Bagian 12 - Pertempuran di Rumah Pelacuran

Tian Boguang berseru, “Hei, gadis kecil, siapa namamu?”
“Sebaiknya kau tidak perlu menanyakan itu,” sahut Qu Feiyan sambil tertawa. “Jika kau tetap diam, maka gurumu tidak akan mempersoalkan lagi masalah perjanjian kemarin.”
Merasa tidak ada gunanya bertanya, Tian Boguang pun diam seketika.
Yilin buru-buru berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini secepatnya!”
“Tapi kau belum mengobati orang itu,” sahut Qu Feiyan. “Bukankah ada yang hendak kau tanyakan kepadanya? Tapi, kalau kau memang takut gurumu tidak senang, maka kau boleh pergi. Tidak ada ruginya bagiku.”
Yilin terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Aku sudah terlanjur masuk ke sini. Sebaiknya... sebaiknya kita segera pergi menemui orang itu.”
Qu Feiyan tersenyum dan melangkah mendekati sisi ranjang. Di situ ia mendorong dinding kamar sebelah timur. Perlahan-lahan, sebuah pintu rahasia terbuka di salah satu bagian dinding. Gadis kecil itu kemudian mengajak Yilin masuk ke dalamnya.
Yilin merasa rumah pelacuran tersebut benar-benar aneh. Untungnya, Tian Boguang berada di dalam kamar sebelah barat. Yilin merasa semakin jauh dari penjahat cabul itu tentu akan semakin baik. Maka, ia pun memberanikan diri berjalan mengikuti Qu Feiyan memasuki lorong gelap di balik pintu rahasia tersebut.
Di ujung lorong rahasia terdapat sebuah kamar yang lebih sempit dan gelap gulita. Di dalam kamar itu terdapat sebuah ranjang dengan kelambu tertutup serta sebuah jendela. Samar-samar Yilin mengetahui kalau ada seseorang tidur di atas ranjang tersebut. Menyadari hal itu, ia hanya berhenti di pintu sementara Qu Feiyan sudah masuk ke dalam.
“Kakak, masuklah kemari. Ini adalah orang yang harus kau obati dengan Salep Penghubung Kahyangan,” ujar Qu Feiyan memanggil.
“Apakah dia benar-benar tahu di mana jasad Kakak Linghu berada?” tanya Yilin ragu-ragu.
“Mungkin tahu, mungkin juga tidak.” sahut Qu Feiyan ringan. “Aku tidak berani menjamin.”
“Tapi... tapi kau tadi berkata dia mengetahuinya,” ujar Yilin dengan nada kesal.
“Aku ini bukan laki-laki sejati. Aku tidak punya keharusan untuk menepati ucapanku,” sahut Qu Feiyan sambil tertawa. “Sekarang begini saja; kau boleh mengobatinya, boleh tidak. Kalau tidak mau silakan pergi dari sini. Tidak ada seorang pun yang akan merintangimu.”
Yilin terdiam. Mengingat ini adalah peluang untuk menemukan jasad Linghu Chong, maka ia pun menjawab, “Baiklah, aku akan mengobati lukanya.”
Biksuni muda itu lantas kembali ke kamar pertama untuk mengambil lilin. Setelah itu ia berjalan lagi menyusuri lorong rahasia dan masuk ke dalam kamar sempit tadi. Perlahan-lahan ia mendekati tempat tidur dan menyingkap kelambu. Tampak seorang laki-laki tertidur dengan wajah ditutupi sehelai sapu tangan berwarna hijau. Menyadari orang itu tidak bisa melihat dirinya, Yilin pun merasa lebih leluasa.
“Bagian mana yang terluka?” tanya Yilin kepada Qu Feiyan.
“Coba lihat dadanya,” sahut Qu Feiyan. “Lukanya sangat dalam, hampir saja mengenai jantung.”
Perlahan-lahan Yilin membuka selimut yang menutupi tubuh orang itu. Tampak sebuah luka cukup lebar terdapat di dadanya. Darah sudah berhenti namun bisa saja kambuh sewaktu-waktu. Keadaan orang ini begitu parah. Dalam hati Yilin berkata, “Tidak peduli siapa dia, aku harus segera menolongnya.”
Setelah menyerahkan lilin di tangannya kepada Qu Feiyan, Yilin lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik bajunya. Di dalam kotak itu tersimpan Salep Penghubung Kahyangan, obat luka buatan Perguruan Henshan yang sangat mujarab. Setelah membuka kotak dan meletakkannya di atas meja dekat ranjang, ia pun mengoleskan salep tersebut di sekitar luka orang itu.
Terdengar Qu Feiyan berkata lirih, “Beberapa titik nadi orang ini sudah ditotok untuk menghentikan pendarahan. Jika tidak, mungkin sekarang dia sudah mati.”
Yilin mengangguk. Orang itu memang sudah dalam keadaan tertotok sehingga darahnya berhenti mengucur. Ia lantas mengambil kapas yang menutup luka orang itu. Seketika darah kembali memancar keluar. Untungnya, Yilin pernah belajar mengobati luka dari kakak seperguruannya. Dengan tangan kiri ia menekan luka itu, kemudian dengan tangan kanan ia mengoleskan Salep Penghubung Kahyangan tepat pada luka tersebut. Kemudian, ia kembali meletakkan sejumlah kapas di atasnya.
Salep Penghubung Kahyangan merupakan harta pusaka Perguruan Henshan. Obat ini sangat manjur karena dibuat dari bahan-bahan bermutu tinggi dengan resep yang sangat dirahasiakan. Sekali obat ini dioleskan, luka akan langsung mengering dan pendarahan berhenti dalam waktu singkat.
Samar-samar terdengar suara napas orang itu, pertanda ia sudah mulai terjaga dan keadaannya membaik. Yilin pun memberanikan diri untuk bertanya, “Tuan, apakah kau sudi memberikan sedikit keterangan padaku?”
Tiba-tiba Qu Feiyan sedikit memiringkan badannya sehingga lilin di tangannya bergoyang-goyang dan api pun padam. Seketika ruangan sempit tersebut kembali kehilangan penerangan.
“Aduh, maaf! Lilinnya padam,” seru gadis kecil itu dengan sikap polos.
