Bagian 77 - Kasih Ibu Sepanjang Hayat

Ning Zhongze telah menyaksikan semuanya dengan jelas. Ia sangat mengetahui bagaimana kepribadian Linghu Chong, juga bagaimana perasaan pemuda itu kepada putrinya tersebut. Linghu Chong selalu memperlakukan Yue Lingshan bagaikan seorang dewi kahyangan, sehingga ia yakin semua tuduhan Yue Buqun adalah palsu belaka. Tuduhan sang suami bahwa Linghu Chong telah memerkosa dan membunuh Yue Lingshan sungguh tidak masuk akal sama sekali. Apalagi setelah menyaksikan sendiri betapa besar rasa cinta dan kesetiaan Linghu Chong terhadap Ren Yingying, keyakinan Ning Zhongze bahwa suaminya telah melancarkan fitnah besar semakin kuat pula.
Ning Zhongze juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana suaminya telah dikalahkan oleh Linghu Chong, namun pemuda itu tidak tega menyerang lebih lanjut. Sebaliknya, Yue Buqun malah balas menyerang dari belakang secara keji dan tiba-tiba. Golongan hitam sekalipun tidak sudi melakukan perbuatan serendah itu, namun seorang ketua Perguruan Lima Gunung yang terhormat ternyata tega berbuat demikian. Sungguh memalukan, sungguh memuakkan.
Dalam keadaan putus asa Ning Zhongze bertanya lirih, “Chong-er, apakah benar Shan-er telah dibunuh oleh Lin Pingzhi?”
Linghu Chong menjadi pilu, air matanya pun jatuh bercucuran. “Murid…aku…aku…” sahutnya tersedu-sedu.
“Dia tidak sudi menganggapmu sebagai murid, tapi aku masih tetap mengakuimu sebagai murid,” ujar Ning Zhongze. “Jika kau tidak keberatan, maka aku dapat tetap menjadi ibu-gurumu.”
Linghu Chong sangat terharu. Ia pun menyembah sambil berseru, “Ibu Guru! Ibu Guru!”
Perlahan-lahan Ning Zhongze membelai rambut Linghu Chong sambil mengalirkan air mata. Dengan lirih ia berkata, “Apakah yang dikatakan Nona Ren benar? Apakah Lin Pingzhi telah berhasil menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis dan bergabung dengan Zuo Lengchan pula? Dan... dan apakah benar dia juga membunuh Shan-er?”
“Benar,” sahut Linghu Chong.
“Coba kau putar tubuhmu ke sana,” kata Ning Zhongze, “Akan kuperiksa lukamu.”
“Baik,” jawab Linghu Chong sambil memutar tubuhnya. Ning Zhongze lantas menyobek baju bagian punggung pemuda itu, dan kemudian menotok urat nadinya untuk menghentikan pendarahan. “Apa kau membawa obat luka Perguruan Henshan?” ujarnya kemudian.
“Ya, ada,” jawab Linghu Chong. Segera Ren Yingying mengambil obat tersebut dari balik baju Linghu Chong dan menyerahkannya kepada Ning Zhongze.
Ning Zhongze perlahan membersihkan darah pada luka Linghu Chong, baru kemudian menaburkan obat Perguruan Henshan yang terkenal manjur itu kepadanya. Ia lantas mengeluarkan sehelai saputangan berwarna putih bersih untuk menutup luka itu, lalu merobek gaunnya sebagai pembalut.
Linghu Chong selalu menganggap Ning Zhongze seperti ibu kandung sendiri, sehingga perlakuan tersebut membuat hatinya sangat nyaman dan terharu. Rasa sakit pada lukanya sampai-sampai terlupakan.
“Kelak tugas membunuh Lin Pingzhi untuk membalaskan sakit hati Shan-er menjadi tanggung jawabmu,” kata Ning Zhongze kemudian.
“Tapi Adik… Adik Kecil telah meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Ia berpesan agar aku melindungi Lin Pingzhi. Permintaan terakhirnya itu terpaksa kusanggupi, maka urusan ini… sungguh membuatku sulit,” jawab Linghu Chong.
“Karma, ini karma,” ujar Ning Zhongze sambil menghela napas panjang. “Chong-er, untuk selanjutnya terhadap siapa pun juga janganlah kau terlalu berbaik hati!” lanjutnya.
Ucapan Ning Zhongze itu diakhiri dengan penegasan. Linghu Chong pun menjawab, “Baik.”
Tiba-tiba tengkuknya terasa hangat-hangat basah, seperti terkena tetesan benda cair. Begitu menoleh, dilihatnya muka Ning Zhongze telah memutih, pucat pasi. Ia pun terkejut dan menjerit, “Ibu Guru!”
Segera Linghu Chong bangkit dan memegangi tubuh Ning Zhongze. Ternyata sebilah pisau belati telah menancap di dada istri Yue Buqun tersebut, tepat di bagian jantung. Seketika wanita itu pun meninggal dunia.
Linghu Chong terkejut bukan kepalang hingga mulutnya ternganga tak bisa bersuara. Ren Yingying juga sangat terperanjat, namun karena tidak memiliki hubungan keluarga dengan Ning Zhongze, maka rasa sedihnya tidak terlalu mendalam. Segera ia memapah Linghu Chong yang tampak lemas itu. Selang sejenak, barulah Linghu Chong dapat menangis.
Melihat kejadian sedih tersebut, Bao Dachu berpikir tentu akan banyak kata-kata mesra diucapkan oleh mereka berdua. Maka, ia pun tidak berani mengganggu sedikit pun. Segera diangkatnya tubuh Yue Buqun dan ia lantas mengundurkan diri agak jauh di tempat Sesepuh Mo berdiri.
“Untuk apa mereka me… menangkap guruku?” kata Linghu Chong.
“Kau masih memanggil guru padanya?” ujar Ren Yingying.
“Sudah terbiasa,” sahut Linghu Chong. “Mengapa Ibu Guru bunuh diri? Mengapa… mengapa Ibu Guru bunuh diri?”
“Sudah tentu disebabkan si penjahat Yue Buqun itu,” kata Ren Yingying dengan gemas. “Apa gunanya mempunyai suami pengecut dan tidak malu seperti dia? Karena tidak bisa membunuh suami, terpaksa ia memilih bunuh diri. Kita harus lekas membunuh Yue Buqun untuk membalaskan sakit hati ibu-gurumu.”
Namun Linghu Chong menjadi ragu-ragu. “Kau berkata dia harus dibunuh? Bagaimanapun juga dia pernah menjadi guruku dan membesarkan diriku,” ujarnya.
“Meski dia pernah menjadi gurumu, pernah membesarkan dirimu pula, tapi sudah berapa kali dia bermaksud mencelakaimu? Antara budi baik dan sakit hati sudah seimbang dan saling menghapuskan. Sebaliknya, budi baik ibu-gurumu belum sempat kau balas. Coba pikir, apakah kematian ibu-gurumu ini bukan disebabkan karena perbuatannya?”
Linghu Chong menghela napas dan menjawab dengan pilu, “Budi baik Ibu Guru rasanya sukar untuk kubalas selama hidup ini. Meskipun aku dan Yue Buqun tidak memiliki hubungan lagi, tapi bagaimanapun juga aku tetap tidak dapat membunuhnya.”
“Kau tidak perlu turun tangan sendiri,” ujar Ren Yingying. Mendadak ia berseru, “Bao Dachu!”
“Ya, Nona Besar!” sahut Bao Dachu. Segera ia melangkah maju bersama Sesepuh Mo dan yang lain.
“Apakah Ayah yang telah menugasi kalian ke sini?” tanya Ren Yingying.
