Bagian 85 - Berkumpul di Gunung Henshan

Linghu Chong lantas berpaling kepada Ren Yingying dan bertanya, “Apakah kau akan ikut denganku, Yingying?”
Sejak tadi air mata Ren Yingying sudah berlinang-linang di kelopak matanya. Tak mampu menahan lagi, air mata itu pun bercucuran di pipi. Gadis itu menjawab, “Jika aku ikut denganmu ke Gunung Henshan, itu berarti aku tidak berbakti kepada orang tua. Namun jika aku mengingkari dirimu, itu berarti aku tidak setia. Bakti dan kesetiaan sukar diraih bersama. Kakak Chong, Kakak Chong, mulai hari ini janganlah kau memikirkan diriku lagi, karena….”
“Karena apa?” tanya Linghu Chong.
“Karena hidupmu tidak akan lama lagi,” jawab Ren Yingying. “Jika kau mati, maka aku pun tidak mau hidup lebih lama sehari saja darimu.”
Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Ayahmu sudah merestui pernikahan kita. Beliau seorang pemimpin partai besar yang mahabijaksana, yang merajai dunia persilatan, mana mungkin tidak menepati ucapannya sendiri? Bagaimana kalau sekarang juga kita mengadakan upacara menyembah langit dan bumi, sehingga resmi menjadi suami-istri?”
Ren Yingying tercengang. Meskipun ia sudah hafal watak Linghu Chong sebagai pemuda petualang yang berani berkata berani berbuat, namun tidak pernah menyangka bahwa kekasihnya itu akan bicara sedemikian terus terang di hadapan banyak orang. Seketika wajahnya menjadi merah, dan ia berkata, “Bagaimana… bagaimana kita bisa melakukannya?”
Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “Kalau begitu biarlah kita berpisah sekarang saja.”
Ia sendiri memahami isi hati Ren Yingying. Pada saat Ren Woxing menggempur Gunung Henshan kelak dan dirinya terbunuh, tentu si nona akan ikut bunuh diri demi mengikuti ke alam sana. Hal ini sudah pasti akan terjadi dengan sendirinya dan sukar untuk dicegah. Namun kalau Ren Yingying mau meninggalkan adat istiadat dan bersedia menikah dengannya di Puncak Menyongsong Mentari hari ini juga, dengan demikian mereka berdua dapat menikmati kebahagiaan sebagai pengantin baru di Gunung Henshan. Meskipun sebulan kemudian mereka tewas oleh serangan Partai Mentari dan Bulan, namun rasanya tidak ada penyesalan di dalam hati.
Bagaimanapun juga hal ini memang terlalu luar biasa dan menyimpang daripada tradisi umum. Linghu Chong tidak peduli dengan nama baiknya, namun Ren Yingying yang sangat pemalu sudah pasti tidak bersedia melaksanakannya. Jika si nona sampai menuruti ajakan tersebut tentu ia akan menanggung nama buruk sebagai seorang putri yang durhaka dan tidak berbakti kepada orang tua.
Karena berpikiran demikian Linghu Chong pun tertawa. Kemudian ia memberi hormat kepada Ren Woxing, Xiang Wentian, dan para pemuka di tempat itu sambil berkata, “Linghu Chong menantikan kunjungan kalian di Puncak Xianxing dengan segenap kehormatan!” Usai berkata ia memutar tubuh dan melangkah pergi.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba Xiang Wentian berseru. “Ambilkan arak! Adik Linghu, hari ini kita harus minum sepuas-puasnya. Mungkin kelak tidak ada kesempatan lagi.”
“Bagus, bagus!” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Kakak Xiang memang kawan sejati, benar-benar memahami kegemaranku!”
Kedatangan Partai Mentari dan Bulan ke Gunung Huashan kali ini memang telah diatur dengan rapi, termasuk juga membawa segala macam perbekalan yang diaanggap perlu. Maka begitu Xiang Wentian mengajak Linghu Chong minum, segera anak buahnya membawa beberapa guci arak ke hadapannya. Begitu tutup guci dibuka, lantas isinya pun dituang ke dalam mangkuk. Tanpa banyak bicara Xiang Wentian dan Linghu Chong saling bersulang dan mengadu mangkuk, lalu sama-sama menghabiskan isinya ke dalam mulut.
Tiba-tiba di antara banyak orang tampil seorang tua bertubuh cebol gemuk. Ia tidak lain adalah Lao Touzi, pemilik jala pusaka yang direbut Yue Buqun untuk menjaring Linghu Chong dan Ren Yingying tadi. Segera ia berseru, “Tuan Muda Linghu, budi kebaikanmu dahulu tidak pernah kulupakan seumur hidup. Izinkan aku bersulang satu mangkuk denganmu.” Usai berkata demikian ia lantas mengisi dua mangkuk dan menyerahkan salah satunya kepada Linghu Chong. Setelah bersulang, keduanya pun menghabiskan isi mangkuk masing-masing.
Padahal Lao Touzi hanya seorang jago silat biasa yang berada dalam pengaruh Partai Mentari dan Bulan. Kedudukannya sudah tentu tidak bisa disejajarkan dengan Xiang Wentian. Begitu Linghu Chong dengan tegas menolak masuk ke dalam partai, maka secara terang-terangan ia telah memusuhi Ren Woxing pula. Kini seorang Lao Touzi ternyata berani menyuguhkan arak kepada Linghu Chong, pertanda ia juga berani melawan kehendak Ren Woxing. Bukan mustahil sebentar lagi jiwanya akan melayang. Namun rupanya ia merasa lebih berat kepada rasa setiakawan daripada nyawa sendiri. Jelas ia tidak lagi memikirkan bahaya yang sebentar lagi bisa menimpanya.
Melihat keberanian Lao Touzi itu, diam-diam para jago lainnya merasa kagum. Maka Zu Qianqiu, Ji Wushi, Lan Fenghuang, Huang Boliu, dan yang lain satu per satu maju pula ke depan untuk bersulang dengan Linghu Chong.
Sama sekali Linghu Chong tidak menolak setiap suguhan mereka. Setiap mangkuk yang datang selalu ia minum sampai habis sehingga lama-lama berjumlah puluhan mangkuk. Namun para jago yang ingin bersulang dengannya itu masih berbaris tiada putus-putusnya. Sungguh terharu perasaan Linghu Chong melihat betapa mereka sangat menghargai dirinya. Ia berpikir, “Begini banyak kawan-kawan yang menghormatiku, sungguh tidak sia-sia aku hidup di dunia ini. Namun, kenapa aku harus membunuh mereka di medan perang?”
Segera ia pun mengangkat tinggi-tinggi mangkuknya dan berseru lantang, “Terima kasih atas maksud baik kawan-kawan sekalian! Namun sayang sekali kekuatanku terbatas. Hari ini aku tidak sanggup minum lebih banyak lagi. Biarlah lain hari jika kawan-kawan ikut menyerbu ke Puncak Xianxing, aku akan menunggu kalian di kaki gunung dengan arak-arak enak. Di sanalah kita bisa minum sepuas-puasnya, dan setelah itu baru kita bertempur mati-matian!” Usai berkata, ia lantas meneguk habis isi mangkuk terakhirnya itu.
“Ketua Linghu sungguh seorang terbuka yang suka berterus terang!” seru para kesatria bersamaan.
“Benar,” sahut seseorang menambahkan. “Kalau kita sudah kenyang minum sampai mabuk, barulah kita bertempur secara serabutan. Ini pasti menarik!”
Linghu Chong lantas membuang mangkuknya. Dengan berjalan sempoyongan ia pun turun ke bawah gunung diikuti Yihe, Yiqing, dan murid-murid Henshan lainnya.
