Bagian 74 - Rahasia Pribadi Ketua Huashan

Linghu Chong memandang ke depan. Cahaya bulan tampak menyinari jalan raya yang lurus dan lebar itu. Kabut pun telah turun menyelimuti pepohonan di kanan-kiri jalan. Suasana menjadi remang-remang. Perlahan kereta keledai itu menyusup ke tengah kabut sehingga pemandangan di kejauhan mulai tidak terlihat, bahkan Ren Yingying yang duduk di sisinya seakan-akan juga terbungkus oleh kabut tipis itu.
Saat itu baru permulaan musim semi. Bau harum bunga-bunga hutan sayup-sayup semerbak mewangi membuat keduanya merasa begitu nyaman. Sudah lama Linghu Chong tidak minum arak, namun keadaannya saat ini bagaikan sedang mabuk kepayang.
Ren Yingying tetap mengemudikan kereta tanpa berbicara sedikit pun, namun bibirnya tiada henti-hentinya tersenyum simpul. Rupanya ia sedang teringat atas apa yang didengarnya dari percakapan petani tua suami istri itu. Kata si kakek, “Malam itu aku tidak mendapat daging, terpaksa aku mencuri seekor ayam tetangga dan membawanya sebagai umpan anjingmu. O ya, siapa nama anjingmu itu?”
Si nenek menjawab, “Namanya Si Belang!”
“Benar, Si Belang,” kata si kakek. “Setelah diberi ayam, dia menjadi jinak dan diam saja, sehingga ayah-ibumu tidak tahu kedataanganku. Dan, pada malam itu pula jadilah si Amao kita.”
“Hm, yang kau tahu hanya bersenang-senang sendiri tanpa memikirkan kesulitan orang lain,” sahut si nenek mengomel. “Kemudian setelah perutku membesar, apa kau tahu kalau aku dipukuli Ayah hingga hampir mampus?”
“Untung perutmu lantas membesar,” jawab si kakek. “Rupanya perutmu itu berpihak kepadaku. Kalau tidak, mana mungkin ayahmu sudi membiarkanmu diperistri seorang miskin seperti aku ini? Waktu itu aku justru mengharapkan perutmu lekas besar!”
Mendadak si nenek marah dan memaki, “Setan alas! Ternyata waktu itu kau memang sengaja membuat perutku besar. Mengapa kau tidak bicara terus terang dan baru mengaku sekarang? Aku tidak… tidak dapat mengampunimu.”
“Ah jangan ribut lagi! Amao sekarang sudah dewasa, untuk apa kita ribut?” jawab si kakek.
Khawatir Linghu Chong menunggu terlalu lama, Ren Yingying tidak berani terus mendengarkan. Lekas-lekas ia menyambar beberapa potong pakaian dan barang lain, lalu kabur setelah menaruh sepotong perak di atas meja. Petani suami-istri itu sudah tua, juga sedang asyik membicarakan masa muda mereka yang mesra sehingga tidak tahu sama sekali bahwa rumah mereka telah dimasuki pencuri.
Teringat percakapan suami-istri itu wajah Ren Yingying bersemu merah. Untung saat itu malam gelap, kalau tidak, tentu ia akan sangat malu terlihat oleh Linghu Chong. Kini ia tidak lagi mempercepat lari keledainya. Kereta pun berjalan dengan lebih perlahan. Tidak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah danau yang dikelilingi pepohonan rindang. Air danau tampak berkilauan tertimpa cahaya rembulan.
“Kakak Chong, apakah engkau tertidur?” Ren Yingying bertanya perlahan.
“Ya, aku sudah tidur, bahkan sedang bermimpi,” sahut Linghu Chong.
“Mimpi apa?” tanya Ren Yingying.
“Aku bermimpi membawa sepotong daging dan mengendap-endap ke tempat tinggalmu di Tebing Kayu Hitam untuk memberi makan anjing ayahmu,” jawab Linghu Chong.
“Huh, dasar orang aneh, mimpinya juga aneh,” ujar Ren Yingying tersenyum.
Kedua muda-mudi itu duduk berdampingan di atas kereta sambil memandangi air danau. Tanpa terasa Linghu Chong mengulurkan sebelah tangannya untuk memegang tangan Ren Yingying. Agak gemetar juga tangan si nona namun ia tidak menghindar.
“Andai kita bisa begini selamanya dan tidak berkecimpung lagi di dunia persilatan yang berbau darah. Sekalipun menjadi dewa rasanya juga tidak sebahagia ini,” pikir Linghu Chong.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tiba-tiba Ren Yingying bertanya.
Linghu Chong pun berterus terang mengatakan apa yang terpikir olehnya itu.
Ren Yingying balas menggenggam erat-erat tangan Linghu Chong dan berkata, “Kakak Chong, sungguh aku merasa sangat bahagia.”
“Demikian pula aku,” sahut Linghu Chong.
“Meski kau memimpin para jago silat menyerbu Biara Shaolin, meski aku sangat bersyukur akan hal itu, tetapi rasanya tidak sebahagia saat ini,” kata Ren Yingying. “Kau menyerbu Biara Shaolin untuk menolong diriku karena terdorong oleh rasa setiakawan sesama kaum persilatan, juga karena merasa berhutang budi padaku. Namun kali ini berbeda. Yang kau pikirkan hanyalah diriku seorang tanpa terkenang kepada adik kecilmu….”
Mendengar disebutnya “adik kecilmu”, seketika hati Linghu Chong tergetar dan merasa harus lekas-lekas menyusul Yue Lingshan yang mungkin sedang terancam bahaya itu.
Ren Yingying kembali berkata perlahan, “Baru sekarang aku benar-benar percaya bahwa dalam pandanganmu, dalam hatimu ternyata kau lebih berat kepadaku daripada adik kecilmu.” Usai berkata demikian ia lantas menarik tali kendali sehingga keledai itu melangkah kembali ke tengah jalan raya. Begitu cambuk berbunyi, segera binatang itu berlari dengan cepat.
Setelah lebih dari dua puluh li terlewati, keledai-keledai itu sudah mulai lelah dan memperlambat langkah masing-masing. Setelah berbelok dua tikungan, tampak hamparan ladang jagung yang luas berada di tepi jalan. Di bawah cahaya rembulan ladang luas itu laksana sutra hijau terbentang di bumi raya.
Ketika memperhatikan dengan seksama, tampak sebuah kereta lain berhenti pula jauh di tepi jalan raya itu.
“Mungkin itu kereta yang ditumpangi Adik Lin,” kata Linghu Chong.
“Mari kita mendekatinya pelan-pelan,” ujar Ren Yingying sambil menjalankan keretanya maju dengan perlahan sehingga jaraknya semakin dekat dengan kereta di depan itu.
Tidak lama kemudian, tampak dengan jelas bahwa kereta itu ternyata tidak berhenti, tetapi berjalan dengan sangat lambat. Di samping kereta terlihat seorang laki-laki berjalan kaki seorang diri. Ia tidak lain adalah Lin Pingzhi. Sementara itu, orang yang menjadi kusir jika dilihat dari belakang tentu adalah Yue Lingshan.
Linghu Chong terheran-heran. Segera ia menarik tali kendali untuk menghentikan keretanya. Dengan suara tertahan ia bertanya, “Mengapa seperti itu?”
“Kau tunggu di sini, biar aku menyusul ke sana untuk memeriksa,” kata Ren Yingying. Linghu Chong hendak menyertai namun lukanya belum sembuh benar sehingga tidak mungkin mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Terpaksa ia pun mengangguk dan berbisik, “Silakan.”