“Benar,” sahut Bao Dachu penuh hormat. “Atas titah Ketua Ren, hamba bersama Sesepuh Ge, Sesepuh Du, dan Sesepuh Mo, serta sepuluh saudara yang lain ditugasi untuk menangkap Yue Buqun dengan segala cara.”
“Di mana Sesepuh Ge dan Sesepuh Du?” tanya Ren Yingying.
“Tadi mereka pergi memancing kedatangan Yue Buqun dan sampai sekarang belum kembali. Jangan-jangan… jangan-jangan….”
“Coba kau geledah badan Yue Buqun,” sahut Ren Yingying.
“Baik,” jawab Bao Dachu. Segera ia mulai menggeledah tubuh Yue Buqun. Hasilnya, dari balik baju orang itu dikeluarkannya sehelai panji sutra kecil, yaitu panji kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung. Selain itu terdapat belasan tahil emas perak, dan dua potong medali tembaga.
Dengan suara gemas Bao Dachu lantas berkata, “Lapor kepada Nona Besar, Sesepuh Ge dan Sesepuh Du memang benar telah dicelakai oleh keparat ini. Dalam bajunya hamba temukan dua medali milik kedua sesepuh kita itu.” Usai berkata ia lantas mengayunkan kakinya menendang keras pinggang Yue Buqun.
“Jangan sakiti dia!” seru Linghu Chong.
“Baik,” jawab Bao Dachu penuh hormat.
“Ambil air dingin, siram dia agar siuman,” perintah Ren Yingying kemudian.
Sesepuh Mo lantas membuka kantong air yang tergantung di pinggangnya, dan menyiramkan isinya ke muka Yue Buqun. Sejenak kemudian, Yue Buqun membuka matanya sambil bersuara kesakitan di bagian pinggang dan kepala.
Ren Yingying berkata, “Orang bermarga Yue, apakah kau telah membunuh kedua sesepuh kami?”
Bao Dachu tampak meembentur-benturkan kedua medali tembaga yang dipegangnya itu hingga mengeluarkan suara nyaring.
Menyadari dirinya berada di bawah cengkeraman musuh dan tidak bisa lolos dari kematian, Yue Buqun pun memaki dengan lantang, “Memang aku yang telah membunuh mereka. Semua anggota aliran sesat adalah penjahat. Setiap orang berhak membunuhnya.”
Bao Dachu merasa gusar dan bermaksud menendang lagi. Namun begitu teringat larangan Linghu Chong tadi ia pun mengurungkan niatnya. Ia sadar hubungan Linghu Chong dengan Ketua Ren sangat baik, serta merupakan calon suami sang nona besar pula. Maka itu ia tidak berani menentang kata-kata Linghu Chong sama sekali.
Ren Yingying tertawa dingin dan menjawab, “Kau anggap dirimu sebagai ketua golongan lurus bersih, akan tetapi perbuatanmu seratus kali lebih kotor dan lebih rendah daripada orang-orang Partai Mentari dan Bulan. Secara tidak tahu malu kau berani memaki kami sebagai orang jahat. Istrimu sendiri merasa malu atas perbuatanmu, sehingga ia lebih suka bunuh diri daripada menjadi pasanganmu. Apakah kau masih punya muka untuk hidup terus di dunia ini, hah?”
“Siluman betina, berani kau sembarangan bicara. Jelas-jelas istriku dibunuh olehmu, tapi kau mengatakan ia bunuh diri,” damprat Yue Buqun.
“Coba dengarkan itu, Kakak Chong. Ucapannya sungguh tidak tahu malu,” kata Ren Yingying.
“Yingying, aku ingin mohon sesuatu padamu,” kata Linghu Chong.
“Aku tahu kau hendak memintaku agar melepaskan dia. Peribahasa mengatakan, meringkus harimau lebih mudah daripada melepas harimau,” sahut Ren Yingying. “Orang ini berhati culas dan berjiwa keji, ilmu silatnya tinggi pula. Kelak kalau kau bertemu dia lagi mungkin akan susah untuk membekuknya kembali.”
Linghu Chong menjawab, “Mulai hari ini hubunganku dengannya sebagai murid dan guru sudah putus. Semua ilmu pedangnya juga telah kupahami. Jika dia berani mencariku kembali, maka aku pun tidak akan segan-segan lagi kepadanya.”
Ren Yingying paham Linghu Chong pasti tidak mengizinkannya untuk membunuh Yue Buqun. Asalkan sekarang Linghu Chong benar-benar memutuskan segala hubungan dengan Yue Buqun, maka bila bertemu lagi juga tidak perlu gentar. Segera ia pun menjawab, “Baiklah, hari ini kita bisa mengampuni jiwanya. Nah, Sesepuh Bao dan Sesepuh Mo, selanjutnya kalian bisa sebarkan berita ini di kalangan persilatan bahwa Yue Buqun telah berhasil kita bekuk, lalu kita ampuni jiwanya. Siarkan pula bahwa Yue Buqun telah rela membuat cacad dirinya sendiri demi untuk mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis. Sekarang dia bukan seorang laki-laki, juga bukan seorang perempuan. Sebarkan berita ini supaya diketahui oleh para kesatria di seluruh jagad.”
Serentak Bao Dachu dan Sesepuh Mo mengiakan dan menyanggupi perintah tersebut. Raut muka Yue Buqun tampak pucat pasi, kedua matanya berkedip-kedip memancarkan sinar kemarahan penuh dengan rasa benci dan dendam.
Ren Yingying berkata, “Hm, kau benci padaku, memangnya aku takut padamu?” Sambil berkata demikian ia mengayunkan pedangnya untuk memotong tambang pengikat tubuh Yue Buqun. Didekatinya tawanan itu dan dibukanya sebuah totokan di bagian punggung. Lalu tangan kanannya menahan mulut ketua Perguruan Lima Gunung tersebut, sementara tangan kiri menepuk perlahan di belakang kepalanya. Tanpa kuasa Yue Buqun membuka mulut dan tahu-tahu Ren Yingying telah memasukkan semacam pil ke dalam mulutnya.
Selama melakukan perbuatan tersebut, Ren Yingying selalu membelakangi Linghu Chong sehingga Linghu Chong tidak bisa melihat dengan jelas bahwa gadis itu telah memasukkan pil ke dalam mulut gurunya. Yang dilihatnya hanyalah tambang pengikat tubuh sang guru telah dibuka dan itu membuat hatinya senang.
Ren Yingying lantas memencet hidung Yue Buqun hingga sulit bernapas. Terpaksa Yue Buqun harus membuka mulut untuk menghirup udara. Tanpa ampun Ren Yingying lantas mengerahkan tenaga dalam sehingga pil di dalam mulut Yue Buqun itu terdorong masuk ke dalam perut.
Yue Buqun gemetar membayangkan pil yang telah masuk ke dalam perutnya itu adalah Pil Pembusuk Otak, obat ajaib yang sangat keji milik aliran sesat. Ia pernah mendengar barangsiapa menelan pil itu maka setiap tahun pada perayaan hari raya perahu naga ia harus memakan obat penawarnya yang terdapat di Tebing Kayu Hitam. Karena jika tidak, maka kuman dalam pil tersebut akan bekerja dan menggerogoti otak orang itu. Tentu akibatnya sungguh mengerikan. Orang itu akan menjadi gila dan menyiksa diri sendiri. Meski orang itu sangat cerdas dan sabar dalam menghadapi setiap masalah, namun tidak mungkin ia sanggup bertahan menghapi serangan kuman Pil Pembusuk Otak. Jika otaknya sudah mulai digerogoti oleh kuman-kuman itu, maka hal pertama yang ia lakukan pasti mencakari wajah sendiri.
Begitulah, Ren Yingying lantas berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Kakak Chong, totokan Sesepuh Bao tadi agak berat, tapi kini sudah kubuka semuanya. Hanya saja ada dua titik yang butuh beberapa saat lagi baru benar-benar bisa terbuka. Setelah itu baru dia dapat berjalan kembali.”
