Bagian 57 - Ren Woxing Muncul di Shaolin

Tidak lama kemudian datanglah laporan bahwa tempat itu memang benar-benar kaki Gunung Shaoshi bagian belakang. Ketika mendongak mereka dapat melihat bangunan biara Shaolin di atas gunung. Karena banyak kawan yang belum keluar, maka semua orang tidak berani bersuara keras. Sementara itu orang-orang yang keluar dari lorong rahasia semakin banyak, menyusul yang luka dan yang mati juga sudah digotong keluar. Bisa lolos dari ancaman maut, meski tidak bersorak-sorak, namun ramai juga mereka berbisik-bisik senang.
“Ketua,” kata Si Beruang Hitam, “tentu kawanan bulus itu mengira kita masih terkurung di atas sana. Marilah kita gempur mereka dari belakang! Putuskan saja ekor kaum keparat itu untuk melampiaskan rasa benci kita!”
Dewa Dahan Persik menyahut, “Bajingan-bajingan itu punya ekor?”
Akan tetapi Linghu Chong tidak setuju dan menjawab, “Tujuan kita ke sini adalah untuk menolong Putri Suci, maka tidak perlu jatuh korban lebih banyak lagi.”
“Hm, baiklah,” ujar Beruang Putih. “Yang penting aku harus bisa memangsa beberapa dari mereka. Kalau tidak, mereka akan terus-menerus menggertak kita.”
Linghu Chong melanjutkan, “Harap Saudara-saudara meneruskan perintah agar kita segera berpencar. Bila bertemu golongan lurus bersih sebaiknya menghindari pertarungan. Apabila ada yang mendapat kabar tentang Putri Suci harus segera mengumumkannya dengan cepat. Selama aku masih bernapas, bagaimanapun sukar dan bahaya juga akan kuselamatkan Putri Suci. Apakah semua kawan kita sudah keluar dari biara?”
Ji Wushi mendekati ujung lorong rahasia dan berteriak-teriak beberapa kali ke dalam, namun tidak terdengar jawaban seorang pun. Ia lantas melapor bahwa semua anggota rombongan sudah keluar.
Tiba-tiba timbul pikiran kekanak-kanakan Linghu Chong, “Ayo kita berteriak tiga kali biar orang-orang di atas itu kaget!”
“Haha, bagus!” seru Zu Qianqiu tertawa. “Mari kita beramai-ramai mengikuti Ketua berteriak!”
Linghu Chong pun mengerahkan tenaga dalam dan berteriak, “Hai, kami sudah berada di bawah gunung!”
Ribuan pengikutnya serentak ikut berteriak, “Hai, kami sudah berada di bawah gunung!”
Lalu Linghu Chong berteriak lagi, “Silakan kalian makan salju di atas gunung!”
Ribuan pengikutnya ikut berteriak, “Silakan kalian makan salju di atas gunung!
Terakhir ia berteriak, “Gunung yang hijau takkan berubah, sungai akan selalu mengalir jauh. Selamat tinggal, sampai jumpa!”
“Gunung yang hijau takkan berubah, sungai akan selalu mengalir jauh. Selamat tinggal, sampai jumpa!” kata para pengikutnya lagi.
“Mari kita pergi!” kata Linghu Chong dengan tertawa.
Tiba-tiba beberapa orang masih saja berteriak, “Kalian kawanan anjing, anak bulus, pulang sana ke nenekmu!”
Serentak ribuan yang lain menirukan teriakan itu, “Kalian kawanan anjing, anak bulus, pulang sana ke nenekmu!”
“Sudahlah, tidak perlu berteriak lagi, mari kita pergi!” seru Linghu Chong.
Namun orang-orang itu terlalu bergembira dan berteriak menirukan, “Sudahlah, tidak perlu berteriak lagi, mari kita pergi!”
Setelah teriakan-teriakan itu berakhir, ternyata tidak terjadi reaksi apa pun dari atas gunung. Sementara itu fajar telah tiba. Langit mulai terang sedikit demi sedikit. Salju masih turun dengan lebatnya. Saat itu beberapa kelompok sudah mulai berangkat pergi.
Linghu Chong berpikir sekarang ini urusan yang paling penting adalah menemukan Ren Yingying, selanjutnya menyelidiki siapa yang membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi. Ia sendiri tidak tahu ke mana harus pergi melaksanakan kedua tugas tersebut.
Tiba-tiba suatu pikiran terkilas dalam benaknya, “Bila biksu-biksu Shaolin dan orang-orang golongan lurus bersih itu mengetahui bahwa kami sudah lolos, tentu mereka akan kembali ke biara. Bisa jadi Yingying berada di tengah mereka. Untuk menyelesaikan dua masalah tadi rasanya aku harus kembali ke sana. Hm, sebaiknya kulakukan sendiri saja.”
Begitulah, ia lantas berkata kepada Ji Wushi, Lao Touzi, Zu Qianqiu, Lan Fenghuang, Huang Boliu, dan yang lain, “Semuanya telah bekerja keras. Kita akan bertemu lagi dan berpesta setelah menemukan Putri Suci.”
“Engkau sendiri hendak ke mana, Tuan Muda Linghu?” tanya Ji Wushi.
“Maaf, saudaraku! Sekarang ini aku belum bisa mengatakannya. Kelak tentu kalian akan kuberi tahu,” sahut Linghu Chong.
Semua orang tidak berani banyak bicara lagi. Terpaksa mereka hanya memberi hormat dan mohon diri.
Sepeninggal orang-orang itu, Linghu Chong lantas melompat ke atas pohon agar tidak meninggalkan jejak di tanah bersalju. Ia bersembunyi di situ sekian lamanya, sampai suara berisik orang-orang tadi semakin berkurang dan akhirnya sunyi senyap. Ia menduga semua orang tentu sudah jauh pergi. Perlahan-lahan ia pun kembali ke ujung lorong rahasia di bawah tanah itu. Ujung lorong itu terhalang oleh dua potong batu besar dan tertutup oleh semak-semak yang cukup tinggi. Biarpun berada di dekat situ juga sulit mengetahui kalau terdapat sebuah lorong rahasia bawah tanah.
Dengan jalan cepat ia kembali ke ruang patung Boddhidharma tadi. Setelah menajamkan pendengarannya, sayup-sayup ia mendengar suara orang di ruang depan. Sekuat tenaga Linghu Chong menggeser patung itu kembali ke tempat semula. Dalam hati ia menimbang-nimbang, “Aku harus bersembunyi di mana agar bisa mendengarkan pembicaraan-pembicaraan para pemimpin golongan lurus bersih itu? Tapi di dalam biara Shaolin ini banyak terdapat ruangan. Entah di mana mereka akan berkumpul?”
Tiba-tiba teringat olehnya kamar samadi Biksu Fangzheng ketika dahulu ia diajak Biksu Fangsheng menemui ketua biara tersebut. Samar-samar ia masih ingat letak kamar itu. Segera ia berlari menuju ke sana. Akan tetapi ruangan dan kamar di biara Shaolin itu terlalu luas dan banyak. Kamar pribadi sang biksu ketua sulit sekali ditemukan.
Tiba-tiba terdengar suara langkah beberapa orang sedang menuju ke arahnya. Waktu itu Linghu Chong berada di suatu ruangan di samping gedung. Ia bingung mencari tempat yang cocok untuk bersembunyi. Terpaksa ia pun melompat ke atas dan mendekam di balik papan nama besar ruangan tersebut, yang bertuliskan “Alam Pencerahan”.
Suara langkah orang-orang itu terdengar semakin dekat. Tidak lama kemudian masuklah tujuh atau delapan orang ke dalam gedung. Seseorang di antaranya berkata, “Kawanan iblis itu benar-benar lihai. Kita telah mengepung pegunungan ini dengan rapat, tapi mereka masih juga bisa lolos.”
Seseorang lagi menanggapi, “Agaknya di sini terdapat jalan rahasia yang menembus ke… kaki gunung. Kalau tidak, bagaimana mereka bisa kabur?”