Ren Yingying segera menyusup ke tengah ladang jagung yang lebat itu dan menyusur ke depan untuk kemudian memutar ke arah kereta Yue Lingshan. Tanaman-tanaman jagung itu cukup tinggi sehingga tubuh Ren Yingying tidak terlihat sama sekali meski keadaan siang sekalipun. Setelah agak dekat, ia pun mengikuti jalannya kereta dengan memperhatikan suara kaki keledai penariknya.
Terdengar Lin Pingzhi berkata, “Kitab pusaka keluargaku sudah lama jatuh ke tangan ayahmu. Semua jurus sudah dilatihnya sampai tuntas. Tapi kenapa kau masih saja mengikutiku?”
Yue Lingshan menjawab, “Kenapa kau selalu curiga ayahku mengincar kitab pusakamu? Sungguh tidak beralasan. Coba pikir, ketika awal mula kau masuk Perguruan Huashan dulu, waktu itu apakah kau membawa kitab pusaka segala? Tapi sejak itu, aku sudah… sudah baik denganmu. Apa karena itu kau lantas menuduhku bermaksud jahat terhadap dirimu?”
“Jurus Pedang Penakluk Iblis keluarga Lin kami terkenal di seluruh jagad. Yu Canghai dan Mu Gaofeng tidak menemukannya pada ayahku, dengan sendirinya sasaran berikutnya adalah aku. Dari mana aku bisa yakin bahwa perbuatan baikmu kepadaku bukan atas perintah ayah-ibumu?”
“Jika kau berpikiran begitu, apa mau dikata? Terserah padamu!” sahut Yue Lingshan tersedu-sedu.
“Memangnya aku salah menuduhmu?” sahut Lin Pingzhi marah. “Bukankah Kitab Pedang Penakluk Iblis milikku akhirnya jatuh ke tangan ayahmu? Semua orang berkata, barangsiapa ingin menguasai kitab pusaka itu maka harus bisa menguaasai Lin kecil dulu. Hm, Yu Canghai, Mu Gaofeng, atau Yue Buqun, apa bedanya? Hanya saja Yue Buqun berhasil dan dia menjadi pemenang, sementara Yu Canghai dan Mu Gaofeng gagal, maka mereka menjadi pecundang.”
“Kata-katamu sangat menghina ayahku. Memangnya kau anggap aku ini apa?” kata Yue Lingshan dengan gusar. “Coba kalau bukan… kalau bukan… huh….”
Mendadak Lin Pingzhi berdiri tegak dan berseru, “Kau mau bicara apa? Kalau bukan karena mataku buta dan terluka tentu akan kau akan membunuhku, begitu? Mataku ini sudah buta sejak lama.”
“Jadi, menurutmu perkenalan denganku dan hubungan baik kita dari dulu itu disebabkan karena kau buta?” sahut Yue Lingshan sambil menarik tali kendali dan menghentikan keretanya.
“Benar sekali,” jawab Lin Pingzhi. “Mana aku tahu bahwa kedatanganmu ke Fuzhou dengan pura-pura membuka kedai arak ternyata menyimpan rencana jangka panjang? Tujuanmu yang utama sesungguhnya hanyalah mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis belaka. Kau membiarkan dirimu digoda oleh bajingan anak Yu Canghai padahal ilmu silatmu jauh lebih tinggi daripada dia. Kau sengaja memancingku agar ikut turun tangan membelamu. Wahai Lin Pingzhi, dasar matamu memang buta, kepandaianmu hanya sedikit tapi berani menonjolkan diri sebagai pahlawan pembela si cantik segala. Apalagi kau adalah anak kesayangan ayah-ibumu. Kalau bukan karena suatu tujuan yang sangat penting mana mungkin mereka mengizinkanmu keluyuran di luar Huashan dan menjadi penjual arak rendahan segala.”
“Yang disuruh ke Fuzhou oleh Ayah sebenarnya adalah Kakak Kedua,” Yue Lingshan menukas. “Aku hanya terdorong oleh keinginan berpesiar saja. Maka itu, aku bersikeras minta ikut berangkat bersama Kakak Kedua.”
“Hm, ayahmu sangat keras mengawasi murid-muridnya. Bila dia menganggap tidak pantas, biarpun kau berlutut dan menangis tiga hari tiga malam juga takkan dia kabulkan. Sudah tentu karena dia juga tidak percaya sepenuhnya pada Kakak Kedua, maka kau pun dikirim sekalian untuk mengawasinya.”
Yue Lingshan terdiam. Apa yang diucapkan Lin Pingzhi memang masuk akal. Sejenak kemudian barulah ia membuka suara, “Baiklah, percaya atau tidak terserah dirimu. Yang pasti ketika datang ke Fuzhou aku belum pernah mendengar ada Kitab Pedang Penakluk Iblis segala. Aku hanya mendengar Ayah mengatakan bahwa Kakak Pertama baru saja menghajar dua orang murid Qingcheng dan ini membuat hubungan kedua perguruan menjadi kurang baik. Konon orang-orang Perguruan Qingcheng telah dikerahkan ke timur dan mungkin akan merugikan Perguruan Huashan. Maka itu aku dan Kakak Kedua ditugasi Ayah untuk menyelidiki gerak-gerik mereka.”
Lin Pingzhi menghela napas. Terlihat perasaannya sudah agak lunak. “Baiklah, biar aku percaya satu kali ini padamu. Akan tetapi keadaannya sudah terlanjur seperti ini, untuk apa kau tetap mengikutiku? Memang kita sudah resmi menjadi suami-istri. Tapi pada kenyataannya, kau masih berbadan perawan. Sebaiknya kau… kau kembali kepada Linghu Chong saja.”
Mendengar kata-kata “Memang kita sudah resmi menjadi suami-istri. Tapi pada kenyataannya, kau masih berbadan perawan,” kontan membuat Ren Yingying terkejut. Dalam hati ia bertanya, “Mengapa bisa begitu?” Namun segera mukanya bersemu merah dan menganggap seorang agak perempuan seperti dia tidaklah pantas mencuri dengar percakapan pribadi orang lain suami-istri. Apalagi ingin mencari tahu “mengapa bisa begitu” segala, benar-benar tidak pantas.
Karena itu ia pun bermaksud segera pergi. Namun baru saja mundur beberapa langkah, rasa ingin tahunya mendesak untuk mendengarkan lebih lanjut percakapan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi itu. Meski demikian, ia khawatir persembunyiannya akan diketahui kedua orang itu sehingga berpindah agak jauh dari tempat semula.
Dengan menggunakan tenaga dalam, ditambah keadaan memang sangat sunyi, ia dapat mendengar Yue Lingshan berkata dengan jelas, “Baru tiga hari kita menikah segera aku tahu ternyata kau sangat membenciku. Sekalipun satu kamar denganku, namun kau tidak sudi tidur di atas ranjang yang sama. Jika engkau tidak sudi satu tempat tidur denganku kenapa… kenapa pula kau menikah denganku?”
“Aku… aku tidak benci padamu,” sahut Lin Pingzhi sambil menghela napas.
“Kau tidak benci padaku? Tapi mengapa siang hari kau pura-pura baik kepadaku, namun begitu malam tiba saat kita di dalam kamar kau lantas bersikap dingin? Sepatah kata pun kau tidak mau bicara denganku. Berulang kali ayah-ibuku bertanya bagaimana perlakuanmu padaku, selalu saja kujawab sangat baik….” Sampai di sini mendadak ia menangis keras-keras.
