali menyerang, Lao Denuo segera melompat bangun sambil menahan sakit. Setelah meronta dan terlepas dari jerat tali jala tadi, secepat kilat ia lantas kabur melarikan diri ke bawah tebing.
Tiba-tiba dari arah lain muncul dua orang. Seorang perempuan yang berjalan di depan lantas membentak, “Hei, apa kau yang memaki anak perempuanku tadi, hah?” Ternyata perempuan itu adalah ibu Yilin, si perempuan tua penjaga Kuil Gantung yang selama ini menyamar bisu tuli.
Tanpa menjawab Lao Denuo lantas mengangkat kaki hendak menendang. Namun gerak tubuh si nenek sangat cepat sukar untuk dilukiskan. Hanya sedikit berkelit, tahu-tahu tangannya sudah menampar wajah Lao Denuo satu kali.
“Kurang ajar!” bentak perempuan itu. “Tadi kau memaki ‘persetan ibumu’ kepadanya! Maka kuberi tahu padamu, akulah ibunya!”
“Tahan dia, tahan dia! Jangan lepaskan dia!” seru Linghu Chong.
Sebenarnya si nenek sudah mengangkat tangan hendak memukul keras-keras kepala Lao Denuo. Namun begitu mendengar seruan Linghu Chong itu, ia menjadi marah dan berkata, “Setan cilik, aku justru ingin melepaskan dia, kau mau apa?” Usai berkata ia lantas memberi jalan kepada Lao Denuo sambil menendang pantatnya satu kali.
Bagaikan lolos dari neraka, Lao Denuo langsung berlari tunggang langgang turun dari puncak gunung itu.
Orang kedua yang ikut di belakang si nenek tidak lain adalah Biksu Bujie. Dengan tertawa ia mendekati Linghu Chong dan berkata, “Hei, masih banyak tempat bermain yang bagus. Mengapa kalian lebih suka bermain petak umpet di dalam jala?”
“Lekas buka jala itu, Ayah! Lepaskan Kakak Linghu dan Nona Ren,” seru Yilin.
Tapi si nenek menyela dengan muka beringas, “Aku masih harus membuat perhitungan dengan setan cilik ini, jangan lepaskan dia!”
“Hahahahaha!” Linghu Chong bergelak tertawa. “Suami-istri naik tempat tidur, makcomblang ikut senang! Kalian suami-istri telah berkumpul kembali mengapa tidak mengucapkan terima kasih kepada makcomblang ini?”
Namun nenek itu malah menendang tubuh Linghu Chong satu kali dengan gemas, dan memaki, “Aku berterima kasih dengan cara menendangmu.”
“Hei, Enam Dewa Lembah Persik juga datang,” teriak Linghu Chong tiba-tiba. “Lekas kalian tolong aku!”
Rupanya si nenek agak gentar terhadap Enam Dewa Lembah Persik. Begitu mendengar seruan Linghu Chong itu, ia terkejut dan langsung menoleh. Maka kesempatan itu pun dimaanfaatkan Linghu Chong untuk membuka tali pengikat jala dengan sangat cepat dan membiarkan Ren Yingying merangkak keluar. Ketika ia sendiri hendak merangkak keluar mendadak si nenek membentak, “Kau tidak boleh keluar!”
“Tidak boleh juga tidak masalah,” ujar Linghu Chong tertawa. “Di dalam jala ini ada duniaku tersendiri. Di sini terasa nyaman, bagaikan kahyangan. Seorang laki-laki sejati sanggup mengkerut dan memuai sesuai kebutuhan. Saat mengkerut aku masuk jala, saat memuai aku keluar jala. Masalah seperti ini tidak ada artinya buatku. Aku Linghu….” Seketika Linghu Chong langsung terdiam begitu pandangannya bergeser ke arah mayat Yue Buqun yang tegeletak di situ. Meskipun bekas gurunya itu berkali-kali hendak mencelakainya, namun ia tidak sanggup melupakan kebaikan Yue Buqun yang sudah merawatnya sejak kecil. Ia menganggap rusaknya hubungan guru dan murid semata-mata hanya dikarenakan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Seketika hatinya menjadi pilu. Tanpa terasa air mata pun berlinang-linang dan mengucur di pipi pemuda itu.
Sepertinya si nenek tidak mengetahui perasaan Linghu Chong. Ia masih saja marah-marah dan memaki, “Setan cilik, kalau tidak kuhajar kau, rasanya tidak terlampiaskan rasa benciku padamu!” Usai berkata demikian ia segera mengangkat tangan hendak menampar muka Linghu Chong.
Yilin tampak sedih dan berteriak mencegah, “Ibu, jangan….”
Sementara itu Linghu Chong tersadar dari lamunannya dan entah bagaimana tangannya sudah memegang sebilah pedang. Rupanya Ren Yingying sempat menyerahkan sebilah pedang saat pemuda itu sedang termangu-mangu.
Begitu senjata sudah di tangan, serentak Linghu Chong mengacungkan pedangnya itu dan menusuk ke arah titik penting di pundak kanan si nenek. Terpaksa perempuan tua itu mundur selangkah.