“Terima kasih banyak padamu,” sahut Linghu Chong.
Dalam hati Ren Yingying merasa geli karena pemuda itu tidak tahu apa yang telah diperbuatnya terhadap Yue Buqun tadi. Namun bagaimanapun juga itu semua adalah demi kebaikan dan keselamatan sang kekasih hati. Selang sejenak, Ren Yingying yakin pil tadi telah dicerna dalam perut Yue Buqun dan tidak mungkin dimuntahkan keluar. Saat itu barulah ia melancarkan kembali dua titik nadi Yue Buqun yang tertotok sambil berbisik, “Setiap tahun pada hari raya perahu naga kau bisa datang ke Tebing Kayu Hitam. Di sana aku akan memberikan obat penawarnya padamu.”
Bisikan itu membuat Yue Buqun semakin yakin bahwa obat yang ditelannya tadi memang benar-benar Pil Pembusuk Otak. Tanpa kuasa badannya menjadi gemetar. “Jadi pil tadi adalah… adalah….” ujarnya gugup.
“Benar, dan kau harus diberi selamat,” kata Ren Yingying. “Obat mujarab kami itu tidak mudah dibuat. Dalam agama kami hanya tokoh-tokoh utama yang berkedudukan tinggi dan berkepandaian tinggi saja yang memenuhi syarat untuk menelan obat dewa itu. Betul tidak, Sesepuh Bao?”
“Betul sekali,” sahut Bao Dachu. “Atas kemurahan hati Ketua Ren, maka hamba berkesempatan menelan obat dewa tersebut. Maka itu, selamanya hamba sangat setia dan tunduk kepada Ketua Ren. Bahkan sejak itu, Ketua Ren juga semakin menaruh kepercayaan penuh kepada hamba. Sungguh tiada terkatakan manfaat obat dewa tersebut.”
Linghu Chong terkejut dan berkata, “Hei, kau memberikan pil….”
“Ah, mungkin karena terlalu lapar saja sehingga dia memakan barang apapun yang dilihatnya,” kata Ren Yingying dengan tersenyum. “Nah, Yue Buqun, selanjutnya kau harus berusaha membela dan mendukung kepentingan Kakak Chong dan aku. Hal ini tentu akan bermanfaat untukmu.”
Sungguh tak terlukiskan bagaimana rasa benci Yue Buqun. Ia berpikir, “Jika siluman betina ini kebetulan mengalami celaka atau dibunuh orang, maka yang akan ikut mati konyol tentulah diriku sendiri. Bahkan kalau dia hanya terluka parah sehingga tidak dapat pulang ke Tebing Kayu Hitam pada hari raya perahu naga juga sudah cukup menyusahkan diriku. Kalau sudah demikian, ke mana lagi aku harus mencarinya?” Membayangkan hal ini membuat hatinya khawatir dan badan kembali gemetar.
Sementara itu Linghu Chong menghela napas dan merenung, “Pada dasarnya Yingying berasal dari aliran sesat sehingga tingkah lakunya pun agak-agak aneh. Tapi apa yang diperbuatnya itu sesungguhnya demi kepentinganku juga. Aku tidak mungkin menyalahkan dia.”
“Sesepuh Bao,” ujar Ren Yingying kemudian. “Kau pulanglah lebih dulu ke Tebing Kayu Hitam dan melapor kepada Ketua. Katakan bahwa ketua Perguruan Lima Gunung yang terhormat, Yue Buqun alias Tuan Yue si Pedang Budiman, kini telah masuk ke dalam agama kita dengan sukarela dan setulus hati. Obat dewa milik Ketua juga sudah ditelannya sehingga dia tidak mungkin berkhianat lagi.”
Sebenarnya Bao Dachu sedang bingung karena ia ditugasi sang ketua untuk menangkap Yue Buqun entah bagaimana caranya. Sementara itu di lain pihak ia sendiri takut kepada Linghu Chong yang meminta agar Yue Buqun dibebaskan. Kini begitu mengetahui Yue Buqun telah menelan Pil Pembusuk Otak, tentu saja hatinya sangat senang dan menganggap Ren Yingying telah memberikan jalan keluar terbaik. Maka mulutnya langsung mengeluarkan sanjung puji kepada sang tuan putri, “Nona Besar telah memenangkan pertempuran dengan bijaksana. Segala urusan menjadi lancar. Ketua Ren pasti sangat bahagia mendengarnya. Hidup Ketua, hidup Nona Besar, merajai dunia persilatan, melindungi rakyat jelata!”
Ren Yingying berkata, “Karena Tuan Yue sudah masuk menjadi anggota partai kita, maka mengenai hal-hal yang merugikan nama baiknya tidak perlu lagi kalian siarkan di dunia persilatan. Mengenai pil dewa yang sudah ditelannya juga jangan sampai kalian bocorkan. Orang ini mempunyai kedudukan sangat tinggi di dunia persilatan, cerdas dan tangkas pula dalam segala hal. Kelak Ketua tentu akan sangat memanfaatkan tenaganya.”
“Kami siap melaksanakan perintah Nona Besar,” jawab Bao Dachu dan yang lain serentak.
Melihat keadaan Yue Buqun yang runyam itu, Linghu Chong ikut merasa sedih. Meskipun Yue Buqun hendak membunuhnya serta sering bersikap keji pula kepadanya, namun ia selalu terkenang kepada budi baik pasangan suami-istri Yue yang telah membearkan dirinya lebih dari dua puluh tahun lamanya. Bagaimanapun juga Linghu Chong selalu menghormati Yue Buqun sebagai seorang ayah. Sebenarnya ia bermaksud mengutarakan kata-kata yang dapat menghibur Yue Buqun, tapi tenggorokan serasa terkunci dan sukar berbicara pula.
“Sesepuh Bao,” kata Ren Yingying, “bila kalian pulang ke Tebing Kayu Hitam, sampaikanlah hormat baktiku kepada Ayah dan juga kepada Paman Xiang. Tolong sampaikan kepada Beliau berdua, bahwa aku sedang menunggu dia… menunggu dia… menunggu luka Tuan Muda Linghu sembuh dahulu, barulah aku pulang ke sana.”
Terhadap gadis lain, tentu Bao Dachu akan menjawab dengan kata-kata sanjung puji, “Hamba berharap Tuan Muda Linghu bisa lekas sembuh dan berkunjung ke Tebing Kayu Hitam bersama Nona Besar. Kami juga berharap bisa secepatnya mengangkat cawan arak untuk bersulang memberi selamat kepada Tuan Muda dan Nona Besar dalam hari yang bahagia.” Namun terhadap Ren Yingying sama sekali ia tidak berani berkata muluk-muluk seperti itu. Bahkan, memandang wajah sang nona besar saja Bao Dachu tidak berani. Ia hanya menjawab, “Baik,” sambil membungkuk memberi hormat dengan sikap sungguh-sungguh.
Bao Dachu paham tuan putrinya itu sangat pemalu. Ren Yingying memang khawatir orang-orang menertawai dirinya telah jatuh cinta kepada Linghu Chong, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi korban perasaannya. Ada yang membutakan mata sendiri, ada pula yang dibuang ke pulau terpencil hanya karena memergoki dirinya berjalan bersama Linghu Chong beberapa waktu yang lalu. Membayangkan peristiwa itu Bao Dachu tidak berani menunda lebih lama lagi. Segera ia mohon diri dan berangkat pergi bersama kawan-kawannya. Sikap hormatnya terhadap Linghu Chong bahkan melebihi hormatnya kepada Ren Yingying. Ia tahu semakin hormat kepada Linghu Chong tentu akan semakin menyenangkan hati Ren Yingying. Sebagai tokoh berpengalaman di dunia persilatan, sudah tentu Bao Dachu dapat menyelami perasaan anak gadis pada umumnya.
