Bagian 14 - Memulihkan Diri di Pegunungan

Melihat bibir Linghu Chong yang kering dan wajahnya yang pucat, Yilin pun sadar kalau pemuda itu sudah kehilangan banyak darah sehingga perlu diberi minum sebanyak-banyaknya. “Aku harus mencari air. Tentu kau sangat haus, bukan?” katanya sambil bangkit perlahan-lahan.
Linghu Chong menjawab, “Sewaktu menuju kemari tadi aku sempat melihat ada banyak semangka tumbuh di ladang sebelah timur sana. Coba kau petik beberapa buah yang sudah masak.”
“Baiklah,” sahut Yilin sambil merogoh kantongnya yang ternyata kosong melompong. “Kakak Linghu, apakah kau punya uang?” tanyanya kemudian.
“Untuk apa?” tanya Linghu Chong heran.
“Untuk membeli semangka,” jawab Yilin.
“Kenapa harus beli? Petik saja beberapa buah, kemudian bawa kemari,” ujar Linghu Chong. “Di sekitar ladang tidak terdapat rumah penduduk. Petani pemilik semangka itu tentu berada jauh dari sini. Kepada siapa pula kau akan membayarnya?”
“Tapi, mengambil tanpa permisi sama saja... sama saja dengan mencuri, bukan?” sahut Yilin. “Guru bilang, kita tidak boleh mencuri meskipun hanya sekali. Kalau tidak punya uang lebih baik meminta sedekah. Hanya minta sebuah saja kemungkinan besar pasti diberi.”
“Ah, dasar kau biksuni...” tukas Linghu Chong hendak menyebut “biksuni bodoh”. Namun begitu teringat perjuangan Yilin yang mati-matian menolong dirinya, ia pun menelan kata-kata makian tersebut.
Sebaliknya, melihat Linghu Chong tampak kurang senang, Yilin terdiam tidak berani membantah lagi. Ia kemudian bergegas menuju ke jalan pedesaan tadi.
Setelah berjalan lebih dari satu kilometer, Yilin akhirnya menemukan sebidang tanah ladang yang dimaksudkan Linghu Chong tersebut. Ladang itu terlihat penuh dengan semangka yang berukuran besar. Suasana sunyi senyap, dan hanya terdengar suara jengkerik bersahut-sahutan. Yilin tidak melihat seorang pun berada di sana kecuali dirinya sendiri.
“Kakak Linghu sangat haus dan menginginkan buah semangka ini. Tapi, aku tidak mungkin mengambil tanpa minta izin terlebih dulu,” ujarnya kepada diri sendiri.
Yilin lantas berjalan beberapa ratus meter namun tidak menemukan seseorang, ataupun gubuk, rumah, dan semacamnya. Akhirnya, ia pun kembali ke ladang tadi dan mendekati salah satu semangka yang sudah masak. Hatinya bimbang dan ragu-ragu. Tangannya menjulur mencoba untuk memetik buah itu namun segera ditariknya kembali begitu terbayang wajah gurunya sedang memberi nasihat. Dengan langkah berat, ia pun berniat pergi meninggalkan ladang tersebut.
Akan tetapi, begitu terbayang wajah Linghu Chong yang pucat pasi dan bibirnya kering ia menjadi gelisah. Dengan menggigit bibir biksuni muda itu merangkap kedua tangan lalu berdoa, “Wahai, Sang Buddha... saya tidak ingin mencuri. Ini semua demi Kakak Linghu. Kakak Linghu ingin... ingin memakan semangka ini.” Namun begitu menyimpulkan kalau “Kakak Linghu ingin memakan semangka” bukan alasan yang bagus untuk mencuri, seketika mata Yilin pun berkaca-kaca.
Dengan memejamkan mata dan menggertakkan gigi, Yilin lantas menarik buah semangka itu hingga putus dari akarnya. Dalam hati ia berpikir, “Kakak Linghu telah menyelamatkan jiwaku. Asalkan bisa membalas kebaikannya, aku rela masuk neraka yang paling dasar dan tidak terlahir kembali. Yang mencuri semangka ini adalah aku; tidak ada sangkut pautnya dengan Kakak Linghu.”
Dengan menggunakan kedua tangannya, Yilin menggendong semangka tersebut dan berjalan kembali ke tempat Linghu Chong berada.
Linghu Chong seorang pemuda yang berjiwa bebas. Ia tidak terlalu peduli dengan peraturan atau tata krama bermasyarakat. Ketika Yilin mengaku lebih baik mengemis daripada mencuri, ia hanya menilai biksuni muda itu sebagai seorang gadis kecil yang belum berpengalaman. Sama sekali ia tidak menyadari bahwa di dalam hati si biksuni muda telah terjadi perang batin karena memetik satu buah semangka tanpa izin tersebut. Maka, begitu melihat Yilin datang membawa sebuah semangka untuknya, ia terlihat sangat senang.
“Adik pintar, adik manis!” ujarnya memuji
Seketika perasaan Yilin tergetar begitu mendengar pujian tersebut. Hampir saja semangka itu terlepas dan jatuh ke tanah. Untungnya, ia sempat menangkap semangka itu kembali.
“Hei, kenapa kau jadi gugup?” sahut Linghu Chong sambil tertawa. “Apa kau baru saja dikejar orang dan dituduh mencuri?”
“Tidak. Aku tidak dikejar siapa-siapa,” jawab Yilin. “Tidak seorang pun yang melihatku.” Usai berkata demikian, biksuni muda itu duduk dengan wajah bersemu merah.
Saat itu matahari sudah mulai naik di ufuk timur. Sinarnya yang cemerlang membuat pagi itu terasa hangat dan nyaman. Linghu Chong dan Yilin kini berada di suatu tempat teduh di lembah Pegunungan Hengshan. Cuaca tampak begitu cerah setelah beberapa hari sebelumnya sering turun hujan. Daun-daun pepohonan berwarna hijau bersih seolah baru saja dicuci oleh air hujan tersebut.
Perlahan-lahan Yilin mencabut pedangnya untuk membelah semangka. Begitu memandangi ujung pedangnya yang sudah patah, ia pun berpikir, “Ilmu silat Tian Boguang sangat hebat. Andai saja Kakak Linghu tidak menolongku, mungkin aku tidak akan bisa merasakan pagi yang seindah ini lagi.”
Sekilas ia melirik ke arah Linghu Chong yang masih pucat pasi. “Demi bisa menolong Kakak Linghu, aku rela bergelimang dosa. Meskipun harus melanggar peraturan lebih banyak lagi aku tidak menyesal,” demikian pikirnya.
