Bagian 7 - Kakak Pertama Pembuat Onar

“Maksud lain bagaimana? Awas kalau kau berani omong kosong lagi!” sahut Wan-er dengan mata melotot.
“Begini, sejak aku dihukum Guru, diam-diam Adik Kecil menyimpan dendam kepada orang-orang Qingcheng. Maka itu, ia pun memukul si marga Jia sekaligus untuk membalaskan sakit hatiku. Dalam hal ini aku berterima kasih kepadamu, Adik Kecil,” ujar Lu Dayou sambil berdiri dan memberi hormat.
“Sama-sama, Kakak Monyet Keenam,” jawab Wan-er sambil tersenyum dan membalas hormat pula.
“Adik Kecil memukul murid Qingcheng itu memang untuk membalaskan sakit hati saudara kita yang dihukum Guru,” kata si pembawa sempoa. “Tapi sepertinya orang itu bukan dirimu, Monyet Keenam. Memangnya kau saja yang telah dihukum Guru?”
“Kali ini Adik Keenam benar,” ujar Lao Denuo sambil tersenyum. “Adik Kecil memukul Jia Renda benar-benar untuk membalaskan sakit hatinya. Nanti jika Guru bertanya, tentu Adik Kecil akan menjawab demikian.”
“Ini... ini... bukan maksudku seperti itu,” sahut Lu Dayou ketakutan sambil menggoyang-goyangkan tangannya. “Jangan bawa-bawa diriku ke dalam masalah ini. Aku tidak mau dihukum Guru lagi.”
Murid-murid Huashan lainnya kembali bergelak tawa. Si jangkung lantas bertanya, “Apakah Fang Renzhi dan Yu Renhao tidak mengejarmu, Adik Kecil?”
“Tentu saja mereka mengejar,” jawab Wan-er. “Untungnya Kakak Kedua segera turun tangan dan memainkan beberapa jurus pedang Qingcheng yang telah dipelajarinya. Dengan melancarkan jurus Angsa Terbang di Angkasa, ia dapat melemparkan pedang si marga Fang dan Yu itu ke udara. Sayang sekali Kakak Kedua memakai cadar sehingga kedua murid Qingcheng tersebut tidak menyadari kalau mereka telah dikalahkan oleh seorang murid Perguruan Huashan.”
“Justru itu lebih baik,” sahut Lao Denuo. “Kalau aku tidak menyamar, tentu mereka akan mengenaliku dan ini bisa menjadi masalah besar bagi perguruan kita. Aku sendiri juga belum tentu menang jika harus bertarung melawan Fang Renzhi dan Yu Renhao. Hanya saja, aku menggunakan jurus pedang perguruan mereka secara tiba-tiba, sehingga kedua orang itu terkejut dan kehilangan senjata. Dengan cara itulah aku bisa menang dan segera mengajak Adik Kecil pergi.”
Masing-masing murid Huashan itu lantas berpikir, “Tidak peduli bagaimana Kakak Kedua bisa menang, yang jelas Kakak Pertama pasti sangat senang mendengar berita ini.”
Sementara itu, hujan di luar tidak kunjung reda justru semakin bertambah deras. Butiran air yang jatuh menimpa atap dan permukaan jalan bagaikan biji kacang berhamburan dari langit. Samar-samar terlihat seorang penjual pangsit keliling sedang memikul dagangannya melewati jalanan kota. Orang tua itu lantas menepi dan berteduh di teras kedai teh tersebut. Tangannya kemudian memukul-mukulkan dua batang bambu kecil untuk mengundang pembeli. Uap hangat dan berbau sedap tampak mengepul keluar dari dalam bejana yang ia bawa.
Kebetulan murid-murid Huashan itu sedang lapar semua; sementara kedai teh tempat mereka berteduh hanya menjual minuman saja. Tanpa diperintah, Lu Dayou pun berseru, “Pak Tua, buatkan kami sembilan mangkuk pangsit! Tambahkan telur pada setiap mangkuk!”
“Baik, Tuan!” jawab si penjual pangsit. Segera orang tua itu memasukkan bahan pangsit ke dalam bejana. Tidak lama kemudian ia sudah masuk ke dalam kedai dengan membawa nampan berisi lima mangkuk pangsit hangat. Lu Dayou menyambut mangkuk-mangkuk itu dan menyerahkannya secara berurutan kepada Lao Denuo si kakak kedua, Liang Fa si kakak ketiga, Shi Daizi si kakak keempat, dan Gao Genming si kakak kelima. Seharusnya mangkuk kelima menjadi jatahnya. Namun, ia justru menyerahkannya kepada Wan-er sambil berkata, “Kau duluan, Adik Kecil.”
Sejak tadi Wan-er meledek dan memanggilnya “Monyet Keenam”, namun begitu menerima mangkuk tersebut ia lantas berdiri dan berkata dengan penuh hormat, “Terima kasih, Kakak Keenam!”
Lin Pingzhi melirik dan mengamati murid-murid Huashan itu dengan seksama. Tampak si gadis burik tidak memakan pangsitnya sampai si penjual masuk kembali mengantarkan empat mangkuk lainnya. Dalam hati, pemuda itu memuji, “Murid-murid Huashan ini sungguh menjunjung tinggi tata krama. Mereka bisa membedakan kapan waktunya bercanda, kapan waktunya serius.”
“Kakak Kedua,” sahut si jangkung Liang Fa sambil melahap pangsitnya. “Kau tadi berkata bahwa Pendeta Yu menduduki gedung kantor Biro Fuwei sepeninggal Lin Zhennan dan anak-istrinya. Lantas, apa yang terjadi setelah itu?”
Lao Denuo menjawab, “Setelah berhasil meloloskan Lin Pingzhi entah ke mana, Adik Kecil bermaksud membebaskan Lin Zhennan dan istrinya pula. Namun, aku lantas mencegah dengan mengatakan bahwa hutang budi antara Adik Kecil dan Lin Pingzhi sudah terbayar lunas. Sementara itu, perselisihan antara Perguruan Qingcheng dan Biro Pengawalan Fuwei sebenarnya merupakan kelanjutan dari generasi sebelumnya; maka, tidak sepantasnya kalau kami ikut campur terlalu jauh. Adik Kecil akhirnya setuju. Kami berdua lantas kembali ke Fuzhou untuk menyelidiki gedung kantor pusat Biro Fuwei.