Suasana begitu gelap sampai-sampai Yilin tidak dapat melihat jari tangannya sendiri. Hatinya merasa gugup. Diam-diam ia berpikir, “Tempat ini sangat gelap. Tidak sepantasnya seorang biksuni seperti aku berada di sini bersama seorang pria; apalagi di dalam sebuah rumah pelacuran. Setelah mengetahui kabar tentang jasad Kakak Linghu, aku harus segera pergi.”
Maka dengan suara gemetar ia kembali bertanya, “Tuan, apakah keadaanmu sudah lebih baik?”
Orang itu tidak menjawab, hanya merintih perlahan.
“Rupanya ia masih demam. Coba kau pegang dahinya, panasnya bukan main,” kata Qu Feiyan sambil memegang tangan Yilin dan menyentuhkannya pada dahi pria tersebut. Sebelumnya, Qu Feiyan sudah menyingkirkan sapu tangan yang menutupi wajah orang itu. Namun, keadaan begitu gelap sehingga Yilin tetap tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Yilin merasa dahi orang itu benar-benar panas seperti terbakar. Rasa kasihan langsung timbul dalam hatinya. Ia lalu berkata, “Aku masih punya obat yang lain. Tolong nyalakan lilinnya.”
“Baik, aku akan mengambil pemantik api,” jawab Qu Feiyan sambil melangkah pergi.
Dengan cepat Yilin menarik lengan baju gadis itu dan berkata, “Jangan tinggalkan aku sendirian di sini.”
Qu Feiyan tertawa dan berkata, “Kalau begitu keluarkan saja obatmu sekarang.”
Yilin pun mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dari balik bajunya dan menuangkan tiga butir pil, lalu berkata, “Ini adalah Pil Empedu Beruang Putih. Kau saja yang memberikan kepadanya.”
“Dalam keadaan gelap begini, sayang sekali kalau obatmu sampai jatuh ke lantai dan hilang,” jawab Qu Feiyan. “Ini menyangkut nyawa seseorang. Kakak, jika kau takut berada di dalam kamar ini, maka sebaiknya kau saja yang pergi mencari pemantik api.”
Di satu sisi Yilin merasa takut berada di dalam kamar gelap bersama seorang laki-laki tidak dikenal, namun di sisi lain ia juga takut berkeliaran sendiri di dalam sebuah rumah pelacuran. Maka, biksuni muda itu pun menjawab, “Tidak, tidak... aku tidak mau pergi.”
“Jika kau berniat menolong nyawa seseorang, maka kau tidak boleh melakukannya dengan setengah-setengah,” ujar Qu Feiyan. “Kakak yang baik, masukkan saja obatmu ke dalam mulutnya, lalu minumkan teh dalam cangkir ini untuk membantu dia agar mudah menelan. Keadaan kamar ini gelap gulita; kenapa kau harus takut dia mengenalimu? Terimalah cangkir teh ini, jangan sampai tumpah.”
Perlahan-lahan Yilin meraba tangan Qu Feiyan dan menerima cangkir teh tersebut. Dalam hati ia merenung, “Guru selalu mengajarkan kepadaku bahwa seorang pengikut Buddha harus mengutamakan sifat welas asih. Menolong satu nyawa jauh lebih mulia daripada membangun tujuh tempat ibadah. Meskipun orang ini tidak tahu di mana jasad Kakak Linghu berada, aku harus tetap mengobatinya.”
Perlahan-lahan Yilin menyentuh wajah pria itu dan merabanya sampai bertemu bagian mulut. Dimasukkannya ketiga butir Pil Empedu Beruang Putih di tangannya ke dalam mulut orang itu dan kemudian diminumkannya secangkir teh tadi sampai beberapa teguk. Samar-samar ia mendengar orang itu berkata lirih, “Terima... kasih.”
Yilin tertegun sejenak, kemudian kembali bertanya, “Tuan Pendekar, aku tahu lukamu sangat parah. Tidak sepantasnya aku mengganggu istirahatmu. Tapi, aku terpaksa harus bertanya sekarang juga. Apakah Tuan mengetahui di mana jasad Kakak Linghu Chong berada?”
“Jasad... jasad siapa?” sahut orang itu lirih. Suaranya menggumam tidak jelas.
“Jasad Pendekar Linghu Chong. Apakah kau mengetahuinya?” ujar Yilin sambil mendekatkan telinganya di depan mulut orang itu.
Orang itu kembali bergumam dengan suara tidak jelas. Yilin kembali mengulangi pertanyaan dengan lebih mendekatkan telinganya, namun orang itu bergumam semakin tidak jelas. Hanya suara napasnya yang terdengar naik turun. Sepertinya ia sudah berusaha keras menjawab pertanyaan Yilin namun suaranya tidak bisa dikeluarkan lagi.
Seketika Yilin teringat bahwa Salep Penghubung Kahyangan dan Pil Empedu Beruang Putih memiliki efek samping yang cukup keras selain khasiatnya yang manjur. Lebih-lebih, Pil Empedu Beruang Putih yang berguna mengobati luka dari dalam akan membuat si pengguna kehilangan kesadaran sampai beberapa jam. Menyadari hal ini diam-diam Yilin merasa malu. Tidak sepantasnya ia memaksakan diri bertanya demikian kepada orang itu. Perlahan ia menghela naspas lalu melangkah mundur dan berkata, “Biarlah dia beristirahat dulu. Akan kutunggu di sini.”
“Apa nyawa orang ini bisa diselamatkan?” tanya Qu Feiyan.
“Aku berharap demikian,” jawab Yilin. “Luka di dadanya terlalu dalam, hampir mengenai jantung. Nona Qu, sebenarnya.... siapa sebenarnya orang ini?”
Qu Feiyan tidak menjawab. Ia justru mengalihkan pembicaraan, “Ternyata benar apa yang dikatakan kakekku; kau ini belum bisa mengesampingkan urusan duniawi. Kau tidak seharusnya menjadi biksuni.”
Yilin terheran-heran dan bertanya, “Jadi, kakekmu mengenal aku? Bagaimana... bagaimana dia bisa mengetahui sifatku?”
Qu Feiyan menjawab, “Kemarin aku dan Kakek menyaksikan pertandingan antara Linghu Chong dan Tian Boguang di Rumah Arak Huiyan.”
“Oh, jadi yang duduk semeja denganmu kemarin adalah kakekmu?” ujar Yilin menegas.