Melihat Linghu Chong berani melawannya bahkan balas menyerang, nenek itu bertambah marah. Tubuhnya bergerak secepat angin. Tangannya menghantam dan kaki menendang bersama-sama. Berkali-kali ia melancarkan tujuh-delapan serangan sekaligus. Namun Linghu Chong dapat melawannya dengan tidak kalah cepat pula. Meski masih di dalam jala, tapi pedangnya selalu mengancam tempat-tempat berbahaya di tubuh si nenek. Hanya saja setiap kali ujung pedang hampir mengenai sasaran segera ditariknya kembali. Sembilan Jurus Pedang Dugu boleh dikata tidak memiliki tandingan di dunia ini. Kalau saja Linghu Chong tidak memberi kelonggaran, mungkin si nenek sudah berlubang-lubang tubuhnya sejak tadi.
Setelah bergerak lagi beberapa jurus, akhirnya perempuan itu menghela napas panjang. Ia menyadari ilmu silat Linghu Chong sangat jauh di atasnya. Maka ia pun berhenti menyerang dengan raut muka memendam kecewa.
“Istriku,” sahut Biksu Bujie menenangkannya, “kita semua adalah kawan sendiri. Untuk apa berselisih?”
“Siapa yang menyuruhmu ikut bicara?” bentak si nenek gusar. Segera ia bermaksud melampiaskan kemarahannya kepada Bujie.
Kesempatan itu digunakan Linghu Chong untuk meletakkan pedangnya dan menerobos keluar dari dalam jala. Sambil tertawa ia berkata, “Jika kau ingin melampiaskan kemarahanmu, silakan pukul aku saja!”
Tanpa permisi perempuan itu langsung menampar muka Linghu Chong dengan sangat keras. Pemuda itu berteriak tapi tidak menghindar sedikit pun.
“Kenapa kau tidak menghindar?” bentak si nenek gusar.
“Aku tidak mampu menghindarinya,” sahut Linghu Chong tertawa. “Aku bisa apa?”
Nenek itu mendengus. Kembali ia mengangkat tangan hendak memukul, namun diurungkannya. Ia tahu Linghu Chong sengaja mengalah kepadanya karena menghormati Yilin.
Sementara itu Ren Yingying sedang menarik tangan Yilin dan berkata kepadanya, “Adik, syukur kau datang tepat waktu dan menolong kami. Tapi, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?”
“Kami semua, murid-murid Perguruan Henshan telah ditangkap oleh anak buahnya,” sahut Yilin sambil menunjuk ke arah mayat Yue Buqun. “Kami dikurung di tempat yang terpisah-pisah. Aku dan ketiga kakak dikurung di suatu gua. Kemudian Ayah, Ibu, dan Bujubujie datang menolong kami. Selanjutnya kami berpencar untuk menolong saudara-saudara lainnya. Aku bersama Ayah dan Ibu, sementara ketiga kakak bersama Bujubujie. Ketika sampai di bawah tebing ini aku mendengar ada orang berbicara di atas. Karena suaranya seperti suara Kakak Linghu, maka aku pun berlari meninggalkan Ayah dan Ibu untuk mendahului naik ke atas sini.”
Ren Yingying berkata, “Aku dan Ketua Linghu mencari kalian ke berbagai tempat dan tidak menemukan seorang pun. Ternyata kalian dikurung di dalam sebuah gua.”
Linghu Chong menyahut, “Si bangsat tua berbaju kuning tadi adalah manusia jahat. Sungguh hatiku tidak rela melihatnya sampai lolos.” Ia lantas memungut kembali pedangnya di tanah lalu menambahkan, “Mari kita lekas mengejarnya.”
Kelima orang itu lantas bergegas turun dari Tebing Perenungan tersebut. Tidak lama kemudian mereka bertemu Biksu Bujubujie alias Tian Boguang bersama tujuh orang murid Perguruan Henshan sedang mendaki ke atas. Salah seorang di antara ketujuh murid itu ternyata Yiqing. Mereka semua begitu gembira dapat berkumpul kembali dengan selamat.
Dalam hati Linghu Chong merenung, “Boleh dikatakan di dunia ini aku adalah orang yang paling paham seluk beluk Gunung Huashan. Namun aku sama sekali tidak tahu kalau di bawah lembah sana terdapat sebuah gua, sementara orang luar macam Tian Boguang kenapa bisa menemukannya? Ini sungguh aneh.”
Dengan penasaran Linghu Chong lantas menarik baju Tian Boguang dan mengajaknya berjalan pelan-pelan agar tertinggal di belakang rombongan. Perlahan ia bertanya, “Saudara Tian, ternyata di bawah lembah pegunungan Huashan ini terdapat gua rahasia lain, padahal aku tidak mengetahuinya sama sekali. Sungguh aku merasa heran dan sangat kagum kepadamu.”
“Sebenarnya juga tidak perlu heran seperti itu,” sahut Tian Boguang dengan tersenyum.