Di tempat itu aku merasa ada yang aneh. Sepertinya orang-orang Qingcheng yang sudah menduduki gedung itu tampak sibuk dan terburu-buru; padahal Lin Zhennan sekeluarga sudah pergi. Aku dan Adik Kecil menjadi penasaran dan ingin melihat lebih dekat. Akan tetapi, penjagaan yang dilakukan mereka juga sangat ketat. Baru setelah petang tiba, kami berhasil menyusup melalui kebun sayur di pekarangan belakang. Kami berhasil menyelinap ketika mereka sedang lengah, yaitu saat terjadi pergantian tugas jaga. Begitu sampai di dalam kami tertegun menyaksikan seisi gedung diobrak-abrik oleh Yu Canghai dan murid-muridnya. Ada yang membuka peti; ada yang membongkar lemari; ada yang membobol dinding; ada pula yang membuka lantai ubin. Namun anehnya, mereka sama sekali tidak mengambil harta benda dan barang-barang mewah yang ditinggalkan Lin Zhennan. Oleh karena itu, aku berpikir pasti ada barang lain yang lebih berharga sedang dicari oleh orang-orang Qingcheng tersebut.”
Liang Fa dan yang lain menyahut bersamaan, “Apakah mungkin mereka mencari kitab rahasia Jurus Pedang Penakluk Iblis?”
“Benar sekali!” jawab Lao Denuo. “Aku dan Adik Kecil juga berpikir demikian. Rupanya mereka sengaja menciptakan kesan bahwa gedung kantor pusat Biro Pengawalan Fuwei adalah rumah maut. Setelah gedung itu kosong, mereka pun mengobrak-abriknya dengan sesuka hati. Namun melihat mereka masih sedemikian sibuknya, aku menduga kitab itu belum berhasil ditemukan.”
“Apakah pada akhirnya mereka berhasil menemukan kitab itu?” tanya Lu Dayou.
“Sebenarnya aku dan Adik Kecil ingin mengintai sampai tuntas untuk melihat bagaimana hasilnya,” jawab Lao Denuo. “Akan tetapi mereka terus saja mencari sampai ke segala arah; bahkan, kakus juga mereka bongkar. Khawatir jangan-jangan mereka juga mencari di luar gedung, kami pun memutuskan untuk pergi.”
Gao Genming si pembawa sempoa bertanya, “Kakak Kedua, kali ini Pendeta Yu ikut turun gunung dan memimpin langsung penaklukan Biro Fuwei. Menurutmu, apakah hal ini tidak berlebihan?”
“Tidak juga, Adik Kelima,” jawab Lao Denuo. “Guru Pendeta Yu pernah dikalahkan oleh Lin Yuantu menggunakan Jurus Pedang Penakluk Iblis. Mengenai ilmu silat Lin Zhennan apakah sehebat kakeknya atau tidak, tak seorang pun mengetahuinya. Dalam hal ini Pendeta Yu tidak berani gegabah dengan hanya mengirimkan dua atau tiga muridnya saja untuk membalas dendam. Ia bahkan turun gunung untuk memimpin murid-muridnya secara langsung, serta membekali mereka dengan beberapa jurus ilmu pedang pihak lawan. Maka menurutku, Pendeta Yu ikut menyerang Fuzhou bukanlah suatu hal yang berlebihan. Balas dendam baginya hanyalah tujuan yang kedua, karena yang utama adalah mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis.”
Shi Daizhi menanggapi, “Kakak Kedua, bukankah kau melihat sendiri murid-murid Qingcheng itu telah berlatih Jurus Pedang Penakluk Iblis di Kuil Cemara Angin? Bukankah mereka telah menguasai ilmu pedang tersebut? Jadi, untuk apa Pendeta Yu repot-repot mencari Kitab Pedang Penakluk Iblis? Apakah tidak mungkin mereka mencari benda lainnya?”
“Tidak juga, Adik Keempat,” jawab Lao Denuo sambil menggelengkan kepala. “Orang seperti Pendeta Yu hanya tertarik kepada ilmu silat mahasakti saja. Memangnya apalagi yang membuatnya sudi membuang-buang banyak waktu? Selanjutnya, aku dan Adik Kecil melihatnya sekali lagi di Yushan, ibu kota Provinsi Jiangxi. Di sana aku melihat Pendeta Yu sangat gelisah sewaktu menerima laporan dari murid-muridnya yang datang dengan tangan hampa setelah disebar ke segala wilayah untuk mengobrak-abrik semua kantor cabang Biro Fuwei.”
Shi Daizhi terlihat belum paham. Ia menggaruk-garuk kepala sambil berkata, “Maksudku begini, kau sendiri melihat Pendeta Yu melatih murid-muridnya mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis di Gunung Qingcheng. Nah, itu berarti ia sudah menguasai ilmu tersebut. Lalu, kenapa ia masih repot-repot mencari kitabnya segala? Bukankah ini aneh?”
Lao Denuo menjawab, “Adik Keempat, coba pikir seperti ini; puluhan tahun yang lalu, Lin Yuantu pernah mengalahkan Tang Qingzi, guru Pendeta Yu. Itu artinya Jurus Pedang Penakluk Iblis memang ilmu silat yang luar biasa. Tentu saja apa yang diajarkan Pendeta Yu kepada murid-muridnya hanyalah bersumber dari ingatan Tang Qingzi belaka. Sementara itu, Jurus Pedang Penakluk Iblis yang asli tetap berada di tangan Keluarga Lin. Akan tetapi, di tangan Lin Zhennan ilmu tersebut sama sekali tidak terdengar kehebatannya. Bukankah ada yang tidak beres dengan hal ini?”
“Tidak beres bagaimana?” tanya Shi Daizhi masih juga belum paham.
“Begini,” jawab Lao Denuo. “Sepertinya ada suatu rahasia tersembunyi di dalam Jurus Pedang Penakluk Iblis. Mungkin Pendeta Yu sangat penasaran karena ilmu pedang ini terlihat biasa-biasa saja tapi mengapa bisa menjatuhkan gurunya? Tampaknya Lin Zhennan juga tidak mengetahui rahasia kekuatan ilmu pedang leluhurnya tersebut.”
Shi Daizhi masih terlihat bingung. Sejenak ia termangu-mangu sampai akhirnya kembali berkata, “Tapi ilmu pedang biasanya diajarkan secara lisan. Padahal, Lin Yuantu sudah lama meninggal; itu berarti Pendeta Yu harus membongkar kuburannya dan bertanya kepada jasadnya. Akan tetapi, ini jelas tidak mungkin, bukan?”
Lao Denuo menjawab dengan sabar, “Memang ilmu silat dalam perguruan kita diajarkan oleh Guru secara lisan. Namun, belum tentu hal ini juga berlaku pada perguruan lainnya.”