Pada saat para jago silat itu sedang minum arak bersama Linghu Chong, ternyata Ren Woxing hanya tersenyum-senyum tanpa bicara. Namun dalam hati sesungguhnya ia sedang menyusun rencana secara matang untuk menggempur Perguruan Shaolin dan Wudang kelak. Terutama pula bagaimana ia harus berpura-pura menyerang Henshan untuk memancing pihak Shaolin dan Wudang mengerahkan bala bantuan. Ia berpikir rencananya itu harus diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan rasa curiga pihak lawan yang juga tidak kalah cerdiknya itu. Maka ketika Linghu Chong turun ke bawah dalam keadaan mabuk, rencana dalam benaknya juga sudah selesai disusun, hanya tinggal pelaksanaannya saja.
Selain itu ia juga berpikir, “Kawanan bangsat ini berani bersulang dengan Linghu Chong di hadapanku. Perbuatan mereka harus diganjar hukuman yang setimpal. Biarlah ini kucatat sebagai hutang, karena aku masih membutuhkan tenaga mereka. Kelak jika Perguruan Shaolin, Wudang, dan Henshan sudah kutumpas habis, maka orang-orang yang bersulang dengan Linghu Chong ini tinggal menunggu nasib.”
Tiba-tiba terdengar Xiang Wentian berseru, “Kawan-kawan sekalian, dengarkanlah aku! Bahwasanya Ketua Agung sebenarnya sudah mengetahui betapa bodoh Linghu Chong yang tidak mengetahui maksud baik orang. Namun Ketua Agung masih mencoba untuk membujuk dia dengan ramah. Meskipun Ketua Agung berjiwa besar dan menyukai pemuda berbakat, namun sesungguhnya Beliau masih menyimpan suatu maksud yang mendalam, yang tidak bisa dipahami oleh orang kasar semacam Linghu Chong. Hari ini, kita telah menumpas Perguruan Songshan, Taishan, Huashan, dan Hengshan tanpa susah payah. Untuk selanjutnya Partai Mentari dan Bulan pasti akan lebih termasyhur, lebih berjaya, dan lebih ditakuti!”
“Benar! Hidup Ketua Agung! Semoga panjang umur dan merajai dunia persilatan selamanya!” teriak banyak orang dengan suara bergemuruh.
Setelah suara ramai orang-orang itu reda, Xiang Wentian melanjutkan, “Di dunia persilatan sekarang ini tinggal Perguruan Shaolin dan Wudang saja yang masih menjadi ancaman bagi partai kita. Untuk ini, Ketua Agung sengaja mengatur siasat bagus, dan pilihannya itu jatuh kepada Linghu Chong. Melalui bocah itu kita akan menyapu bersih Biara Shaolin dan menumpas Perguruan Wudang. Perhitungan Ketua sungguh mahajitu, rencananya sangat rapi. Beliau sudah menduga Linghu Chong pasti menolak masuk ke dalam partai kita dan ternyata benar. Bocah itu menolak bujukan Ketua Agung. Bahwasanya kita bersulang dengan Linghu Chong juga merupakan salah satu siasat Ketua Agung.”
“Oh, ternyata begitu!” seru banyak orang. Mereka lalu beramai-ramai berteriak lagi. “Hidup Ketua Agung! Semoga Ketua Agung panjang umur seribu tahun, merajai dunia persilatan selamanya!”
Xiang Wentian sudah hidup puluhan tahun bersama Ren Woxing, sehingga cukup mengenal kepribadian sang ketua tersebut. Karena terdorong oleh rasa persaudaraan, tanpa pikir panjang ia telah bersulang arak perpisahan dengan Linghu Chong, dan hal ini tentu tidak disukai oleh Ren Woxing. Mengingat hubungan baiknya dengan sang ketua, maka hukuman tidak mungkin jatuh kepadanya. Akan tetapi orang-orang seperti Lao Touzi, Zu Qianqiu, Ji Wushi, dan sebagainya ternyata juga ikut-ikutan bersulang dengan Linghu Chong. Jelas perbuatan mereka itu akan mendatangkan bencana bagi jiwa mereka sendiri. Maka ia lantas mengarang suatu rangkaian kata sanjung puji untuk menutupi kejadian tadi. Ia berharap dengan ucapannya itu bisa membuat Ren Woxing tidak sampai kehilangan muka, sementara Lao Touzi dan yang lain tidak sampai kehilangan nyawa. Dengan ucapan Xiang Wentian tadi, perbuatan mereka bersulang dengan Linghu Chong malah terkesan mengangkat derajat kepemimpinan Ren Woxing.
Mendengar itu Ren Woxing sangat senang hatinya. Diam-diam ia berpikir, “Adik Xiang sudah hidup bersamaku selama puluhan tahun. Tidak sia-sia aku mengangkatnya sebagai pelindung kiri partai, karena ia memang sangat mengerti isi hatiku. Namun meskipun ia tahu aku hendak menyapu bersih Biara Shaolin dan menumpas habis Perguruan Wudang, namun rincian siasat yang akan kulaksanakan sama sekali tidak ia ketahui. Siasatku ini akan kujalankan selangkah demi selangkah, dan tidak seorang pun yang akan kuberi tahu secara terperinci.”
Sejenak kemudian terdengar Shangguan Yun berkata, “Ketua Agung mahabijaksana. Segala urusan besar di dunia ini sudah lama berada dalam perhitungan Beliau. Apapun yang Beliau katakan tentu tidak salah. Apapun yang Beliau perintahkan pasti segera kita laksanakan.”
Bao Dachu menambahkan, “Benar sekali! Asalkan Ketua Agung mengacungkan salah satu jari kepada kita, pasti kita akan segera bertindak. Apapun perintah Beliau pasti kita laksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sekalipun harus menyeberangi lautan api, atau terjun ke dalam minyak mendidih juga kita tak akan menolak.”
Qin Weibang menyahut, “Demi Ketua Agung, mati seribu kali jauh lebih baik daripada hidup tanpa tujuan.”
Seorang lagi berkata, “Saudara-saudara sama-sama mengetahui, beberapa hari terakhir ini telah menjadi hari yang paling indah dalam hidup kita, karena dapat menyaksikan secara langsung wajah emas Ketua Agung. Dengan melihat wajah Ketua Agung yang bercahaya membuat kita bertambah pintar dan bertambah kuat, jauh lebih baik daripada berlatih selama sepuluh tahun.”
“Ketua Agung menerangi seluruh jagad, membuat partai kita semakin dekat di hati rakyat jelata. Kebaikan hati Ketua Agung bagaikan hujan yang mengguyur bumi, menumbuhkan bahan makanan untuk manusia. Semua orang berbahagia dan bersyukur untuk Ketua Agung.”
“Para kesatria dari zaman dulu hingga sekarang, para nabi dan orang suci sekalipun tidak ada yang mampu menandingi kebesaran Ketua Agung. Kong Fuzi memang bijaksana, tapi mana mampu ia menghadapi Ketua Agung yang perkasa. Guan Yu memiliki tenaga malaikat, namun Ketua Agung jauh lebih cerdas. Zhuge Liang ahli dalam siasat perang, namun tidak mungkin ia mampu menghadapi ilmu silat Ketua Agung yang mahasakti.”
Serentak segenap anggota partai berteriak, “Kong Fuzi, Guan Yu, Zhuge Liang, tidak seorang pun dapat dibandingkan dengan Ketua Agung.”
Bao Dachu berkata, “Setelah partai suci kita merajai dunia persilatan, maka kita bersihkan semua patung Kong Fuzi dan Guan Yu dari setiap kuil. Kita dirikan patung Ketua Agung menggantikan tempat mereka.”
Shangguan Yun berseru lantang, “Semoga Ketua Agung panjang umur, berjaya selalu. Anak-anak kita, cucu-cucu kita sampai tujuh turunan, semuanya akan mengabdi dengan setia kepada Ketua Agung.”