“Ah, aku tahu,” ujar Linghu Chong kemudian. “Tentu kau menangkap salah seorang murid Huashan, lalu memaksa dia menunjukkan di mana gua rahasia itu.”
“Juga bukan seperti itu,” sahut Tian Boguang.
“Lalu dari mana kau tahu ada gua di sana? Tolong kau jawab pertanyaanku ini,” pinta Linghu Chong.
Tiba-tiba sikap Tian Boguang terlihat kaku dan rikuh. Ia lantas menjawab dengan tersenyum, “Kurang pantas rasanya jika kuterangkan hal ini. Maka itu, lebih baik tidak kukatakan saja.”
“Kita berdua sama-sama kaum berandalan di dunia persilatan, apanya yang tidak sopan?” ujar Linghu Chong. “Sudahlah, lekas kau terangkan saja.”
“Jika kukatakan, hendaknya Ketua Linghu jangan marah,” kata Tian Boguang.
“Kenapa aku harus marah?” sahut Linghu Chong tertawa. “Seharusnya aku malah berterima kasih kepadamu karena telah menyelamatkan orang-orang Perguruan Henshan.”
Maka dengan suara tertahan Tian Boguang berkata, “Terus terang, sebagaimana diketahui oleh Ketua Linghu sendiri bahwa aku sudah lama malang melintang sebagai penjahat cabul di dunia ini. Tapi sejak kepalaku digunduli oleh Kakek Guru dan menjadi biksu dengan nama Bujubujie, maka dengan sendirinya aku tidak bisa melakukan begituan lagi….”
Teringat kepada nama aneh pemberian Biksu Bujie kepada Tian Boguang tersebut, tanpa terasa Linghu Chong tersenyum geli. Tian Boguang paham apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu. Seketika mukanya menjadi merah, dan ia pun berkata, “Namun kepandaian yang telah kumiliki sejak dulu tidak hilang begitu saja. Entah bagaimana, di mana ada perempuan berkumpul, tentu aku dapat… dapat merasakannya.”
Linghu Chong terheran-heran dan bertanya, “Bagaimana kau bisa melakukannya? Bagaimana caranya?”
“Aku juga tidak tahu bagaimana caranya. Rasanya aku bisa membedakan dengan jelas bagaimana bau badan perempuan dan bagaimana bau badan laki-laki meskipun jaraknya sangat jauh,” jawab Tian Boguang.
“Hahahaha! Saudara Tian benar-benar seorang mahacerdik!” puji Linghu Chong dengan bergelak tawa. “Pada umumnya para biksu memiliki telinga sakti, namun Saudara Tian justru memiliki hidung sakti.”
“Ah, tidak benar, tidak benar!” sahut Tian Boguang.
“Kepandaian Saudara Tian terasah karena sering berbuat hal-hal yang tidak baik, Semua kau peroleh berkat latihan keras dan pengalaman panjang. Tidak disangka, ilmu saktimu itu kini dapat digunakan untuk menolong murid-murid Perguruan Henshan,” kata Linghu Chong dengan terus tertawa.
Mendengar gelak tawa itu Ren Yingying menoleh ke belakang dan hendak bertanya. Namun melihat sikap Tian Boguang yang rikuh dan wajahnya bersemu merah, si nona menduga tentu mereka sedang membicarakan hal-hal yang kurang sopan. Maka itu, ia pun batal bertanya.
Tiba-tiba Tian Boguang berhenti di situ dan berkata, “Hei, di sebelah kiri sana sepertinya ada beberapa anggota Perguruan Henshan.” Usai berkata ia lantas mengendus-endus dengan kuat beberapa kali, lalu melangkah ke arah semak-semak di bawah lereng sana sambil mengendap-endap mencari sesuatu. Perbuatannya itu tampak seperti anjing pemburu yang sedang mencari jejak hewan buruannya.
Tidak lama kemudian, mendadak ia bersorak gembira dan berseru, “Ini dia, di sebelah sini!”
Tempat yang ditunjuknya berupa tumpukan belasan bongkah batu besar. Setiap bongkahan batu itu sangat berat. Segera ia pun bekerja keras. Sebongkah batu besar itu lantas disingkirkan dari tempatnya.
Dengan cepat Biksu Bujie dan Linghu Chong ikut membantu. Sebentar saja belasan batu besar telah ia singkirkan. Ternyata di bawahnya terdapat sepotong balok batu. Ketika mereka mengangkat balok batu itu, segera tampak sebuah lubang gua bawah tanah. Di dalam gua tersebut berbaring beberapa biksuni, jelas mereka adalah murid Perguruan Henshan semuanya.
Lekas-lekas Yiqing dan dua orang lainnya melompat turun ke dalam gua dan mengangkat keluar saudara-saudara seperguruan mereka itu. Sudah lima-enam orang yang berhasil digotong keluar. Di dalam gua ternyata masih ada yang lain, semuanya dalam keadaan payah. Segera mereka menyeret keluar semua murid Perguruan Henshan yang terkurung itu. Yihe, Zheng E, dan Qin Juan tampak berada di antaranya. Gua sesempit itu ternyata berisi tiga puluhan orang. Andaikan terlambat semalam saja, tentu mereka semua mati lemas karena kehabisan udara.