“Kakak Kedua, aku masih belum paham mengapa Pendeta Yu menginginkan kitab tersebut,” kata Shi Daizhi. “Pendeta Yu ingin membalas sakit hati gurunya dengan cara mengalahkan Jurus Pedang Penakluk Iblis. Maka itu, cukup masuk akal kalau dia berusaha memecahkan rahasia ilmu pedang tersebut. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Dia berhasil menangkap Lin Zhennan dan menghancurkan Biro Fuwei beserta seluruh cabangnya; baru setelah itu, ia mencari kitab rahasia ilmu pedang itu ke mana-mana. Nah, kalau kitab itu sudah ditemukan, lantas kepada siapa lagi ia harus membalas dendam? Bukankah Lin Zhennan sudah mereka tangkap? Bukankah Biro Fuwei sudah mereka hancurkan?”
“Adik Keempat, coba pikirkan ini,” ujar Lao Denuo. “Menurutmu mana yang lebih hebat, ilmu pedang pedang Perguruan Qingcheng ataukah Serikat Pedang Lima Gunung?”
“Aku tidak begitu tahu,” jawab Shi Daizhi sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Sepertinya ilmu pedang kita lebih hebat daripada Perguruan Qingcheng.”
“Dugaanmu benar,” kata Lao Denuo. “Tapi Pendeta Yu seorang yang sombong dan angkuh. Tidak mungkin ia sudi menerima kekalahan terus-menerus. Tidak selamanya ia mau berdiri di bawah kaki orang lain di dunia persilatan. Nah, kalau Yu Canghai berhasil menemukan kitab yang berisi rahasia Jurus Pedang Penakluk Iblis dan menggabungkannya dengan ilmu pedang Qingcheng, bagaimana menurutmu?”
Shi Daizhi kembali termenung untuk sekian lama. Tiba-tiba ia bangkit dan berseru sambil menggebrak meja, “Aha, aku baru paham sekarang! Rupanya Yu Canghai ingin menjadi raja dari segala macam ilmu pedang! Ia ingin menjadi ahli pedang nomor satu di dunia persilatan!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara langkah kaki beberapa orang sedang menuju kedai teh tersebut. Orang-orang Huashan menoleh ke arah datangnya suara dan melihat serombongan perempuan sedang melangkah cepat. Melihat gerak kaki mereka jelas para perempuan ini juga berasal dari kalangan persilatan. Masing-masing mengenakan mantel hujan yang terbuat dari kain minyak. Setelah agak dekat, barulah terlihat jelas kalau mereka ini merupakan rombongan para biksuni.
Begitu sampai di teras kedai, seorang biksuni tua bertubuh jangkung yang memimpin rombongan tersebut langsung saja berteriak, “Linghu Chong, keluar kau!”
Ternyata Lao Denuo dan adik-adik seperguruannya mengenali biksuni tua tersebut bernama Biksuni Dingyi dari Biara Awan Putih. Ia merupakan adik seperguruan Biksuni Dingxian, ketua Perguruan Henshan. Kaum persilatan sangat menghormati nama besar Biksuni Dingyi ini yang terkenal berhati keras dan berilmu tinggi. Sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung, para murid Huashan pun menghormatinya sebagai tokoh sepuh yang sederajat dengan guru mereka.
Lao Denuo segera berdiri diikuti adik-adiknya, kemudian berseru, “Salam hormat dari kami, Bibi Biksuni Dingyi!”
Biksuni Dingyi tidak menjawab, melainkan memandangi murid-murid Huashan itu satu per satu. Dengan nada kasar melebihi kaum laki-laki, ia berteriak, “Di mana Linghu Chong bersembunyi? Lekas, suruh dia keluar!”
“Bibi Biksuni, kakak pertama kami tidak berada di sini,” jawab Lao Denuo dengan penuh hormat. “Kami semua sedang menunggunya, tapi Kakak Pertama belum juga datang. Mungkin dia masih dalam perjalanan.”
Lin Pingzhi yang masih duduk terpaku di tempatnya diam-diam berpikir, “Jadi kakak pertama murid-murid Huashan ini bernama Linghu Chong. Sepertinya dia memang tukang membuat masalah. Entah apa yang telah dilakukannya sehingga membuat biksuni tua ini sangat marah.”
Biksuni Dingyi kemudian menyusuri segenap penjuru kedai teh untuk mencari di mana Linghu Chong berada, namun sama sekali ia tidak menemukan murid pertama Perguruan Huashan tersebut. Pandangannya lantas tertuju ke arah si gadis burik. Ia pun bertanya dengan tatapan heran, “Hei, apakah kau ini Lingshan? Kenapa kau berdandan dengan wajah aneh seperti ini? Mau menakut-nakuti orang, hah?”
“Ada beberapa orang jahat hendak mencelakai saya, Bibi Biksuni. Maka itu, saya pun menyamar seperti ini,” jawab Wan-er sambil tersenyum. Ternyata nama asli si gadis burik ini adalah Lingshan.
Dingyi mendengus dan menjawab, “Huh, tata tertib Perguruan Huashan kalian sungguh payah! Semakin lama semakin tidak terkendali. Ayahmu terlalu lunak terhadap murid-muridnya, sehingga kakak pertamamu bebas main gila di mana-mana. Setelah urusanku di kota ini selesai, aku akan langsung pergi ke Gunung Huashan untuk berbicara dengan ayahmu.”
Dengan sangat khawatir Lingshan memohon, “Bibi Biksuni, tolong jangan lakukan itu. Kakak Pertama baru saja dihukum Ayah dengan tiga puluh pukulan sehingga berjalan saja susah. Jika Bibi Biksuni mengadu kepada Ayah, tentu akan dihukum lebih berat lagi. Jangan-jangan Kakak Pertama mati karenanya.”
Mendengar itu, Lin Pingzhi kembali berpikir, “Oh, ternyata gadis burik ini adalah anak perempuan ketua Perguruan Huashan.”
Dingyi kembali berkata dengan galak, “Binatang liar seperti Linghu Chong memang lebih baik mampus. Kakak pertamamu adalah penjahat, sedangkan dirimu adalah pendusta. Kau berani berbohong di depan mataku; dengan mengatakan kalau Linghu Chong tidak bisa berjalan. Jika memang benar demikian, kenapa dia bisa membawa lari muridku yang masih belia?”
Ucapan Dingyi membuat murid-murid Huashan terperanjat, terutama Lingshan. Gadis itu bahkan hampir menangis saat ia berkata, “Tidak mungkin! Tidak mungkin seperti itu! Bagaimanapun nakalnya Kakak Pertama, tidak mungkin dia berani membawa lari saudari dari Henshan. Mungkin saja... mungkin saja ada pihak lain yang mencoba mengadu domba kedua perguruan kita, Bibi Biksuni.”
“Kau masih juga menyangkal dan membelanya?” sahut Dingyi. Ia kemudian berkata kepada salah satu muridnya, “Yiguang, coba ceritakan berita apa yang kau dapatkan dari Perguruan Taishan!”