Yilin lantas mengayunkan pedangnya untuk membelah semangka. Ternyata semangka tersebut berasal dari jenis yang bagus sehingga bau harumnya langsung tercium begitu dibuka.
“Semangka bagus!” puji Linghu Chong. “Adik Yilin, aku jadi teringat perayaan tahun baru yang telah lalu. Saat itu, aku dan murid-murid Huashan lainnya sedang minum arak bersama. Tiba-tiba saja Adik Kecil berkata: ‘Anjing kecil di sebelah kiri, semangka bodoh di sebelah kanan; menurut kalian apa, coba?’ Waktu itu Lu Dayou – yaitu adik keenamku yang tadi malam mencari-cari diriku – sedang duduk di sebelah kiri Adik Kecil, sedangkan aku duduk di sebelah kanannya.”
Yilin tersenyum menanggapi, “Adik kecilmu sedang mengolok-olok dirimu dan Kakak Lu.”
“Tepat sekali! Tapi aku tidak tersinggung. Aku disebutnya semangka, sedangkan Adik Lu disebut anjing kecil,” jawab Linghu Chong. “Nah, saat ini pun kejadiannya mirip dengan waktu itu. Di sebelah kananku ada semangka, dan di sebelah kiriku ada anjing kecil.” Sambil berkata demikian ia menunjuk semangka, kemudian menunjuk wajah Yilin.
“Ah, kau mengolok-olok aku sebagai anjing kecil,” ujar Yilin.
Biksuni muda itu kemudian mengiris salah satu belahan dan memberikannya kepada Linghu Chong setelah membersihkan bijinya. Linghu Chong segera memakan irisan itu dengan lahap.
Yilin merasa sangat senang melihat Linghu Chong menikmati semangka irisannya. Dilihatnya air buah tersebut menetes membasahi dagu pemuda itu yang makan sambil berbaring. Maka, Yilin pun mengiris lebih kecil lagi dan memberikannya ke tangan Linghu Chong satu demi satu.
Setiap kali Linghu Chong mengulurkan tangan untuk menerima irisan baru, ia tampak meringis menahan sakit. Tanpa banyak pikir, Yilin pun menyuapkan irisan di tangannya ke dalam mulut pemuda itu.
Setelah menghabiskan hampir dari setengah buah tersebut, Linghu Chong baru sadar kalau Yilin belum makan sama sekali. Ia pun berkata, “Kau juga silakan makan.”
“Nanti saja,” jawab Yilin. “Kau makan saja dulu sampai puas.”
“Sudah, aku sudah cukup,” kata Linghu Chong. “Sekarang giliranmu yang makan.”
Yilin sendiri juga merasa sangat haus. Ia lantas mengambil sepotong dan segera memakannya. Melihat Linghu Chong memandanginya tanpa berkedip, biksuni itu merasa malu dan berputar membelakangi.
“Wah, betapa cantiknya!” puji Linghu Chong tiba-tiba. Ucapannya itu terdengar penuh dengan perasaan.
Yilin terperanjat. Wajahnya semakin merah bertambah malu. Diam-diam ia berpikir, “Mengapa tiba-tiba dia menyebutku cantik? Apa maksudnya?”
Mendengar pujian itu, perasaan Yilin bagaikan melayang-layang di angkasa. Dadanya terasa hangat dan lehernya sampai berwarna merah. Sedikit pun ia tidak berani menoleh ke arah Linghu Chong.
“Coba kau lihat itu, alangkah cantiknya!” seru Linghu Chong kembali terdengar.
Perlahan-lahan Yilin memberanikan diri untuk menoleh. Ternyata jari Linghu Chong menunjuk ke arah langit sebelah barat, tepatnya ke sebuah pelangi yang tampak melengkung di sana.
Baru sekarang Yilin sadar kalau yang dipuji ‘cantik’ oleh Linghu Chong bukanlah dirinya, melainkan pelangi tersebut. Dalam hati ia merasa sangat malu menghadapi pemuda itu. Namun rasa malu yang sekarang ini bercampur kekecewaan; benar-benar berbeda dengan yang sebelumnya.
“Hei, coba kau dengar baik-baik,” kembali Linghu Chong berkata.
Yilin pun menajamkan pendengarannya. Sayup-sayup terdengar suara gemercik air dari arah munculnya pelangi. “Seperti suara air terjun,” katanya.
“Benar. Setelah hujan beberapa hari biasanya di daerah pegunungan banyak tercipta air terjun,” ujar Linghu Chong. “Mari kita ke sana untuk melihatnya.”
“Kau... kau sebaiknya beristirahat dulu,” ujar Yilin memberi saran.
“Ah, di sini hanya ada batu-batuan, apa bagusnya?” jawab Linghu Chong. “Lebih baik kita pergi melihat air terjun.”
Yilin tidak membantah lagi. Ia pun membantu pemuda itu bangkit berdiri. Tiba-tiba wajahnya kembali merah saat berpikir, “Sudah dua kali aku menggendong Kakak Linghu. Yang pertama sewaktu meninggalkan Rumah Arak Huiyan; dan yang kedua sewaktu kabur dari Wisma Permata tadi pagi. Meskipun belum pulih benar, namun saat ini dia sedang terjaga, tidak pingsan lagi. Tidak mungkin aku menggendong tubuhnya. Aih, dia ingin mengajakku ke dekat air terjun; mungkinkah itu hanya alasan supaya aku... supaya aku memapah dirinya?”
Saat Yilin diliputi tanda tanya, Linghu Chong sudah memungut sebatang ranting pohon untuk digunakannya sebagai tongkat. Lagi-lagi Yilin salah menduga. Segera ia berjalan mendahului pemuda itu sambil memaki diri sendiri di dalam hati, “Huh, bodohnya aku! Kenapa aku masih suka berpikiran yang tidak-tidak? Kakak Linghu seorang kesatria sejati. Kenapa aku berpikir bahwa dia akan berbuat macam-macam? Mungkin semua ini karena aku sedang sendiri bersama seorang laki-laki. Aih, Kakak Linghu dan Tian Boguang memang sama-sama laki-laki. Tapi sifat mereka sangat berbeda. Kenapa aku menganggapnya sama dengan Tian Boguang yang cabul itu?”