Lin Pingzhi lantas melompat ke dalam kereta dan memegangi bahu Yue Lingshan. Dengan suara bengis ia berkata, “Kau bilang ayah-ibumu berulang kali menanyakan bagaimana aku memperlakukan dirimu, apakah benar?”
“Sudah tentu benar, untuk apa aku berbohong?” sahut Yue Lingshan.
“Sudah jelas aku memperlakukan dirimu tidak baik, sama sekali belum pernah tidur seranjang denganmu, tapi kenapa kau katakan aku sangat baik padamu?”
“Sekali aku sudah menikah denganmu, dengan sendirinya aku menjadi anggota keluarga Lin,” jawab Yue Lingshan dengan mencucurkan air mata. “Yang kuharapkan adalah semoga tidak lama lagi kau berubah pikiran. Aku mencintaimu dengan segenap jiwaku, mana boleh aku mencerca suami sendiri?”
Lin Pingzhi tidak menjawab, hanya gigi saja yang berkerut-kerut menahan gemas. Ia kemudian berkata perlahan, “Hm, tadinya kusangka ayahmu sayang padamu sehingga ia berlaku murah hati kepadaku. Andai saja kau tidak membela diriku seperti itu, mungkin sejak dulu nyawaku sudah melayang di puncak Huashan.”
“Mana mungkin seperti itu?” ujar Yue Lingshan. “Kita ini pengantin baru. Meskipun terjadi sedikit selisih paham juga tidak mungkin sang mertua lantas membunuh menantunya.”
“Dia ingin membunuhku bukan karena aku bersikap dingin padamu, tapi karena aku telah mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis,” jawab Lin Pingzhi dengan gemas.
Mendengar ini Ren Yingying semakin penasaran dan maju beberapa langkah.
“Aku benar-benar tidak paham,” kata Yue Lingshan. “Ilmu pedang yang kau mainkan, juga yang Ayah mainkan benar-benar sangat aneh dan luar biasa sakti. Ayah berhasil mengalahkan Zuo Lengchan dan merebut kedudukan ketua Perguruan Lima Gunung, kau sendiri berhasil membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng, apakah… apakah ilmu pedang yang kalian mainkan itu adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis?”
“Benar, itulah Jurus Pedang Penakluk Iblis keluarga Lin kami,” jawab Lin Pingzhi. “Dengan ilmu pedang mahasakti itulah leluhurku, Kakek Buyut Yuantu mendirikan Biro Pengawalan Fuwei dan malang melintang di dunia persilatan pada zamannya.”
“Tapi... tapi kau tidak pernah bercerita padaku… kau mengaku tidak pernah belajar ilmu pedang itu!”
“Mana berani aku menjawab terus terang?” sahut Lin Pingzhi. “Linghu Chong berhasil merebut jubah biksu peninggalan kakek buyutku di Fuzhou, tapi rupanya sudah takdir, dia gagal memilikinya. Jubah yang tertuliskan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis itu malah jatuh ke tangan ayahmu….”
“Tidak mungkin, tidak mungkin,” seru Yue Lingshan. “Menurut Ayah, kitab pusaka itu telah dikangkangi oleh Kakak Pertama. Aku memintanya untuk mengembalikan kitab itu kepadamu, tapi Kakak Pertama menolak.”
Lin Pingzhi hanya mendengus dan tertawa dingin.
Yue Lingshan melanjutkan, “Ilmu pedang Kakak Pertama mahasakti, bahkan Ayah pun bukan tandingannya. Apakah yang ia mainkan itu bukan Jurus Pedang Penakluk Iblis? Apakah itu bukan hasil pelajaran dari Kitab Pedang Penakluk Iblis keluarga Lin kalian?”
Kembali Lin Pingzhi tertawa mengejek, lalu berkata, “Sekalipun Linghu Chong itu licik dan penuh muslihat, tapi kalau dibandingkan dengan ayahmu bisa dikatakan masih ketinggalan jauh. Lagipula ilmu pedangnya kacau-balau, mana bisa dibandingkan dengan Jurus Pedang Penakluk Iblis keluargaku? Bukankah dalam pertandingan di depan Panggung Pemujaan di Gunung Songshan itu dia terluka oleh pedangmu?”
“Dia… dia sengaja mengalah padaku,” jawab Yue Lingshan lirih.
“Hm, sungguh dalam cintanya padamu,” sahut Lin Pingzhi mencibir.
Apabila Ren Yingying mendengar perkataan ini sehari sebelumnya mungkin ia akan jatuh lemas karena gusar. Akan tetapi semalam ia dan Linghu Chong telah berbicara mesra di tepi danau dari perasaan yang paling dalam. Keduanya telah mengutarakan isi hati masing-masing, sehingga kini Ren Yingying merasa lebih yakin. Ia berpikir, “Dahulu memang sangat baik kepadamu, tapi sekarang dia jauh lebih baik kepadaku.”
Terdengar Yue Lingshan berkata, “Rupanya yang dimainkan Kakak Pertama itu bukan Jurus Pedang Penakluk Iblis, tapi mengapa Ayah selalu menuduhnya sebagai pencuri kitab pusaka keluargamu itu? Pada saat Ayah memecatnya dari Perguruan Huashan, tuduhan ini diumumkan kepada kita sebagai salah satu dosa besar Kakak Pertama. Jika demikian, jika demikian… aku telah salah sangka kepadanya.”
“Hm, salah sangka apanya?” ejek Lin Pingzhi. “Jelas-jelas di Kota Fuzhou Linghu Chong ikut merebut kitab pusaka keluargaku. Hanya saja ibarat maling bertemu begal, dalam keadaan terluka dan jatuh pingsan, Linghu Chong digeledah oleh ayahmu, kemudian ia dituduh sengaja menggelapkan kitab itu. Ini namanya maling berteriak maling….”
“Maling apa? Kenapa kau pakai kata-kata yang tak enak didengar begitu?” sahut Yue Lingshan gusar.
“Lantas, apakah perbuatan ayahmu itu enak didengar? Mengapa aku tidak boleh menyebutnya maling?” sahut Lin Pingzhi bengis.
Yue Lingshan menghela napas, kemudian berkata, “Waktu itu di Gang Matahari orang-orang Perguruan Songshan telah merebut jubah biksu dari rumah leluhurmu. Untungnya Kakak Pertama membinasakan kedua orang jahat itu dan merampas kembali jubah tersebut. Kau tidak pantas menuduhnya ingin mengangkangi jubah itu. Kakak Pertama berjiwa besar dan berhati jujur. Sejak kecil ia tidak pernah serakah terhadap milik orang lain. Sebenarnya aku pun sangsi ketika Ayah menuduhnya mencuri kitab pusakamu. Hanya saja, ilmu pedangnya tiba-tiba maju pesat sehingga membuatku ikut-ikutan menuduhnya.”
Mendengar itu Ren Yingying berpikir, “Hm, baru sekarang kau berkata seperti itu.”
Lin Pingzhi berkata, “Dia begitu baik, kenapa kau tidak ikut saja dengannya?”
“Adik Ping, sampai saat ini ternyata kau masih juga belum bisa menyelami perasaanku,” jawab Yue Lingshan. “Sejak kecil Kakak Pertama dibesarkan bersamaku. Dalam pandanganku dia tidak lebih seperti kakak kandungku belaka. Aku menghormati dan menyayanginya sebagai saudara tua, selamanya tidak pernah menganggapnya sebagai kekasih. Sebaliknya, sejak kau datang ke Huashan, dalam waktu singkat saja kita lantas begitu cocok satu sama lain. Satu detik tidak bertemu saja rasanya tidak tahan. Cintaku padamu selamanya takkan berubah.”