Seorang biksuni setengah tua yang bernama Yiguang itu pun maju dan menjawab, “Saudara-saudara dari Taishan bercerita bahwa Paman Pendeta Tiansong melihat Saudara Linghu bersama Adik Yilin duduk bersama di sebuah kedai arak besar di Kota Hengyang. Kedai arak tersebut bernama Rumah Minum Huiyan. Sepertinya Adik Yilin telah ditangkap dan dipaksa minum arak bersama-sama. Konon Adik Yilin sangat ketakutan di kedai tersebut. Tidak hanya itu, di samping mereka juga ada seorang lagi... yaitu seorang penjahat cabul bernama... bernama Tian Boguang.”
“Tian Boguang?” seru murid-murid Huashan bersama-sama begitu mendengar nama ini disebut.
Dingyi sudah mendengar cerita ini sebelumnya, dan kini ia semakin marah setelah mendengarnya lagi. Sekali tangannya memukul ke atas meja, seketika mangkuk-mangkuk pangsit pun terlempar dan berjatuhan di lantai.
Murid-murid Huashan tampak malu dan bingung. Lingshan tak kuasa menahan sedih, air matanya pun berlinang membasahi pipi. “Mereka pasti berbohong, atau... atau... Paman Tiansong salah mengenali orang,” ujarnya dengan nada gemetar.
“Kita semua mengenal siapa Pendeta Tiansong. Mana mungkin dia salah mengenali orang?” sahut Dingyi gusar. “Binatang bernama Linghu Chong telah terjerumus ke dalam lumpur hina karena bergaul dengan penjahat busuk bernama Tian Boguang. Meskipun guru kalian tidak peduli dengan hal ini atau mungkin membelanya, tetap saja aku akan memenggal kepala kakak pertama kalian itu jika nanti bertemu. Si bajingan Tian Boguang yang berjuluk Si Pengelana Tunggal Puluhan Ribu Li itu seorang manusia cabul yang meresahkan banyak orang. Aku, biksuni tua tidak takut kepadanya! Begitu mendengar Tian Boguang dan Linghu Chong menculik muridku, aku segera mencarinya. Tapi... tapi sampai sekarang aku masih juga belum menemukan mereka.” Begitu sedih dan gusar hatinya sehingga suara biksuni tua ini terdengar serak. Ia lantas berkata gemas sambil menghentakkan kaki, “Yilin, Yilin, kasihan anak itu!”
Murid-murid Huashan terdiam dengan jantung berdebar kencang. Dalam hati mereka ikut gemas dengan perbuatan sang kakak pertama. Linghu Chong menculik Yilin, dan membawa biksuni muda itu minum arak bersama, jelas-jelas perbuatan memalukan. Lebih-lebih, ia juga bergaul dengan penjahat cabul bernama Tian Boguang yang terkenal itu.
Setelah terdiam agak lama, Lao Denuo lantas berkata. “Bibi Biksuni, mungkin pertemuan Kakak Linghu dengan Tian Boguang hanya kebetulan belaka. Selama beberapa hari ini dia memang sedang banyak-banyaknya minum. Mungkin pengaruh arak membuatnya linglung sehingga sukar mengenali orang....”
“Arak adalah minuman keji yang merenggut kesadaran manusia,” sahut Dingyi menukas. “Sebagai manusia dewasa, kenapa dia tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk?
“Bibi Biksuni benar,” lanjut Lao Denuo tanpa berani membantah. “Entah di mana Kakak Pertama berada saat ini. Biarlah kami yang pergi untuk mencari dan menegur perbuatannya yang tidak pantas itu. Biarlah kami yang lebih dulu meminta maaf kepada Bibi Biksuni atas kenakalan Kakak Pertama. Selanjutnya, kami akan mengadukan ini semua kepada Guru, biar Kakak Pertama mendapat hukuman berat.”
“Huh, aku tidak peduli dengan kakak pertamamu!” seru Dingyi galak. Tiba-tiba tangannya bergerak cepat meraih lengan Lingshan. Gadis berwajah burik itu merasa lengannya seperti dijepit batangan besi.
“Ah... Bibi Biksuni!” sahutnya kesakitan dengan suara gemetar.
Dingyi tidak peduli dan berkata kasar, “Pihak kalian telah menculik muridku; maka sebagai gantinya, aku menculik murid perempuan perguruan kalian. Nanti jika Yilin sudah kembali padaku, maka Lingshan akan kubebaskan.” Tanpa ampun, biksuni tua itu pun menyeret si gadis burik berjalan keluar kedai.
Lao Denuo dan Liang Fa segera melompat untuk menghadang Biksuni Dingyi. Lao Denuo buru-buru memberi hormat sambil berkata, “Bibi Biksuni pantas jika marah kepada Kakak Pertama. Akan tetapi, semua perbuatan Kakak Pertama tidak ada sangkut pautnya dengan adik kecil kami. Mohon Bibi Biksuni menaruh belas kasihan.”
“Baiklah, ini yang kalian minta!” jawab Dingyi sambil melayangkan pukulan menggunakan tangan kanannya ke arah kedua murid Huashan tersebut. Seketika Lao Denuo dan Liang Fa merasakan hembusan tenaga dalam yang teramat besar, membuat tubuh mereka terlempar ke belakang. Lao Denuo terdorong sampai menabrak pecah daun pintu kedai teh; sementara Liang Fa terlempar ke arah bejana pangsit yang berisi air mendidih. Dapat dibayangkan, andai saja pria bertubuh jangkung itu menabrak bejana tersebut, tentu kulitnya akan melepuh tersiram air yang sangat panas.
Tiba-tiba Liang Fa merasa punggungnya ditangkap oleh suatu kekuatan sehingga ia pun bisa berdiri di tanah dengan selamat. Rupanya sang penolong ini tidak lain adalah kakek tua penjual pangsit itu sendiri.
Biksuni Dingyi terkejut dan menoleh ke arah penjual pangsit dengan pandangan tajam. “Oh, ternyata kau orangnya!” ujarnya setengah tak percaya.
“Benar, memang akulah orangnya,” jawab si penjual pangsit sambil tersenyum. “Kau ini memang seorang biksuni yang mudah marah.”
“Bukan urusanmu!” sahut Dingyi ketus.
Pada saat itulah datang dua orang laki-laki memakai mantel hujan dan memegang payung kertas di tangan kanan, serta lampu kerudung di tangan kiri. Salah satu dari mereka berseru, “Apakah kami sedang berhadapan dengan Biksuni Dingyi yang mulia dari Perguruan Henshan?”
“Ah, kalian terlalu berlebihan. Aku tidak pantas menerimanya,” sahut Dingyi menanggapi. “Aku memang Biksuni Dingyi dari Perguruan Henshan. Lantas, siapa Saudara berdua ini?”