Teringat betapa kejam sang guru, mau tidak mau Linghu Chong merasa ngeri juga. Segera ia pun memuji Tian Boguang, “Saudara Tian, kepandaianmu sungguh istimewa. Para kakak dan adik tersembunyi di dalam gua bawah tanah sedalam ini, tapi kau dapat mengendusnya. Sungguh aku sangat kagum padamu.”
“Sebenarnya tidak terlalu istimewa,” ujar Tian Boguang. “Untunglah di antara para bibi itu ada yang berasal dari kalangan bukan biksuni….”
“Para bibi apa?” tanya Linghu Chong heran. Namun ia segera paham dan berkata, “Ah, benar juga! Kau adalah murid Adik Yilin.”
“Bila yang terkurung di dalam gua ini hanya para bibi dari kalangan biksuni, maka sukar bagiku untuk menemukannya,” jawab Tian Boguang.
“Oh, rupanya ada perbedaan besar antara kaum agama dengan perempuan biasa?” tanya Linghu Chong.
“Sudah tentu ada bedanya,” ujar Tian Boguang. “Perempuan dari keluarga biasa pada tubuhnya terdapat bau bedak dan gincu yang wangi.”
Linghu Chong pun paham permasalahannya. Harumnya bedak dan gincu itu menambah kuat bau perempuan mereka sehingga membuat Tian Boguang lebih cepat dalam menemukannya.
Beramai-ramai Yiqing, Yilin, dan yang lain sibuk menyadarkan para saudara seperguruannya yang sudah payah itu. Setelah diberi minum air jernih, satu per satu mereka akhirnya sadar kembali.
“Yang kita selamatkan ini belum ada sepertiga dari semua saudara-saudara kita,” kata Linghu Chong. “Maka itu, Saudara Tian, harap kau pertunjukkan kesaktianmu. Marilah kita mencari lagi saudara-saudara kita yang lain.”
Saat itu si nenek sedang melirik kepada Tian Boguang dengan penuh rasa curiga. Tiba-tiba ia bertanya kasar, “Bagaimana kau bisa mengetahui mereka terkurung di sini? Kemungkinan besar kau berada di sekitar sini ketika mereka disekap, benar tidak?”
“Tidak, tidak,” segera Tian Boguang membantah. “Aku senantiasa ikut Kakek Guru. Ke mana pun Beliau pergi aku tidak pernah berpisah selangkah pun.”
“Apa kau senantiasa ikut di sisinya?” sahut si nenek menegas dengan muka cemberut.
Diam-diam Tian Boguang merasa ucapannya keliru. Ia tahu Biksu Bujie dan istrinya baru saja berkumpul kembali setelah sekian lamanya berpisah. Segala perbuatan mereka di sepanjang jalan, baik itu menangis, tertawa, bertengkar, atau bermesraan, semua disaksikan oleh Tian Boguang. Kalau sekarang si nenek guru sampai marah karena malu, tentu ia bisa celaka. Maka dengan cepat ia pun menjawab, “Bukan begitu maksudku. Selama setengah tahun ini aku selalu mendampingi Kakek Guru, tapi kira-kira sepuluh hari terakhir kami berpisah dan baru bertemu kembali di Huashan sini.”
Sudah tentu si nenek setengah percaya dan setengah ragu. Ia kembali bertanya, “Lalu bagaimana kau bisa mengetahui para biksuni terkurung di dalam gua ini?”
“Tentang ini… ini….” seketika Tian Boguang menjadi sukar memberi jawaban.
Pada saat itulah tiba-tiba dari arah lereng gunung bergema suara trompet disusul suara genderang bergemuruh yang sangat ramai. Sepertinya ada beribu-ribu prajurit menyerbu Gunung Huashan. Seketika semua orang menjadi tercengang.
Ren Yingying lantas berbisik kepada Linghu Chong, “Ayahku datang.”
“Oh….” Ujar Linghu Chong terputus. Sebenarnya ia hendak berkata, “Oh, ternyata ayah mertuaku yang datang!” namun tiba-tiba merasa tidak enak untuk melanjutkannya.
Si nenek tampak heran dan bertanya, “Apakah ada pasukan yang datang?”
Tiba-tiba suara genderang dan terompet itu berhenti serentak. Sebanyak tujuh atau delapan orang lantas berteriak bersama-sama, “Pemimpin Partai Mentari dan Bulan, penguasa dunia persilatan, pelindung rakyat jelata, Paduka Yang Mulia Ketua Ren telah tiba!”
Tenaga dalam orang-orang itu sangat dahsyat. Suara teriakan mereka seketika menggelegar di angkasa lembah pegunungan sampai menimbulkan suara gema yang bergemuruh. Maka terdengarlah gema suara mereka berkali-kali, “Ketua Ren datang! Ketua Ren datang!”