“Kau memang agak berbeda dengan ayahmu. Kau… kau lebih mirip ibumu,” kata Lin Pingzhi dengan nada halus. Rupanya ia terharu juga oleh cinta murni Yue Lingshan itu.
Keduanya pun terdiam beberapa saat. Akhirnya Yue Lingshan membuka suara, “Adik Ping, kebencianmu kepada Ayah sangat mendalam. Untuk selanjutnya antara kalian berdua tentu sulit berdamai. Namun aku telah menjadi anggota keluarga Lin. Ke mana pun kau pergi pasti aku akan ikut serta. Lebih baik kita mencari suatu tempat yang damai, yang jauh dari dunia persilatan dan di sana kita hidup bahagia selamanya.”
“Huh, pikiranmu sungguh muluk-muluk,” sahut Lin Pingzhi. “Aku sudah membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng, berita ini tentu sudah tersebar ke mana-mana. Ayahmu pasti akan mengetahui bahwa aku telah berhasil mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Mana mungkin dia sudi membiarkan aku hidup tenang di dunia ini?”
Yue Lingshan menghela napas dan berkata, “Adik Ping, kau mengatakan Ayah mengincar kitab pusakamu. Berdasarkan kenyataan yang ada, aku pun takkan membela Ayah. Tapi engkau menuduhnya hendak membunuhmu hanya karena kau mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis, kurasa ini tidak masuk akal. Kitab Pedang Penakluk Iblis memang milik keluarga Lin kalian. Jika kau mempelajari ilmu pedang leluhurmu, bukankah itu adalah hal yang wajar? Bagaimanapun juga Ayah tidak mungkin membunuhmu hanya karena alasan itu.”
“Kau bicara demikian karena belum kenal watak ayahmu dan juga tidak tahu seperti apa isi Kitab Pedang Penakluk Iblis,” jawab Lin Pingzhi.
“Bahkan terhadap isi hatimu pun aku juga tidak paham,” kata Yue Lingshan.
“Ya, tidak paham. Kau memang tidak paham! Untuk apa harus paham?” sahut Lin Pingzhi mulai gusar kembali.
Yue Lingshan tidak berani banyak membantah. Ia hanya berkata, “Mari kita berangkat saja.”
“Ke mana?” tanya Lin Pingzhi.
“Ke mana pun kau pergi, ke situlah aku akan ikut. Pergi ke ujung langit sekalipun aku akan tetap bersamamu,” jawab Yue Lingshan tegas.
“Apa betul ucapanmu ini? Apa pun yang terjadi kelak kau jangan menyesal.”
“Aku sudah bertekad menjadi istrimu, hidup bersamamu. Sudah sejak lama aku memutuskan tekad ini. Lantas, kenapa aku harus menyesal? Matamu terluka, rasanya masih dapat disembuhkan. Andaikan tidak bisa pulih juga aku akan selalu mendampingimu, melayanimu, sampai saat terakhir hidup kita berdua.”
Ucapan Yue Lingshan yang penuh perasaan ini sangat membuat Ren Yingying terharu. Ia merasa Yue Lingshan sebenarnya sangat baik, namun bernasib malang.
Terdengar Lin Pingzhi mendengus. Sepertinya ia masih kurang percaya dengan tekad Yue Lingshan itu.
Dengan suara halus Yue Lingshan kembali berkata, “Adik Ping, rupanya kau masih sangsi padaku. Biarlah malam ini juga aku… aku menyerahkan diriku sepenuhnya kepadamu. Dengan demikian semoga kau dapat mempercayai aku. Biarlah malam ini kita melakukan malam pengantin di sini. Marilah kita menjadi suami istri yang sesungguhnya dan untuk selanjutnya… untuk selanjutnya kita pun menjadi suami istri yang sebenarnya….” Makin lama suaranya makin lirih hingga akhirnya tidak terdengar lagi.
Ren Yingying merasa heran dan rikuh mendengar ucapan Yue Lingshan itu. Segera ia bermaksud pergi agar tidak menyaksikan “hubungan” suami-istri sebagaimana yang dikatakan Yue Lingshan tadi. Dalam hati ia berpikir, “Nona Yue ini benar-benar tidak tahu malu. Di tengah jalan raya seperti ini sampai hati ia mengajak... mengajak... huh...”
Namun tiba-tiba terdengar Lin Pingzhi berteriak, suaranya seram dan bengis. Kemudian ia membentak, “Enyah sana! Jangan dekat-dekat ke sini!”
Kontan Ren Yingying terkejut dan penasaran ingin tahu apa yang terjadi. “Apa yang membuat Lin Pingzhi menjadi beringas seperti ini?” pikirnya.
Menyusul kemudian terdengar suara Yue Lingshan menangis, namun Lin Pingzhi masih membentaknya, “Pergi sana, pergi yang jauh! Pergilah sejauh-jauhnya! Aku lebih suka mati dibunuh ayahmu daripada kau ikut denganku.”
“Mengapa kau menghina diriku seperti ini? Sesungguhnya apa… apa salahku?” tanya Yue Lingshan sambil menangis.
“Aku… aku…” Lin Pingzhi tertegun, lalu melanjutkan, “Kau… kau….” tapi lantas ia terdiam.
“Apa yang hendak kau katakan? Bicaralah terus terang!” pinta Yue Lingshan. “Jika memang aku bersalah atau kau tidak dapat memaafkan kesalahan ayahku, tidak masalah asal kau bicara terus terang. Tanpa kau suruh pun aku akan bunuh diri di hadapanmu.” Usai berkata ia segera melolos pedangnya.
Mendengar itu Ren Yingying merasa keadaan berubah gawat. Ia pun maju beberapa langkah sehingga makin mendekati kereta itu, dengan harapan bisa menolong nyawa Yue Lingshan.
“Aku… aku…” kembali Lin Pingzhi tergagap-gagap. Selang sejenak, ia lalu menghela napas panjang dan menyambung, “Kau tidak bersalah. Sesungguhnya aku sendiri yang kurang baik.”
Kembali Yue Lingshan menangis sedih bercampur bingung.
Lin Pingzhi berkata, “Baiklah, akan kukatakan terus terang kepadamu.”
“Kau boleh memukulku, membunuhku, aku rela. Tapi jangan kau buat diriku merasa bingung,” kata Yue Lingshan.
“Karena perasaanmu kepadaku tidak palsu, maka aku akan berterus terang kepadamu, agar selanjutnya kau tak berharap-harap lagi atas diriku,” kata Lin Pingzhi.
“Kenapa?” tanya Yue Lingshan semakin bingung.
“Kenapa?” Lin Pingzhi balik bertanya. “Jurus Pedang Penakluk Iblis sangat terkenal di dunia persilatan. Ayahmu dan Yu Canghai masing-masing adalah ketua perguruan pedang. Ilmu silat mereka sangat tinggi, tapi kenapa mereka masih juga mengincarnya? Sebaliknya, mengapa ilmu pedang ayahku begitu rendah? Sampai-sampai dianiaya orang juga tidak mampu melawan. Coba jawab, apa sebabnya?”
“Mungkin bakat Ayah Mertua kurang bagus, atau mungkin badannya terlalu lemah,” jawab Yue Lingshan. “Anak atau murid seorang jago silat tidak berarti harus berilmu tinggi pula.”
“Bukan begitu. Sekalipun ilmu pedang ayahku sangat rendah, mungkin karena kurang berlatih saja. Tapi tenaga dalamnya lemah, ilmu silatnya juga payah. Ternyata Jurus Pedang Penakluk Iblis yang diajarkannya kepadaku pada dasarnya salah semua,” ujar Lin Pingzhi.