Kedua laki-laki berpayung itu perlahan mendekati Dingyi yang masih mencengkeram lengan Lingshan. Lampu kerudung yang mereka bawa tampak bertuliskan tinta merah, berbunyi “Kediaman Liu”. Salah seorang lantas berkata, “Kami berdua diperintah oleh Guru untuk menyambut kedatangan Bibi Biksuni dan kakak-adik dari Perguruan Henshan, untuk beristirahat sekadarnya di tempat kami yang sederhana. Andai saja kami mendengar berita kedatangan Bibi Biksuni dan rombongan sejak awal, tentu kami segera mengadakan penyambutan yang lebih pantas di gerbang Kota Hengshan. Untuk ini, mohon Bibi Biksuni sudi memaafkan.”
“Ah, jangan terlalu banyak adat,” jawab Dingyi dengan suara sedikit lembut dibanding tadi. “Jadi, kalian ini murid-murid Adik Liu?”
“Benar sekali,” jawab laki-laki itu. “Saya bernama Xiang Danian, dan ini adalah adik seperguruan saya, bernama Mi Weiyi. Terimalah sembah hormat kami, Bibi Biksuni!”
Biksuni Dingyi yang senang dipuji merasa puas melihat perlakuan sopan kedua murid Hengshan tersebut. “Baiklah, kami memang hendak mengunjungi kediaman Adik Liu.”
Xiang Danian kemudian menoleh ke arah murid-murid Huashan dan bertanya, “Kalau Saudara ini dari perguruan mana?”
Liang Fa menjawab, “Kami dari Perguruan Huashan. Saya bernama Liang Fa.”
“Oh, rupanya Kakak Ketiga dari Huashan,” sahut Xiang Danian gembira. “Kami juga mendapat perintah dari guru untuk menyambut kedatangan Kakak-Kakak sekalian. Selain itu, Guru juga menyuruh kami menyambut semua tamu dari berbagai golongan. Hanya saja, tenaga kami sangat terbatas sehingga banyak kekurangan di sana-sini. Untuk itu, mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada yang tidak berkenan di hati terhadap penyambutan kami. Sudilah kiranya Saudara sekalian mampir ke tempat kami yang sederhana.”
Lao Denuo yang sudah bangkit dari jatuh ikut menjawab, “Sebenarnya kami sedang menunggu kedatangan kakak pertama kami di sini. Nanti bila sudah lengkap, kami akan menuju ke rumah Paman Liu bersama-sama.”
“Ah, yang ini pasti Kakak Kedua Lao,” ujar Xiang Danian menoleh ke arah murid Huashan yang berambut putih itu. “Guru sering memuji kehebatan dan kegagahan murid-murid Huashan, terutama Kakak Linghu yang sangat berbakat dan berkepandaian tinggi. Mengapa Saudara-Saudara sekalian tidak menunggu Kakak Linghu di tempat kami saja?”
Dalam hati Lao Denuo berpikir, “Adik Kecil berada di tangan Bibi Biksuni Dingyi. Mau tidak mau kami harus mengikuti ke sana.”
“Baiklah, Saudara Xiang!” jawab Lao Denuo kemudian. “Kami akan memenuhi undangan Paman Liu. Mohon maaf bila kami terlalu merepotkan.”
“Ah, kedatangan Saudara-Saudara dari Huashan merupakan suatu kehormatan bagi kami. Jangan terlalu merendah,” jawab Xiang Danian. “Silakan! Silakan!”
“Apakah kau juga mengundang orang itu?” sahut Dingyi sambil menunjuk si kakek penjual pangsit.
Xiang Danian memandangi penjual pangsit itu agak lama, kemudian menyapa dengan penuh hormat, “Oh, rupanya Paman He dari Gunung Yandang juga berada di sini. Kami berdua sungguh ceroboh tidak mengenali Paman He. Silakan, silakan Paman He juga mampir ke tempat kami!”
Rupanya kakek tua ini juga seorang tokoh persilatan yang bernama He Sanqi. Sewaktu muda ia memang berjualan pangsit secara berkeliling. Meskipun sudah menguasai ilmu silat dan berkepandaian tinggi, ia tetap saja membawa keranjang pikulannya sambil berkelana ke mana-mana. Orang tua ini tidak mengejar kejayaan atau kemasyhuran. Yang dilakukan setiap hari hanyalah berdagang pangsit kecil-kecilan tanpa menonjolkan diri. Namun demikian, banyak tokoh persilatan yang menaruh hormat kepadanya. Di dunia ini memang banyak penjual pangsit keliling; namun hanya seorang saja di antara mereka yang menyimpan ilmu silat tinggi, dan dia adalah He Sanqi.
“Baiklah. Aku juga hendak menuju ke tempat guru kalian,” jawab He Sanqi tersenyum, sambil kemudian mengemasi dagangannya.
Melihat itu, Lao Denuo segera memberi hormat, “Kami dari Perguruan Huashan punya mata tapi tidak melihat kehadiran Sesepuh He di sini. Mohon Sesepuh He sudi memaafkan.”
“Tidak, tidak! Mengapa aku harus marah?” sahut He Sanqi dengan tertawa. “Kalian telah membeli pangsitku; kenapa pula aku harus marah kepada para pelangganku? Satu mangkuk pangsitku seharga sepuluh keping. Jadi, kalian berhutang kepadaku sembilan puluh keping, hahaha!”
Lao Denuo menunduk malu, dan tidak menyadari kalau orang tua itu hanya bercanda.
“Hei, bayar dia segera. He Sanqi tidak akan membiarkan kalian makan dengan cuma-cuma,” sahut Dingyi kemudian.
“Benar sekali,” sahut He Sanqi sambil mengangguk. “Bisnis adalah bisnis. Bayar pangsitku dengan uang kontan, tidak boleh hutang juga tidak boleh membayar telat. Tidak peduli kawan atau saudara, semua diperlakukan sama.”
“Tentu saja, tentu saja,” jawab Lao Denuo. Tanpa berani memberikan uang lebih, ia pun membayar semua pesanan tersebut sesuai tagihan tadi. Dengan kedua tangan ia menyerahkan sembilan puluh keping uang tembaga tersebut kepada He Sanqi sambil membungkuk penuh hormat.
He Sanqi lantas menoleh ke arah Dingyi dan berkata, “Hei, kau telah memecahkan dua mangkuk. Kau harus membayar empat belas keping.”
“Dasar kau pedagang pelit! Tega-teganya kau menarik uang dari kaum biksuni!” sahut Dingyi menggerutu. “Yiguang, bayarkan uang sesuai tagihannya.”
Dengan kedua tangan pula, Yiguang menyerahkan empat belas keping uang tembaga sambil membungkuk hormat. He Sanqi menerima dan memasukkan semua uangnya itu ke dalam tabung bambu. Setelah memikul keranjang dagangannya, ia pun berkata, “Mari berangkat!”