“Kurasa tidak ada jalan rahasia apa pun di sini,” ujar seorang lagi. “Sudah puluhan tahun aku tinggal di sini, tapi belum pernah kudengar adanya jalan rahasia segala yang menembus ke kaki gunung.”
“Namanya juga jalan rahasia, dengan sendirinya tidak dapat diketahui setiap orang,” kata yang pertama tadi.
Dari percakapan itu Linghu Chong dapat menduga kalau mereka tentu biksu biara Shaolin dan para pendekar perguruan lain yang diundang membantu. Terdengar biksu tadi berkata, “Jika memang aku tidak tahu, mana mungkin biksu ketua kami juga tidak tahu? Apabila jalan rahasia itu benar-benar ada, mengapa biksu ketua kami tidak menempatkan orang untuk menjaganya?”
Pada saat itulah tiba-tiba seseorang di antara mereka berteriak, “Hei, siapa di situ? Keluar kau!”
Linghu Chong sangat terkejut dibuatnya. “Apakah mereka mengetahui keberadaanku?” pikirnya. Baru saja ia hendak melompat turun, tiba-tiba dari balik papan nama di sebelah timur berkumandang suara gelak tawa seseorang. “Hahahaha, aku yang tua ini sungguh ceroboh telah menjatuhkan beberapa titik debu. Hanya karena itu kalian lantas mengetahui persembunyianku. Hm, kalian ini peka juga rupanya!” kata orang itu
Linghu Chong baru sadar ternyata selain dirinya masih ada orang lain yang bersembunyi di tempat itu. Ia juga sangat gembira karena suara tersebut sangat dikenalinya. “Itu suara Kakak Xiang. Caranya menahan napas sungguh hebat. Sekian lama aku mendekam di sini tapi tidak tahu sama sekali. Kalau bukan karena debu yang jatuh tadi tentu orang-orang di bawah itu juga tidak akan tahu….”
Belum selesai ia berpikir tiba-tiba terdengar suara berdetak dari arah kanan dan kiri papan nama sisi timur tersebut. Menyusul kemudian terdengar suara dua orang melompat turun. Mereka disambut suara teriakan tiga orang di bawah tadi, “Kau…”, “Siapa itu…”, Apa…”. Hanya kata-kata itu yang sempat mereka ucapkan sebelum kemudian diam untuk selamanya. Tanpa terasa Linghu Chong melongok ke bawah. Terlihat olehnya dua sosok bayangan berkelebat ke sana-sini. Salah satunya jelas Xiang Wentian, sementara seorang lagi bertubuh tinggi besar. Orang itu tidak lain adalah Ren Woxing, ketua aliran sesat terdahulu.
Gerak serangan kedua orang itu nyaris tidak bersuara, tapi setiap pukulan mereka sangat mematikan. Hanya sekejap saja sudah roboh delapan orang di dalam ruangan itu. Lima di antaranya tengkurap, sementara tiga lainnya telentang dengan mata melotot menyeramkan. Mereka semua telah mati oleh pukulan Xiang Wentian dan Ren Woxing.
Ren Woxing kemudian menggapaikan tangannya sambil berkata, “Ying-er, turunlah ke sini!”
Dari papan nama sebelah timur tadi lantas melayang turun sosok seorang perempuan dengan gerakan lemah gemulai. Perempuan tersebut tidak lain adalah Ren Yingying, yang selama beberapa hari ini dicari Linghu Chong dengan susah payah.
Terguncang hati Linghu Chong melihat Ren Yingying memakai baju kusut, dengan wajah terlihat agak pucat. Baru saja ia bermaksud melompat turun untuk menemui si nona, tiba-tiba Ren Woxing berpaling ke arahnya dan menggoyangkan tangan. Melihat itu Linghu Chong merenung, “Mereka bersembunyi di sini lebih dulu, sudah tentu mengetahui keberadaanku. Tapi, apa maksud Tuan Ren melarang aku turun?”
Sekejap kemudian ia langsung paham apa maksud larangan Ren Woxing tadi. Ia melihat beberapa orang berlari masuk melalui pintu depan. Sekilas ia melihat guru dan ibu-gurunya dalam rombongan itu beserta ketua Perguruan Shaolin, yaitu Biksu Fangzheng, serta tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Kedatangan mereka membuatnya tidak berani mengintip lagi. Segera ia kembali bersembunyi dengan hati berdebar-debar. “Yingying dan yang lain berada dalam kepungan musuh. Meskipun… badanku hancur lebur, aku harus bisa menyelamatkan mereka,” pikirnya.
“Amitabha,” terdengar Biksu Fangzheng bersuara, “Anda bertiga yang mulia ini sungguh memiliki pukulan luar biasa. Eh, Nona yang budiman sudah pergi dari biara Shaolin, mengapa sekarang kembali lagi? Hm, Tuan-tuan yang mulia ini pasti dua sesepuh dari Bukit Kayu Hitam. Mohon maaf kalau saya tidak mengenal nama Tuan berdua.”
“Beliau ini adalah Ketua Ren dari Partai Mentari dan Bulan,” sahut Xiang Wentian. “Sementara aku bernama Xiang Wentian.”
Kedua orang tersebut memiliki nama besar di dunia persilatan. Hanya saja, mereka sudah lama mengasingkan diri sehingga tidak dikenal oleh Biksu Fangzheng dan yang lainnya. Orang-orang itu sangat terkejut begitu mengetahui dengan siapa mereka berhadapan. Meskipun demikian, mereka berusaha tetap bersikap tenang.
“Oh, ternyata Ketua Ren dan Pelindung Kiri Xiang sudi berkunjung kemari,” ujar Fangzheng ramah. “Nama besar Tuan berdua sudah lama saya mendengarnya. Saya sungguh merasa sangat bahagia atas kunjungan ini. Entah petunjuk apa yang hendak Tuan berdua ajarkan kepada kami?”
“Sudah terlalu lama aku tidak berkecimpung di dunia ramai, sehingga banyak tokoh-tokoh angkatan baru yang tidak kukenal. Entah siapa saja nama sobat-sobat cilik ini?” kata Ren Woxing dengan lagak tua.
“Jika demikian saya akan memperkenalkan mereka kepada Tuan berdua,” ujar Biksu Fangzheng. “Yang ini adakah ketua Perguruan Wudang, bernama Pendeta Chongxu.”
Sejenak kemudian terdengar suara serak seorang tua berkata, “Bicara tentang umur bisa jadi aku sedikit lebih tua daripada Tuan Ren. Tapi sewaktu menjabat sebagai ketua Perguruan Wudang, saat itu Tuan Ren sudah mengasingkan diri. Sebutan angkatan baru memang pantas bagiku. Tapi istilah ‘tokoh’ aku tidak berani menerimanya. Hahaha!”
Linghu Chong merasa suara ketua Perguruan Wudang itu tidak asing baginya. “Rasanya aku pernah mendengar suara orang ini.” Tiba-tiba pikirannya tergerak, “Aih, ternyata si kakek penunggang keledai yang diiringi tukang kayu dan tukang sayur itu! Orang tua yang menghadang kami di kaki Gunung Wudang itu ternyata Pendeta Chongxu.”
Seketika timbul rasa bangga di dalam hatinya. Maklum, nama besar Perguruan Wudang sejajar dengan Perguruan Shaolin. Keduanya merupakan aliran nomor satu di dunia persilatan. Pendeta Chongxu sendiri memiliki ilmu pedang yang tiada bandingannya. Linghu Chong sungguh senang tak terbayangkan karena pernah mengalahkan pendeta itu secara tak terduga.
Ia kemudian mendengar Ren Woxing berkata, “Yang ini pasti Ketua Zuo. Dahulu kami pernah bertemu. Bagaimana kabar ilmu andalanmu yang bernama Tapak Songyang? Pasti semakin hebat, bukan?”
Linghu Chong kembali terkesiap, “Ternyata Paman Zuo, ketua Perguruan Songshan juga hadir.”
Kemudian terdengar suara halus seorang pria menjawab, “Kabarnya Tuan Ren terkurung oleh anak buah sendiri dan menghilang selama beberapa tahun. Sekarang sudah muncul kembali, sungguh harus diberi selamat. Tentang jurus Telapak Songyang sudah belasan tahun tidak kupakai. Mungkin sebagian besar sudah kulupakan.”
