Bagian 79 - Jati Diri Si Nenek Bisu

Linghu Chong pun mengangkat tangannya untuk menangkis serangan. Si nenek bisu mengikuti dengan memutar tangannya. Kelima jarinya lantas mencakar mata kiri Linghu Chong. Begitu Linghu Chong menangkis, mendadak jari kanan si nenek mencolok telinganya. Terpaksa ia pun melompat menghindar.
Gaya bertarung nenek bisu itu terlihat lucu, mirip cara bertengkar perempuan bawel yang kampungan, namun selalu mengincar titik-titik penting di tubuh lawan. Ditambah lagi gerakannya yang cepat luar biasa, sehingga dalam beberapa jurus saja Linghu Chong sudah terdesak mundur.
Sebenarnya ilmu silat perempuan tua ini tidak terlalu tinggi. Yang istimewa darinya hanyalah pada gerakannya yang lincah dan sangat gesit, serta sergapan secara tiba-tiba. Dibandingkan Yue Buqun atau Zuo Lengchan, atau bahkan dengan Ren Yingying sekalipun ia masih kalah jauh. Akan tetapi Linghu Chong sendiri kurang mahir dalam ilmu silat tangan kosong. Andai saja si nenek bisu tidak terlalu takut terhadap Jurus Penyedot Bintang, maka dapat dipastikan pemuda itu sudah kenyang terkena pukulan sejak tadi.
Setelah melewati beberapa jurus berikutnya, Linghu Chong sadar bahwa satu-satunya jalan untuk meloloskan diri adalah dengan mencabut pedang. Namun baru saja tangan kanannya menyentuh gagang pedang pendek yang terselip di balik baju, si nenek bisu seolah mengetahui maksudnya. Dengan sangat cepat perempuan itu melancarkan serangan sebanyak tujuh-delapan kali. Terpaksa Linghu Chong harus berkelit dan menangkis sehingga tidak sempat lagi melolos pedangnya.
Serangan si nenek bisu semakin lama semakin cepat dan keji. Linghu Chong merasa heran padahal selamanya di antara mereka tidak terdapat permusuhan apa-apa, namun orang itu tidak segan-segan hendak mencongkel matanya keluar. Linghu Chong merasa keadaan begitu gawat. Segera ia pun menggertak keras, kemudian tangan kirinya melindungi kedua mata, sementara tangan kanan meraba dada untuk mencabut pedang pendek. Tak peduli lawan terus memukul dan menendang yang penting ia dapat menarik pedang pendeknya keluar.
Tak disangka, pada saat itu pula tiba-tiba kepalanya terasa kencang. Ternyata si nenek bisu telah menjambak rambutnya. Sekejap kemudian Linghu Chong merasa kedua kakinya melayang di atas tanah, dan setelah itu langit terasa berputar-putar dan bumi terbalik. Jelas tubuhnya berputar cepat di udara. Rupanya si nenek bisu telah menjambak rambutnya dan mengangkat serta mengayunkan tubuh pemuda itu sekuat tenaga. Semakin lama semakin cepat.
“Hei, hei, apa yang kau lakukan?” sahut Linghu Chong berteriak-teriak. Kedua tangannya mencoba mencakar dan memukul serabutan, tapi mendadak ketiaknya sebelah kanan dan kiri terasa pegal. Rupanya si nenek bisu telah menotok bagian tersebut. Disusul kemudian titik nadi bagian punggung, pinggang, dada, dan leher Linghu Chong tertotok pula. Seketika pemuda itu merasa sekujur tubuhnya lemas dan tidak bisa bergerak lagi. Lebih celaka lagi si nenek ternyata tidak mau berhenti memutar-mutar tubuhnya. Bahkan kini semakin cepat.
Sambil merasakan suara angin yang menderu-deru di telinganya Linghu Chong berpikir, “Selama hidup aku sudah banyak menemui kejadian-kejadian aneh. Tapi pengalaman sial menjadi gangsingan boleh dikata baru pertama kali ini terjadi.”
Nenek itu terus saja menjambak rambut Linghu Chong dan memutar tubuh pemuda itu dengan kencang. Linghu Chong merasa pusing dan matanya berkunang-kunang. Melihat pemuda itu hampir kehilangan kesadaran, nenek bisu pun menghentikan permainannya dan membanting tubuh Linghu Chong ke tanah dengan sangat keras.
Sebenarnya Linghu Chong merasa tidak bermusuhan dengan nenek bisu itu. Namun sekarang setelah dirinya dikerjai sampai setengah mati, ia pun tidak kuasa lagi menahan marah. Segera mulutnya mencaci maki, “Perempuan busuk, perempuan keparat. Kalau saja aku bisa mencabut pedang, tentu tubuhmu kubuat berlubang-lubang.”
Nenek itu memandangnya dengan sikap dingin. Raut mukanya tetap tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Aku sudah kalah, tapi paling tidak aku harus memakinya agar kekalahanku tidak terlalu parah. Tapi tubuhku kini tidak bisa berkutik. Jika dia tahu aku mencaci-maki, tentu dia akan menyiksaku dengan lebih kejam.”
Segera ia pun mendapat akal, yaitu terus memaki tapi sambil tertawa-tawa. “Dasar perempuan bangsat, perempuan busuk. Langit sadar akan kejahatanmu sehingga kau diciptakan bisu dan tuli, tidak bisa tertawa, tidak bisa menangis pula, mirip orang tolol. Lahir sebagai anjing atau babi rasanya jauh lebih beruntung.”
Semakin mencaci maki dengan kata-kata yang keji, semakin riang pula Linghu Chong tertawa. Sebenarnya ia hanya berpura-pura tertawa, supaya si nenek bisu tuli itu tidak tahu kalau ia sedang memaki. Begitu melihat perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan sikap gusar, Linghu Chong merasa akalnya membawa hasil dan ia pun menjadi senang dan benar-benar tertawa terbahak-bahak.
Perlahan nenek bisu mendekati dirinya. Tiba-tiba sebelah tangan wanita itu kembali menjambak rambut Linghu Chong dan menyeret pemuda itu ke depan. Langkahnya semakin lama semakin cepat. Linghu Chong merasa kesakitan karena badannya bergesekan di atas tanah berbatu. Dengan gemas ia kembali mencaci-maki tanpa berhenti, namun kali ini tidak bisa tertawa lagi.
Nenek bisu itu menyeret tubuh Linghu Chong ke atas gunung. Sambil melirik mengamati keadaan setempat, Linghu Chong dapat merasakan bahwa perempuan itu membawanya ke arah barat, menuju ke arah Kuil Gantung. Kini Linghu Chong sudah yakin kalau orang yang mengerjai Biksu Bujie, Tian Boguang, Sepasang Beruang Gurun Utara, Qiu Songnian, dan yang lain tentu nenek bisu-tuli ini pula. Perempuan tua ini meskipun bisu tuli namun ternyata memiliki kecepatan dan kekuatan yang sangat hebat. Selain dia, tidak ada lagi yang bisa dicurigai oleh Linghu Chong.
Dahulu Linghu Chong memang pernah datang ke Kuil Gantung dan bertemu nenek bisu tersebut. Namun waktu itu sedikit pun ia tidak tahu kalau perempuan ini ternyata menyembunyikan kepandaian sedemikian hebat. Yang ia tahu nenek tersebut seorang bisu tuli yang berwajah tolol dan lamban dalam bekerja. Bahkan para tokoh silat papan atas seperti Biksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, serta Ren Yingying dan Shangguan Yun juga tidak mencurigainya. Diam-diam Linghu Chong memuji kepandaian nenek bisu ini dalam mengelabui orang.