“Ini benar-benar aneh,” sahut Yue Lingshan.
“Kalau kuceritakan tentu tidak aneh lagi,” jawab Lin Pingzhi. “Apakah kau tahu orang macam apa sebenarnya kakek buyutku yang bernama Lin Yuantu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Yue Lingshan.
“Pada mulanya ia seorang biksu.”
“Jadi, ia seorang penganut ajaran Buddha?” ujar Yue Lingshan. “Banyak tokoh persilatan ternama yang pada hari tua meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi biksu. Bukankah ini sering terjadi?”
“Tidak begitu. Kakek buyutku tidak meninggalkan rumah pada hari tua,” sahut Lin Pingzhi, “tapi ia justru menjadi biksu lebih dulu baru kemudian kembali ke masyarakat ramai.”
“Tapi bukankah pendiri Kerajaan Ming, yaitu Kaisar Zhu Yuanzhang pada mulanya juga seorang biksu?” sahut Yue Lingshan.
Mendengar itu Ren Yingying termenung, “Nona Yue sungguh baik. Kata-katanya selalu bertujuan membesarkan hati suaminya yang picik itu.”
Yue Lingshan menyambung, “Tentang masa muda Kakek Buyut Yuantu apakah kau mendengar dari cerita Ayah Mertua?”
“Tidak, selamanya Ayah tidak pernah bercerita, bahkan mungkin juga tidak tahu. Apa kau masih ingat kediaman lama keluarga kami di Gang Matahari di Kota Fuzhou yang pernah kita datangi pada suatu malam? Di rumah tua itu terdapat ruang sembahyang agama Buddha.”
“Aku masih ingat,” sahut Yue Lingshan.
“Mengapa Kitab Pedang Penakluk Iblis tertulis di atas jubah biksu? Karena pada awalnya Beliau memang seorang biksu. Pada suatu hari Beliau membaca kitab pusaka itu, lalu menulis ulang isinya pada jubah yang dipakainya. Setelah Beliau kembali hidup bermasyarakat, di rumah kediamannya dibangun sebuah ruang sembahyang Buddha dan tetap melakukan ibadah dengan taat.”
“Ceritamu cukup masuk akal. Namun mungkin saja kitab pusaka itu diperoleh kakek buyut kita dari seorang biksu sakti atau kitab pusaka itu memang tertulis di atas jubah. Jadi kakek buyut kita memperoleh kitab pusaka itu dengan cara yang jujur, bukan mencuri baca.”
“Bukan begitu,” ujar Lin Pingzhi.
“Bila kau mempunyai dugaan lain, tentu ada alasannya,”
“Aku tidak mengada-ada, tapi Kakek Buyut Yuantu sendiri yang mencatat kisahnya di atas jubah.”
“O, ternyata demikian,” kata Yue Lingshan.
“Pada bagian akhir catatan Beliau pada jubah itu tertulis, bahwa pada suatu hari Beliau mendapat keberuntungan bisa mendengar penuturan dari orang lain tentang suatu ilmu sakti. Beliau lalu menulis ulang ilmu sakti tersebut di atas jubah dan kemudian berhenti menjadi biksu. Namun Beliau memperingatkan bahwa ilmu sakti ini terlalu keji dan merugikan. Barangsiapa yang melatihnya pasti akan putus keturunan. Ilmu sakti ini mungkin cocok untuk kaum biksu dan biksuni, tapi orang biasa sebaiknya jangan meempelajarinya.”
“Akan tetapi Beliau sendiri tetap saja berlatih ilmu itu.”
“Tadinya aku pun berpikir demikian,” kata Lin Pingzhi. “Seandainya ilmu sakti itu terlalu keji dan merugikan, namun setelah Kakek Buyut menguasainya tetap saja Beliau bisa memiliki keturunan.”
“Benar. Namun kemungkinan besar Beliau menikah dan mempunyai anak terlebih dulu, kemudian baru berlatih ilmu sakti tersebut.”
“Tidak mungkin,” sahut Lin Pingzhi. “Setiap orang persilatan bagaimanapun lihainya, sekali ia sudah mengetahui kehebatan jurus pertama suatu ilmu sakti, maka dapat dipastikan ia ingin segera tahu bagaimana jurus kedua. Setelah mengetahui bagaimana jurus kedua, pasti ingin cepat-cepat berlatih jurus ketiga dan begitulah seterusnya. Sekalipun ia tahu bahwa ilmu silat tersebut mengandung suatu akibat buruk juga tak akan dihiraukannya.”
Mendengar sampai di sini, Ren Yingying merenung, “Ayah pernah bercerita bahwa Kitab Pedang Penakluk Iblis dan Kitab Bunga Mentari pada dasarnya berasal dari sumber yang sama. Pantas saja ilmu silat Yue Buqun dan Lin Pingzhi sangat mirip dengan Dongfang Bubai. Menurut Ayah jika seorang ahli silat membaca halaman pertama kitab itu, pasti ia akan langsung terjebak pada keinginan kuat untuk mempelajarinya sampai tuntas. Padahal ia tahu kalau kitab tersebut mendatangkan malapetaka, namun ia tidak peduli lagi. Ayah sendiri berusaha untuk tidak membaca sedikit pun. Sungguh suatu tindakan bijaksana.”
Tiba-tiba Ren Yingying terkenang sesuatu, “Tapi, mengapa Ayah memberikan Kitab Bunga Mentari kepada Dongfang Bubai? Ah, aku paham. Rupanya waktu itu Ayah sudah mengetahui kalau Dongfang Bubai berniat memberontak kepadanya. Ia pun memberikan kitab itu dengan harapan Dongfang Bubai mendapat malapetaka. Bahkan Paman Xiang yang cerdik juga tidak mengetahui rencana di balik itu semua, dan mengira Ayah telah terpikat oleh mulut manis Dongfang Bubai dan menyerahkan kitab itu kepadanya sebagai hadiah. Dongfang Bubai menerima dengan gembira dan ia pun masuk perangkap Ayah. Namun rencana seorang manusia masih kalah melawan suratan takdir. Karena lengah, Ayah dapat diperdaya dan ditangkap oleh Dongfang Bubai. Selama bertahun-tahun Ayah menderita di dasar Danau Barat.”
Ren Yingying termenung-menung sejenak, kemudian kembali berpikir, “Sebenarnya Dongfang Bubai tidak terlalu kejam. Andaikan ia langsung membunuh Ayah, atau berhenti mengirim makanan, tentu Ayah sudah meninggal sejak lama. Ilmu silat dalam Kitab Bunga Mentari memang luar biasa. Andai saja bukan karena bantuan Kakak Chong, Paman Xiang, dan Paman Shangguan, tentu Ayah tidak akan bisa membunuh Dongfang Bubai. Aku sendiri juga telah mencelakai Yang Lianting sehingga Dongfang Bubai lengah, dan ia pun mati karena cintanya yang dalam kepada laki-laki itu.”