“Wah, jika begitu dunia persilatan pasti sangat sepi,” kata Ren Woxing dengan tertawa. “Begitu aku menghilang lantas tidak ada orang yang dapat mengadu tenaga dengan Saudara Zuo. Sungguh sayang, sungguh sayang.”
“Orang yang sanggup bertanding dengan Tuan Ren sesungguhnya tidak sedikit, misalnya Biksu Fangzheng atau Pendeta Chongxu ini,” jawab Zuo Lengchan. “Tapi orang-orang alim seperti mereka tentu tidak sudi sembarangan meminta petunjuk kepada Tuan Ren tanpa alasan.”
Ren Woxing berkata, “Baiklah, kapan-kapan kalau ada waktu tentu akan kucoba lagi kepandaian barumu.”
“Setiap saat aku siap melayani,” sahut Zuo Lengchan.
Dari percakapan mereka itu terlihat kalau keduanya pernah terlibat pertarungan di masa lalu. Hanya saja, siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak bisa diketahui dari pembicaraan mereka tadi.
Biksu Fangzheng kemudian melanjutkan, “Yang ini adalah Pendeta Tianmen, ketua Perguruan Taishan. Yang itu adalah Tuan Yue, ketua Perguruan Huashan, dan di sebelahnya adalah Nyonya Yue, atau Pendekar Ning. Tuan Ren tentu pernah mendengar nama besar mereka.”
“Nama besar Pendekar Ning dari Huashan memang aku pernah mendengarnya,” sahut Ren Woxing tertawa, “tapi kalau Tuan Yue atau apa, aku tidak pernah mendengarnya.”
Linghu Chong menjadi kurang senang mendengarnya. Ia berpikir, “Nama Guru lebih terkenal daripada Ibu-Guru. Jika dia sama sekali tidak mengenal keduanya rasanya dapat dimengerti. Tapi dia mengatakan cuma mengetahui tentang Pendekar Ning, tapi tidak kenal Tuan Yue. Hal ini jelas tidak masuk akal. Tuan Ren dikurung di Danau Barat selama sepuluh tahun. Padahal waktu itu Guru sudah cukup terkenal. Dia pasti sengaja hendak mengolok-olok guruku.”
Yue Buqun menanggapi ucapan Ren Woxing dengan datar, “Namaku yang rendah memang tidak ada nilainya untuk dikenal Tuan Ren.”
Ren Woxing tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, “Eh, Tuan Yue, aku ingin mencari tahu kabar seseorang, entah kau mengetahuinya atau tidak? Yang aku tahu dia pernah menjadi murid Perguruan Huashan kalian.”
“Siapakah orang yang dimaksud Tuan Ren itu?” kata Yue Buqun.
“Orang ini sangat berbudi, cerdik, dan pandai. Wajahnya juga tampan dan ilmu silatnya tinggi,” kata Ren Woxing. “Tapi ada manusia-manusia buta yang iri hati kepadanya, serta ingin mengucilkannya. Tidak heran, banyak fitnah keji dilontarkan kepadanya. Aku yang tua ini justru sangat cocok dengannya sejak pertama kali bertemu. Oleh karena itu sudah kuputuskan untuk menjodohkan anak perempuanku ini dengan dia….”
Mendengar sampai di sini, seketika jantung Linghu Chong berdebar kencang. Samar-samar ia merasa berada dalam keadaan yang serbasusah.
Terdengar Ren Woxing melanjutkan, “Pemuda itu baik hati dan berbudi luhur. Ketika mendengar anak perempuanku ini dikurung dalam biara Shaolin ini, ia lantas memimpin beribu-ribu kesatria ke sini untuk menjemput pulang calon istrinya. Tapi dalam sekejap ia sudah menghilang entah ke mana. Calon mertua seperti aku ini menjadi gelisah dan kelabakan mencarinya. Maka itu, aku ingin mencari tahu tentang keberadaannya padamu.”
Yue Buqun menengadah dan tertawa, “Hahaha, Tuan Ren sangat sakti, kenapa calon menantu sendiri sampai lenyap? Pemuda yang dimaksud Tuan Ren tentu si bajingan cilik Linghu Chong. Dia sudah lama dikeluarkan dari perguruan kami yang terhormat.”
Ren Woxing tertawa, “Hahaha, jelas-jelas aku melihat permata tapi kau melihat batu kerikil. Pandanganmu sungguh picik. Pemuda yang kumaksud memang Linghu Chong. Hehe, kau memaki dia sebagai bajingan cilik, bukankah itu berarti kau memaki aku sebagai bajingan tua?”
Yue Buqun menjawab, “Bajingan cilik itu punya kelemahan terhadap kaum perempuan. Hanya karena tergila-gila kepada seorang gadis, ia mengerahkan sedemikian banyak kawanan anjing dan serigala dari dunia persilatan untuk mengobrak-abrik biara Shaolin yang mulia ini. Coba kalau Kakak Zuo tidak mengatur siasat yang jitu, tentu biara agung bersejarah ratusan tahun ini sudah hangus menjadi puing-puing oleh tangan mereka. Bukankah dosanya itu tak terampunkan meskipun seribu kali dihukum mati? Dia memang pernah menjadi bagian dari Perguruan Huashan. Tapi sayang, aku tidak berhasil mendidiknya dengan baik. Kini dia sudah mempermalukan banyak orang.”
Xiang Wentian tiba-tiba menyela, “Ucapan Tuan Yue sungguh kurang tepat. Tujuan Adik Linghu ke sini hanya untuk menjemput Nona Ren, bukan hendak berbuat kerusakan. Sekarang kau boleh memeriksa, selama sehari semalam mereka tinggal di sini apakah ada ranting yang patah atau rumput yang tercabut? Bahkan satu butir beras dan setetes air pun tidak mereka sentuh.”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang bicara, “Kau benar. Biara Shaolin tidak kehilangan apa-apa, tapi justru bertambah banyak harta kekayaannya berkat kedatangan mereka.”
Dari suaranya yang melengking tajam itu Linghu Chong segera mengenali bahwa pembicara tersebut adalah Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng. “Ternyata orang ini juga datang,” pikirnya.
“Bolehkah aku bertanya kepada Pendeta Yu, harta kekayaan apa yang bertambah?” tanya Xiang Wentian.
“Itu, tahi kerbau dan kencing kuda! Di mana-mana di penjuru biara Shaolin terdapat emas kuning dan air raksa berserakan,” kata Yu Canghai disusul dengan gelak tawa beberapa orang.
Sementara itu, Linghu Chong menyesal mendengarnya, “Hm, aku memang melarang mereka merusak setiap benda di biara ini, tapi lupa melarang mereka untuk tidak membuang hajat besar atau kecil di sembarang tempat. Dasar mereka itu orang-orang kasar, di setiap tempat bisa buka celana dan buang kotoran.”
Biksu Fangzheng ikut bicara, “Ketika mendengar Pendekar Linghu memimpin banyak orang datang ke sini, saya sempat merasa khawatir mereka akan membakar biara. Tapi ternyata tidak ada satu benda pun yang berkurang, hal ini benar-benar berkat kepemimpinan Pendekar Linghu yang bijaksana. Seluruh biarawan Shaolin sangat menaruh hormat kepadanya. Kelak bila bertemu dengan Pendekar Linghu, tentu saya akan menyampakan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tentang kata-kata Pendeta Yu tadi, harap Tuan Xiang jangan anggap sungguh-sungguh.”
Xiang Wentian tersenyum menjawab, “Bagaimanapun juga seorang biarawan yang saleh memang berpikiran terbuka. Sungguh jauh berbeda dengan manusia-manusia palsu berjiwa kerdil.”
Fangzheng melanjutkan, “Namun ada juga yang membuat saya merasa tidak paham. Bagaimana kedua biksuni dari Perguruan Henshan bisa wafat di dalam biara kami ini?”
“Hah?” seru Ren Yingying terkejut. “Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi telah… telah meninggal dunia?”