“Benar sekali,” sahut Qu Feiyan. “Kakak Linghu-mu itu memang pandai bersilat lidah. Saat dia mengaku sebagai ahli silat sambil duduk nomor dua di dunia, Kakek sempat percaya dan penasaran ingin melihat sampai tuntas. Kakek ingin tahu bagaimana Jurus Pedang Kakus bisa mengalahkan Tian Boguang. Tidak tahunya, hahahaha!”
Meskipun keadaan gelap gulita, sehingga Yilin tidak bisa melihat dengan jelas wajah Qu Feiyan, namun ia dapat membayangkan gadis kecil itu sedang tertawa terpingkal-pingkal. Tentu saja ini membuat perasaannya bertambah sedih.
Qu Feiyan melanjutkan, “Setelah Tian Boguang meninggalkan tempat pertarungan, Kakek menyebutnya sebagai pengecut yang tidak dapat dipercaya. Jelas-jelas dia sudah kalah, tapi tidak mau menyembahmu sebagai guru. Bagaimana bisa dia kabur begitu saja dan mengingkari janjinya?”
“Kakak Linghu hanya main akal-akalan saja,” jawab Yilin. “Dia tidak menang dalam arti yang sebenarnya.”
Qu Feiyan menyahut, “Kakak Yilin, kau ini benar-benar baik. Meskipun Tian Boguang sudah berbuat jahat tapi kau masih saja membelanya.”
Yilin hanya terdiam tidak menjawab.
Qu Feiyan melanjutkan, “Setelah Kakak Linghu-mu saling bunuh dengan murid Qingcheng, kau segera menggendong tubuhnya meninggalkan rumah arak tanpa tujuan yang jelas. Waktu itu Kakek berkata: ‘Biksuni cilik ini mudah jatuh cinta. Aku khawatir kematian Linghu Chong bisa membuatnya gila. Mari kita ikuti dari belakang.’
Diam-diam kami pun mengikutimu yang berjalan entah ke mana. Kakek kembali berkata: ‘Feifei, coba kau lihat biksuni itu. Andai saja Linghu Chong tidak mati, tentu dia akan memelihara rambut dan menjadi istrinya.’”
Seketika wajah Yilin bersemu merah. Untungnya keadaan sangat gelap sehingga Qu Feiyan tidak bisa melihatnya.
“Kakak, apakah perkataan kakekku benar?” sahut Qu Feiyan bertanya.
“Aih, bukan begitu,” jawab Yilin. “Aku sungguh merasa bersalah karena menyebabkan kematian Kakak Linghu. Aku berharap bukan dia yang mati, tetapi diriku saja. Andai Sang Buddha bersedia mencabut nyawaku untuk menggantikan Kakak Linghu, aku rela. Asalkan Kakak Linghu bisa hidup kembali, meskipun harus masuk neraka paling dasar dan tidak dilahirkan kembali... aku beredia.”
Yilin mengucapkan sumpahnya dengan suara agak keras dan bersungguh-sungguh, sehingga orang yang terluka di atas ranjang itu pun terbangun dan merintih perlahan.
“Nona Qu, dia sudah bangun,” seru Yilin gembira. “Coba kau tanyakan apakah keadaannya sudah lebih baik?”
“Kenapa harus aku yang bertanya? Memangnya kau sendiri tidak punya mulut?” ujar Qu Feiyan.
Sejenak Yilin merasa ragu-ragu. Ia kemudian melangkah maju dan menyingkap kelambu. Perlahan ia bertanya, “Tuan, apakah...?”
Tiba-tiba orang itu kembali merintih. Yilin merasa belum saatnya untuk mengajukan pertanyaan. Maka itu, ia pun mundur kembali. Sayup-sayup terdengar napas orang itu mulai teratur, pertanda keadaannya sudah jauh lebih baik. Sepertinya ia kembali tertidur.
Qu Feiyan melanjutkan pembicaraan, “Kakak, mengapa kau rela mati demi Linghu Chong? Apakah dirimu benar-benar menyukainya?”
“Tidak, tidak!” sahut Yilin cepat. “Aku ini seorang biarawati, tidak boleh memikirkan urusan duniawi. Kakak Linghu dan aku sama sekali belum pernah bertemu, tapi... tapi dia rela mengorbankan nyawa demi untuk melindungi kehormatanku. Aku hanya... aku hanya merasa berhutang budi kepadanya.”
Qu Feiyan bertanya, “Lantas, apabila dia hidup kembali, apakah kau bersedia melakukan apa saja untuknya?”
“Tentu saja!” sahut Yilin. “Meskipun harus mati seribu kali aku tidak akan menolak.”
Tiba-tiba Qu Feiyan berseru dengan suara keras, “Kakak Linghu, kau dengar itu tidak? Kakak Yilin telah menyatakan perasaannya....”
“Nona Qu, kau jangan bercanda?” sela Yilin dengan perasaan gusar.
Qu Feiyan tidak peduli. Ia tetap saja berteriak, “Kakak Linghu, dia telah berkata bahwa jika kau tidak mati, maka dia akan melakukan segalanya untukmu.”
Dari nada ucapan Qu Feiyan yang tegas, Yilin dapat merasakan kalau gadis kecil ini tidak sedang bercanda. Seketika jantung biksuni muda itu berdebar kencang dan perasaannya gelisah. Ia hanya bisa berkata, “Kau... kau....”
Tiba-tiba Qu Feiyan mengeluarkan pemantik api yang sejak tadi disembunyikannya di dalam baju. Setelah menyalakan lilin, ia tersenyum lebar sambil meraih lengan Yilin dan mengajaknya mendekati ranjang. Pada saat gadis kecil itu menyingkap kelambu, jantung Yilin berdebar semakin kencang. Matanya berkunang-kunang menyaksikan wajah pria yang baru saja diobatinya itu. Seketika kakinya terasa lemas dan hampir saja ia jatuh di lantai.
Qu Feiyan buru-buru meraih bahu Yilin dan membantunya berdiri tegak. Ia lantas berkata, “Aku tahu ini akan menjadi kejutan besar untukmu. Sekarang lihatlah dengan jelas, siapa sebenarnya orang ini!”
Yilin hanya bisa berkata, “Dia... dia adalah....” Suaranya terdengar sangat lirih. Dilihatnya pria yang berbaring di atas ranjang tersebut ternyata seorang pemuda berwajah bersih, beralis lentik, dan berbibir tipis. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah sang pahlawan penolong yang kemarin berjuang mati-matian di Rumah Arak Huiyan. Dia adalah Linghu Chong.