Serentak segenap anggota partai bersorak gemuruh, “Hidup ketua Agung, semoga Ketua Agung panjang umur, merajai dunia persilatan selamanya!”
Ren Woxing mendengar sanjung puji anak buahnya itu dengan perasaan puas dan senang. Meskipun ucapan mereka terlalu berlebihan dan tidak masuk akal, namun Ren Woxing berusaha mencari pembenaran untuknya. Diam-diam ia berpikir, “Apa yang mereka katakan tidak salah. Ilmu silat Zhuge Liang jauh di bawahku. Apalagi kampanye penaklukannya juga tidak semuanya membawa hasil, mana mungkin ia bisa dibandingkan denganku? Guan Yu pernah membunuh enam jenderal musuh. Ia memang perkasa, namun mana mungkin bisa menghindari Jurus Penyedot Bintang andalanku? Kong Fuzi selama hidupnya hanya memiliki murid tidak sampai tiga ribu orang, sementara aku memiliki anak buah sebanyak tiga puluh ribu lebih. Ia memimpin muridnya berlari ke segala arah menghindari banjir tanpa bisa berbuat apa-apa, sedangkan aku memimpin puluhan ribu anak buahku menjelajahi jagad ke mana aku suka tanpa ada masalah sedikit pun. Kepandaian dan kebijaksanaan Kong Fuzi tidak bisa menandingi aku.”
Sorak sorai para anggota partai masih terus bergemuruh, menggema di lembah pegunungan itu. Langit terasa ikut bergetar, bumi terasa ikut berguncang. Tidak hanya yang berada di Puncak Menyongsong Mentari saja yang berteriak-teriak, bahkan para anggota yang berjaga di pos-pos penjagaan di segenap penjuru pegunungan juga ikut bersorak ramai.
Dengan wajah berseri-seri Ren Woxing lantas bangkit dari tempat duduknya. Melihat sang ketua telah berdiri, semua orang serentak berlutut dan memberi sembah. Dalam sekejap saja suasana di atas Puncak Menyongsong Mentari itu berubah menjadi sunyi senyap. Sinar matahari pagi menerpa wajah dan sekujur badan Ren Woxing. Ia tampak sangat berwibawa bagaikan seorang dewa turun dari kahyangan.
Ren Woxing lantas tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Jika aku bisa hidup selamanya seperti ha….” sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah serak. Ia mencoba mengerahkan tenaga dan mengatur napas untuk mengucapkan kata “hari ini”, namun otot dada terasa kejang dan mulut pun sukar beruara. Dengan tangan kanan menahan dada, ia berusaha menekan darah panas yang telah naik ke dalam kerongkongan. Akan tetapi kepalanya lantas pusing dan mata pun berkunang-kunang. Cahaya matahari pagi itu membuat pandangannya terasa sangat silau.
Sementara itu Linghu Chong turun ke bawah gunung dalam keadaan mabuk. Sampai lewat tengah malam barulah ia sadar kembali. Begitu bangun ternyata dirinya sudah berada di tengah ladang luas, sementara para murid Perguruan Henshan tampak duduk di kejauhan untuk menjaganya. Kepalanya terasa sangat pusing. Begitu teringat untuk selanjutnya mungkin tiada harapan lagi berjumpa dengan Ren Yingying, seketika hati Linghu Chong merasa berduka.
Sesampainya di kaki gunung, rombongan Linghu Chong bertemu Biksu Bujie dan istrinya, serta Yilin dan Tian Boguang. Bersama-sama mereka pun berjalan menuju ke Gunung Henshan. Akhirnya, rombongan tersebut sampai juga di Puncak Xianxing dengan selamat. Hal pertama yang mereka lakukan adalah bersembahyang di depan altar ketiga biksuni sepuh mengingat kematian mereka telah terbayar lunas. Biksuni Dingjing tewas dikeroyok anak buah Zuo Lengchan, sementara Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi dibunuh secara licik oleh Yue Buqun.
Dalam waktu singkat entah siang entah malam, Partai Mentari dan Bulan akan datang menyerbu Gunung Henshan. Setelah pertempuran berakhir, tentu Perguruan Henshan akan musnah selamanya. Karena kekalahan sudah jelas di depan mata, hal ini membuat murid-murid Henshan menjadi tidak khawatir lagi. Mereka menganggap tidak ada gunanya berlatih lebih keras karena masing-masing merasa tetap tidak mungkin bisa memenangkan pertempuran. Maka murid-murid Henshan itu pun menjadi malas berlatih ilmu pedang tidak seperti biasanya. Sebagian dari mereka yang taat kepada agama tetap menjalankan sembahyang dengan baik. Sementara itu yang putus asa dan beriman tipis lebih suka bertamasya menikmati keindahan alam pegunungan tersebut. Biasanya tata tertib di Henshan sangat ketat, namun kali ini mereka benar-benar merasa mendapat kelonggaran.
Beberapa hari kemudian, di Puncak Xianxing tiba-tiba datang sepuluh orang biksu yang dipimpin langsung oleh ketua Biara Shaolin, yaitu Biksu Fangzheng. Saat itu Linghu Chong sedang asyik minum arak seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi di biara induk. Begitu menerima laporan kedatangan Biksu Fangzheng, seketika ia merasa terkejut bercampur senang. Lekas-lekas ia pun menyambut keluar.
Biksu Fangzheng tersenyum melihat penampilan Linghu Chong dan berkata, “Pada umumnya seseorang yang tergopoh-gopoh menyambut tamu masih tetap mempunyai waktu untuk memakai sepatu. Namun begitu mendengar kedatangan kami, Ketua Linghu sampai lupa memakai sepatu. Penghormatan Ketua Linghu kepada kami terlalu berlebihan.”
Linghu Chong membungkuk dan berkata, “Begitu mendengar Biksu Ketua datang, Linghu Chong selalu terlambat dalam memberi penyambutan. Sungguh, saya merasa tidak enak hati.” Ia kemudian memberi hormat pula kepada biksu tua bertubuh tegap di belakang Fangzheng, lalu berkata, “Rupanya Biksu Fangsheng juga ikut serta?”
Fangsheng hanya tersenyum dan membalas hormat.
Linghu Chong lantas memberi hormat kepada delapan biksu lainnya yang rata-rata sudah berusia tua dan berjanggut putih. Begitu memperkenalkan diri, ternyata mereka juga berasal dari angkatan “Fang”, jelas satu golongan dengan Fangzheng dan Fangsheng.
Linghu Chong lantas mempersilakan kesepuluh biksu itu masuk ke dalam biara induk dan duduk di atas kasur samadi. Biara ini dulu merupakan tempat sembahyang Biksuni Dingxian yang selalu terawat dengan baik tanpa debu sedikit pun. Namun sejak Linghu Chong tinggal di situ, keadaannya menjadi kotor dan berantakan. Tempat ibadah itu kini penuh dengan guci dan cawan arak berserakan.
Dengan wajah merah padam Linghu Chong berkata, “Saya sungguh ceroboh telah membuat tempat suci ini menjadi sedemikian kotor. Mohon para Biksu yang mulia jangan marah.”
“Kedatangan kami kali ini adalah untuk membahas urusan penting, maka itu Ketua Linghu tidak perlu segan-segan,” jawab Fangzheng sambil tersenyum. “Konon kabarnya Ketua Linghu telah menolak kedudukan sebagai wakil ketua Partai Mentari dan Bulan demi membela Perguruan Henshan. Bahkan Ketua Linghu juga tidak memikirkan diri sendiri dan rela berpisah dengan Nona Ren. Padahal semua orang telah mengetahui betapa kalian adalah pasangan serasi. Dalam hal ini, segenap kawan dari golongan putih sangat kagum terhadap sikap Ketua Linghu.”