“Benar,” sahut Biksu Fangzheng. “Jenazah mereka ditemukan di dalam biara ini. Diperkirakan waktu kematian mereka bersamaan dengan masuknya para kawan persilatan itu ke sini. Apa barangkali Pendekar Linghu tidak sempat mencegah bawahannya sehingga kedua biksuni tewas dikerubut mereka?”
“Ini… ini sungguh aneh,” kata Ren Yingying. “Tempo hari aku bertemu kedua biksuni di ruang belakang biara ini. Berkat kemurahan hati Biksu Ketua, serta berkat permohonan kedua biksuni, maka aku mendapat kebebasan….”
Mendengar itu hati Linghu Chong bersyukur sekaligus prihatin. Ia merenung, “Ternyata berkat permohonan kedua biksuni itu, Biksu Ketua bersedia membebaskan Yingying. Sebaliknya mereka malah tewas di sini sebagai korban kepentinganku. Sebenarnya, siapakah yang telah membunuh keduanya? Aku… aku harus menuntut balas bagi mereka.”
Terdengar Ren Yingying berkata lagi, “Selama aku dikurung di biara Shaolin, beberapa kali kawan-kawan persilatan mencoba membebaskan diriku dan berbuat kerusakan di biara ini. Namun sebanyak ratusan dari mereka tertangkap oleh para biarawan Shaolin. Biksu Ketua yang bijaksana mengajarkan kepada mereka sepuluh jalan kebaikan sebelum mereka dibebaskan.”
Linghu Chong merenung mendengar kisah itu, “Biksu Fangzheng memang seorang yang bijaksana tapi cenderung suka mengandalkan kepandaiannya. Bagaimana mungkin para bawahan Yingying bersedia begitu saja meninggalkan sifat kekerasan hanya karena mendengar ceramahnya mengenai sepuluh jalan kebaikan?”
Terdengar Ren Yingying melanjutkan, “Aku sangat berterima kasih atas pertolongan kedua biksuni yang memohon kepada Biksu Ketua sehingga sudi membebaskanku. Kedua biksuni kemudian membawaku meninggalkan Gunung Shaoshi ini. Pada hari ketiga di tengah jalan kami mendapat berita bahwa Tuan… Tuan Linghu memimpin para kawan persilatan untuk menjemput diriku ke biara sini. Biksuni Dingxian mengajak untuk mempercepat perjalanan agar bisa mencegah Tuan Linghu dan rombongannya. Tapi malamnya kami bertemu seorang teman lagi yang mengatakan bahwa para kawan persilatan terbagi dalam beberapa jurusan serta menetapkan tanggal 15 bulan 12 sebagai waktu untuk berkumpul di biara Shaolin. Kedua biksuni khawatir biara Shaolin telanjur diserang, karena ternyata tidak semua kelompok berangkat bersama Tuan Linghu. Hal ini berarti mengingkari budi baik Biksu Ketua yang telah membebaskan diriku tanpa syarat. Maka Biksuni Dingxian lantas menyuruhku berangkat sendiri untuk menemui… menemui Tuan Linghu. Sementara itu mereka berdua kembali ke biara Shaolin ini untuk membantu Biksu Ketua menjaga segala kemungkinan terjadinya kekacauan di tempat suci ini.”
Perasaan Linghu Chong kembali tergetar begitu mendengar suara Ren Yingying yang terharu ketika menyebut tentang kedua biksuni, dan agak malu-malu bila menyebut tentang dirinya.
“Amitabha,” ujar Biksu Fangzheng, “Saya sangat berterima kasih atas niat baik kedua biksuni. Begitu tersiar kabar bahwa biara Shaolin akan menghadapi kesulitan, banyak kawan-kawan dari berbagai perguruan dan aliran, baik kenal ataupun tidak, berbondong-bondong datang kemari untuk membantu. Sungguh saya tidak tahu bagaimana caranya bisa membalas budi mereka itu. Untung berkat lindungan Sang Buddha, kedua pihak tidak sampai bertempur sungguh-sungguh sehingga terhindarlah malapetaka banjir darah. Aih, dengan wafatnya kedua biksuni, Perguruan Henshan kini kehilangan dua pemimpin yang bijaksana. Sungguh sayang, sungguh sayang.”
Ren Yingying melanjutkan kisahnya, “Setelah berpisah dengan kedua biksuni, malamnya aku bertemu para pendekar dari Perguruan Songshan dan tertangkap di bawah kerubutan mereka. Selama beberapa hari aku ditawan mereka sampai akhirnya diselamatkan oleh Ayah dan Paman Xiang. Sementara itu para kawan persilatan sudah masuk ke dalam biara Shaolin. Kami bertiga kemudian masuk ke sini sejak satu jam yang lalu. Namun, kami tidak mengetahui bagaimana cara kawan-kawan itu lolos dari sini, serta tidak tahu bahwa kedua biksuni juga telah meninggal.”
“Jika demikian, kedua biksuni bukan tewas di tangan Tuan Ren dan Tuan Xiang?” sahut Biksu Fangzheng.
“Aku berhutang budi pada kedua biksuni. Apabila Ayah dan Paman Xiang terlibat perselisihan dengan mereka, pasti aku akan menjadi penengah den mencegah agar mereka tidak saling melukai. Aku tidak mungkin berpangku tangan begitu saja,” ujar Ren Yingying.
“Benar juga,” kata Fangzheng.
Tiba-tiba Yu Canghai menyahut, “Tapi kelakuan kaum aliran sesat seringkali berkebalikan dengan orang biasa. Jika umumnya kebaikan dibalas dengan kebaikan, sebaliknya manusia sesat justru membalas air susu dengan air tuba!”
“Hei, aneh, sungguh aneh! Sejak kapan Pendeta Yu menjadi anggota Partai Mentari dan Bulan kami?” tanya Xiang Wentian.
“Apa? Siapa yang bilang aku masuk aliran sesat?” sahut Yu Canghai gusar.
“Kau sendiri yang bilang bahwa orang-orang partai kami suka membalas air susu dengan air tuba. Coba ingat, Ketua Lin dari Biro Pengawalan Fuwei sering membantu rumah tanggamu. Setiap tahun ia mengirim sepuluh ribu tael perak sebagai hadiah untukmu. Tapi Perguruan Qingcheng yang kau pimpin malah membantai Ketua Lin sekeluarga. Pendeta Yu sungguh memiliki nama besar dalam hal membalas kebaikan dengan kejahatan. Semua orang mengetahui hal ini. Dengan melihat kelakuanmu itu, sungguh pantas jika dirimu menjadi anggota partai kami. Bagus sekali, bagus sekali! Selamat bergabung, Pendeta Yu!”
“Huh, omong kosong! Kentut busuk!” teriak Yu Canghai semakin gusar.
Xiang Wentian berkata, “Nah! Betul, bukan? Aku menyambut dengan ucapan selamat, tapi Pendeta Yu balas memaki. Benar kata orang. Aliran sungai bisa dibelokkan, tapi watak manusia sulit diubah. Dasar orangnya suka membalas kebaikan dengan kejahatan. Jangankan perbuatan, bahkan perkataan pun sudah menunjukkan wataknya itu.”
Demi mencegah agar pertengkaran kedua orang itu tidak melebar, segera Biksu Fangzheng menyela, “Mengenai siapa yang membunuh kedua biksuni, kita bisa bertanya kepada Pendekar Linghu. Tapi sekarang begitu kalian datang, langsung membinasakan delapan orang kami. Tolong katakan apa maksud ini semua?”
Ren Woxing menjawab, “Aku sudah biasa datang dan pergi di dunia persilatan sesuka hatiku. Tidak ada seorang pun yang berani mengatur diriku. Tapi kedelapan orang ini berani membentak-bentak dan menyuruh aku keluar dari tempat persembunyian. Bukankah dosa mereka ini cukup pantas dibayar dengan kematian?”
“Amitabha!” kata Fangzheng. “Hanya karena membentak beberapa kali, Tuan Ren lantas mengambil tindakan sekeji ini. Apakah caramu ini tidak keterlaluan?”