Raut muka Biksu Bujie dan para murid Henshan seketika pucat mendengar gema suara itu. Belum lenyap suara gema yang pertama berkumandang, kembali terdengar pula banyak orang berteriak, “Hidup Ketua Ren! Semoga Ketua Ren panjang ujmur, hidup abadi, merajai dunia persilatan!”
Dari suara gemuruh yang menggetarkan bumi itu, jumlah mereka yang berteriak-teriak sedikitnya ada dua sampai tiga ribu orang. Sejenak kemudian, gema suara itu terdengar mulai reda. Setelah suasana hening, kembali terdengar seseorang berseru dengan lantang, “Pemimpin Partai Mentari dan Bulan, Ketua Ren yang mahabijaksana, sang juruselamat memberikan perintah: Hendaknya para ketua dari Serikat Pedang Lima Gunung beserta semua muridnya mematuhi perintah untuk berangkat dan berkumpul di Puncak Menyongsong Mentari!”
Orang itu mengulangi titah sang ketua sampai tiga kali. Selang sejenak ia lantas menyambung kembali, “Para ketua cabang dan semua wakilnya harap segera memimpin anak buah masing-masing mengadakan pemeriksaan di segenap puncak gunung. Jaga semua jalur keluar-masuk dengan ketat. Orang yang tidak berkepentingan dilarang melewati pegunungan ini. Yang melanggar perintah bisa dibunuh saja tanpa perkara.”
Segera terdengar dua-tiga puluh orang mengiakan perintah itu.
Linghu Chong saling pandang sekejap dengan Ren Yingying. Mereka paham apa artinya perintah tersebut, yaitu setiap anggota Serikat Pedang Lima Gunung harus pergi ke Puncak Menyongsong Mentari untuk menghadap kepada Ren Woxing. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Ketua Ren adalah ayah dari Yingying. Bagaimanapun juga ia adalah calon mertuaku. Tiada salahnya kalau aku ke sana sekarang.”
Karena itu ia lantas berkata kepada Yihe dan yang lain, “Masih ada sebagian saudara kita yang terkurung. Hendaknya Saudara Tian menjadi penunjuk jalan untuk menolong mereka keluar. Ketua Ren adalah ayah Nona Ren, rasanya Beliau tidak akan menyusahkan kita. Aku dan Nona Ren akan mendahului pergi ke puncak timur sana. Setelah saudara-saudara kita berkumpul semua, hendaknya semua beramai-ramai bergabung ke sana pula.”
Yihe, Yiqing, Yilin, dan yang lain serentak mengiakan. Mereka lantas mengikuti Tian Boguang pergi mencari teman-teman lain yang masih terkurung di berbagai tempat.
Tiba-tiba si nenek mengomel, “Huh, untuk apa aku harus memaatuhi perintah si Ketua Ren itu? Baiklah, aku ingin melihat bagaimana orang bermarga Ren itu membunuhku tanpa perkara!”
Linghu Chong paham watak si nenek ini memang sukar diajak bicara. Seandainya ia bersedia pergi menemui Ren Woxing, bukan tidak mungkin malah menimbulkan gara-gara. Maka itu ia pun melangkah pergi dengan Ren Yingying saja setelah memberi hormat kepada Biksu Bujie dan istrinya itu.
Sambil berjalan Linghu Chong bercerita, “Gunung Huashan memiliki tiga puncak tertinggi, yaitu puncak barat, puncak timur, dan puncak selatan. Puncak barat dan timur adalah yang terutama. Puncak timur memiliki nama sebutan Puncak Menyongsong Mentari. Ayahmu sengaja memilih Puncak Menyongsong Mentari sebagai tempat pertemuan dengan para kesatria Serikat Pedang Lima Gunung sudah tentu mempunyai maksud yang mendalam. Sepertinya kami semua diminta untuk menyongsong kedatangan ayahmu sebagai penguasa tertinggi. Sudah pasti ayahmu mendengar berita bahwa semua anggota Serikat Pedang Lima Gunung sedang berkumpul di Gunung Huashan sini, lantas ia pun datang untuk memerintahkan kami semua datang menghadap.”
Ren Yingying berkata, “Di antara para pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung itu, dalam sehari saja telah terbunuh tiga orang, yaitu Tuan Yue, Zuo Lengchan, dan Tuan Besar Mo. Perguruan Taishan sendiri belum memiliki ketua yang baru. Dengan demikian di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya tinggal kau seorang saja yang menjabat ketua.”
Linghu Chong menjawab, “Selain Perguruan Henshan kami, hampir semua tulang punggung Serikat Pedang Lima Gunung sudah tewas di gua belakang Tebing Perenungan itu. Sementara itu murid-murid Henshan sendiri juga baru saja terkurung dalam keadaan payah. Maka itu aku menjadi khawatir….”
“Kau khawatir ayahku akan menumpas habis Serikat Pedang Lima Gunung kalian pada kesempatan seperti sekarang ini?” sahut Ren Yingying menegas.