Seketika Linghu Chong tercengang dan ia berpikir, “Padahal persoalan ini sudah kurahasiakan, bahkan aku juga melarang segenap murid Henshan untuk menceritakan peristiwa ini dengan maksud untuk mencegah datangnya bala bantuan dari Perguruan Shaolin dan Wudang. Tapi Biksu Fangzheng ternyata mengetahui juga kejadian ini.”
Segera ia pun menjawab, “Biksu Ketua terlalu memuji, saya menjadi malu. Tentang hubungan saya dengan Ketua Ren memang banyak hal-hal yang sukar dijelaskan. Selain itu saya juga terpaksa harus mengingkari kebaikan Nona Ren. Perbuatanku yang tidak tahu diri ini malah mendapat pujian dari Biksu Ketua, dan bukannya dicela. Sungguh-sungguh saya tidak berani menerimanya.”
Fangzheng berkata, “Menurut kabar yang tersiar, dalam waktu dekat Ketua Ren akan memimpin langsung segenap anak buahnya untuk menyerbu ke Gunung Henshan ini. Kini Perguruan Lima Gunung telah runtuh, dan yang tersisa dari Songshan, Taishan, Hengshan, dan Huashan hanyalah nama belaka. Tinggal Perguruan Henshan saja yang masih tegak berdiri, namun tidak mendatangkan bantuan dari mana pun. Ketua Linghu juga tidak mengirim orang untuk menyampaikan berita kepada kami. Jangan-jangan Perguruan Shaolin kami diaanggap sebagai kumpulan orang-orang yang takut mati dan tidak punya rasa setiakawan terhadap sesama kaum persilatan?”
“Sama sekali kami tidak berani berpikiran demikian,” ujar Linghu Chong cepat. “Masalahnya segala urusan yang timbul saat ini adalah gara-gara perbuatanku sendiri yang telah salah bergaul dengan gembong-gembong aliran sesat. Menurut pendapatku, barangsiapa berbuat maka biarlah ia sendiri yang bertanggung jawab. Membuat susah segenap anggota Perguruan Henshan saja sudah membuatku tidak enak, apalagi sampai menyusahkan Biksu Ketua dan Pendeta Chongxu. Jika Perguruan Shaolin dan Wudang mengirimkan bala bantuan dan jatuh banyak korban di dalamnya, tentu dosaku akan semakin besar. Dosa ini tidak akan terbalas meskipun harus mati sepuluh ribu kali.”
“Ucapan Ketua Linghu ini kurang tepat,” ujar Fangzheng dengan tersenyum. “Sudah sejak ratusan tahun yang lalu pihak aliran sesat ingin menumpas Perguruan Shaolin, Wudang, dan Serikat Pedang Lima Gunung. Saat itu bahkan kami sendiri belum lahir. Jadi, ini sama sekali bukan kesalahan pribadi Ketua Linghu saja.”
Linghu Chong mengangguk dan menjawab, “Benar. Mendiang guruku juga sering mengatakan bahwa selamanya golongan putih dan golongan hitam tidak mungkin hidup bersama. Aliran sesat dan aliran lurus bersih kita sudah terlibat pertempuran sekian lamanya, dan permusuhan di antara kedua pihak sangat mendalam. Menurut pendapatku yang bodoh ini, kalau salah satu pihak mau mengalah selangkah tentu permusuhan dapat dihentikan. Ternyata meskipun hubunganku dengan Ketua Ren sedemikian baiknya, tetap saja pada akhirnya kami harus bertemu di medan perang.”
“Ucapanmu tentang saling mengalah selangkah dan permusuhan dapat dihentikan, hal ini sebenarnya tidak salah,” ujar Fangzheng. “Pertarungan antara golongan lurus bersih kita melawan Partai Mentari dan Bulan sebenarnya juga tidak memiliki alasan yang kuat. Masalahnya hanyalah pemimpin kedua pihak sama-sama ingin merajai dunia persilatan, maka masing-masing pun ingin menumpas pihak lawan. Tempo hari saya dan Pendeta Chongxu serta Ketua Linghu telah berbicara di Kuil Gantung untuk membahas niat Ketua Zuo dari Songshan yang hendak melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Kita sama-sama mengkhawatirkan ambisinya yang besar itu, ingin merajai dunia persilatan.”
Bicara sampai di sini Fangzheng pun berhenti sejenak dan menghela napas panjang. Sesaat kemudian ia melanjutkan, “Konon Partai Mentari dan Bulan memiliki semboyan yang menyatakan, ‘Panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya’. Kalau Ketua Ren sudah punya niat seperti itu, tentu tidak akan pernah ada kedamaian lagi di dunia persilatan. Dalam dunia persilatan terdapat berbagai macam perguruan, aliran, partai, ataupun perkumpulan, yang masing-masing memiliki keanekaragaman. Menyatukan itu semua di bawah satu bendera jelas bertentangan dengan hukum alam.”
Linghu Chong menjawab, “Ucapan Biksu Ketua sangat benar.”
“Ketua Ren menyatakan dalam bulan ini ia akan menyapu bersih seluruh penghuni Gunung Henshan, bahkan ayam dan burung juga tidak diberi ampun. Sekali ia berkata demikian, sudah pasti ia laksanakan pula. Oleh karena itu, sekarang ini para jago terbaik dari Perguruan Shaolin, Wudang, Kunlun, Emei, dan Kongtong telah berkumpul di kaki gunung Henshan ini.”
“Hah, benarkah demikian?” seru Linghu Chong terkejut sampai melonjak dari duduknya. “Para tokoh terkemuka dari berbagai perguruan telah datang membantu, namun sedikit pun saya tidak tahu. Sudah sepantasnya saya mendapat hukuman.”
Rupanya ancaman serangan dari Ren Woxing itu bukannya membuat Perguruan Henshan bersiaga, tetapi justru menyerahkan diri pada nasib. Linghu Chong telah menarik orang-orangnya yang berjaga dan meronda di segenap penjuru pegunungan, untuk kemudian memberi mereka kebebasan menikmati sisa waktu. Akibatnya, ia sama sekali tidak mengetahui kalau bala bantuan dari berbagai perguruan golongan putih telah datang dan berkumpul di kaki gunung.
Terdengar Linghu Chong melanjutkan, “Para biksu yang mulia, silakan beristirahat lebih dulu, saya akan memimpin para murid untuk menyambut para tamu agung tersebut.”
Fangzheng mengangguk dan menjawab, “Segenap perguruan lurus bersih ibarat berada dalam satu kapal yang sama. Bersama-sama kita bahu membahu menghadapi ombak dan badai yang datang menerjang. Tidak perlu terlalu banyak adat, kami sudah membawa perbekalan secukupnya.”
“Baik,” jawab Linghu Chong sambil mengangguk. Ia lantas bertanya, “Kalau boleh tahu, kapan dan dari mana Biksu Ketua mendengar kabar bahwa Partai Mentari dan Bulan hendak menyerbu Gunung Henshan?”
“Seorang sesepuh telah mengirimkan surat kepada kami yang berisi kabar mengenai hal ini,” jawab Fangzheng.
“Sesepuh?” sahut Linghu Chong menegas. Jelas-jelas ia tahu kedudukan Biksu Fangzheng di dunia persilatan sudah sangat tinggi. Lantas, siapa pula yang lebih tua tingkatannya daripada dia?
Dengan tersenyum Fangzheng menjawab, “Sesepuh ini adalah tokoh terkenal dari Perguruan Huashan. Beliau pernah mengajarkan ilmu pedang mahasakti kepada Ketua Linghu.”
“Ah, ternyata Kakek Guru Feng!” seru Linghu Chong senang.