“Hahaha! Jika Biksu Ketua menganggap ini keterlaluan, rasanya boleh juga,” sahut Ren Woxing. “Karena kau tidak membuat susah anak perempuanku, maka kuterima kebaikanmu. Kedatanganku kemari adalah untuk berterima kasih kepadamu. Maka, kali ini aku tidak ingin banyak berdebat denganmu. Masalah ini kuanggap selesai sudah.”
Biksu Fangzheng menjawab, “Jika Tuan Ren menganggap sudah beres, maka beres sudah. Namun kalian telah membunuh delapan orang di biara kami. Lantas bagaimana kami harus menyelesaikan masalah ini?”
“Penyelesaian apa lagi?” sahut Ren Woxing. “Anggota Partai Mentari dan Bulan sangat banyak. Jika kalian mampu silakan saja bunuh delapan orang di antara mereka sebagai tebusan yang setimpal.”
“Amitabha! Sembarangan membunuh orang adalah dosa besar,” kata Fangzheng. “Hm, Ketua Zuo, dua di antara delapan orang yang terbunuh ini adalah murid-murid kalian. Menurutmu, bagaimana cara penyelesaian masalah ini?”
Belum sempat Zuo Lengchan menanggapi, Ren Woxing segera mendahului, “Aku yang telah membunuh mereka, kenapa kau tanya cara penyelesaiannya kepada orang lain? Kenapa tidak tanya kepadaku saja? Dari nadamu ini rupanya kalian hendak main kerubut terhadap kami bertiga.”
“Bukan begitu maksudku,” kata Fangzheng. “Hanya saja, Tuan Ren sekarang telah muncul kembali di dunia persilatan. Saya takut banyak orang yang akan binasa di tangan Tuan Ren. Maka itu, saya bermaksud meminta kalian agar sudi tinggal di biara ini untuk bersembahyang dan membaca kitab. Dengan demikian barulah dunia persilatan ini aman dan tenteram. Entah bagaimana pendapat kalian?”
Ren Woxing menengadah dan tertawa, “Hahaha, bagus sekali, bagus sekali! Usul yang sangat menarik.”
Fangzheng berkata lagi, “Ketika putrimu tinggal di belakang biara ini, setiap murid Shaolin menaruh hormat kepadanya. Segala pelayanan kami tidak pernah kurang. Saya menahan putrimu di sini bukan untuk membalas dendam atas murid-murid kami yang menjadi korban keganasan putrimu. Aih, dendam dibalas dendam tidak akan pernah ada ujungnya. Mungkin kematian murid-murid kami itu adalah karma atas perbuatan mereka di kehidupan sebelumnya. Namun Nona Ren sendiri begitu mudah mencabut nyawa orang. Bila dia berdiam di sini untuk mendamaikan pikiran dan membangun jiwanya, tentu hal ini sangat baik untuk banyak orang.”
Ren Woxing kembali tertawa, “Hahaha, dalam hal ini Biksu Ketua memiliki maksud yang sangat baik.”
Fangzheng melanjutkan, “Namun di luar dugaan, karena maksud saya itu, dunia persilatan menjadi kacau. Padahal, saya sama sekali tidak bermaksud menyekap Nona Ren. Putrimu datang sendiri ke biara ini untuk meminta pertolongan. Apabila kami bersedia mengobati penyakit Pendekar Linghu, ia bersedia dihukum mati demi menebus nyawa murid-murid kami. Namun saya tidak setuju menukar nyawa dengan nyawa. Saya hanya meminta Nona Ren tinggal di belakang biara ini untuk menemukan kedamaian batin, serta tidak boleh meninggalkan Gunung Shaoshi ini tanpa seizin saya. Putrimu langsung setuju. Bukankah begitu, Nona Ren?”
Ren Yingying menjawab lirih, “Benar.”
Linghu Chong sangat bersyukur setelah mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Sejak awal ia yakin Biksu Fangzheng tidak mungkin menyusahkan Ren Yingying, dan kini ia semakin yakin atas hal itu. Demi mengetahui pengorbanan Ren Yingying untuknya, tanpa terasa air mata meleleh di pipi pemuda itu.
Tiba-tiba Yu Canghai tertawa, “Hehe, gadis ini sungguh setia. Tapi sayang, Linghu Chong punya kelakuan yang tidak senonoh. Dahulu aku pernah memergokinya bermalam di rumah pelacuran di Kota Hengshan. Aku rasa cinta Nona Ren akan disia-siakan olehnya.”
Xiang Wentian menanggapi, “Jadi, Pendeta Yu memergoki dia di rumah pelacuran? Apakah kau melihatnya dengan mata kepala sendiri? Apa tidak keliru?”
“Tentu saja aku melihatnya sendiri. Mana mungkin aku salah lihat?” sahut Yu Canghai.
Xiang Wentian berkata dengan suara perlahan, “Apakah Pendeta Yu juga berada di rumah pelacuran itu?”
“Tentu saja,” jawab Yu Canghai mantap.
“Hahahaha,” Xiang Wentian bergelak tawa. “Ternyata kita berdua punya kebiasaan yang sama. Eh, siapa nama perempuan kegemaranmu di rumah pelacuran itu? Cantik, tidak?”
“Omong kosong! Omong kosong!” gerutu Yu Canghai dengan muka merah.
“Hahahaha, sungguh menggelikan!” sahut Xiang Wentian dengan gelak tawa semakin menjadi-jadi.
Yu Canghai sendiri memang kurang disukai oleh kebanyakan kaum lurus bersih. Diam-diam beberapa di antara mereka ikut tersenyum menahan geli mendengar olok-olok Xiang Wentian.
Biksu Fangzheng kembali berkata, “Tuan Ren, silakan kalian bertirakat di Gunung Shaoshi ini saja! Kita ubah hubungan dari lawan menjadi kawan. Asalkan kalian bertiga tidak meninggalkan pegunungan ini, saya berani menjamin takkan ada orang yang berani mencari perkara kepada kalian bertiga. Selanjutnya kita akan sama-sama hidup tenteram sejahtera. Bukankah hidup damai dan bahagia adalah dambaan setiap orang?”
Linghu Chong sangat heran mendengar betapa tulus tutur kata Biksu Fangzheng. Ia merenung, “Biksu Ketua ini sungguh polos. Maksud baiknya sangat tidak masuk akal. Ketiga orang ini sangat mudah mencabut nyawa orang, bahkan tanpa berkedip. Tapi Biksu Ketua meminta mereka tinggal di Gunung Shaoshi dengan sukarela. Sungguh aneh.”
Sambil tersenyum Ren Woxing menjawab, “Maksud baik Biksu Fangzheng benar-benar pantas dipuji. Sebenarnya aku bisa menuruti keinginanmu.”
“Jadi, Tuan bersedia tinggal di Gunung Shaoshi ini?” sahut Fangzheng dengan nada senang.
“Benar,” jawab Ren Woxing.
“Kalau demikian, saya akan segera memperiapkan ruang kamar. Mulai sekarang kalian bertiga menjadi warga kehormatan di biara Shaolin ini,” ujar Fangzheng dengan gembira.
“Tapi,” sahut Ren Woxing menyela, “aku hanya bisa tinggal di sini selama enam jam saja. Lebih lama dari itu aku tidak sanggup.”
Fangzheng tampak sangat kecewa dan berkata, “Hanya enam jam? Apa gunanya waktu sesingkat itu?”
Ren Woxing tertawa dan menjawab, “Sebenarnya aku ingin tinggal beberapa hari lebih lama agar bisa bercengkerama dengan para sahabat di sini. Namun sayang, namaku ini sudah telanjur kurang baik. Jadi, apa boleh buat?”
“Saya tidak paham,” kata Fangzheng bingung. “Apa hubungannya dengan nama Tuan yang terhormat?”
“Hm, margaku kurang baik, namaku juga kurang baik,” sahut Ren Woxing. “Aku bermarga Ren, dan bernama Woxing. Nama ‘ren-wo-xing’ bermakna ‘pergi ke mana pun sesuka hatiku’. Andai aku tahu, sejak awal aku akan mencari nama yang lebih bagus, misalnya Ren Nixing. Sekarang sudah telanjur punya nama seperti ini, apa boleh buat? Terpaksa aku berbuat sesuka hatiku. Ke mana aku ingin pergi, di situlah aku tiba.”