Lantas pemuda itu berpikir pula, “Jika nenek ini sampai menggantung tubuhku di atas pohon gongsun di Lembah Tong Yuan, lalu menempelkan pula pita kertas pula pada tubuhku dengan tuduhan sebagai manusia paling cabul nomor satu di dunia, tentu aku akan sangat kehilangan muka. Padahal sebagai ketua Perguruan Henshan aku kini berdandan sebagai wanita. Untungnya dia menyeretku menuju Kuil Gantung. Biarlah dia menggantung aku di sana dan menghajar tubuhku pula. Itu lebih baik daripada membuatku malu di depan umum.”
Dasar sudah menjadi sifat Linghu Chong meskipun sedang bernasib sial tapi masih merasa beruntung juga. Terpikir pula olehnya, “Entah apakah dia tahu siapa diriku yang sebenarnya? Jangan-jangan dia memang sudah tahu kalau aku ini ketua Perguruan Henshan sehingga tidak mempermalukan aku di depan umum.”
Di sepanjang jalan yang menanjak itu tubuh Linghu Chong diseret oleh si nenek bisu. Sudah tentu badannya babak belur terluka oleh batu-batu pegunungan. Untungnya ia menghadap ke atas sehingga tidak mendapat luka di bagian panca indera.
Setibanya di Kuil Gantung, si nenek bisu terus saja menyeretnya masuk ke dalam ruang tengah. Pintu kuil lantas ditutup rapat. Sesaat kemudian merka berdua sudah berada di dalam Loteng Kura-Kura Dewa.
“Wah, celaka, ini celaka,” ujar Linghu Chong mengeluh karena ia sadar Loteng Kura-Kura Dewa terletak di atas jurang yang tak terukur dalamnya, sedangkan di luar terdapat sebuah jembatan gantung yang menghubungkan dengan Loteng Ular Sakti di sisi lain Puncak Cuiping. “Jangan-jangan tubuhku akan digantung di jembatan layang itu,” pikirnya. Perasaan khawatir terlintas di benak Linghu Chong karena Kuil Gantung tersebut jarang didatangi orang. Bisa-bisa ia akan mati kelaparan di tempat ini.
Sesampainya di dalam Loteng Kura-Kura Dewa, nenek bisu langsung membanting Linghu Chong di lantai, kemudian meninggalkannya pergi. Dengan tubuh tergeletak Linghu Chong mencoba menerka siapa sebenarnya nenek bisu ini, tapi tidak juga menemukan jawaban. Ia hanya menduga bisa jadi nenek ini seorang tokoh angkatan tua Perguruan Henshan, atau mungkin pelayan Biksuni Dingjing, Biksuni Dingxian, dan Biksuni Dingyi di masa lalu. Tapi entah bagaimana caranya nenek itu bisa mengetahui muslihat licik Nyonya Zhang dan yang lain sehingga kemudian meringkus dan menggantung tubuh mereka di atas pohon.
Berpikir sampai di sini hati Linghu Chong menjadi lega. Ia berpikir, “Mengingat aku ini ketua Perguruan Henshan sudah tentu dia akan menghormatiku dan tidak membuatku susah.” Tapi lantas terpikir lagi olehnya, “Celaka, dalam penyamaranku ini jangan-jangan dia tidak mengenali aku. Jika dia mengira aku adalah orang jahat yang bersekongkol dengan Nyonya Zhang dan yang lain, atau dia mengira aku adalah mata-mata yang sedang menyamar di sini dan bertujuan hendak merusak Perguruan Henshan, wah, bisa jadi ia akan memberi ‘perlakuan yang lebih istimewa’ kepadaku. Bisa runyam kalau aku disiksa olehnya nanti.”
Tanpa terdengar suara langkah kaki tahu-tahu si nenek bisu sudah naik kembali ke atas loteng dengan membawa seutas tambang. Segera kaki dan tangan Linghu Chong pun ditelikung dan diikatnya kencang-kencang. Perempuan tua itu lantas mengeluarkan pula sepotong pita kertas berwarna kuning dan memasangnya di leher Linghu Chong.
Sudah tentu Linghu Chong sangat penasaran ingin mengetahui apa yang tertulis pada pita kertas itu. Akan tetapi tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Rupanya kedua matanya telah ditutup oleh si nenek bisu menggunakan sepotong kain hitam.
“Cerdik benar nenek ini,” pikir Linghu Chong. “Dia tahu aku ingin sekali membaca apa yang tertulis pada pita kertas ini, namun mataku langsung ditutupnya. Tapi, haha, Linghu Chong sudah terkenal sebagai pemuda bandel. Sudah tentu apa yang tertulis di atas pita kertas ini jelas bukan kata-kata pujian untukku. Jadi, untuk apa aku harus membacanya?”
Tiba-tiba ia merasa kaki dan tangannya yang diikat itu seperti tertarik kencang, lantas tubuhnya pun terapung ke atas. Ternyata nenek bisu sudah menggantungnya tinggi-tinggi di atas balok belandar. Sungguh gusar rasa hati Linghu Chong dan mulutnya kembali mencaci-maki. Meskipun berwatak suka ugal-ugalan, tapi di sisi lain ia juga sangat berhati-hati. Dalam hati ia merenung, “Kalau aku hanya mencaci-maki sembarangan, tetap tidak dapat memperbaiki keadaan. Sebaiknya aku mengerahkan tenaga dalam perlahan-lahan untuk membuka totokan. Bila aku sudah memegang senjata tentu dapat mengatasi nenek ini. Akan kugantung pula tubuhnya di tempat yang tinggi, dan akan kupasang pita kertas kuning pada lehernya. Entah apa yang harus kutulis pada pita itu? Nenek jahat nomor satu di dunia? Ah, jangan-jangan dia malah menjadi senang. Biarlah kutulis saja: ‘Nenek jahat nomor delapan di dunia’, biar kepalanya pecah memikirkan siapa pula ketujuh nenek jahat lainnya yang lebih tinggi derajatnya daripada dia.” Linghu Chong kemudian memasang telinga dan tidak mendengar suara napas seorang pun. Rupanya nenek bisu itu sudah pergi.
Setelah tergantung-gantung sekitar dua jam, Linghu Chong mulai merasa lapar. Begitu menggerakkan badan terasa urat nadinya sudah mulai lancar. Tiba-tiba tubuhnya terguncang. Dengan keras ia pun jatuh terbanting di atas lantai. Ternyata si nenek bisu telah melepaskan tali gantungan. Tapi sejak kapan nenek itu datang sedikit pun Linghu Chong tidak mendengar langkah kakinya.
Nenek itu lantas melepaskan kain hitam penutup mata Linghu Chong. Titik nadi bagian leher belum lancar sehingga pemuda itu sukar menunduk untuk membaca tulisan pada pita kertas tersebut, kecuali pada bagian paling bawah sekilas terbaca kata “perempuan”.
Perlahan Linghu Chong mengeluh, “Sial!” Ia yakin si nenek benar-benar mengira dirinya sebagai seorang perempuan tua. Kalau dirinya disebut sebagai pemuda cabul, bajingan tengik, atau manusia rendah segala tidak menjadi soal. Tapi dianggap sebagai perempuan, benar-benar masalah konyol baginya.
Dilihatnya si nenek bisu mengambil sebuah mangkuk. “Apakah dia hendak mengambilkan semangkuk sup untukku? Kalau semangkuk arak tentu lebih baik,” pikirnya.