Entah mengapa malam itu ia merasa begitu kasihan terhadap Dongfang Bubai tersebut. Ren Yingying kembali merenung, “Setelah menyingkirkan Ayah dan merebut jabatan ketua Partai Suci Mentari dan Bulan, ia tetap bersikap baik padaku. Aku diperlakukannya bagaikan putri raja. Tapi, setelah Ayah kembali menjadi ketua, aku justru tidak memiliki kekuasaan sama sekali... Aih, aku sekarang sudah memiliki Kakak Chong, untuk apa aku masih menginginkan kekuasaan? Tapi Kakak Chong sedang menderita. Gara-gara berlatih Jurus Penyedot Bintang, kini di dalam tubuhnya berkumpul berbagai macam hawa murni liar yang berasal dari banyak aliran. Suatu saat nanti penderitaan Kakak Chong akan semakin bertambah berat. Selama ia tidak mampu membuyarkan dan mengendalikan hawa murni liar tersebut, tentu ia akan sangat kesakitan. Ayah berjanji akan mengajarkan cara mengatasi penyakit itu asalkan Kakak Chong bersedia masuk agama kami. Mungkin bukan hanya itu, Ayah juga akan menunjuk Kakak Chong sebagai calon ketua baru. Namun sampai saat ini Kakak Chong masih saja menolak. Pasti kelak ia akan sangat menderita.” Sampai di sini Ren Yingying merasa sangat waswas. Perasaannya bercampur aduk antara senang dan sedih.
Pada saat itu Yue Lingshan dan Lin Pingzhi juga sedang terdiam. Tidak lama kemudian Lin Pingzhi membuka suara, “Setelah Kakek Buyut Yuantu menyalin ilmu sakti tersebut, Beliau langsung mempelajarinya.”
Yue Lingshan menanggapi, “Sekalipun ilmu pedang yang dilatihnya itu dapat menimbulkan malapetaka, tentu hal itu akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, Kakek Buyut Yuantu sempat menikah dan memiliki anak. Hal ini pasti terjadi sebelum malapetaka itu datang padanya.”
“Bukan, bukan demikian. Semula aku juga berpikir begitu, tapi kemudian aku lantas paham bukan begitu sebenarnya,” sahut Lin Pingzhi. “Sepertinya kakekku bukan anak kandung Kakek Buyut Yuantu. Kakek Buyut menikah dan mengambil anak angkat hanya untuk mengelabui semua orang.”
“Ah, untuk apa? Mana mungkin seperti itu?” ujar Yue Lingshan.
Lin Pingzhi hanya mendengus tanpa menjawab. Selang agak lama barulah ia membuka suara, “Ketika pertama kali menemukan jubah berisi kitab pusaka tersebut, hubungan kita masih mesra. Saat itu aku bermaksud menunda berlatih sampai kita menikah, sampai kita memiliki anak. Akan tetapi, aku tidak sanggup melakukannya. Aku sangat terdesak ingin segera mempelajarinya. Akhirnya... akhirnya aku pun memotong kemaluanku sendiri.”
“Hah!” seru Yue Lingshan sambil melonjak karena terkejut. “Kau… kau mengebiri diri sendiri untuk mendalami ilmu pedang jahanam itu?”
“Benar sekali,” jawab Lin Pingzhi dingin. “Kalimat pertama dalam Kitab Pedang Penakluk Iblis berbunyi: ‘Barangsiapa ingin menguasai dunia persilatan, segera ambil pisau dan kebiri diri sendiri.”
“Mengapa... mengapa harus beg… begitu?” tanya Yue Lingshan dengan suara lemah.
“Untuk mempelajari Kitab Pedang Penakluk Iblis harus dimulai dengan berlatih tenaga dalam,” jawab Lin Pingzhi. “Jika tidak mengebiri diri sendiri, maka latihan itu akan membangkitkan nafsu birahi yang berkobar-kobar. Dalam sekejap saja kau akan langsung lumpuh dan akhirnya mati kaku.”
“Begitukah?” ujar Yue Lingshan semakin lemah. Suaranya hampir-hampir bagaikan suara nyamuk.
Dalam hati Ren Yingying juga berkata, “O, ternyata demikian!” Baru sekarang ia paham mengapa seorang tokoh gagah seperti Dongfang Bubai akhirnya memakai baju perempuan, menyulam, dan melayani seorang Yang Lianting dengan mesra. Ternyata semua itu adalah karena ia berlatih ilmu silat keji, yang akhirnya membuat ia menjadi banci. Laki-laki bukan, perempuan pun bukan.
Terdengar Yue Lingshan menangis tersedu-sedu dan berkata, “Kakek Buyut Yuantu menikah dan mengambil anak angkat hanya untuk mengelabui semua orang. Jadi... jadi... kau juga demikian?”
“Tentu saja,” jawab Lin Pingzhi. “Aku telah menjadi banci demi untuk mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Aku kemudian menikah denganmu untuk mengelabui semua orang, terutama ayahmu.”
Terdengar Yue Lingshan menangis semakin keras.
Lin Pingzhi menyambung,” Sekarang kau sudah tahu rahasiaku. Sekarang kau boleh membenciku sampai ke tulang sumsum.”
“Aku tidak akan membencimu,” jawab Yue Lingshan. “Kau hanya terdesak oleh keadaan. Tapi aku sangat benci kepada... kepada pencipta ilmu iblis itu. Kenapa dia menciptakan ilmu silat sekeji itu? Apakah ia bermaksud mencelakai banyak orang?”
Lin Pingzhi tertawa kecil dan berkata, “Jurus Pedang Penakluk Iblis diciptakan oleh seorang kasim istana.”
Yue Lingshan semakin pilu. Ia berkata, “Jadi... jadi... ayahku juga sama... sama sepertimu?”
“Ia bahkan lebih dulu mempelajarinya daripada aku. Jelas sekali, mana mungkin ada perbedaan?” ujar Lin Pingzhi. “Ayahmu seorang ketua perguruan ternama. Bila perbuatan ayahmu yang mengebiri diri sendiri itu sampai tersiar, mana mungkin dia tidak menjadi bahan tertawaan di dunia persilatan? Itulah sebabnya, apabila dia mendengar aku juga mendalami ilmu pedang ini, pasti aku akan dibunuhnya. Berulang kali dia bertanya tentang perlakuanku kepadamu adalah karena dia ingin tahu apakah aku masih mampu melakukan hubungan suami-istri denganmu. Apakah aku mengebiri diri sendiri atau tidak. Andai saja waktu itu kau berkata terus terang, meski hanya mengeluh sedikit saja, mungkin aku tidak akan hidup sampai hari ini.”
“Dan sekarang tentu Ayah sudah tahu,” kata Yue Lingshan.
“Tentu saja. Aku telah membunuh Yu Canghai, membunuh Mu Gaofeng. Dalam waktu beberapa hari saja berita ini tentu akan tersiar luas di dunia persilatan,” ujar Lin Pingzhi bangga.
“Jika benar demikian, bisa jadi Ayah benar-benar takkan mengampunimu. Lalu sebaiknya, ke mana kita harus bersembunyi?” ujar Yue Lingshan.
“Kita?” Lin Pingzhi menegas. “Kau sudah tahu keadaanku yang sebenarnya dan masih juga mau mengikuti aku?”
“Tentu saja. Semua terjadi karena terpaksa. Kau tidak patut disalahkan. Adik Ping, cintaku padamu dari awal sampai akhir tak akan berubah. Nasibmu sungguh malang, pantas dikasihani….” Belum selesai perkataannya, tiba-tiba ia menjerit dan terlempar ke bawah kereta. Sepertinya Lin Pingzhi telah mendorongnya.
Kemudian terdengar Lin Pingzhi berkata dengan gusar, “Aku tidak mau dikasihani. Siapa pula yang minta belas kasihanmu? Ilmu pedang Lin Pingzhi sudah sempurna. Tak ada lagi yang kutakuti sekarang? Tunggu sampai mataku sembuh, aku akan menguasai dunia. Sekalipun Yue Buqun, Linghu Chong, Biksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, mereka semua bukan tandinganku.”