Linghu Chong berjalan sempoyongan namun masih dapat menguasai diri. Dengan langkah perlahan-lahan ia menyusuri jalan setapak menuju ke arah suara air terjun tersebut. Sampai akhirnya, perjalanannya terhenti karena berjumpa sebuah batu besar. Yilin buru-buru membantunya duduk di atas batu besar tersebut.
“Dari sini sudah bisa melihat air terjun itu. Apakah kau harus melihatnya dari tempat yang lebih dekat?” ujar biksuni itu bertanya.
“Kalau kau berkata demikian, maka aku akan berhenti di sini,” sahut Linghu Chong tersenyum.
“Baiklah, baiklah,” jawab Yilin mengalah. “Mungkin pemandangan di sana bisa membantu mempercepat penyembuhanmu.”
Linghu Chong tertawa dan bangkit perlahan-lahan. Keduanya pun melanjutkan perjalanan. Suara gemuruh air terdengar semakin keras. Setelah melewati tanjakan dan sekelompok pepohonan, akhirnya mereka melihat sebuah air terjun yang airnya jernih laksana dituang dari langit.
Linghu Chong berkata, “Di Puncak Gadis Cantik, di atas Gunung Huashan, juga terdapat air terjun seindah ini, bahkan lebih besar lagi. Di waktu senggang, Adik Kecil suka mengajakku berlatih pedang di depan air terjun tersebut.”
Yilin terkesiap mendengar itu. Dadanya terasa sakit seperti dicubit karena terlintas dalam benaknya, bahwa tujuan Linghu Chong mengajaknya ke air terjun tersebut hanya karena terkenang kepada si adik kecil.
Terdengar Linghu Chong melanjutkan, “Beberapa kali ia mengajakku berlatih di bawah guyuran air terjun. Katanya, tenaga air yang jatuh akan memperkuat daya permainan pedang kami. Kami sering basah kuyup tersiram air. Bahkan, ia pernah nyaris terperosok ke dalam kolam di bawah air terjun tersebut. Untungnya, aku sempat menangkap tubuhnya. Wah, kejadian itu hampir saja membuatnya celaka.”
Yilin terdiam sejenak, lalu bertanya dengan suara datar, “Berapa jumlah adik seperguruanmu yang perempuan?”
“Di Huashan, aku memiliki tujuh orang adik seperguruan perempuan,” jawab Linghu Chong. “Enam di antaranya adalah murid-murid ibu guru kami, sedangkan Adik Kecil yang aku maksud adalah putri guruku. Ia bernama Yue Lingshan. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan adik kecil.”
“Oh, jadi dia adalah putri Paman Yue,” sahut Yilin. “Tentu dia... dia sangat baik kepadamu, bukan?”
“Linghu Chong duduk perlahan-lahan sambil menjawab, “Aku ini seorang yatim piatu. Lima belas tahun yang lalu, Guru dan Ibu Guru memungut diriku dan menerimaku sebagai murid. Waktu itu Adik Kecil masih berusia tiga tahun. Usia kami berbeda cukup jauh, dan aku sering menggendongnya untuk bersama-sama mencari buah atau menangkap kelinci. Boleh dikata, kami berdua dibesarkan bersama-sama. Guru tidak memiliki anak laki-laki, sehingga diriku pun diperlakukan seperti anak kandung. Adik Kecil sendiri sudah seperti adik kandungku.”
“Oh, rupanya begitu,” sahut Yilin. Ia diam sejenak kemudian kembali berkata, “Aku juga seorang yatim piatu. Orang tuaku entah ada di mana. Sejak kecil aku sudah menjadi biksuni di bawah asuhan Guru.”
“Sayang sekali, sayang sekali!” sahut Linghu Chong. Yilin langsung menoleh dan memandanginya dengan penuh tanda tanya.
“Kalau saja kau tidak menjadi murid Bibi Dingyi, tentu aku bisa memohon kepada Ibu Guru supaya menerimamu sebagai murid,” lanjut Linghu Chong. “Perguruan kami memiliki lebih dari dua puluh orang murid. Setelah berlatih, kami biasa bermain sama-sama. Guru dan Ibu Guru tidak terlalu membatasi kami dengan peraturan ketat. Jika kau bertemu Adik Kecil, tentu kalian akan cocok dan bisa menjadi teman akrab.”
“Sayang sekali aku tidak seberuntung itu,” jawab Yilin. “Namun di Biara Awan Putih, Guru dan para kakak juga sangat baik kepadaku. Di sana... aku sangat bahagia.”
“Ya, aku yang salah bicara,” ujar Linghu Chong. “Ilmu pedang Bibi Dingyi sangat hebat. Jika Guru dan Ibu Guru sedang membicarakan ilmu pedang, Beliau berdua selalu memuji Bibi Dingyi. Perguruan Henshan sama bagusnya dengan Perguruan Huashan kami.”
Mendengar pujian itu Yilin menjadi bersemangat. Ia pun berkata, “Kakak Linghu, dulu kau pernah berkata bahwa Tian Boguang dalam pertarungan sambil berdiri ada di urutan keempat belas, sedangkan Paman Yue urutan kedelapan. Lalu, guruku masuk urutan ke berapa?”
“Ah, aku hanya menipu Tian Boguang saja,” jawab Linghu Chong. “Tinggi atau rendahnya ilmu silat seseorang selalu mengalami perubahan; tidak bisa ditentukan begitu saja melalui penilaian sepihak. Ada yang mengalami kemajuan pesat, ada pula yang mengalami kemunduran, misalnya akibat bertambahnya usia. Ilmu silat Tian Boguang memang tinggi, tapi belum tentu ia adalah pendekar terhebat nomor empat belas di dunia persilatan. Aku hanya menyanjungnya supaya dia senang dan menjadi lengah.”
“Oh, jadi kau hanya membohonginya saja,” ujar Yilin. Biksuni cantik itu lalu terdiam memandangi derasnya air terjun. Pikirannya melayang-layang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia bertanya, “Kakak Linghu, apakah kau selalu membohongi orang?”
“Tergantung keadaan,” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Yang perlu dibohongi harus dibohongi; yang tidak perlu dibohongi, maka tidak perlu dibohongi. Misalnya, kepada Guru dan Ibu Guru tidak mungkin aku berani membohongi mereka.”
“Lalu, bagaimana dengan adik-adik seperguruanmu?” Yilin kembali bertanya. Sebenarnya ia ingin bertanya, “Apakah kau juga sering membohongi adik kecilmu?” Namun entah mengapa ia mengalihkan pertanyaan tersebut.