Di luar dugaan, tiba-tiba Linghu Chong menjerit kesakitan karena kepalanya terasa kepanasan. Ternyata mangkuk tersebut bersisi air mendidih dan oleh si nenek langsung disiramkan begitu saja di atas kepala pemuda itu.
“Nenek bangsat, apa yang hendak kau lakukan padaku?” bentak Linghu Chong memaki.
Si nenek tetap saja tidak terpengaruh. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebilah pisau cukur dari balik bajunya.
Seketika Linghu Chong terperanjat. Kulit kepalanya terasa sakit dan perih. Rupanya si nenek bisu sedang mencukur rambutnya. Perasaan Linghu Chong semakin gusar. Ia tidak tahu apa maksud dan tujuan nenek gila ini sebenarnya. Sejenak kemudian ia merasa kepalanya sudah gundul kelimis. Rambutnya telah dicukur bersih oleh si nenek bisu.
“Bagus sekali. Hari ini Linghu Chong benar-benar telah menjadi biksu. Ah, salah. Aku memakai baju perempuan, pantasnya disebut sebagai biksuni,” demikian ia berpikir. Tiba-tiba jantungnya berdebar. Perasaan ngeri merasuki pikirannya. “Yingying menyuruhku menyamar sebagai biksuni, dan kini ucapannya menjadi kenyataan. Mungkin juga nenek iblis ini telah mengetahui siapa diriku yang sebenarnya dan menganggap seorang laki-laki tidak pantas menjadi ketua Perguruan Henshan. Maka itu, tidak saja ia mencukur rambutku, bahkan mungkin juga ia akan… akan mengebiri kemaluanku, supaya aku tidak bisa berbuat kotor di tempat suci ini. Nasibku bisa-bisa mirip dengan Tian Boguang. Wah, nenek gila ini ternyata bisa berbuat apa saja. Sungguh sial, sepertinya hari ini aku, Linghu Chong harus menerima takdir. Ah, asal jangan sekali-kali aku disuruh berlatih Jurus Pedang Penakluk Iblis.”
Selesai mencukur gundul kepala Linghu Chong, nenek bisu lantas menyapu bersih rambut pemuda itu yang berserakan di atas lantai. Linghu Chong merasa keadaan sudah sangat gawat. Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk membuka sisa beberapa totokan pada tubuhnya.
Begitu merasa jalan darahnya sudah mulai lancar, tiba-tiba bagian punggung, pinggang, dan bahunya terasa kesemutan kembali. Rupanya titik-titik tersebut kembali ditotok oleh si nenek bisu. Seketika perasaan Linghu Chong bagaikan balon gembos. Ia hanya bisa menghela napas panjang. Rasanya begitu lemas, sampai-sampai caci maki susah untuk diucapkan lagi.
Si nenek bisu lantas menanggalkan pita kertas yang terpasang di leher Linghu Chong itu dan menaruhnya di samping. Baru sekarang Linghu Chong dapat melihat dengan jelas apa yang tertulis pada pita kertas tersebut, yaitu: “Manusia buta nomor satu di dunia, bukan laki-laki dan bukan perempuan.”
Dalam hati Linghu Chong mengeluh, “Celaka! Ternyata nenek gila ini hanya pura-pura bisu dan tuli. Ia sebenarnya bisa mendengar. Kalau tidak, dari mana dia tahu kalau Biksu Bujie pernah menyebutku sebagai manusia buta nomor satu di dunia? Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, dia mencuri dengar ketika Biksu Bujie bicara dengan Yilin, dan yang kedua dia mencuri dengar ketika Yilin berbicara padaku tadi. Atau bisa juga kedua-duanya telah ia saksikan.”
Berpikir sampai di sini segera ia pun berteriak, “Sudahlah, kau tidak perlu menyamar dan berpura-pura lagi! Kau bukan seorang bisu-tuli.”
Tapi nenek itu tetap tidak peduli. Sebaliknya, ia terus saja menggerayangi tubuh Linghu Chong dan menarik pakaian wanita yang dikenakan pemuda itu.
“He, hei, apa yang hendak kau lakukan?” sahut Linghu Chong khawatir. Ia tidak tahu apakah nenek ini benar-benar tidak dapat mendengar atau hanya sengaja berpura-pura. Dalam sekejap baju wanita yang dipakainya telah ditarik begitu saja oleh si nenek sehingga robek menjadi dua belah dan terlepas dari tubuhnya.
“Jika kau berani mengganggu seujung rambutku saja tentu akan kucincang tubuhmu hingga hancur lebur,” teriak Linghu Chong gusar. Tapi lantas terpikir olehnya, “Wah, bukan hanya seujung rambut, dia bahkan sudah mencukur gundul kepalaku.”
Tampak si nenek mengambil sepotong batu asah. Kemudian batu asah itu dibasahinya dengan beberapa tetes air, untuk selanjutnya digunakan mengasah pisau cukur tadi. Sejenak kemudian pisau cukur itu pun ditaruhnya di samping. Dari balik baju dikeluarkannya dua buah botol porselen kecil, yang masing-masing bertuliskan “Salep Penyambung Langit” dan “Pil Empedu Beruang”. Jelas keduanya adalah obat-obatan mujarab buatan Perguruan Henshan yang sudah sangat dikenal oleh Linghu Chong.
Kemudian si nenek tampak menyiapkan pula beberapa potong kain putih sebagai pembalut luka. Linghu Chong merasa heran karena merasa tidak memiliki luka baru. Melihat cara si nenek menyiapkan segala perlengkapan itu, sepertinya hendak membuat sebuah luka baru atau lebih pada dirinya. Tanpa sadar Linghu Chong pun menghela napas panjang penuh perasaan cemas.
Selesai menyiapkan itu semua, kedua mata si nenek memandang tajam ke arah Linghu Chong. Sejenak kemudian ia mengangkat tubuh pemuda itu dan meletakkannya di atas meja. Selanjutnya ia kembali memandang Linghu Chong dengan sikap kaku tak berperasaan.
Linghu Chong sudah kenyang pengalaman dalam pertempuran macam apa pun juga. Sekalipun terluka parah dan dikepung musuh, belum pernah ia merasa takut atau gentar. Tapi kini menghadapi seorang nenek gila seperti itu, dalam hati timbul juga rasa ngeri yang tak terlukiskan.
Perlahan si nenek mengangkat pisau cukurnya. Di bawah cahaya lilin yang berkedip-kedip, pisau cukur yang tajam itu tampak berkilauan. Butir keringat dingin penuh membasahi dahi Linghu Chong. Sungguh ngeri hatinya membayangkan sebentar lagi akan dikebiri oleh si nenek gila.
Tiba-tiba terlintas satu pikiran dalam benaknya. Tanpa pikir panjang ia pun berteriak, “Kau adalah… kau adalah istri Biksu Bujie!”
Tubuh nenek itu tampak gemetar dan kakinya mundur selangkah. Dengan terputus-putus ia berkata, “Da… dari mana… kau... tahu?” Suaranya serak dan kering. Ucapannya sekata demi sekata dan sangat kaku, mirip seperti anak kecil yang baru belajar bicara.
Ketika mengucapkan kata-katanya tadi, Linghu Chong memang tidak berpikir panjang. Kini begitu ditanya balik oleh si nenek barulah ia berpikir mengapa sampai bisa menarik kesimpulan seperti itu. Tapi ia lantas berkata, “Hm, sudah tentu aku tahu. Sudah sejak tadi aku tahu.”