“Benar sekali, memang Sesepuh Feng Qingyang orangnya,” kata Fangzheng. “Sesepuh Feng telah mengirim enam orang sobat ke Biara Shaolin untuk memberitahukan tentang apa yang dialami Ketua Linghu di Puncak Menyongsong Mentari tempo hari. Cara bicara keenam sobat itu agak bertele-tele dan tidak jelas. Namun setelah mendengarkan selama beberapa jam dengan sabar, akhirnya saya dapat memahaminya dengan jelas.”
“Enam Dewa Lembah Persik, benarkah mereka?” tanya Linghu Chong.
“Mereka memang Enam Dewa Lembah Persik,” sahut Fangzheng tersenyum.
“Ketika berada di Gunung Huashan, sebenarnya saya ingin menyampaikan salam hormat kepada Kakek Guru Feng. Namun mendadak muncul berbagai macam urusan. Sampai meninggalkan gunung pun saya tetap tidak sempat berkunjung kepada Beliau. Tak disangka, ternyata Beliau mengetahui segala hal yang terjadi di sana.”
“Sesepuh Feng memang tidak suka menonjolkan diri. Beliau bagaikan naga sakti dari kahyangan, bisa melihat kita sementara kita tidak mengetahuinya,” ujar Fangzheng. “Meskipun Beliau mengasingkan diri di lembah pegunungan, namun begitu Perguruan Huashan tertimpa musibah, mana mungkin tinggal diam begitu saja? Pada saat itu sebenarnya Enam Dewa Lembah Persik juga menyusul ke Gunung Huashan dan bermain-main di sana. Mereka lantas ditangkap dan disekap selama beberpa hari oleh Sesepuh Feng. Setelah jera, mereka akhirnya dapat disuruh pergi ke Biara Shaolin menyampaikan surat dari Beliau.”
Linghu Chong pun merenung, “Rupanya Enam Dewa Lembah Persik ditawan beberapa hari oleh Kakek Guru Feng. Mereka suka menjaga gengsi, tidak mungkin mau menceritakan kejadian memalukan ini kepadaku. Biarlah nanti aku bicara melantur umtuk memancing mereka sehingga menceritakan semuanya dengan lengkap.”
Ia lantas bertanya, “Menurut isi surat tersebut, apakah ada perintah Kakek Guru Feng kepada saya?
“Sesepuh Feng dengan sangat rendah hati mengaku telah mendengar ancaman Partai Mentari dan Bulan terhadap Perguruan Henshan. Oleh karena itu Beliau sengaja mengirim kabar kepada saya. Sesepuh Feng mengatakan bahwa Ketua Linghu adalah murid kesayangan Beliau. Tindakan Ketua Linghu yang dengan tegas menolak ajakan aliran sesat itu sangat membuat hati Sesepuh Feng berkenan. Maka itu Beliau pun menyuruh saya untuk menjaga Ketua Linghu dengan baik. Padahal ilmu silat Ketua Linghu sepuluh kali lebih hebat daripada saya. Beliau mengatakan ‘menjaga’ segala, sungguh terlalu berlebihan.”
“Tapi Biksu Ketua telah menjaga diri saya bukan hanya sekali dua kali saja,” ujar Linghu Chong dengan membungkuk dan berterima kasih.
“Ah, Ketua Linghu jangan mengolok-olok,” sahut Fangzheng. “Setelah mengetahui berita ini, meskipun Sesepuh Feng tidak memerintah juga saya tetap berangkat ke Henshan mengingat hubungan baik kedua perguruan dan persahabatan kita pula. Apalagi persoalan ini menyangkut hidup dan mati segenap kaum persilatan golongan lurus bersih. Apabila Perguruan Henshan benar-benar dimusnahkan oleh Partai Mentari dan Bulan, mana mungkin Shaolin dan Wudang tidak mengalami nasib yang serupa? Sebab itulah kami lantas menyebarkan kabar ini kepada berbagai aliran dan perguruan agar berkumpul di kaki Gunung Henshan. Kita bertempur mati-matian menghadapi Partai Mentari dan Bulan di sini.”
Sebenarnya Linghu Chong sudah putus asa sejak turun meninggalkan Puncak Menyongsong Mentari. Melihat betapa hebat kekuatan Partai Mentari dan Bulan itu, jelas Perguruan Henshan tidak akan mampu melawan. Maka itu, ia hanya dapat menunggu hari kedatangan Ren Woxing untuk kemudian bersama segenap murid Perguruan Henshan melawan mati-matian sampai titik darah penghabisan. Murid-murid Henshan juga ada yang mengusulkan agar meminta bantuan kepada Perguruan Shaolin dan Wudang. Akan tetapi Linghu Chong menganggap itu semua tidak ada gunanya, sebab kekuatan Shaolin dan Wudang juga terbatas. Karena hasil akhirnya sudah dapat ditebak, ia pun berpikir untuk apa ikut mengorbankan Perguruan Shaolin dan Wudang?
Sebenarnya dalam lubuk hati Linghu Chong ada perasaan enggan bertempur melawan Ren Woxing dan Xiang Wentian. Namun setelah harapan menikah dengan Ren Yingying telah musnah, tanpa terasa timbul pikirannya yang putus asa. Ia merasa hidup ini tiada gunanya lagi, bahkan lebih baik mati secepat-cepatnya. Namun begitu mengetahui kedatangan Fangzheng adalah atas permintaan Feng Qingyang, seketika semangatnya bangkit kembali. Meskipun sesungguhnya untuk benar-benar bertempur melawan pihak Partai Mentari dan Bulan ia tetap tidak berhasrat.
“Ketua Linghu,” sahut Fangzheng kemudian. “Sebagai penganut agama Buddha kami wajib memiliki watak welas asih. Sesungguhnya saya juga bukan orang yang suka main kekerasan, dan berharap urusan ini dapat diselesaikan dengan damai. Namun kalau kita sudah mengalah selangkah, dan Ketua Ren ternyata maju satu langkah, maka persoalan ini tidak akan menemukan titik terang. Tentu Ketua Ren tetap membasmi kita secara habis-habisan, kecuali kalau kita mau menyembah kepadanya dan menyanjung puji, ‘Hidup Ketua Agung, semoga panjang umur, merajai dunia persilatan, Amitabha!’”
Linghu Chong merasa geli mendengar ucapan Fangzheng yang bercampur aduk antara semboyan kaum aliran sesat dengan pujian agama Buddha itu. Ia lantas menjawab dengan tertawa, “Benar sekali. Hanya mendengar sebutan ‘Ketua Agung merajai dunia persilatan’ saja sudah membuat sekujur tubuh ini merinding. Meskipun tidak minum arak, namun begitu mendengar sanjung puji tersebut seketika saya menjadi mabuk kepayang.”
“Sanjung puji anggota aliran sesat memang sungguh berlebihan dan muluk-muluk,” ujar Fangzheng. Setelah terdiam sejenak ia lantas melanjutkan, “Diam-diam Sesepuh Feng telah melihat keadaan Ketua Linghu sewaktu menahan sakit luar biasa di bagian perut waktu itu. Beliau lantas menyuruh Enam Dewa Lembah Persik untuk menyampaikan semacam rumusan ilmu tenaga dalam mahatinggi kepada saya, untuk kemudian disampaikan kepada Ketua Linghu. Maka itu harap Ketua Linghu masuk ke dalam agar saya dapat menyampaikan rumusan ilmu tenaga dalam tersebut.”
Dengan penuh rasa hormat Linghu Chong lantas membawa Biksu Fangzheng ke dalam sebuah kamar yang sunyi. Menyaksikan Fangzheng menyampaikan ilmu tersebut, Linghu Chong merasa seperti berhadapan dengan Feng Qingyang sendiri. Dengan berlutut ia pun menyembah sambil berkata, “Budi baik Kakek Guru Feng kepada saya sungguh tak terukur besarnya.”