Linghu Chong mengangguk sambil menghela napas, lalu berkata, “Sebenarnya Beliau tidak perlu turun tangan juga orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung sudah tidak berarti lagi.”
“Perhitungan ayahku kali ini benar-benar sangat jitu,” kata Ren Yingying. “Tuan Yue telah memancing berbagai tokoh inti dari Serikat Pedang Lima Gunung untuk masuk ke dalam gua rahasia di Gunung Huashan ini untuk melihat ilmu pedang para leluhur yang terukir di dinding. Diam-diam tentu dia bermaksud menumpas mereka semua agar dapat menjabat sebagai ketua Perguruan Lima Gunung dengan aman. Tak disangka kesempatan itu justru digunakan oleh Zuo Lengchan dengan mengajak segerombolan orang buta untuk membinasakan Tuan Yue di dalam gua gelap tersebut.” Mengingat Linghu Chong sedang berduka, ia tidak berani sembarangan menyebut nama Yue Buqun.
“Kau bilang Zuo Lengchan bermaksud membunuh guruku?” sahut Linghu Chong menegas. “Jadi bukan aku yang diincar Zuo Lengchan?”
“Dia tidak menyangka kau akan datang juga ke sini,” sahut Ren Yingying. “Ilmu pedangmu sudah mahasakti, sudah lama pula kau mengetahui jurus-jurus ilmu pedang leluhur yang terukir di dinding gua itu. Maka ia menduga kau tidak akan tertarik oleh umpan yang dipasang Tuan Yue itu. Bukankah kita masuk ke dalam gua itu hanya karena kebetulan saja?”
“Benar juga,” ujar Linghu Chong. “Sebenarnya antara aku dan Zuo Lengchan tidak terdapat permusuhan yang mendalam. Kedua matanya telah dibutakan oleh Guru. Selain itu Guru juga telah merebut kedudukan ketua Perguruan Lima Gunung dan menghancurkan rencana jangka panjangnya. Hal inilah yang menjadi dendam kesumat baginya.”
“Zuo Lengchan pasti sudah mengatur tipu muslihat untuk memancing Tuan Yue masuk ke dalam gua itu,” lanjut Ren Yingying. “Dia bermaksud membunuh Tuan Yue di dalam gua yang gelap gulita. Tapi entah bagaimana Tuan Yue berhasil mengetahui tipu muslihat itu sehingga berbalik menanti di mulut gua. Ia bermaksud menangkap Zuo Lengchan dan gerombolannya menggunakan jala pusaka tadi. Kini Zuo Lengchan dan gurumu sudah meninggal semua. Kita hanya bisa menduga-duga, sementara seluk-beluk masalah ini secara terperinci mungkin tiada seorang pun yang tahu.”
Linghu Chong mengangguk dengan perasaan pilu.
Ren Yingying kembali berkata, “Sepertinya sudah sejak lama Tuan Yue merencanakan tipu muslihatnya untuk memancing kedatangan tokoh-tokoh inti Serikat Pedang Lima Gunung ke dalam gua itu. Sewaktu pertandingan di puncak Songshan tempo hari, adik kecilmu telah memainkan jurus-jurus leluhur Perguruan Taishan, Hengshan, Songshan, dan Henshan untuk menghadapi para ketua dari golongan masing-masing. Sudah tentu kepandaiannya yang luar biasa itu sangat menarik perhatian banyak orang. Hanya murid-murid Perguruan Henshan saja yang tidak tertarik oleh kepandaian Nona Yue karena kau sudah mengajarkan ilmu pedang leluhur yang kau peroleh dari ukiran di dinding gua tersebut kepada mereka. Sementara itu orang-orang Perguruan Hengshan, Songshan, dan Taishan tentu merasa penasaran dan berusaha mencari tahu dari mana Nona Yue dapat mempelajari ilmu pedang mereka yang lihai itu. Nah, di situlah Tuan Yue sengaja membocorkan sedikit rahasianya, lalu menentukan hari serta membuka pintu lebar-lebar gua keramat itu. Tentu saja para pemuka dari ketiga perguruan tersebut lantas membanjir ke sana dan berebut mendahului masuk ke dalam gua itu.”
“Benar sekali. Kaum persilatan seperti kita ini memang mudah tertarik kepada ilmu silat,” sahut Linghu Chong. “Begitu mendengar di mana ada ilmu silat yang istimewa, biarpun menghadapi bahaya besar juga tetap berangkat untuk melihatnya. Apalagi kalau menyangkut ilmu silat tertinggi dari perguruan sendiri, tentu saja harus dicari sampai bertemu. Bahkan, tokoh semacam Paman Mo yang biasanya acuh tak acuh akhirnya juga menjadi korban tipu muslihat guruku.”
Ren Yingying berkata, “Sepertinya Tuan Yue sudah menduga Perguruan Henshan kalian tidak akan datang ke sini. Maka itu dia mengatur siasat lain. Dengan menaburkan obat bius, para murid Henshan lalu ditawan dan dibawa ke Huashan sini.”