Namun dalam hati sebenarnya ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Benar juga, dari mana aku tahu? Oh, tentu dari pita kertas terpasang di leher Biksu Bujie itu. Pada pita itu tertulis tuduhan bahwa Bujie adalah manusia tak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan. Tentang hal ini, selain Bujie sendiri tiada orang lain yang tahu kecuali istrinya.”
Karena berpikiran demikian, Linghu Chong kembali berseru, “Kau sendiri justru masih selalu terkenang kepada manusia yang tidak berperasaan dan paling doyan perempuan itu. Jika tidak, waktu ia hendak gantung diri, kenapa kau potong tali gantungannya? Ketika ia hendak menggorok leher sendiri, kenapa kau sembunyikan goloknya? Huh, manusia yang tak berperasaan dan paling doyan main perempuan seperti itu kenapa tidak dibiarkan mati saja? Untuk apa pula kau urus dia lagi?”
Si nenek menjawab, “Kalau... membiarkan dia... mampus dengan mudah dan... cepat, itu terlalu... enak baginya.”
“Benar katamu,” sahut Linghu Chong. “Biarkan saja dia menderita cemas dan khawatir selama belasan tahun terakhir ini. Dia mencarimu sampai ke negeri Tibet, sampai ke gurun utara dan wilayah barat. Dia mencarimu ke dalam setiap biara, tapi kau malah enak-enakan menikmati hidupmu di sini. Dengan cara begini barulah kau merasa puas, bukan?”
“Itu baru... setimpal,” ujar si nenek. “Dia sudah... menikahi aku. Tapi kenapa... dia masih menggoda perempuan... lain?”
“Siapa yang bilang dia menggoda perempuan lain?” tanya Linghu Chong. “Wanita itu hanya memandang dan memuji putrimu lalu Bujie balas memandang dan memujinya, bukankah ini wajar? Kenapa kau anggap dosa besar?”
“Seorang laki-laki kalau... sudah beristri,” sahut si nenek, “jika dia memandang dan mengincar... perempuan lain, hal ini dilarang... keras.”
Linghu Chong merasa nenek ini benar-benar aneh. Segera ia membantah, “Kau sendiri sudah menjadi istri orang, tapi mengapa masih memandang laki-laki lain juga?”
Nenek itu menjadi gusar dan menyahut, “Kapan pula aku memandang... laki-laki lain? Omong kosong!”
“Bukankah sekarang ini kau sedang memandang diriku? Memangnya aku bukan laki-laki?” kata Linghu Chong. “Padahal Bujie hanya memandang perempuan lain beberapa detik saja. Sementara itu kau malah menjambak rambutku, meraba kepalaku, ini berarti telah melanggar larangan suci tersebut. Untung kau hanya menyentuh kulit kepalaku saja, tidak sampai meraba wajahku. Jika tidak, kau pasti akan dihukum berat oleh Dewi Guanyin.” Ia berpikir nenek ini jarang bergaul, tentu pengetahuannya sangat kurang. Maka perempuan ini perlu digertak supaya tidak sembarangan menganiaya orang.
Terdengar nenek itu menjawab, “Untuk memotong kepalamu... aku tidak perlu menyentuh badanmu.”
“Kalau mau memotong kepalaku, boleh saja. Silakan!” sahut Linghu Chong.
“Kau ingin... aku membunuhmu? Jelas tidak boleh secepat ini,” ujar si nenek dengan suara semakin lancar. “Sekarang ada dua pilihan untukmu, kau boleh pilih sesukamu. Pertama, kau harus lekas menikahi Yilin sebagai istrimu dan jangan membuatnya sakit hati lagi. Sebaliknya kalau kau menolak, maka aku akan mengebiri dirimu sehingga kau berubah menjadi siluman serbakonyol. Laki-laki bukan, perempuan juga bukan, alias banci. Nah, jika kau tidak mau menikahi Yilin, maka kau takkan mampu menikah pula dengan perempuan busuk lainnya yang tidak tahu malu.”
Sudah belasan tahun perempuan tua ini berpura-pura bisu dan tuli. Sudah sekian lama ia tidak pernah berbicara sehingga lidahnya terasa kaku. Kini setelah berbicara sebentar barulah ucapannya mulai lancar kembali.
“Yilin memang seorang gadis yang sangat baik. Tapi di dunia ini selain dia apakah semua perempuan itu busuk dan tidak tahu malu?” jawab Linghu Chong.
“Aku rasa memang begitu. Andaikan baik juga terbatas,” kata si nenek. “Nah, kau mau menerima syaratku atau tidak? Lekas katakan!”
Linghu Chong menjawab, “Adik Yilin adalah teman baikku. Jika dia tahu kau memperlakukan aku seperti ini tentu dia akan sangat marah.”
“Asal kau menikahinya sebagai istri, tentu dia akan gembira dan semua kemarahannya lenyap pula,” kata si nenek.
“Dia seorang gadis yang alim. Dia sudah bersumpah tidak akan menikah seumur hidup,” bantah Linghu Chong. “Apabila pikirannya sampai bercabang tentu akan mendapat murka dari Sang Buddha.”
“Bila kau menjadi biksu, maka Sang Buddha tidak akan murka kepadanya saja,” jawab si nenek. “Aku telah mencukur rambutmu. Memangnya kau kira tidak ada tujuannya?”
Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “O, ternyata kau mencukur rambutku supaya aku menjadi biksu, lalu menikahi si biksuni cilik. Suamimu dulu berbuat begitu, sehingga sekarang kau pun memintaku menjiplak caranya? Apakah ini tidak melanggar hak cipta suamimu?”
“Bukan urusanku,” sahut si nenek.
“Tapi di dunia ini sangat banyak manusia berkepala gundul. Memiliki kepala botak licin tidak berarti biksu, bukan?” lanjut Linghu Chong sambil terus tertawa.
“Ini bukan masalah sulit,” jawab si nenek. “Akan kusulut kepalamu dengan api dupa sehingga tercipta sembilan titik hangus. Memiliki kepala gundul memang tidak selalu seorang biksu. Tapi kepala gundul ditambah dengan bekas sulutan api dupa adalah tanda pengenal kaum biksu, bukan?” Usai berkata demikian si nenek mempersiapkan diri untuk mulai bertindak.
“Hei, nanti dulu, sebentar lagi,” lekas-lekas Linghu Chong mencegah. “Menjadi biksu harus dilakukan dengan sukarela, bukan dengan cara paksaan seperti ini.”
“Hanya ada dua pilihan,” jawab si nenek. “Menjadi biksu atau menjadi kasim.”
Linghu Chong sangat khawatir. Ia merenung, “Perempuan tua ini benar-benar gila. Ia suka memaksakan apa yang menjadi keinginannya. Aku harus mencari akal untuk mengulur waktu.” Usai berpikir demikian ia pun menjawab, “Kalau aku menjadi kasim, jangan-jangan pada suatu saat pikiranku tiba-tiba berubah dan ingin menikahi Adik Yilin, lantas bagaimana? Bukankah urusan ini menjadi runyam? Bukankah kau malah merugikan kami berdua?”
“Kaum persilatan seperti kita harus berpikiran terbuka, bicara tegas, dan cepat memutuskan,” sahut si nenek. “Sekali kau mengambil keputusan, mana boleh untuk selanjutnya berubah pikiran seperti itu? Mau jadi biksu ya jadilah biksu, mau jadi kasim ya jadilah kasim. Bagaimana bisa seorang laki-laki sejati bersikap menjijikkan macam demikian?”
“Kalau aku menjadi kasim, tentunya sudah tidak dapat disebut laki-laki sejati lagi,” ujar Linghu Chong sambil tertawa.