“Tergantung keadaan juga,” jawab Linghu Chong. “Dengan sesama saudara kami sering bercanda dan bergurau. Kalau bergurau tanpa tipu-menipu dan saling bohong rasanya kurang menarik.”
“Kepada adik kecilmu juga?” sahut Yilin yang akhirnya bertanya demikian.
Linghu Chong mengerutkan dahi lalu menjawab, “Untuk urusan penting aku tidak pernah berbohong kepadanya. Tapi kalau untuk bercanda dan bermain-main, dia juga sering kubohongi.”
Diam-diam Yilin merasa iri pada kehidupan di Huashan yang riang gembira. Selama ini ia hidup di dalam Biara Awan Putih yang sederhana dan kaku. Biksuni Dingyi juga tidak pernah terlihat tertawa atau bercanda. Meskipun akrab dengan saudara-saudara seperguruan, namun pada dasarnya mereka tidak pernah bergurau satu sama lain. Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingxian memang memiliki beberapa murid dari kalangan bukan biksuni. Murid-murid Henshan golongan ini memang periang, namun mereka agak segan jika bercanda dengan murid-murid golongan biksuni. Dengan kata lain, Yilin hidup di Gunung Henhsan dalam suasana kesunyian. Setiap hari yang ia lakukan hanya membaca kitab suci, berlatih ilmu silat, atau memasak sayuran.
Begitu mendengar penuturan Linghu Chong, seketika angan-angan Yilin melayang-layang. Ia pun berpikir, “Alangkah bahagia andaikan aku bisa berkunjung ke Gunung Huashan dan bermain dengan Kakak Linghu dan saudara-saudaranya. Tapi... setelah semua kejadian yang kualami, tentu Guru akan semakin membatasi diriku. Keinginan untuk berkunjung ke Huashan pasti hanya impian belaka. Sekalipun aku bisa datang ke sana, pasti Kakak Linghu hanya sibuk menemani adik kecilnya; sedikit pun tidak peduli kepadaku. Entah siapa yang sudi menemani diriku ini?” Berpikir demikian membuat mata Yilin berkaca-kaca.
Linghu Chong yang tidak mengetahui isi hati Yilin tetap saja bercerita sambil memandangi air terjun. “Aku dan Adik Kecil sedang menyempurnakan sebuah ilmu pedang yang kami ciptakan dengan bantuan derasnya air terjun. Adik Yilin, apakah kau mengetahui maksudnya?”
“Aku tidak tahu,” jawab Yilin sambil menggelengkan kepala. Suaranya agak parau namun tidak terdengar jelas oleh Linghu Chong.
“Saat bertemu musuh berkepandaian tinggi, tentu tusukan atau sabetan pedangnya disertai tenaga dalam yang mematikan. Nah, kami menganggap air terjun itu bagaikan tenaga yang menyertai serangan musuh. Dengan berlatih di bawah air terjun, kami membayangkan sedang menangkis serangan lawan sekaligus berusaha mengembalikan tenaga dalamnya supaya menghantam musuh itu sendiri.”
Melihat Linghu Chong bercerita dengan penuh semangat, Yilin berusaha tersenyum untuk tidak membuatnya kecewa. Ia pun bertanya, “Apakah kalian sudah berhasil menguasai ilmu pedang tersebut?”
“Belum, belum!” jawab Linghu Chong. “Menciptakan sebuah ilmu silat baru adalah pekerjaan yang sangat sulit. Lagipula, kami tidak menciptakan jurus-jurus baru, hanya mengubah dan merangkai beberapa jurus pedang Huashan yang sudah ada. Meskipun berlatih di air terjun adalah sesuatu yang baru dan sangat bermanfaat, namun kami melakukannya hanya untuk bersenang-senang. Kau dapat melihat sendiri, ilmu pedang tersebut tidak berguna untuk menghadapi Tian Boguang.”
“Apa nama ilmu pedang yang kalian ciptakan itu?” tanya Yilin dengan suara lirih.
“Ah, sebenarnya aku tidak bermaksud memberinya nama,” jawab Linghu Chong. “Tapi Adik Kecil bersikeras memberinya nama jurus Pedang Chongling, gabungan dari nama kami berdua, Linghu Chong dan Yue Lingshan.”
“Jurus Pedang Chongling, jurus Pedang Chongling,” sahut Yilin bergumam. “Nama ini mengandung unsur namamu dan namanya. Kelak di kemudian hari orang akan mengetahui kalau ilmu tersebut adalah hasil... hasil ciptaan kalian berdua.”
“Ah, itu hanya usulan Adik Kecil saja. Dia masih sangat kekanak-kanakan,” ujar Linghu Chong sambil tertawa. “Kepandaian kami berdua masih terlalu rendah, mana mungkin kami dapat menciptakan ilmu pedang yang hebat? Jangan... jangan katakan kepada orang lain. Aku takut jadi bahan tertawaan di dunia persilatan.”
“Baiklah, aku tidak akan mengatakannya kepada siapa pun juga,” sahut Yilin. Sejenak ia terdiam kemudian berkata lagi sambil tersenyum, “Tapi, ilmu pedang ciptaanmu yang lain sudah terlanjur diketahui banyak orang.”
“Apa benar?” sahut Linghu Chong terperanjat. “Apa Adik Lingshan yang telah menyebarluaskannya?”
Yilin tertawa dan menjawab, “Bukan, tapi kau sendiri yang mengatakannya kepada Tian Boguang. Bukankah kau telah menciptakan Jurus Pedang Kakus untuk menusuk lalat?”
Linghu Chong tertawa terbahak-bahak. Ia lantas menanggapi, “Aku sengaja membual kepadanya, tapi kau malah terus-terusan mengingatnya. Aduh....”
“Aih, semua ini salahku!” seru Yilin gugup melihat Linghu Chong meringis kesakitan. “Lukamu sakit lagi gara-gara aku. Sudahlah, jangan bicara lagi. Kau istirahat saja dulu.”
Linghu Chong lantas memejamkan mata. Namun, sejenak kemudian matanya kembali terbuka dan ia pun berkata, “Aku bersikeras datang kemari untuk melihat pemandangan indah. Namun, gara-gara ingin mendekati air terjun membuat kita tidak bisa lagi melihat pelangi.”
Yilin berkata, “Pelangi memiliki keindahan sebagai pelangi; air terjun memiliki keindahan sebagai air terjun.”