Diam-diam Ren Yingying memaki dalam hati, “Tunggu sampai matamu sembuh? Huh, apa mungkin matamu yang sudah buta itu bisa sembuh?” Sebenarnya ia agak kasihan terhadap nasib Lin Pingzhi yang malang itu. Namun begitu menyaksikan sikapnya yang kasar terhadap istri sendiri, juga mendengar ucapannya yang sombong itu, mau tidak mau timbul rasa gemas dan gusar bukan main dalam hatinya.
Terdengar Yue Lingshan menghela napas, lalu berkata, “Kau pun perlu mencari tempat untuk bersembunyi. Sembuhkan dulu luka pada matamu itu.”
“Sudah tentu aku mempunyai cara untuk menghadapi ayahmu,” kata Lin Pingzhi.
“Keadaanmu dan Ayah sama saja. Tentu kalian tidak perlu khawatir salah satu dari kalian akan menyiarkan rahasia pihak lain,” ujar Yue Lingshan.
“Huh, aku jauh lebih kenal sifat ayahmu,” sahut Lin Pingzhi. “Mulai besok, terhadap siapa saja yang kutemui pasti akan kuberi tahu rahasia ayahmu itu.”
“Untuk apa harus berbuat demikian? Bukankah kau sendiri….”
“Untuk apa? Justru inilah cara untuk menyelamatkan nyawaku. Berita itu akan cepat tersebar sampai ke telinga ayahmu. Setelah Yue Buqun mengetahui bahwa aku telah membeberkan rahasianya, tentu dia tidak perlu lagi membunuhku untuk menutupi rahasianya. Justru sebaliknya, dia akan berusaha menyelamatkan jiwaku.”
“Jalan pikiranmu sungguh aneh,” kata Yue Lingshan.
“Kenapa merasa aneh? Jika aku sebarkan rahasia itu tidak mungkin orang lain akan langsung percaya, karena ayahmu bisa saja memakai kumis dan janggut palsu jika yang asli mulai rontok. Namun sebaliknya, jika tiba-tiba aku mati secara tak wajar, tentu setiap orang akan menuduh ayahmu sebagai pembunuhku.”
Yue Lingshan menghela napas. Ia tidak tahu harus bicara apa lagi.
Sementara itu Ren Yingying termenung di tempat persembunyiannya, “Lin Pingzhi ini memang berpikiran tajam. Rencananya sungguh jitu. Nona Yue benar-benar serbasalah. Jika rahasia itu sampai tersebar luas, tentu nama besar ayahnya akan hancur. Sebaliknya, kalau ia mencegah penyebaran rahasia itu, tentu ia akan kehilangan nyawa suami sendiri.
Lin Pingzhi melanjutkan, “Sekalipun kedua mataku buta, tapi hatiku tidak buta. Untuk selanjutnya aku memang tidak bisa melihat apa-apa lagi, namun aku tidak menyesal karena sakit hati ayah-ibuku sudah terbalas. Dahulu Linghu Chong menyampaikan wasiat terakhir Ayah, bahwa ada benda pusaka disimpan di kediaman lama leluhurku di Gang Matahari. Ayah berpesan agar jangan sekali-kali aku sampai memeriksa atau melihatnya. Itu adalah wasiat Kakek Buyut turun temurun. Namun sekarang aku bahkan membacanya sampai tuntas dan juga mendalami isinya. Meski melanggar pesan leluhur, namun aku dapat membalas sakit hati ayah-ibuku. Kalau aku tidak berbuat demikian, Jurus Pedang Penakluk Iblis keluarga Lin kami hanya dikenal orang sebagai nama kosong belaka. Orang-orang Biro Pengawalan Fuwei tentu akan dicap sebagai kaum pendusta.”
“Dulu kau dan Ayah mencurigai Kakak Pertama sebagai pencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis. Kakak Pertama juga difitnah telah memalsukan wasiat Ayah Mertua...” ujar Yue Lingshan.
“Aku memang salah menuduh orang, lantas kau mau apa?” sela Lin Pingzhi. “Bukankah waktu itu kau sendiri juga mencurigai dia?”
Yue Lingshan menghela napas perlahan dan berkata, “Waktu itu kau belum lama mengenal Kakak Pertama. Sungguh wajar jika kau berprasangka buruk kepadanya. Tapi aku dan Ayah sebenarnya tidak pantas mencurigai dia. Di dunia ini yang benar-benar percaya pada Kakak Pertama hanyalah Ibu seorang.”
Ren Yingying membantah dalam hati, “Siapa bilang hanya ibumu saja?”
Terdengar Lin Pingzhi menyahut, “Hm, ibumu memang benar-benar sayang kepada Linghu Chong. Gara-gara bocah itu, entah berapa kali ayah-ibumu bertengkar.”
“Ayah dan Ibu bertengkar karena Kakak Pertama? Padahal Ayah dan Ibu selamanya tidak pernah bertengkar. Dari mana kau tahu?”
“Selamanya tidak pernah cekcok? Itu hanya permainan sandiwara saja,” ejek Lin Pingzhi. “Sampai-sampai hal demikian juga ditutupi dengan rapi oleh Yue Buqun. Benar-benar seorang munafik sempurna. Aku mendengar dengan telingaku sendiri pertengkaran mereka. Mana mungkin aku salah?”
“Aku tidak bilang kau salah, aku hanya merasa heran,” ujar Yue Lingshan. “Mengapa aku tidak tahu atau tidak pernah mendengar. Sebaliknya, kau malah mengetahui pertengkaran mereka.”
“Baiklah, akan kuceritakan kepadamu,” kata Lin Pingzhi. “Ketika di Fuzhou waktu itu, orang-orang Perguruan Songshan berhasil merebut jubah biksu peninggalan Kakek Buyut. Namun mereka dapat dibinasakan oleh Linghu Chong yang merebut kembali jubah itu. Akan tetapi, ia sendiri terluka parah dan jatuh pingsan. Ketika aku menggeledah badannya, ternyata jubah itu sudah hilang entah ke mana.”
“Ternyata sewaktu di Fuzhou kau sempat menggeledah tubuh Kakak Pertama,” sahut Yue Lingshan.
“Benar,” jawab Lin Pingzhi. “Lantas kenapa?”
“Tidak apa-apa,” jawab Yue Lingshan.
Mendengar itu Ren Yingying berpikir, “Sungguh kasihan Nona Yue. Ia mendapat suami yang licik dan culas seperti itu. Tentu kelak akan banyak menderita kesulitan.” Sejenak kemudian ia terkesiap, “Aku telah lama meninggalkan Kakak Chong sendiri. Tentu ia merasa sangat khawatir.” Kemudian gadis itu memiringkan kepalanya agar salah satu telinga tepat menghadap ke arah Linghu Chong berada. Suasana begitu hening dan sunyi, pertanda Linghu Chong dalam keadaan baik-baik saja.
Terdengar Lin Pingzhi kembali berkata, “Karena jubah itu tidak berada pada Linghu Chong, aku yakin pasti sudah diambil oleh orang tuamu. Maka begitu pulang ke Huashan, diam-diam aku selalu menyelidiki gerak-gerik ayahmu. Akan tetapi permainan ayahmu benar-benar rapi, sedikit pun tidak memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan. Waktu itu ayahmu jatuh sakit. Sudah tentu dia sakit karena baru saja mengebiri diri sendiri. Setiap malam aku berusaha mencari tahu rahasia orang tuamu. Aku ingin tahu di mana kitab pusaka keluargaku itu disembunyikan. Aku ingin mendengar melalui percakapan ayah-ibumu.”
“Jadi, kau bersembunyi di tepi tebing curam itu untuk menguping pembicaraan Ayah dan Ibu?” sahut Yue Lingshan menegas.