“Persetan!” bentak si nenek. “Kita ini sedang bicara urusan penting, bukan sedang bergurau, kau tahu?”
Linghu Chong menyeringai sambil merenung, “Adik Yilin cantik dan lembut. Perasaannyaa kepadaku juga sangat mendalam. Bila ia menjadi istriku tentu ini suatu kebahagiaan tersendiri. Tapi hatiku sudah menjadi milik Yingying, mana boleh aku mengingkari dia? Nenek gila ini memaksaku secara kasar. Seorang kesatria meski harus mati juga tidak boleh menyerah.”
Karena berpikir demikian maka ia pun menjawab, “Nenek tua, coba kau jawab dulu pertanyaanku. Seorang laki-laki yang tidak berperasaan, tidak beriman, suka main perempuan, menurutmu orang seperti ini baik atau tidak?”
“Kenapa harus bertanya lagi? Orang seperti itu sudah tentu lebih kotor daripada babi, lebih rendah daripada anjing. Percuma saja dia menjadi manusia,” jawab si nenek.
“Nah, itu dia,” sahut Linghu Chong. “Adik Yilin seorang gadis cantik, sangat baik pula terhadapku. Bagaimana mungkin aku tidak senang mendapatkan dia? Masalahnya sudah lama aku menjalin kasih dengan seorang nona lain. Nona ini telah menanam budi mahabesar atas diriku. Seandainya diriku kau cincang hingga hancur luluh juga tidak mungkin aku mengingkarinya. Sebab kalau aku sampai mengingkarinya, bukankah aku akan berubah menjadi manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia yang paling doyan perempuan? Bukankah gelar nomor satu yang diperoleh Biksu Bujie itu akan kurebut?”
“Nona yang kau maksudkan itu tentu Nona Ren dari aliran sesat. Dia pasti gadis yang pernah menolongmu saat kau dikepung pasukan aliran sesat di jembatan gantung waktu itu, bukan?” tanya si nenek.
“Benar, memang dia orangnya. Kau sendiri juga melihatnya,” kata Linghu Chong.
“Mudah sekali kalau begitu,” ujar si nenek. “Akan kusuruh Nona Ren itu membuang dirimu. Anggap saja dia yang mengingkarimu dan bukan kau yang mengingkari dia.”
“Dia takkan mungkin mengingkari diriku. Dia sudi menyelamatkan aku tanpa menghiraukan keselamatan dirinya sendiri. Sudah tentu aku pun rela berkorban untuknya. Aku takkan pernah mengingkari dia dan dia pun sudah pasti takkan mengkhianati aku.”
“Kalau urusan sudah mendesak, kurasa ia pun takkan bisa berbuat apa-apa,” ujar si nenek. “Di Lembah Tong Yuan sana banyak terdapat laki-laki busuk. Dia bisa mencari salah seorang untuk menjadi suaminya.”
“Omong kosong!” damprat Linghu Chong gusar.
“Apa kau kira aku tidak bisa melakukan hal ini?” tanya si nenek. Perempuan tua itu lantas melangkah keluar. Terdengar pintu kamar sebelah terbuka, lalu ia kembali dengan membawa seorang perempuan muda dengan kaki dan tangan terikat ke belakang. Gadis yang dibawanya itu tidak lain adalah Ren Yingying.
Seketika Linghu Chong sangat terkejut. Sama sekali tak disangka olehnya bahwa Ren Yingying pun jatuh pula ke dalam cengkeraman si nenek. Namun ia merasa lega ketika melihat keadaan gadis itu baik-baik saja tanpa terluka sedikit pun.
“Kau pun berada di sini, Yingying?” serunya.
“Ya. Aku sudah mendengar seluruh percakapan kalian,” sahut Ren Yingying dengan tersenyum. “Kau menyatakan takkan mengingkari diriku, sungguh aku merasa sangat senang.”
“Di hadapanku tidak boleh bicara hal-hal yang memalukan seperti ini,” bentak si nenek. “Nona cilik, katakan saja terus terang. Kau ingin dia menjadi biksu atau kasim”
Wajah Ren Yingying langsung bersemu merah dan ia menjawab, “Huh, bicaramu benar-benar tidak tahu malu.”
“Aku sudah memikirkan hal ini dengan cermat. Aku pun percaya bocah Linghu Chong ini sukar meninggalkanmu untuk menikahi Yilin,” kata si nenek.
“Bagus sekali! Sejak kau mulai bicara kembali, hanya ucapan inilah yang paling baik,” sorak Linghu Chong.
“Baiklah, aku akan mengatakan hal yang lebih baik lagi,” kata si nenek. “Aku mau mengalah sedikit, dan mengenakkan bocah Linghu Chong ini. Biarlah dia menikahi kalian berdua sekaligus. Dia bisa menjadi biksu dan memiliki dua istri. Kalau dia menjadi kasim jelas tidak mungkin menikahi siapa-siapa. Hanya saja, sesudah kalian menikah, kau tidak boleh menyakiti anak perempuanku. Kalian sama-sama sederajat. Tidak ada yang namanya istri tua atau istri muda. Namun karena usiamu lebih tua, makaYilin boleh memanggil ‘kakak’ kepadamu.”
“Tapi aku….” baru saja Linghu Chong hendak bicara, tahu-tahu si nenek sudah menotok titik bisunya.
Menyusul kemudian si nenek lantas menotok pula titik bisu Ren Yingying, lalu berkata, “Sekali aku sudah mengambil keputusan, maka kalian tidak punya hak bicara lagi. Hm, apa kau tidak senang, dalam sekaligus mendapatkan dua istri yang cantik jelita? Si bangsat gundul Bujie itu sungguh tidak becus. Anak perempuannya sakit rindu, tapi dia cuma gelisah dan kelabakan tanpa daya. Sebaliknya aku hanya turun tangan sedikit saja segala urusan langsung beres.”
Usai berkata demikian perempuan tua itu segera melangkah pergi.
Linghu Chong dan Ren Yingying hanya saling pandang sambil menyeringai. Untuk bicara mereka tidak dapat, untuk memberi isyarat juga tidak bisa bergerak.
Sementara itu matahari baru saja terbit di ufuk timur. Sinarnya yang hangat memancar masuk melalui jendela. Linghu Chong menatap wajah Ren Yingying yang cantik memesona. Dilihatnya sinar mata si nona sedang menatap pisau cukur yang terlempar di lantai serta botol obat dan kain pembalut yang terletak di atas bangku. Raut mukanya berseri-seri, jelas ia sedang menertawai Linghu Chong yang nyaris dikebiri. Namun sorot mata gadis itu segera beralih dan kepalanya menunduk dengan wajah bersemu merah. Sepertinya ia merasa malu karena urusan demikian tidak pantas untuk diucapkan, bahkan untuk dipikirkan.
Melihat wajah si nona yang rikuh dan malu itu, tanpa terasa jantung Linghu Chong berdebar kencang. Terpikir olehnya, “Andai saja saat ini tubuhku dapat bergerak bebas, sungguh aku ingin memeluk dan menciumnya. Sungguhpun dia merasa malu juga tetap tidak bisa mengelak.”
Dilihatnya sinar mata Ren Yingying perlahan menggeser ke arahnya. Ketika sinar mata keduanya bertemu, lekas-lekas Ren Yingying berpaling. Warna merah di pipinya tadi sebenarnya sudah memudar tapi kini mendadak timbul kembali.