Fangzheng tidak menolak penghormatan itu. Ia berkata, “Sesepuh Feng menaruh harapan besar terhadap Ketua Linghu. Maka hendaknya kau dapat melatih ilmu tenaga dalam ini dengan baik sesuai rumusan yang saya sampaikan ini.”
“Baik,” jawab Linghu Chong. “Saya berjanji akan mempelajari ilmu ini dengan sungguh-sungguh.”
Fangzheng pun mulai menguraikan kalimat-kalimat rumusan ilmu tenaga dalam tersebut kepada Linghu Chong. Ternyata rumusan ini tidak terlalu panjang, yaitu tidak sampai melewati seribu kata. Setelah selesai menguraikannya, Fangzheng meminta Linghu Chong menghafalkannya. Maka itu, ia pun mengulangi uraiannya itu sampai lima kali, sehingga Linghu Chong benar-benar hafal di luar kepala.
Biksu Fangzheng lantas berkata, “Ketua Linghu telah menghafal semuanya dengan baik. Meskipun rumusan ini tidak panjang, namun memiliki makna yang teramat luas dan mendalam, lain daripada yang lain. Kita adalah sahabat, maka itu jangan tersinggung jika saya berkata bahwa ilmu pedang Ketua Linghu memang sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu tenaga dalam sepertinya kurang sempurna.
“Saya hanya paham sedikit saja mengenai ilmu tenaga dalam,” jawab Linghu Chong. “Saya tidak tersinggung, justru ingin meminta penjelasan lebih lanjut dari Biksu Ketua.”
Fangzheng berkata. “Meskipun intisari ilmu tenaga dalam ajaran Sesepuh Feng ini agak berbeda dengan ilmu tenaga dalam Perguruan Shaolin, namun semua ilmu silat di dunia ini pada dasarnya berbeda-beda tapi tetap satu juga. Maka itu, apabila Ketua Linghu memang tidak keberatan, saya akan memberikan penjelasan seperlunya mengenai intisari ajaran Sesepuh Feng ini sesuai dengan pemahaman saya.”
Linghu Chong menyadari kalau Biksu Fangzheng adalah tokoh papan atas di dunia persilatan. Mendapat petunjuk darinya sama saja seperti mendapatkan pelajaran langsung dari Feng Qingyang. Dalam hal ini Linghu Chong berpikir, “Kakek Guru Feng meminta Biksu Fangzheng mewakilinya, tentu karena biksu agung ini memang memiliki tenaga dalam yang mahatinggi.” Berpikir demikian membuat Linghu Chong tanpa ragu-ragu lantas menerima baik tawaran Fangzheng seraya berkata, “Saya akan mendengarkan dengan penuh khidmat segala petunjuk dari Biksu Ketua.”
“Ah, jangan terlalu mengolok-olok seperti itu,” ujar Fangzheng. Ia lantas menyampaikan penjelasan terhadap rumusan ilmu tenaga dalam itu secara terperinci, kalimat demi kalimat. Ia juga memberikan tambahan pelajaran mengenai ilmu pernapasan dan ilmu memindahkan tenaga, serta tata cara samadi yang baik.
Semula Linghu Chong hanya menghafalkan rumusan ilmu tenaga dalam tadi di luar kepala secara mati tanpa memahami maksudnya. Namun setelah mendapat penjelasan secara terperinci dari Fangzheng barulah ia menyadari bahwa setiap kalimat dalam rumusan tersebut mengandung bermacam-macam filsafat yang mahaluas.
Sebenarnya Linghu Chong seorang pemuda cerdas dan berbakat. Namun intisari ilmu tenaga dalam itu ternyata cukup membuatnya memeras otak selama setengah hari. Untunglah Biksu Fangzheng dengan sabar senantiasa mendampingi dan memberikan penjelasan secara terperinci sehingga membuat pemuda itu mendapatkan suatu tingkatan ilmu silat yang belum pernah ia capai sebelumnya.
Sambil menghela napas panjang Linghu Chong berkata, “Biksu Ketua, selama bertahun-tahun saya malang melintang di dunia persilatan dengan gegabah, karena tidak menyadari kebodohan diri sendiri. Saya merasa sungguh malu saat memikirkan hal itu. Meskipun hidup saya tidak akan lama lagi karena serangan Ketua Ren, namun saya tetap bersyukur karena mendapatkan pelajaran berharga dari Kakek Guru Feng melalui Biksu Ketua ini. Pepatah mengatakan: lebih baik menemukan kebenaran di pagi hari dan mati di sore hari daripada hidup selamanyaa dalam kegelapan.”
“Menemukan kebenaran di pagi hari dan mati di sore hari tentu tidak akan menyesal,” sahut Fangzheng.
“Benar sekali, maksud saya adalah seperti itu,” ujar Linghu Chong. “Saya meniru pepatah itu dari mendiang Guru. Mendengarkan penjelasan dari Biksu Ketua hari ini benar-benar membuat saya bagaikan seorang buta melihat cahaya. Meskipun tidak ada waktu lagi untuk melatihnya, saya tetap bersyukur.”
Fangzheng berkata, “Bermacam-macam perguruan lurus bersih telah berkumpul di kaki Gunung Henshan ini. Apabila Partai Mentari dan Bulan benar-benar menyerbu kemari, maka kita beramai-ramai menghadapinya dengan segenap tenaga. Rasanya belum tentu kita akan kalah. Maka dari itu janganlah Ketua Linghu patah semangat. Ilmu tenaga dalam ini akan sempurna dalam beberapa tahun. Namun Ketua Linghu harap melatihnya dengan tekun secara teratur sehari demi sehari. Sedikit demi sedikit tentu membawa kemajuan bagi Ketua Linghu. Dalam waktu singkat ini kita tidak mengalami suatu urusan, maka itu silakan Ketua Linghu mulai berlatih saja. Selagi saya datang mengusik tempatmu yang terhormat ini, marilah kita saling bertukar pikiran.”
“Saya sungguh berterima kasih atas budi kebaikan Biksu Ketua,” kata Linghu Chong.
“Saat ini mungkin Saudara Chongxu juga sudah datang,” ujar Fangzheng. “Marilah kita keluar untuk melihatnya!”
“Hah, ternyata Pendeta Chongxu juga datang secara pribadi?” sahut Linghu Chong sambil lekas-lekas berdiri. Keduanya lantas keluar kembali ke ruang utama tadi. Ternyata di ruang tersebut sudah menyala beberapa api lilin, jelas hari sudah mulai gelap. Tak disangka, sudah enam jam lamanya mereka berdua berada di dalam kamar samadi untuk mempelajari ilmu tenaga dalam tersebut.
Tampak di ruangan utama itu duduk tiga orang pendeta agama Tao sedang berbicara dengan Biksu Fangsheng. Salah seorang di antaranya tidak lain adalah Pendeta Chongxu sendiri.
Melihat Fangzheng dan Linghu Chong keluar dari kamar samadi, dengan cepat Chongxu dan kedua rekannya bangkit memberi hormat.
Linghu Chong langsung berlutut memberi hormat, sambil berkata, “Jauh-jauh Pendeta Chongxu sudi datang membantu kesulitan yang dihadapi Perguruan Henshan. Saya dan segenap murid-murid Henshan sungguh sangat berterima kasih dan entah bagaimana bisa membalas budi baik Pendeta ini?”
Lekas-lekas Chongxu membangunkan Linghu Chong dan berkata sambil tertawa, “Sudah cukup lama kami berada di sini. Begitu mengetahui Biksu Ketua sedang mengajarkan ilmu tenaga dalam kepada Adik Linghu di kamar samadi, maka kami tidak berani mengganggu sama sekali. Ilmu tenaga dalam mahasakti yang Adik Linghu pelajari itu tentu bisa untuk membuat Ren Woxing terkejut setengah mati.”