Yilin kembali berkata dengan suara gemetar sambil menarik lengan Qu Feiyan, “Jadi, dia... dia... dia belum mati?”
Qu Feiyan menjawab, “Dia memang belum mati. Tapi kalau obatmu tidak manjur, dia pasti akan mati.”
“Tidak, dia tidak akan mati. Dia tidak akan mati! Dia... dia pasti selamat,” seru Yilin. Karena terlalu gembira, ia pun menangis pula.
“Hei, dia tidak mati, mengapa kau malah menangis?” tanya Qu Feiyan terheran-heran.
Kedua kaki Yilin terasa lemas. Ia lalu duduk di atas ranjang sambil tetap menangis. “Aku sungguh bahagia. Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadamu. Nona Qu, ternyata kau telah... kau telah menyelamatkan nyawa Kakak Linghu.”
Qu Feiyan menjawab, “Bukan aku, tapi kau sendiri yang telah menolongnya. Aku tidak tahu cara mengobati orang, dan aku juga tidak memiliki Salep Penghubung Kahyangan.”
Seketika Yilin menyadari sesuatu. Ia pun bangkit dan memegang lengan Qu Feiyan, lalu berkata, “Pasti kakekmu yang telah melakukan ini semua. Kakekmu yang telah membawa Kakak Linghu kemari.”
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memanggil-manggil di luar, “Yilin! Yilin!”
Yilin sangat terkejut karena suara tersebut adalah suara Biksuni Dingyi. Ia berniat menjawab namun Qu Feiyan segera membungkam mulutnya dan mematikan lilin.
“Apa kau lupa ini tempat apa?” bisik Qu Feiyan. “Jangan menjawab panggilan gurumu!”
Yilin terdiam. Ia merasa serbasalah. Di satu sisi ia malu berada di tempat pelacuran, dan di sisi lain perbuatan tidak menjawab panggilan sang guru adalah sesuatu yang tidak pernah ia lakukan seumur hidup.
Biksuni Dingyi kembali berteriak, “Tian Boguang, keluar kau! Bebaskan Yilin!”
Maka terdengarlah suara Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dari arah kamar sebelah barat. Penjahat itu kemudian berkata, “Hei, mungkinkah yang datang ini Biksuni Dingyi dari Biara Awan Putih?” Setelah melanjutkan gelak tawa, ia kembali berkata, “Seharusnya aku keluar untuk memberi hormat. Tapi, di sampingku sedang ada teman-teman cantik. Mohon maaf aku tidak bisa keluar untuk menemuimu. Hahaha!”
Menyusul kemudian terdengar suara tawa para perempuan yang menemani Tian Boguang di kamar itu. Sudah pasti mereka adalah para pelacur penghuni Wisma Permata tersebut. Salah seorang dari mereka berkata, “Sayangku, jangan pedulikan nenek itu. Beri aku ciuman lagi....”
Dingyi semakin gusar mendengar suara-suara genit dari dalam kamar tersebut yang semakin keras dan keras. Ia pun berteriak, “Tian Boguang, kalau tidak segera keluar, aku akan mencincang tubuhmu hingga hancur lebur!”
“Kalau aku keluar, kau akan mencincang tubuhku; kalau aku tetap di sini, kau juga akan mencincang tubuhku,” sahut Tian Boguang. “Ah, kalau begitu lebih baik aku tetap di sini saja, bersama teman-teman manis ini... Ayo, sayang!”
Tian Boguang kembali bergelak tawa bersama para pelacur itu. Ia lantas berseru, “Biksuni Dingyi, tempat seperti ini tidak pantas didatangi oleh biarawati sepertimu. Lebih baik kau lekas pulang saja. Muridmu tidak ada di sini. Dia seorang biksuni muda yang alim dan taat agama. Kalau dia sampai main ke sini tentu ini suatu kejadian yang aneh bin ajaib. Mengapa kau tidak merasa risih mencarinya di tempat ini?”
Dingyi sudah hilang kesabaran. Ia berteriak kepada murid-muridnya, “Bakar saja! Bakar saja sarang anjing ini! Kita lihat sampai kapan binatang itu bisa bertahan!”
“Hei, Biksuni Dingyi,” seru Tian Boguang sambil tetap bergelak tawa. “Tempat ini bernama Wisma Permata, salah satu tempat terkenal di Kota Hengshan. Jika kau sampai membakarnya, maka dalam sekejap saja akan tersiar kabar di seluruh dunia persilatan bahwa seorang alim bernama Biksuni Dingyi dari Biara Awan Putih telah mendatangi sebuah rumah pelacuran. Orang-orang akan bertanya: ‘Mengapa seorang biksuni sepuh mendatangi tempat mesum?’ – Jawabnya: ‘Untuk mencari muridnya.’ – Selanjutnya mereka akan bertanya: ‘Kenapa seorang murid Perguruan Henshan sampai datang ke rumah pelacuran?’ – Nah, bukankah ini akan menjatuhkan nama baik perguruanmu?”
Tian Boguang tertawa semakin keras, lalu melanjutkan, “Biksuni Dingyi, aku terpaksa mengatakan sesuatu kepadamu. Seumur hidup, Tian Boguang tidak pernah takut terhadap langit, tidak pernah gentar terhadap bumi. Tapi sekarang aku sangat takut bila bertemu muridmu yang satu itu. Kalau sampai bertemu dengannya lebih baik aku menyingkir jauh-jauh. Jadi, mana mungkin aku berani kurang ajar kepadanya?”
Dingyi menjadi bimbang mendengar perkataan Tian Boguang itu. Namun menurut laporan muridnya yang bertugas membuntuti, jelas-jelas Yilin masuk ke dalam Wisma Permata bersama Qu Feiyan. Bahkan kemudian Tian Boguang muncul dan menyerang murid pengintai tersebut. Untung saja murid Henshan tersebut berhasil meloloskan diri karena si penjahat cabul tidak tega membunuhnya.
Karena merasa bingung tidak tahu harus berbuat apa, Biksuni Dingyi hanya bisa menendang tiang bendera di depan rumah pelacuran itu dengan persaan gusar.
Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki dari arah genting Wisma Permata yang bertanya dengan nada dingin, “Tian Boguang, apa benar kau yang telah membunuh Peng Renqi, muridku?” Suara ini tidak lain adalah suara Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.