Dalam benak Linghu Chong terlintas pikiran, “Cintaku terhadap Yingying suci dan teguh. Selamanya takkan pernah berubah. Tapi kalau nenek gila itu memaksaku menikahi Adik Yilin, maka aku harus pura-pura menurutinya. Apabila totokanku sudah terbuka dan aku sudah memegang senjata, maka aku takkan gentar lagi padanya. Bagaimanapun hebatnya nenek jahat ini kalau dibandingkan Zuo Lengcahan atau Ketua Ren jelas masih kalah jauh. Apalagi dalam ilmu pedang sudah tentu dia bukan tandinganku. Kehebatannya hanya terletak dalam hal kegesitan dan menyergap secara tiba-tiba. Namun kalau benar-benar bertarung secara terang-terangan, aku yakin Yingying dapat mengalahkannya. Dalam hal kekuatan tenaga juga masih kalah melawan Biksu Bujie.”
Usai berpikir demikian, sekilas dilihatnya Ren Yingying sedang memandangnya lagi. Hanya saja saat ini si nona tidak lagi malu-malu. Sepertinya ia sudah tidak memikirkan soal kasim segala. Sorot mata gadis itu beralih ke atas dengan bibir tersenyum simpul. Rupanya ia sedang menertawai kepala Linghu Chong yang gundul licin.
Linghu Chong sendiri ingin tertawa, namun mulutnya entah mengapa tidak dapat mengeluarkan suara. Dilihatnya Ren Yingying bertambah geli. Tiba-tiba bola mata gadis itu tampak mengerling aneh, seolah memperlihatkan raut muka yang nakal. Ia menampilkan wajah mengejek lalu mengedipkan mata kirinya sekali, kemudian sekali lagi.
Linghu Chong tidak paham apa maksud gadis itu. Dilihatnya si nona kembali berkedip dua kali. Akhirnya Linghu Chong pun berpikir, “Dia berkedip dua kali, apa maksudnya? Ah, aku tahu. Tentu dia sedang mengejek aku yang dipaksa menikahi dua istri.”
Segera ia pun membalas main mata dengan mengedipkan mata kiri satu kali sambil memperlihatkan sikap yang tegas, seolah hendak mengatakan. “Aku hanya menikah denganmu seorang saja. Aku tidak akan pernah mengambil istri kedua.”
Namun Ren Yingying tampak menggeleng perlahan sambil mata kiri mengedip satu kali. Linghu Chong balas menggeleng. Ia bermaksud menggelengkan kepala lebih keras untuk menunjukkan tekadnya yang kuat, namun sekujur tubuhnya tertotok terlalu banyak, sukar mengeluarkan tenaga. Terpaksa ia hanya memperlihatkan sikap dan raut muka sungguh-sungguh dan setulus hati.
Ren Yingying terlihat mengangguk perlahan. Sorot matanya kini beralih ke tempat pisau cukur yang tergeletak di lantai. Perlahan ia menggeleng kembali, seolah hendak mengatakan, “Aku tahu tekadmu. Tapi tolong diingat, jangan-jangan kau akan dikebiri oleh pisau cukur itu.”
Linghu Chong tidak menanggapi. Ia hanya menatap tajam kepada si nona. Sinar mata Ren Yingying kemudian juga bergeser dan keduanya saling pandang kembali.
Jarak kedua muda-mudi itu sekitar dua-tiga meter. Namun dengan saling pandang entah bagaimana dua pasang mata mereka dapat saling berbicara. Keduanya merasa satu hati dan saling memahami perasaan masing-masing. Tidak ada lagi rasa bimbang dalam hati mereka. Menikahi Yilin atau tidak bukan lagi masalah penting. Menjadi biksu atau kasim bukan lagi masalah penting. Bahkan, hidup atau mati juga bukan lagi masalah penting. Bagi mereka asalkan kedua hati telah bersatu, masing-masing sudah merasa puas. Sekalipun hari itu langit runtuh dan bumi hancur juga takkan merusak perasaan bahagia mereka.
Kedua muda-mudi itu saling pandang dengan mesra. Entah sudah berapa lama waktu berlalu tiba-tiba terdengar suara tangga loteng berbunyi. Begitu mendengar ada orang yang datang seketika suasana mesra di antara kedua orang itu mulai buyar dan mereka pun terbangun dari alam bahagia yang tak bertepi itu.
Terdengar suara seorang perempuan muda berkata, “Nenek bisu, untuk apa kau bawa aku kemari?” Suara ini jelas suara Yilin.
Linghu Chong dan Ren Yingying lantas mendengar dua orang memasuki ruang sebelah dan duduk di sana. Terdengar suara si nenek berkata perlahan, “Jangan lagi kau memanggil aku nenek bisu. Aku sama sekali tidak bisu.”
“Hahh, jadi… jadi… kau tidak… tidak bisu? Apa kau sudah sembuh?” seru Yilin dengan perasaan sangat terkejut.
“Selamanya aku bukan seorang bisu,” sahut si nenek.
“Jika begitu kau pun… kau pun tidak tuli. Jadi kau… kau dapat mendengar… mendengar semua ceritaku?” sahut Yilin menegas. Nada suaranya memperlihatkan rasa kaget dan heran tak terhingga.
“Kenapa kau takut, Nak?” kata si nenek. “Jika aku dapat mendengar ucapanmu bukankah itu lebih baik?”
Untuk pertama kalinya Linghu Chong mendengar nada ucapan perempuan tua itu sangat lembut, penuh dengan kasih sayang. Ini menunjukkan hatinya tidak sekeras batu. Di depan putri kandung sendiri akhirnya mengalir juga perasaan hangat seorang ibu.
Namun Yilin masih sangat terperanjat. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Ti… tidak, aku… aku pergi saja!”
“Nanti dulu, duduklah sebentar saja,” kata si nenek mencegah. “Aku ingin membicarakan suatu hal penting denganmu.”
“Tidak, aku… aku tidak mau dengar,” jawab Yilin. “Kau… kau telah menipuku. Selama ini kusangka kau tidak dapat mendengar, maka itu…. maka itu aku bercerita macam-macam padamu. Ternyata… ternyata kau menipu aku.” Suaranya terdengar serak dan terputus-putus. Sepertinya ia hampir menangis.
Perlahan si nenek menepuk bahu Yilin dan berkata lembut, “Anak baik, anak manis, jangan khawatir. Aku tidak berniat menipumu. Aku hanya khawatir kau jatuh sakit karena menahan perasaanmu, maka itu aku pun membiarkanmu bercerita agar hatimu lebih lapang. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di Gunung Henshan ini, aku sudah menyamar sebagai seorang bisu tuli. Ini karena suatu alasan pribadi, jadi bukan untuk menipumu saja.”
Yilin menangis tersedu-sedu. Dengan lembut si nenek kembali berkata, “Aku hendak membicarakan suatu urusan penting denganmu. Setelah mendengarnya tentu kau akan senang.”
“Apakah soal ayahku?” tanya Yilin.
“Tentang ayahmu? Huh, persetan dia mampus atau hidup,” sahut si nenek. “Yang akan kubicarakan adalah mengenai Kakak Linghu-mu.”
“Tidak. Jang… jangan kau sebut-sebut dia lagi. Aku… aku tidak mau bicara tentang dia lagi untuk selamanya,” jawab Yilin dengan suara terputus-putus. “Sudahlah, aku mau pulang untuk sembahyang.”