“Ilmu tenaga dalam ini terlalu luas dan mendalam. Dalam waktu singkat mana mungkin saya mampu memahaminya dengan baik?” jawab Linghu Chong. “Saya dengar para tokoh terkemuka dari Perguruan Emei, Kunlun, dan Kongtong juga hadir. Saya hendak turun gunung untuk menyambut mereka. Para sesepuh itu perlu diundang kemari untuk berunding bagaimana cara untuk menghadapi musuh. Bagaimana pendapat Pendeta atas hal ini?”
Chongxu menjawab, “Mereka memang sudah datang, tapi sengaja bersembunyi di tempat rahasia agar tidak diketahui oleh mata-mata si iblis tua bermarga Ren itu. Kalau mereka beramai-ramai diundang kemari, mungkin keberadaan mereka akan diketahui musuh. Sewaktu datang ke sini pun kami bertiga juga dalam penyamaran. Bahkan murid-murid Wudang juga tidak tahu tentang keberangkatan kami ini.”
Linghu Chong langsung teringat pada pertemuan pertamanya dengan Pendeta Chongxu. Waktu itu sang pendeta menyamar sebagai kakek tua penunggang keledai, yang didampingi dua orang petani membawa sayur dan kayu bakar. Padahal ketiganya adalah ahli pedang papan atas dalam Perguruan Wudang. Kali ini Linghu Chong mengamati dengan seksama kedua pendeta yang mengiringi Chongxu. Ternyata mereka berdua adalah orang-orang yang dulu menyamar sebagai pendamping ketua Wudang itu pula.
Segera Linghu Chong memberi hormat dan menyapa, “Pendeta berdua sungguh mahir dalam menyamar. Kalau saja Pendeta Chongxu tidak menyinggungnya, tentu saya tetap tidak mengenali Pendeta berdua.”
Dahulu kedua pendeta itu menyamar sebagai petani gunung. Yang lebih tua membawa kayu bakar, sedangkan yang lebih muda membawa sayur-mayur. Saat itu mereka terlihat kumal dan sakit-sakitan, namun kini tampak sehat dan bersih. Hanya sinar mata mereka saja yang masih dikenali oleh Linghu Chong.
Chongxu lantas memperkenalkan kedua pendeta pendampingnya itu, “Yang lebih tua ini adalah adik seperguruanku, namanya Adik Qingxu, sedangkan yang lebih muda ini adalah muridnya, bernama Keponakan Chenggao.”
Linghu Chong dan ketiga pendeta dari Wudang itu lantas bergelak tawa teringat kejadian di jalanan Hubei waktu itu. “Ilmu pedang Ketua Linghu sungguh mahasakti!” ujar Qingxu dan Chenggao memuji.
Chongxu berkata, “Adik dan keponakanku ini pernah merantau selama belasan tahun di benua barat. Di sana mereka berhasil memperoleh kepandaian istimewa. Yang satu mahir memasang pesawat rahasia, dan yang satunya ahli dalam membuat bahan peledak.”
“Wah, ini benar-benar kepandaian yang jarang ada di dunia,” ujar Linghu Chong.
“Adik Linghu,” kata Chongxu kemudian. “Aku sengaja membawa mereka kemari sebenarnya untuk maksud dan tujuan tertentu. Aku berharap mereka berdua bisa membantu kita mengerjakan suatu tugas penting.”
Linghu Chong tidak paham dan menegas, “Mengerjakan suatu urusan penting?”
“Benar. Secara lancang aku telah membawa sesuatu kemari. Silakan Adik Linghu memeriksanya,” ujar Chongxu sambil merogoh ke dalam saku bajunya.
Dengan penuh tanda tanya Linghu Chong berdebar-debar ingin mengetahui barang apa sebenarnya yang akan dikeluarkan dari saku baju pendeta tua itu. Namun Chongxu lantas berkata dengan tertawa, “Barang yang aku bawa sebenarnya bukan benda kecil sehingga tidak muat di dalam saku bajuku. Nah, Adik Qingxu, silakan kau suruh mereka membawanya masuk kemari.”
Berbeda dengan Biksu Fangzheng yang tunduk pada adat dan menjaga tata krama, Pendeta Chongxu ini lebih terbuka dan sesekali bercanda. Begitu menerima perintah, Qingxu segera berjalan keluar. Tidak lama kemudia ia masuk kembali dengan membawa empat orang yang berdandan sebagai petani desa. Keempatnya berkaki telanjang dan masing-masing membawa satu pikulan sayur.
Qingxu lantas memperkenalkan Linghu Chong dan Biksu Fangzheng pada keempat orang itu. Mereka pun membungkuk menyampaikan salam hormat. Sebaliknya, Linghu Chong dan Fangzheng juga membalas hormat. Linghu Chong sadar keempat orang ini pasti jago-jago pilihan dari Perguruan Wudang, sehingga dengan rendah hati ia membungkuk pula.
“Keluarkan dan rakitlah!” ujar Qingxu memberi perintah.
Keempat orang itu segera membongkar sayuran dalam pikulan mereka. Di bawah tumpukan sayu-mayur tersebut rupanya ada beberapa bungkusan. Setelah bungkusan itu dibuka, ternyata berisi benda-benda kecil sebangsa paku, mur, baut, pegas, dan potongan-potongan kayu. Mereka berempat lantas bekerja dengan sangat cekatan. Benda-benda kecil tersebut lantas dirakit dan dihubungkan satu sama lain. Dalam waktu singkat terciptalah sebuah kursi megah dari benda-benda kecil tersebut.
Linghu Chong terheran-heran dan berpikir, “Untuk apa kursi megah ini dirakit di sini? Di dalamnya terpasang bermacam-macam pesawat pegas, apakah mungkin digunakan untuk berlatih tenaga dalam?”
Selesai kursi selesai dirakit, keempat orang itu lantas mengeluarkan dari dalam bungkusan yang lain sebuah bantal dan sarung kursi, untuk kemudian dipasang pada sandaran kursi megah tersebut. Seketika suasana ruang biara itu menjadi gilang-gemilang oleh cahaya yang menyilaukan mata. Ternyata sarung kursi ini terbuat dari sutra kuning yang halus dan bersulamkan gambar sembilan ekor naga emas. Gambar sembilan naga yang melingkar-lingkar itu tampak sedang menyongsong terbitnya bola matahari berwarna merah membara di garis samudera. Di kedua tepi sarung kursi tersulam pula tulisan kaligrafi yang bernada sanjung puji semboyan Partai Mentari dan Bulan, antara lain: “Kejayaan untuk Ketua Agung, sang pelindung rakyat jelata” juga “Hidup Ketua Agung, semoga panjang umur, merajai dunia persilatan”.
Gambar sembilan naga emas itu tersulam dengan bagus sekali seolah benar-benar hidup. Tulisan-tulisan di tepinya juga sangat indah, bahkan dihiasi pula dengan bermacam-macam mutiara dan batu permata berwarna-warni. Ruangan biara yang biasanya sunyi senyap dan sangat sederhana itu, kini tiba-tiba cemerlang oleh kilauan cahaya benda-benda berharga tersebut.
Linghu Chong bersorak memuji. Teringat olehnya bahwa Qingxu pernah mempelajari ilmu tentang pesawat rahasia di benua barat, seketika ia pun paham maksud dan kegunaan dari kursi indah tersebut. “Ini adalah kursi perangkap,” ujarnya mencoba menebak. “Begitu melihat kursi kebesaran ini, Ketua Ren pasti langsung tertarik dan segera mendudukinya. Maka, sekali pesawat pegas dalam kursi ini bekerja, tentu jiwanya akan melayang seketika.”