“Xiang Danian mengangguk, lalu berkata kepada pemilik kedai, “Hitung semuanya, lalu kirimkan tagihan kepada Tuan Liu.”
Si pemilik menjawab, “Kehormatan bagi kami bisa melayani tamu-tamu Keluarga Liu. Lupakan saja semua tagihan di kedai teh kami ini.” Rupanya Liu Zhengfeng sangat dermawan dan sering menyumbang keuangan para penduduk di Kota Hengshan. Itulah sebabnya, si pemilik kedai merasa segan melayangkan tagihan tersebut.
Xiang Danian dan Mi Weiyi lantas membagi-bagikan payung yang mereka bawa, kemudian mendahului berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Biksuni Dingyi menarik lengan Lingshan, kemudian berjalan bersama He Sanqi yang memikul barang dagangannya. Sementara itu, murid-murid Huashan dan Henshan berjalan di belakang mereka.
Diam-diam Lin Pingzhi berpikir, “Sebaiknya aku mengikuti mereka dari jarak yang agak jauh. Siapa tahu aku mendapat berita mengenai Ayah dan Ibu dengan cara menyelinap ke dalam rumah Keluarga Liu.
Setelah rombongan tersebut membelok di tikungan, Lin Pingzhi segera berdiri dan mengikuti dari belakang. Rombongan itu tampak berjalan menuju utara. Karena tidak membawa payung, Lin Pingzhi berjalan di pinggir sambil sesekali berteduh di atap rumah penduduk untuk menjaga jarak. Setelah berjalan cukup jauh melewati tiga jalan raya, dilihatnya rombongan itu berhenti di depan sebuah gedung yang sangat megah. Tampak di depan pintu gedung terpajang lampion-lampion berwarna-warni, serta sepuluh orang masing-masing memegang payung dan lampu kerudung sedang menyambut ramah setiap tamu yang datang. Selain rombongan dari Henshan dan Huashan, tampak pula tamu-tamu lain berdatangan dari kedua ujung jalan.
Lin Pingzhi mengumpulkan keberaniannya, untuk kemudian melangkah masuk ke dalam gedung, bersamaan dengan masuknya sebuah rombongan yang dipandu seorang murid Keluarga Liu. Para murid Hengshan yang bertugas menyambut tamu ternyata menganggapnya sebagai bagian dari rombongan itu dan mempersilakannya masuk dengan ramah. “Silakan masuk! Silakan menikmati teh di dalam!” sambut mereka.
Sesampainya di dalam aula utama, Lin Pingzhi menyaksikan puluhan meja dan kursi ditata dengan rapi. Jumlah tamu yang hadir dan duduk di kursi-kursi itu kurang lebih mencapai dua ratus orang. Mereka saling bercakap-cakap satu sama lain. Diam-diam Lin Pingzhi berpikir, “Jumlah tamu yang datang sekian banyaknya. Tidak seorang pun dari mereka yang peduli kepadaku. Dengan menyamar seperti ini, aku bisa mengawasi ke sekeliling ruangan ini untuk menemukan orang-orang Qingcheng. Setelah menemukan mereka, tentu aku bisa menemukan Ayah dan Ibu pula.”
Pemuda itu lantas mengambil tempat duduk di salah satu meja kecil di sudut ruangan. Segera seorang pelayan membawa nampan datang menghampirinya, untuk kemudian menghidangkan teh, makanan ringan, dan handuk hangat. Lin Pingzhi lalu memandang ke segala penjuru ruangan. Ia melihat kelompok murid-murid Henshan duduk di sebelah kiri balai tersebut, sementara murid-murid Huashan duduk tidak jauh dari mereka. Lingshan juga terlihat berada di antara mereka. Sepertinya Dingyi telah membebaskan gadis burik itu. Namun demikian, Lin Pingzhi tidak melihat di mana sang biksuni tua berada, begitu juga He Sanqi si penjual pangsit.
Kembali Lin Pingzhi menyapukan pandangannya. Seketika jantungnya pun berdebar kencang melihat Fang Renzhi dan Yu Renhao duduk bersama sekelompok laki-laki yang berseragam sama. Tidak diragukan lagi, mereka ini adalah kelompok murid-murid Qingcheng. Melihat itu ia pun berpikir, “Ayah dan Ibu di tangan mereka. Ini kesempatanku untuk membebaskan Ayah dan Ibu; tapi, jangan-jangan kedua orang tuaku telah meninggal pula?”
Dengan perasaan marah bercampur sedih dan khawatir, Lin Pingzhi berniat pindah tempat duduk, agar bisa lebih jelas mendengarkan pembicaraan orang-orang Qingcheng itu. Namun, ia takut jangan-jangan hal ini malah menimbulkan kecurigaan Fang Renzhi dan kawan-kawan. Jika sampai terjadi demikian, bukan hanya semua perjuangannya yang akan sia-sia, namun nyawanya juga bisa melayang.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari arah luar, disusul dengan munculnya beberapa orang berseragam biru tampak menggotong dua papan pintu masuk ke dalam aula. Di atas papan pintu tersebut masing-masing tergeletak seorang laki-laki. Kedua orang itu tampak diselimuti kain putih dengan tubuh berlumuran darah. Para tamu yang hadir buru-buru mendekat supaya bisa melihat lebih jelas.
“Hei, mereka dari Perguruan Taishan!” sahut seseorang.
“Yang lebih tua itu bernama Pendeta Tiansong. Entah siapa yang telah membuatnya terluka seperti ini? Apa kalian tahu siapa yang satunya lagi?”
“Kalau yang lebih muda ini adalah murid Pendeta Tianmen, ketua Perguruan Taishan. Kalau tidak salah dia bermarga Chi. Sepertinya dia sudah meninggal.”
“Benar sekali. Dia sudah meninggal. Coba lihat, luka di dadanya panjang dan lebar. Sepertinya ia terkena sabetan golok. Siapa pula orangnya yang sanggup bertahan hidup dengan luka seperti ini?”
Di tengah keramaian itu, tubuh Pendeta Tiansong dan jasad Pendeta Chi dibawa masuk ke ruang belakang. Para tamu di aula depan bertambah ramai membicarakan kejadian ini. Mereka bertanya-tanya siapa orangnya yang telah melakukan itu semua.
Tidak lama kemudian Xiang Danian muncul dengan tergesa-gesa dari dalam ruang belakang. Ia bergegas menghampiri meja murid-murid Huashan dan berkata, “Kakak Lao, guruku ingin bicara denganmu. Silakan ikut bersamaku.”
“Tentu,” jawab Lao Denuo. Ia lantas berdiri dan berjalan di belakang Xiang Danian.