“Oh, rupanya Tuan Ren sengaja mempermainkan saya,” kata Fangzheng kurang senang.
“Mana aku berani?” sahut Ren Woxing. “Di antara tokoh-tokoh terkemuka pada zaman ini yang kukagumi, boleh dikata sangat terbatas. Hanya berjumlah tiga setengah saja. Biksu Ketua termasuk satu di antaranya. Selain itu masih ada tiga setengah orang lagi yang tidak kusukai.” Ucapannya ini terdengar sungguh-sungguh, sama sekali tidak ada maksud bercanda.
Dengan merangkap kedua tangan Fangzheng berkata, “Amitabha! Saya tidak berani menerima sanjungan Tuan Ren.”
Semua orang, termasuk Linghu Chong yang bersembunyi di balik papan nama, merasa heran dan ingin tahu siapa saja tiga setengah orang pada zaman ini yang dikagumi oleh gembong aliran sesat ini, dan siapa lagi tiga setengah orang yang tak disukainya itu.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring seseorang berseru, “Tuan Ren, siapa saja yang kau kagumi itu?”
Dengan merasakan jumlah tarikan dan hembusan napas di tempat itu, Linghu Chong memperkirakan ada sepuluh orang dalam rombongan Fangzheng. Namun sayang, ia hanya mengenali tujuh di antara mereka sesuai dengan yang disebutkan oleh sang biksu ketua tadi. Sisanya yang tiga orang belum sempat diperkenalkan, termasuk orang yang berteriak itu.
“Maaf, engkau tidak termasuk di antaranya,” sahut Ren Woxing dengan tertawa.
“Mana aku berani disejajarkan dengan Biksu Fangzheng?” kata orang itu. “Sudah tentu aku termasuk orang yang tidak disukai Tuan Ren.”
“Kau pun tidak termasuk di antara tiga setengah orang yang tidak kusukai,” kata Ren Woxing. “Jika kau berlatih selama tiga puluh tahun lagi, mungkin kelak bisa membuatku tidak suka kepadamu.”
Orang itu langsung terdiam. Linghu Chong berpikir, “Ternyata menjadi orang yang tidak disukai Tuan Ren sangat sulit.”
“Apa yang dikatakan Tuan Ren benar-benar sesuatu yang sangat menarik,” kata Fangzheng.
“Biksu Ketua, apakah kau ingin tahu siapa-siapa lagi yang kukagumi dan siapa-siapa pula yang tidak kusukai?” tanya Ren Woxing.
“Memang saya ingin mendengar penjelasan Tuan,” sahut Fangzheng.
“Biksu Ketua, engkau berhasil memelajari Ilmu Mengubah Otot dengan sempurna. Tenaga dalammu juga mahatinggi. Tapi engkau tetap rendah hati dan sederhana. Biarawan saleh seperti dirimu ini adalah orang yang paling kukagumi di dunia.”
“Saya tidak pantas menerima sanjungan Tuan Ren,” ujar Fangzheng.
“Biksu Ketua adalah orang yang paling kukagumi,” kata Ren Woxing. “Adapun orang kedua yang kukagumi adalah dia yang telah merebut jabatanku dalam Partai Mentari dan Bulan. Dia adalah Dongfang Bubai.”
Semua orang terkejut heran karena hal ini sama sekali di luar dugaan. Untungnya Linghu Chong masih bisa menahan diri untuk tidak bersuara. Ia hanya tidak habis mengerti, mengapa Dongfang Bubai yang telah berhasil menangkap dan memenjarakan Ren Woxing sekian lamanya, justru masuk ke dalam daftar orang yang dikagumi, bukan yang dibenci.
Terdengar Ren Woxing melanjutkan, “Ilmu silatku cukup tinggi. Aku juga terkenal cerdik dan banyak akal, bahkan jarang ada bandingannya di muka bumi. Tak kusangka, aku bisa dipecundangi oleh tutur kata Dongfang Bubai dan hampir terkubur seumur hidup di dasar danau. Dongfang Bubai adalah tokoh hebat. Orang seperti dia apa tidak pantas untuk dikagumi?”
“Betul juga alasan Tuan,” ujar Fangzheng sambil mengangguk.
Ren Woxing melanjutkan, “Dan orang ketiga yang kukagumi adalah tokoh terhebat dari Perguruan Huashan pada masa kini.”
Kembali semua orang merasa heran di luar dugaan. Linghu Chong bingung mendengarnya karena tadi Ren Woxing sengaja mengolok-olok Yue Buqun, tapi siapa tahu di dalam hati justru mengagumi gurunya itu.
Merasa suaminya dipermainkan, Ning Zhongze membuka suara, “Kau tidak perlu menyindir dan mempermalukan orang.”
“Haha, Nyonya Yue, apakah kau mengira suamimu termasuk orang yang kukagumi?” Ren Woxing tertawa. “Huh, masih selisih terlalu jauh. Orang Huashan yang kukagumi adalah Feng Qingyang. Ilmu pedang Tuan Feng mahasakti dan jauh lebih hebat dariku. Aku sungguh mengagumi dia setulus hati.”
“Apakah Tuan Feng masih hidup di dunia ini?” tanya Fangzheng sambil memandang Ren Woxing, lalu berpaling ke arah Yue Buqun.
“Paman Guru Feng sudah mengasingkan diri beberapa puluh tahun yang lalu. Selama ini tidak pernah terdengar kabar beritanya,” jawab Yue Buqun. “Apabila Beliau masih hidup, tentu sungguh suatu keberuntungan bagi Perguruan Huashan kami.”
Ren Woxing menanggapi, “Hm, Tuan Feng adalah orang Kelompok Pedang, sementara dirimu dari Kelompok Tenaga Dalam. Kedua cabang Perguruan Huashan kalian ini biasanya saling bermusuhan. Keuntungan apa bagimu jika Tuan Feng ternayata benar-benar masih hidup?”
Wajah Yue Buqun sebentar pucat sebentar merah karena olok-olok itu. Namun ia memilih diam menahan amarah.
Sejak awal Linghu Chong hanya menduga-duga kalau Feng Qingyang berasal dari Kelompok Pedang dalam perguruannya. Kini setelah mendengar ucapan Ren Woxing tadi, keraguannya hilang sama sekali.
Terdengar Ren Woxing tertawa dan berkata, “Kau tidak perlu khawatir! Tuan Feng sudah melepaskan urusan dunia persilatan. Apa kau takut ia akan muncul kembali dan merebut kedudukan sebagai ketua?”
Dengan tegas Yue Buqun menjawab, “Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Bila Paman Feng muncul kembali dan sudi menggantikan diriku sebagai ketua, sungguh aku merasa sangat gembira. Apakah Tuan Ren dapat memberi tahu tempat kediaman Paman Feng agar aku dapat mengunjungi Beliau? Jika demikian, kami semua dari Perguruan Huashan akan sangat berterima kasih padamu.”
“Pertama, aku tidak tahu di mana keberadaan Tuan Feng,” jawab Ren Woxing sambil menggelengkan kepala. “Kedua, seandainya aku tahu juga takkan kukatakan kepadamu. Tusukan tombak dari depan mudah dielakkan, tapi serangan senjata rahasia dari belakang sukar dihindari. Sangat mudah menghadapi musuh, tapi menghadapi seorang munafik benar-benar membuat kepala pusing.”
Yue Buqun memilih diam. Linghu Chong berpikir, “Guru seorang kesatria yang terkenal ramah dan santun. Beliau tidak mungkin bertengkar hanya karena ejekan orang.”