Linghu Chong terlihat heran dan berkata, “Aku tidak mengerti, mengapa Guru bersusah payah untuk menawan orang-orang Henshan ke sini? Padahal perjalanan cukup jauh, dan di tengah jalan juga bisa saja terjadi perlawanan. Kalau dia langsung membunuh orang-orang kami di Gunung Henshan bukankah jauh lebih mudah?” Setelah diam sejenak, ia kembali berkata, “Ah, aku paham sekarang. Kalau murid-murid Henshan dibunuh habis, ini berarti Perguruan Lima Gunung akan menjadi pincang. Padahal Guru ingin menjadi ketua Perguruan Lima Gunung secara sempurna. Tanpa Perguruan Henshan berarti jabatannya itu tidak sesuai lagi dengan namanya.”
“Sudah tentu,” ujar Ren Yingying. “Yang kau katakan itu hanyalah satu alasan saja. Tapi aku rasa masih ada satu alasan lain yang lebih besar.”
“Apa itu?” Linghu Chong bertanya.
“Yang paling baik baginya adalah bisa menangkapmu hidup-hidup,” tutur Ren Yingying. “Dengan menawan semua murid Perguruan Henshan ke sini, ia bermaksud memaksamu untuk datang pula dan menyerahkan sesuatu yang ia butuhkan. Nah, sesuatu itu sebenarnya ada di tangnaku.”
“O ya, aku tahu!” seru Linghu Chong sambil menepuk paha. “Yang diinginkan guruku adalah obat penawar Pil Pembusuk Otak.”
“Setelah Tuan Yue menelan pil itu, dengan sendirinya dia menjadi tidak tenteram siang dan malam,” ujar Ren Yingying. “Bagaimanapun juga dia berusaha hendak memusnahkan racun yang mengeram di dalam tubuhnya itu. Dia tahu, hanya melalui dirimu barulah obat penawar itu dapat diperoleh.”
“Benar,” jawab Linghu Chong. “Itu karena dia tahu kalau aku ini jantung hatimu. Hanya diriku saja yang dapat membuatmu rela menyerahkan obat penawar itu kepadanya.”
Ren Yingying menukas, “Huh, dasar tidak tahu malu, memuji diri sendiri! Kalau dia sampai menangkapmu dan memaksaku menyerahkan obat penawar tersebut, maka aku tidak sudi untuk menyerahkannya. Obat penawar tersebut bagaikan harta karun tak ternilai bagi partai kami.”
Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Pepatah mengatakan: memang sulit menemukan harta karun tak ternilai, tapi jauh lebih sulit menemukan kekasih sejati.”
Ren Yingying menunduk dengan wajah bersemu merah. Dalam hati ia mengakui kebenaran pepatah tersebut.
Akhirnya mereka berdua sampai di sebuah jalan setapak yang menanjak terjal. Jalan ini sangat kecil sehingga tidak bisa dilalui secara berdampingan.
“Kau berjalan di muka,” kata Ren Yingying.
“Lebih baik kau saja yang berjalan di depan. Bila kau jatuh terperosok tentu akan segera kupeluk,” ujar Linghu Chong.
“Tidak, kau saja yang berjalan di depan, juga tidak boleh menoleh ke belakang. Apa yang diperintahkan Nenek harus selalu kau patuhi!” kata Ren Yingying dengan tertawa.
“Baiklah, aku akan berjalan lebih dulu,” jawab Linghu Chong. “Tapi kalau aku sampai jatuh terperosok, maka kau harus memeluk diriku.”
“Tidak, tidak!” sahut Ren Yingying dengan cepat. Rupanya ia khawatir Linghu Chong pura-pura jatuh dan sengaja main gila padanya. Maka itu ia segera mendahului berjalan di depan.
Meskipun banyak bercanda, namun sorot mata Linghu Chong tetap memancarkan kesedihan. Ren Yingying paham kalau pemuda itu masih berduka atas kematian Yue Buqun. Maka, sepanjang perjalanan ia pun memancing Linghu Chong untuk selalu bicara dan bercanda. Setiap kali Linghu Chong memang tertawa namun tidak pernah sampai leluasa.
Setelah membelok beberapa tikungan, akhirnya mereka sampai di atas Puncak Gadis Suci. Linghu Chong lantas menunjuk tempat-tempat yang indah di puncak tersebut. Ren Yingying sadar tempat-tempat indah itu dulu tentu sering menjadi tempat bermain antara Linghu Chong dan Yue Lingshan. Maka itu ia hanya memandang sekali terhadap tempat-tempat indah tersebut tanpa banyak bertanya, karena takut Linghu Chong kembali bersedih.
Turun dari Puncak Gadis Suci, setelah berbelok melalui sebuah tikungan lagi, dan melewati jalan menanjak ke atas akhirnya sampailah mereka di Puncak Menyongsong Mentari. Tampak di lereng puncak tersebut penuh berdiri pos-pos penjagaan. Para anggota Partai Mentari dan Bulan tampak memakai seragam yang terdiri dari tujuh warna dan berdiri di bawah panji-panji sesuai warna masing-masing. Linghu Chong melihat keadaan mereka jauh lebih teratur dan tertib dibandingkan saat datang ke Bukit Kayu Hitam tempo hari.