“Benar sekali!” ujar Linghu Chong. “Di dunia ini mana ada yang sempurna? Sesuatu yang dicari dengan susah payah ternyata setelah berhasil didapatkan rasanya hanya begitu saja. Sebaliknya, barang yang sudah dimiliki malah dibuang dengan cuma-cuma.”
“Ucapan Kakak Linghu sepertinya mengandung pelajaran filsafat yang mendalam,” kata Yilin. “Sayang sekali, pemahamanku masih sangat dangkal sehingga tidak mengetahui apa makna yang terkandung di dalamnya. Andai saja Guru mendengar ucapanmu tadi, pasti Beliau bisa memberikan penjelasan.”
“Filsafat apanya? Mana aku tahu tentang filsafat?” ujar Linghu Chong. “Uh, aku lelah sekali.”
Perlahan-lahan pemuda itu merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. Sejenak kemudian ia sudah tertidur pulas.
Yilin yang duduk di sampingnya berusaha menghalau lalat atau nyamuk yang datang mengganggu. Lama-lama ia juga merasa letih dan mengantuk. Namun belum sampai tertidur, biksuni muda itu berkata dalam hati, “Kalau Kakak Linghu terbangun nanti, pasti dia merasa lapar. Di sini tidak ada makanan. Aku terpaksa harus memetik dua semangka lagi.”
Maka Yilin pun berangkat ke ladang tadi dan memetik dua buah semangka. Khawatir Linghu Chong diganggu binataang buas, ia pun bergegas kembali ke dalam lembah. Sesampainya di sana, ternyata Linghu Chong masih terbaring di atas batu. Ia pun duduk perlahan di samping pemuda itu.
Tiba-tiba Linghu Chong membuka mata dan bertanya, “Aku kira kau sudah pulang,”
“Kenapa kau berpikir demikian?” sahut Yilin heran.
“Bukankah tadi malam guru dan kakak-kakakmu mencarimu ke mana-mana?” jawab si pemuda. “Mereka tentu sangat khawatir atas keselamatanmu.”
Sebenarnya Yilin sudah melupakan hal itu. Gara-gara pertanyaan Linghu Chong tersebut, ia jadi teringat kembali dan berpikir, “Bila bertemu Guru nanti, entah Beliau akan memarahi aku atau tidak?”
Linghu Chong kembali berkata, “Adik Biksuni, aku benar-benar berterima kasih kau telah menemani diriku begitu lama. Kau juga telah menyelamatkan jiwaku dari kematian. Sekarang aku sudah cukup kuat. Lebih baik kau lekas pulang saja.”
“Tidak bisa! Mana mungkin aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?” sahut Yilin terkejut.
“Bukan begitu,” Linghu Chong menukas. “Nanti kalau sudah sampai di rumah Paman Liu, kau bisa memberitahukan keberadaanku ini kepada adik-adikku. Tentu mereka akan segera kemari untuk menjaga diriku.”
Yilin terkesiap mendengarnya. Ia pun berpikir, “Rupanya Kakak Linghu ingin aku lekas-lekas pergi dari sini supaya bisa segera bertemu adik kecilnya. Makin cepat adik kecilnya datang, dia merasa makin baik,” Karena berpikir demikian, hati biksuni muda ini terasa pedih dan tanpa terasa ia pun meneteskan air mata.
Linghu Chong menjadi heran dan bertanya, “Hei, kenapa... kenapa kau menangis? Apa kau takut dimarahi gurumu?”
Yilin menggelengkan kepala.
“Atau kau takut bertemu Tian Boguang?” tanya Linghu Chong kemudian. “Tenang saja, dia tidak akan berani mengganggumu lagi. Justru bila melihatmu maka dia sendiri yang akan lari terbirit-birit.”
Tapi Yilin kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
Linghu Chong bertambah bingung. Ia menoleh ke arah semangka dan berkata lagi, “Aku tahu sekarang. Kau pasti merasa bersalah karena kembali melanggar pantangan agama, bukan? Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku yang akan menanggung semua dosa-dosamu.”
Namun Yilin tetap saja menggelengkan kepala. Bahkan, air matanya mengalir semakin deras.
Linghu Chong benar-benar bingung. Ia pun berkata, “Baiklah, mungkin ada kata-kataku yang menyinggung perasaanmu. Adik Biksuni, kau jangan menangis lagi. Aku minta maaf.”
Perasaan Yilin sedikit lega mendengarnya. Namun ia kembali sedih karena membayangkan Linghu Chong suka merendahkan diri di hadapan Yue Lingshan, adik kecilnya. Mungkin mereka sering bertengkar, dan kemudian Linghu Chong selalu yang pertama kali meminta maaf. Maka, sekarang pemuda itu menerapkan cara tersebut kepada dirinya.
Menyadari itu semua Yilin kembali menangis, kali ini bahkan sambil membanting-banting kakinya di atas batu. “Aku bukan... aku bukan adikmu....” katanya kepada si pemuda. Namun begitu teringat bahwa dirinya seorang biksuni yang tidak sepantasnya bersikap seperti itu, dengan cepat ia pun berpaling ke arah lain.
Sekilas Linghu Chong memandang wajah Yilin yang bersemu merah itu, dengan air mata membasahi pipi. Dalam hati ia memuji kecantikan biksuni tersebut yang ternyata tidak kalah jika dibandingkan dengan Yue Lingshan. Ia kemudian berkata, “Adik Biksuni, kita ini sama-sama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Usiaku lebih tua, sehingga kau terhitung sebagai adikku. Tolong katakan, apa kesalahanku? Apa yang membuat kau begitu marah kepadaku?”
“Kau tidak salah apa-apa,” sahut Yilin. “Aku tahu kau ingin agar aku cepat-cepat pergi dari sini supaya tidak membuatmu sial seperti yang kau katakan kepada Tian Boguang dulu. Bertemu satu biksuni, sama dengan bertemu satu... kesi... kesial....” Sampai di sini ia tidak sanggup melanjutkan perkataan.
Linghu Chong menjadi geli mendengarnya. Ternyata Yilin masih ingat kalau dirinya pernah berkata bahwa biksuni adalah pembawa sial yang sangat mematikan. Maka, ia pun berkata, “Ya, mulutku ini memang kotor dan suka bicara yang aneh-aneh. Aku telah merendahkan kehormatan Perguruan Henshan yang mulia. Aku pantas dihajar, pantas dihukum!”
Selesai berkata demikian, Linghu Chong pun mengangkat tangan dan segera menampar pipinya sendiri beberapa kali. Melihat itu Yilin buru-buru mencegah, “Jangan, jangan kau teruskan! Aku... aku tidak marah kepadamu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin menjadi... pembawa sial untukmu.”