Ren Woxing kemudian berpaling ke arah Pendeta Chongxu dan berkata, “Orang keempat yang kukagumi adalah si hidung kerbau tua ini. Ilmu Pedang Taichi andalan Perguruan Wudang yang kau pimpin sungguh luar biasa. Kau sendiri pandai menjaga diri dan tidak suka banyak ikut campur urusan dunia persilatan. Hanya saja, kau tidak mahir mendidik murid. Di antara sekian banyak murid-murid Wudang tidak ada satu pun bibit muda yang menonjol. Lihat saja, kalau kau si tua bangka sudah pulang ke dunia atas, mungkin ilmu Pedang Taichi kalian juga ikut lenyap. Lagi pula meski kau memiliki ilmu pedang cukup tinggi, namun belum tentu mampu mengalahkan diriku. Maka itu, aku hanya kagum setengah saja padamu.”
“Hahaha, bisa mendapat setengah kekaguman dari Tuan Ren sudah cukup menaikkan harga diriku. Terima kasih banyak,” seru Pendeta Chongxu sambil tertawa.
“Tidak perlu segan,” sahut Ren Woxing. Ia kemudian berpaling kepada Zuo Lengchan dan berkata, “Ketua Zuo, kau tidak perlu tersenyum di wajah, tapi marah di dalam perut. Kau memang tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang kukagumi. Namun dalam daftar tiga setengah orang yang tidak kusukai, kau justru menduduki peringkat pertama.”
“Hahaha, aku merasa sangat tersanjung,” sahut Zuo Lengchan.
“Ilmu silatmu hebat, pikiranmu juga cerdas. Sangat cocok dengan seleraku,” ujar Ren Woxing. “Kau bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu partai besar untuk mengimbangi Shaolin dan Wudang. Cita-citamu setinggi langit, sungguh patut dipuji. Hanya sayang, kau suka menggunakan berbagai macam tipu muslihat keji. Ini jelas bukan perbuatan seorang kesatria sejati dan tidak pantas dikagumi.”
“Hm, di antara tiga setengah tokoh-tokoh yang tidak kusukai di zaman ini, kau justru hanya termasuk yang setengah saja,” ejek Zuo Lengchan.
“Huh, kau hanya meniru saja, sama sekali tidak punya pendirian sendiri. Maka itu, kau tidak pantas dikagumi, bahkan sangat tidak kusukai,” kata Ren Woxing sambil menggeleng. “Apabila semua orang seperti dirimu yang hanya bisa meniru tanpa memiliki pendirian sendiri, tentu dalam sepuluh tahun kemudian dunia persilatan ini akan sepi dari jurus-jurus baru.”
“Hm, kau sengaja mengobrol ke barat dan ke timur,” ujar Zuo Lengchan, “apakah kau ingin mengulur waktu atau sedang menunggu bala bantuan?”
Ren Woxing tertawa lirih, “Hehe, apakah kau bermaksud mengerubut kami bertiga dengan jumlah kalian yang jauh lebih banyak itu?”
“Kau datang ke biara Shaolin ini dan membunuh sesuka hatimu, lalu hendak pergi dengan santai, memangnya kau anggap kami ini patung semua?” kata Zuo Lengchan. “Pendek kata, apakah kau menuduh kami main kerubut atau menyebut kami tidak mengutamakan tata tertib dunia persilatan, yang pasti kau telah membunuh murid-murid Perguruan Songshan kami. Sekarang aku, Zuo Lengchan, berada di sini. Bagaimanapun juga aku ingin minta petunjuk beberapa jurus darimu.”
Tiba-tiba Ren Woxing berkata kepada Biksu Fangzheng, “Biksu Ketua, di sini ini Biara Shaolin atau cabang Perguruan Songshan?”
“Aih, Tuan Ren sudah tahu tapi sengaja bertanya, sudah tentu di sini Biara Shaolin,” sahut Fangzheng.
“Jika demikian, segala urusan di sini yang mengambil keputusan ketua Perguruan Shaolin atau ketua Perguruan Songshan?” tanya Ren Woxing.
“Meski saya yang menjadi tuan rumah, tapi kalau kawan-kawan memiliki saran juga akan kuterima,” kata Fangzheng.
“Hahahaha, memang benar ada satu usulan bagus,” seru Ren Woxing sambil tertawa. “Karena sadar kalau bertempur satu lawan satu pasti kalah, maka sekarang kalian ingin main kerubut. Hei, orang bermarga Zuo! Jika hari ini kau mampu merintangi kepergianku, maka selanjutnya kau tidak perlu turun tangan lagi. Aku akan menggorok leher sendiri di depan matamu.”
Zuo Lengchan berkata, “Kami berjumlah sepuluh orang. Merintangi dirimu mungkin suatu pekerjaan yang sulit. Tapi untuk membunuh anak perempuanmu kurasa bukan masalah yang berat.”
“Amitabha! Janganlah kita main bunuh-membunuh!” sela Fangzheng.
Hati Linghu Chong ikut berdebar. Ia tahu apa yang dikatakan Zuo Lengchan itu sungguh bukan gertakan belaka. Di antara kesepuluh orang tersebut kalau bukan ketua sesuatu perguruan ternama tentu pendekar papan atas. Bagaimanapun tingginya ilmu silat Ren Woxing paling-paling hanya bisa menyelamatkan diri sendiri saja. Apakah Xiang Wentian juga bisa menyelamatkan diri sukar dibayangkan. Apalagi Ren Yingying, jelas tiada harapan.
Tapi Ren Woxing dengan tenang menjawab, “Bagus sekali. Aku dengar Ketua Zuo punya seorang anak laki-laki yang ilmu silatnya tidak terlalu tinggi. Tuan Yue juga punya seorang anak perempuan. Pendeta Yu rasanya punya beberapa gundik cantik dan tiga anak laki-laki. Pendeta Tianmen tidak punya anak, tapi punya banyak murid yang disayanginya. Tuan Besar Mo masih punya ayah dan ibu yang sudah tua. Zhenshan Zi, si Pedang Tunggal Qiankun dari Perguruan Kunlun punya seorang cucu. Ada lagi Ketua Xie dari Partai Pengemis, eh, Saudara Xiang, apakah dia punya orang yang disayangi?”
Mendengar itu Linghu Chong merenung, “Jadi Paman Mo juga ada di sini. Ternyata Tuan Ren sudah mengenali mereka semua, meskipun Biksu Fangzheng tidak tuntas memperkenalkan rombongannya. Tidak hanya itu, ia bahkan mengetahui dengan rinci seluk beluk keluarga masing-masing kesepuluh tokoh golongan lurus bersih tersebut.”
Terdengar Xiang Wentian menjawab, “Kudengar dua petinggi Partai Pengemis yang dijuluki sebagai Utusan Teratai Putih dan Utusan Teratai Hijau sebenarnya adalah anak haram Ketua Xie.”
“Apakah kau tidak keliru? Janganlah sampai kita salah membunuh orang baik-baik!” ujar Ren Woxing.
“Tidak mungkin salah,” jawab Xiang Wentian, “hamba sudah menyelidikinya dengan jelas.”
“Apa hendak dikata? Andaikan salah membunuh juga tidak bisa dihindari,” kata Ren Woxing sambil mengangguk. “Terpaksa kita bunuh saja tiga atau empat puluh orang Partai Pengemis. Paling tidak, dua di antaranya adalah sasaran yang kita cari.”
“Pendapat Ketua sungguh tepat,” ujar Xiang Wentian memuji.
Setiap kali Ren Woxing menyebut sanak keluarga kesepuluh lawannya, baik Zuo Lengchan maupun yang lain merasa ngeri. Mereka tahu setiap perkataan gembong aliran sesat itu bukan bualan belaka. Jika anak perempuannya benar-benar dibunuh, maka dia pasti akan membalas dengan cara yang lebih keji terhadap sanak keluarga mereka. Kalau dipikir-pikir sungguh membuat bulu roma merinding. Maka, suasana ruangan itu langsung menjadi sunyi. Wajah semua orang tampak berubah pucat.
Selang sejenak barulah Fangzheng berkata, “Balas-membalas tentu tiada akhirnya. Tuan Ren, kami takkan mengganggu putrimu. Kami hanya meminta kalian bertiga menjadi tamu kehormatan di sini selama sepuluh tahun saja.”
“Tidak bisa,” sahut Ren Woxing. “Nafsu membunuhku sudah tergerak. Aku sudah tidak sabar ingin mulai membunuh putra Ketua Zuo dan keempat gundik cantik Pendeta Yu itu. Begitu pula dengan anak perempuan Tuan Yue juga takkan kubiarkan hidup.”