“Wah, wah, ketua Perguruan Qingcheng juga datang ke sini. Hari ini Wisma Permata benar-benar laris. Pasti sebentar lagi namanya akan terkenal di seluruh dunia. Tentu majikan tempat ini akan sangat bergembira. Hahaha!” seru Tian Boguang tertawa. “Aku memang telah membunuh seorang bocah berseragam ungu. Ilmu pedangnya sangat rendah, mirip ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Tapi aku sendiri tidak tahu apakah namanya Peng Renqi atau bukan. Maklum saja, kami belum sempat berkenalan, tahu-tahu dia sudah mati.”
Tanpa banyak bicara Yu Canghai langsung merusak atap di atas kamar Tian Boguang dan meloncat turun ke bawah. Sekejap kemudian terdengar suara senjata beradu, pertanda telah terjadi pertarungan seru antara ketua Perguruan Qingcheng tersebut melawan si penjahat cabul.
Sambil berdiri di dekat atap yang berlubang tadi, Biksuni Dingyi menyaksikan pertarungan antara mereka berdua. Diam-diam ia memuji kehebatan ilmu golok Tian Boguang. “Ilmu silat bajingan ini hebat juga. Serangan goloknya yang cepat mampu mengimbangi pedang seorang ketua Perguruan Qingcheng.”
Tiba-tiba terdengar suara keras berdentum. Karena cemas, Yilin segera memegangi lengan Qu Feiyan. Ia bertanya-tanya, siapakah yang kalah, Yu Canghai atau Tian Boguang? Meskipun dirinya pernah hampir saja diperkosa oleh Tian Boguang, namun dalam pertarungan tersebut ia justru mengharapkan kekalahan Yu Canghai. Ia ingin Yu Canghai segera pergi dari tempat itu supaya tidak mengganggu ketenangan Linghu Chong. Apalagi kalau Yu Canghai menang, dan menemukan ruang rahasia tersebut, tentu ia akan menyakiti Linghu Chong dan membunuhnya pula.
Ternyata suara dentuman keras tadi adalah hancurnya dinding kamar akibat dirusak oleh Tian Boguang. Penjahat cabul itu sengaja mencari jalan keluar supaya bisa bertarung di tempat yang lebih leluasa, karena di dalam kamar terdapat beberapa orang pelacur yang terjebak ketakutan.
“Pendeta Yu, mari kita lanjutkan pertarungan di tempat yang lebih luas. Kalau aku kalah kau boleh memiliki Si Permata Kecil. Tapi kalau aku yang menang, maka kau tidak boleh mengincar dia lagi! Hahaha!” demikian ujar Tian Boguang sambil berlari menjauhi Wisma Permata.
Hampir saja kemarahan Yu Canghai meledak mendengar ejekan itu. Si Permata Kecil adalah primadona Wisma Permata, yaitu salah satu dari para pelacur yang tadi berada di kamar bersama Tian Boguang. Diam-diam ketua Perguruan Qingcheng itu berpikir, “Pertarungan di dalam kamar tadi telah membuktikan kalau ilmu golok penjahat itu benar-benar lihai. Lebih dari lima puluh jurus berlalu namun aku tidak dapat menjatuhkannya. Goloknya dapat bertahan dan menyerang dalam waktu bersamaan. Ilmu silatnya tidak lebih rendah dariku. Jika pertarungan ini dilanjutkan di tempat terbuka, aku tidak yakin apakah bisa menang darinya.”
Untuk sementara waktu suasana berubah sunyi senyap. Yilin seolah-olah bisa mendengar bunyi detak jantungnya sendiri yang berdebar-debar. Ia mendekati wajah Qu Feiyan dan berbisik, “Apakah... apakah mereka akan masuk kemari?”
Meskipun usia Qu Feiyan lebih muda, namun dalam keadaan gawat seperti ini ia tetap berusaha tenang. Gadis kecil itu tidak menjawab dan segera membungkam mulut Yilin.
Kemudian terdengar suara Liu Zhengfeng berkata, “Pendeta Yu, meskipun kejahatan Tian Boguang sudah setinggi gunung, kita tidak perlu repot-repot membereskannya sekarang. Kita bisa membuat perhitungan dengannya lain waktu. Rumah mesum ini merupakan tempat hina di dalam Kota Hengshan. Sudah lama aku ingin membersihkannya. Biarlah aku yang menggeledah tempat ini. Seorang pun tidak akan kubiarkan lolos.”
Liu Zhengfeng kemudian menyuruh Xiang Danian dan Mi Weiyi untuk menggeledah seluruh penjuru Wisma Permata. Tidak ketinggalan, Yu Canghai segera memerintahkan murid-murid Qingcheng ikut menyerbu ke dalam. Biksuni Dingyi yang semula ragu-ragu lantas memerintahkan pula murid-murid Henshan untuk membantu.
Mendengar itu Yilin semakin cemas. Murid-murid Hengshan, Henshan, dan Qingcheng menyebar ke segala arah. Terdengar jerit tangis para pelacur dan germo wisma tersebut karena diberi pelajaran oleh Xiang Danian dan yang lain. Murid-murid Qingcheng bertindak lebih kasar lagi. Mereka mengobrak-abrik Wisma Permata sebagai upaya balas dendam atas kematian Peng Renqi. Terdengar suara mereka membentak-bentak sambil membanting perabotan wisma.
Sadar bahwa orang-orang itu cepat atau lambat akan menemukan tempatnya, Yilin semakin takut dan hampir jatuh pingsan. Dalam hati ia meratap, “Bagaimana ini? Tadi sewaktu Guru memanggil, aku diam tidak menjawab. Sebentar lagi mereka akan menemukan diriku berada di dalam kamar bersama seorang pria. Apalagi ini adalah rumah pelacuran. Meskipun Kakak Linghu dalam keadaan terluka parah, tetap saja mereka menuduhku berbuat yang tidak baik. Sekalipun aku memiliki seribu mulut, tetap saja aku tidak bisa membela diri. Nama baik Perguruan Henshan akan tercemar olehku. Aku... aku tidak akan mempunyai muka lagi untuk bertemu Guru dan para kakak sekalian.”
Diam-diam Yilin melolos pedangnya untuk bunuh diri. Namun begitu pedang itu hampir menggorok lehernya, tahu-tahu lengannya sudah dipegang erat oleh Qu Feiyan. Gadis kecil itu berbisik, “Jangan gila!”