Keduanya menyusuri lorong tengah yang cukup panjang, kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan di samping kiri. Di dalam ruangan itu tersusun lima buah kursi megah, namun hanya satu saja yang sudah terisi. Tampak seorang pendeta bertubuh gagah dengan wajah kemerah-merahan duduk di kursi tersebut yang terletak paling timur dari deretan. Orang ini tidak lain adalah Pendeta Tianmen, ketua Perguruan Taishan. Adapun empat kursi lainnya masing-masing disediakan untuk ketua Perguruan Songshan, Hengshan, Huashan, dan Henshan, yang kesemuanya belum terlihat datang.
Sementara itu sebanyak sembilan belas orang lainnya duduk di kursi yang berjajar di sisi lain ruangan. Rupanya mereka ini adalah para tamu istimewa yang termasuk golongan ahli silat papan atas. Di antara sembilan belas orang itu terdapat Biksuni Dingyi dari Perguruan Henshan, Pendeta Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng, dan He Sanqi dari Gunung Yandang. Di sisi selatan ruangan, duduk seorang pria berusia lima puluhan bertubuh gemuk, mengenakan baju sutra halus berwarna merah kecoklatan. Ia tidak lain adalah sang tuan rumah yaitu Liu Zhengfeng.
Lao Denuo mula-mula memberi hormat kepada Liu Zhengfeng, kemudian berlutut dan memberi hormat kepada Pendeta Tianmen, sambil berkata, “Lao Denuo dari Huashan memberi hormat kepada Paman Pendeta Tianmen.”
Tianmen tampak begitu gusar. Wajahnya bertambah merah seolah-olah hendak meledak. Dengan suara keras ia membentak, “Di mana Linghu Chong?” Sambil berseru demikian tangannya juga memukul pinggiran kursi tempat duduknya sehingga mengejutkan semua orang.
Suara bentakan Tianmen ini menggelegar bagaikan halilintar membelah angkasa. Begitu kerasnya sampai-sampai para tamu di aula utama mendengar suara ini.
Lingshan si gadis burik berkata, “Kakak Ketiga, sepertinya mereka kembali mencari Kakak Pertama.”
Liang Fa hanya mengangguk. Selang agak lama barulah ia menjawab, “Tetaplah bersikap tenang. Di sini banyak orang dari berbagai golongan. Jangan sampai mereka menaruh kecurigaan terhadap Perguruan Huashan kita.”
Di sisi lain, Lin Pingzhi sedang berpikir, “Lagi-lagi mereka mencari Linghu Chong. Hm, si tua ini memang seorang pembuat onar.”
Lao Denuo yang berhadapan langsung dengan Pendeta Tianmen sampai merasa tuli untuk sekian lamanya. Setelah menenangkan diri, perlahan-lahan ia bangkit dan menjawab, “Paman Pendeta, mengenai Kakak Pertama, dia berpisah dengan kami di Kota Hengyang. Jika hari ini dia tidak datang ke Kota Hengshan sini, mungkin esok hari baru dia datang kemari untuk memberikan selamat kepada Paman Liu.”
“Apa? Dia masih berani datang? Dia masih punya nyali untuk kemari?” sahut Tianmen semakin gusar. “Perbuatannya benar-benar memalukan! Linghu Chong adalah murid pertama Perguruan Huashan. Tapi mengapa dia suka bergaul dengan penjahat bernama Tian Boguang? Apa yang dilakukannya dengan manusia cabul itu?”
Lao Denuo menjawab, “Dari yang saya tahu, Kakak Pertama tidak mengenal Tian Boguang. Mungkin saja Kakak Pertama sedang mabuk ketika secara kebetulan mereka bertemu. Kemudian mereka minum bersama di sebuah kedai tanpa mengenal satu sama lain.”
Sambil menghentakkan kakinya dengan keras di lantai, Tianmen bangkit berdiri lalu kembali membentak, “Kau masih berani mengoceh untuk membela Linghu Chong?” Dengan mata berkilat-kilat, pendeta bertubuh gagah itu menoleh kepada Tiansong yang masih terbaring lemah, “Adik, coba kau... kau ceritakan bagaimana dirimu bisa terluka. Ceritakan kepadanya apakah Linghu Chong dan Tian Boguang saling mengenal!”
Tiansong terbaring lemah dengan tubuh berlumuran darah. Janggutnya yang panjang sudah basah pula dan berwarna merah. Dengan suara gemetar pendeta itu lantas berkata, “Pagi itu... aku... aku bersama Keponakan Chi sedang berada di Rumah Arak Huiyan di... Kota Hengyang. Kami melihat Linghu Chong... sedang bersama Tian Boguang, dan juga seoarng... biksuni muda....”
Melihatnya bercerita sambil terengah-engah seperti itu, Liu Zhengfeng pun berkata, “Kakak Tiansong, kau jangan bicara lagi. Biarlah aku saja yang menceritakan kepadanya apa yang telah kau alami tadi.” Usai berkata demikian, ia lantas menoleh kepada Lao Denuo dan berkata, “Keponakan Lao, kalian semua dan juga Keponakan Linghu datang kemari untuk mengucapkan selamat kepadaku; dalam hal ini aku sangat berterima kasih, dan juga menaruh penghormatan yang sangat besar kepada Kakak Yue, guru kalian. Namun kita juga tidak tahu bagaimana Keponakan Linghu bisa sampai bertemu dengan Tian Boguang. Hal inilah yang perlu kita selidiki. Serikat Pedang Lima Gunung bagaikan keluarga sendiri, jika Keponakan Linghu memang benar-benar bersalah, maka sebagai orang tua sudah sepantasnya kami memberikan nasihat....”
“Nasihat apanya? Lebih baik bersihkan perserikatan ini dengan cara memenggal kepalanya,” bentak Tianmen.
Liu Zhengfeng menghela napas dan berkata, “Kakak Yue selalu menerapkan peraturan yang ketat di dalam perguruannya. Selain itu Perguruan Huashan juga memiliki nama besar di dunia persilatan. Kali ini Keponakan Linghu melakukan sedikit kesalahan....”
“Apa? Kau masih memanggilnya ‘keponakan’? Keponakan bangsat!” sahut Tianmen kembali menyela. Seketika ia teringat kalau dirinya adalah ketua perguruan ternama sehingga tidak sepantasnya mengucapkan kata-kata makian seperti itu, apalagi di hadapan Biksuni Dingyi. Namun karena kata-katanya tidak bisa ditarik kembali, ia hanya menghela napas dan duduk kembali dengan gusar.