Sepeninggal mereka, Ren Yingying lantas berkata kepada Yue Buqun, “Tuan Yue, kau juga boleh pergi. Mengenai jenazah istrimu apakah akan kau bawa pulang ke Huashan untuk dimakamkan di sana?”
Yue Buqun menggeleng dan berkata, “Aku pasrah kepada kalian berdua. Istriku silakan dikubur di sini saja.” Usai berkata demikian, tanpa memandang sedikit pun kepada Linghu Chong maupun Ren Yingying, segera ia melangkah pergi dengan cepat. Dalam sekejap saja tubuhnya sudah menghilang di balik semak-semak pepohonan.
Menjelang senja, Linghu Chong dan Ren Yingying telah selesai memakamkan jenazah Ning Zhongze di samping kuburan Yue Lingshan. Karena hatinya merasa berduka, kembali Linghu Chong menangis sedih.
Esok paginya Ren Yingying bertanya kepada Linghu Chong, “Kakak Chong, bagaimana keadaaan lukamu yang baru?”
“Kali ini tidak terlalu parah, kau tidak perlu khawatir,” jawab pemuda itu.
“Bagus kalau begitu. Tempat kita ini sudah diketahui orang, kurasa dua-tiga hari lagi kita harus pindah ke tempat lain,” ujar Ren Yingying.
“Benar juga,” kata Linghu Chong. “Adik Kecil sudah ditemani ibunya, tentu dia tidak akan kesepian lagi.” Berkata demikian membuat hatinya kembali pilu. Ia lantas mengalihkan pembicaraaan, “Guru selalu mengutamakan kebaikan dan kejujuran sepanjang hidupnya. Namun kini sifatnya telah banyak berubah gara-gara mempelajari jurus pedang iblis itu.”
Ren Yingying mengangguk dan menjawab, “Kurasa ucapanmu itu tidak sepenuhnya benar. Sebelum mempelajari jurus pedang itu sifat gurumu juga sudah berubah. Dia mengirim Lao Denuo dan adik kecilmu ke Fuzhou dengan menyamar sebagai penjual arak untuk mengintai keluarga Lin. Apakah menurutmu itu bukan tindakan licik? Sebenarnya waktu itu gurumu sudah merencanakan tipu muslihat untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis.”
Linghu Chong terdiam. Ia memang pernah berpikir tentang ini namun tidak berani menyelaminya lebih dalam.
Terdengar Ren Yingying melanjutkan, “Sebenarnya ilmu pedang keluarga Lin itu tidak pantas disebut Jurus Pedang Penakluk Iblis. Menurutku sebaiknya diberi nama Jurus Pedang Iblis saja. Kalau kitab pedang ini tetap beredar di dunia persilatan, sudah pasti akan selalu timbul malapetaka yang tiada habis-habisnya. Yue Buqun masih hidup, Lin Pingzhi masih menyimpan salinannya pula. Hanya saja aku yakin dia takkan menyerahkannya kepada Zuo Lengchan dan Lao Denuo. Bocah bermarga Lin itu tidak bodoh, mana mungkin dia mau memberikan kitab berharga itu kepada orang lain?”
Linghu Chong menjawab, “Zuo Lengchan dan Lin Pingzhi memang sama-sama buta, tapi Lao Denuo tidak. Dalam hal ini tentu dia yang akan mendapat keuntungan. Ketiganya adalah manusia-manusia licik dan keji. Kini mereka berkumpul menjadi satu, tentu akan terjadi perselisihan dan tipu-menipu di antara mereka. Entah bagaimana jadinya, dua lawan satu mungkin Lin Pingzhi yang akan tersisihkan.”
“Apakah kau benar-benar hendak melindungi Lin Pingzhi?” tanya Ren Yingying.
Linghu Chong menjawab sambil memandang makam Yue Lingshan, “Aku tidak seharusnya menyanggupi permintaan Adik Kecil untuk melindungi Lin Pingzhi. Orang ini lebih keji daripada binatang. Sudah sepantasnya ia kucincang habis hingga hancur luluh. Huh, mana mungkin aku akan membantu dia? Hanya saja aku sudah terlanjur berjanji kepada Adik Kecil. Bila aku sampai mengingkarinya, tentu ia tidak akan tenteram di alam sana.”
“Ketika masih hidup ia tidak tahu siapa yang benar-benar baik kepadanya. Kini di alam sana seharusnya ia tahu,” kata Ren Yingying. “Maka itu, ia pasti tidak menginginkan kau melindungi Lin Pingzhi lagi.”
“Sukar dipastikan,” ujar Linghu Chong. “Cinta Adik Kecil terhadap Lin Pingzhi sudah terlalu mendalam. Sekalipun ia sendiri sadar dibunuh oleh suaminya itu, namun tetap saja ia tidak tega membiarkan Lin Pingzhi hidup merana dalam keadaan buta.”
Diam-diam Ren Yingying merenung, “Ucapanmu tidak salah. Seandainya hal ini terjadi padaku, aku juga tidak peduli bagaimana sikapmu terhadap diriku. Aku akan tetap mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku.”
Begitulah, keduanya lantas kembali tinggal di lembah sunyi tersebut. Sepuluh hari kemudian luka baru di pinggang Linghu Chong sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali ke Perguruan Henshan untuk menyerahkan jabatan ketua kepada salah seorang murid. Setelah itu ia ingin mengajak Ren Yingying berkelana mencari tempat yang sunyi, bebas dari dunia persilatan.
Ren Yingying menanggapi, “Bagaimana dengan tanggung jawabmu terhadap wasiat Nona Yue? Bukankah kau harus melindungi Lin Pingzhi?”
Linghu Chong menggaruk-garuk kepala dan menjawab, “Sebaiknya jangan kau bicarakan lagi. Masalah ini benar-benar membuatku pusing. Aku akan melaksanakan wasiat ini sesuai keadaaan saja.”
Ren Yingying tersenyum dan tidak berkata lagi. Keduanya lantas memberi hormat di depan makam Ning Zhongze dan Yue Lingshan, lalu berangkat meninggalkan lembah sunyi permai yang penuh kenangan tersebut.
Setelah berjalan selama setengah hari barulah mereka memasuki sebuah kota kecil. Di sana mereka beristirahat di dalam sebuah kedai makan dan memesan dua mangkuk bakmi. Sambil menyumpit makanannya Linghu Chong berkata, “Sampai sekarang kita belum menyembah Langit dan Bumi menjadi pengan...”
Muka Ren Yingying bersemu merah dan lekas-lekas memotong, “Huh, siapa pula yang akan menikah denganmu?”
“Kita berdua yang akan menikah kelak,” sahut Linghu Chong tersenyum. “Jika kau menolak maka aku akan memaksamu.”
Ren Yingying tampak ingin tersenyum tapi berusaha keras menahan bibirnya lalu berkata, “Selama di dalam lembah kau selalu bersikap alim. Begitu keluar, kau kembali liar dan suka sembarangan bicara lagi.”
Linghu Chong masih saja tersenyum dan berkata, “Kita harus memikirkan masak-masak rencana masa depan yang mahapenting ini. Pada saat di dalam lembah kemarin, aku tiba-tiba berpikir, kelak setelah menikah kita akan memiliki banyak anak.”
Ren Yingying langsung berdiri dengan wajah cemberut. “Jika kau masih saja bicara yang tidak perlu, aku tidak mau ikut ke Henshan lagi.”
“Baiklah, baiklah,” sahut Linghu Chong sambil tertawa. Namun tetap saja ia melanjutkan, “Lembah tempat kita tinggal kemarin banyak ditumbuhi pohon persik. Jika kita tetap berada di sana dan memiliki enam orang anak, maka mereka akan disebut sebagai Enam Dewa Lembah Persik Cilik.”