“Jangan, tunggu dulu. Dengarkan dulu uraianku,” kata si nenek. “Kakak Linghu-mu bilang padaku bahwa sesungguhnya dalam hati dia sangat menyukaimu. Dia jauh lebih menyukaimu daripada Nona Ren dari aliran sesat. Boleh dikata puluhan kali ia lebih suka kepadamu daripada terhadap tuan putri aliran sesat itu.”
Linghu Chong memandang sekejap kepada Ren Yingying. Dalam hati ia memaki, “Perempuan tua bangka. Pembohong besar nomor satu di dunia!”
Sementara itu terdengar Yilin menghela napas lalu berkata, “Kau tidak perlu berdusta padaku. Ketika pertama kali aku mengenalnya, Kakak Linghu hanya menyukai adik seperguruannya seorang. Kemudian sesudah adik seperguruannya itu meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, ia lantas menyukai Nona Ren seorang. Dalam lubuk hatinya kini hanya Nona Ren saja yang ia cintai.”
Kembali sinar mata Linghu Chong beradu pandang dengan Ren Yingying. Hati keduanya sama-sama merasa berbunga-bunga dan sangat bahagia.
Terdengar si nenek berkata, “Sebenarnya diam-diam dia sangat menyukaimu, hanya saja kau ini seorang biarawati. Lagipula dia juga ketua Perguruan Henshan, sehingga tidak dapat mengutarakan isi hatinya dengan bebas. Tapi kini dia sudah mengambil keputusan, sudah menetapkan niat, sudah bertekad bulat akan menikahimu. Sebab itulah dia lantas mencukur rambut dan menjadi biksu.”
“Hahhh!” kembali Yilin menjerit kaget. “Tidak… tidak bisa demikian! Tidak… tidak boleh demikian! Tolong kau suruh… suruh dia jangan menjadi biksu.”
“Sudah terlambat,” sahut si nenek dengan nada menyesal. “Kini dia sudah menjadi biksu. Katanya, bagaimanapun juga dia harus memperistri dirimu. Kalau gagal, maka dia akan bunuh diri atau menjadi kasim saja.”
“Menjadi kasim?” Yilin menegas. “Kasim itu apa? Kata Guru istilah kasim tidak baik untuk diucapkan.”
Si nenek menjawab, “Kasim bukan istilah kotor. Kasim adalah pelayan kaisar dan keluarga istana, semacam kaum hamba sahaya yang tidak terhormat.”
“Tapi Kakak Linghu seorang yang menjunjung harga diri, seorang yang suka hidup bebas. Mana mungkin ia sudi menjadi pelayan kaisar?” ujar Yilin. “Bahkan menjadi kaisar sekalipun dia tidak mungkin mau, apalagi menjadi pelayan kaisar. Aku yakin tidak mungkin dia menjadi kasim.”
Si nenek menjawab, “Bukan maksudku seperti itu. Istilah kasim aku gunakan hanya sebagai perumpamaan saja. Maksudku, orang yang sudah menjadi kasim selama hidupnya tidak bisa mempunyai anak lagi.”
“Ah, aku tidak percaya,” kata Yilin. “Kakak Linghu dan Nona Ren akan segera menikah. Mereka pasti akan memiliki beberapa bayi yang mungil. Mereka berdua pasangan serasi. Yang satu tampan dan yang satu cantik. Pasti anak-anak mereka juga lucu dan menyenangkan.”
Linghu Chong melirik Ren Yingying. Dilihatnya kedua belah pipi si nona bersemu merah. Rasa malu dan bahagia bercampur di dalam hati gadis itu.
Sepertinya si nenek menjadi gusar. Terdengar suaranya berubah keras, “Sekali aku berkata dia tidak bisa punya anak, maka dia takkan punya anak. Jangankan anak, punya istri juga tidak bisa. Dia sudah terikat sumpah, mau tidak mau harus menikah denganmu.”
“Tapi aku tahu dia hanya mencintai Nona Ren seorang,” ujar Yilin.
“Dia bisa menikahi Nona Ren dan juga menikahimu, paham?” kata si nenek. “Jadi, dia akan punya dua istri. Jangankan hanya dua, bahkan sudah biasa laki-laki di dunia ini memiliki beberapa istri dan banyak gundik.”
“Ah, tidak bisa, tidak bisa,” kata Yilin. “Dalam hati seseorang kalau sudah mencintai siapa, maka yang dia pikirkan juga cuma orang itu saja. Siang terpikir malam terkenang. Saat makan ia teringat, kala tidur juga terbawa mimpi. Mana mungkin ada tempat lain di hatinya untuk orang kedua? Sama seperti Ayah. Sejak Ibu meninggalkannya, maka ia pun berkelana menjelajahi segenap pelosok dunia untuk mencari. Di dunia ini masih banyak wanita lain. Kalau seorang laki-laki boleh mempunyai dua istri mengapa Ayah tidak menikah lagi dengan perempuan lain?”
Seketika nenek itu terdiam. Cukup lama ia tidak bersuara karena kata-kata Yilin itu tepat mengena di hatinya. Akhirnya setelah menghela napas, ia kembali berkata, “Semula ayahmu berbuat salah. Mungkin kemudian dia… dia merasa menyesal.”
“Sudahlah, aku pulang saja,” kata Yilin. “Nenek, bila kau bicara pada orang lain bahwa Kakak Linghu ingin menikahi aku, maka aku tidak… tidak mau hidup lagi.”
“Kenapa? Dia memang ingin menikahimu, apakah kau tidak senang?” tanya si nenek.
“Tidak, tidak!” jawab Yilin. “Hatiku memang senantiasa memikirkannya. Aku selalu berdoa agar dia diberkati hidup bahagia dan sehat selalu. Semoga dia bebas dari segala kesulitan dan lepas dari bencana. Semoga terkabul cita-citanya menjadi suami-istri dengan Nona Ren. Mungkin kau tidak paham isi hatiku. Nenek, aku hanya berharap asalkan Kakak Linghu merasa senang, merasa bahagia, maka aku pun akan ikut merasa senang dan bahagia.”
“Jika dia tidak berhasil menikahimu, maka sudah pasti dia takkan senang dan takkan bahagia. Menjadi manusia mungkin juga tidak ada artinya lagi,” ujar si nenek bersikeras.
“Ah, semua ini memang salahku. Kukira kau tidak dapat mendengar, maka aku banyak bercerita soal Kakak Linghu kepadamu,” kata Yilin. “Dia seorang pahlawan besar pada zaman ini, sementara aku hanya seorang biksuni cilik yang tak berarti. Dia pernah berkata padaku bahwa setiap kali bertemu biksuni, selalu saja ia kalah judi. Melihat aku saja sudah membuatnya sial, mana bisa dia menikahi aku? Aku sudah menyerahkan jiwa ragaku ke dalam agama Buddha. Aku harus menghilangkan segala keinginan duniawi. Aku tidak dapat memikirkan hal-hal seperti itu lagi. Nenek, untuk selanjutnya kau jangan lagi menyinggung-nyinggung masalah ini. Untuk selanjutnya aku pun tidak akan… tidak akan menemuimu lagi.”
Sepertinya si nenek menjadi kelabakan. Ia berkata, “Kau bocah cilik berkelakuan aneh dan membingungkan. Linghu Chong sudah menjadi biksu demi dirimu. Dia sudah bersumpah harus menikahimu. Bila Sang Buddha murka biarlah dia yang mendapat murka.”
Yilin menghela napas dan berkata, “Apakah mungkin dia punya jalan pikiran seperti ayahku? Tidak mungkin. Ibuku cantik dan cerdas. Perangainya halus dan ramah. Boleh dikata ia adalah wanita paling baik di dunia ini. Ayahku menjadi biksu demi ibuku adalah hal yang pantas. Tapi aku… aku sedikit pun tidak bisa menyamai ibuku. Mana mungkin Kakak Linghu...”