“Aku pantas dihukum!” sahut Linghu Chong sambil menampar pipinya satu kali.
“Aku tidak marah kepadamu,” sahut Yilin sambil menggeleng. “Kakak Linghu, kau jangan... jangan memukul dirimu sendiri.”
“Kau tidak marah kepadaku?” tanya Linghu Chong .
Yilin hanya menganggukkan kepalanya.
“Tapi kau belum tertawa,” ujar si pemuda. “Itu pertanda kalau kau sebenarnya masih marah kepadaku.”
Terpaksa Yilin pun tertawa. Tapi begitu teringat nasib buruk yang menimpa dirinya, ia pun menangis kembali dan berpaling ke arah lain. Melihat itu Linghu Chong menghela napas panjang.
Perlahan-lahan Yilin berhenti menangis dan bertanya, “Mengapa... mengapa kau menghela napas?”
Dalam hati Linghu Chong tertawa geli. Diam-diam ia berpikir, “Bagaimanapun juga biksuni ini hanya seorang gadis kecil yang masih polos.”
Linghu Chong sudah berpengalaman menghadapi Yue Lingshan. Jika sedang bertengkar dengannya, Yue Lingshan biasanya diam tidak mau bicara. Bagaimanapun caranya Linghu Chong membujuk tetap saja gadis itu tidak peduli kepadanya. Namun Linghu Chong memiliki siasat istimewa, yaitu dengan cara membangkitkan rasa ingin tahu adik kecilnya itu. Dengan demikian, Yue Lingshan pun berbalik mendesaknya.
Menghadapi Yilin yang polos dan lugu, Linghu Chong merasa lebih mudah untuk membangkitkan rasa ingin tahunya. Maka, ia pun menghela napas sambil memandang ke arah lain, membuat Yilin merasa penasaran dan gugup.
“Kakak Linghu, apakah kau marah kepadaku?” tanya biksuni muda itu.
“Ah, tidak,” jawab Linghu Chong. “Tidak apa-apa.”
Melihat sikap pemuda itu, Yilin semakin gugup. Ia tidak tahu kalau Linghu Chong hanya berpura-pura untuk menghentikan tangisnya. Meskipun wajahnya terlihat kebingungan, namun dalam hati pemuda itu sedang tertawa terpingkal-pingkal.
Yilin berkata, “Aku yang salah. Aku telah membiarkanmu menampar wajah sendiri. Sebagai gantinya... sebagai gantinya biar kutampar wajahku ini.”
Dengan cepat Yilin menampar wajahnya sendiri. Ketika melayangkan tamparan kedua, Linghu Chong segera memegang tangannya. Namun akibatnya, pemuda itu pun merintih kesakitan.
“Aih, hati-hati! Jangan sampai lukamu pecah lagi,” seru Yilin sambil membantu Linghu Chong merebahkan diri. “Aku ini benar-benar bodoh. Apapun yang kulakukan selalu saja salah. Apa kau masih sakit, Kakak Linghu?”
Linghu Chong bukan seorang yang mudah merintih kesakitan. Namun dalam kesempatan itu ia sengaja merintih beberapa kali untuk memancing Yilin supaya berhenti menangis.
Tentu saja Yilin menjadi khawatir. “Apakah sangat sakit?” tanya biksuni itu sambil meraba dahi Linghu Chong.
“Ya, sakit sekali!” jawab Linghu Chong sambil pura-pura meringis. “Tapi sayang, Adik Keenam tidak ada... tidak ada di sini.”
“Kenapa? Apakah dia memiliki obat mujarab?” Yilin bertanya dengan heran.
“Benar, tapi obatnya terletak dimulut, “Jawab Linghu Chong. “Dulu bila aku terluka dan kesakitan, dia selalu menghiburku dengan berbagai macam lelucon yang menggelikan. Dengan demikian rasa sakitku jadi berkurang. Tapi sayang, dia tidak berada di sini. Aduh... sakit sekali!”
Yilin menjadi serbasalah. Selama hidup di dalam bimbingan Biksuni Dingyi, setiap hari kegiatannya hanyalah berdoa, membaca kitab, atau berlatih pedang. Sama sekali ia jarang bergurau apalagi bercerita lucu. Tentu saja menggantikan peran Lu Dayou akan menjadi masalah yang mahasulit baginya.
“Kakak Lu tidak ada di sini, sedangkan Kakak Linghu ingin mendengar lelucon. Entah bagaimana aku harus... aku harus menceritakan sebuah cerita lucu kepadanya?” demikian pikirnya.
Tiba-tiba Yilin teringat sesuatu. Ia pun berkata, “Kakak Linghu, aku tidak bisa melucu. Hanya saja, aku pernah membaca sebuah kitab yang isinya sangat menarik. Namanya ‘Kitab Seratus Dongeng’. Apakah kau pernah mendengarnya?”
Linghu Chong menggeleng dan menjawab, “Tidak pernah. Aku tidak pernah membaca kitab agama Buddha.”
Yilin terlihat malu dan berkata, “Aku yang bodoh. Sudah jelas kau ini bukan penganut agama Buddha, kenapa aku mengajukan pertanyaan bodoh demikian?” Ia diam sejenak lalu melanjutkan, “Kitab Seratus Dongeng ditulis oleh biksu agung dari India bernama Gazena. Di dalamnya banyak terdapat cerita menarik.”
“Baiklah,” sahut Linghu Chong. “Maukah kau menceritakan beberapa bagian yang lucu kepadaku?” pinta pemuda itu supaya Yilin melupakan kesedihannya.
Yilin pun mengingat-ingat sejenak, kemudian bercerita, “Baiklah, aku akan bercerita. Pada zaman dahulu tersebutlah seorang gundul dan seorang petani yang hidup di sebuah desa. Si gundul itu bukan seorang pendeta Buddha seperti kami, melainkan sudah bawaan sejak lahir. Kepalanya memang tidak bisa ditumbuhi rambut. Entah karena kesalahan apa, pada suatu hari si gundul dan si petani bertengkar. Si petani yang sangat marah memukul kepala si gundul sampai berdarah. Anehnya, si gundul sama sekali tidak melawan atau menghindar. Ia justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ada orang bertanya, si gundul pun menjawab, ‘Petani itu sangat bodoh. Kepalaku ini disangkanya sebongkah batu sehingga dia pun memukulku menggunakan cangkul. Jika tadi aku menghindar, tentu akan membuat dia berubah menjadi pintar.’”