Linghu Chong terperanjat di tempat persembunyinya. Ia tidak tahu apakah ucapan Ren Woxing itu hanya untuk menakut-nakuti saja atau sungguh-sungguh ia akan mengadakan pembantaian secara besar-besaran.
“Tuan Ren, bagaimana kalau kita mengadakan taruhan?” tiba-tiba Pendeta Chongxu bertanya.
“Tidak. Dalam hal taruhan aku sering sial, tidak punya keahlian,” jawab Ren Woxing. “Tapi kalau membunuh orang aku yakin pasti berhasil. Membunuh jago-jago papan atas mungkin bisa gagal. Tapi membunuh anak-istri atau ayah-ibu mereka aku cukup yakin akan terlaksana.”
“Membunuh orang-orang yang tidak paham ilmu silat bukan perbuatan kesatria,” kata Chongxu.
“Meskipun tidak kesatria, tapi sedikitnya akan membuat musuh-musuhku menyesal seumur hidup, dan aku merasa senang,” kata Ren Woxing.
“Kau sendiri akan kehilangan anak perempuan, apakah itu menyenangkan?” ujar Pendeta Chongxu. “Kehilangan anak perempuan berarti takkan punya menantu pula. Dan menantumu tentu akan menjadi menantu orang lain. Untuk ini rasanya kau pun akan kehilangan nama baik.”
“Apa boleh buat?” kata Ren Woxing. “Terpaksa aku harus membunuh mereka semuanya. Siapa suruh calon menantuku tidak setia kepada anak perempuanku?”
“Begini saja, kami tidak akan main kerubut dan kau juga jangan sembarangan membunuh,” kata Chongxu. “Kita bisa bertanding secara adil. Kalian bertiga bertanding tiga babak melawan tiga orang di antara kami. Bisa menang dua babak saja sudah cukup.”
Biksu Fangzheng mengangguk setuju, “Usulan Saudara Chongxu memang lain daripada yang lain. Kita bisa bertanding secara bersahabat, tidak perlu sampai binasa.”
“Jika kami bertiga kalah, apakah diharuskan tinggal selama sepuluh tahun di sini?” tanya Ren Woxing.
“Benar,” jawab Chongxu. “Bila pihak kalian menang dua babak saja, dengan sendirinya kami mengaku kalah dan kalian bebas untuk pergi. Kematian kedelapan murid kami ini anggap saja sia-sia.”
“Aku memang setengah kagum kepadamu. Maka itu, aku merasa kata-katamu setengah masuk akal,” kata Ren Woxing. “Siapa di antara kalian yang akan maju? Bolehkah aku yang memilih?”
Zuo Lengchan langsung menanggapi, “Biksu Fangzheng adalah tuan rumah, sudah pasti dia akan turun gelanggang. Kepandaianku sudah terlena selama belasan tahun. Ini adalah saat yang tepat untuk mencoba tenagaku lagi. Bagaimana dengan babak ketiga? Karena pertandingan ini adalah usulan Pendeta Chongxu, rasanya aneh jika dia hanya berpeluk tangan menonton saja. Mau tidak mau ia harus memperlihatkan pula kehebatan ilmu Pedang Taichi andalan Perguruan Wudang.”
Zuo Lengchan sungguh cerdik dalam menunjuk orang. Di antara kesepuluh orang itu, Biksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan dirinya sendiri merupakan tiga jago yang paling sakti. Begitu menyebutkan tiga nama yang akan maju, Zuo Lengchan seolah menunjukkan kalau pihaknya pasti keluar sebagai pemenang. Ren Yingying hanya seorang gadis yang belum genap sembilan belas tahun. Meskipun ilmu silatnya termasuk tinggi, tapi pengalaman bertandingnya cenderung masih kurang. Maka, dengan siapa pun ia nanti berhadapan dapat dipastikan kekalahannya. Sementara itu, Yue Buqun dan yang lain tersenyum setuju memahami siasat Zuo Lengchan.
Biksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan Zuo Lengchan adalah tiga tokoh terhebat dalam kelompok lurus bersih. Ilmu silat mereka rasanya tidak di bawah Ren Woxing. Dibandingkan dengan Xiang Wentian, mereka sedikit lebih unggul. Jadi, secara perhitungan, pihak Ren Woxing sangat sulit bisa menang dua babak saja. Yang dikhawatirkan orang-orang adalah apabila Ren Woxing berhasil meloloskan diri dan membantai sanak keluarga mereka sesuai yang disebutkan di awal tadi.
Ternyata Ren Woxing menolak usulan itu. Ia menggeleng dan berkata, “Pertandingan tiga babak kurasa tidak baik. Lebih baik kita bertanding hanya satu babak saja. Kalian boleh pilih seorang jago, demikian juga pihak kami. Dengan demikian urusan menjadi sederhana.”
“Saudara Ren, hari ini kalian bertiga berada dalam wilayah kami. Kami bersepuluh ini sudah tiga kali lebih kuat daripada pihakmu. Bahkan, seandainya Biksu Ketua mengeluarkan perintah, puluhan jago-jago biara Shaolin seketika akan muncul. Belum lagi ditambah jago-jago dari perguruan lainnya,” kata Zuo Lengchan.
“Itu sebabnya kalian ingin menang dengan cara mengerubut kami, begitu?” ejek Ren Woxing.
“Memang,” sahut Zuo Lengchan. “Kami akan mengerubut kalian.”
“Huh, tidak tahu malu!” ujar Ren Woxing mengolok-olok lagi.
“Membunuh orang tanpa alasan adalah perbuatan yang lebih memalukan,” balas Zuo Lengchan.
“Apakah membunuh orang harus memakai alasan? Ketua Zuo, kau ini pemakan daging atau pemakan sayuran?” Ren Woxing bertanya.
“Jika aku ingin membunuh seseorang, maka akan kubunuh dia. Apa hubungannya dengan jenis makanan?” sahut Zuo Lengchan geram.
“Apakah setiap orang kau bunuh pantas dibunuh?” desak Ren Woxing.
“Tentu saja,” jawab Zuo Lengchan.
Ren Woxing tersenyum, “Kau memakan daging sapid an kambing. Apa dosa yang telah mereka lakukan?”
Biksu Fangzheng menyela, “Amitabha, jalan pikiran Tuan Ren sama dengan Sang Buddha.”
“Biksu Fangzheng jangan terpengaruh ucapannya,” sahut Zuo Lengchan. “Dia menyamakan kedelapan murid kita dengan sapi dan kambing.”
“Serangga, semut, sapi, kambing, Sang Buddha, manusia biasa, semuanya adalah makhluk bernyawa,” kata Ren Woxing.
Fangzheng mengangguk, Benar sekali, benar sekali, Amitabha!”
“Saudara Ren, ka uterus-menerus mengulur waktu. Apakah kau takut bertanding hari ini?” seru Zuo Lengchan mengalihkan pembicaraan.
Tiba-tiba Ren Woxing bersuit panjang, sampai menggetarkan dinding ruangan. Beberapa lilin besar yang menerangi ruangan itu sampai buram nyala apinya. Setelah suara suitannya reda barulah cahaya lilin itu menyala kembali. Hati semua orang pun berdebar-debar karena suaranya itu. Wajah mereka tampak berubah agak pucat.
“Baiklah,” kata Ren Woxing kemudian, “marilah kita mulai pertandingan ini, wahai orang bermarga Zuo!”
“Seorang laki-laki sejati sekali bicara harus pegang janji,” sahut Zuo Lengchan. “Jika dua di antara kalian kalah, maka kalian harus tinggal selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi ini.”
“Baik,” sahut Ren Woxing. Jawabannya itu membuat pihak lawan lega. “Mari kita mulai! Aku melawan dirimu. Saudara Xiang nanti akan melawan si pendek Yu. Anak perempuanku biar melawan sesama perempuan. Biarlah dia melayani Nyonya Yue, alias Pendekar Ning.”
(Bersambung)
Bagian 56 ; Bagian 57 ; Bagian 58