“Apa maksudmu?” sahut Ren Yingying sambil kembali duduk. Meskipun mulutnya berkata pedas, namun dalam hati merasa begitu nyaman. Matanya tampak berbinar-binar. Begitu ia beradu pandang dengan Linghu Chong, seketika hatinya merasa malu dan lekas-lekas wajahnya menunduk sambil menelan bakmi di dalam mulutnya.
Linghu Chong berkata, “Dalam perjalanan menuju ke Gunung Henshan nanti bisa jadi kita akan berjumpa kawan atau kenalan. Mungkin mereka mengira kita sudah menikah dan aku takut kau tidak senang atas kesalahpahaman ini.”
Ren Yingying segera menjawab, “Kau benar. Sebaiknya kita kembali menyamar sebagai dua petani, tentu tidak akan ada yang mengenali.”
“Tapi wajahmu terlalu cantik. Meski menyamar sebagai apa saja juga tetap menarik perhatian orang,” ujar Linghu Chong. “Jika kita berjalan bersama tentu orang-orang berkata, ‘Lihat, ada seorang gadis yang sangat cantik berjalan bersama pemuda tolol. Benar-benar seperti bunga mawar tumbuh di atas kotoran kerbau.’ Namun setelah memerhatikan dengan seksama, ternyata si bunga mawar adalah putri suci Partai Mentari dan Bulan, sementara si pemuda tolol yang seperti kotoran kerbau ini adalah pangeran gagah pujaan hatinya.”
“Kau ini memang suka asal bicara, “sahut Ren Yingying sambil menahan senyum.
Linghu Chong kembali berkata, “Aku akan menyamar sebagai orang biasa yang tidak menarik perhatian murid-murid Henshan. Aku harus bisa melihat keadaan perguruan dari dekat secara langsung. Apabila keadaan aman dan tenteram, aku akan menyerahkan jabatan ketua kepada salah seorang murid. Setelah itu kita bisa bertemu di suatu tempat rahasia dan pergi bersama. Urusan ini hanya kita yang tahu. Boleh dikata, dewa tidak melihat, hantu tidak mendengar.”
Ren Yingying paham Linghu Chong berusaha mencari cara demi menyesuaikan keadaan dengan sifatnya yang pemalu itu. Sungguh ia merasa senang dan segera menjawab, “Baiklah. Karena yang akan kita datangi adalah Perguruan Henshan, maka sebaiknya kau mencukur botak kepalamu dan menyamar sebagai biksuni. Dengan cara ini dijamin tidak seorang pun orang yang akan curiga. Sini, akan kudandani kau menjadi seorang biksuni yang cantik.”
Linghu Chong tertawa dan goyang-goyangkan tangannya. Ia berkata, “Jangan, jangan! Setiap kali melihat biksuni, aku akan selalu kalah berjudi. Bila aku menyamar sebagai biksuni tentu akan sial selamanya, aku tidak mau.”
Ren Yingying tertawa pula dan menjawab, “Seorang laki-laki sejati tidak kaku dan pandai menyesuaikan diri. Kenapa kau terlalu banyak percaya tahayul? Sini, biar aku yang mencukur botak kepalamu.”
Linghu Chong berkata, “Kalau hanya untuk menghindari perhatian orang rasanya tidak perlu menyamar biksuni. Tentu saja aku akan ke Gunung Henshan dalam pakaian wanita. Wajahku bisa disamarkan, tapi bagaimana dengan suaraku? Sekali saja aku membuka suara pasti akan ketahuan. Maka itu yang paling baik aku harus menyamar sebagai seorang bisu tuli. Apakah kau masih ingat kepada wanita tua yang tinggal di Kuil Gantung, di Gunung Cui Ping, belakang puncak utama Henshan itu?”
Ren Yingying bertepuk tangan dan menjawab, “Bagus sekali, bagus sekali. Memang di Kuil Gantung itu ada seorang babu tua, bisu juga tuli. Kita dulu pernah bertempur sengit di sana melawan Jia Bu dan pasukannya, tapi perempuan tua itu sedikit pun tidak mendengar. Ketika kita bertanya padanya, dia hanya ternganga saja tak bisa menjawab. Apakah kau ingin menyamar sebagai dia?”
“Benar,” sahut Linghu Chong.
“Baiklah, mari kita pergi membeli pakaian dan setelah itu kau akan segera kudandani,” kata Ren Yingying.
Dengan membayar dua tahil perak Ren Yingying berhasil mendapatkan seikat rambut panjang milik seorang penduduk di situ. Ditatanya dengan baik rambut itu kemudian dipasangnya di atas kepala Linghu Chong. Ia kemudian membantu pemuda itu memakai pakaian petani perempuan. Kini Linghu Chong sudah berubah seperti seorang wanita. Kemudian Ren Yingying menambahkan bedak kekuning-kuningan pada wajahnya, di sana-sini ditambah pula dengan tujuh titik tahi lalat palsu. Kemudian pada kulit muka sebelah kanan ditarik ke bawah dan ditempeli sepotong koyo sehingga alis kanan Linghu Chong ikut tertarik menyerong ke bawah, mulutnya juga menjadi agak peot. Sewaktu bercermin, Linghu Chong sampai-sampai tidak mengenal dirinya sendiri.
“Nah, sekarang kau sudah benar-benar mirip dengan dia. Hanya tingkah lakumu yang masih perlu dilatih,” ujar Ren Yingying. “Kau harus berlagak bodoh, berlagak tolol, seperti orang linglung. Yang paling penting, apabila ada orang tiba-tiba menggertak di belakangmu, jangan sekali-kali kau melonjak terkejut supaya rahasia penyamaranmu tidak terbongkar.”
Berlagak tolol adalah hal yang paling mudah, pura-pura bodoh adalah keahlianku,” ujar Linghu Chong dengan tertawa.
Di sepanjang jalan Linghu Chong tetap menyamar menjadi babu tua yang bisu dan tuli sekaligus sebagai latihan agar nanti di Gunung Henshan penyamarannya tidak mudah terbongkar. Ia dan Ren Yingying tidak bermalam di penginapan, namun mencari kuil rusak untuk tinggal. Terkadang Ren Yingying sengaja menggertak di belakang Linghu Chong, namun pemuda itu ternyata tidak terkejut dan pura-pura tidak mendengar.
Hari berikutnya sampailah mereka di kaki Gunung Henshan. Keduanya berjanji akan bertemu kembali di sekitar Kuil Gantung tiga hari kemudian. Linghu Chong kemudian menuju ke Puncak Xianxing seorang diri, sementara Ren Yingying berpesiar menikmati keindahan pegunungan itu.
Hari sudah mulai petang ketika Linghu Chong tiba di Puncak Xianxing. Ia berpikir bila langsung menuju ke biara utama tentu akan membuat Yihe, Yiqing, dan yang lain curiga. Menurutnya lebih baik menyelidiki secara diam-diam saja. Segera ia pun mencari sebuah gua sepi untuk beristirahat dan tidur. Ketika terbangun tampak sang rembulan sudah menghias di angkasa. Ia pun bangkit dan bergegas menuju ke Biara Wuse, yaitu biara induk di Puncak Xianxing.
Setibanya di pinggir pagar tembok biara itu, ia mendengar suara benturan senjata berulang-ulang. Linghu Chong pun terkesiap dan berpikir, “Apakah ada musuh yang datang menyerang? Musuh dari mana kira-kira?” Segera tangannya pun meraba pedang pendek milik Ren Yingying yang terselip di balik bajunya.