Ternyata begitu mendengar suara pedang dicabut dari sarungnya, Qu Feiyan langsung bisa menebak apa yang hendak dilakukan Yilin. Dalam kegelapan, tangannya bergerak cepat mencegah lengan Yilin berbuat lebih lanjut. “Lebih baik kita menerjang keluar saja,” demikian ia berkata.
Tiba-tiba terdengar suara perlahan dari arah ranjang. Rupanya Linghu Chong sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Ia berkata perlahan, “Nyalakan lilin!”
“Untuk apa?” tanya Qu Feiyan.
“Aku bilang nyalakan lilin!” sahut Linghu Chong lirih tapi dengan nada tegas. Qu Feiyan tidak berani membantah lagi. Ia pun memenuhi permintaan murid Huashan tersebut.
Di bawah cahaya lilin Yilin melihat wajah Linghu Chong pucat pasi seperti mayat. Ia sangat terkejut dan hampir saja menjerit karenanya.
“Ambilkan... itu,” ujar Linghu Chong sambil menunjuk bajunya yang tertaruh di atas ranjang. “Pakaikan di bahuku.”
Dengan tangan gemetar, Yilin mengambil baju seragam Huashan tersebut dan memakaikannya di pundak Linghu Chong. Dengan demikian luka dan darah di dada pemuda itu tidak terlihat lagi.
“Kalian berdua, tidurlah di ranjang ini,” perintahnya kemudian.
“Aha, ini pasti menyenangkan,” ujar Qu Feiyan sambil tersenyum. Ia pun menarik Yilin yang masih kebingungan dan membawa biksuni lugu itu naik ke atas ranjang. Keduanya lalu berlindung di balik selimut.
Rupanya para penggeledah sudah mulai menemukan cahaya lilin yang terpancar samar-samar dari dalam kamar rahasia tersebut. “Hei, di sini ada kamar. Mari kita periksa!” seru seseorang. Dalam waktu singkat, terdengar suara langkah kaki beberapa orang menuju ke kamar rahasia tersebut.
Linghu Chong menghirup napas dalam-dalam. Ia membuka jendela untuk mendapatkan udara segar, kemudian mengunci pintu dengan palang kayu. Setelah itu, ia kembali ke tempat tidur dan menutup kelambu. “Kalian berdua bersembunyilah di dalam selimut!” ujarnya memberi perintah.
Yilin menyahut, “Jangan banyak bergerak. Hati-hati... hati-hati dengan lukamu.”
Linghu Chong segara menata Yilin dan Qu Feiyan supaya berpelukan menjadi satu. Tubuh mereka ditutup dengan selimut, namun rambut Qu Feiyan yang panjang dibiarkan terurai di atas bantal. Hanya karena bergerak demikian, luka di dada Linghu Chong pecah kembali dan mengucurkan darah. Seketika kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh terduduk di tepi ranjang.
Sementara itu, murid-murid tiga perguruan sudah berteriak-teriak dan menggedor pintu. “Buka pintu! Lekas buka pintu!” Tidak lama kemudian, pintu kamar tersebut hancur karena ditendang dari luar.
Di antara orang-orang yang datang itu terdapat Hong Renxiong dari Qingcheng. Tanpa sadar, ia pun melompat mundur karena terkejut melihat Linghu Chong duduk di tepi ranjang.
“Kau... kau Linghu Chong!” ujarnya gugup.
Xiang Danian, Mi Weiyi, dan yang lain belum pernah bertemu dengan Linghu Chong. Namun mendengar sepak terjang pemuda itu yang pernah menantang Tian Boguang dan membunuh Luo Renjie, mau tidak mau mereka merasa gentar dan melangkah mundur. Kini semua mata hanya memandang tajam ke arah murid Huashan nomor satu itu tanpa berbicara sedikit pun.
Linghu Chong bangkit perlahan-lahan dan berkata, “Kalian.... semua, ada perlu apa?”
Hong Renxiong berkata gemetar, “Linghu... Linghu Chong, kau... kau belum mati?”
“Mana mungkin aku mati semudah itu?” jawab Linghu Chong datar.
Tiba-tiba Yu Canghai muncul di belakang mereka dan melangkah maju ke depan. “Jadi, kau ini yang bernama Linghu Chong? Bagus sekali, bagus sekali!” ujarnya sambil tersenyum menyeringai.
Linghu Chong memandang tajam ke arah ketua Qingcheng tersebut tanpa menjawab sepatah kata pun.
“Untuk apa kau berada di tempat ini?” tanya Yu Canghai.
Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Apa kau pura-pura tidak tahu? Menurutmu, apa yang dilakukan seorang laki-laki di dalam rumah pelacuran?”
“Hm, konon kabarnya tata tertib Perguruan Huashan terkenal ketat,” ujar Yu Canghai dengan nada dingin. “Kau adalah murid Huashan nomor satu, murid terbaik Tuan Yue, si Pedang Budiman. Tapi, kau malah tidur di sini bersama pelacur. Sungguh menggelikan, sungguh memalukan!”
“Tata tertib Perguruan Huashan adalah urusan kami,” sahut Linghu Chong. “Orang luar seperti dirimu tidak perlu ikut campur.”
Yu Canghai berpengalaman luas di dunia persilatan. Melihat keadaan Linghu Chong yang pucat pasi dan gemetaran, jelas kalau pemuda ini sedang terluka parah. Diam-diam ketua Qingcheng itu berpikir, “Bocah ini ternyata masih hidup. Padahal, si biksuni cilik dari Henshan bercerita kalau dia dan Renjie saling bunuh dan mati bersama. Mungkin saja biksuni cilik itu sengaja mengarang cerita palsu. Selama bercerita, dia menyebut bocah ini dengan panggilan ‘Kakak Linghu’ begitu mesra. Mungkin saja di antara mereka berdua sudah terjalin hubungan gelap. Hm, jelas-jelas tadi ada laporan kalau biksuni cilik itu masuk ke tempat ini. Namun sampai kini belum ada yang bisa menemukannya. Aku yakin, dia pasti disembunyikan oleh si bocah Linghu Chong entah di mana. Hehe, Serikat Pedang Lima Gunung selalu menyebut diri sendiri sebagai kaum lurus bersih di dunia persilatan, dan memandang rendah terhadap Perguruan Qingcheng. Jika malam ini aku berhasil menyeret biksuni cilik itu keluar dari persembunyiannya, maka bukan hanya nama baik Perguruan Huashan dan Henshan yang tercemar, tapi seluruh Serikat Pedang Lima Gunung juga akan kehilangan muka di dunia persilatan. Mereka tidak akan berani sombong lagi.”