Lao Denuo berkata, “Paman Liu, mohon ceritakan kepada saya apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Liu Zhengfeng menjawab, “Begini, Kakak Tiansong telah bercerita kepada kami bahwa tadi pagi ia bersama seorang murid Kakak Tianmen yang bernama Chi Baicheng singgah di sebuah rumah arak bernama Huiyan di Kota Hengyang. Begitu naik ke loteng atas, mereka melihat ada dua orang laki-laki dan seorang biksuni muda duduk bersama minum arak dalam satu meja. Mereka adalah si penjahat cabul Tian Boguang, Keponakan Linghu, dan murid Biksuni Dingyi yang bernama Yilin.
Pemandangan itu mau tidak mau membuat Kakak Tiansong penasaran. Semula ia hanya mengenali mereka sebagai murid Huashan, murid Henshan, dan seorang pria berpakaian rapi bersih. Biksuni Dingyi, tolong jaga perasaanmu; Keponakan Yilin dalam keadaan terdesak. Sepertinya ia ada di sana juga bukan atas kehendaknya sendiri.
Menurut Kakak Tiansong, Tian Boguang seorang laki-laki berusia tiga puluhan dan berpakaian serbarapi. Tadinya ia tidak tahu kalau orang itu adalah Tian Boguang, sampai akhirnya terdengar Keponakan Linghu berkata: ‘Saudara Tian, mari kita minum lagi. Meskipun ilmu meringankan tubuhmu tidak ada bandingannya di dunia persilatan, namun dalam hal kekuatan minum, kau tidak bisa mengalahkan aku.’ – Tanpa ragu, Kakak Tiansong langsung menyimpulkan bahwa orang bermarga Tian yang ahli meringankan tubuh sudah pasti hanya Tian Boguang seorang. Kakak Tiansong sejak lama membenci sepak terjang penjahat cabul yang berjuluk Si Pengelana Tunggal Ribuan Li itu. Maka begitu melihat mereka bertiga duduk semeja dan minum bersama, Kakak Tiansong marah bukan main.”
Lao Denuo menunduk termenung membayangkan pemandangan di rumah makan tersebut. Tiga orang duduk semeja; yang satu seorang penjahat cabul, yang satu seorang biksuni muda, dan satunya lagi seorang murid pertama Perguruan Huashan. Siapa pun yang melihat sudah pasti merasa aneh.”
Liu Zhengfeng melanjutkan cerita, “Kakak Tiansong semakin yakin setelah mendengar pria berpakaian rapi itu berkata, “Aku, Tian Boguang, datang dan pergi ke mana aku suka. Aku berkelana ke segala penjuru seorang diri. Tidak ada satu pun yang aku takutkan. Kita telah menemukan biksuni cilik ini; kenapa tidak kita biarkan saja dia menemani kita minum di sini?’”
Saat Liu Zhengfeng bercerita, diam-diam Lao Denuo melirik ke arah Pendeta Tiansong. Tampak pendeta itu berbaring lemah namun matanya menatap tajam ke arah Liu Zhengfeng, khawatir kalau-kalau sang tuan rumah salah bicara.
Liu Zhengfeng menyadari hal itu dan segera berkata, “Kakak Tiansong terluka parah sehingga tidak bisa bercerita kepadamu dengan lancar dan jelas. Maka itu, aku pun bercerita dengan kata-kataku sendiri; namun secara garis besar seperti itulah yang disampaikan Kakak Tiansong tadi. Bukan begitu, Kakak Tiansong?”
“Betul... betul....” sahut Tiansong lemah.
Setelah mendengar persetujuan itu, Liu Zhengfeng melanjutkan, “Keponakan Chi tidak bisa menahan kesabaran lagi. Ia pun berdiri dan menggebrak meja, lalu memaki: ‘Apa benar kau ini si maling cabul Tian Boguang? Setiap orang ingin membinasakanmu untuk membersihkan dunia dari sampah bejat macam dirimu. Akan tetapi, kau malah enak-enakan berlagak di sini tak tahu malu. Hm, barangkali kau ini sudah bosan hidup, hah?’ – Usai berkata, ia pun menghunus senjata menyerang penjahat itu. Namun sebaliknya, golok Tian Boguang justru lebih dulu merenggut nyawanya. Sungguh sayang, seorang pendekar muda yang gagah berani harus mati di tangan si maling cabul Tian Boguang.
Kakak Tiansong lantas menerjang Tian Boguang dan melancarkan serangan. Setelah bertarung beberapa jurus, Tian Boguang akhirnya berhasil melukai Kakak Tiansong dengan cara licik. Kejadian itu disaksikan semua oleh Keponakan Linghu. Namun, sedikit pun ia tidak bangkit dari duduk untuk membantu. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan rasa setia kawan sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Itulah yang menyebabkan Kakak Tianmen marah.”
“Huh, setia kawan apanya?” sahut Pendeta Tianmen semakin gusar. “Seorang pendekar harus bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk. Bergaul dengan maling cabul sudah pasti... sudah pasti ikut menjadi cabul.” Wajah pendeta gagah ini semakin berwarna merah dan janggutnya meremang.
Pada saat itu tiba-tiba datang seorang laki-laki datang dan berkata, “Guru, izinkan saya memberi laporan!”
“Ada apa lagi ini?” sahut Tianmen.
Laki-laki itu ternyata murid Perguruan Taishan yang masih berusia tiga puluhan. Mula-mula ia memberi hormat kepada sang tuan rumah, Liu Zhengfeng, kemudian kepada para tamu lainnya. Setelah berada di depan Tianmen ia berkata, “Guru, Paman Tianbai saat ini sedang memimpin para saudara untuk mencari kedua maling cabul Tian Boguang dan Linghu Chong ke seluruh pelosok Kota Hengyang, namun belum berhasil menemukan mereka....”
Lao Denuo diam-diam merasa kesal karena kakak seperguruannya juga disebut sebagai maling cabul. Namun apa boleh buat, pada kenyataannya Linghu Chong memang pernah duduk semeja dengan Tian Boguang.
Murid Taishan itu melanjutkan, “Akan tetapi di luar Kota Hengyang, kami menemukan sesosok mayat yang pada bagian perutnya tertusuk sebilah pedang. Pada gagang pedang itu tertulis nama si maling cabul Linghu Chong.”
“Lalu, siapa pula yang mati?” tanya Tianmen sambil mencondongkan posisi duduknya.
Si murid Taishan menoleh ke arah Yu Canghai sambil menjawab, “Yang tewas adalah murid Pendeta Yu. Waktu itu kami tidak mengenalinya; namun, setelah dibawa masuk ke Kota Hengshan, barulah ada orang yang mengenali mayat tersebut sebagai Luo Renjie....”
“Apa?” sahut Yu Canghai sambil bangkit dari tempat duduknya. “Jadi yang mati itu Renjie? Mana, mana jasadnya?”
(Bersambung)
Bagian 6 ; Halaman muka ; Bagian 8