Tampaknya suara itu berasal dari sebuah rumah yang berada puluhan meter di luar Biara Wuse. Tampak cahaya lilin keluar dari balik jendela rumah itu. Linghu Chong segera merapat ke dinding dan mendengar suara perterungan semakin keras dan nyaring. Perlahan-lahan ia mengintai ke dalam melalui jendela. Seketika hatinya langsung lega, karena yang terlihat adalah Yihe dan Yilin sedang berlatih pedang, sementara Yiqing dan Zheng E berdiri menyaksikan.
Rupanya Yihe dan Yilin sedang melatih ilmu pedang hasil ajaran Linghu Chong tempo hari, yaitu ilmu pedang Perguruan Henshan yang terukir di dinding gua rahasia di puncak Huashan. Tampaknya permainan mereka berdua sudah jauh lebih matang.
Pada jurus kesekian, pedang Yihe tampak berputar semakin cepat. Beberapa gerakan berikutnya Yilin agak lengah, sehingga ujung pedang Yihe tahu-tahu sudah menusuk di depan dadanya. Untuk menangkis jelas tidak sempat lagi, sehingga Yilin pun menjerit lesu.
“Adik, kau kalah lagi,” kata Yihe kemudian.
Yilin menunduk malu dan menjawab, “Aku sudah berlatih sekian lama, tapi masih tak ada kemajuan.”
“Sudah lebih maju daripada latihan sebelumnya,” kata Yihe. “Mari kita coba lagi.”
Akan tetapi tiba-tiba Yiqing menyela, “Adik Yilin mungkin sudah lelah, lebih baik tidur saja dulu bersama Adik Zheng. Essok kita bisa berlatih lagi.”
“Baik,” jawab Yilin sambil menyarungkan pedangnya. Setelah memberi hormat kepada Yiqing dan Yihe, ia lantas menggandeng tangan Zheng E keluar dari ruangan latihan tersebut.
Sewaktu Yilin membalikkan badan, Linghu Chong dapat melihat wajah biksuni muda itu tampak pucat dan kurus. “Adik Yilin ini selalu saja berhati murung,” pikirnya.
Yihe kemudian menutup pintu ruangan itu dan sama-sama menggeleng-gelengkan kepala dengan Yiqing. Sesudah suara langkah Yilin dan Zheng E terdengar menjauh barulah Yihe berkata, “Hati Adik Yilin selalu saja tidak bisa tenang. Hati yang kacau dan pikiran tergoda adalah pantangan besar bagi kaum biarawati seperti kita. Entah bagaimana cara kita harus menasihatinya.”
“Memang sukar untuk menasihatinya,” kata Yiqing. “Yang paling bagus adalah kalau ada kesadaran diri sendiri.”
“Aku tahu kenapa hati Adik Yilin tidak bisa tenang. Ia senantiasa terkenang kepada….”
“Di tempat suci ini hendaknya Kakak Yihe jangan bicara hal-hal demikian,” sahut Yiqing menukas. “Sebenarnya tiada salahnya kita membiarkan Adik Yilin sadar sendiri apabila kita tidak buru-buru ingin menuntut balas sakit hati Guru.”
Yihe berkata, “Dulu Guru sering mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah suratan takdir, sudah hukum karma. Kita harus mengikuti dan menurut apa adanya, sedikit pun tidak boleh dipaksakan. Kulihat Adik Yilin adalah orang yang berperasaan dalam. Sebenarnya dia tidak cocok memasuki dunia biara seperti kita ini.”
Yiqing menghela napas dan menjawab, “Aku juga pernah memikirkan hal ini. Hanya saja Perguruan Henshan pada akhirnya harus dipimpin oleh seseorang dari kalangan agama kita sendiri. Kakak Linghu sudah sering menyatakan bahwa ia hanya sementara saja menjabat sebagai ketua kita. Namun yang paling penting adalah kita harus lebih dulu membalas si keparat Yue Buqun itu. Dia telah mencelakai Guru dan Bibi….”
Linghu Chong terperanjat dan berpikir, “Mengapa mereka menuduh Guru telah membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi?”
Terdengar Yiqing melanjutkan, “Kalau sakit hati ini tidak lekas kita balas, tentu kita sebagai murid Beliau berdua selamanya tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan.”
“Tidak hanya kau saja yang gelisah, mungkin aku jauh lebih resah tentang sakit hati guru kita ini,” ujar Yihe. “Baiklah, mulai besok aku akan mempercepat dan mempergiat latihan Adik Yilin.”
“Tapi juga jangan terlalu dipaksakan,” sahut Yiqing. “Kulihat beberapa hari terakhir ini semangat Adik Yilin agak mundur.”
“Benar,” jawab Yihe. Lalu kedua murid tertua Henshan itu membereskan senjata-senjata dan memadamkan pelita. Mereka lantas kembali ke kamar masing-masing untuk tidur.
Linghu Chong masih diam berdiri di luar jendela dengan pikiran rumit. “Aneh, mengapa mereka menuduh Guru telah mencelakai kedua biksuni sepuh? Mengapa pula mereka ingin membalaskan kematian kedua biksuni sepuh sebelum aku menyerahkan jabatan ketua kepada orang lain? Mengapa pula mereka harus menyuruh Adik Yilin giat berlatih pedang siang dan malam?”
Ia tetap saja berdiri merenungkan hal itu sampai cukup lama, tapi tidak juga menemukan jawabannya. Perlahan-lahan ia pun melangkah sambil berpikir, “Sebaiknya besok aku bertanya langsung kepada Kakak Yihe dan Kakak Yiqing.”
Tiba-tiba Linghu Chong melihat bayangannya bergerak-gerak. Ketika melihat ke atas tampak sang rembulan bersinar terang dan seperti menggantung di pucuk pepohonan. Seketika itu pula seberkas pikiran tercurah dalam benaknya, hampir saja ia berteriak sendiri. Dalam hati ia berkata, “Seharusnya aku menyadari hal ini sejak dulu. Mengapa mereka sudah lama mengetahui hal ini, sebaliknya aku tidak?”
Ia pun menyelinap ke pinggir tembok di luar sebuah rumah kecil, lalu berdiri merapat agar bayangannya tidak terlihat para peronda. Di tempat itu barulah ia merenung dan berpikir dengan cermat. Ia mencoba mengenang kembali kematian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi di Biara Shaolin dahulu itu. Waktu itu Biksuni Dingxian sempat mewariskan jabatan ketua Perguruan Henshan kepadanya namun tidak mengatakan sama sekali siapa orang yang telah mencelakai dirinya. Ketika Linghu Chong memeriksa jenazah kedua biksuni sepuh, pada tubuh mereka tidak terdapat suatu luka apapun, juga tidak menderita luka dalam atau mati keracunan. Dengan demikian kematian mereka sungguh sangat aneh.
Kemudian setelah meninggalkan Biara Shaolin dan beristirahat dalam sebuah gua, Ren Yingying pernah bercerita bahwa dirinya sempat membuka baju kedua biksuni sepuh itu untuk memeriksa luka mereka. Ternyata pada ulu hati keduanya terdapat satu titik merah bekas tusukan jarum, jelas luka inilah yang mengakibatkan kematian mereka. Saat itu Ren Yingying melonjak teerkejut dan berkata, “Jarum beracun. Di dunia persilatan ini siapa yang biasa menggunakan jarum beracun?”
Ren Woxing dan Xiang Wentian yang kaya pengalaman juga tidak tahu menahu ketika ditanyai tentang hal ini. Hanya saja Ren Woxing menyebutkan bahwa itu bukan jarum beracun, melainkan sebuah jarum tajam biasa namun ditusukkan tepat ke titik maut mereka berdua. Namun tusukan di ulu hati Biksuni Dingxian agak melenceng sehingga nyawanya tidak langsung putus sampai kedatangan Linghu Chong.