Linghu Chong tertawa mendengarnya. Ia berkata, “Cerita bagus! Si gundul benar-benar sangat pintar. Meskipun dipukul sampai mati juga dia tidak akan menghindar. Hahaha, lucu sekali!”
Melihat Linghu Chong tertawa, Yilin merasa senang. Ia pun melanjutkan dengan cerita lain, “Kali ini aku akan bercerita tentang seorang raja dan tabib. Sang raja memiliki watak yang tidak sabaran. Ia mempunyai seorang putri yang masih kecil, tapi ingin menjadikannya besar dalam waktu singkat. Sang tabib pun dipanggil menghadap untuk melaksanakan keinginannya itu. Tabib itu mengaku memiliki resepnya, namun untuk mengumpulkan bahan obatnya dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Untuk itu, tabib pun meminta kepada raja supaya mengizinkan sang putri agar tinggal bersamanya. Sang raja juga dilarang mendesak supaya obat ajaib tersebut bisa cepat selesai. Raja setuju. Tabib pun membawa sang putri tinggal di rumahnya. Setiap beberapa hari sekali ia melapor kepada raja tentang perkembangannya mengumpulkan bahan-bahan resep obat ajaib untuk membesarkan sang putri. Kejadian tersebut berlangsung sampai dua belas tahun lamanya. Akhirnya, tabib pun melapor kepada raja bahwa resepnya telah sempurna dan sang putri telah berubah menjadi gadis remaja. Raja sangat senang melihat perubahan putrinya. Ia pun memuji kepandaian sang tabib dan memberikan hadiah besar kepadanya.”
Linghu Chong kembali tertawa. Ia berkata, “Kau bilang raja itu sifatnya tidak sabaran? Padahal, dia sudah bersabar menunggu resep si tabib selama dua belas tahun. Hahaha, kalau aku yang menjadi tabib itu, cukup hanya satu hari saja aku bisa menjadikan bayi putri tersebut menjadi gadis remaja yang cantik jelita.”
“Bagaimana caranya,” tanya Yilin keheranan. “Apakah kau bisa bermain sulap?”
“Mudah sekali, asalkan kau mau membantuku,” jawab Linghu Chong.
“Membantu bagaimana?” sahut Yilin.
“Ya, aku akan segera membawa pulang bayi putri tersebut dan kemudian memanggil empat orang tukang jahit.”
Yilin menukas, “Tukang jahit? Untuk apa?”
“Untuk menjahit pakaian secara kilat. Akan kusuruh mereka membuatkan pakaian bagus untukmu,” jawab Linghu Chong. “Esok harinya, aku akan membawamu lengkap dengan pakaian bagus dan perhiasan indah menghadap raja. Tentu sang raja akan terkesima dan gembira melihat putrinya telah berubah dewasa dalam waktu semalam saja, berkat obat ajaib ciptaan tabib sakti Linghu Chong. Karena gembiranya, sang raja pasti tidak sempat memeriksa apakah dirimu putrinya yang asli atau bukan. Dan yang pasti, Tabib Linghu Chong akan memperoleh hadiah yang sangat besar.”
Yilin ikut tertawa mendengar akal Linghu Chong. Bahkan, biksuni muda itu sampai terpingkal-pingkal dan memegangi perutnya menahan geli. “Kakak Linghu memang cerdik. Bahkan, kau lebih pintar daripada tabib istana itu,” katanya. “Hanya sayang, wajahku jelek. Sama sekali tidak mirip seorang putri raja.”
Linghu Chong menyahut, “Kalau wajahmu disebut jelek, maka di dunia ini tidak ada lagi yang bisa disebut cantik. Pada zaman ini paling tidak ada sepuluh ribu orang putri kerajaan, namun tidak seorang pun yang bisa menandingi kecantikanmu.”
Yilin terkesiap mendengar pujian itu. Ia pun menegas, “Memangnya kau pernah bertemu sepuluh ribu orang putri-putri itu? Jika tidak, bagaimana kau bisa membandingkannya denganku?”
Linghu Chong menjawab, “Tentu saja! Aku pernah mengamati mereka satu per satu di dalam mimpiku.”
“Hei, berarti kau selalu mimpi bertemu putri raja?” sahut Yilin tersenyum.
Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Begitulah, aku....” Tiba-tiba ia merasa tidak pantas membual seperti itu kepada seorang biksuni muda yang polos dan lugu. Mengajaknya bercanda saja sudah merupakan pelanggaran bagi mereka. Maka, ia pun berpura-pura menguap untuk mengalihkan pembicaraan.
“Ah, Kakak Linghu sudah mulai mengantuk,” kata Yilin. “Silakan Kakak beristirahat saja.”
“Baiklah,” ujar Linghu Chong. “Ceritamu tadi sangat manjur. Sekarang lukaku tidak terasa sakit lagi.”
Linghu Chong pun memejamkan mata. Dalam hati ia tertawa karena berhasil membuat Yilin melupakan kesedihannya, bahkan kini tersenyum gembira.
Setelah Linghu Chong tertidur, Yilin mengibas-ngibaskan sebatang ranting untuk mengusir nyamuk dan lalat. Suara katak dan jengkerik bersahut-sahutan terdengar begitu merdu. Yilin yang sebenarnya sangat letih merasa mengantuk pula. Pelupuk matanya terasa semakin berat dan berat. Akhirnya, ia pun terkulai dan sekejap kemudian sudah melayang di alam mimpi.
Dalam mimpinya itu, Yilin merasa dirinya sedang memakai pakaian seorang putri raja yang indah dan gemerlapan. Seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Linghu Chong tampak menggandeng tangannya. Mereka pun berjalan bersama memasuki sebuah istana yang besar dan megah. Dari dalam istana itu mereka lantas melayang terbang ke angkasa dan mennyusup di balik awan dengan tetap bergandeng tangan. Tiba-tiba muncul seorang biksuni tua dengan pedang terhunus dan mata melotot berwarna merah. Biksuni tersebut tidak lain adalah Dingyi, sang guru sendiri. Yilin sangat terkejut. Terdengar Dingyi berkata, “Kau babi hina! Kau tidak hanya melanggar peraturan biara, tapi juga berhenti menjadi biksuni dan memilih sebagai putri raja, serta bergaul dengan bajingan rendah ini. Dosamu besar tidak terampuni.” Karena takut, Yilin pun cepat-cepat menarik lengan Linghu Chong untuk mengajaknya melarikan diri. Tapi pegangan tangannya hanya meraih tempat kosong. Suasana seketika berubah gelap. Tidak terlihat apa-apa lagi. Linghu Chong menghilang, Biksuni Dingyi juga menghilang. Karena terkejut, Yilin pun berteriak, “Kakak Linghu, Kakak Linghu!”