Usai berpikir demikian, Yu Canghai memandang ke segenap penjuru kamar dengan pandangan tajam. Ia tidak menemukan siapa pun di tempat itu selain Linghu Chong, kecuali di atas ranjang terdapat pemandangan mencurigakan. “Jangan-jangan biksuni cilik itu bersembunyi di bawah selimut,” demikian ia menyimpulkan.
“Renxiong, coba kau singkap kelambu itu! Perlihatkan kepada kami apakah di atas ranjang ada tontonan menarik!” seru Yu Canghai kemudian.
Hong Renxiong segera melaksanakan perintah sang guru. Teringat dirinya pernah dihajar oleh Linghu Chong beberapa waktu yang lalu, mau tidak mau hatinya gelisah juga saat melangkah maju sedikit demi sedikit.
“Kau mau mati?” tegur Linghu Chong dengan mata tajam.
Hong Renxiong menelan ludah. Begitu teringat sang guru ada di belakangnya, ia pun mendapat tambahan keberanian. Perlahan-lahan tangannya melolos pedang.
Linghu Chong lantas berkata kepada Yu Canghai, “Kau mau apa?”
Yu Canghai menjawab, “Perguruan Henshan baru saja kehilangan seorang muridnya. Ada laporan bahwa dia masuk ke wisma mesum ini. Maka itu, kami datang kemari untuk mencarinya.”
“Ini urusan Serikat Pedang Lima Gunung, untuk apa orang Qingcheng ikut campur?” ujar Linghu Chong.
“Kami sedang mencari kebenaran. Terserah kau suka atau tidak, yang jelas urusan ini harus diusut sampai tuntas,” jawab Yu Canghai. “Renxiong, lanjutkan!”
“Baik, Guru!” jawab Hong Renxiong yang sudah sampai di depan ranjang. Ia lantas menyingkap kelambu menggunakan pedang. Sementara itu, Yilin dan Qu Feiyan berpelukan erat di bawah selimut. Setiap perkataan Linghu Chong dan Yu Canghai dapat terdengar jelas oleh mereka. Karena sangat ketakutan, tubuh mereka pun gemetaran.
Begitu Hong Renxiong menyingkap kelambu, serentak pandangan semua orang tertuju ke atas ranjang. Di balik selimut berwarna merah, mereka melihat sesosok tubuh sedang gemetar ketakutan. Wajah orang itu tertutup selimut, tapi rambutnya yang panjang terurai di atas bantal.
Yu Canghai merasa kecewa karena perempuan di samping Linghu Chong itu ternyata memiliki rambut panjang, bukan biksuni gundul seperti yang ia harapkan.
Linghu Chong berkata, “Pendeta Yu, meskipun kau seorang pendeta agama Tao, tapi kabarnya dalam Perguruan Qingcheng tidak ada larangan untuk menikah. Bahkan aku dengar, kau punya banyak istri dan anak. Tentu kau sangat senang melihat wanita telanjang. Jika demikian, mengapa kau tidak maju kemari dan membuka selimut untuk melihat pemandangan bagus? Kenapa pula kau lebih suka mencari biksuni gundul dari Henshan?”
“Keparat!” bentak Yu Canghai sambil memukul ke arah Linghu Chong.
Linghu Chong bergerak ke samping untuk menghindar. Namun karena tubuhnya masih lemah, mau tidak mau angin yang berhembus dari gerakan tangan sang ketua Qingcheng membuatnya jatuh terduduk di atas ranjang.
Perlahan-lahan Linghu Chong mencoba bangkit kembali. Namun darah segar lantas keluar dari mulutnya. Berkali-kali pemuda itu muntah darah.
Yu Canghai mempersiapkan pukulan kedua. Kali ini nyawa Linghu Chong pasti melayang jika pukulan tersebut mendarat di tubuhnya. Tak disangka, tiba-tiba dari luar jendela terdengar suara seseorang berseru, “Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”
Secepat kilat Yu Canghai mengalihkan pukulannya ke arah jendela. Menyusul kemudian ia melompat keluar dari dalam kamar. Di bawah cahaya lilin, terlihat bayangan seorang bungkuk sedang berdiri di sudut rumah.
“Berhenti di situ!” bentaknya kepada si orang bungkuk.
Manusia bungkuk tersebut tidak lain adalah Lin Pingzhi yang sedang menyamar. Setelah berselisih dengan Yu Canghai di rumah Liu Zhengfeng, ia menyelinap keluar pada saat Qu Feiyan muncul dan membuat ulah. Sesampainya di luar, ia termenung-menung memikirkan apa yang baru saja ia alami.
“Setiap orang kini telah mengenaliku sebagai seorang bungkuk yang berani menantang Yu Canghai. Aku tidak bisa leluasa lagi berkeliaran dengan penampilan ini untuk mencari berita di mana Ayah dan Ibu berada. Jika orang-orang Qingcheng melihatku lagi, tentu mereka akan langsung membunuhku tanpa banyak bertanya. Apakah aku harus mengganti penyamaran? Aih, saat Yu Canghai mencengkeram lenganku, aku merasa tenaganya begitu besar. Kenapa di dunia ini ada orang sekuat itu? Lantas, bagaimana aku bisa menolong Ayah dan Ibu?”
Sekian lama ia merenung, tahu-tahu seseorang telah menepuk punggungnya. Begitu menoleh ternyata Mu Gaofeng, si Bungkuk dari Utara sudah berdiri di belakangnya.
“Bungkuk palsu, apa enaknya menyamar menjadi seorang bungkuk, hah?” tanya Mu Gaofeng kepadanya. “Kenapa pula kau sengaja mengaku sebagai cucuku?”
Lin Pingzhi menyadari kalau Mu Gaofeng seorang kejam dan berkepandaian tinggi. Sedikit saja manusia bungkuk itu tersinggung, tentu ia akan langsung bertindak mencabut nyawa. Teringat bahwa di dalam aula tadi si bungkuk tidak marah sewaktu dipuji sebagai seorang pahlawan pembela kebenaran, Lin Pingzhi pun berniat menggunakan cara yang sama.
Maka pemuda itu pun berkata, “Saya sudah lama mendengar bahwa Pendekar Mu, si Bungkuk dari Utara memiliki nama besar di dunia persilatan; suka membantu kaum lemah dan menegakkan keadilan. Saya benar-benar mengagumi Tuan Pendekar, sehingga dengan sengaja menyamar seperti ini. Mohon Pendekar Mu sudi memaafkan.”