Waktu itu Linghu Chong dan Ren Yingying bersama membahas siapa kira-kira pembunuh kedua biksuni sepuh. Karena jarum tersebut menusuk tepat di ulu hati, maka serangan tersebut jelas dilakukan secara berhadapan. Jadi, orang yang mencelakai kedua biksuni sudah pasti seorang tokoh silat papan atas. Meskipun tidak menemukan siapa sebenarnya pelaku pembunuhan itu, namun Linghu Chong dan Ren Yingying sepakat mengucapkan janji bahwa mereka tidak akan pernah mengampuni penjahat itu.
Teringat akan hal ini, tanpa terasa kedua tangan Linghu Chong mendorong dinding dengan badan agak gemetar. Ia merenung, “Tusukan jarum seperti itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah mempelajari Kitab Pedang Penakluk Iblis atau Kitab Bunga Mentari. Dongfang Bubai selalu berada di Tebing Kayu Hitam sehingga tidak mungkin ia menjadi pelakunya. Lagipula jika Dongfang Bubai menyusup ke dalam Biara Shaolin tidak mungkin tusukan jarumnya pada ulu hati Biksuni Dingxian sampai melenceng. Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan adalah palsu, tidak sempurna, jadi tidak mungkin pula ia yang membunuh kedua biksuni sepuh. Saat itu Kitab Pedang Penakluk Iblis mungkin sudah jatuh ke tangan Lin Pingzhi, tapi ia belum sempat mempelajarinya. Aku masih ingat bagaimana suara Lin Pingzhi saat itu. Benar, suaranya belum melengking seperti perempuan.”
Berpikir sampai di sini tanpa terasa dahi Linghu Chong mengalirkan keringat dingin. Ia tahu saat itu yang mampu menggunakan sebatang jarum kecil untuk membinasakan kedua biksuni sepuh dari depan hanyalah Yue Buqun seorang. Teringat pula olehnya bagaimana Yue Buqun menyusun rencana sangat matang agar dapat menjadi ketua Perguruan Lima Gunung. Ia sengaja membiarkan Lao Denuo menyusup ke dalam Perguruan Huashan selama belasan tahun tanpa membuka penyamarannya. Ia juga sengaja membiarkan Lao Denuo membawa lari Kitab Pedang Penakluk Iblis palsu untuk menjebak Zuo Lengchan, sehingga dengan mudah kedua mata Zuo Lengchan dapat dibutakan olehnya di atas Panggung Pemujaan. Mengingat Biksuni Dingxian dan kawan-kawannya bersikeras menentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, maka Yue Buqun telah mencari kesempatan untuk membunuhnya demi mengurangi pihak penentang cita-citanya. Pantas saja Biksuni Dingxian tidak mau menyebutkan siapa pembunuhnya di depan Linghu Chong. Apabila si pembunuh adalah Zuo Lengchan atau Dongfang Bubai, tentu wanita tua itu akan berkata lain.
Linghu Chong merenungkan kembali percakapannya dengan Ren Yingying di gua waktu itu. Ren Yingying bercerita setelah kalah bertanding di Biara Shaolin, Yue Buqun menendang dada Linghu Chong sampai pemuda itu jatuh pingsan, namun kakinya sendiri juga ikut tergetar patah. Hal ini sangat mengherankan Ren Yingying, bahkan Ren Woxing juga tidak habis pikir atas kejadian ini. Sebagaimana yang ia ketahui, di dalam tubuh Linghu Chong memang sudah banyak berkumpul berbagai tenaga dalam yang dihisapnya dari beberapa tokoh silat papan atas. Namun demikian, untuk bisa menggunakan campuran tenaga dalam itu guna menyerang lawan diperlukan latihan yang cukup keras. Padahal waktu itu Linghu Chong belum mencapai tingkat demikian. Maka kalau dipikir lagi, jelas waktu itu Yue Buqun sengaja mengerahkan tenaga dalam untuk mematahkan kakinya sendiri sambil menendang dada Linghu Chong. Ia sengaja memperlihatkan kelemahan terhadap Zuo Lengchan agar saingan beratnya itu menilai rendah terhadap dirinya.
Begitulah, dalam pertarungan di Panggung Pemujaan Zuo Lengchan terlalu meremehkan Yue Buqun sehingga usahanya yang dirintis dengan susah payah yaitu menggabungkan Serikat Pedang Lima Gunung di bawah kekuasaannya harus berakhir dengan sia-sia, sementara orang lain yang menikmati keuntungan.
Sebenarnya hal ini cukup mudah untuk dipahami. Akan tetapi selama ini Linghu Chong tidak pernah menaruh curiga kepaada sang guru. Mungkin juga, rasa curiga kepada Yue Buqun sebenarnya ada namun dikuburnya dalam-dalam. Setiap kali ia memikirkan peristiwa pembunuhan kedua biksuni sepuh selalu saja bayangan sang guru tidak muncul dalam benaknya. Entah karena ia memang tidak ingin memunculkannya, atau mungkin karena takut. Namun kali ini begitu mendengar percakapan Yihe dan Yiqing seketika rasa curiganya kepada Yue Buqun langsung bangkit begitu saja.
Seumur hidup Linghu Chong selalu menghormati dan menyayangi Yue Buqun. Tak disangka sang guru ternyata begitu keji dan munafik. Ia merasa hidupnya kini seolah tak berarti lagi. Seluruh tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Kakinya terasa berat untuk melangkah menuju bangunan-bangunan lain di lingkungan biara Henshan tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari tempat sepi di salah satu lembah dan tidur di situ.
Keesokan harinya Linghu Chong pergi ke Lembah Tong Yuan, yaitu tempat tinggal para jago silat golongan hitam yang dulu ikut bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Saat itu hari sudah mulai terang. Linghu Chong berjalan menyusuri tepian sungai kecil. Di atas aliran air yang jernih ia pun bercermin kalau-kalau ada penyamarannya yang rusak. Begitu sampai di bangunan tempat tinggal para jagoan itu, ia langsung masuk melalui pintu utama. Namun baru saja beberapa langkah mendadak terdengar suara ramai berkumandang dari dalam.
Di dalam pekarangan tersebut terdapat banyak orang. Beberapa di antara mereka berteriak-teriak, “Sungguh aneh! Keparat mana yang melakukan ini semua?”
“Ya, benar-benar bangsat! Kapan hal ini dilakukan? Mengapa tiada seorang pun yang tahu?”
“Hei, mereka ini bukan jago-jago lemah. Mengapa mereka bisa dikerjai orang lain tanpa bersuara sedikit pun?”
Dari suara ribut-ribut itu Linghu Chong dapat menduga bahwa di dalam tentu terjadi suatu hal yang luar biasa. Segera ia menyelinap masuk. Dilihatnya di pekarangan dalam dan serambi samping sudah penuh berdiri banyak orang. Semuanya menengadah, memandang ke pucuk pohon gongsun yang berdiri di tengah halaman pekarangan bangunan tersebut.
Linghu Chong ikut mendongak ke atas. Seketika ia pun terheran-heran. Dilihatnya pada pucuk pohon yang tingginya belasan meter itu tergantung delapan orang. Mereka adalah tujuh orang yang dulu pernah mengeroyok Yu Canghai karena mengira ketua Perguruan Qingcheng itu menyimpan Kitab Pedang Penakluk Iblis, sedangkan seorang lagi adalah pria berpakaian saudagar. Ketujuh orang itu adalah Nyonya Zhang, Yan Sanxing, Qiu Songnian, Biksu Xibao, Pendeta Yuling, Wu Baiying, dan Zhou Gutong. Sementara yang berpakaian saudagar adalah You Xun si Manusia Licin Susah Dipegang. Sepertinya kedelapan orang itu semua dalam keadaan tertotok. Kaki dan tangan mereka diikat dan tubuh mereka digantung di atas ketinggaian tiga meter dari tanah. Tampak tubuh mereka terayun-ayun pula akibat hembusan angin.