“Benar,” sahut Lin Pingzhi.
“Setiap malam?” desak Yue Lingshan.
“Benar,” jawab Lin Pingzhi kembali.
“Kau sungguh sabar. Benar-benar berkemauan baja,” ujar Yue Lingshan.
“Demi membalaskan sakit hati ayah-ibuku, terpaksa harus begitu,” jawab Lin Pingzhi.
Yue Buqun memang memiliki tempat tinggal pribadi di salah satu puncak Gunung Huashan. Rumahnya itu berdekatan dengan jurang yang dalam dan mengerikan. Orang lain akan mengira Yue Buqun sengaja memilih tempat yang sunyi agar bisa berlatih dengan baik. Namun sebenarnya, tempat itu dibangun sebagai benteng pertahanan terhadap serangan mendadak dari musuh-musuhnya, misalnya Kelompok Pedang pecahan Perguruan Huashan sendiri.
Terdengar Lin Pingzhi melanjutkan, “Setiap malam aku sabar menguping pembicaraan mereka. Namun yang kudengar hanya pembicaraan biasa-biasa saja. Akhirnya setelah lebih dari sepuluh malam, aku mendengar ibumu berkata kepada ayahmu: ‘Kakak, kulihat raut wajahmu akhir-akhir ini agak berubah. Apakah ini akibat gangguan ilmu Pelangi Ungu yang kau dalami itu? Hendaknya kau jangan terburu nafsu ingin lekas-lekas mencapai tahap sempurna, tapi malah mengalami kesulitan.’
Ayahmu tertawa dan menjawab: ‘Ah, tidak apa-apa. Latihanku berjalan lancar.’
Ibumu tidak percaya dan berkata: ‘Jangan berbohong padaku. Aku heran mengapa suaramu akhir-akhir ini agak berubah. Rasanya melengking tajam, mirip suara perempuan.’
Ayahmu menjawab: ‘Omong kosong! Selamanya suaraku juga begini?’ Menurut pendengaranku waktu itu, suara ayahmu memang melengking tajam, seperti perempuan cerewet yang sedang marah.”
Kemudian ibumu berkata: ‘Kenapa kau bilang tidak berubah? Kau belum pernah berbicara sekasar ini padaku. Kakak, sesungguhnya ada masalah apa yang menyusahkanmu? Kita sudah berpuluh-puluh tahun menjadi suami istri. Berterus teranglah kepadaku?’
Ayahmu menjawab: ‘Masalah apa yang menyulitkanku? Hm, pertemuan di Gunung Songshan sudah semakin dekat. Zuo Lengchan bermaksud mencaplok keempat perguruan yang lain. Masalah inilah yang membuatku kesal.’
Ibumu berkata: ‘Aku melihat ada persoalan yang lain,’
Ayahmu menjadi gusar. Dengan suara melengking ia berkata: ‘Kau memang suka curiga. Selain itu mana ada persoalan lagi?’
Ibumu menjawab: ‘Kalau memang tidak ada yang lain kenapa kau marah? Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan tuduhanmu yang salah terhadap Chong-er.’
Ayahmu menegas: ‘Chong-er? Dia jelas bergaul dengan kaum aliran sesat dan bermain cinta dengan gadis bermarga Ren dari agama iblis itu. Semua orang sudah tahu akan hal ini. Kenapa kau sebut aku salah menuduh?’”
Mendengar cerita Lin Pingzhi itu seketika Ren Yingying menjadi sangat marah. Jantungnya berdebar-debar, pikirannya gusar, namun sebisa-bisanya ia berusaha menahan diri.
Terdengar Lin Pingzhi melanjutkan kisahnya, “Ibumu menjawab: ‘Dia memang bergaul dengan kaum aliran sesat, sudah tentu ini bukan fitnah. Namun kau telah menuduhnya mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Ping-er.’
Ayahmu berkata gusar: ‘Apa menurutmu kitab pusaka itu tidak dicuri olehnya? Bukankah kau menyaksikan sendiri ilmu pedangnya mendadak maju pesat, bahkan lebih sakti daripada aku.’
Ibumu menjawab: ‘Mungkin dia memperoleh pengalaman aneh sehingga mendapat kesaktian mendadak. Aku yakin dia tidak mengambil Kitab Pedang Penakluk Iblis. Sekalipun watak Chong-er ugal-ugalan, tapi sejak kecil dia selalu hidup jujur, tidak sudi melakukan hal-hal yang memalukan. Apalagi Shan-er telah berhubungan akrab dengan Ping-er dan mengesampingkan dia. Orang berwatak angkuh seperti Chong-er, sekalipun Ping-er mempersembahkan kitab pusaka itu kepadanya juga ia tidak sudi menerimanya.’”
Sungguh tidak terkira betapa senang rasa hati Ren Yingying mendengarnya. Ia berharap bisa langsung bertemu Nyonya Yue dan memeluk wanita itu sebagai ungkapan terima kasih. “Sungguh tidak sia-sia Nyonya Yue membesarkan Kakak Chong sejak kecil. Dari sekian banyak orang-orang Perguruan Huashan hanya engkau saja yang mengenal sifat Kakak Chong dengan baik. Pantas selama ini Kakak Chong selalu memujimu. Kelak bila ada kesempatan ingin sekali aku membalas kebaikan Nyonya Yue itu,” demikian pikirnya.
Lin Pingzhi melanjutkan ceritanya, “Ayahmu mendengus dan berkata: ‘Jika demikian, kau menyesal karena kita telah memecat bocah durhaka itu dari perguruan?’
Ibumu menjawab: ‘Jika dia melanggar peraturan dan dipecat, sudah tentu siapa pun tak dapat membelanya. Kau sudah menuduhnya bergaul dengan kaum aliran sesat. Rasanya itu sudah cukup. Tapi mengapa kau harus memfitnahnya mencuri kitab pusaka milik keluarga Lin? Padahal kau sendiri jauh lebih tahu daripada aku. Jelas-jelas kau tahu dia tidak mengambil Kitab Pedang Penakluk Iblis.’
Ayahmu tiba-tiba berteriak, ‘Dari mana kau tahu?’”
Suara Lin Pingzhi yang menirukan teriakan Yue Buqun itu melengking tajam memecah kesunyian malam bagaikan jeritan seekor burung hantu. Bahkan Ren Yingying sampai merinding mendengarnya.
Setelah diam sejenak barulah Lin Pingzhi melanjutkan, “Perlahan ibumu berkata: ‘Sudah tentu aku tahu, sebab... kau sendiri yang telah mengambil kitab pusaka itu.’
Dengan gusar ayahmu kembali menjerit: ‘Maksudmu, aku… aku….’ namun hanya sekian saja ucapannya dan kemudian ia terdiam.
Suara ibumu terdengar semakin tenang. Ia berkata: ‘Waktu itu aku menemukan Chong-er jatuh pingsan di jalanan Kota Fuzhou. Aku membawanya pulang ke rumah keluarga Lin untuk diobati dan melihat di balik bajunya tersimpan selembar jubah biksu yang penuh bertuliskan semacam jurus-jurus ilmu pedang. Ketika aku memberikan obat untuk yang kedua kalinya, ternyata jubah biksu itu sudah tidak ada. Padahal waktu itu Chong-er masih belum sadar sama sekali. Selama itu pula tiada orang lain yang masuk ke kamarnya selain kita berdua. Namun yang pasti jelas aku tidak mengambil jubah biksu tersebut.’”
Terdengar Yue Lingshan menangis, “Ayahku... ayahku...”
(Bersambung)
Bagian 73 ; Bagian 74 ; Bagian 75