Diam-diam Linghu Chong memuji dalam hati, “Ketua Ren benar-benar manusia luar biasa. Aku pernah memimpin ribuan pendekar menyerbu Biara Shaolin, tapi keadaan mereka kacau balau dan sama sekali tidak tertib. Mana mungkin aku bisa dibandingkan dengan Partai Mentari dan Bulan ini? Beribu-ribu anak-buahnya ternyata dapat melaksanakan tugas dengan sangat tertib. Dongfang Bubai juga manusia hebat. Hanya saja ia salah langkah dan terlalu percaya kepada Yang Lianting. Akibatnya, ia pun kehilangan segalanya.”
Begitu melihat kedatangan Ren Yingying, segenap anggota Partai Mentari dan Bulan serentak membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Terhadap Linghu Chong mereka juga memberikan penghormatan yang sama. Panji komando setingkat demi setingkat dikibarkan dari bawah hingga ke atas puncak untuk menyampaikan laporan kepada Ren Woxing tentang kedatangan mereka berdua.
Melihat setiap tempat penting di sekitar Puncak Menyongsong Mentari itu terjaga oleh anggota Partai Mentari dan Bulan yang beribu-ribu jumlahnya, jelas Ren Woxing telah mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghadapi lawan. Linghu Chong pun berpikir, “Andaikan para ketua Serikat Pedang Lima Gunung masih hidup dan berkumpul di Huashan sini, belum tentu mereka sanggup menghadapi lawan yang begini kuat. Jangankan melawan, untuk bertahan saja rasanya tidak mampu. Apalagi sekarang keadaan sudah berantakan, kekuatan kelima perguruan sudah mendekati nol. Semuanya kini terserah kepada takdir dan tinggal menerima nasib. Apabila Ren Woxing hendak membunuh habis orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung, tidak mungkin aku berdiam diri. Biarlah aku mati bersama murid-murid Henshan di puncak Huashan ini.”
Meskipun Linghu Chong cukup pintar dan cerdik, namun ia tidak biasa bermain siasat, juga tidak berbakat memimpin pekerjaan besar dan menghadapi kejadian luar biasa. Kini menghadapi kehancuran Perguruan Henshan secara total, ia merasa tidak punya akal untuk menyelamatkannya. Biarlah segala sesuatu terserah keadaan, menyerah kepada nasib. Terpikir pula olehnya bahwa Ren Yingying mempunyai hubungan darah dengan Ren Woxing. Tentu si nona akan bingung dan akhirnya memilih tidak membela pihak mana pun. Sudah pasti ia tidak akan membantu pihak Henshan dan memusuhi ayahnya sendiri. Maka itu, ia lantas menenangkan pikiran. Segenap anggota Partai Mentari dan Bulan yang bersiaga di sepanjang jalan itu dianggapnya sepi. Ia tetap bercanda dengan Ren Yingying atau membicarakan keindahan alam pegunungan Huashan yang mereka lalui itu.
Sebaliknya, pikiran Ren Yingying menjadi kusut dan sedih. Ia tidak dapat bersikap acuh tak acuh seperti Linghu Chong. Di sepanjang jalan ia justru memeras otak mencari akal bagaimana membantu kekasihnya itu. “Kakak Chong benar-benar tidak kenal takut. Sekalipun langit runtuh juga ia masih bisa bercanda. Keadaan sudah sedemikian gawat. Ayah datang kemari dengan segenap kekuatan, tentu bukan dengan tujuan yang baik. Aku tidak tahu harus bagaimana. Terpaksa yang paling baik adalah menunggu dan melihat serta berbuat menurut keadaan nanti. Mungkin saja ada jalan tengah yang baik bagi kedua pihak,” demikian pikirnya.
Keduanya terus mendaki puncak tersebut. Setibanya di atas, mendadak terompet berbunyi disertai suara petasan, menyusul kemudian bergema pula suara genderang dan tetabuhan lainnya, bagaikan sebuah upacara menyambut kedatangan tamu agung.
“Hehe, bapak mertua menyambut kedatangan menantu tersayang!” kata Linghu Chong dengan suara perlahan sambil tertawa.
Ren Yingying melotot kepadanya. Dalam hati ia merasa sedih bercampur kesal terhadap sikap Linghu Chong yang acuh tak acuh itu. “Pada saat genting seperti ini masih sempat bercanda segala,” pikirnya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa seseorang, lalu ia berseru dengan lantang, “Nona Besar, Adik Linghu, kalian sudah ditunggu sekian lama oleh Ketua Ren.” Rupanya yang menyapa itu seorang tua jangkung berjubah ungu dengan wajah berseri-seri. Ia tidak lain adalah Xiang Wentian.
(Bersambung)
Bagian 82 ; Bagian 83 ; Bagian 84