Mulut kedelapan orang itu tidak bisa bersuara, sementara wajah mereka bersemu merah menahan malu. Yang lebih parah lagi, kedua ekor ular hitam piaraan Yan Sanxing berkeliaran merayap di tubuh mereka. Kalau yang dirambati adalah tubuh Yan Sanxing tentu tidak menjadi soal, karena ia bergelar si Pengemis Jahat Berular Dua. Namun jika kedua ular itu merayap pada ketujuh orang lainnya tentu masing-masing merasa khawatir dan ngeri.
Tiba-tiba seseorang meloncat ke atas. Ia tidak lain adalah Ji Wushi si Kucing Malam. Dengan sebilah belati dipotongnya tali yang menggantung Wu Baiying dan Zhou Gutong. Seketika tubuh kedua orang yang dijuluki Sepasang Cemara Tung itu pun jatuh ke bawah. Untunglah seorang pendek bulat menangkap tubuh mereka. Si cebol ini tidak lain adalah Lao Touzi. Dalam sekejap saja Ji Wushi sudah berhasil menjatuhkan kedelapan orang itu ke bawah dan masing-masing ditangkap oleh orang-orang lainnya. Satu per satu totokan pada tubuh mereka pun dibuka pula.
Begitu bebas, Qiu Songnian langsung mencaci maki dengan kata-kata yang paling kotor. Namun tiba-tiba kedelapan orang itu saling pandang dengan sikap yang lucu. Ada yang terkejut, ada pula yang tertawa geli.
Sewaktu Zu Qianqiu memeriksa, ternyata pada dahi mereka masing-masing telah tertulis satu kata. Ada yang tertulis “awas” ada pula yang tertulis “ketahuan” dan sebagainya. Jika tulisan pada dahi kedelapan orang itu dibaca berurutan, maka akan tersusun kalimat yang berbunyi: “Muslihat licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian.”
Orang-orang yang lainnya satu per satu mengulangi ucapan Zu Qianqiu. “Muslihat licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian.”
Biksu Xibao yang berhati kasar langsung mencaci maki, “Muslihat keji ketahuan apanya? Memangnya siapa yang berjiwa anjing?”
Pendeta Yuling segera mencegah rekannya itu memaki lebih lanjut. Ia lantas menghapus huruf di dahinya menggunakan air ludah.
Zu Qianqiu pun bertanya, “Saudara You, entah bagaimana kalian berdelapan bisa dikerjai orang, dapatkah kau menceritakannya?”
You Xun tersenyum-senyum dan menjawab, “Sungguh memalukan bila kuceritakan. Semalam aku tidur dengan sangat nyenyak. Entah mengapa tahu-tahu urat nadiku sudah tertotok dan tubuhku tergantung tinggi di atas pohon ini. Untuk diriku yang tidak becus ini boleh dikata wajar, tapi tokoh-tokoh yang serbacerdas seperti Pendeta Yuling, Nyonya Zhang, dan yang lain ini ternyata juga ikut dikerjai. Maka, bajingan yang mengerjai kami itu kemungkinan besar memakai semacam obat bius.”
Nyonya Zhang menyahut, “Huh, mungkin seperti itu.” Ia tidak ingin banyak bicara dan segera pergi ke dalam untuk mencuci muka disusul Pendeta Yuling yang lain.
Orang-orang di tempat itu tidak ikut pergi melainkan bercakap-cakap ramai membicarakan kejadian aneh tersebut. Kebanyakan mereka berkata, “Ucapan You Xun tidak lengkap. Pasti ada suatu rencana yang disembunyikannya. Jika tidak, mengapa di antara kita semua yang berjumlah ratusan ini hanya mereka berdelapan saja yang dibius dan digantung?” Orang-orang itu juga bingung memikirkan maksud dari kalimat “Rencana licik sudah ketahuan”, entah rencana licik apa yang dimaksud?
“Orang sakti dari mana pula yang bisa meringkus dan menggantung mereka berdelapan?” tanya mereka bingung.
Terdengar seseorang di antara mereka tertawa dan berkata, “Untung sekali hari ini Enam Setan Lembah Persik tidak berada di sini. Kalau mereka di sini tentu urusan ini akan bertambah runyam.”
“Dari mana kau tahu mereka tidak berada di sini? Keenam orang itu suka berbuat gila-gilaan. Bukan mustahil apa yang terjadi ini adalah hasil perbuatan mereka,” kata seorang lagi.
“Tidak, tidak mungkin perbuatan mereka,” ujar Zu Qianqiu.
“Bagaimana Saudara Zu dapat mengetahuinya?” tanya orang pertama tadi.
“Meski ilmu silat Enam Dewa Lembah Persik sangat bagus, namun isi kepala mereka sangat terbatas,” kata Zu Qianqiu. “Jangankan kalimat-kalimat itu, untuk menulis kata ‘muslihat’ saja aku jamin mereka tidak bisa.”
Semua orang pun bergelak tawa membenarkan ucapan Zu Qianqiu. Mereka terus saja bercakap-cakap tentang kejadian lucu dan aneh itu sehingga tidak seorang pun memerhatikan babu tua samaran Linghu Chong yang sedang memasang wajah dungu.
Linghu Chong sengaja mengambil sepotong kain lap untuk membersihkan ruangan itu dengan kepala menunduk, tapi diam-diam ia mengawasi gerak-gerik mereka. “Apa yang sebenarnya direncanakan oleh kedelapan orang tadi? Apakah mereka berniat mengganggu ketentraman Perguruan Henshan? Siapa pula yang telah menangkap dan menggantung mereka?”
Lewat tengah hari, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak-teriak di luar, “Aneh, sungguh aneh! Semuanya lekaslah kemari, coba lihat itu!”
Serentak orang-orang pun berlari keluar. Linghu Chong juga ikut serta namun dengan langkah perlahan-lahan. Tampak di samping kanan pekarangan puluhan orang sedang mengerumuni sesuatu. Ketika Linghu Chong sampai di sana, orang-orang itu sedang ramai memperbincangkan sesuatu. Rupanya ada belasan orang duduk tidak bergerak dengan wajah menghadap tebing, jelas urat nadi mereka telah tertotok semua. Pada dinding batuan cadas tampak beberapa huruf yang juga berbunyi: “Muslihat licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian”. Tulisan itu dibuat dengan menggunakan air tanah liat, tampaknya belum kering benar, pertanda baru saja ditulis.
Para jagoan silat itu segera memutar tubuh belasan orang itu sehingga tampak wajah mereka masing-masing. Ternyata di antara mereka terdapat Sepasang Beruang dari Gurun Utara. Ji Wushi kembali tampil ke muka untuk membuka totokan pada tubuh Si Beruang Hitam dan Si Beruang Putih tersebut. Namun yang dibukanya hanyalah totokan pada titik bisu saja, sehingga mereka hanya bisa berbicara tapi tetap tidak bisa bergerak.
Ji Wushi lantas bertanya, “Ada sesuatu yang tidak kumengerti, maka itu aku ingin meminta keterangan kepada kalian. Coba jelaskan, sesungguhnya kalian berdua terlibat suatu muslihat rahasia apa? Semua orang di sini penasaran ingin mengetahuinya.”
“Benar, benar! Muslihat apa yang kalian kerjakan, katakan pada kami!” seru orang banyak serentak.
“Muslihat kakek moyangmu tujuh belas turunan! Muslihat apa lagi? Muslihat anak kura-kura, hah?” sahut Si Beruang Hitam mencaci maki.
“Kalau begitu, kalian ditotok oleh siapa? Tentu kau bisa menceritakan pada kami, bukan?” tanya Zu Qianqiu pula.
(Bersambung)
Bagian 76 ; Bagian 77 ; Bagian 78