Perlahan Chongxu menjawab, “Tapi Ren Woxing sangat pintar dan cerdik. Tindakannya juga sangat cepat. Sedikit saja dia merasa tempat duduknya kurang enak pasti akan curiga dan segera melompat bangun. Maka itu sukar juga untuk membinasakannya. Yang penting di kaki kursi ini terpasang pula sumbu obat yang terhubung dengan bahan peledak berkekuatan besar di suatu tempat rahasia.”
Mendengar itu, serentak raut muka Linghu Chong dan para biksu Shaolin berubah. Fangzheng lantas menyebut, “Amitabha!”
Chongxu berkata, “Keistimewaan pesawat rahasia di dalam kursi itu adalah tidak seketika langsung bekerja. Apabila diduduki begitu saja juga tidak akan terjadi apa-apa. Namun setelah diduduki kira-kira seminuman teh barulah pesawat itu bekerja dan menyulut sumbu bahan peledak. Ren Woxing seorang yang sangat cerdik dan mudah curiga. Jika mendadak ia melihat ada sebuah kursi bagus di sini tentu tidak akan langsung duduk di atasnya. Pasti dia menyuruh anak buahnya untuk mencoba lebih dahulu. Jika memang tidak terjadi apa-apa, barulah ia berani duduk. Di atas kursi ini tersulam gambar sembilan naga menyongsong matahari, serta tertulis semboyan-semboyan yang memuja ketua, tentu anak buahnya itu tidak berani duduk lama-lama. Sementara itu Ren Woxing begitu duduk tentu akan merasa nyaman dan enggan pula meninggalkan kursi kebesaran ini.”
“Pemikiran Pendeta sungguh sangat rapi,” puji Linghu Chong.
“Selain itu Adik Qingxu juga telah mengatur perangkap lain,” kata Chongxu. “Kalau Ren Woxing ternyata curiga dan tidak mau duduk di atas kursi ini, tentu ia akan menyuruh anak buahnya untuk membongkar paksa. Nah, begitu salah satu baut pada kursi ini dilepas, seketika sebuah pesawat rahasia lain akan langsung bekerja dan menyulut sumbu bahan peledak. Kali ini Keponakan Chenggao membawa sepuluh ribu kilo bahan peledak. Jika benar-benar diledakkan, rasanya pegunungan indah kalian ini terpaksa ikut hancur pula.”
Linghu Chong menjadi ngeri membayangkan hal itu. Ia berpikir, “Bahan peledak sebanyak sepuluh ribu kilo, sekali meledak tentu segalanya akan hancur lebur. Yang jelas Ketua Ren pasti akan binasa. Akan tetapi Yingying dan Kakak Xiang juga sulit terhindar dari maut.”
Melihat raut muka Linghu Chong agak pucat, Chongxu paham dan berkata, “Aliran sesat telah menyatakan dengan tegas hendak membasmi Perguruan Henshan habis-habisan. Setelah itu mereka tentu akan menyerang Perguruan Shaolin dan Wudang kami. Korban yang lebih besar pasti akan jatuh, dan bencana tentu sukar dihindari. Kalau sekarang kita menggunakan siasat ini untuk menghadapi Ren Woxing, meskipun agak keji, namun tujuan kita adalah untuk membinasakan iblis sesat itu demi menyelamatkan jiwa puluhan ribu kaum persilatan pada umumnya.”
“Amitabha!” ujar Biksu Fangzheng bersabda. “Memang begitulah jalan hidup welas asih. Terpaksa mengorbankan satu orang demi menolong ratusan ribu lainnya.” Kesembilan biksu pengiringnya ikut menguncupkan tangan dan berkata, “Amitabha, Biksu Ketua benar.”
Linghu Chong merasa ucapan Fangzheng cukup masuk akal. Partai Mentari dan Bulan sudah menyatakan hendak membunuh habis segenap penghuni Gunung Henshan, termasuk ayam dan burung sekalipun. Jika sekarang pihak golongan putih menggunakan perangkap keji meledakkan musuh, hal ini rasanya masih pantas dan tidak seorang pun dapat menyangkalnya. Hanya saja kalau Ren Woxing harus dibunuh, dalam hati Linghu Chong merasa enggan. Apalagi mengingat Xiang Wentian harus tewas pula, baginya lebih baik ia mati lebih dulu. Justru hidup-mati Ren Yingying yang tidak menjadi beban pikirannya, karena mereka berdua telah bertekad sehidup semati untuk selamanya.
Begitu melihat sorot mata semua orang memandang kepadanya, ia pun berpikir sejenak, kemudian berkata, “Urusan sudah seperti ini. Partai Mentari dan Bulan telah mendesak kita hingga menghadapi jalan buntu. Saya merasa siasat yang diatur Pendeta Chongxu ini adalah cara yang paling sedikit menjatuhkan korban.”
“Ucapan Adik Linghu memang tidak salah,” kata Chongxu. “Jatuh korban sedikit adalah hal yang paling kita harapkan.”
“Saya masih muda dan berpengalaman dangkal. Urusan ini biarlah dipimpin langsung oleh Biksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu,” ujar Linghu Chong kemudian. “Yang pasti saya akan memimpin murid-murid Perguruan Henshan untuk bersama-sama menghadapi musuh.”
“Ah, mana boleh seperti itu?” sahut Chongxu tertawa. “Adik Linghu adalah tuan rumah, sementara aku dan Biksu Ketua hanyalah tamu. Mana boleh tamu menggeser tempat tuan rumah?”
“Dalam hal ini saya bukan sengaja merendahkan diri, namun benar-benar memohon kedua sesepuh agar sudi memimpin semuanya,” kata Linghu Chong dengan wajah sungguh-sungguh.
“Jika tekad Ketua Linghu sudah bulat, maka Saudara Pendeta juga tidak perlu segan dan menolak lagi,” ujar Fangzheng. “Biarlah urusan besar ini diputuskan oleh kita bertiga bersama-sama, namun Saudara Pendeta yang akan memimpin perintah pelaksanaannya.”
Setelah mengucapkan kata-kata rendah hati, Chongxu akhirnya menerima usul tersebut. Ia kemudian berkata, “Jalan menuju ke Puncak Henshan ini sudah kita beri penjagaan. Kapan pun pihak aliran sesat datang menyerbu, tentu sebelumnya kita akan mendapat kabar. Dahulu sewaktu Adik Linghu memimpin banyak orang menyerbu Biara Shaolin, saat itu kami tunduk di bawah perintah Zuo Lengchan yang menggunakan ‘Siasat Kota Kosong’….”
“Waktu itu saya benar-benar ceroboh, mohon dimaafkan,” sela Linghu Chong.
Siasat Kota Kosong adalah taktik perang melegenda ciptaan Zhuge Liang pada zaman tiga negara, lebih dari seribu tahun yang lalu. Siasat ini lantas ditiru Zuo Lengchan untuk menjebak Linghu Chong dan kawan-kawan saat menyerbu Biara Shaolin demi membebaskan Ren Yingying waktu itu.
“Sungguh tidak disangka, yang dulu musuh kini menjadi kawan,” kata Chongxu dengan tertawa. “Kalau saat ini kita memakai Siasat Kota Kosong lagi tentu tidak akan berhasil. Apabila Gunung Henshan tiba-tiba sepi sudah pasti menimbulkan kecurigaan Ren Woxing. Maka menurut pendapatku, biarlah segenap anggota Perguruan Henshan bertahan di atas gunung ini. Pihak Shaolin dan Wudang masing-masing akan mengirim beberapa orang untuk ikut membantu. Masalahnya kalau Shaolin dan Wudang tidak memberi bantuan, hal ini pasti akan menimbulkan kecurigaan Ren Woxing pula.”
“Benar sekali,” ujar Fangzheng dan Linghu Chong bersama-sama.
(Bersambung)
Bagian 84 ; Bagian 85 ; Bagian 86