Seketika biksuni muda itu terbangun dari tidurnya. Ia baru sadar kalau semua hanyalah impian belaka. Dilihatnya ke samping ternyata Linghu Chong sudah bangun dan memandanginya dengan mata terbuka lebar.
“Aku... aku....” ujarnya dengan penuh rasa malu.
“Kau baru saja bermimpi?” tanya Linghu Chong.
Yilin merasa serbasalah untuk menjawab. Sekilas ia melihat wajah Linghu Chong terkesan aneh, seperti sedang menahan rasa sakit. Dengan cepat ia pun bertanya, “Apakah lukamu sakit lagi?”
“Tidak masalah!” jawab Linghu Chong dengan suara gemetar. Keringat pun membasahi dahi pemuda itu, pertanda ia sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.
“Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?” ujar Yilin agak bergumam dengan perasaan sangat khawatir. Ia pun mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap keringat Linghu Chong. Dahi pemuda itu terasa panas seperti terbakar.
Yilin pernah mendengar dari gurunya, bahwa jika seseorang menderita demam akibat luka senjata tajam, maka keadaannya sungguh berbahaya. Karena didorong rasa cemas dan khawatir, seketika ia pun duduk dan berdoa. Mula-mula suaranya terdengar gugup dan gemetar. Namun lama-kelamaan setelah perasaannya agak tenang, ia pun berdoa dengan suara yang lantang dan penuh keyakinan.
“Bagi semua makhluk hidup, barangsiapa bertemu suatu masalah; seberat apapun masalah itu, jika ia berdoa kepada Dewi Guanyin dengan penuh penyerahan diri, maka Dewi Guanyin akan mendengar permohonannya dan memberikan pertolongan. Barangsiapa terjebak di dalam kobaran api, maka api tidak akan membakarnya. Itu semua berkat keagungan Dewi Guanyin yang welas asih. Barangsiapa yang diterjang ombak dan badai, sedangkan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka dia akan mengapung dan tidak akan tenggelam....” demikian doa biksuni muda tersebut. Doa tersebut diambilnya dari Kitab Kekuatan Suci Dewi Guanyin. Dari suaranya yang sungguh-sungguh, tampak jelas betapa Yilin merupakan seorang penganut ajaran Buddha yang sangat taat.
Terdengar Yilin melanjutkan, “Barangsiapa yang hendak dibunuh orang dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka senjata si pembunuh akan hancur berkeping-keping. Jika setan dan iblis datang mengganggu, namun dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka setan dan iblis terebut tidak dapat melihat dirinya. Barangsiapa sedang terbelenggu, apabila dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka belenggu itu akan terbuka dan pecah. Dengan demikian ia bisa lolos dan menyelamatkan diri....”
Linghu Chong merasa geli melihat perbuatan Yilin yang polos itu. Tanpa sadar ia pun tertawa cekikikan.
“Apanya yang lucu?” sahut Yilin terkejut.
“Jika doamu itu benar, maka aku tidak perlu susah payah berlatih silat. Jika ada musuh hendak menyerangku maka aku cukup berdoa saja kepada Dewi Guanyin dan mereka akan pergi sendiri,” jawab Linghu Chong.
“Kakak Linghu, kau jangan bersikap kurang hormat kepada Dewi Guanyin,” sahut Yilin tidak terima. “Jika aku tidak bersungguh-sungguh, maka doa ini tidak akan dapat menyembuhkanmu.”
Usai berkata demikian ia lantas melanjutkan, “Barangsiapa dikepung kawanan binatang buas, dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka binatang-binatang itu akan pergi meninggalkannya. Barangsiapa bertemu ular dan kalajengking beracun, dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka binatang-binatang itu akan kembali masuk ke dalam liang. Barangsiapa bertemu hujan lebat disertai halilintar menyambar-nyambar, dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka segala cuaca buruk akan menyingkir. Bagi semua makhluk hidup terdapat berbagai macam kesulitan dan marabahaya, namun kekuatan suci Dewi Guanyin akan menolong kita semua....”
Linghu Chong dapat mendengar dengan jelas betapa tulus doa yang disampaikan Yilin terhadap Dewi Guanyin. Meskipun suaranya sangat lirih, namun biksuni muda itu berdoa dengan kesungguhan hati dan penuh perasaan kepada Sang Boddhisattva. Terlihat betapa dia membuka segenap perasaannya dan berdoa dari lubuk hati yang paling dalam untuk mendapatkan berkah kekuatan dari Dewi Guanyin. Sampai akhirnya, ia berdoa, “Dewi Guanyin, aku mohon kepadamu untuk melenyapkan semua penderitaan Kakak Linghu, dan memindahkannya kepada diriku. Aku rela diubah menjadi babi, atau masuk ke dalam neraka, asalkan Dewi Guanyin menyembuhkan luka Kakak Linghu....”
Linghu Chong tidak bisa berkata-kata lagi. Hatinya merasa sangat terharu dan matanya berkaca-kaca. Sejak kecil ia hidup sebatang kara sampai akhirnya diambil sebagai murid Yue Buqun dan istrinya. Namun karena terlalu nakal, maka yang lebih sering ia dapatkan bukan belaian kasih sayang, melainkan hukuman dan pukulan dari sang guru. Murid-murid Huashan memang mematuhinya, namun itu hanya sekadar suatu kewajaran saja dalam tata krama perguruan. Sementara itu, Yue Lingshan memang sangat dekat dengannya, namun tetap saja tidak sebaik Yilin yang rela berkorban apa saja asalkan bisa melihat dirinya selamat. Linghu Chong merasa tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada biksuni cantik itu.
Doa Yilin semakin lama semakin terdengar lembut. Dalam penglihatannya ia merasa benar-benar bertemu bayangan Dewi Guanyin. Daun pohon willow yang melambai-lambai ditiup angin membuat Linghu Chong merasa sangat nyaman. Ia juga merasa demamnya sudah banyak berkurang. Pemuda itu pun terbuai dan akhirnya jatuh tertidur pulas.
(Bersambung)
Bagian 13 ; Halaman muka ; Bagian 15