Dalam hati Linghu Chong tertawa geli. Ia berpikir, “Ibumu cantik dan cerdas, rasanya kurang tepat. Perangainya halus, sangat-sangat tidak benar. Justru sebaliknya, sedikit pun ibumu tidak bisa menyamaimu.”
Terdengar si nenek kembali bertanya. “Dari mana kau tahu?”
“Tentu saja aku tahu,” sahut Yilin. “Setiap kali Ayah bertemu denganku, selalu saja ia bercerita tentang kebaikan Ibu, tentang budi pekerti Ibu yang halus pula. Selamanya Ibu tidak pernah marah dan memaki orang. Selama hidup Ibu tidak pernah menyakiti orang, bahkan seekor semut pun tidak pernah terinjak olehnya. Kata Ayah meskipun seluruh wanita terbaik di dunia ini bergabung menjadi satu juga tidak bisa menyamai ibuku seorang.”
“Be… betulkah dia berkata demikian? Ah… mungkin… mungkin dia hanya berpura-pura,” kata si nenek dengan suara gemetar, jelas perasaannya agak terguncang.
“Sudah tentu benar,” sahut Yilin. “Aku adalah anak perempuannya, mana mungkin Ayah berdusta padaku?”
Seketika suasana di Loteng Kura-kura Dewa itu menjadi sunyi senyap. Rupanya si nenek tenggelam dalam perasaannya.
“Nenek, aku mau pulang,” kata Yilin kemudian. “Selanjutnya aku takkan menemui Kakak Linghu lagi. Au hanya berdoa setiap hari semoga Dewi Guanyin selalu melimpahkan berkah kepadanya.” Kemudian terdengar suara langkah kakinya perlahan turun ke bawah.
Selang agak lama barulah si nenek seperti tersadar dari lamunan. Terdengar ia bergumam perlahan, “Apa benar dia mengatakan bahwa aku adalah wanita paling baik di dunia? Dia telah menjelajahi segenap penjuru dunia demi untuk mencariku? Jika begitu, dia bukan lagi manusia yang tak berperasaan, bukan manusia yang paling doyan perempuan.”
Tiba-tiba perempuan tua itu berseru keras, “Yilin, Yilin! Di mana kau?”
Namun Yilin sudah pergi jauh. Nenek itu berteriak lagi beberapa kali dan tidak juga mendapat suatu jawaban. Segera ia pun berlari-lari ke bawah loteng. Ia berlari dengan tergesa-gesa dan cepat, tapi suara langkahnya tetap terdengar sangat lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Ini pertanda ilmu meringankan tubuhnya memang sangat luar biasa.
Linghu Chong saling pandang dengan Ren Yingying. Seketika bermacam-macam pikiran berkecamuk dalam benak mereka. Sinar mentari yang memancar masuk melalui jendela membuat pisau cukur yang sangat tajam itu tampak berkilauan. Diam-diam Linghu Chong merasa bersyukur, “Tak pernah kusangka bencana yang hampir saja mengancam keselamatanku ini ternyata berakhir begitu saja.”
Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berbicara di bawah Kuil Gantung. Hanya saja karena jaraknya agak jauh maka percakapan itu tidak dapat terdengar jelas. Selang sejenak, barulah percakapan mereka samar-samar bisa didengar. Rupanya ada satu rombongan mendekati kuil tersebut.
“Ada yang datang!” sahut Linghu Chong.
Begitu mendengar suaranya sendiri seketika Linghu Chong sadar bahwa totokan pada titik bisunya telah terbuka. Di antara berbagai titik nadi pada tubuh manusia, titik bisu memang yang paling dangkal dan cepat terbuka jika mengalami totokan. Apalagi tenaga dalam Linghu Chong jauh lebih kuat daripada Ren Yingying, sehingga dapat melepaskan diri lebih dulu dari totokan tersebut.
Ren Yingying mengangguk perlahan. Segera Linghu Chong bermaksud menggerakkan tangan dan kaki, namun ternyata masih belum terbebas. Terpaksa ia berkata dengan suara tertahan, “Mungkin mereka musuh. Kita harus segera melepaskan semua totokan pada tubuh kita.”
Kembali Ren Yingying mengangguk sambil memasang telinga untuk mendengarkan. Dari suara di bawah itu sepertinya ada tujuh atau delapan orang yang telah tiba di Kuil Gantung.
Linghu Chong berpikir, “Semoga mereka naik ke Loteng Ular Sakti di sebelah sana.”
Akan tetapi harapan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Beberapa orang itu justru menaiki tangga yang menuju ke atas Loteng Kura-kura Dewa.
Terdengar seseorang di antara mereka berkata dengan suara kasar, “Bahkan hantu pun tidak ada di Kuil Gantung ini. Lantas, apa pula yang harus hendak kita cari?”
Linghu Chong mengenali suara tersebut adalah suara Qiu Songnian. Jelas yang datang ke tempat itu adalah kelompok Nyonya Zhang bertujuh.
Menyusul Biksu Xibao berkata, “Kita mendapat perintah seperti ini, lebih baik dijalani saja.”
Linghu Chong mengerahkan tenaga dalam sebanyak-banyaknya untuk menerjang totokan pada tubuhnya yang belum terbuka. Akan tetapi tenaga dalamnya itu diperoleh dari menghisap orang lain, sehingga meskipun sangat kuat, namun tidak dapat digunakan secara leluasa. Semakin terburu-buru ternyata semakin macet pula.
Sementara itu terdengar Yan Sanxing berkata, “Tuan Yue berkata bahwa, jika kita berhasil melaksanakan tugas ini, maka Beliau akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis kepada kita. Ucapannya ini memang sukar dipercaya. Coba kalian pikir, orang yang berjuang ke Gunung Henshan ini tidak terhitung banyaknya. Kita belum berjasa apa-apa, tapi mengapa Tuan Yue berjanji akan menurunkan jurus pedang itu kepada kita?”
Suara percakapan mereka terdengar semakin jelas. Rupanya mereka telah melalui anak tangga yang menuju Loteng Kura-kura Dewa. Maka begitu membuka pintu seketika mereka melihat Linghu Chong dan Ren Yingying tergantung di atas balok belandar dengan kaki dan tangan terikat ke belakang. Menyaksikan itu semua masing-masing menjerit kaget bercampur heran.
“Hei, mengapa Nona Ren berada di sini? Hei, ada seorang biksu pula,” kata You Xun. Rupanya yang datang tidak hanya kelompok Nyonya Zhang bertujuh, karena si manusia licin juga ikut serta.
“Siapa yang berani kurang ajar terhadap Nona Ren?” seru Nyonya Zhang. Segera ia pun mendekati Ren Yingying dan bermaksud melepaskan tali ikatannya.
“Jangan, jangan dulu, Nyonya Zhang!” seru You Xun.
“Tunggu apa lagi?” tanya Nyonya Zhang.
“Biar kupikirkan dulu masak-masak,” sahut You Xun. “Melihat gelagatnya, tampaknya Nona Ren diringkus orang sehingga tidak bisa berkutik. Ini benar-benar kejadian aneh dan ajaib.”
“Hei, orang ini bukan biksu. Tapi dia adalah… adalah… Ketua Linghu, Tuan Muda Linghu Chong!” tiba-tiba Pendeta Yuling berseru kaget.
(Bersambung)
Bagian 78 ; Bagian 79 ; Bagian 80