“Kau jangan bercanda!” bentak Mu Gaofeng sambil tertawa. “Suka membantu kaum lemah dan menegakkan keadilan, omong kosong semua itu.” Ia sadar kalau Lin Pingzhi sengaja berbohong untuk sekadar memujinya. Pada umumnya manusia suka dipuji; apalagi seorang manusia tercela seperti Mu Gaofeng tentu jarang mendengar pujian untuk dirinya. Tentu saja tutur kata pemuda itu membuatnya senang.
Manusia bungkuk itu lantas bertanya, “Siapa namamu yang sebenarnya?”
Lin Pingzhi menjawab, “Sebenarnya saya bermarga Lin. Secara tidak sengaja saya telah memakai marga yang sama dengan Tuan Pendekar.”
“Tidak sengaja bagaimana? Kau pasti sengaja memakai marga Mu untuk menggertak orang lain,” sahut Mu Gaofeng. “Anak muda, Yu Canghai itu seorang guru besar dalam dunia persilatan. Hanya dengan satu jari dia bisa mencabut nyawamu. Tapi kau malah berani menantangnya. Hm, keberanianmu patut untuk dihargai.”
Mendengar itu, Lin Pingzhi langsung menukas dengan nada marah, “Selama saya masih bisa bernapas, saya bersumpah akan membunuh bajingan itu dengan tangan saya sendiri.”
Mu Gaofeng menjadi heran dan bertanya, “Memangnya ada permusuhan apa antara kau dengan Yu Canghai?”
Lin Pingzhi terdiam sejenak. Ia menyadari bahwa dengan kekuatan seorang diri tidak mungkin bisa membebaskan kedua orang tuanya. Maka itu, ia pun berlutut di hadapan Mu Gaofeng dan berkata, “Ayah dan ibu saya disekap oleh bangsat bermarga Yu itu. Saya memohon bantuan Tuan Pendekar untuk menegakkan keadilan memberi pertolongan.”
Mu Gaofeng menggelengkan kepala dan menjawab, “Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak menghasilkan keuntungan apa-apa. Memangnya, siapa nama ayahmu? Kalau aku bisa menolongnya, apa pula yang akan kudapatkan?”
Belum sempat Lin Pingzhi menjawab tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berbicara dengan nada tegang. “Cepat lapor kepada Guru, bahwa seorang murid Qingcheng terbunuh oleh Tian Boguang di Wisma Permata. Seorang murid Henshan juga pulang dalam keadaan terluka. Cepatlah!”
Mu Gaofeng tersenyum dan berkata kepada Lin Pingzhi, “Urusanmu ini bisa kita bicarakan nanti. Sepertinya ada pertunjukan menarik. Bila ingin bertambah pengalaman, ikutlah denganku.”
Lin Pingzhi berpikir urusan meminta bantuan memang bisa ditunda nanti. Maka, ia lantas menjawab, “Kemana pun Tuan Pendekar pergi, saya siap menemani.”
“Tapi dalam segala hal si bungkuk ini suka menghitung untung-rugi,” ujar Mu Gaofeng. “Jika kau hanya menyanjungku dan meminta bantuan tanpa ada imbalan yang pantas, jangan harap aku sudi turun tangan.”
Lin Pingzhi mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Nah, mereka sudah berangkat,” sahut Mu Gaofeng sambil menunjuk rombongan Biksuni Dingyi yang berangkat lebih dulu menuju Wisma Permata. Manusia bungkuk itu lalu memegang lengan Lin Pingzhi dan membawa pemuda itu lari bagaikan terbang.
Setibanya di rumah pelacuran tersebut, Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi segera bersembunyi di belakang pohon. Mereka menyaksikan semua yang terjadi. Misalnya pertarungan antara Yu Canghai melawan Tian Boguang, sampai penggeledahan wisma yang dipimpin oleh murid-murid Liu Zhengfeng. Akhirnya, ketika melihat Yu Canghai hendak memukul Linghu Chong melalui lubang jendela kamar rahasia, Lin Pingzhi merasa tidak tahan lagi dan berseru, “Huh, Orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”
Begitu bersuara, Lin Pingzhi menyadari kecerobohannya. Namun Yu Canghai sudah terlanjur melesat keluar dari kamar dan memburunya. Tahu-tahu pendeta pendek itu sudah menghadang di depannya sambil membentak, “Berhenti di situ!”
Jurus Tapak Penghancur Jantung yang semula dipersiapkan Yu Canghai untuk membunuh Linghu Chong kini hendak diarahkan kepada Lin Pingzhi. Namun begitu mengetahui kalau yang bersuara mengganggunya tadi adalah si pemuda bungkuk, ia pun menahan serangan tersebut. Diam-diam ia merasa segan melihat si bungkuk tua yang juga berada di situ.
“Kau lagi rupanya!” ujar Yu Canghai kepada Lin Pingzhi. Ia lantas berpaling kepada Mu Gaofeng dan menyapa, “Saudara Mu, kenapa kau menyuruh bocah ini mencari masalah denganku lagi? Apa sebenarnya yang kau inginkan?”
Mu Gaofeng tertawa dan menjawab, “Bocah ini mengaku sebagai cucuku, padahal aku sama sekali tidak mengenalnya. Dia bermarga Lin, sedangkan aku bermarga Mu. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan bocah ini. Pendeta Yu, bukannya aku takut kepadamu, tapi aku sendiri sudah bosan dijadikan tameng anak muda ini tanpa bayaran yang jelas. Sebenarnya boleh saja dia menjadikan aku sebagai pelindung, asalkan ada bayaran yang pasti, misalnya emas atau perak. Si bungkuk tidak suka turun tangan secara cuma-cuma.”
Yu Canghai gembira mendengar jawaban Mu Gaofeng. “Kalau benar apa yang dikatakan Saudara Mu, rasanya aku tidak perlu segan-segan lagi,” ujarnya. Usai berkata demikian, ia lantas bersiap melayangkan pukulan ke arah Lin Pingzhi.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru, “Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”
Yu Canghai serentak menoleh. Ternyata yang bersuara kali ini adalah Linghu Chong yang sudah berdiri di ambang jendela.
(Bersambung)
Bagian 11 ; Halaman muka ; Bagian 13